MENU

Where the world comes to study the Bible

Anugerah yang Besar: Kasih Allah yang Membebaskan!

Related Media

Penerjemah: Yoppi Margianto

Merupakan langkah yang sangat sederhana sebenarnya untuk berpindah dari keberdosaan kita kepada kasih Allah yang dinyatakan di dalam anugerah-Nya. Karena bila Ia mengasihi kita sepenuhnya—dan sesungguhnya Ia sudah melakukannya—pastilah itu merupakan kasih yang berakar di dalam kemurahan-Nya. Ia dapat saja meminta kita untuk memenuhi persyaratan tertentu sebelum Ia memberikan kita segala hal yang baik sebagaimana didambakan di dalam hati-Nya. Jika kejadiannya seperti itu, maka kita tidak akan pernah menikmati kasih-Nya. Karena “Tidak ada yang benar, seorangpun tidak” (Roma 3:10). Sesungguhnya kasih Allah dinyatakan dengan begitu luar biasa di dalam anugerah-Nya bagi orang-orang berdosa yang sama sekali tidak layak menerimanya. Dan itulah arti anugerah: kasih Allah mengalir dengan bebas kepada orang-orang yang tidak layak dikasihi.

Di dalam bukunya Pursuit, penulis dan penginjil Luis Palau menulis:

Syukurlah bahwa anugerah-Nya “tidak adil”. Beberapa tahun yang lalu, seorang keponakan saya (saya memanggilnya Kenneth) hampir mengalami kematian. Dia terkena AIDS. Selama reuni keluarga di di perbukitan California Utara, Kenneth dan saya berjalan-jalan sebentar. Kulitnya sudah pucat, untuk bernafas pun terasa sulit.

“Kenneth, kamu tahu kamu akan mengalami kematian kapanpun,” kata saya. “Apakah kamu sudah memiliki hidup yang kekal? Orangtuamu sangat menderita, aku tahu itu.”

“Luis, aku tahu Tuhan telah mengampuniku dan aku akan sampai di surga.”

Selama beberapa tahun, sejak ia masih sangat belia, Kenneth sudah menjadi seorang homoseks. Bahkan lebih lagi, dalam pemberontakannya terhadap Allah dan orangtuanya, ia berterus terang dengan gaya hidupnya itu.

“Kenneth, bagaimana kamu dapat berkata seperti itu?” balas saya. “Kamu memberontak terhadap Allah, kamu menertawakan Alkitab, kamu sangat melukai keluargamu. Dan sekarang kamu begitu mudah berkata bahwa kamu memiliki hidup kekal?”

“Luis, ketika dokter mengatakan bahwa aku terkena AIDS, aku baru menyadari betapa bodohnya aku selama ini.”

“Kita tahu itu,” saya bicara dengan blak-blakan, tetapi saya sengaja, karena Kenneth sudah paham sekali bahwa perilaku homoseksual adalah dosa. “Tetapi, apakah kamu sungguh-sungguh bertobat?”

“Aku sungguh-sungguh bertobat, dan aku tahu bahwa Allah berbelas kasihan terhadapku. Tetapi ayah tidak percaya aku.”

“Karena kamu telah memberontak di depan matanya sepanjang hidupmu,” kata saya. “Kamu telah menghancurkan hatinya.”

Kenneth menatap mata secara dalam. “Aku tahu Tuhan telah mengampuni aku.”

“Apakah kamu sudah membuka hati untuk Yesus?”

“Ya, Luis! Ya!”

Kami saling berpelukan dan berdoa dan membicarakan hal yang lain, dan saya menjadi yakin bahwa Yesus telah mengampuni semua pemberontakan Kenneth dan menghapuskan semua dosanya. Beberapa bulan kemudian ia pulang ke rumah Bapa pada usia dua puluh lima tahun. Palau berkata, “Keponakan saya, adalah sama seperti pencuri yang bertobat di sebelah salib Yesus, tidak layak menerima anugerah Allah. Saya juga tidak, kita semua pun tidak. Itulah sebabnya dikatakan sebagai anugerah—kebaikan Allah yang tanpa syarat.”1

Anugerah adalah tema Perjanjian Baru dan kunci untuk memahami isi pesannya, karena semua penulis Perjanjian Baru berbicara tentang keselamatan dan selalu menghubungkannya dengan anugerah Allah. Keselamatan kita dari dosa dan murka Allah adalah inisiatif Allah yang murah hati sejak permulaan jaman (2 Tim 1:9) dan dibawa dijalankan-Nya di dalam sejarah menurut rencana dan panggilan-Nya berdasarkan kemurahan-Nya (Roma 8:30). Kita diselamatkan oleh anugerah Allah, bukan oleh usaha kita (Efesus 2:8-9), dan anugerah Allah mengajarkan kita untuk mengerjakan keselamatan kita di hadapan Allah dengan cara yang terhormat (Titus 2:11-12). Pujian terhadap anugerah Allah yang berkelimpahan itu adalah tujuan akhir dari keselamatan (Efesus 1:6). Pendeknya, dari permulaan sampai akhir, yang ada hanya anugerah-Nya.2

Dan supaya kita dapat mengerti akan begitu luasnya anugerah Allah, Ia memberikan banyak contoh di dalam Alkitab, misalnya dalam kehidupan rasul Paulus. Bukankah hal yang luar biasa bahwa Allah memilih orang Farisi yang paling fanatik ini dan menjadikannya salah satu lambang terbesar akan anugerah? Paulus berkata bahwa Allah telah memilihnya supaya orang-orang dapat belajar melalui dia—seorang pembunuh dan penganiaya jemaat—akan arti yang sesungguhnya dan jangkauan yang sepenuhnya akan anugerah Allah:

1:15 Perkataan ini benar dan patut diterima sepenuhnya: Kristus Yesus datang ke dunia untuk menyelamatkan orang berdosa, dan di antara mereka akulah yang paling berdosa. 16 Tetapi justru karena itu aku dikasihani, agar dalam diriku ini, sebagai orang yang paling berdosa, Yesus Kristus menunjukkan seluruh kesabaran-Nya. Dengan demikian aku menjadi contoh bagi mereka yang kemudian percaya kepada-Nya dan mendapat hidup yang kekal. (1 Timotius 1)

Pada waktu kita bermusuhan dengan Allah—sebagai seteru seperti dikatakan Paulus di Roma 5:10—Ia memberikan jalan bagi kita untuk memperoleh anugerah-Nya. Betapa suatu kasih yang luar biasa!

Ketika Perang Dunia II, seorang tentara mati dan dua orang temannya dengan hati yang pedih berusaha untuk menguburkannya dengan pantas. Mereka menemukan sebuah pemakaman di desa tetangga. Itu adalah pemakaman Katholik, sedangkan tentara yang mati itu adalah orang Protestan. Ketika dua orang itu bertemu dengan imam yang mengurusi areal pemakaman itu, mereka meminta ijin untuk menguburkan teman mereka, tetapi imam itu menolak karena orang mati itu bukan seorang Katholik. Ketika imam itu melihat kekecewaan mereka, ia memberitahu bahwa mereka dapat menguburkan temannya itu cepat-cepat di luar pagar. Dan hal ini mereka lakukan.

Suatu hari, mereka kembali untuk mengunjungi kuburan itu, tetapi mereka tidak menemukannya. Akhirnya mereka berjumpa lagi dengan imam itu, dan mereka bertanya apa yang terjadi dengan kuburan teman mereka. Sang imam menjelaskan bahwa sepanjang malam ia tidak dapat tidur. Jadi ia bangun dan memindahkan pagar itu supaya kuburan sang tentara berada di dalam areal.

Begitulah juga dengan Allah. Ia tidak akan bisa tidur sampai Ia membuat jalan untuk orang-orang yang sebenarnya tidak layak untuk dikasihi untuk menerima juga kasih anugerah-Nya. Bahkan Ia tidak hanya memindahkan pagar, melainkan Ia menghancurkan penghalang ke dalam hadirat-Nya yang kudus. Dan Ia melakukannya melalui anugerah Tuhan kita Yesus Kristus dan salib-Nya. Melalui Kristus yang disalib itulah, dan hanya melalui Dia saja, kita dengan leluasa mendekat kepada Bapa (Yohanes 14:6). Pertanyaan yang masih timbul adalah, “Sudahkah Anda melakukannya?” Sudahkah Anda berbalik dari dosa Anda dan menerima Kristus dengan sepenuh hati Anda? Tidak ada waktu yang terbaik selain sekarang! Ia berjanji untuk mencurahkan anugerah-Nya yang sungguh besar itu bagi semua orang yang mau datang kepada-Nya dalam pertobatan dan iman, untuk melimpahkan kasih-Nya kepada orang-orang yang mencari-Nya sebagai Penolong dan Juruselamat mereka. Allah begitu berbelas kasih dalam mencurahkan anugerah-Nya bagi Anda, yakni agar Anda mengalami kasih-Nya yang berlimpah itu secara langsung. Anda sudah mendengar banyak tentang itu, sekarang terimalah!

Ayo, hai semua orang yang haus, marilah dan minumlah air, dan hai orang yang tidak mempunyai uang, marilah! Terimalah gandum tanpa uang pembeli dan makanlah, juga anggur dan susu tanpa bayaran! Mengapakah kamu belanjakan uang untuk sesuatu yang bukan roti, dan upah jerih payahmu untuk sesuatu yang tidak mengenyangkan? Dengarkanlah Aku maka kamu akan memakan yang baik dan kamu akan menikmati sajian yang paling lezat. (Yesaya 55:1-2)


1 Luis Palau, “God’s Ocean of Grace,” Pursuit, vol. 4, no. 11.

2 J. I. Packer, Key Bible Themes: Studies of Key Bible Themes (Grand Rapids: Baker, 1981), 94-95.

Related Topics: Devotionals

Kejarlah Anggur Itu!

Related Media

Penerjemah: Yoppi Margianto

Terus-menerus kita harus diingatkan bahwa doa yang diajarkan Tuhan dimulai dengan “Bapa kami” dan bukan “Kebutuhan kami”. Doa melibatkan, yang pertama dan terutama, adalah akses kepada hadirat Allah. C.S. Lewis pun mendapatkan pemahaman yang sama. Ketika mendiskusikan suatu pertanyaan tentang apakah doa bermanfaat, secara halus ia menjelaskan:

“Pertanyaan ‘Apakah doa bermanfaat?’ membawa kita kepada bingkai pemikiran yang salah sejak awal. ‘Manfaat’: seolah-olah itu adalah magic, atau sebuah mesin—sesuatu yang berfungsi secara otomatis. Apakah doa itu ilusi belaka, ataukah suatu hubungan pribadi antara pribadi-pribadi yang tak sempurna (kita) dan Pribadi yang sungguh-sungguh konkrit? Memohon atau meminta sesuatu, sesungguhnya adalah bagian kecil dari doa. Pengakuan dan penyesalan adalah pintu masuknya, pemujaan adalah tempat kudusnya, kehadiran dan visi dan sukacita dari Allah adalah anggurnya. Di dalam doa Allah menunjukkan diri-Nya bagi kita. Bahwa Ia menjawab doa, itu merupakan akibat yang wajar—dan tidak mesti menjadi suatu yang terpenting—dari penyataan diri-Nya. Apa yang dilakukan-Nya dapat kita kenal dari siapa Dia.”1

Di sini tidak dikatakan, ataupun menjadi suatu ide yang didukung Allah, bahwa meminta sesuatu kepada-Nya adalah salah. Tidak sama sekali. Tetapi, bila kita datang kepada-Nya hanya untuk apa yang kita dapat peroleh dari-Nya atau pertama-tama, untuk apa yang dapat Ia berikan kepada kita, itu baru merupakan sebagian kecil dari kekristenan kita. Kesalahan yang sama seperti ini dibuat oleh orang-orang yang gemar akan janji-janji Allah sementara mereka menjauhkan diri dari sang Pemberi janji yang ingin dikenal secara pribadi sebagai Satu yang Setia. Orang-orang ini menginginkan pemberian, bukan menginginkan Pemberinya. Mereka menjalani pemujaan dan hadirat dan visi Allah untuk sesuatu yang kurang berarti.

Karena itu, makna doa sesungguhnya adalah mengenal-Nya secara intim. Memang jawaban atas doa itu diperlukan, tetapi terlebih penting adalah persekutuan kita dengan-Nya dan sukacita akan hadirat-Nya. Persekutuan kita dengan-Nya, berakar dari pemahaman kita akan Dia. A.W. Tozer berkata:

“Apa yang terlintas di pikiran kita ketika kita memikirkan tentang Allah adalah hal yang terpenting dari kita… Pertanyaan yang paling penting bagi gereja selalu adalah Allah sendiri, dan kenyataan yang paling penting bagi setiap manusia bukanlah bahwa ia dapat berkata atau berbuat ini itu, melainkan bagaimana pemahamannya akan Allah… Yang selalu menjadi hal yang terlihat jelas tentang gereja adalah ide tentang Allah, sama seperti pesan gereja yang paling penting juga adalah tentang Dia… Bila kita dapat meringkas jawaban yang lengkap dari siapapun atas pertanyaan, ‘Apa yang terlintas di pikiranmu ketika engkau memikirkan tentang Allah?’, maka kita akan mampu memastikan masa depan rohani dari orang itu. Bila kita mampu mengetahui dengan tepat apa yang dipikirkan oleh pemimpin-pemimpin gereja kita yang paling berpengaruh, kita akan mampu dengan akurat meramalkan bagaimana gereja kita akan berdiri di masa datang.”2

Pemahaman kita akan Allah adalah sungguh-sungguh penting bagi hubungan kita dengan-Nya, dan terutama bagi kehidupan doa kita. Doa dibawa kepada Allah dalam iman. Iman yang bertumbuh, bergantung pada pemahaman kita akan Allah. Karena itu, semangat doa kita bergantung secara langsung pada pemikiran dan pengenalan kita secara pribadi akan Allah.

Hal ini mungkin menjawab pertanyaan mengapa hanya ada sedikit doa yang sejati di dalam gereja kita hari-hari ini. Kita tidak tekun memikirkan tentang Allah kita, dan bahkan menurut polling penginjilan yang terbaru, kita juga tidak serius memikirkan tentang Dia.3

Di sini saya tidak memaksudkan “pengenalan” sebagai penguasaan sistematis akan garis besar teologis dan rinciannya, meskipun hal itu jelas diperlukan. Melainkan, saya maksudkan sebagai suatu pemahaman yang dalam dan teologis akan Allah, diri kita dan dunia kita, sebagaimana yang diserap oleh hati kita melalui pelajaran Alkitab, meditasi, doa dan penyembahan, dan saat-saat pencobaan.

Namun ingatlah bahwa jarak antara kepala dan hati manusia hanya sekitar 12 inci, dan saluran yang menghubungkan keduanya tidaklah lebih lebar dari sebatang jerami. Solusinya adalah: Bertobat dan percayalah!—Percaya yang dinyatakan dalam ketaatan kepada Allah atas firman-Nya. Kita juga harus merefleksikan apa yang dikatakan para pengajar kita di gereja tentang Allah baik dahulu maupun sekarang. Namun kita harus melakukan semua itu dengan kerendahan hati dan meditasi yang cukup, tidak hanya kita memenuhi otak kita dengan pengetahuan, tetapi kita sungguh-sungguh ditarik ke dalam pengalaman yang lebih jauh, dalam persekutuan kita dengan Juruselamat kita! Kita harus mengejar Allah yang terutama! Kita harus mengejar anggur itu, seperti dikatakan oleh C.S. Lewis. Tertarikkah Anda akan hal itu?


1 C. S. Lewis, “The Efficacy of Prayer,” dalam Fern-seed and Elephants and Other Essays on Christianity, ed. Walter Hooper (Glasgow: Collins, 1975), 101.

2 A. W. Tozer, Knowledge of the Holy (Harper & Row, San Francisco, 1961), 1-2.

3 Lihat Os Guinness, Fit Bodies, Fat Minds: Why Evangelicals Don’t Think and What To Do about It (Grand Rapids: Baker, 1994); Mark Noll, The Scandal of the Evangelical Mind (Grand Rapids: Eerdmans, 1994).

Related Topics: Prayer, Devotionals

Kasih Allah: Lagu Kita yang Abadi!

Related Media

Penerjemah: Yoppi Margianto

Hati Allah penuh dengan kasih dan di pusat hati-Nya itu berdiri salib. Salib itu—barang yang hina yang dipakai Allah untuk memenuhi tuntutan hukum-Nya sendiri (yakni, kekudusan-Nya), telah menjangkau kita orang-orang berdosa ini. Hukum Allah telah menetapkan bahwa hukuman atas dosa adalah maut (Roma 6:23). Karena itulah Kristus membayar hukuman itu menggantikan tempat kita. Rasul Yohanes berkata, “Inilah kasih itu: Bukan kita yang telah mengasihi Allah, tetapi Allah yang telah mengasihi kita dan yang telah mengutus Anak-Nya sebagai pendamaian bagi dosa-dosa kita” (1 Yohanes 4:10). Paulus pun berkata, “Akan tetapi Allah menunjukkan kasih-Nya kepada kita, oleh karena Kristus telah mati untuk kita, ketika kita masih berdosa” (Roma 5:8). Petrus juga mengatakan hal yang sama, “Sebab juga Kristus telah mati sekali untuk segala dosa kita, Ia yang benar untuk orang-orang yang tidak benar, supaya Ia membawa kita kepada Allah” (1 Petrus 3:18).

Yesus Kristus hidup dengan sempurna dan tanpa dosa (Ibrani 4:15) dan dengan taat memberikan nyawa-Nya kepada Allah sebagai tebusan bagi banyak orang (Markus 10:45). Tuntutan yang sempurna dan utuh dari hukum Taurat telah dipenuhi di dalam Dia, dan kematian-Nya membayar hukuman atas dosa-dosa kita (Ibrani 9:28). Murka Allah telah benar-benar dipuaskan, dan kasih-Nya mengalir dengan bebas ke atas tanah yang telah tertumpah dengan darah itu. Kasih Allah dinyatakan dalam anugerah dan belas kasih-Nya yang dicurahkan-Nya dengan berlimpah atas orang-orang pilihan-Nya (Efesus 1:4). Dia berjanji untuk menyambut dan memeluk dengan kasih, semua orang yang datang kepada-Nya dalam iman.

Karena itulah, kita harus percaya hanya kepada-Nya demi keselamatan kita dan hidup kekristenan kita. Sebagaimana dikatakan Paulus, “Aku hidup, tetapi bukan lagi aku sendiri yang hidup, melainkan Kristus yang hidup di dalam aku. Dan hidupku yang kuhidupi sekarang di dalam daging, adalah hidup oleh iman dalam Anak Allah yang telah mengasihi aku dan menyerahkan diri-Nya untuk aku” (Galatia 2:20). Dia telah mati untuk semua orang, supaya mereka yang hidup, tidak lagi hidup untuk dirinya sendiri, tetapi untuk Dia, yang telah mati dan telah dibangkitkan untuk mereka (2 Korintus 5:15; lihat juga Yohanes 14:21-23, 15:10). Betapa luar biasa kasih itu! Betapa luar biasa belas kasihan itu! Betapa kasih Allah telah menarik hati kita, memuaskan jiwa kita yang merana, dan memenuhi keberadaan kita dengan pengharapan yang kekal!

Ketika Louis Lawes menjadi sipir Penjara Sing Sing di tahun 1920, penghuni penjara semuanya dalam keadaan yang menyedihkan. Kondisi ini mendorongnya untuk membuat suatu gerakan kemanusiaan. Ia membawa juga isterinya, Kathryn, untuk membantu merawat para narapidana ini secara manusiawi. Kathryn sering membawa ketiga anaknya untuk duduk bersama para gangster, para pembunuh, dan pemeras, dan bersama-sama mereka sering bermain basket dan bisbol.

Tahun 1937, Kathryn tewas dalam kecelakaan lalulintas. Keesokan harinya jenazahnya dibaringkan di dalam peti di rumahnya, kira-kira seperempat mil jaraknya dari penjara itu. Pada waktu sang sipir mendapati bahwa para narapidana telah berkerumun di sekitar gerbang utama penjara tersebut, ia segera mengetahui apa yang mereka inginkan. Setelah membuka pintu gerbang, ia berkata, “Saudara-saudara, aku percaya kepada kalian. Kalian boleh pergi ke rumahku.” Tidak ada pengawas, tidak ada penjaga. Namun tidak ada seorangpun yang menggunakan kesempatan untuk melarikan diri malam itu. Kasih terhadap orang yang mengasihi mereka telah membuat mereka menjadi orang-orang yang dapat dipercaya.

Begitu juga dengan kasih Allah yang telah dicurahkan di dalam hati kita (Roma 5:5). Karena desakan kehadiran Allah dengan kasih-Nya di dalamku, aku sungguh tidak dapat meneruskan kejahatanku dan jalan-jalanku yang berdosa. Kasih-Nya yang kekal itulah yang telah menenangkan hatiku yang gelisah, meredam kekerasan hatiku, mendorongku untuk menerima rancangan-Nya atas hidupku. Kasih-Nya membawaku masuk ke dalam tempat kudus-Nya, di mana aku menemukan kesembuhan yang sejati, pertolongan yang kekal, dan pengharapan yang pasti. Kasih Bapa yang begitu besar itulah yang mengutus Kristus sampai kepada salib demi aku, menanggung hukuman yang didatangkan oleh dosaku. Sudahkah aku percaya hanya kepada-Nya untuk pengampunanku? Ataukah aku tetap menunda keputusan itu? “Sekarang telah tiba waktu keselamatan itu,” kata Paulus. Maukah Anda percaya Kristus hari ini? Sekarang juga?

Banyak orang mengatakan bahwa mereka telah menanggapi kasih Kristus, tetapi kenyataannya mereka masih hidup jauh dari-Nya. Sebagaimana dalam hubungan yang lainnya, pilihan yang kita buat seringkali memisahkan kita dari orang yang sangat mengasihi kita dan dengan tulus menghendaki kehadiran dan persahabatan kita. Selama kita tidak mempedulikan ajakan Allah untuk bersahabat dengan-Nya, dengan mengejar agenda kita sendiri, rencana dan jadwal-jadwal kita sendiri, sesungguhnya kita sedang menjauhkan diri kita dari-Nya, menghempaskan pengharapan kita, dan menutup rapat masa depan kita dari campur tangan-Nya.

Jadi hati-hatilah supaya Anda tidak “bermain-main” dalam mempercayai Kristus. Orang-orang seperti ini adalah seumpama gadis muda yang sedang didekati oleh seorang pria yang sangat mencintainya. Ketika keduanya duduk bersama memandangi danau yang indah, pria muda itu mengungkapkan isi hatinya kepadanya: “Sayang,” katanya, penuh kasih sayang, “Aku ingin engkau tahu bahwa aku mencintaimu lebih daripada apapun di dunia ini. Aku ingin menikah denganmu. Aku bukan orang kaya; aku tidak punya kapal pesiar atau Rolls-Royce seperti Johnny Brown,1 tetapi aku mencintaimu dengan segenap hatiku.” Sang gadis berpikir beberapa saat, kemudian membalas, “Aku mencintaimu juga dengan sepenuh hatiku, tetapi tolong ceritakan kepadaku tentang Johnny Brown.” Kasih Kristus memanggil kita kepada kesetiaan, dan seperti para narapidana di Sing Sing, kasih itu akan menghasilkan ketaatan sejati di dalam diri kita. Orang-orang yang telah mengecap kasih Kristus tidak akan tertarik lagi dengan pembicaraan tentang Johnny Brown!

Kasih Allah amat besar

Dan tak dapat dilukiskan,

Lebih tinggi dari bintang

Namun mencapai dunia;

Mengaruniakan Anak-Nya,

Memberi kemenangan,

Mendamaikan dan mengampuni

Orang-orang berdosa.

 

Walau dengan dawat selaut

Langit dijadikan kertas,

Tiap batang sebagai pena

Dan tiap orang penulis,

Tak mungkin akan melukiskan

Kasih Allah yang besar,

Langit dari timur ke barat

Tak akan memuatnya

 

Kasih Allah tak terduga!

Betapa kayanya!

Tetap dinyanyikan malak

Dan saleh-saleh-Nya.2


1 Johhny Brown adalah selebriti legendaris Amerika Serikat, asal Texas

2 F. M. Lehman, The Love of God, 1917; dikutip dalam Bill Hybels, Courageous Leadership (Grand Rapids: Zondervan, 2002), 78.

Related Topics: Devotionals

Dia Berkemah di Tengah-tengah Kita

Related Media

Penerjemah: Yoppi Margianto

Baru-baru ini ketika kepolisian reserse anti narkoba mengadakan suatu penggeledahan di sebuah apartemen di daerah kumuh kota New York, mereka menyaksikan langsung suatu “Opera Pengemis”. Setiap meter persegi dari apartemen yang panjang dan kotor itu dipenuhi dengan para gelandangan yang tidur di lantai, atau duduk berimpitan di sudut ruangan; samar-samar di atas langit-langit tertempel hiasan kertas; rupanya di siang hari tempat itu dijadikan arena dansa. Sesudah menggeledah orang-orang, polisi menahan enam orang yang kedapatan membawa jarum suntik dan beberapa paket heroin; mereka juga menahan pemilik apartemen, seorang pria yang kurus dan tenang, dengan tuntutan menyembunyikan pemakai narkoba di apartemennya.

Di kantor polisi, pria kurus tersebut menyatakan bahwa ia sebenarnya adalah orang yang baik-baik, namun ia lebih memilih untuk hidup di antara para gelandangan agar ia dapat menyediakan mereka makanan, pakaian dan tempat berlindung. Apartemennya terbuka bagi semua orang, demikian katanya, termasuk kalangan minoritas pengguna narkoba, karena ia tidak tahu bahwa memberi sandang dan pangan bagi orang-orang yang terikat dengan narkoba adalah perbuatan melanggar hukum. Setelah menyelidiki riwayat hidupnya, polisi mendapatkan bahwa pria ini bukan seorang gelandangan maupun pengguna narkoba. Dia adalah John Sargent Cram, seorang kaya yang telah mengajar di Princeton dan Oxford, yang keluarganya telah lemah dikenal karena paham filantropis mereka (cinta akan sesama). 1

Demikian juga dengan Allah di dalam Kristus. Dia juga, meskipun kekayaannya sungguh tak terukur, telah meninggalkan kediaman-Nya yang permai untuk tinggal di antara gelandangan, kaum miskin, dan kaum tertolak di muka bumi ini. Ia meninggalkan istana emas-Nya untuk melangkah di jalan-jalan berlumpur… dan Ia melakukan itu untuk menyelamatkan kita (Gal 1:4). Ia meninggalkan daerah yang bebas narkoba untuk tinggal dengan para penjual pil dan paket heroin, agar dapat memberi mereka makanan, pakaian dan menebus mereka. Seperti dikatakan Yohanes, Yesus diam (berkemah) di antara kita, dan kita telah melihat kemuliaan-Nya, yaitu kemuliaan yang diberikan kepada-Nya sebagai Anak Tunggal Bapa, penuh kasih karunia dan kebenaran (Yoh 1:14).

Pernahkah Anda merenungkan dengan sungguh-sungguh peristiwa inkarnasi itu, yakni bagaimana Allah rela mengenakan tubuh manusia yang fana untuk dapat hidup di antara tangan-tangan yang kotor dan hati yang ternoda? Sungguh merupakan hal yang mengagumkan sekaligus misteri bahwa Allah sendiri mengunjungi planet-Nya dan berkemah di tengah-tengah kita—di antara kaum Farisi, pemungut cukai, pelacur, orang-orang miskin. Seperti warna matahari tenggelam, jingga, oranye dan biru, kenyataan akan inkarnasi adalah sungguh menakjubkan dan benar-benar suatu misteri. Bahwa Tuhan kita mau meninggalkan kekayaan-Nya untuk makan dengan orang-orang di jalanan adalah sungguh-sungguh mengherankan dan di luar pemahaman kita.

Hari ini, sementara Anda menjalankan urusan Anda, pikirkanlah dalam-dalam tentang Yesus Kristus, terutama tentang harga yang Ia bayar untuk tinggal di antara kita sebagai Allah dan juga manusia. Tanyakanlah diri Anda beberapa pertanyaan ini: (1) Apa yang telah aku berikan bagi-Nya? (2) Apa yang harus kuperbuat setelah menyadari bahwa Anak Allah yang kekal itu telah selamanya mengenakan pakaian kemanusiaan bagi diri-Nya? Pernahkah Anda menyadari hal itu? Pribadi kedua dari Trinitas akan selamanya berjalan bersama kita sebagai Anak Allah yang berinkarnasi? Tidak akan pernah Ia menanggalkan kembali tubuh kemuliaan-Nya itu. (3) Apa yang aku dapatkan dari inkarnasi tentang kerinduan Allah untuk bersekutu denganku? (4) Bagaimana kedatangan Yesus yang pertama ini menjadi suatu penyataan tentang siapa Allah, namun sekaligus suatu yang terselubung? (5) Apa yang kuperoleh dari inkarnasi tentang pandangan Allah akan penciptaan? (6) Bagaimana seharusnya aku menyembah Allah setelah memahami akan inkarnasi?


1 Charles R. Swindoll, ed. The Tale of the Tardy Oxcart and 1,501 Other Stories (Nashville: Word, 1998), 111.

Related Topics: Devotionals, Incarnation

Bukan Kehendak-Ku, Melainkan Kehendak-Mu yang Jadi!

Related Media

Penerjemah: Yoppi Margianto

Kehendakku Mungkin Saja Buruk

Saya senang menemani anak-anak saya dalam kegiatan ekstra kurikuler mereka. Saya sangat antusias memperhatikan mereka belajar dan berkembang, dan untuk menghibur mereka—ini adalah waktu luang yang paling saya rindukan. Saya memperhatikan mereka berenang, bermain hoki, mengendarai kuda, latihan beladiri, dll. (Saya punya empat anak, sehingga banyak sekali kegiatan yang harus saya hadiri). Sungguh itu merupakan suatu sukacita bagi saya.

Suatu kali, saya mengikuti kelas beladiri anak saya, dan dari dekat saya memperhatikan dengan seksama ia mempelajari beberapa teknik yang baru untuk menahan serangan musuh, melalui tendangan dan lain-lain. Sebelumnya memang ia telah meminta saya untuk mengambil tempat duduk yang terdekat, karena ia akan mempelajari beberapa “gerakan” yang baru. Pertunjukan sabuk hitam tersebut sangat mengesankan, namun yang lebih mengesankan bagi saya adalah bagaimana anak saya begitu maju kemampuannya dalam membuat gerakan-gerakan yang sulit. (Saya tidak sedang menyanjung sebagai ayahnya lho!)

Sementara saya duduk di sana, tidak jauh dari situ, sambil menikmati beberapa kegiatan di lantai gym, seorang anak berusia 3 atau 4 tahun mulai merengek meminta sesuatu kepada ibunya. Ibunya berkata, “Tidak,” dan matanya diarahkan kembali kepada anaknya yang lain yang sedang berlatih keras Tae Kwon Do. Tetapi ternyata “tidak” bukanlah jawaban yang tepat. Dapat Anda membayangkannya? Sekali lagi sang ibu memberikan anaknya yang kecil itu jawaban “tidak”, tetapi tampaknya sang anak tidak mempedulikan.

Dalam hitungan detik, bencana pun terjadi. Dengan mantap—di dalam jeritan dengan desibel yang terus naik karena semua anak kecil pasti tahu bahwa para orangtua biasanya tuli—anak itu memohon dengan sangat untuk keinginan hatinya, yakni, mainan anak yang lain. Sekali lagi, tetapi kali ini seperti halilintar yang menyambar, keluar lagi respons yang tegas, “Tidak!” “Ada apa dengan kamu? Apakah kamu tidak mengerti bahasa Inggris?” Sang ibu mengingatkan anaknya bahwa mainan itu bukan miliknya, melainkan milik orang lain.

Sang anak berlari ke tangga, menjerit, berteriak sekuat-kuatnya, tampaknya ia telah terlatih untuk itu. Sungguh luar biasa suara yang diciptakan oleh seorang anak kecil! Ia berguling-guling di lantai, berputar-putar, menolak jawaban “tidak” tadi. Sang ibu menjadi sangat malu untuk memberikan jawaban itu lagi. Wajahnya tiba-tiba menjadi penuh dengan warna, yang berubah-ubah seperti warna daun-daun di musim gugur di New England. Saya ingin membantu, tetapi saya takut keterlibatan saya itu malah akan membuat kejadian menjadi lebih buruk. Beberapa orangtua yang peduli pun hanya dapat memandang tanpa daya. Yang lain hanya memperhatikan apa yang akan terjadi kemudian. Apakah kami akan menjadi saksi suatu peristiwa pembunuhan? Yang lainnya lagi—yakni para wanita yang baik hati dan penuh perhatian—berinisiatif melakukan operasi penyelamatan. Saya rasa mereka mengetahui lebih baik daripada orang lain, tentang penderitaan sang ibu.

Peperangan itu terus berlanjut beberapa saat lamanya, Tetapi, sang ibu pun tidak dapat mengubah suasanan. Anak itu terus menjerit sampai terbatuk-batuk. Sang ibu pun pergi sambil menarik anaknya ke balik pintu. Saya tidak tahu apa yang terjadi kemudian pada anak itu… saya tidak tahu apakah saya akan melihatnya lagi…

Tepat setelah pintu tertutup, seorang pria berjalan ke arah saya dan duduk di sebelah saya. Ia mengucapkan kata-kata sindiran tentang cara ibu tadi mengatasi masalah dan menjamin saya bahwa jika itu terjadi dengan anak-nya, pasti tidak seperti itu. Ketika ia menyadari bahwa saya tidak memujinya untuk hikmat yang ia miliki—karena saya sedang memikirkan ibu yang malang tadi—dengan cepat ia mengalihkan pembicaraan. Saya tidak bermaksud untuk menjadi orang yang acuh, tetapi sungguh-sungguh saya tidak ingin berbicara saat itu, karena saya sedang memfokuskan perhatian saya pada anak saya dan menunjukkan kepadanya bahwa saya memperhatikan setiap gerakannya yang hebat.

Pria di sebelah saya terus berbicara, kali ini tentang politik. Pertama ia memberikan kuliah tentang perang Irak, dan mengapa seharusnya perang itu ditanganani secara berbeda. Tampaknya ia memiliki segala maca jawaban untuk persoalan politik luar negeri A.S. Seandainya pemerintah mencari nasihat kepada orang ini…

Namun, ia kecewa dengan Pemerintah dan bahkan lebih kecewa lagi dengan kurangnya keterlibatan Kanada di Irak. Saya membuat sedikit saja komentar yang akhirnya ia kritik juga sebagai pernyataan yang tidak relevan dan keluar dari topik—meskipun saya tidak menyanggah pendapatnya tentang Kanada. Sejak itu saya berusaha bersikap lebih baik, mengangguk setuju dengan kata-katanya, padahal saya hanya berpura-pura mendengar. Saya berusaha untuk memperhatikan anak saya namun pria ini membuat situasi menjadi jauh lebih parah daripada kejadian ibu dan anak barusan. Seandainya saya bisa memilih di antara keduanya… Anda pasti tahu jawaban saya…

Kedua, ia mulai berbicara tentang agama, agama apa saja. Ia sangat marah dengan gereja Katholik, memaki-maki Paus, mengatakan bahwa ia dan agamanya tidak lebih daripada “mesin pencetak uang”. “Mereka ada hanya untuk menguras saku Anda,” kritiknya, “padahal, apa yang telah mereka lakukan untuk saya?” Namun ia cepat menambahkan, bahwa dia juga masih seorang Kristen sejati. Lalu ia mengatakan lagi, terdapat tiga jenis manusia yang pasti akan dilempar ke neraka: (1) politikus; (2) semua atlet profesional, dan, tentu saja (3) pengacara (Malang nian nasib pengacara!). Ia berkata bahwa mereka semua memiliki satu kesamaan: suka mencuri, menipu, dan memperkaya diri dari orang lain. Ketika saya menanggapi bahwa ia tidak menyebutkan satu jenis dosa, melainkan tiga, dengan cepat ia menjawab bahwa dalam kenyataannya ketiga jenis dosa ini merupakan satu paket!

Apapun yang saya katakan untuk membantunya memahami bahwa saya hanya ingin memperhatikan anak saya, ia tetap memaksa saya untuk memberi perhatian yang cukup bagi jiwanya yang sedang emosi. Seolah-olah ia mencekik leher saya dan memaksa saya untuk memberi telinga kepada permasalahannya, keluhan-keluhannya, dan pendapatnya. Itu merupakan suatu pengalaman yang menyesakkan, sampai rasanya saya sulit menghirup udara.

Mungkin Anda bertanya mengapa saya menggabungkan kisah tentang jeritan seorang anak yang memekakkan telinga dan seorang dewasa yang menjengkelkan. Ini yang hendak saya sampaikan: baik kita berusia tiga atau tiga puluh tahun, permintaan yang berpusat pada diri sendiri adalah sama buruknya! Sungguh! Dan bila kita melakukan hal itu kepada orang lain, pasti kita juga melakukannya kepada Tuhan.

Bukan Kehendakku, Melainkan Kehendak-Mulah yang Jadi!

Pernahkah Anda menghadap Allah dan tanpa malu meminta sesuatu dari keinginan Anda sendiri? Apakah Anda pernah mencekik leher Allah, kalau saya istilahkan, dan meminta-Nya untuk membereskan kehidupan Anda? Pernahkah Anda meminta supaya Ia datang melayani Anda, atau yang lain…? Jangan salah paham dulu. Saya tidak sedang berbicara tentang suatu doa yang terus-menerus, murni dan keluar dari hati. Melainkan saya sedang berbicara tentang suatu pemberhalaan. Saya sedang berbicara tentang, “Pokoknya aku ingin itu. Titik!”

Kita semua pernah—atau barangkali sekarang ini—dengan tangan kita yang kotor, memegang erat anak kita, harta benda, uang, harapan, dan hasrat-hasrat kita, kemudian meminta Allah supaya mendukung agenda kita, dan tak putus-putusnya “mengundang”Nya untuk memberkati ambisi-ambisi kita. Kita semua mirip baik dengan anak kecil itu maupun pria dewasa itu: kita memiliki keinginan kemudian kita meminta-minta kepada orang lain untuk meluluskan keinginan kita, termasuk kepada Allah.

Tetapi sikap seperti ini bukanlah pola kehidupan Kristen yang ditunjukkan Tuhan kepada kita dan yang Ia kehendaki dari kita. Ia menikmati suatu damai sejahtera yang tak tercemar dan tak terputus dalam hubungan dengan Allah, karena ia telah belajar tentang ketaatan melalui penderitaan-Nya (Ibrani 5:8). Ia tidak memalingkan hati-Nya dari Allah dalam suatu permintaan atau kemarahan, melainkan Ia berserah kepada Dia yang mengasihi-Nya. “Dalam hidup-Nya sebagai manusia, Ia telah mempersembahkan doa dan permohonan dengan ratap tangis dan keluhan kepada Dia, yang sanggup menyelamatkan-Nya dari maut, dan karena ketaatan-Nya (bahasa Inggris: His reverent submission) Ia telah didengarkan.” (Ibrani 5:7).

Apakah “ketaatan” merupakan pola kehidupan kita? Berdasarkan Alkitab saya berani mengatakan bahwa ini adalah pola yang dirindukan Tuhan untuk dijalankan di dalam kehidupan Anda sekarang, supaya surga tidak menjadi suatu tempat yang aneh bagi Anda di kemudian hari. Neraka penuh dengan keinginan manusia, sedangkan surga penuh dengan kehendak-Nya. Neraka adalah tempat di mana orang bebas untuk melanjutkan pemberontakannya, tetapi ketahuilah dengan pasti bahwa “tidak ada damai sejahtera bagi si jahat.” Surga adalah bagi orang-orang yang telah melewati Getsemani bersama dengan Tuhan mereka dan yang telah mengatakan, “Bukan kehendakku, melainkan kehendak-Mulah yang jadi, ya Tuhan!” Hal yang ganjil tentang ketaatan adalah dalam proses tersebut kita akan benar-benar menjadi manusia sejati. Dan apabila kita menolak untuk tunduk, mengangkat tangan kita terkepal ke udara, maka kita menjadi buruk dan jauh dari manusia sejati.

Sangat luar biasa dan mengguncangkan bumi, ketaatan Tuhan kepada Bapa-Nya seperti yang dinyatakan oleh gereja melalui kisah, pengajaran, puisi, penglihatan dan nyanyian. Barangkali salah satu lagu yang terbaik adalah Himne Kristus di dalam Filipi 2:5-11:

2:5 Hendaklah kamu dalam hidupmu bersama, menaruh pikiran dan perasaan yang terdapat juga dalam Kristus Yesus,

2:6 yang walaupun dalam rupa Allah

tidak menganggap kesetaraan dengan Allah itu

sebagai milik yang harus dipertahankan,

2:7 melainkan telah mengosongkan diri-Nya sendiri

dan mengambil rupa seorang hamba,

dan menjadi sama dengan manusia.

2:8 Dan dalam keadaan sebagai manusia,

Ia telah merendahkan diri-Nya dan taat sampai mati,

bahkan sampai mati di kayu salib.

2:9 Itulah sebabnya Allah sangat meninggikan Dia

dan mengaruniakan kepada-Nya nama di atas segala nama,

2:10 supaya dalam nama Yesus

bertekuk lutut segala

yang ada di langit dan yang ada di atas bumi dan yang ada di bawah bumi,

2:11 dan segala lidah mengaku:

Yesus Kristus adalah Tuhan,

bagi kemuliaan Allah, Bapa!

Himne tua ini—yang mungkin telah dinyanyikan di dalam gereja sebelum Paulus menuliskannya—adalah tentang penderitaan dan kemuliaan Kristus. Lagu itu dimulai dengan perintah untuk membiarkan semangat dari himne tersebut terserap sampai tulang-tulang Anda, dan untuk membiarkan kehendak Allah bergerak bebas melalui urat darah Anda, bahkan bila untuk itu Anda harus membayar dengan hidup Anda (ay. 5).

Lagu itu dapat dibagi menjadi dua bagian utama, ay. 6-8 dan ay. 9-11, yang bersama-sama membangun tema kembar tentang penderitaan dan peninggian. Di dalam 2:6-8 melodi himne itu memperdengarkan suatu catatan pahit-manis tentang ketaatan Kristus, penderitaan dan pengosongan diri-Nya. Di dalam 2:9-11, himne itu bergulir dengan suara kemenangan, yang mengisi ruangan dengan musik yang manis tentang peninggian Kristus dan kuasa yang diberikan kepada-Nya. Apakah Anda melihat pola itu? Pertama, ketaatan melalui penderitaan, kemudian peninggian yang mulia melalui kuasa Allah.

Apakah Anda memperhatikan pernyataan “bahkan sampai mati di kayu salib” di ay. 8? Tampaknya ini merupakan tambahan dari Paulus sendiri terhadap himne itu dan dengan jelas memfokuskan perhatian kita tidak hanya pada kesediaan Yesus untuk mati, yang menggambarkan suatu kedalaman yang tak terukur akan kesalehan dan kesetiaan-Nya yang tak pernah padam (Ibrani 12:2), melainkan juga kesediaan-Nya untuk menanggung malu dan penghinaan akan salib. Ia dihukum mati sebagai seorang kriminal. Dan kehinaan akan kematian-Nya itu menarik perhatian khusus kepada keindahan yang mulia dan kekuatan dari ketaatan-Nya sebagai seorang Anak di Getsemani. Perang di Golgota telah dimenangkan bukan di bukit itu, melainkan di taman di malam sebelumnya: “Bukan kehendak-Ku, melainkan kehendak-Mulah yang jadi!” Sungguh, apa yang telah hilang di taman (Eden) kini telah kembali—bahkan lebih—juga di taman.

Saya tidak tahu apakah saya akan bertemu dengan anak itu lagi. Barangkali… bila saya sering pergi ke Tae Kwon Do dojang, mungkin dia akan ada di sana bersama dengan ibunya. Saya juga tidak tahu apakah saya akan bertemu dengan pria dewasa itu lagi. Satu hal yang pasti, Allah telah memakai mereka berdua di dalam hidup saya hari itu. Melalui mereka Tuhan menunjukkan betapa kuatnya hati saya melekat pada mainan saya dan betapa saya hanya ingin untuk didengarkan. Melalui mereka Tuhan memperlihatkan saya keburukan dari dosa dan pemberontakan saya. Barangkali Ia juga memperlihatkan kepada Anda hal yang sama…

Tuhan, terima kasih untuk belas kasih-Mu yang begitu indah dan kasih-Mua yang tak pernah putus. Yesus aku bersyukur karena bukan hanya kematian-Mu menyelamatkan aku, melainkan juga memberikan kepadaku suatu pola kehidupan. Engkau telah memanggilku kepada suatu kehidupan yang dipenuhi dengan jawaban “ya” bagi-Mu dan “tidak” bagi keinginanku sendiri. Maka itu aku menyerah kepada-Mu. Tuhan, apapun yang Engkau ingini, dengan anugerah-Mu akan kulakukan. Aku hanya ingin menyukakan-Mu. Aku mengasihi-Mu Bapa dan aku menyerahkan hatika kepada-Mu. Terima kasih untuk sukacita berjalan dalam hadirat-Mu!

Related Topics: Theology Proper (God), Devotionals

Mengapa Tergesa-gesa? Tenanglah dan Bicaralah

Related Media

Penerjemah: Yoppi Margianto

(So What’s the Rush? Stay and Talk)

Taman Nasional Amerika Serikat dikunjungi oleh 250 juta orang setiap tahunnya. Para pengunjung umumnya adalah para pelancong, yang datang untuk melihat-lihat. Di tahun 1983, waktu rata-rata yang dihabiskan orang untuk berkunjung ke empat puluh delapan taman nasional yang ada rata-rata adalah empat jam setengah, termasuk Taman Nasional Yosemite, Sequoia, Yellowstone atau Glacier. Khusus untuk Taman Nasional Isle Royale waktu kunjungannya adalah empat hari, mungkin karena lokasinya yang begitu jauh. Biasanya orang-orang begitu terburu-buru untuk keluar masuk pegunungan yang menakjubkan ini, dan tidak ada waktu jeda untuk berhenti, memandangi, mendengarkan dan mencium aroma keindahan pegunungan, sungai dan dataran tinggi.

Percakapan kita dengan Allah pun seringkali seperti itu. Kita begitu terburu-buru, kita mengarungi kerohanian kita seperti kita masuk restoran McDonald. Dan kita seringkali tidak dapat menikmati kemuliaan Allah karena sikap kita yang tergesa-gesa itu.

Sikap kita yang tergesa-gesa itu didorong oleh pemahaman kita yang lemah akan keindahan dan kebaikan Allah. Dalam budaya yang tidak henti-hentinya digerakkan oleh hiruk pikuk duniawi ini, doa-doa kita pun kita naikkan dengan ragu-ragu, sekali-sekali saja, dan tanpa didasari oleh pengetahuan kita akan Allah. Itulah sebabnya ketika Yesus mengajarkan tentang doa—karena Ia pun harus berurusan dengan masalah yang sama dengan yang kita hadapi sekarang—Ia menghabiskan energi yang lumayan untuk menjelaskan sifat Allah yang baik.

Waktu-waktu doa kita tak ubahnya seperti sebuah perhentian pada arena balap mobil. Kita enggan untuk berjalan-jalan dengan sukacita menikmati taman yang indah di sore hari di musim semi. Apakah Kristus mengajarkan kita untuk berdoa sekali-sekali saja? Tidak sama sekali! Dia memberikan contoh yang justru sebaliknya. Ia berdoa secara konstan dan untuk periode waktu yang lama. Pengabdian-Nya dalam doa dan hubungan-Nya dengan Bapa, itulah yang membuat penulis surat Ibrani—mungkin mengacu pada tradisi gereja mula-mula mengenai pelayanan Kristus selama di bumi, termasuk di Getsemani—begitu terdorong untuk menulis, “Dalam hidup-Nya sebagai manusia, Ia [Yesus] telah mempersembahkan doa dan permohonan dengan ratap tangis dan keluhan (KJV: prayers and supplications with strong crying and tears) kepada Dia, yang sanggup menyelamatkan-Nya dari maut, dan karena kesalehan-Nya Ia telah didengarkan.” (Ibrani 5:7)

Mari kita bahas sedikit tentang Ibrani 5:7 ini. Penekanannya adalah pada pembacaan yang luar biasa mengenai kemanusiaan Kristus, bahwa Ia adalah manusia sejati—seperti kita, namun tanpa dosa—dan Ia membutuhkan persekutuan dengan Bapa. Ia berdoa secara konstan, sungguh-sungguh dan dengan penuh konsentrasi dan kesadaran akan Allah. Istilah “permohonan” (supplication) berbicara lebih kuat dibandingkan “permintaan” (request). Beberapa sarjana PB menghubungkannya dengan praktik kuno berupa menggenggam batang zaitun sebagai tanda permohonan.1 Selanjutnya, “ratap tangis dan keluhan” (KJV: “strong crying and tears”) berbicara tentang kesedihan yang mendalam, pergumulan dan perasaan penundukan diri yang begitu dalam kepada kehendak Allah. Tradisi rabi mengungkapkan bahwa “terdapat tiga macam doa, masing-masing lebih tinggi daripada tingkatan di bawahnya: doa, tangisan, dan ratapan (bhs Inggris: prayer, crying, and tears). Doa dilakukan dalam diam; tangisan dengan suara yang terdengar; tetapi ratapan mengatasi segala sesuatu (tidak ada pintu yang tidak dapat dilalui oleh air mata). 2 Akhirnya, meskipun Getsemani adala suatu contoh yang paling baik dari Ibrani 5:7, penulis surat ini berkata bahwa jenis doa ini menggambarkan keseharian kehidupan Yesus. Tuhan kita berdoa dengan serius dan tanpa berhenti; Ia sangat mengasihi Bapa-Nya.

Jadi, bagaimana dengan kita? Apakah kita berdoa secara konstan? Dengan serius? Dengan sepenuh kekuatan? Atau, apakah kita berdoa sesekali saja, jika kita sedang berminat dan tidak ada keyakinan yang sungguh? Jika seperti ini keadaan kita sekarang, jangan menyerah dengan sikap “aku manusia celaka”, karena sikap ini tidak akan menghasilkan apa-apa. Lebih baik, mulailah meminta Allah untuk mengajar Anda berdoa dan berharaplah bahwa Anda dapat banyak belajar. Ini adalah salah satu permasalahan di dalam gereja kita. Kita tidak sungguh-sungguh percaya bahwa doa adalah sesuatu yang harus dipelajari melalui praktik, trial and error. Jika tidak demikian—yakni jika doa bukan sesuatu yang harus dipelajari—maka Yesus tidak akan pernah mengajar murid-murid-Nya untuk berdoa dan mengkritik doa yang salah kaprah (Matius 6:5-15). Memang benar bahwa anak-anak sekalipun dapat dan harus berdoa, tetapi tidak benar bahwa orang dewasa harus tetap menjadi kekanak-kanakan di dalam cara mereka berdoa. Terdapat perbedaan antara sesuatu yang sederhana dan sesuatu yang disederhanakan—dan naif. Yang disebutkan terakhir tidaklah berguna.

Saya ingin memberikan satu contoh yang menggambarkan bagaimana kehidupan Yesus diisi oleh doa yang “terus-menerus”. Kisah ini diambil dari Yohanes 11. Maria dan Martha memberitahu Yesus bahwa saudara mereka, Lazarus—yang dikasihi oleh Yesus—sedang sakit. Lazarus tinggal di Betani di Yudea, dan Yesus mungkin sedang menyeberangi sungai Yordan ke arah timur ketika berita itu sampai kepada-Nya. Tetapi, bukannya berangkat segera untuk menjenguk sahabat-Nya itu, Yesus malah menghabiskan waktu dua hari lagi di tempat Ia berada (11:1-6). Setelah itu baru Ia berangkat ke tempat Lazarus.

Ketika Ia sudah hampir tiba di desa Betani, Ia bertemu dengan Martha dan juga Maria. Ia menghibur mereka karena Lazarus telah mati dan sudah empat hari dikuburkan. Yesus sendiri begitu tergerak hati-Nya dan menangis (11:35). Kemudian Ia pergi ke kubur di mana jenazah Lazarus diletakkan, dan meminta supaya batu itu digulingkan. Sesudah batu digulingkan, Yesus menengadah ke langit dan mengatakan doa yang sangat luar biasa. Bagian doa itu yang begitu menarik bagi saya adalah:

“Bapa, Aku mengucap syukur kepada-Mu, karena Engkau telah mendengarkan Aku” (Yoh 11:41).

Poin yang ingin saya tekankan adalah bahwa tidak ada di dalam bacaan ini dikatakan bahwa Yesus sedang melanjutkan berdoa. Jadi, kapan Allah mendengarkan Dia? Jika itu menunjuk kepada kehidupan doa-Nya di masa lalu, mungkin harus ada kata “selalu” ditambahkan pada kalimat itu: “Bapa, Aku mengucap syukur kepada-Mu, karena Engkau selalu mendengarkan Aku.” Tetapi ternyata bukan begitu. Konteks itu menyatakan sebaliknya, yaitu dari sejak Ia mendengar berita itu, Yesus telah menaikkan doa untuk Lazarus sahabat-Nya itu, dan untuk semua orang yang terlibat, yakni, murid-murid dan teman-teman-Nya.3 Sekarang kita dapat mengambil kesimpulan bahwa, doa-doa Yesus mengenai persoalan ini ini adalah konstan dan barangkali dilakukan dalam diam sepanjang perjalanan-Nya menyeberangi sungai Yordan menuju Betani. Faktanya, Ia mengetahui kapan Lazarus mati (11:11),4 tentunya pengetahuan ini diperolehnya bukan dengan cara-cara manusiawi. Selanjutnya, keyakinan-Nya bahwa Allah menghendaki Lazarus dibangkitkan dari kematian, juga tampaknya dibangun melalui doa dan persekutuan dengan Allah (11:14-15, 23, 40). Dalam setiap kasus, poinnya adalah bahwa Yesus berdoa dengan terus-menerus, dan pola doa seperti itu Ia berikan kepada kita untuk kita ikuti.

Yesus tidak menyerah kepada mentalitas yang tergesa-gesa; Ia tidak terburu-buru untuk mendaki gunung Allah, menyusuri sungai-sungainya, dan seluruh keindahannya.


1 Donald Guthrie, Hebrews, Tyndale New Testament Commentaries, ed. Leon Morris, vol. 15 (Grand Rapids: Eerdmans, 1983), 129.

2 Leon Morris, “Hebrews,” di dalam The Expositor’s Bible Commentary, ed. Frank E. Gaebelein, vol. 12 (Grand Rapids: Zondervan, 1981), 49.

3 Peristiwa tersebut dirancang untuk membangun iman para murid (11:14-15) termasuk Maria dan Martha (11:17-37).

4 Meskipun di dalam bacaan tersebut tidak disebutkan bahwa Lazarus telah mati, seolah-olah Yesus hanya tahu bahwa Lazarus sakit.

Related Topics: Prayer, Devotionals

Bagaimana Mengajar Alkitab: Untuk Pemula

Related Media

Translated by Berens

Pendahuluan

Kalau kemampuan mempelajari Firman Allah, memahaminya, dan memberi respon atas kebenarannya merupakan satu sukacita besar bagi Anda dalam hidup ini, maka kemampuan dan kesempatan untuk menyampaikan kebenaran yang Anda peroleh dengan jerih payah haruslah juga menyertai sukacita Anda tersebut. Kalau kita telah mengalami kuasa transformasi dari Roh Kudus lewat pemahaman dan penerapan firman Tuhan, maka kita akan selalu memiliki keinginan yang meluap-luap untuk membagikannya kepada orang lain. Dalam Kolose 3:16, rasul Paulus mengatakan bahwa seharusnya keinginan ini menjadi ciri-ciri kita saat berada bersama sesama orang Kristen. Ia berkata,

Hendaklah perkataan Kristus diam dengan segala kekayaannya di antara kamu, sehingga kamu dengan segala hikmat mengajar dan menegur seorang akan yang lain dan sambil menyanyikan mazmur, dan puji-pujian dan nyanyian rohani, kamu mengucap syukur kepada Allah di dalam hatimu.

Tujuan pelajaran ini adalah untuk membantu Anda menyampaikan kebenaran Allah dalam Alkitab dengan lebih mantap dan dalam sukacita. Pelajaran ini merupakan lanjutan pelajaran sebelumnya tentang bagaimana belajar Alkitab. Jadi dari memahami kebenaran Alkitab kita melangkah pada menyampaikan kebenaran Alkitab.

Akan tetapi dalam memahami teori dan proses penyampaian kebenaran menuntut waktu dan kerja keras. Oleh sebab itu, pelajaran ini dirancang hanya sebagai dasar-dasar saja. Pelajaran ini dirancang untuk para pemula. Kita tidak akan membahas terlalu dalam tentang teori komunikasi (yang memang menjadi semakin sulit akhir-akhir ini), melainkan kita hanya akan melihat satu model sederhana yang dengan keahlian dan pemahaman yang memadai bisa diterapkan untuk semua teks dalam Alkitab. Jadi, meski selalu ada yang harus dipelajari lebih lanjut, pelajaran kita kali ini akan mengantar Anda pada satu situasi dimana Anda bisa dengan kreatif dan benar menyampaikan firman Tuhan kepada orang lain dalam Pelajaran Alkitab (PA) di rumah, atau dalam penginjilan, atau dalam kelas Sekolah Minggu, atau dalam kebaktian di gereja. Semoga Tuhan memberkati Anda dengan berlimpah saat Anda mempelajari firmanNya dan bersiap-siap untuk mengajarkannya kepada orang lain. Bawalah pendengar Anda ke tempat dimana Anda pernah berada sebelumnya—itulah yang penting!

I. Satu Ringkasan tentang Proses PEMAHAMAN dan PENGAJARAN untuk Bahan Pelajaran Alkitab

    A. Memahami Satu Teks (Meliputi semua langkah yang telah kita pelajari pada pelajaran sebelumnya: “Bagaimana Belajar Alkitab”)

      1) Pilihah Teks Anda

      2) Pelajari Teks Anda Dengan Menggunakan Pengamatan dan Tanya/Jawab

      3) Ringkas Teks Anda dalam bentuk Subjek/Pelengkap

      4) Buat Garisbesar tentang Teks Anda

    B. Mengajarkan Satu Teks

      5) Kembangkan Subjek/Pelengkap

      6) Kembangkan Pelajaran Berdasarkan Garisbesar

    7) Buat Kesimpulan dan Pendahuluan

II. Satu Ringkasan Tambahan untuk Proses PENGAJARAN untuk Bahan Pelajaran Alkitab

    A. Pertama, Cari “Pokok pikiran”

      1. Pilih Satu Teks dan Pelajari (Lihat “Bagaimana Belajar Alkitab: Untuk Pemula”)

      2. Kemukakan Subjek/Pelengkap dengan Jelas dan Singkat

        a. Sesuai dengan Kenyataan Teks Anda

        b. Sesuai dengan Kenyataan Pendengar Anda (yaitu Ide Homeletik Anda)

    B. Kedua, Kembangkan Ide Homeletik1 Anda sesuai Garisbesar dan Tujuan PA Anda

      1. Tanyakan pada Diri Anda Tiga Pertanyaan untuk Menjawab Satu Pertanyaan Utama

        a. Satu Pertanyaan Utama: Apa Tujuan PA Saya? Apa yang Ingin Saya Capai dalam PA Saya?

        b. Tiga Pertanyaan Tambahan: Apa yang Perlu Saya Jelaskan, Pertahankan, dan/atau Terapkan dari Ide Homeletik Saya Supaya Tujuan Khotbah Saya Bisa Dipahami?

      2. Buatlah Garisbesar dalam Bentuk Kebenaran-Kebenaran Universal

    C. Buatlah Kesimpulan dan Pendahuluan yang Sesuai dengan PA Anda

      1. Satu Kesimpulan Seharusnya…

        a. Menyimpulkan “Pokok pikiran” dalam PA

        b. Memotivasi Orang untuk Memberi Respon

          i. Lewat Membayangkan Situasi yang Terkait dengan PA Anda

          ii. Lewat Cerita yang Mengilustrasikan Kebenaran PA Anda

          iii. Lewat Tantangan untuk satu Penerapan dalam PA Anda

      2. Satu Pendahuluan Seharusnya…

        a. Menarik Perhatian Pendengar Anda

        b. Membangkitkan Kebutuhan akan PA Anda

        c. Memberi Orientasi tentang “Pokok pikiran” PA Anda

III. Prinsip-Prinsip Untuk Menggunakan Bahan-Bahan PA yang Bersifat Ekspositoris, Naratif, dan Puitis

Contoh-contoh yang akan kita gunakan diambil dari tiga genre2 utama dalam Alkitab: (1) teks yang bersifat ekspositoris, (2) yang bersifat naratif, dan (3) yang bersifat puitis. Kita perlu membahas sedikit tentang ini agar Anda bisa menggunakan dan mengajar bahan-bahan dari genre yang berbeda ini.

A. Bahan PA Ekspositoris

Surat-surat para rasul adalah surat-surat yang bersifat ekspositoris yang dikirim kepada jemaat-jemaat yang berbeda guna memperdalam pemahaman mereka tentang Tuhan, Kristus dan karyaNya, Roh Kudus, dan hidup yang bermartabat bagi Tuhan. Surat-surat ini sengaja tidak dalam bentuk cerita, meskipun sering berisi referensi cerita dari Perjanjian Lama (misalnya Roma 4; 2 Kor 3). Surat-surat ini adalah tulisan-tulisan berisi pengajaran ekspositoris yang maknanya biasanya bersifat langsung dan jelas jika dibandingkan dengan tulisan yang bersifat naratif. Lebih mudah bagi kita untuk membuat garisbesar dan pikiran-utama dalam surat-surat ini. Catatan: kadang-kadang bahan ekspositoris berada dalam konteks naratif, sepertiYohanes 1:1-18 juga seperti kebanyakan ceramah pengajaran Kristus dalam kitab-kitab injil. Dalam hal ini bahan-bahan tersebut harus dikaitkan dengan narasi secara keseluruhan, meski harus dikerjakan sebagai bahan ekspositoris. Juga, perlu diperhatikan bahwa ada beberapa bentuk puisi dalam sejumlah surat ekspositoris dalam Perjanjian Baru.

Sebagai contoh: Dalam Pelajaran, “Bagaimana Belajar Alkitab: Untuk Pemula”, kita membahas Efesus 2:1-10 secara rinci. Misalnya kita mengamati kata-kata kunci, dsb. dan menggunakan metode tanya/jawab untuk bahan ini. Setelah itu kita membuat ringkasan dari pesan bahan ini dengan mengembangkan subjek/pelengkap. Apakah Anda memperhatikan adanya perbedaan saat menggunakan bahan yang diambil dari Yohanes 9:1-41? Dalam Efesus 2:1-10 maknanya ada dipermukaan dan jelas. Ini tidak berarti bahwa beberapa bagiannya tidak sukar untuk dipahami, akan tetapi pada umumnya maksud dan makna bahan tersebut biasanya lebih jelas dibanding dengan teks-teks yang bersifat naratif dimana Anda tidak pernah secara ekplisit diberitahu oleh penulisnya apa arti narasi itu. Ini juga berarti akan lebih mudah dalam hal tertentu untuk mengajar bahan yang bersofat ekspositoris, karena kebenaran yang termuat di dalamnya tidak terlalu membutuhkan banyak interpretasi untuk pendengar kita sekarang. Biasanya makna kata-kata dalam bahan ekspositoris tidak bersifat kiasan. Sedangkan bentuk naratif perlu diinterpretasi bagi pendengar pada masa sekarang karena orang-orang dalam cerita Alkitab berada dalam kenyataan yang berbeda dengan kenyataan yang kita alami sekarang dan karena makna dari satu cerita jarang diungkapkan kepada kita. Mari kita melihat satu contoh singkat satu bahan naratif.

B. Bahan PA Naratif

Bahan naratif (atau cerita) bersifat tidak langsung dalam penyampaian pesannya, yang lebih banyak menuntut panca indra, dibandingkan intelektual secara langsung seperti untuk memahami tulisan-tulisan ekspositoris. Narasi mengundang Anda masuk ke dunia dan para tokohnya dan mengundang Anda untuk mengalami apa yang mereka alami. Narasi dibentuk oleh unsur-unsur seperti seting, tokoh cerita, dan alur cerita (yang biasanya berisi sejumlah konflik, ujian, perjalanan, kehendak, dsb.) dan biasanya tidak terang-terangan menyatakan kepada Anda apa arti ceritanya (misalnya cerita Orang Samaria yang Baik Hati). Jika kita menggunakan narasi sebagai bahan PA, kita harus bisa mengungkapkan kepada pendengar dunia dimana cerita itu terjadi dengan melukiskan suasana (seting) pada saat cerita itu terjadi sedemikian rupa sehingga para pendengar merasa berada di dunia lain, yaitu di dunia dimana cerita itu terjadi. Jadi diperlukan imajinasi yang banyak dan kreatif, misalnya untuk bisa seolah-olah mencium bau angin pantai, mendengar anak-anak menangis, melihat orang lumpuh melompat dalam kegirangan, seperti yang terjadi dalam cerita. Ini akan membantu pendengar Anda untuk menghayati kehidupan dan perjuangan/kemenangan para tokoh cerita dalam bahan PA Anda.

Struktur bahan PA bersifat naratif dibentuk oleh alur cerita tidak seperti struktur pada surat-surat para rasul yang dibentuk dalam paragraf. Jadi dalam Yohanes 9, kita harus membahas beberapa paragraf karena paragraf-paragraf itu membentuk alur cerita keseluruhan tentang orang buta yang dipulihkan. Dan cerita ini merupakan bagian cerita yang lebih luas tentang pelayanan Yesus yang ditulis Yohanes untuk pembacanya. Kesembuhan orang buta itu mendemonstrasikan kuasa Kristus dalam mengatasi persoalan besar; oleh sebab itu Ia layak dipercaya. Reaksi para pemimpin agama memang sesuai dengan kenyataan bahwa akan selalu ada yang menolak kebenaran untuk menyelamatkan posisi dan status hidup mereka.

Pendeknya: kalau mengajar dengan bahan cerita Alkitab, bantulah pendengar Anda untuk bisa menghayati tokoh-tokoh dalam cerita, khususnya yang memberi contoh baik. Bantu mereka untuk merasakan seolah-olah mereka berada dalam cerita saat setiap peristiwa terjadi. Jadi, reaksi pendengar penting dalam PA dengan bahan naratif.

C. Bahan PA Puitis

Ada banyak sekali bahan PA bersifat puitis dalam Alkitab, diantaranya adalah Mazmur, Amsal, Pengkhotbah, sejumlah besar kitab para nabi, dan juga seperti yang disebutkan sebelumnya beberapa bagian dalam surat-surat para rasul. Dari mazmur kita mengetahui bahwa puisi Alkitab memuat gambaran-gambaran seperti tentang: (1) gembala; (2) padang; (3) batu karang, (4) burung-burung; (5) air bah; (6) pedang; (7) kegelapan; (8) terang; (9) kubur yang terbuka; (10) bintang-bintang, (11) madu; (12) empedu; dsb. Dengan menggunakan metafora dan gambaran, kita akan menyadari bahwa penulis menuntut kepekaan panca indra dari pembaca. Oleh sebab itu, dalam membaca dan mengajarkan mazmur perlu kepekaan terhadap gambaran dengan menggunakan panca indra, perasaan, dan imajinasi. Sebenarnya strukrtur kebanyakan puisi didasarkan pada susunan gambaran. Anda bisa membuat garisbesar sejumlah puisi berdasarkan perkembangan pikiran dan gambaran yang ada dalam puisi-puisi tersebut.

Dalam pelajaran kita sebelumnya tetntang bagaimana belajar Alkitab, ada dua pertanyaan yang harus kita tanyakan untuk memahami satu istilah kunci. Dua pertanyaan itu adalah: (1) Referensi? Istilah ini mengacu pada apa? dan (2) Kesan? Apa kesannya? Positif/Negatif, emosional, dsb. Pertanyaan yang terakhir sangatlah penting kalau mempelajari dan mengajar tentang bahan PA puitis. Misalanya saat Daud mengatakan dirinya adalah “ulat” dan bukan manusia, Anda seharusnya mencari tahu arti dibalik kata atau istilah ini (Mazmur 22:7). Apa kesan tentang Gunung Batu yang dipakai sebagai referensi untuk Tuhan dalam Mazmur 78:35? Dalam Yesaya 40:31—ayat yang cukup dikenal—apa gambaran dan perasaan yang ditimbulkan dalam pikiran pembaca tentang “rajawali yang naik terbang dengan kekuatan sayapnya? Anda bisa mencari bantuan informasi dari komentari tentang budaya yang berkaitan dengan gambaran ini. Anda harus tekun dan sabar dalam merenungkan gambaran-gambaran puisi karena didalamnya terdapat penjelasan yang kuat dan motivasi menarik.

IV. Mempersiapkan PA dari Bahan Ekspositoris—Yohanes 1:1-18

A. Ambil Bahan dari: Yohanes 1:1-18

B. Pelajari Teks dengan Menggunakan Penelitan dan Tanya/Jawab

Kita telah melakukan ini pada pelajaran sebelumnya. Lihat kembali hasilnya jika Anda merasa perlu. Pelajari kata-kata kuncinya, strukturnya (tatabahasa dan gaya bahasanya), suasananya, juga tentang jenis tulisannya. Di atas diberikan sedikit petunjuk bagaimana memahami tiga bentuk tulisan yang berbeda, yaitu yang bersifat ekspositoris, naratif, dan puitis.

C. Buat Subjek/Pelengkap:

Subjek/pelengkap untuk Yohanes 1:1-18 bisa seperti: (Subjek:) Alasan Firman Tuhan yang kekal menjadi manusia (Pelengkap:) adalah supaya Ia bisa menyatakan siapa Allah kepada semua manusia dan agar mereka bisa percaya kepadaNya dan menjadi anak-anak Allah.

D. Kembangkan Garisbesar Teks (Eksegetis3)

Garisbesarnya kira-kira:

    I. Ke-Allah-an Firman (ayat 1:1-5)

      A. Firman itu Tuhan (ayat 1:1-2)

      B. Firman itu Pencipta (ayat 1:3)

      C. Firman itu Adalah Hidup dan Terang bagi Manusia (ayat 1:4-5)

    II. Persiapan Pelayanan Firman di Dunia (ayat 1:6-9)

      A. Yohanes Diutus Allah (ayat 1:6)

      B. Yohanes Memberi Kesaksian tentang Terang Supaya Semua Orang Menjadi Percaya (1:7)

      C. Yohanes Sendiri Bukan Terang itu, Melainkan Hanya Saksi (1:8)

      D. Terang yang Sesungguhnya Menerangi Setiap Orang di Dunia (1:9)

    III. Respon terhadap Firman (1:10-13)

      A. Dunia Tidak MengenalNya (1:10)

      B. KepunyaanNya Tidak MenerimaNya (1:11)

      C. Semua yang Menerima (Percaya) Dia Menjadi Anak-anak Allah (1:12)

      D. Anak-anak Allah bukan Berasal dari Manusia, Tetapi dari Allah (1:13)

    IV. Kemanusiaan dan Penyataan Firman Merupakan Era Baru dalam Kasih Karunia (1:14-18)

      A. Firman yang Datang dari Bapa menjadi Manusia (1:14)

      B. Kesakisan tentang Kekekalan Kristus (1:15)

      C. Kita Telah Diberkati dari Kepenuhan Kasih Karunia Kristus (1:16)

      D. Perbandingan Yesus dengan Hukum Taurat (1:17)

      E. Yesus Allah yang Tunggal Menyatakan DiriNya (1:18)

E. Kembangkan Subjek/Pelengkap

Dalam mengembangkan subjek/pelengkap kita perlu bertanya tiga pertanyaan dibawah satu pertanyaan utama. Pertanyaan utama: Apa tujuan PA saya? Apa yang ingin saya capai dalam PA ini? Tujuan yang saya pilih seharusnya sesuai dengan tujuan asli yang terdapat pada teks. Jelas bahwa Yohanes menulis teks ini (1:1-18) adalah supaya orang memiliki iman yang murni dan teguh kepada Yesus. Jadi, tujuannya berkaitan dengan keselamatan manusia dan dengan pertumbuhan kehidupan Kristen.

Seandainya pendengar kita adalah orang dewasa dalam Sekolah Minggu dimana mereka sudah sering mendapat pengajaran Alkitab. Kira-kira ada 50 orang pendengar dan mereka memiliki kebutuhan yang berbeda-beda. Namun, Anda menyadari kebanyakan diantara mereka (dan juga dalam budaya mereka secara umum) tidak teguh saat doktrin Kristen yang mereka pegang diterapkan dalam kehidupan sehari-hari dalam budaya yang secara moral makin merosot dan penuh tantangan. Singkatnya, pandangan hidup mereka memprihatinkan.

Sebelumnya kita mengatakan bahwa subjek/pelengkap dalam Yohanes 1:1-18 bisa seperti: Alasan Firman Tuhan yang kekal menjadi manusia adalah supaya Ia bisa menyatakan siapa Allah kepada semua manusia dan agar mereka bisa percaya kepadaNya [yaitu Firman] dan menjadi anak-anak Allah. Jadi subjek teks ini berkaitan dengan penyataan dan kenyataan bahwa Allah membuat diriNya dikenal dalam Kristus. Akan tetapi pemahaman secara mendalam tentang Allah sepertinya tidak masuk kehati dan pikiran kebanyakan orang di gereja, apalagi bagi orang yang belum percaya. Oleh sebab itu, dalam PA kita, kita akan menjelajahi pernyataan teologis Yohanes yang teguh dan kita akan mengaitkannya dengan sistem kepercayaan dan kebenaran-kebenaran umum yang terdapat dalam kebudayaan tempat kita hidup. Kita ingin mendalami kebenaran dalam Yohanes yang dikaitkan dengan kebutuhan pendengar kita supaya bisa dengan lebih serius tentang penyataan Allah dalam diri Kristus. Tujuannya adalah agar orang tertarik untuk menjalani hidup yang baru, meski PA lebih diarahkan untuk perubahan pikiran sebagai langkah pertama untuk menjalani hidup yang diubahkan.

F. Kembangkan PA Berdasarkan Garisbesar

Sekarang kita telah mengetahui tujuan PA kita: “Mendorong orang untuk mengevaluasi pandangan hidup mereka dengan cara merefleksikan secara serius tentang pengalaman ke-Kristenan mereka dikaitkan dengan hakekat keberdosaan mereka (kita) yang mengganggu dan dengan penyataan Allah yang sempurna dan mendalam dalam Kristus.”

Sekarang kita perlu mengembangkan ide ini lewat garisbesar dengan menanyakan tiga pertanyaan dasar: (1) Apa yang perlu saya jesalakan? (2) Apa yang perlu saya bela atau pertahankan? (3) Bagaimana saya bisa menerapkan teks berdasarkan garisbesar?

Jadi kita perlu mengembangkan garisbesar yang telah kita buat. Kita akan mengembangkannya dalam bentuk garisbesar PA dengan menyatukan bagian-bagiannya (ada tiga bagian sesuai garisbesarnya) supaya bisa terbentuk pokok pikiran. Kita akan menambahkan perincian teks yang sesuai dan ilustrasi.

Seperti yang dijelaskan sebelumnya, ada tiga bagian untuk PA dengan menggunakan teks ini. Masing-masing bagian ini bisa menjadi “pokok pikiran”. Ingat Anda mengajar Alkitab kepada manusia; Anda tidak hanya semata-mata mengajar tentang Alkitab. Dalam diskusi kita sebelumnya tentang Yohanes 1:1-18 kita perlu memperhatikan apa yang ingin disampaikan Yohanes. Sekarang tugas Anda adalah menyampaikan pesan tersebut kepada orang lain (yakni menyatakan pentingnya pesan Yohanes kepada mereka). Tugas Anda adalah membawa teks abad pertama ke dalam abad keduapuluh. Jadi ayo kita cermati kembali garisbesar kita. Kita tidak akan membuat keseluruhan garisbesarnya, Anda sendirilah yang harus melengkapinya.

    I. Pendahuluan

      A. Mulailah dengan satu Ilustrasi

        1. Bersahabat dan Menarik/Tidak Usang: Bangkitkan keinginan untuk mendengarkan apa yang akan Anda sampaikan.

        2. Berisi Unsur-unsur Pokok pikiran PA:

      B. Diikuti Transisi untuk Masuk pada Pokok pikiran PA

      Anda tidak perlu menyampaikan keseluruhan pokok pikiran secara terang-terangan, tetapi paling tidak Anda perlu memberi orintasi kepada pendengar Anda tentang subjek yang akan Anda sampaikan. Anda bisa mengembangkan pelengkap saat melakukan ini.

    II. Pandangan Hidup Anda dan Yesus Kristus (1:1-5)

      A. Perincian Teks

        1. Firman (Kristus) Adalah Allah (1:1-2)

          a. Jelaskan ke-Allah-an Kristus

          b. Pencarian akan Allah telah Selesai (sementara manusia masih sedang mencari)

        2. Firman (Kristus) Adalah Pencipta (1:3)

          a. Apa artinya satu Pribadi Pencipta

          b. Kalau kita percaya pada dunia yang tidak diciptakan satu Pribadi, melainkan oleh evolusi alam. Kita akan dipengaruhi dalam hal …

        3. Firman (Kristus) Adalah Hidup dan Terang bagi Manusia (1:4-5)

          a. Telusuri arti hidup

          b. Apa pemahaman kita tentang hidup yang sebenarnya?

        4. Penerapan: Biasanya pandangan hidup memberi jawaban atas paling kurang empat pertanyaan: (1) Siapa Allah itu? (2) Siapa manusia itu? (3) Apa persoalan manusia? (4) Apa solusinya? Apa pandangan hidup Allah? Apa pandangan hidup kita?

      B. Ilustrasi: Kembangkan beberapa aspek pandangan hidup abad ke-20: (1) kekafiran; (2) gagalnya modernisme dan kekerasan hidup; (3) kesepian dan ketakutan; (4) dsb.

      C. Kalimat Transisi: Jadi yang Anda percaya dalam dunia dan dalam hidup Anda? Mengapa kita memiliki persoalan yang kita hadapi? Apakah ada harapan? Mungkin ini tergantung pada bagaimana Anda menilai dan memahami manusia dan atas alasan mengapa mereka melakukan apa yang mereka lakukan

    III. Persoalan Keberdosaan manusia yang Menggangu dan Kasih Karunia Allah yang tidak Terkalahkan (1:6-13)

      A. Kita seperti Lot yang tidak Patuh (bagian teks ini bersifat naratif jadi sampaikan dalam bentuk cerita)

        1. Rincian Teks (ingat untuk menjelaskan, membela dan menerapkan ide-ide penting)

          a. Jelaskan: Terang yang Menerangi Semua Manusia (1:6-9)

          b. Kenyataan tentang Penolakan akan Kristus yang meluas (1:10-11)

        2. Ilustrasi:

        3. Kalimat Transisi: Hati manusia adalah tempat yang gelap, tempat yang rapuh dan berbahaya, namun Tuhan ada di tempat yang gelap …

      B. Tapi Kasih Karunia Allah itu Tidak Terkalahkan

        1. Perincian Teks

          a. Mereka yang Menerima (Percaya) Menjadi Anak-anak Allah (1:12)

          b. Anak-anak bukan berasal dari Manusia, Melainkan dari Allah (1:13)

        2. Ilustrasi:

        3. Transisi:

    IV. Periksa kembali Pemahaman kita tentang Allah yang Ada (1:14-18)

      A. Perincian Teks (Pilih yang mana yang akan Anda kembangkan untuk tujuan PA Anda)

        1. Firman yang Berasal dari Bapa Menjadi Manusia (1:14)

        2. Kesaksian Yohanes tentang Kekekalan Kristus (1:15)

        3. Kita Diberkati dari Kepenuhan Kasih Karunia Kristus (1:16)

        4. Perbandingan Yesus dengan Hukum Taurat (1:17)

        5. Yesus, Allah yang Tunggal, Yang Menyatakan Diri (1:18)

      B. Ilustrasi

      C. Transisi untuk masuk pada Kesimpulan

    V. Kesimpulan

      A. Ringkaskan Pokok pikiran. Ulangi lagi.

      B. Beri ilustrasi dan buatlah Ajakan

V. Mempersiapkan PA dari bahan Narasi—Yohanes 9:1-41

Mempersiapkan PA dari bahan narasi memiliki tantangan tersendiri yang bebeda dari bahan ekspositoris. Kita ingin mengembangkan subjek/pelengkap dari teks, tetapi bahan yang kita miliki tidak menyediakannya. Cerita tidak berbentuk abstrak tetapi konkrit. Makna bahan PA naratif terdapat dalam ceritanya, meski tidak dijelaskan. Cerita biasanya penuh dengan pengalaman panca indera, bukan berisi ide-ide yang dinyatakan secara kognitif. Jadi otak kanan yang lebih banyak bekerja, bukan otak kiri. Kita dituntut bisa membawa pendengar masuk ke dalam cerita supaya mereka bisa menghayati tokoh-tokoh ceritanya, merasakan ketegangan cerita, dan bersimpati pada pemeran utamanya!

Oleh sebab itu, kita perlu mengembangkan subjek/pelengkap ke dalam bentuk pokok pengajaran yang sesuai dengan keprihatinan, pertanyaan, dan persoalan orang-orang di masa sekarang. Setelah itu kita perlu mengembangkan pokok pengajaran ini dengan menggunkan rincian cerita.

Sebelumnya kita mengetahui bahwa subjek/pelengkap untuk Yohanes 9:1-41 adalah: Yesus menyembuhkan orang buta, yang diikuti respons beragam, menunjukkan bahwa siapa yang mengakui kebutaannya akan menemukan terang (Kristus), tetapi siapa yang menyatakan bisa melihat, namun sebenaranya tidak, akan tetap buta.

Garisbesar eksegesis atau tekstual kita sesuai dengan Yohanes4 adalah sebagai berikut:

    I. Kesembuhan Orang Buta (9:1-12)

      A. Kejadiannya

        1. Seorang yang buta sejak lahirnya (9:1)

        2. Pertanyaan: “Siapakah yang berbuat dosa?” (9:2)

        3. Jawaban: “Bukan dia dan bukan juga orang tuanya, tetapi karena pekerjaan-pekerjaan Allah harus dinyatakan” (9:3-5)

      B. Mujizat (9:6-7)

        1. Cara: Meludah dan tanah dioleskan pada mata (9:6)

        2. Perintah dan Hasilnya: “Pergilah, basuhlah…matanya sudah melek” (9:7)

      C. Reaksi para tetangga (9:8-12)

        1. Perpecahan (9:8-10)

        2. Kesaksian orang buta itu (9:11-12)

    II. Reaksi Orang Farisi atas Kesembuhan itu (9:13-34)

      A. Persoalan: Kesembuhan terjadi pada hari Sabat (9:13-15)

      B. Respon orang farisi: Marah dan Menolak untuk Percaya (9:16-34)

        1. Mereka Terpecah (9:16)

        2. Mereka Menginterogasi Orang itu: Pertama kali (9:17)

        3. Mereka mengiterogasi orangtua orang itu (9:18-23)

        4. Mereka menginterogasi orang itu: Kedua kali (9:24-34)

    III. Reaksi Yesus: Mengenai orang buta dan orang Farisi (9:25-41)

      A. Yesus Menemui orang itu: Percayakah engkau…? (9:35-39)

        1. Pertanyaan Yesus (9:35)

        2. Respons orang itu (9:36-38)

        3. Pengumuman dari Yesus: Yang buta dan yang melihat (9:39)

      B. Penilaian Yesus tentang orang Farisi: Mereka berdosa! (9:40-41)

        1. Pertanyaan orang farisi: Apakah itu berarti bahwa kami juga buta? (9:40)

        2. Jawaban Yesus: Tetaplah dosamu (9:41)

Garisbesar ini dikembangkan dari subjek/pelengkap sesuai dengan perkembangan kejadian demi kejadian dalam teks, yakni sesuai perkembangan yang terikat pada teksnya. Karena meskipun kita menggunakan metode yang sama yang dikembangkan dalam membuat garisbesar Yohanes 1:1-18 (meski berbeda karena bersifat ekspositorias) kita membuat garisbesar Yohanes 9:1-14 sedikit berbeda untuk maksud memberi ilustrasi.

Kita akan mengembangkan pokok pikiran berdasarkan tema penting dalam cerita ini—yaitu respon yang salah dan benar terhadap Yesus (Terang) dan akibatnya. Kita akan mengerjakannya secara terpisah dan akan menyimpulkannya dengan “menggugah” pendengar melalui tokoh dalam cerita yang mewakili respon yang benar. Ayat kunci kita adalah 9:39 yang merupakan satu komentar atas arti keseluruhan teksnya. Jadi pengembangan garisbesarnya akan bersifat tematis (bukan pengembangan tekstual) atas pokok pikiran sebagai berikut:

    I. Pendahuluan PA: Bagaimana Kita Memberi Respon atas Sesuatu Menentukan Kehidupan Kita

    II. Orang Buta Disembuhkan (1:1-7)

      A. Perincian teks

        1. Buta sejak lahir—mujizat ini tidak bersifat pengobatan, melainkan bersifat penciptaan (Yohanes 1:3)

        2. Jelaskan teologi dibalik pertanyaan para murid (lihat komentari)

        3. Fokuskan pada jawaban Yesus—terang, cahaya, kegelapan

      B. Ilustrasi

      C. Transisi: Tidak semua orang memberi respon atas mujizat ini seperti yang kita harapkan. Mari kita melihat beberapa respon yang berbeda …

    III. Dua Macam Respon (9:8-41)

      A. Beberapa Respons yang salah:

        1. Tidak menghiraukan (9:9a):

          a. Perincian teks: Ada yang berkata: ‘Benar, dialah ini”…dan nampaknya mereka tidak melakukan apa-apa!

          b. Ilustrasi/Peringatan untuk Anda dan pendengar

          c. Penerapan: Jangan biarkan sikap tidak acuh mempengaruhi penilaian Anda: Rangkulah Terang itu!

          d. Transisi untuk masuk pada respon berikut: “Takut”

        2. Takut (9:18-23)

          a. Perincian teks: orangtua orang itu dan ketakutan mereka

          b. Ilustrasi/Peringatan untuk Anda dan pendengar

          c. Penerapan: Jangan biarkan ketakutan menghalangi Anda untuk merangkul Kristus!

          d. Transisi untuk masuk pada respon berikut “Menolak Kenyataan”

        3. Menolak Kenyataan —Pemimpin agama (9:9b, 13-17, 24-34)

          a. Perincian teks: Jelaskan kesombongan mereka: “Kami tahu…”

          b. Ilustrasi/Peringatan untuk Anda dan pendengar

          c. Penerapan: Jangan biarkan apa yang Anda ketahui menghalangi apa yang harus Anda pelajari! Kadang-kadang sebagai orang percaya kita “terpenjara oleh apa yang kita tahu”, kita harus peka atas hal ini. Kita mungkin tidak berada dalam kegelapan total seperti para pemimpin agama, namun kita biasanya lebih senang berada dibawah naungan dibandingkan berada dibawah terik cahaya siang hari.

          d. Transisi untuk masuk pada “Akibat Respons yang salah …”

        4. Akibat respon yang salah: Buta selamanya (9:39-41)

          a. Perincian teks: Jelaskan keangkuhan mereka: “Kami tahu…”

          b. Ilustrasi/Peringatan untuk Anda dan pendengar

          c. Penerapan: Jangan biarkan apa yang Anda ketahui menghalangi apa yang seharusnya Anda pelajari!

          d. Transisi untuk masuk pada “Respons yang benar”

      B. Orang buta dan Respons yang benar (lihat ayat-ayat dalam perincian teks)

        1. Iman yang semakin bertumbuh

          a. Perincian teks: Perhatikan perkembangan iman orang buta itu (9:12,15 17, 25, 30-33, 38)

          b. Ilustrasi/Dorongan untuk datang kepada terang

          c. Penerapan

          d. Transisi untuk masuk pada “Akibat Respons yang Benar”

        2. Akibat Respon yang Benar: Penglihatan Rohani (9:39)

          a. Perincian teks: Jelaskan apa artinya terang saat ini (yakni pengenalan akan Allah dan kehidupan bermoral atas dasar kasih karunia; buah Roh—Yohanes 15 dan Galatia 5:22-23).

          b. Ilustrasi

          c. Penerapan

          d. Transisi untuk masuk ke Kesimpulan

    IV. Satu Pertanyaan (Kesimpulan)

      A. Anda mirip siapa dalam cerita ini? Bagaimana hidup Anda bersama Yesus (ceritakan bagaimana dan mengapa Yesus sering tidak hadir dalam cerita ini. Meskipun demikian Ia adalah tokoh utama cerita ini!)? Simpulkan beberapa respon terhadap “Terang” dalam Yohanes 9:1-41.

      B. Mungkin Anda mengenal seseorang yang tidak menolak Yesus di depan banyak orang, dan mereka tidak takut untuk beriman kepadaNya, dan tidak acuh-tak-acuh terhadap Dia. Mungkin masih ada satu respon dalam cerita kita yang belum kita bahas. Saya menamakannya “Pikiran yang Tidak menentu”. Kita bisa melihatnya pada orang-orang awam dalam 9:8 dan pada para pemimpin agama (9:16b). Jelaskan dengan singkat teks tersebut, dan tanyakan kepada pendengar kalau mereka juga seperti itu. Jika demikian, cermati apa pikiran mereka yang tidak menentu, peringatkan mereka dengan lembut tentang bahaya iman yang tidak sungguh-sungguh, dan dorong mereka untuk menerima Kristus yang adalah Terang.

VI. Mempersiapkan PA dari Bahan Puisi—Mazmur 23

Kita mengambil contoh Mazmur 23 karena mazmur ini pendek dan kemungkinan Anda tidak asing dengannya. Kita tidak akan terlalu rinci dalam bagian bahan PA yang bersifat puitis ini, malainkan kita akan melihat bagaimana cara membuat garisbesar puisi ini dan bagaimana kita membuat garisbesar eksegetis berdasarkan pokok pikirannya. Metodenya sama debgan yang kita gunakan dalam Yohanes 1 dan 9, namun kita lebih peka dalam memahami gambar, emosi, dan ide dan dalam membuat garisbesar. Bisa dikatakan bahwa satu puisi bisa dipilah-pilah menjadi bagian-bagian kecil yang terartur yang tidak didasarkan pada alur atau episode seperti dalam cerita, tetapi yang didasarkan pada ide dan gambar yang diberikan.

Setelah melakukan sejumlah pengamatan, dan menanyakan banyak pertanyaan tentang bahan PA kita, kita harus membuat subjek/pelengkap dan garisbesar teks seperti sebagai berikut:

Subjek/Pelengkap: YHWH adalah gembala yang setia dan tuanrumah yang baik bagi pemazmur, dan oleh karena itu, pemazmur bersyukur dan mengungkapkan keyakinannya bahwa ia akan tetap berada dalam rumah YHWH, dalam satu hubungan yang akrab denganNya.

    I. YHWH itu bisa andalkan, gembala yang bisa dipercaya yang memelihara, memimpinm dan melindungi pemazmur (ayat 1-4).

      A. YHWH memelihara pemazmur (ayat 1)

      B. YHWH memimpin dan membimbing pemazmur (ayat 2, 3)

      C. YHWH melindungi pemazmur dari segala bahaya (ayat 4)

    II. YHWH menyediakan hidangan menyenangkan bagi pemazmur dihadapan lawan-lawannya dan YHWH mengurapi minyak dikepalanya (ayat 5).

      A. YHWH menyediakan hidangan luarbiasa bagi pemazmur dihadapan lawan-lawannya (ayat 5a, b)

      B. YHWH mengurapi kepala pemazmur dengan minyak (ayat 5c)

      C. Piala pemazmur penuh melimpah (ayat 5d)

    III. Pemazmur merasa yakin bahwa kebajikan dan kemurahan akan mengikuti hidupnya dan ia akan hidup dalam rumah TUHAN sepanjang masa (ayat 6).

      A. Kebajikan dan kemurahan Tuhan akan mengikuti pemazmur (ayat 6a)

      B. Pemazmur akan diam di rumah YHWH sepanjang masa (ayat 6b)

Setiap teks memberi jawaban untuk beberapa pertanyaan utama. Misalnya dalam Yohanes 9: Apa akibat respon orang yang percaya dan yang tidak percaya kepada Kristus? Dalam Yohanes 1:1-18 kita bisa mengatakan bahwa pertanyaan utama yang bisa dijawab oleh bagian ini adalah: “Mengapa Yesus menjadi manusia?” Demikian juga ada pertanyaan dibalik Mazmur 23. Kita bisa menanyakannya sebagai berikut: “Mengapa saya bisa percaya kepada Tuhan saat segala sesuatu dalam hidup menjadi tidak pasti?” Jawabannya: Karena Ia adalah gembala yang baik dan setia dan Ia adalah tuanrumah yang baik. Sekarang mari kita mengembangkan ide homeletik ini dalam bentuk garisbesar pelajaran sebagai berikut:

    I. Pendahuluan

    II. Percaya kepada Tuhan sebagai Gembala yang Baik dan Setia (ayat 1-4)

      A. Yang memperhatikan keperluan Kita (ayat 1-3a)

        1. Perincian Teks

          a. YHWH itu dekat dan pribadi (“ku” dalam ayat 1)

          b. Yang diberikanNya adalah sempurna (ayat 2)

          c. Yang diberikanNya membaharui dan memuaskan (ayat 3a)

          d. Kesimpulan

        2. Ilustrasi

        3. Transisi untuk masuk pada “Yang Membimbing Kita”

      B. Yang Membimbing Kita (ayat 3b-4)

        1. Perincian Teks

          a. Ia membimbing kita pada jalan yang benar (ayat 3b)

          b. Ia membimbing kita demi namaNya (ayat 3c)

        2. Ilustrasi

        3. Transisi untuk masuk pada “Yang Melindungi Kita”

      C. Yang Melindungi Kita (ayat 4)

        1. Perincian Teks

        2. Ilustrasi

      D. Transisi untuk masuk pada “Bersukacita dalam AnugrahNya”

    III. Bersukacita dalam AnugrahNya (ayat 5-6)

      A. Perincian Teks

        1. Karena Ia selalu memberkati (ayat 5)

          a. Dengan hidangan dihadapan lawan-lawan (ayat 5a)

          b. Dengan mengurapi kepala kita dengan minyak (ayat 5b)

          c. Piala penuh melimpah (ayat 5c)

        2. Karena Persekutuan denganNya Terus-menerus (ayat 6)

          a. Kebaikan dan kasih akan mengikutiku sepanjang hidupku (ayat 6a)

          b. Aku akan diam di rumah Tuhan selamanya (6b)

      B. Ilustrasi

      C. Transisi untuk masuk pada Kesimpulan

    IV. Kesimpulan

      A. Jadi mengapa kita perlu percaya kepada Tuhan sekarang? Ulangi pokok pikiran.

      B. Ilustrsikan dengan contoh tentang orang yang percaya kepada Tuhan

      C. Undang pendengar untuk memperdalam iman mereka kepada Tuhan

Ingat saat Anda mempersiapkan PA berdasarkan garisbesar ini, Anda perlu menjawab pertanyaan yang bisa mengembangkan PA Anda: (1) Apa yang perlu saya jelaskan; (2) apa yang perlu dipertahankan, atau (3) apa yang perlu diterapkan. Ingat untuk membawa pendengar ke dalam kehangatan dan kepastian lewat gambaran mengenai seorang gembala dan tuanrumah yang murah hati. Ceritakan bagaimana hidup dan peran seorang gembala dalam hidup orang Palestina, tapi pastikan Anda menceritakannya sesuai dengan perasaan, emosi, dan kebutuhan pendengar Anda. Tunjukkan komentari dan kamus Alkitab untuk pendengar yang ingin mencari informasi lebih banyak. Komentari juga biasanya akan membantu Anda dalam memahami paralelisme dalam puisi, seperti yang terdapat dalam ayat 6. Ingatkan sesering mungkin para pendengar akan pokok pikiran: mengapa mereka perlu percaya kepada Tuhan. Jangan pernah biarkan mereka lepas dari SATU “pokok pikiran.” Setiap kali Anda melihat pendengar Anda berada dalam tatapan kosong, maka itu berarti saatnya Anda mengulangi pokok pikiran Anda, baik saat itu Anda sedang membicarakannya dalam garisbesar Anda ataupun tidak!


1 “Ide homeletik” adalah “pokok khotbah” dan merupakan hasil usaha memindahkan teks dari konteks mula-mula ke dalam bentuk satu khotbah atau PA yang bisa dipahami alam pikir abad duapuluh-satu. Sering ini dinamakan “menjembatani jurang.”

2 “Genre” merupakan bentuk atau jenis satu tulisan yang akan dibahas. Surat-surat para rasul misalnya genre-nya adalah eksposisi, Kejadian, Keluaran, Kisah Para Rasul, dsb. genre-nya narasi, Mazmur dan kitab-kitab para nabi genre-nya adalah puisi, Wahyu genre-nya apokalipsi, dsb. Dengan mengetahui apa genre satu bahan PA akan membantu kita untuk menentukan pertanyaan-pertanyan yang mesti ditanyakan dan apa yang perlu dilakukan untuk bisa menginterpretasi dengan tepat. Ini penting untuk mempelajari Alkitab. Jika satu mahkluk asing dari planet lain dengan serius ingin mengomentari “Saturday Night Live” (satu acara di Amerika), maka kemungkinan mahluk asing itu akan salah memahami tentang politik, agama, dsb. Mengapa? Karena ia tidak memahami genre acara tersebut. Genre “Saturday Night Live” adalah komedi, dan bukan merupakan laporan serius seperti yang ditampilkan CNN setiap pukul 6:00 waktu di Amerika.

3 “Garisbesar eksegetis” adalah satu garisbesar yang dibuat secara cermat sesuai dengan perincian teks seperti yang dipahami pada konteks aslinya untuk pembacanya yang mula-mula. Jadi garisbesar eksegetis menyatakan kebenaran seperti yang dipahami sesuai dengan sejarah saat pesan itu disampaikan. Kita dituntut untuk bisa melangkah dari garisbesar eksegetis ke garisbesar teologis (yaitu garisbesar yang memuat kebenaran-kebenaran universal) ke garisbesar homeletik (yaitu garisbesar untuk pendengar di masa sekarang).

4 Garisbesar disini hanyalah memuat kembali fakta cerita dalam bentuk kerangka cerita. Garisbesar ini menunjukkan alur cerita, tanpa berusaha memuat perincian dan maknanya. Oleh sebab itu kita perlu membuat garisbesar pengajaran. Ini kadang-kadang disebut garisbesar homeletik (atau khotbah). Sebelumnya kita mengetahui ini dikarenakan bahwa Anda akan mengajar Alkitab kepada orang lain. Anda tidak sekedar mengajar isi Alkitab.

Related Topics: Teaching the Bible, Bible Study Methods

Cómo Enseñar la Biblia: Para Principiantes

Related Media

Introducción

Si la habilidad de estudiar, entender y responder a la verdad de Dios es uno de los grandes gozos de la vida, entonces la habilidad y oportunidad de comunicar a otros esta verdad arduamente ganada, es algo que ocupa un segundo lugar muy cercano al primero. Habiendo vivido el poder transformador del Espíritu Santo a través del entendimiento y aplicación de la palabra de Dios, siempre queda un deseo contagioso de compartir esta experiencia con otros. En Colosenses 3:16, el apóstol Pablo dice que esta actitud debería caracterizar la tendencia de nuestro tiempo con otros cristianos. El dijo:

La palabra de Cristo habite en abundancia en vosotros. Enseñaos y exhortaos unos a otros con toda sabiduría. Cantad con gracia en vuestros corazones al Señor, con salmos, himnos y cánticos espirituales.

El punto de esta lección es la de ayudar al lector a compartir la verdad de Dios de las Escrituras con mayor habilidad y placer. Esta lección es continuación del estudio anterior concentrado en cómo estudiar la Biblia. De tal manera que estamos pasando del entendimiento del texto en las Escrituras a la comunicación del texto en las Escrituras.

Pero entendiendo la teoría y el proceso de comunicación toma tiempo y es un trabajo difícil. Por lo tanto, hemos limitado esta lección a lo básico. La lección está diseñada con el principiante en la mente. No escavaremos en las profundidades (bastante oscura en estos días) de las aguas respecto a la teoría de la comunicación, sino que presentaremos un modelo simple que con poca habilidad y entendimiento pueda ser aplicada a cualquier porción de las Escrituras. Mientras hay mucho más que aprender, el estudio le traerá al lugar donde usted podrá compartir con otros la palabra de Dios con creatividad y exactitud en estudios bíblicos en el hogar, durante la evangelización, la escuela bíblica dominical, o incluso en la iglesia desde el púlpito. Que Dios pueda bendecirle abundantemente a medida que vaya estudiando su palabra y luego guarde sus descubrimientos para otros. Lleve su audiencia a donde usted ya ha estado – esta es la enseñanza verdadera!

I. Una Vista Breve al Proceso de ESTUDIAR y ENSEÑAR una Lección de la Biblia.

    A. Sección de Estudio (Todos los pasos discutidos en “Cómo Estudiar la Biblia”)

      1. Seleccione Su Pasaje

      2. Estudie el Pasaje Usando Observación y Preguntas/Respuetas

      3. Resuma el Pasaje en Sujeto/Complemento

      4. Esboce Su Pasaje

    B. Sección de Enseñanza

      1. Desarrolle el Sujeto/Complemento

      2. Desarrolle Su Lección Usando el Esbozo.

      3. Escriba la Conclusión y la Introducción

II. Una Vista Expandida al Proceso de ENSEÑAR una Lección de la Biblia.

    A. Primero, Cristalice la “Gran Idea”

      1. Seleccione Un Pasaje y Estúdielo (Vea “Cómo Estudiar la Biblia: Para Principiantes”)

      2. Establezca el Sujeto/Complemento Breve y Claramente.

        a) De acuerdo a la Palabra del Texto

        b) De acuerdo a la Palabra de Su Audiencia (Esta es Su Idea Homilética)

    B. Segundo, Desarrolle la Idea Homilética1 de acuerdo al Esbozo y Propósito de la Lección

      1. Hágase Tres Preguntas en Luz de Una Pregunta Principal

        a) Una Pregunta Principal: ¿Cuál es el Propósito de Mi Lección? ¿Qué deseo que la Lección Alcance?

        b) Tres Preguntas a Desarrollar: ¿Qué necesito Explicar, Defender, y/o Aplicar de la Idea de manera tal que el Propósito del Sermón Sea Comprendido?

      2. Establezca Su Esbozo en Términos de Verdades Universales

    C. Lleve la Lección a una Conclusión Adecuada y Escriba la Introducción

      1. Una Conclusión Deberá…

        a) Resumir la “Gran Idea” de la Lección

        b) Motivar a que la Gente Responda

          i. A Través de Situaciones Ilustrativas Donde la Verdad Aplique.

          ii. A Través de un Relato que Ilustre la Verdad

          iii. A Través de un Llamado Específico para Responder con Aplicaciones Particulares

      2. Una Introducción Deberá…

        a) Capturar la Atención de la Audiencia

        b) Presenatr la Necesidad de la Lección

        c) Orientar a la Gente hacia la “Gran Idea” de la Lección

III. Principios Para Trabajar Con Material Expositorio, Narrativo, y Poético

Los ejemplos que estamos utilizando han sido tomados de tres géneros2 predominantes en la Biblia: (1) la escritura expositora, (2) la literatura narrativa, y (3) la poesía. Necesitamos comentar brevemente sobre estos para ayudarle a trabajar y a enseñar estos distintos géneros.

A. Materiales Expositorios

Las epístolas son cartas expositorias enviadas a las distintas iglesias para fomentarlas en el entendimiento sobre Dios, Cristo y su obra, el Espíritu, y sobre cómo vivir honradamente por Dios. Estas cartas sin duda no son historias, aunque hacen referencia frecuente a historias del Antiguo Testamento (por ejemplo, Romanos 4, 2 Corintios 3). Más bien son escrituras exposicionales didácticas, cuyo significado es directo y, comparado con la mayoría de la narrativa, está en la superficie. Se prestan mucho más fácilmente para esbozos y tratan de comunicar ideas ásperas. Nota: Hay momentos cuando el material expositorio aparece en el contexto de narrativa, tal como Juan 1:1-18 y mucho de los discursos didácticos de Cristo en los evangelios. Deben estar relacionados a la narrativa completa, pero tratada como material expositorio. También debe notarse que hay una cantidad considerable de poesía en las distintas cartas expositorias del Nuevo Testamento.

Permítame ilustrar: En la lección, Cómo Estudiar la Biblia: Para Principiantes, vimos Efesios 2:1-10 con cierto detalle. Hicimos observaciones sobre las palabras, etc. e hicimos/respondimos a preguntas sobre el pasaje. Al final resumimos el mensaje del pasaje por medio del desarrollo del sujeto/complemento. ¿Notó qué tan diferente fue esto comparado con el ejemplo de Juan 9:1-41? En Efesios 2:1-10 el significado está en la superficie y no comunicado indirectamente. Esto no significa que algunas partes no fueron difíciles de entender, sino que la intención y significado del pasaje es generalmente más claro que la mayoría de los textos narrativos donde a usted no se la ha dicho de una manera explícita lo que el pasaje significa. Esto también significa que será más fácil de algunas formas enseñar textos exposicionales, ya que las verdades expresadas allí no tienen realmente que someterse a mucha traducción para nuestra audiencia contemporánea. El significado de la frase “no diga mentiras a otros” es considerablemente directo. La narrativa, por otro lado, tiene que ser traducida para nosotros porque no compartimos el mismo mundo de la gente en la Escritura y porque el significado de la historia es raramente dado a nosotros de una manera explícita. Veamos brevemente el material narrativo.

B. Material Narrativo

El material narrativo (como por ejemplo, relatos) es indirecto de la forma en que comunica su mensaje, atrayendo primeramente a los sentidos, no tanto al intelecto directamente, como lo hace la escritura exposicional. La narrativa le invita a entrar al mundo de los personajes y experimentar lo que ellos viven. Está construida en escenarios, personajes, y trama (involucrando usualmente, algún conflicto, prueba, jornadada, deseo, etc.) y usualmente, no le dice directamente cuál es su significado (compare con el relato del Buen Samaritano). Cuando enseñamos la narrativa debemos llevar a nuestra audiencia al mundo de las historias, tomándonos el tiempo de pintar el escenario de tal forma que el oyente se sienta transportado(a) al otro mundo, es decir, al mundo de la historia que se esté relatando. Hay la necesidad por el uso de la imaginación de una manera creativa y fecunda, por oler la brisa del mar, oir el sonido de niños llorando, ver al hombre cojo saltar de alegría, como si estuviese ocurriendo en ese mismo momento. Esto ayudará a las personas a entrar en las vidas y luchas/victorias de los personajes.

La estructura del material narrativo procede más mediante escenas y episodios que estrictamente mediante párrafos, como por ejemplo, es el caso de las epístolas. De este modo, en el capítulo 9 de Juan, estudiamos muchos párrafos porque esta fue la duración de la historia completa sobre la curación del hombre ciego. Y este mismo relato forma parte de una historia aún más larga relacionada con el ministerio de Jesús, la cual Juan está escribiendo para su audiencia. La curación del hombre ciego demuestra el poder de Cristo de superar problemas enormes; él es digno de creencia. La reacción de los líderes religiosos es consistente con el hecho de que hay aquellos que siempre se resitirán a la verdad en favor de proteger su posición y estatus propios en la vida.

El punto final es: cuando enseñe una historia de la Biblia, ayude a la audiencia a identificarse con los personajes de la historia, especialmente con aquellos que sean un buen ejemplo a seguir. Ayúdeles a vivir la historia como si hubiesen estado allí cuando ocurrió. De esta manera, la recreación es la esencia de enseñar material narrativo.

C. Material Poético

La Biblia tiene una gran cantidad de material poético, incluyendo los Salmos, Proverbios, Eclesiastés, grandes porciones de los profetas, y como también ya haya podido notar, en varios lugares de las epístolas en el Nuevo Testamento. Por ahora ya sabemos, a través de los Salmos que la poesía Bíblica está llena de imágenes tales como: (1) pastores; (2) fortalezas; (3) rocas sólidas; (4) aves; (5) diluvios; (6) espadas; (7) tinieblas; (8) luz; (9) sepulcros abiertos; (10) estrellas; (11) miel; (12) hiel; etc. Con el uso de imágenes y metáforas el intérprete se da cuenta que el escritor está atrayendo principalmente a los sentidos. Por lo tanto, al leer y enseñar los Salmos habrá la necesidad de exponer el significado de las imágenes a través del uso generoso de sentidos, sentimientos, e imaginación. De hecho, la estructura de muchos poemas está construida en el movimiento de una imagen a otra. A usted le gustará esbozar muchos poemas de acuerdo a la progresión de ideas o imágenes que se mueven a través de todo el poema.

En nuestra lección sobre como estudiar la Biblia listamos dos preguntas que deberían hacerse en términos claves. Estas fueron: (1) ¿Referente? ¿A qué realmente se refiere el término? y (2) ¿Sentido? ¿Cuál es el sentido? Positivo/Negativo, sentimiento, etc. Esta última pregunta es extremadamente importante cuando se esté estudiando y enseñando material poético. Por ejemplo, cuando David se refiere a sí mismo como un “gusano” y no un hombre, a usted le gustará descubrir las connotaciones (otros significados más allá del literal) involucradas en el uso de este término (compare con el Salmo 22:6). ¿Cuál es el sentido de Roca cuando es usado para referirse a Dios en el Salmo 78:35? En Isaías 40:31 – un pasaje muy familiar para mucho de nosotros – ¿qué imágenes y sentimientos hacen invocar en el lector en el retrato “levantarán alas como las águilas”? Los Comentarios le ayudarán con algunos de los antecendentes culturales para estas imágenes. Usted debería morar en estas imágenes “por un arduo y largo tiempo” porque ellas tienen un gran poder explicativo y un “gusto” motivacional.

IV. Preparando Una Lección del Material Expositorio – Juan 1:1-18

A. Seleccione el Pasaje: Juan 1:1-18

B. Estudie el Pasaje Usando Observaciones y Preguntas/Respuestas

Esto lo hemos completado en la lección previa. Trasládese allí ahora mismo y revise el material si es necesario. Piense en las palabras, estructura (gramática y literatura), ánimo, así como también en el tipo de escritura con la cual usted está trabajando. Le dimos un poco de ayuda anteriormente cuando le enseñamos los tres tipos diferentes de literatura, que son, expositoria, narrativa y poética.

C. Establezca el Sujeto/Complemento:

Dijimos que el sujeto/complemento para Juan 1:1-18 era algo como: La razón por la que el Verbo de Dios eternal se hizo carne fue para que él pudiése revelar a Dios a todos los hombres y para que ellos puedan creer en él y convertirse en hijos de Dios.

D. Desarrolle el Esbozo Textual (Exegético3) del Pasaje

Preparamos el siguiente esbozo general:

    I. La Deidad del Verbo (1:1-5)

      A. El Verbo Era Dios (1:1-2)

      B. El Verbo Era Creador (1:3)

      C. El Verbo Era Vida y Luz de los Hombres (1:4-5)

    II. La Preparación para el Ministerio Terrenal del Verbo (1:6-9)

      A. Juan era Enviado de Dios (1:6)

      B. Juan Testificó a la Luz para que de tal Modo Todos los Hombre Pudiesen Creer (1:7)

      C. El mismo Juan no era la Luz Verdadera, sólo un Testigo (1:8)

      D. La Luz Verdadera Ilumina a Cada Hombre del Mundo (1:9)

    III. La Respuesta Al Mundo (1:10-13)

      A. El Mundo no lo Reconoció a Él (1:10)

      B. Los Suyos no lo Recibieron (1:11)

      C. Aquéllos que sí lo Recibieron (los que Creyeron) se Hicieron Hijos de Dios. (1:12)

      D. Los Hijos de Dios no son Nacidos por Ningún Origen Humano, Sino por Dios (1:13)

    IV. La Humanidad y Revelación del Verbo Trae una Nueva Era de Gracia (1:14-18)

      A. El Verbo que Vino del Padre se Hizo Humano (1:14)

      B. El Testimonio Humilde de Juan en Relación a la Pre-existencia de Cristo (1:15)

      C. Hemos sido Bendecidos con la Plenitud de la Gracia de Cristo (1:16)

      D. El Contraste Entre Jesús y la Ley de Moisés (1:17)

      E. Jesús el Único y Sólo Dios, lo ha Hecho Ser Conocido (1:18)

E. Desarrolle el Sujeto/Complemento

Para desarrollar el sujeto/complemento hacemos tres preguntas en luz de una pregunta principal. La pregunta principal es: ¿Cuál es el propósito de esta lección? ¿Qué deseo alcanzar con esta lección? Bueno, por lo que yo puedo decir, el propósito que yo escoja deberá ser consistente con el propósito para el pasaje ya originalmente dado. Ahora bien, está claro que Juan escribió el prólogo a su evangelio (1:1-18) para fomentar la creencia en Jesús completa y genuinamente. Así pues, su propósito estuvo directamente relacionado a la salvación de la gente, así como también al crecimiento subsecuente en la vida cristiana.

Digamos que nuestra audiencia es una clase de la escuela bíblica dominical para adultos en la cual los estudiantes están familiarizados con las enseñanzas de la Biblia. Hay cincuenta personas en la clase y sus necesidades son variadas. Pero lo único que usted puede notar en muchas de las personas (y efectivamente en la cultura en general) es cierta superficialidad cuando se trata de pensar seriamente sobre la relación de su fe a una doctrina cristiana estable y de vivir la vida en una cultura moralmente decayente y retadora. En pocas palabras, es tiempo apropiado para una inspección de la visión del mundo.

Dijimos que el sujeto/complemento para Juan 1:1-18 iba de esta manera: La razón por la que el Verbo de Dios eternal se hizo carne fue para que él pudiése revelar a Dios y su gracia a todos los hombres y que ellos puedan convertirse en hijos de Dios, creyendo en él (es decir, en el Verbo). De esta manera el sujeto del pasaje está conectado a la revelación y el hecho de que Dios se haya dado a conocer a sí mismo definitivamente en Cristo. Pero un entendimiento profundo de Dios no parece haber penetrado muy hondamente dentro de los corazones y mentes de muchos en la iglesia, ni mucho menos en la gente de este mundo. Por lo tanto, en este sermón desearemos explorar las afirmaciones teológicas poderosas que Juan hace y yuxtaponerlas con descripciones de nuestro sistema de creencia y los axiomas que adoramos en nuestra cultura. Desearemos explorar la verdad de Juan a luz de la necesidad de nuestra audiencia, para pensar más seriamente sobre la revelación de Dios en Cristo. La meta es tentar a la gente a vivir en un plano diferente, aunque el sermón esté dirigido más a la vida de la mente como el primer paso de una vida cambiada.

F. Desarrolle la Lección del Esbozo

Sabemos ahora el propósito de la lección: “Animar a la gente a evaluar su propia visión del mundo refleccionando seriamente en su experiencia cristiana a la luz de la naturaleza perturbadora de sus (nuestros) pecados y la definitiva y profunda revelación de Dios en Cristo”.

Ahora, debemos desarrollar esta idea a través del esbozo haciéndonos las tres preguntas básicas: (1) ¿Qué necesito explicar?, (2) ¿Qué necesito defender?, (3) ¿Cómo puedo aplicar los diferentes textos a medida que vaya desarrollando el esbozo?

Desde luego, necesitamos desarrollar nuestro esbozo original. Lo desarrollaremos en un esbozo educativo, enlazando cada sección (habrán tres secciones en el cuerpo de la lección) para que de tal modo contribuya hacia la gran idea. Agregaremos detalles textuales cuando sea apropiado y ejemplos a medida que avancemos.

Como ya hemos dicho, aparte de la introducción y conclusión, habrá tres partes principales en la lección. Cada una de estas partes – y esto es importante – desarrollarán nuestra “gran idea”. Recuerde, usted está enseñado la Biblia a la gente, y no enseñando la Biblia nada más por enseñar. En su estudio original de Juan 1:1-18, usted estuvo interesado en lo que Juan implicó con lo que dijo. Ahora usted está interesado en llevar ese significado a que se aproxime a las vidas de la gente ( es decir, exponiéndolos al significado de la implicación de Juan para ellos). Es hora de traer el texto desde el primer siglo al siglo veinte/ventiuno. Tomemos nuestro esbozo y modifiquémolos. Haremos un esbozo parcial, usted necesitará de llenar el resto.

    I. Introducción

      A. Comience con un ejemplo

        1. Atractivo y Pegajoso/No Trillado: Que surja la necesidad de escuchar lo que usted tiene que decir.

        2. Que Contenga los Elementos de la Gran Idea de la Lección.

      B. Haga Transición a la Gran Idea de la Lección

        No necesita compartir la idea completa al principio, pero si necesita al menos orientar a su audiencia al tema. Puede desarrollar el complemento a medida que avance.

    II. Su Visión del Mundo y Jesucristo (1:1-5)

      A. Detalles Textuales

        1. El Verbo (Cristo) Era Dios (1:1-2)

          a) Explique la Deidad de Dios

          b) Nuestra Búsqueda por Dios ha Terminado (y hombres y mujeres están buscándolo)

        2. El Verbo (Cristo) Era Creador (1:3)

          a) Cuáles Son las Implicaciones de tal Creador Personal

          b) Vivimos en un mundo arruinado con evolución natural, impersonal. Así es como lo ha afectado…

        3. El Verbo (Cristo) Era la Vida y Luz de los Hombres (1:4-5)

          a) Explore la idea de vida

          b) ¿Cuáles son nuestras concepciones de vida real?

        4. Aplicación: Una visión del Mundo busca de responder al menos cuatro preguntas básicas: (1) ¿Quién es Dios?, (2) ¿Qué es el Hombre?, (3) ¿Cuál es el Problema? (4) ¿Cuál es la Solución?, ¿Cuál es la Visión de Dios Sobre el Mundo?, ¿Cuál es mi Visión del Mundo?

      B. Ejemplo(s): Desarrolle varios aspectos de la visión del mundo del siglo veinte/ventiuno: (1) Paganismo inexperto, (2) el colapso del modernismo y la imagen robusta del vaquero, (3) soledad y miedo, (4) etc.

      C. Oración Transicional: ¿Qué es lo que usted verdaderamente cree sobre el mundo, y su vida en él?, ¿Por qué tenemos los problemas que tenemos y dónde debería estar nuestra esperanza? Probablemente esto depende en gran medida, de la manera en que usted percibe y entiende a la gente y por qué ellos hacen lo que hacen.

    III. El Problema Perturbador de la Pecaminosidad Humana y la Inconquistable Gracia de Dios (1:6-13)

      A. Somos un Lote de Personas Desobediente (esta parte del texto es básicamente narrativa, relátela como una historia)

        1. Detalles Textuales (recuerde explicar, defender, y aplicar las ideas)

          a) Explique: la Luz Verdadera que Ilumina a Cada Hombre (1:6-9)

          b) El Asunto Perturbador del Amplio Rechazo de Cristo (1:10-11)

        2. Ejemplo:

        3. Oración Transicional:El corazón humano es un lugar oscuro, una casa envejecida, ruinosa y peligrosa, pero Dios sabe su camino en la oscuridad.

      B. Pero la Gracia de Dios es Inconquistable

        1. Detalles Textuales

          a) Aquellos que lo Recibiron (los que Creyeron) de Hicieron Hijos de Dios (1:12)

          b) Los Hijos de Dios son Nacidos no por Origen Humano, Sino por Dios (1:13)

        2. Ejemplo:

        3. Transición:

    IV Reformulando Nuestro Entendimiento del Dios Que Está Allí (1:14-18)

      A. Detalles Textuales (Escoja cuáles desarrollará para sus propósitos)

        1. El Verbo que Vino del Padre se Hizo Humano (1:14)

        2. El Testimonio Humilde de Juan Relacionado a la Preexistencia de Cristo (1:15)

        3. Hemos Sido Bendecidos con la Plenitud de la Gracia de Cristo (1:16)

        4. El Contraste entre Jesús y la Ley de Moisés (1:17)

        5. Jesús el Único y Sólo Dios, Lo Ha Hecho Ser Conocido (1:18)

      B. Ejemplo

      C. Transición a la Conclusión

    V. Conclusión

      A. Resuma la Gran Idea. Dígala Otra Vez.

      B. Ejemplifique y Apele.

V. Preparando Una Lección del Material Narrativo – Juan 9:1-41

La preparación de una lección del material narrativo tiene sus propios retos algo diferente de cuando se está trabajando con materiales expositorios. Queremos desarrollar un sujeto/complemento del texto, pero no queremos simplemente predicarlo como una idea abstracta. La historia no es abstracta, sino concreta. Las historias “muestran” su significado, generalmente no lo explican. Están llenas de experiencias sensoriales, no sólo ideas expresadas cognitivamente. Son del cerebro derecho, no del izquierdo. Queremos atraer a nuestra audiencia dentro de la historia, para que ellos puedan revivir la experiencia de carácteres, experimentar la tensión de la trama y dar su voto por el héroe!

Por lo tanto, necesitamos desarrollar el sujeto/complemento hacia una idea educativa con los intereses, preguntas, y problemas de nuestra gente. Luego, necesitamos desarrollar esa idea a través de los detalles de la historia.

Dijimos que el sujeto/complemento para Juan 9:1-41 es: La curación del hombre ciego por Jesús, seguido por las respuestas variadas, muestra que aquellos que admiten su ceguera encontrarán la luz (Cristo), pero aquellos que exclaman ver, cuando en realidad no ven, permanecerán ciegos.

Nuestro esbozo exegético o textual de acuerdo al lenguaje de Juan4 fue como sigue:

    I. La Curación del Hombre Ciego (9:1-12)

      A. La Ocasión

        1. El Hombre Nació un Hombre Ciego (9:1)

        2. La Pregunta: “¿Quién Pecó?” (9:2)

        3. La Respuesta: “Nadie… sino que la obra de Dios pueda ser revelada” (9:3-5)

      B. El Milagro (9:6-7)

        1. El Método: Saliva y barro sobre los ojos (9:6)

        2. El Mandato y Resultado: “Ve lava… y él vió” (9:7)

      C. La Respuesta de los Vecinos (9:8-12)

        1. La División (9:8-10)

        2. El Testimonio del Hombre Ciego (9:11-12)

    II. La Reacción de los Fariseos con la Curación (9:13-34)

      A. El Problema: La Curación fue en un Sábado (9:13-15)

      B. Los Fariseos Responden: Enojo y Rechazo a Creer (9:16-34)

        1. Están Divididos (9:16)

        2. Interrogan al Hombre: La Primera Vez (9:17)

        3. Interrogan a los Padres del Hombre (9:18-23)

        4. Interrogan al Hombre: La Segunda Vez (9:24-34)

    III. La Reacción de Jesús: El Caso del Hombre Ciego y de los Fariseos (9:25-41)

      A. Jesús Encuentra al Hombre: ¿Tú Crees…? (9:35-39)

        1. La Pregunta de Jesús (9:35)

        2. La Respuesta del Hombre Ciego (9:36-38)

        3. El Pronunciamiento de Jesús: El Ciego y Aquellos Que Ven (9:39)

      B. El Veredicto de Jesús Relacionado a los Fariseos: Ellos Son Culpables! (9:40-41)

        1. La Pregunta de los Fariseos: ¿También Somos Ciegos? (9:40)

        2. La Respuesta de Jesús: Su Culpabilidad Permanece (9:41)

Este esbozo, sin embargo, desarrolla el sujeto/complemento de acuerdo con el desarrollo del pasaje escena por escena, es decir, de acuerdo con el desarrollo estricto del texto. Ya que seguimos este método básicamente con Juan 1:1-18 (aunque fue diferente debido a su naturaleza expositoria) decidimos, con el propósito de ejemplificar, hacer Juan 9:1-41 un poco diferente. Sin embargo, usted decida manipular el material, tratar la narrativa como narrativa, transportar a la gente dentro del mundo de la historia.

Lo que vamos a hacer es desarrollar la gran idea de acuerdo a los dos temas cruciales en la historia – es decir, malas y buenas respuestas a Jesús (la Luz) y el resultado de cada una de ellas. Trataremos a cada respuesta separadamente y luego concluíremos con un llamado a “identificarse” con los personajes de la historia quienes representen las respuestas buenas. Nuestra clave viene de 9:39 la cual es un comentario sobre el significado del pasaje completo. El esbozo será un desarrollo temático (no uno textual, estrictamente hablando) de la gran idea como sigue a continuación:

    I. Introducción a la Lección: De Cómo Respondamos a Cosas Hace un Mundo de Diferencia

    II. Un Hombre Ciego es Curado (1:1-7)

      A. Detalles Textuales

        1. Ciego de Nacimiento – el milagro no es remedio, es creativo (Juan 1:3)

        2. Explique la teología detrás de la pregunta de los discípulos (vea los comentarios)

        3. Enfóquese en la respuesta de Jesús – la luz, día y noche

      B. Ejemplo

      C. Transición: No todos respondieron a este milagro como usted haya esperado. Veamos varias respuestas las cuales tienen una cosa en común…

    III. Dos Tipos de Respuestas (9:8-41)

      A. Algunas Respuestas Malas:

        1. Indiferencia(9:9a):

          a) Detalles Textuales: “Algunas personas dijeron, “Este es el hombre” … y aparentemente no hizo nada!”

          b) Ejemplo/Advertencia para usted y su audiencia

          c) Aplicación: No deje que la indiferencia nuble su juicio: Abrace la Luz!

          d) Transición al “Miedo”

        2. Miedo (9:18-23)

          a) Detalles Textuales: Los padres del hombre y su miedo

          b) Ejemplo/Advertencia para usted y su audiencia

          c) Aplicación: No deje que el miedo no le permita que abrace a Cristo plenamente!

          d) Transición al “Rechazo a lo Obvio”

        3. Rechazo a lo Obvio – Los Líderes Religiosos (9:9b, 13-17, 24-34)

          a) Detalles Textuales: Explique su Confianza Arrogante: “Sabemos que…”

          b) Ejemplo/Advertencia para usted y su audienceia

          c) Aplicación: No permita que lo que usted sabe se ponga en medio de lo que tiene por aprender! Como creyentes por algún tiempo, y “teniendo nuestra propia forma de ser”, debemos tener mucho cuidado de que esto no se convierta en nuestra verdad. Tal vez no estamos completamente en las tinieblas como los líderes religiosos estuvieron, pero quizás estamos más cómodos en la sombra que en la luz plena del día.

          d) Transición a “El Resultado de Responder Equivocadamente…”

        4. El Resultado de Responder Equivocadamente: Ceguera Permanente (9:39-41)

          a) Detalles Textuales: Explique su Confidencia Arrogante: “Sabemos que…”

          b) Ejemplo/Advertencia para usted y su audienceia

          c) Aplicación: No permita que lo que usted sabe se ponga en medio de lo que tiene por aprender!

          d) Transición a la “Respuesta Correcta”

      B. El Hombre ciego y la Respuesta Correcta (vea los versículos bajo detalles textuales)

        1. Creencia Creciente

          a) Detalles Textuales: Note la progresión de la fe del hombre ciego (9:12, 15, 17, 25, 30-33, 38)

          b) Ejemplo/Animo para venir a la Luz

          c) Aplicación

          d) Transición a “El Resultado de Responder Correctamente”

        2. El Resultado de Responder Coerrectamente: Vista Espiritual (9:39)

          a) Detalles Textuales: Explique lo que significa la luz hoy en día (es decir, conocer a Dios y una vida de amor moralmente virtuosa, el fruto del espíritu – Juan 15 y Gálatas 5:22-23)

          b) Ejemplo

          c) Aplicación

          d) Transición a la Conclusión

    IV. Una Pregunta (la Conclusión)

      A. ¿Con Quién se Identifica Usted en la Historia? ¿Dónde Está Usted con Jesús (hable acerca de su ausencia conspicua de la narrativa y el porqué. Y todavía él es aún así,el personaje principal!)? Resuma las varias respuestas a “la Luz” en Juan 9:1-41.

      B. Tal vez usted conoce a alguien quien no rechaza a Jesús en su totalidad, y ellos no tienen miedo de confiarle, ni son indiferentes. Ahora bien, hubo otra respuesta en la historia que realmente no tocamos sobre eso y que pueda servir de ayuda. Yo la llamo la respuesta de las “Mentes Inquisidoras”. Usted la ve en la gente laica (9:8) y en algunos líderes religiosos (9:16b). Explique estos textos brevemente, y luego pregúnteles si ellos son una “mente inquisidora”. De ser cierto, sondée sus respuestas, adviértales gentilmente de los peligros de la pseudo-creencia, y exhórtelos a aceptar a Cristo como la Luz.

VI. Preparando Una Lección del Material Poético – Salmo 23

Escogimos el Salmo 23 porque es corto y probablemente usted ya lo conoce suficientemente bien. No entraremos en gran detalle sobre poesía en esta sección, pero le mostraremos cómo esbozamos el poema y luego cómo desarrollamos ese esbozo exegético en un esbozo homilético de acuerdo a la gran idea. Seguimos el mismo método que en Juan 1 y 9, pero fuimos muy sensibles al buscar imágenes, emociones, e ideas, y esbozamos nuestro material de acuerdo a esto. De más está decir que los poemas pueden ser divididos generalmente en unidades manejables, no de acuerdo a escenas y episodios como es el caso de las historias, sino más bien de acuerdo a las ideas e imágenes que presentan.

Después de haber hecho observaciones numerosas, preguntado y respondido muchas interrogantes sobre el pasaje, desarrollamos el sujeto/complemento y esbozamos el pasaje como sigue a continuación:

Sujeto/Complemento: Jehová es un pastor fiel y un anfitrión misericordioso para el salmista y por esta razón el salmista le da gracias y expresa su confianza de que siempre él morará en el Templo de Jehová, en una relación íntima con El.

    I. Jehová es un pastor de digna confianza, quien provee, guía, y proteje al salmista (1-4)

      A. Jehová provee para el salmista (1)

      B. Jehová lideriza y guía al salmista (2-3)

      C. Jehová proteje al salmista de todo peligro (4)

    II. Jehová prepara un banquete encantador para el salmista en la presencia de sus enemigos y unge su cabeza con aceite (5)

      A. Jehová prepara una tremenda comida para el salmista ante sus enemigos (5a, b)

      B. Jehová unge la cabeza del salmista con aceite (5c)

      C. La copa del salmista se rebosa (5d)

    III. El salmista está seguro que la bondad y misericordia lo seguirán en vida y él morará en el Templo por todos sus días (6)

      A. La bondad y misericordia seguirán al salmista (6a)

      B. El salmista morará en el Templo de Jehová por toda su vida (6b)

Cada pasaje intenta responder algunas preguntas fundamentales. Por ejemplo en Juan 9 la pregunta podría ser: ¿Cuáles son las implicaciones de responder a Cristo con creencia o no creencia? En Juan 1:1-18 pudiéramos decir que la pregunta fundamental respondida por el prólogo es: ¿Por qué Jesús se hizo hombre? Así bien, hay una pregunta fundamental respondida por el Salmo 23. La podríamos establecer como: ¿Por qué debería confiar en Dios por toda la vida cuando todo en la vida pareciera ser incierto? La respuesta es: Porque él es un pastor bondadoso y fiel y un anfitrión misericordioso. Desarrollemos ahora esa idea homilética de la lección como sigue:

    I. Introducción

    II. Confíe en Dios como el Dios y Pastor Fiel (1-4)

      A. Para proveer para usted (1-3a)

        1. Detalle Textuales

          a) Jehová es personal (“mi” en v. 1)

          b) Su provisión es perfecta (2)

          c) Su provisón renueva y satisface (3a)

          d) Resumen

        2. Ejemplo

        3. Transición a “Para Guiarle”

      B. Para Guiarle (3b-4)

        1. Detalle Textuales

          a) El le guía por sendas de justicia (3b)

          b) El le guía por amor a Su nombre (3c)

        2. Ejemplo

        3. Transición a “Para Protegerle”

      C. Para Protegerle (4)

        1. Detalles Textuales

        2. Ejemplo

      D. Transición a “Regocijarse en la Gracia de Dios”

    III. Regocíjese en la Gracia de Dios (5-6)

      A. Detalles Textuales

        1. Porque El no Escatima Bendición (5)

          a) Una mesa en la presencia de enemigos (5a)

          b) Ungir la cabeza con aceite (5b)

          c) Mi copa se rebosa (5c)

        2. Porque Resulta en Compañerismo Constante con El (6)

          a) Bondad y amor me seguirán por todos los días de mi vida (6a)

          b) Por siempre moraré en la casa de Jehová (6b)

      B. Ejemplo

      C. Transición a la Conclusión

    IV. Conclusión

      A. ¿Entonces, por qué deberíamos confiar en Dios en el mundo de hoy? Repita la gran idea.

      B. Ilustre con ejemplos de personas que han confiado en Dios

      C. Invite a que la audiencia profundice su confianza en Dios.

Recuerde que a medida que usted comience a trabajar este esbozo hacia su forma final escrita usted necesitará hacer las preguntas de desarrollo: (1) Qué necesito explicar, (2) defender, o (3) aplicar. Recuerde de atraer a la audiencia hacia la calidez y seguridad permitida a través de las imágenes de un pastor y un huésped misericordioso. Hable acerca de pastores y su papel en la vida Palestina, pero asegúrese de relacionarlo a los sentimientos, emociones y necesidaded de su gente. Refiera a los comentarios de la Biblia y diccionarios bíblicos para más información sobre estas ideas. Los comentarios también le ayudará a interpretar paralelismos en poesía, como el caso del versículo 6. Constantemente vuelva a la idea principal de por qué ellos deberán confiar en Dios. Nunca permita que pierdan de vista la SOLA “gran idea”. Cada vez que vea caras perdidas, es hora de que revise la gran idea, ya sea que esté en ese punto o no!


1 El término “idea homilética” significa “idea predicativa” y refleja el intento de ir desde la estructura interna del texto en su contexto original hacia un sermón o lección con la cual la gente del siglo 20 ó 21 se pueda relacionar. A menudo a esto se le refiere como “llenando el vacío”.

2 El término “género” en la escritura se refiere al tipo de literatura en cuestión. Por ejemplo, es el género exposicional (por ejemplo las epístolas), narrativo (por ejemplo Génesis, Éxodo, Hechos, etc.), poético (Salmos, Profetas), apocalíptico (por ejemplo Apocalipsis), etc. Sabiendo lo que es el género nos ayuda a entender qué tipo de preguntas formular y qué buscar para interpretar el texto apropiadamente. Esto es importante para el entendimiento de la Biblia. Si un extraterrestre se presentara aquí y tomara los comentarios de “Saturday Night Live” seriamente, este extraterrestre estaría mal informado seriamente sobre política, religión, etc. ¿Por qué? Porque ha mal entendido el género. “Saturday Night Live” es del género comedia, y no reportajes serios como el que podemos encontrar en CNN todos los días a las 6 pm.

3 Un “esbozo exegético” es aquel que está preparado estrictamente de acuerdo a los detalles textuales del pasaje así como está entendido en su contexto original con sus lectores originales en la mente. Así pues, revela la verdad como es discutida en cierto escenario histórico. El estudiante experto deberá estar en capacidad de pasar del esbozo exegético al esbozo teológico (el esbozo establecido en términos de verdades universales) al esbozo homilético (el esbozo establecido para la audiencia contemporánea).

4 Nuestro esbozo exegético o textual es sólo la recaracterización de los detalles de la historia en una forma esquemática. Muestra los movimientos amplios en la historia, pero no intenta relacionar los detalles y significado de la historia al mundo de hoy. Esta es la razón por la que ahora debemos desarrollar un esbozo educativo/predicativo. Algunas veces a esto es lo que se refiere como un esbozo homilético ( es decir, predicativo). Hemos dicho anteriormente que la razón de esto es porque usted está enseñando la Biblia a la gente. Usted no está solamente enseñando el contenido de la Biblia. Hay una gran diferencia.

Related Topics: Bibliology (The Written Word), Teaching the Bible

Kekudusan Ala Wesley & Keswick

Related Media

Translated by Berens

I. Pendahuluan

Banyak orang Kristen injili yang ada sekarang ini dalam beberapa hal patut berterimakasih kepada John Wesley dan pada pemahaman teologisnya tentang kehidupan Kristen, khususnya tentang Penyucian (Sanctification). Pengikut ajaran Wesley, sejumlah ajaran teologi tentang Kekudusan (Holiness Theology), Keswick, Hidup yang Lebih Dalam (Deeper Life), Hidup yang Lebih Tinggi (Higher life), ajaran tentang Hidup yang Berkemenangan (Victorious Life), semuanya didasarkan pada ajaran Wesley tentang kehidupan Kristen (Christian life).

II. Wesley dan Wesleyanisme

A. Wesley & Penyucian

Dalam ajaran teologi John Wesley kita mendapati adanya satu arah baru yang berbeda dengan ajaran Pembaharuan (Reformed) juga yang berbeda dengan Armenianisme klasik. Wesley membangun pemahamannya tentang hakekat manusia seutuhnya atas dasar ajaran Reformasi tentang dosa asal (original sin), dan pentingnya kasih karunia yang tidak berkesudahan terhadap keselamatan (salvation). Akan tetapi ia memisahkan diri dari ajaran para reformator dan menyuntikan ajaran tentang kasih karunia yang berbeda ke dalam pemahamannya tentang keselamatan, dimana menurutnya semua orang telah menerima Roh Kudus berkemampuan untuk memberi respon kepada Allah. Wesley menolak konsep kaum Pembaharuan mengenai pilihan (election). Jadi ia menggabungkan ajaran kaum Pembaharuan tentang keberdosaan manusia secara total dengan keutamaan kasih karunia dari Armineanisme yang membela kehendak bebas manusia (human freedom), dan kewajiban moral. Akan tetapi ajarannya tentang kekudusan berbeda dengan ajaran Armenianisme tradisional. Wesley juga sangat dipengaruhi oleh ajaran yang bersifat mistis. Packer menilai bahwa ia telah menggabungkan

“Augustinianisme dari buku doa gereja Anglican dengan ajaran moral Gereja Tinggi (High Church) yang mengilhami konsepnya tentang kesempurnaan ...yang ia pelajari dari sumber-sumber dari para Bapak Gereja Yunani. Diantara mereka adalah “Macarius si orang Mesir” . . . dan Ephraem Syrus. Sebenarnya ajaran mereka bukan mengenai ketidakberdosaan (sinlessness), melainkan tentang satu proses pendalaman yang terus-menerus dalam perubahan moral. Dari ajaran ini kemudian Wesley menambahkan ajaran yang ia pelajari dari orang-orang yang ia sebut “pengarang-pengarang mistis” (dimana didalamnya termasuk William Law dari gereja Anglican, Molinos dari gereja Roma Katolik, Fenelon, Gaston de Renty, Francis de Sales, dan Madame Guyon, Francke dari gereja Luteran Pietist, dan para tokoh Theologia Gremanica pre-reformasi). Ia mengajarkan bahwa keinginan hidup saleh yang sejati merupakan satu kekuatan rohani untuk mengasihi Allah dan manusia; tanpa ini semua agama adalah dangkal dan kosong. (Keep In Step with the Spirit,134)

Wesley menegaskan bahwa keutamaan pembenaran (justification), dan kepastian jaminan orang percaya bisa didasarkan pada kebenaran Kristus. Akan tetapi, pandangannya tentang pilihan yang bersifat Arminian mempengaruhi pemahamannya tentang keselamatan. Ia melihat proses Penyucian (Sanctification) sebagai satu proses yang menentukan seseorang layak memperoleh keselamatan akhir. Proses ini adalah perbuatan Tuhan, tapi juga adalah perbuatan manusia. Nampaknya disini terjadi satu sinergi. Pada satu bagian ia mengatakan bahwa perbuatan baik manusia adalah satu syarat bagi pembenaran akhir yang ia anggap perlu untuk memperoleh keselamatan akhir (Lindstrom, 207)

B. Perkembangan dalam Ajaran Wesley

Sejak ajaran Wesley masuk ke Amerika, ajarannya terinstitusionalisasi lewat para pemimpin gereja dan lewat kebangunan rohani. Ini mengakibatkan ajarannya menjadi kuat. Bahkan sejak 1784 Francis Asbury telah mempopulerkan khotbah mengenai pengalaman penyucian menyeluruh sebagai yang harus diharapkan orang percaya selekas mungkin dengan iman. Banyak kebangunan rohani mereka menekankan satu titik balik penting dalam kehidupan Kristen. Banyak khotbah mereka mengenai kekudusan cenderung berpusat pada ajaran Wesley tentang penyucian dalam pengalaman krisis ke-dua (second crisis) setelah pembenaran yang lebih dikenal dengan “penyucian sepenuhnya” (entire sanctification). Atas dasar ini, mereka yang telah mengalaminya memiliki kewajiban untuk mengakuinya dan berusaha untuk membawa orang lain ke dalam pengalaman yang sama.

Seiring dengan makin dihargainya ajaran Methodis, ada kerinduan untuk kembali pada ajaran Wesley yang mula-mula. Pada akhir abad 19 Asosiasi Kekudusan Nasional (National Holiness Association) terbentuk untuk mempromosikan teologi kekudusan berdasarkan ajaran Wesley. Tiga nama besar dalam menyebarkan teologi kekudusan ini adalah: Phobe Palmer; William Boardman; dan Hannah Whitehall Smith.

Phobe Palmer mengemukakan penekanan yang menjadi kunci gerakan ini. Meskipun ia tidak mengatakan sesuatu yang tidak dikatakan Wesley seabad sebelumnya, ia mengubah pokok penekanan ajaran Wesley, dan menyuntikan pemikiran-pemikiran asing bagi ajaran Wesley mula-mula. Bagi Wesley pengalaman dalam kepenuhan rohani (perfection) adalah sesuatu yang harus yang dirindukan, sedangkan bagi Palmer ini adalah hal penting untuk mempertahankan keselamatan. Kepenuhan rohani adalah awal bagi kehidupan dan pertumbuhan dalam ke-Kristen-an dan yang harus diutamakan dalam kehidupan. Fokus kepenuhan ini cenderung didasarkan sepenuhnya pada satu komitmen sungguh-sungguh, dan bukan merupakan satu proses tahap demi tahap yang lambat. “Jadi dalam kematian atas diri dan kelahiran untuk mengasihi sesungguhnya menjadi tujuan—satu tujuan dan bukan satu elemen penting dalam pembentukan satu hubungan dalam kebebasan dan kasih dalam hati orang percaya saat Roh Kudus memimpin orang percaya di atas kasih karunia dalam kehendak Allah (Dieter, 41).

C. Kunci Kepercayaan

Karya Kasih Karunia Kedua (Second Work Of Grace).

Bagi para pendukung gerakan kekudusan secara khusus karya kasih karunia kedua menjadi penting untuk mempertahankan keselamatan seseorang. Palmer secara khusus melihat pembenaran (justification) sebagai hal yang tidak terpisah dari kesetiaan orang percaya. Ia menyatakan:

“Dalam perjalanan saya menuju surga, cahaya yang lebih terang menyinari pikiran saya, mengungkapkan pelayanan-pelayanan yang lebih tinggi, yang menuntut roh pengorbanan, akan tetapi juga ujian iman yang lebih kuat. Tetapi dengan bertambahnya terang, kekuatan yang diberikan menjadi semakin besar, yang memampukan saya untuk melaksanakan kewajiban-kewajiban yang lebih tinggi: karena saya tidak perlu belajar bagaimana menjaga justification saya dibawah penghakiman sementara pada saat yang sama mengabaikan kewajiban-kewajiban yang saya ketahui.”

Bagi Palmer solusinya terletak pada sanctification, yang dilihat sebagai satu krisis sesudah percaya (conversion). Ia menamakan ini satu krisis karena baginya ini adalah mengenai hilang tidaknya justification. Lebih lanjut ia berkata:

“Saya menyadari saya tidak bisa; saya harus melakukan pengorbanan yang sesuai, atau saya harus berdosa, dan dengan dosa saya justification hilang. Dan disini pembenaran yang saya miliki akan berakhir jika saya menolak untuk menjadi suci.”

Jadi, second work of grace sungguh adalah dasar untuk kelanjutan keselamatan seseorang.

Cara untuk memperoleh karya kasih karunia yang kedua ini dianggap sebagai satu tindakan iman yang mirip dengan tindakan iman yang diperlukan untuk justification. William Boardman menulis:

“Baik persoalannya berkaitan dengan justification atau sanctification, jawabannya adalah sama. Jalan mendapatkan kebebasan dosa sama dengan jalan mendapatkan kebebasan dari penghakiman. . . yaitu iman dalam kehadiran Yesus yang memurnikan.” (Higher Christian Life, 81)

Pemikiran yang sama masih dipertahankan sampai sekarang. Pada musim Semi 1986 saya menghadiri satu Sanctification Conference yang disponsori C&MA di Piedmont California. Pembicara utamanya, yang adalah presiden denominasinya memulai khotbah pertamanya dengan berkata, “Ada dua injil, injil justification adalah untuk orang berdosa, sedangkan injil sanctification untuk orang kudus.” Justification dilihat sebagai yang menghindarkan seseorang dari hukuman dosa, sedangkan sanctification dilihat sebagai pembebasan dari kuasa dosa.

Bagi Boardman, karya kasih karunia ini merupakan satu penambahan unsur mistis ke dalam satu proses:

“Dalam yang pertama, penebusan terjadi, dan saat itu diterima, maka pengampunan diberikan; dalam yang kedua, meski kebenaran Kristus adalah sempurna untuk dikenakan, akan tetapi dalam mencapainya...diperlukan waktu dan kemajuan.” (40)

Hannah Whitehall Smith mengemukanakan dasar pengajaran teologi kekudusan (holiness theology) dengan memisahkan justification dari sanctification. Sumbangan yang diberikannya tidak bisa lepas dari latarbelakangnya sebagai anggota aliran Quaker dimana ia menyuntikan satu unsur keheningan ke dalam prosesnya. Ia melihat prosesnya sebagai satu penyerahan penuh kepada Tuhan, dan keyakinan sempurna kepadaNya. Ia melihat 3 tahap dalam prosesnya:

(1) Orang Kristen harus menyadari karunia dari Tuhan.

“Oleh sebab itu, untuk bisa masuk ke dalam satu pengalaman kehidupan batin secara praktis, jiwa harus bersikap menerima, sepenuhnya menyadari bahwa itu adalah pemberian Tuhan dalam Yesus Kristus.” (The Christian’s Secret of a Happy Life, 47)

(2) Pentingnya Pengudusan (Consecration)

Ia mengatakan bahwa jiwa harus dilepaskan (abandon) kepada Tuhan dan tergeletak pasif di tanganNya (47) “Kata ‘pelepasan’ lebih tepat pengertiannya dibandingkan kata pengudusan. Akan tetapi apapun kata yang digunakan, yang kita maksudkan disini adalah penyerahan diri sepenuhnya kepada Tuhan—roh, jiwa dan tubuh diletakkan dibawah kendaliNya yang mutlak, supaya Ia melakukan dalam diri kita seturut kehendakNya.”

(3) Iman menyertai penyerahan

“Kasih bisa kita terima secara berlimpah, namun sebelum kita yakin kita dikasihi, maka kasih tidak akan pernah kita rasakan” (51). Ia menyimpulkan: “Untuk masuk ke dalam kehidupan batin yang diberkati dengan kelegaan dan kemenangan ini, Anda harus melakukan dua hal—pertama pelepasan menyeluruh; dan kedua iman absolut. (52-54)

Meski teologi kekudusan berupa-rupa dan memiliki penekanan yang beragam, semuanya secara tegas memisahkan (1) justification, yang diperoleh dengan iman yang menghasilkan pengampunan dosa dari (2) sanctification/krisis/second work of grace/baptisan roh sebagai satu pengalaman setelah seseorang percaya yang mengakibatkan hancurnya kuasa dosa.

Ketidakberdosaan (Sinlessness):

Dalam pikiran Wesley dosa itu dilakukan secara sengaja/sadar (primarily voluntary) dengan demikian secara erat terkait dengan kehendak. Dalam khotbahnya tentang Yohanes 3:9 tentang kemungkinan kesempatan ketidakberdosaan, ia mendefinisikan dosa sebagai perilaku yang semata-mata disengaja dilakukan secara sadar.

Dosa saya pahami sebagai dosa yang keluar (outward sin), seperti yang dipahami dunia secara sederhana; yaitu perbuatan melanggar hukum Allah secara nyata dan sukarela; dan yang melanggar setiap perintah Allah yang dinamakan dosa.

Pada kesempatan lain mengenai hakekat dosa ia mengatakan:

Tidak hanya yang dikenal dengan dosa langsung (yaitu pelanggaran hukum yang diketahui secara sengaja) tapi juga dosa yang dikenal dengan dosa tidak langsung (yaitu pelanggaran hukum yang diketahui maupun yang tidak dengan tanpa sengaja) perlu dibasuh oleh darah yang diurapi.

Saya yakin tidak ada kesempurnaan dalam hidup ini tanpa dosa yang tidak disengaja yang saya anggap sebagai akibat wajar dari ketidaktahuan dan kesalahan yang tidak bisa dipisahkan dari moralitas.

Oleh sebab itu saya tidak pernah menggunakan istilah kesempurnaan tanpa dosa, karena kalau saya menggunakannya maka saya akan menipu diri saya.

Saya yakin orang yang dipenuhi oleh kasih Tuhan masih memiliki kemungkinan untuk melakukan pelanggaran yang tidak disengaja.

Pelanggaran seperti ini bisa Anda sebut dosa, jika Anda menginginkannya: saya tidak menganggapnya demikian karena alasan-alasan yang disebutkan diatas. (Works: “A Plain Account of Christian Perfection,” 19 (XI, 396)

Ajaran dosa Wesley “menekankan kehendak atau dimensi rohani dari dosa lebih dari sekedar aspek dosa yang nampak (moral) atau cognitif (pengetahuan teoritis). Ketidakberdosaan dalam konteks ini lebih menyerupai keinginan melakukan kehendak Tuhan dan bukan usaha meniru pengetahuan, tindakan, atau kekudusan Allah yang sempurna; dosa lebih menyerupai pemberontakan yang disadari dan dikehendaki atas kehendak Tuhan dan bukan satu kegagalan atau kurangnya kesetaraan dengan kemuliaan Allah.” (John Tyson, Charles Wesley on Sanctification (Grand Rapids: Zondervan, 1986) 257.)

Kesempurnaan Orang Kristen (Christian Perfection):

John Wesley melihat Christian perfection bisa dimiliki semua orang percaya dalam hidup ini sebagai satu pemberian Tuhan dan harus diperoleh pada saat sekarang

Christian Perfection adalah kasih kepada Tuhan dan sesama yang merupakan pembebasan atas segala dosa.

  • Ini hanya bisa diterima dengan iman
  • Ini diberikan dengan instan pada saat sekarang
  • Kita harus mengharapkannya, bukan pada kematian, namun kapan saja; bahwa sekarang adalah saat yang tepat, hari ini adalah hari keselamatan itu.

John Wesley dengan tegar membela perfection/sanctification yang menurutnya bersifat instan. Namun saudaranya Charles yang mempopulerkannya.

Wesley memberikan sepuluh prinsip mengenai perfection dalam bentuk kemajuan-krisis-kemajuan (progress-crisis-progress) sebagai model bagi perfection Kristen. Dari prinsip-prinsip itu bisa dilihat dengan jelas bahwa Wesley tidak memahami istilah teleios dalam pengertian kedewasaan (BAG,187) akan tetapi ia memahaminya dengan menggunakan pemahamannya sendiri tentang ketidakberdosaan.

  • Perfection itu ada: karena Alkitab menyebutkannya berulang kali.
  • Perfection didahului oleh justification: karena orang yang telah dibenarkan harus “beralih pada perkembangannya yang penuh.” (Ibrani 6:1)
  • Perfection bukan setelah kematian; karena Paulus menyebutkan tentang kehidupan orang-orang yang sempurna (Filipi 3:15)
  • Perfection tidak bersifat absolut. Tidak ada yang telah memiliki perfection secara absolut, malaikat pun tidak, kecuali Tuhan.
  • Perfection tidak berarti seseorang tidak lagi memiliki kesalahan: Tidak ada yang tidak bersalah selama masih dalam tubuh jasmani.
  • Apakah perfection berarti keadaan tanpa dosa (sinless)? Bukan itu istilah yang tepat. Perfection adalah ‘keselamatan atas dosa.’
  • Perfection adalah ‘kasih yang sempurna’ (perfect love). (I Yohanes 4:18) Ini yang terpenting; ciri-cirinya, atau buah-buahnya yang tidak terpisahkan, adalah bersukacita selalu, berdoa tanpa henti, dan dalam segala hal mengucap syukur. (I Tesalonika 5:16, dsb.)
  • Perfection terus diperbaharui (improvable). Tidak ada kata statis dan tidak bisa berkembang. Seseorang yang memiliki kasih sempurna mengalami pertumbuhan lebih cepat dibandingkan dengan yang sebelumnya.
  • Perfection bisa gagal (amissible), bisa hilang; dimana kita memiliki banyak contoh. Namun kita tidak bisa memastikannya hingga lima atau enam tahun setelah itu.
  • Perfection terus-menerus didahului dan diikuti oleh perbuatan baik secara perlahan. (WORKS: “A Plain Account of Christian Perfection,” 25 (XI, 441-42)).

Seperti dalam kutipan diatas, bagi Wesley perfection tidak sama dengan kedewasaan, melainkan disamakan dengan ketidakberdosaan (yaitu dalam pelanggaran yang tidak disengaja), atau disamakan dengan kasih. Pada kesempatann lain ia menyamakan perfection dengan “kasih sempurna” (perfect love). “Saya mengharapkan Anda semua berada dalam kasih. Inilah perfection yang saya yakini dan ajarkan.” Ia dengan hati-hati tidak menempatkan perfection terlalu tinggi, mengingat bahayanya “perfection tingkat tinggi (high-strained perfection)” yang menurutnya akan mengarah pada ketidakberesan mental. High-strained perfection (“yang begitu tinggi sehingga tidak seorangpun yang akhirnya bisa mencapainya”) akan mengakibatkan terjadinya kecenderungan perfection Kristen yang tidak relevan lagi dengan dunia ini.

Sanctification Penuh:

Sanctification penuh adalah “satu karya Tuhan yang personal dan definitif dalam kasih karunia yang menyucikan dimana peperangan dalam diri manusia lenyap dan hati mendapat kelegaan penuh dari pemberontakan kedalam kasih sejati kepada Tuhan dan sesama.” (Dieter, 17) Pengalaman ini memiliki keuntungan yang positif dan negatif. Secara negatif, karena berbentuk penyucian hati, yang memulihkan kerusakan sistem yang masih tersisa dari kesalahan yang diakibatkan Adam. Secara positif, karena merupakan satu kebebasan, “perpalingan hati sepenuhnya kepada Allah dalam kasih dan dalam mengetahui kehendakNya, yang merupakan kerinduan jiwa.” (Dieter, 18) Wesley mendaftarkan keuntungan-keuntungan dalam sanctification:

  • Mengasihi Tuhan dengan segenap hati dan mengasihi sesama seperti diri sendiri;
  • Memiliki pikiran Kristus;
  • Menghasilkan buah Roh (sesuai Galatia 5);
  • Pemulihan gambar Allah dalam jiwa seseorang, suatu pemulihan manusia menjadi sesuai dengan gambar moral dari Tuhan, yang berisi kebenaran dan kekudusan”. Kebenaran yang terdapat dalam batin dan yang bisa dilihat dari luar, berupa “kekudusan hidup yang sungguh-sungguh”;
  • Penyucian Tuhan atas roh, jiwa dan tubuh seseorang; Pengudusan seseorang secara sempurna bagi Tuhan;
  • Satu penyataan pikiran, perkatan dan tindakan seseorang yang terus-menerus lewat Yesus sebagai korban sukacita dan ucapan syukur kepada Tuhan;
  • Keselamatan atas segala dosa. (khotbah Wesley, tentang “Perfection”, Works 6, 413-15.)

D. Landasan Alkitab

Ajaran Wesley mengajarkan bahwa mereka memahami Alkitab secara holistik dan tidak bergantung pada bukti alkitabiah (proof-texts) dalam hal doktrin, dan pengajaran Alkitab secara holistik ini memberi dukungan untuk doktrin mereka tentang Sanctification. Akan tetapi, ada beberapa ayat yang dikaitkan dengan pemahaman mereka tentang hakekat sanctification. Diantaranya adalah:

Ulangan 30:6

Yehezkiel 35:-26, 29

Matius 5:8, 48; 6;10

Roma 2:29

Roma 12:1-2 karena itu, saudara-saudara, demi kemurahan Allah aku menasihatkan kamu, supaya kamu mempersembahkan tubuhmu sebagai persembahan yang hidup, yang kudus dan yang berkenan kepada Allah: itu adalah ibadahmu yang sejati.

Phoebe Palmer sebagai salah satu pemimpin kebangunan rohani Wesleyanisme pada akhir abad 19th memberi eksposisi kekudusan khusus untuk ayat ini, dengan meletakannya di altar (Keluaran 29:37). Menurut Palmer, Kristus adalah altar bagi orang percaya. Karena menurut Keluaran apapun yang menyentuh altar suci menjadi suci, maka setiap orang Kristen yang rela dengan iman mempersembahkan dirinya yang hidup di atas altar karya Kristus yang sempurna akan sepenuhnya disucikan dan dibasuh dari segala dosanya. (Dieter, 39)

2 Kor 3:17-18; 7:1

Gal 2:20

Efesus 3:14-29; 5:27

Filipi 3:15

1 Tes. 5:23

Titus 2:11-14;

Ibrani 6:1; 7:25; 10:14

Yohanes 8:34-36;

Yohanes 17:20-23:

Dalam memberi komentar tentang Yohanes 17, Mildred Wynkoop melihat kesamaannya dengan Efesus 4:

Yesus menyadari orang-orang percaya ada dalam satu tubuh yang bersatu.

Yang akan membawa kemuliaan bagi Dia.

Ia mati untuk menyucikan mereka. Semua unsur keselamatan termasuk disini kecuali yang bersifat insidentil.

Sanctification terjadi pada perkataan/firman dan kebenaran. “Perkataan” atau firman yang dimaksud jelas tidak mesti adalah Alkitab, tetapi diperoleh dari persekutuan dengan Firman, yang adalah Kebenaran itu sendiri.

Amanat ini diikuti oleh kesesuaian moral—karena kesatuan roh yang tersirat dalam kedua pasal ini menyucikan moral (Wynkoop Theology of Love, 320, dikuti oleh Dieter, 32).

1 Yohanes 1:5

1 Yohanes 7-9

1 Yohanes 2:6

1 Yohanes 3:3

1 Yohanes 3:8-10

Dalam mengomentari pasal ini Wesley mendasarkan keseluruhan pemikirannya atas definisinya sendiri tentang dosa sebagai pelanggaran yang disengaja (lihat penjelasan diatas), Yakobus 1:4

E. Kritik

Pembenaran Istilah:

Kaum Pembaharuan (Reformed) selama berabad-abad menugaskan Wesley untuk mempertanggunjawabkan ajarannya tentang keadaan yang sama sekali tanpa dosa (sinless perfection). Meskipun anggapan ini tidak terlalu benar, karena alasan-alasan diatas, Wesley sendiri harus meyalahkan dirinya sendiri karena usahanya untuk mendefinisakan kemabali istilah-istilah yang ia angkat. Packer menulis:

Pasti memusingkan bagi Wesley untuk menyebut perfection sebagai satu keadaan yang pada banyak hal sebenarnya adalah satu ketidaksempurnaan yang terus-menerus (continued imperfection). Lebih membingungkan lagi karena ia mendefinisikan dosa secara subjektif seperti yang dikenal sebagai “pelanggaran satu hukum secara sengaja,” dan bukan dianggap secara objektif sebagai satu kegagalan dalam standart Allah baik karena dilakukan secara sengaja maupun secara tidak sengaja. Sungguh sangat membingungkan ketika ia menyebutkan bahwa orang yang sudah disucikan berada dalam satu keadaan tanpa dosa (karena mereka tidak sadar telah melanggar hukum yang diketahui) sementara pada saat yang sama ia menegaskan bahwa mereka membutuhkan darah Kristus setiap saat untuk menutupi pelanggaran mereka yang nyata. Wesley sendiri menegaskan bahwa dengan standar objektif “hukum” Allah yang sempurna, maka semua orang yang telah disucikan perlu pengampunan setiap hari; juga ini menjadikan ia nampaknya salah karena mempertahankan pandangannya mengenai kehidupan Kristen yang lebih tinggi dalam arti berada dalam keadaan sempurna dan tanpa perbuatan dosa.

Pemahaman Teologis yang tidak Realistis:

Wesley paling tidak melihat bahwa pengalaman dalam perfection bisa mengangkat dan menghilangkan keinginan hati yang cenderung berdosa. Pemahamannya ini menunjukkan bahwa pengalaman ini tidak hanya merupakan satu perubahan dalam hakekat moral namun juga mempengaruhi semacam perubahan fisik (lihat Packer 140-141). Pandangan Wesley ini dimiliki oleh kelompok-kelompok seperti gereja Nazarane dalam ajaran mereka tentang penghapusan hakekat dosa.

Elitisme Rohani:

Penyuntikan second work of grace ke dalam kehidupan Kristen juga mengakibatkan satu bentuk elitisme rohani bagi mereka yang telah mengalami “kehidupan yang lebih tinggi (higher life)” ini. Ada kecenderungan besar untuk meremehkan mereka yang belum mengalaminya. (Salah satu mahasiswa saya di Simpson baru-baru ini berkata kepada saya kalau ia akan menulis satu artikel yang berjudul, “hidup saya sebagai orang Kristen kelas dua”!)

Bahaya Legalisme:

Khususnya bagi kelompok-kelompok aliran holiness, konsep Wesley tentang perfection sebagai kasih sempurna disamakan dengan apa yang disebut Wesley sebagai perfeksionisme “tingkat tinggi” yang berusaha mencari kesempurnaan Allah yang absolut. Untuk mencapai standar yang tinggi ini, dosa didefinisikan kembali sebagai tindakan-tindakan eksternal dan disamakan dengan norma-norma budaya seperti merokok, mabuk, dansa-dansi, rambut panjang, makeup, nonton di bioskop. Richard Lovelace dengan panjang-lebar membahas persoalan ini dengan mengatakan, “. .. kesadaran seseorang tidak bisa menerima sanctification kecuali atas dasar justification. Kalau ini terjadi kecemasan yang dihasilkan akan mengakibatkan perkembangan kedagingan luarbiasa yang bersifat agamawi karena orang percaya akan membangun kekudusan yang cukup mengerikan dalam meredakan hati nurani mereka atas keterasingan mereka dari Tuhan (The Dynamics of Spiritual Life, 104). “hati nurani yang sungguh-sungguh diterangi tidak bisa diredakan oleh sebesar apapun kasih karunia yang diperoleh dalam hidup ini, karena akan selalu gagal dalam perfection seperti yang dituntut hukum Allah. . . hati nurani seperti ini akan terpaksa mundur ke dalam penipuan diri yang kelam. Hasilnya adalah kebenaran fiktif dalam pelayanan-pelayanan heroik yang bersifat penyangkalan diri (ascetic piety), atau hanya menghasilkan usaha mendefinisikan dosa dalam pemahaman yang dangkal sehingga hati nurani manusia seakan-akan bisa melupakannya” (99).

Masalah dalam Eksegesis:

Pembuktian Alkitab atas ajaran Wesley (lihat penjelasan diatas) berisi janji-janji dan panggilan untuk hidup kudus (dengan keyakinan bahwa Allah pada akhirnya akan menebus umatNya dari dosa) atau berisi pernyataan-pernyataan penebusan yang telah diperoleh orang percaya pada waktu sekarang. “Wesley menegaskan bahwa janji-janji ini terpenuhi secara total dan absolut dalam hidup ini dan menggunakan deklarasi-deklarasi, beserta doa dan perintah, untuk mendukung kesimpulan-kesimpulan yang ia ambil” (Packer, 139). Pendeknya dalam memahami kehidupan Kristen, ia terbentur pada masalah eskatologi yang sepenuhnya dinyatakan, bukan melihatnya sebagai satu ketegangan yang “sudah dan masih belum”.

Keteguhan walaupun . . .

Wesley dalam hidupnya tidak bergantung pada justification supaya ia bisa layak dihadapan Tuhan. Ia melihat keberadaaan dirinya dalam sanctification dan membuatnya merasa jauh dari sempurna. Ini mengakibatkan ia meragukan tentang keselamatannya.

Pada Oktober 14, 1738 ia menulis, “Saya tidak bisa menemukan kasih Allah atau Kristus dalam diri saya. Ini mengakibatkan saya mati dan tidak yakin saat berdoa...Sekali lagi: Saya mendapati bahwa saya tidak memiliki sukacita dalam Roh Kudus.”

Pada Januari 4, 1739 ia menulis, “Teman-teman saya yakin saya sudah gila, karena saya mengatakan bahwa saya bukan orang Kristen tahun lalu. Saya menegaskan bahwa sekarang saya bukan orang Kristen. Memang saya tidak tahu siapa saya sebelumnya hingga sekarang…Meski selalu menggunakan semua cara memperoleh kasih karunia selama duapuluh tahun, sampai sekarang saya bukan orang Kristen.”

Pada Juni 27, 1766 ia menulis kepada Charles Wesley, “. . . akan tetapi (inilah misterinya) saya tidak mengasihi Allah. Saya tidak pernah mengasihi Allah. Oleh sebab itu saya tidak percaya pada ke-Kristen-an. Oleh sebab itu saya hanyalah seorang kafir yang jujur.”

Komentar P.T. Forsythe :

“Memikirkan kekudusan sebagai sesuatu yang kita miliki sebagai sesuatu yang berbeda dari iman kita dan membenarknanya adalah satu kesalahan fatal. Ini seperti percaya pada satu pemahaman Katolik, akan tetapi masih tetap mempraktekan keyakinan Protestan. (lihat juga Dieter, 14.)

III. Keswick

Dalam ajaran Keswick kita mendapati situasi yang berbeda dari Gerakan Kekudusan (Holiness Movement). Kalau dalam teologi kekudusan Wesley ajarannya berasal dari Wesley dan memiliki pengakuan iman yang jelas, maka ajaran Keswick lebih tidak berbentuk dan memiliki banyak variasi mulai dari yang paling keras seperti Ian Thomas, John Hunter, Alan Redpath dan persekutuan Torchbearers sampai yang lebih lembut seperti Campus Crusade For Christ dan Moody Bible Institute dan institusi-institusi pendidikan Injili (Evangelical) lainnya. Kalau teologi Holiness cenderung mendominasi kalangan aliran Arminian, maka Keswick cenderung mendominasi aliran Injili Amerika yang lebih condong pada aliran Calvinis. Menurut Packer Keswick menjadi standart pada kebanyakan kaum Injili kecuali aliran Pembaharuan (Reformed) dan Luteran (151).

A. Asal-usul ajaran Keswick

Akar ideologi: Teologi Kekudusan (Holiness Theology)

Charles Finney & Oberlin Theology

Phobe Palmer & Entire Devotion

William Boardman & The Higher Christian Life

Hannah Whitehall Smith & The Christian Secret of a Happy Life

Asal-usul Sejarah:

Istilah Keswick diambil dari satu kelompok masyarakat kecil di wilayah Lake di Inggris. Di tengah kejayaan Moody-Sankey, terdapat satu kehausan yang semakin kuat untuk kekudusan pribadi dan kemenangan rohani dalam hidup banyak orang injili yang berbahasa Inggris. T. D. Harford-Battersby, pendeta di Keswick merupakan contohnya. Ia menghadiri khotbah-khotbah Robert Pearsall Smith dan William Boardman pada tahun 1874 dan sejumlah khotbah di Brighton setahun kemudian. Pada pertemuan di Brighton, Harford-Battersby membuat satu rencana untuk membuat sejumlah pertemuan tahun berikutnya di wilayahnya di Keswick, dengan nama “Convention for the Promotion of Practical Holiness”

Pertemuan Keswick pertama menampung lebih dari 400 orang, yang berkumpul dengan semboyan “All One in Christ Jesus.” Sejak saat itu pertemuan-pertemuan serupa menjadi acara tahunan. Dari Keswick ajaran mereka dengan cepat menyebar di Inggris, Kanada dan Amerika Serikat, dimana Moody menjadi orang kunci dalam mempropagandakan ajaran Keswick di U.S.A.

Bentuk ajaran Keswick menjadi baku. Pelajaran pada hari pertama dalam pertemuan mereka adalah tentang dosa, yang digambarkan dengan amat rinci. Pada hari kedua topiknya adalah tentang keselamatan atas kuasa dosa lewat salib. (Di sini pemahaman Keswick tentang Roma 6-8 menjadi kunci pengajaran.) Hari ketiga membicarakan tentang pengudusan (consecration), dimana manusia menyerahkan diri pada kekuasaan Kristus sebagai satu krisis dan proses. Pada hari keempat membicarakan Hidup Dipenuhi Roh (Spirit filled Life). Dan pada hari terakhir memfokuskan pada pentingnya pelayanan Kristen yang dilihat sebagai hasil hidup yang dipenuhi Roh.

“Keswick bukanlah satu sistem doktrin, tidak seperti satu organisasi atau denominasi, yang mungkin menjadi alasan mengapa ajarannya bisa begitu meluas. Meskipun banyak tokoh agama dan sarjana terkenal yang memimpin gerekan mereka, tidak ada satu pemimpin Keswick yang menulis satu doktrin tentang pengajarannya. . . . Mereka tidak memiliki pernyataan doktrinal yang resmi . . . dan ada sejumlah besar posisi doktrinal yang berlainan yang mendasarkan diri pada dan mengajarkan aliran yang berkaitan dengan Keswick.” McQuilken (153)

B. Pemahaman Teologis

Persoalan:

Alasan mengapa ada ajaran Keswick adalah karena dianggap orang-orang Kristen kebanyakan bukan orang-orang Kristen yang sewajarnya sesuai standar Perjanjian Baru. Menurut pandangan Keswick:

“Orang Kristen yang sewajarnya memiliki ciri-ciri mengasihi dalam menghadapi penolakan dan kemasabodohan, bahkan dalam kekerasan, dan mereka dipenuhi oleh sukacita ditengah keadaan yang tidak menyenangkan dan kedamaian saat segala sesuatu tidak mendukung. Orang Kristen sewajarnya mengalahkan peperangan dan pencobaan, selalu patuh akan perintah Tuhan, dan bertumbuh dalam penguasaan diri, bersyukur dengan apa yang ada, rendah hati dan berani. Proses pemikiran selalu dibawah kontrol Roh Kudus dan mendapat petunjuk dari Alkitab sebagai sumber dimana orang Kristen seharusnya merenungkan sikap dan perilaku Yesus Kristus. Allah menjadi yang paling utama dalam hidup orang Kristen, dan hubungan dengan orang lain lebih diutamakan daripada keinginan-keinginan pribadi. Orang Kristen sewajarnya memiliki kuasa tidak hanya untuk kehidupan yang benar namun juga dalam pelayanan yang efektif di gereja. Yang terutama ia memiliki persekutuan yang konstan dengan Tuhan.” (McQuilken 151)

Pemahaman Keswick tentang orang Kristen kebanyakan adalah bahwa mereka cukup bermartabat namun mereka tidak memiliki sifat supernatural. Kalau mereka mendapat pencobaan mereka akan tenggelam. Mereka memiliki ciri-ciri mementingkan diri sendiri.

Solusi yang Ditawarkan:

Solusi yang ditawarkan aliran Keswick dalam banyak hal mencerminkan teologi Kekudusan Wesley yang dari padanya memang ajaran Keswick lahir.

Appropriation:

Keselamatan (dipahami scara menyeluruh) merupakan inisiatif manusia dan yang ilahi. Inisiatif dari Allah adalah memberikan keselamatan. Sedangkan manusia bertanggungjawab untuk menerimanya. Jadi manusia bertanggungjawab untuk menanggapi janji kemenangan setiap hari atas dosa sama seperti pada justification sebelumnya.

Caranya:

Bagi Wesleyanisme cara memperoleh kemenangan ini memiliki satu kesamaan ajaran Keswick:

1. Dengan segera meninggalkan setiap dosa, keraguan, pemanjaan diri, yang disadari dan halangan dalam kehidupan rohani lainnya yang disadari (Roma 6:12-14; 8:12-14; 14:21-2 dan Ibrani 12:1-2).

2. Menyerahkan kehendak dan keberadaan sepenuhnya kepada Yesus Kristus yang tidak hanya adalah penyelamat, akan tetapi juga sebagai Tuhan, dalam kepatuhan yang penuh kasih dan sungguh-sungguh (Roma 10:9, 1 Korintus 12:3).

3. Dengan beriman kepada janji dan kuasa Allah dalam menjalani kehidupan yang suci dan benar (Roma 4:20-25; 6:2, 2 Petrus 1:4 dan Ibrani 8:10).

4. Membaharui dan mematikan keangkuhan yang berpusat pada pemanjaan diri dan keangkuhan diri, supaya Tuhan menjadi yang terutama dalam segala hal (Galatia 2:19-20; 4:24,25; Kolose 3:5; 2 Korintus 5:15).

5. Pembaharuan dan transformasi hati nurani dalam kasih karunia (Roma 12:2; Efesus 4:23; 1 Petrus 3:4).

6. Mengutamakan Tuhan dalam Sanctification, pengudusan dan pelayanan (2 Kor 6:14; 7:1 dan 2 Tim 2:19-21).

7. Dengan dilengkapi oleh kuasa dan kepenuhan Roh, maka orang percaya akan menerima karunia-karunia seperti pada zaman Pentakosta (Lukas 24:49, Kisah 1:8; Efesus 5:18). (Arthur T. Pierson, forward Movements of the last Half Century (London & New York: Funk And Wagnall Co., 1900) 32.)

C. Unsur-unsur Utama dalam Ajaran Keswick

Mengenai Dosa:

Ajaran Keswick menyadari adanya peperangan dan kekalahan seseorang melawan dosa. Keswick melihat manusia sebagai budak dosa, dosa adalah tuan yang memperbudak pikiran, perasaan dan kehendak. Atas dasar Kejatuhan manusia yang telah memisahkan manusia dari Allah dan bahwa dosa telah membentuk hakekat manusia, banyak pembicara dan penulis ajaran Keswick menekankan kenyataan tentang dosa dan membantah kemungkinan kesempurnaan yang tanpa dosa bagi manusia. Pemahaman Keswick tentang dosa didasarkan pada enam pemikiran:

(1) Dosa adalah serangan dan pemeberontakan atas kesucian dan kebaikan Tuhan

(2) Dosa menguasai kehidupan manusia. Manusia sepenuhnya telah gagal. Roma 6 dan 7 menggambarkan keadaan menyedihkan tersebut:

Bab 6 menunjukkan bagaimana manusia diperbudak dosa bisa dibebaskan hanya oleh Tuan yang baru, yaitu Kristus (6:6-7). Bab 7 dilihat dari sudutpandang orang Kristen yang masih tidak berdaya dalam menghadapi dosa. Banyak orang Kristen menemukan penebusan yang memadai dalam kematian Kristus, akan tetapi mereka belum menemukan rahasia kemurnian hidup. Dosa masih menjadi penguasa. (D. L. Pierson, Arthur T. Pierson, a Biography (London: Nesbet & Co., 1912) 287)

(3) Dosa adalah kecacatan moral.

Dosa telah membuat manusia menjadi najis, tidak layak untuk mendekati Tuhan yang suci. Bahkan sebagai orang Kristen “satu ketidakpatuhan kecil saja akan membuat orang Kristen dilempar keluar dari persekutuan dengan Tuhan.” (Hopkins, 16)

Sejumlah pasal dalam PL dipakai untuk mendukung pengertian disini, diantaranya adalah Yesaya 6:5: “Celakalah aku! Aku binasa! Sebab aku ini seorang yang najis bibir, dan aku tinggal di tengah-tengah bangsa yang najis bibir, namun mataku telah melihat Sang Raja, yakni TUHAN semesta alam.” Kekuatan dosa sedemikian besarnya sehingga tidak bisa dipatahkan

(4) Dosa adalah penyakit rohani.

Kekuatan hakekat dosa sangat ditekankan dalan ajaran Keswick.

(5) Dosa adalah akibat kebiasaan

(6) Dosa cenderung menguasai

Dosa adalah kecenderungan yang masih tetap mencoba menguasai hidup seseorang. Ajaran Keswick secara terang-terangan menolak kemungkinan lenyapnya hakekat dosa. Jawaban yang diberikan ajaran Keswick untuk persoalan ini adalah dengan pengajaran tentang reaksi-balik (counteraction). Jadi kuasa dosa mendapat perlawanan dari kuasa Roh Kudus. Kecenderungan berbuat dosa masih dialami orang pecaya, akan tetapi kuasa Roh yang ada dalam dirinya masih lebih kuat. Kalau seseorang berjalan dalam Roh maka Roh akan memikul beban dosa. Jika seseorang berbuat dosa, Roh berhenti melakukan reaksi-balik dan orang percaya akan terjerat dalam lingkaran dosa. Ia tidak memiliki harapan lagi dalam mengatasi dosa dibandingkan orang yang belum percaya yang masih memiliki harapan.

Kesembuhan dari Allah untuk dosa: Model ajaran Keswick.

Kesembuhan untuk dosa didasarkan atas hubungan yang baru yang dinikmati seseorang dengan Kristus sebagai Tuan atas dirinya. Penekanannya ada pada kuasa kebangkitan Kristus dan persekutuan orang percaya denganNya. Kesadaran akan identitas baru yang dimiliki orang prang percaya adalah penting. “Inti dan pusat ajaran Keswick adalah ajarannya mengenai penyucian oleh iman (sanctification by faith). Posisi ajaran Keswick adalah bahwa dalam Alkitab, penyucian itu adalah lewat iman, dan bukan sebaliknya.” (Barabas, 100)

Dalam model ajaran Keswick ada tiga bagian dalam Sanctification

1. “pemberian” (adalah sanctification yang bersifat posisional) 1 Kor 1:30.

2. eksperiential: merupakan transformasi setiap hari sejak kesadaran akan kehidupan baru dengan Kristus dan berlanjut sepanjang hidup

3. krisis:

“Dengan tindakan iman yang disadari dan sungguh-sungguh, seseorang akan memasuki warisannya yang benar dalam mempertahankan kemenangan atas dosa yang disadari; ini adalah apa yang kita percaya dalam apa yang diajarakan firman mengenai orang Kristen yang normal. Kekalahan konstan, keterikatan yang menyakitkan dan kecemasan yang tidak bekesudahan bisa diganti dengan satu kehidupan yang memiliki “kedamaian sejati”. Alkitab mengajarkan bahwa dalam Kristus ada kebebasan dan kelegaan. Ini harus diperoleh bukan dengan cara pergumulan sepanjang hidup, melainkan dengan menyerah kepada Roh Allah.’ (Charles F. Harford, ed. The Keswick Convention: Its message, Its Method, Its Men. (London: Marshall Brothers, 1907) 6)

Jika krisis terjadi maka Kristus adalah yang menyucikan kita (1 Korintus 1:30). Ia harus diterima seperti itu dengan iman.

“Kristus harus sepenuhnya diterima sebagai yang menyucikan kita; kalau kita ingin maju dalam kekudusan, kita harus berhenti menghargai kekudusan dengan usaha sendiri. Karunia untuk kekudusan harus dinyatakan dalam hidup kita, tetapi usaha kita adalah usaha yang dimulai dari kekudusan, bukan untuk kekudusan. Untuk menjadi suci kita harus memiliki yang suci. Ini yang dimaksud Kristus dalam kita.” (Hopkins, 68)

Dalam krisis model Keswick kehendak seseorang dipatahkan, dan orang percaya melihat dosanya sebagai pemberontakan terhadap Allah. Ini mungkin diikuti oleh emosi. Dalam memberi contoh krisis model Keswick, Hopkins melihat hidup Yakub. Yakub bergumul dengan malaikat sepanjang malam. Akhirnya ia tidak lagi bergumul melainkan merangkul dan membiarkan Tuhan memberkatinya: “Tindakannya dalam merangkul merupakan simbol bagi kita untuk hidup beriman yang berkemenangan setelah kita menyerah dalam kepatuhan yang sungguh-sungguh. Anda tidak bisa merangkul sampai Anda berhenti untuk menolaknya.” (65-66)

4. Kepenuhan dalam Sanctification.
Transformasi menjadi seperti Kristus setelah kematian.

Pengudusan:

Yang dimaksudkan disini adalah menyerah dalam segala hal. Akibatnya seluruh aspek kehidupan kita diubahkan. Lewat pengalaman ini kuasa Allah akan mulai mengalir dalam kehidupan orang percaya.

Menyerah dalam segala hal adalah penting karena dalam segala hal diri seseorang berdosa dan tidak berguna. “Kita harus membenci hidup kita dan melepaskannya…Selama diri saya masih menjadi sesuatu dalam hidup saya, maka Yesus tidak bisa menjadi segalanya…Kalau kita membuang hidup kita, Tuhan akan mengisi kita; hidup Anda harus dibuang.” (Andrew Murray, Full Blessing of Pentecost, 69)

Pemahaman ajaran Keswick tentang manusia yang telah dibaharui (regenerate man) bersifat dualistis. Di dalam dirinya ada sifat-sifat manusia lama yang total berdosa dan merupakan bagian diri seseorang. Selain sifat-sifat lama ada sifat baru yang adalah bagian dari diri seseorang yang bersekutu dengan Tuhan.

Keswick tidak memberi harapan untuk transformasi pribadi orang percaya sepanjang hidupnya. Hidup seseorang harus disalibkan, lewat pengudusan yang menyakitkan

“Pengudusan adalah episode yang menyedihkan dan kadang-kadang menyakitkan, namun yang harus dihadapi dengan ketulusan. Memisahkan diri dari kebiasaan duniawi dan ikatanya tidaklah mudah. Namun kalau tidak demikian kesaksian seseorang akan kurang kuat…dedikasi setengah-setengah selalu berakibat fatal.” (Aldis, 54)

Krisis dalam pengudusan bersifat pasif, seperti konsep pelepasan yang diajarkan Hannah Whitehall Smith. Pelepasan ini merupakan satu tindakan tanggungjawab penuh dari orang percaya. Hasil pelepasan diri adalah kepenuhan roh dan damai. Scroggie menjelaskan:

“Pelayanan yang penuh gejolak akan berakhir. Ini tidak berarti berhenti dari pelayanan, namun akan ada kelegaan dari jerih payah, supaya kita bisa mencapai hal-hal yang luar biasa dengan tenang dan dengan kelegaan. Kemudian kita akan memperoleh sukacita “karena buah roh adalah sukacita.” Salah satu hasilnya adalah kasih untuk Tuhan dan sesama. Juga akan ada kuasa—dalam pelayanan Kristen, dalam pekerjaan sekuler, dimanapun Tuhan menempatkan kita. Dan akan ada kemenangan—kemenangan konsisten atas dosa.” (Wm. Graham Scroggie, The Fullness of the Holy Spirit, 19)

Kepenuhan Roh:

Penekanan disini mengikuti consecration. Ajaran Keswick tentang kepenuhan roh (filing of the spirit) didasarkan pada Efesus 5:18 yang dilihat dengan kacamata eksegetis atas keberdosaan manusia dan peneyerahan total.

Pardington menggambarkan konsep ajaran Keswick tentang kontrol Roh Kudus sebagai berikut:

Seorang mahasiswa seni duduk dalam satu galeri seni nasional di Eropah, sambil berusaha meniru satu lukisan dari seorang pelukis terkenal di masa lalu. Ia berusaha sedemikian rupa dalam keterbatasannya. Akhirnya ia tertidur diatas kanvas. Ia bermimpi roh pelukis itu merasuki otak dan tangannya. Dengan semangat roh pelukis itu meraih kuas dan dengan cepat menghasilkan satu maha karya. Ia kemudian menerima penghargaan tertinggi. Karena lukisannya memiliki unsur kejeniusan. Kemudian ia terbangun, dengan rasa menyesal karena hanya mimpi.

Namun, saudara-saudari yang terkasih, mimpi kita bisa menjadi kenyataan lewat Roh. Kita berusaha menjadi seperti Kristus, berusaha sepatuh mungkin, namun selalu gagal. Akhirnya kita menyerah. Kemudian Tuhan memberi kita penglihatan tentang hidup yang dipenuhi Kristus. Ia akan bersatu dengan kita, memasuki hidup kita. Kristus akan berpikir lewat pikiran kita. Kristus akan menjalankan perintah Tuhan dalam diri kita! Ia akan menghancurkan kuasa dosa dalam hidup kita. (George Pardington , The Crisis of the Deeper Life (Harrisburg Pa.: Christian Publications, n.d.) 149)

Keswick mengajarkan pada dasarnya adalah tugas orang percaya untuk meninggalkan dirinya supaya Kristus bisa menentukan segalanya.

D. Kritik

Pandangan tentang Dosa:

Ada dua pemahaman dosa dalam ajaran Keswick, yang bersifat teoritis dan praktis. Kita bisa melihat ini dalam ajaran McQuilkin, namun hal ini lebih kentara dalam penulis-penulis Keswick sebelumnya. Seperti dikatakan sebelumnya, dari pemahaman mereka, manusia sama sekali berdosa dan tidak berpengharapan, berdosa karena dirinya tidak bisa menyenangkan Allah meski sudah orang percaya. Oleh sebab itu diperlukan kuasa Roh sesuai 1 Yohanes.

Akan tetapi secara praktis ajaran Keswick kembali mengikuti definisi Wesley tentang dosa sebagai sesuatu yang dilakukan dengan sengaja (volitional). Perhatikan keseringan penekanan pada dosa yang disadari oleh seseorang untuk mempertahankan kemenangan atas dosa yang dinyatakan oleh kuasa roh.

Pengudusan: saya yakin penegasan ajaran Keswick tentang pelepasan diri secara total akan mengakibatkan penolakan martabat manusia sebagai mahkluk yang diciptakan segambar dengan Allah, gambar yang harus manusia pertahankan meski dalam keberdosaan. Kalau diri manusia memang tidak berguna, mengapa perlu penebusan? Ajaran yang menegaskan perlunya Kristus yang bersifat mistis dalam melakukan segala hal bisa mengakibatkan bunuh diri rohani. Perjanjian Baru jelas sangat menghargai pribadi seseorang kalau ia sudah dibenarkan (justified), dan PB jelas sangat menghargai pribadi seseorang.

Pelayanan Roh: Kontrol

Dalam ajaran Keswick kontrol Roh (Spirit’s control) atau kepenuhan Roh (filling of the Spirit) merupakan kunci untuk segala persekutuan dengan Tuhan. Akan tetapi, konsep Keswick mengenai kepenuhan menyerupai kerasukan setan; meski ini kedengaran kasar dan mengejutkan ini adalah analogi yang sebenarnya digambarkan McQuilkin saat menjelaskan pelayana roh dalam memenuhi orang percaya

“Kalau seseorang dirasuki setan, Alkitab menjelaskan bahwa orang tersebut lebih dari sekedar kesetanan, dengan ciri-ciri seperti setan dalam pemikiran dan tindakannya. Alkitab memaksudkannya bahwa Setan dan kuasanya memegang kendali hidup orang tersebut, paling tidak pada saat ia kerasukan. Karena Roh Kudus, yang adalah pribadi seperti juga roh-roh jahat [yang memiliki pribadi], nampaknya ini juga berlaku untuk istilah “dipenuhi Roh”. Makna kiasannya dengan demikian akan berarti bahwa Roh Kudus akan mendominasi, mengontrol sepenuhnya, menguasai seluruh keberadaan manusia, meski dominasi ini bersifat anugerah, yang hanya terjadi kalau diundang, tidak seperti kerasukan setan, akan menggantikan atau menguasai tindak-tanduk seseorang.” (177)

McQuilken kemudian mengutip Roma 8:9 sebagai contoh kontrol yang dimaksud (Alkitab NIV disini menggunakan kata control tapi teks Yunaninya adalah este .. .en pneumati.) Akan tetapi konteks Roma 8 jelas merupakan perbandingan orang percaya dengan orang tidak percaya, bukan antara orang percaya yang dipenuhi Roh dengan orang percaya yang masih duniawi (. . . jika orang tidak memiliki Roh Kristus, ia bukan milik Kristus. 8:9b)

Kontrol:

Perjanjian Baru tidak pernah menggunakan istilah control untuk menjelaskan hubungan orang percaya dengan Roh. Istilah yang lebih tepat mungkin adalah leading (“membimbing/menuntun”). Sebenarnya, salah satu bentuk pelayanan Roh dam diri kita menghasilkan self-control (penguasaan diri), ini nampaknya hampir tidak mungkin kalau orang yang telah dibaharui masih sepenuhnya jahat seperti yang ditegaskan dalam ajaran Keswick.

Perfeksionisme Praktis:

Tujuan ajaran Keswick adalah damai dan sukacita yang muncul dari kemenangan atas segala dosa yang disadari. Meski ajaran Keswick dalam pernyataannya menolak kalau orang Kristen bisa berada pada satu saat yang tanpa dosa (secara sempurna) dalam hidup ini, nampaknya ajaran ini menganut perfeksionisme tahap demi tahap. Seperti yang ditulis Packer: “Ajaran Keswick yang menjanjikan kemenangan penuh atas segala dosa yang disadari tidak sesuai dengan yang diijinkan Perjanjian Baru untuk kita harapkan di dunia ini. (lihat 1 Yohanes 1:8-10; Galatia 5:17; Roma 7:14-25. . . ). Kebenaran orang Kristen saat ini bersifat relatif; belum mungkin yang ia buat tidak luput dari dosa. Dibalik pelayanannya yang terbaik ada sedikit motivasi pribadi yang tercampur, dan seperti penilaian Yesus pada orang Farisi, maka sangatlah tidak berdasar secara moral untuk mengevaluasi tindakan seseorang tanpa melihat motivasi dan tujuan orang tersebut (lihat Matius 6:1-6; 6-18; 23:25-28)

Ajaran tentang Keheningan (Quietism):
Sifat-sifat Manusia Lama & Orang Kristen Duniawi:

Seperti yang dibahas diatas ajaran Keswick melihat sifat-sifat manusia lama sebelum orang menjadi percaya (old nature) adalah sesuatu yang tidak bisa tunduk dalam transformasi, namun sepanjang hidup seseorang sifat-sifat ini terus berusaha mendominasi sekuatnya. Transformasi roh tidak diharapkan terjadi pada sifat-sifat lama ini. Ini sungguh bertentangan dengan ajaran Paulus mengenai transformasi progresif (progressive transformation) dalam diri orang percaya untuk menjadi seperti Kristus (2 Korintus 3:18; Roma 12;2)

Berkaitan dengan hal ini adalah ajaran Keswick mengenai orang Kristen duniawi (carnal Christian), yaitu orang Kristen yang berada diluar persekutuan dengan Allah. Ajaran ini didasarkan pada 1 Korintus 3:1-3 yang dipahami salah. Seperti yang dengan tepat ditulis Hokema:

. . . Tidak ada dasar Alkitab untuk pembedaan orang Kristen yang masih “duniawi’ dengan yang sudah “rohani”. Perjanjian Baru hanya membedakan antara orang yang telah lahir baru dengan orang yang belum (Yohanes 3:3,5), antara mereka yang telah percaya kepada Kristus dengan mereka yang tidak (ayat 36), antara mereka yang hidup sesuai kedagingan dan mereka yang hidup sesuai Roh” (Roma 8:5 RSV), dan orang yang rohani dan yang tidak rohani (1 Korintus 2:14-15 RSV). PB tidak pernah berbicara tentang kelompok orang yang ketiga yang disebut “Kristen duniawi.”

Kutipan dari 1 Korintus 3:1-3 bukan mengenai kelompok orang yang ketiga melainkan mengenai orang Kristen belum dewasa rohani, yaitu kepada “yang belum dewasa dalam Kristus” (ayat 1). Meski mereka masih bayi mereka “dalam Kristus.” Keduniawian mereka hanya masalah perilaku, yang harus berubah dalam kedewasaan. Karena mereka adalah didalam Kristus, mereka sungguh-sungguh adalah “ciptaan baru”, (2 Korintus 5:17 KJV), telah “dikuduskan” (1 Korintus 1:2; 6:11), dan kaya secara rohani (3:21-23) (187)

Kekudusan: dalam model Keswick kekudusan adalah kebebasan dari dosa atau kasih yang sempurna seperti ajaran Wesley, bukan merupakan kesesuaian (conformity) dengan sifat-sifat Allah. Jadi, ajran Keswick lebih merupakan ajran yang berpusat pada manusia (anthropocentric) dan bukan yang berpusat pada Tuhan (theocentric).

Packer menulis: “. . ini berarti menentang dan bukan mendukung pertumbuhan dalam kepekaan moral dan rohani. Memperoleh kesenangan pada saat sekarang sebagai tujuan [hidup] seseorang bukanlah jalan rohani yang alkitabiah. (151)

Introspeksi:

Persoalan besar lain dalam ajaran Keswick dalam segala bentuknya adalah kecenderungan mereka untuk melakukan introspeksi kelam. Jika hubungan seseorang dengan Tuhan tergantung pada pengakuan dosa yang disadari dan pelepasan total atas dosa yang disadari, bagaimana seseorang bisa memastikan kalau ia sudah mengakui semua dosanya? Kalau ada dosa yang tercecer, maka orang tersebut masih tetap diluar persekutuan dengan Tuhan dan tidak memiliki kuasa rohani. Jadi bukannya persekutuan dengan Allah yang menciptakan kekudusan, ajaran Keswick menuntut kekudusan sebelum persekutuan dengan Tuhan. Pemahaman seperti ini dengan tepat oleh Harold Bussell sebagai cultic [atau ajaran sesat] (Unholy Devotion, )

Elitisme Spiritual:

Sama seperti Wesleyanisme krisis setelah orang lahir baru (post conversion crisis) membedakan mereka yang telah mengalaminya dan mereka yang tidak mengalaminya. Mereka yang telah merasakan pengalaman ini memiliki kecenderungan untuk memandang rendah mereka yang belum mengalaminya sebagai orang yang tidak rohani.

Rohani dalam formula:

Meski ada penekanan bahwa kehidupan rohani berkaitan dengan hubungan seseorang dengan Roh dan Kristus (misalnya ajaran McQuilken) cara mencapai hubungan itu diatur oleh formula. Bagi Trumbull formulanya adalah “Let go and let God” [Lepaskan dan Biarkan Tuhan yang berperkara]. Andrew Murray memberi sejumlah daftar:

“Ketiga tahap untuk jalan ini adalah: Pertama, keputusan yang diambil dengan sadar untuk mematikan diri; kemudian, berserah kepada Kristus untuk memikul salib; “bahwa manusia lama kita telah disalibkan”, yang merupakan iman yang mengatakan, “Aku disalib bersama Kristus;” dan kemudian kuasa untuk hidup sebagai orang yang telah disalibkan untuk kemuliaan Kristus.” (Holy In Christ, 182)

Mungkin formula yang paling dikenal adalah formula yang dipakai Campus Crusade dalam traktat mengenai Roh Kudus. Tahap-tahapnya bisa beragam, namun intinya sama. Kemenangan rohani dijanjikan lewat cara-cara dalam satu formula. Bukti kerohanian seseorang bukan buah Roh dalam kehidupan seseorang melainkan apapun yang dimiliki seseorang oleh iman akan memenuhi persyaratan formulanya. Ini akan menyebabkan bahaya besar lainnya. Penekanan dalam teologi Keswick/Hidup Yang Berkemenangan adalah dengan memperoleh kemenangan atas dosa dan merasakan kemenangan dan kehadiran Allah. Frank menulis:

Beberapa diantara yang mengikuti langkah-langkahnya dengan cermat merasa tidak ada perubahan apa-apa; untuk ini para pengajar Hidup Yang Berkemanangan menjawab bahwa jangan mengandalakan perasaan. Saya yakin disinilah sumber kekacauannya, dan seharusnya orang sudah bisa menebaknya. Kehidupan yang berkemenangan yang ditawarkan kepada orang Kristen, khususnya oleh Trumbull, merupakan satu cara yang sama sekali baru dalam merasa. Apalagi janji yang bisa kita berikan untuk menggantikan kecemasan dan kemarahan dengan sukacita dan kedamaian? Apa itu “kebahagiaan” kalau bukan satu perasaan? Akan tetapi saat diperhadapkan dengan komentar seorang wanita yang berkata, “Saya sudah berserah, tetapi tidak terjadi apa-apa”, Trumbull mengutip C. I. Scofield: “ ‘ada banyak orang mengharapkan satu perasaan untuk memastikan tindakan Tuhan… ‘Sahabat jangan menunggu perasaan untuk memastikan Firman Tuhan. Kalau Anda mengandalkan perasaan, maka Anda mendasarkan diri pada pasir. . . Kemenangan tidaklah ada kaitannya dengan perasaan; Friman Allah itu benar baik kita merasakannya atau tidak.” (Frank, 149)

IV. Kesimpulan

Dalam kekudusan ala Wesley dan Keswick kita menemukan dua model Sanctification yang meskipun berbeda secara rinci keduanya didasarkan pada pemisahan antara justification dan sanctification. Wesleyanisme menyebut krisis sesudah percaya (post-conversion crisis) ini sebagai satu karya kasih karunia yang kedua (second work of grace). Keswick menyebutnya sebagai berkat kedua (a second blessing), meski pada prakteknya disamakan dengan second work of grace dari Wesleyanisme. Kedua model ini bersifat perfeksionistis, dalam arti bahwa keduanya mendefinisikan kembali hakekat dosa, dengan membatasinya sebagai tindakan pemberontakan yang disadari (paling tidak dikaitkan dengan persekutuan dengan Allah yang sedang berlangsung). Akibatnya seseorang bisa disebut tidak berdosa pada satu saat tertentu. Penyucian (sanctification) aliran kekudusan ini dalam sejarahnya menghasilkan satu pola pikir legalistis yang sering melihat dosa sebagai norma-norma budaya. Keswick pada kenyataannya menerapkan penyerahan diri dan iman, yang mengakibatkan legalisme objektif menjadi subjektif.

Dari semua pembahasan ini, perlu diingat bahwa kedua posisi ini memiliki unsur positifnya (Packer mendaftarkan sisi positif tersebut pada halaman 136-137; 148-150) meskipun keduanya gagal dalam hal-hal penting. Keduanya menawarkan apa yang dirindukan orang Kristen, yaitu satu hubungan yang erat dengan Kristus. Seperti yang dikatakan Packer “. . . Kalau orang Kristen meminta kepada Tuhan untuk menjadi seperti Kristus, maka lewat kuasa Roh, Ia akan mengabulkannya, meskipun ada kesalahan dalam teologi mereka. Ia adalah Allah yang maha baik dan murah hati” (165).

Pembacaan Lebih Lanjut

Barabas, Steven. So Great Salvation.

Bundy, David. Keswick: A Bibliographic Introduction to the Higher Life.

Bussell, Harold L. Unholy Devotion.

Deiter. et.al. Five Views on Sanctification.

Frank, Douglas W. Less Than Conquerors (103-166)

Lindstrom, Harold. Wesley & Sanctification

Lovelace Richard. The Dynamics of Spiritual Life.

Packer, J. I. Keep in Step with the Spirit.

Pollock, John, The Keswick Story

Rathe, Mark Steven, The Keswick Movement its Origins and Teachings, M.A. Thesis, Simpson College, San Francisco 1987.

Ryle, J.C. Holiness.

Smith, Hannah Whitehall. The Christian Secret of a Happy Life

Tyson, John R. Charles Wesley on Sanctification.

Warfield, B. B., Perfectionism.

Related Topics: Sanctification

Menyenangkan Tuhan

Related Media

Translated by Stevy

Ada banyak istilah dan konsep penting dalam Alkitab, seperti iman, pengharapan, kasih, sukacita, kasih karunia, damai, menyenangkan Tuhan, dll yang bisa kita baca dalam Alkitab kita, tapi seringkali hal ini hanya menjadi konsep yang kabur bagi sebagian besar orang. Pelajaran berikut ini dibuat untuk menyediakan pengertian Alkitab yang kental akan apa itu menyenangkan Tuhan seperti yang ditemukan dalam Firman Tuhan. Sepanjang waktu mengijinkan kita akan menyediakan pelajaran mengenai istilah penting itu, terutama dari Perjanjian Baru.

(1) Menyenangkan Tuhan seharusnya menjadi ambisi utama dihati setiap orang percaya. Salah satu motivenya adalah Bema.

2 Korintus 5:9-10 Sebab itu juga kami berusaha, baik kami diam di dalam tubuh ini, maupun kami diam di luarnya, supaya kami berkenan kepada-Nya. Sebab kita semua harus menghadap takhta pengadilan Kristus, supaya setiap orang memperoleh apa yang patut diterimanya, sesuai dengan yang dilakukannya dalam hidupnya ini, baik ataupun jahat.

1 Tesalonika 4:1 Akhirnya, saudara-saudara, kami minta dan nasihatkan kamu dalam Tuhan Yesus: Kamu telah mendengar dari kami bagaimana kamu harus hidup supaya berkenan kepada Allah. Hal itu memang telah kamu turuti, tetapi baiklah kamu melakukannya lebih bersungguh-sungguh lagi.

(Untuk mempelajari mengenai Bema lihat pelajaran yang berjudul, The Doctrine of Rewards ada dibagian “Theology / Eschatology” dalam web kami.)

(2) Menyenangkan Tuhan tidak hanya menjadi tujuan utama setiap orang percaya, tapi sesuatu yang harus kita tonjolkan, tidak untuk diterima tapi karena kita mengasihi Tuhan dan karena upah dimasa depan.

Ibrani 13:21 kiranya memperlengkapi kamu dengan segala yang baik untuk melakukan kehendak-Nya, dan mengerjakan di dalam kita apa yang berkenan kepada-Nya, oleh Yesus Kristus. Bagi Dialah kemuliaan sampai selama-lamanya!.

(3) Kemampuan menyenangkan Tuhan merupakan hasil karyaNya didalam hidup kita sebagai Gembala Agung.

Efesus 5:8-10 Memang dahulu kamu adalah kegelapan, tetapi sekarang kamu adalah terang di dalam Tuhan. Sebab itu hiduplah sebagai anak-anak terang, karena terang hanya berbuahkan kebaikan dan keadilan dan kebenaran, dan ujilah apa yang berkenan kepada Tuhan.

1 Tesalonika 4:1 …Kamu telah mendengar dari kami bagaimana kamu harus hidup supaya berkenan kepada Allah …

(4) Menyenangkan Tuhan meliputi menemukan dan melakukan apa yang menyenangkan Tuhan melalui hidup sesuai dengan FirmanNya. Menyenangkan Tuhan artinya melakukan kehendakNya.

1 Tesalonika 2:4 Sebaliknya, karena Allah telah menganggap kami layak untuk mempercayakan Injil kepada kami, karena itulah kami berbicara, bukan untuk menyukakan manusia, melainkan untuk menyukakan Allah yang menguji hati kita.

Galatia 1:10 adakah kucari kesukaan manusia atau kesukaan Allah? Adakah kucoba berkenan kepada manusia? Sekiranya aku masih mau mencoba berkenan kepada manusia, maka aku bukanlah hamba Kristus.

(5) Menyenangkan Tuhan dimulai dalam hati atau dari dalam diri seseorang.

Kolose 1:9-10 Sebab itu sejak waktu kami mendengarnya, kami tiada berhenti-henti berdoa untuk kamu. Kami meminta, supaya kamu menerima segala hikmat dan pengertian yang benar, untuk mengetahui kehendak Tuhan dengan sempurna, sehingga hidupmu layak di hadapan-Nya serta berkenan kepada-Nya dalam segala hal, dan kamu memberi buah dalam segala pekerjaan yang baik dan bertumbuh dalam pengetahuan yang benar tentang Allah;

Kolose 3:22-24 Hai hamba-hamba, taatilah tuanmu yang di dunia ini dalam segala hal, jangan hanya di hadapan mereka saja untuk menyenangkan mereka, melainkan dengan tulus hati karena takut akan Tuhan. Apapun juga yang kamu perbuat, perbuatlah dengan segenap hatimu seperti untuk Tuhan dan bukan untuk manusia. Kamu tahu, bahwa dari Tuhanlah kamu akan menerima bagian yang ditentukan bagimu sebagai upah. Kristus adalah tuan dan kamu hamba-Nya.

(6) Menyenangkan Tuhan lebih dari manusia seharusnya menjadi motive pelayanan, pernikahan, dan setiap hal yang kita lakukan. Berusaha menyenangkan manusia untuk alasan yang egois menghancurkan kemampuan kita untuk mengikuti Tuhan, berdiri untuk kebenaran atau prinsip, mengasihi orang lain dengan tidak egois, dan kemudian berfungsi sebagai pelayan Tuhan.

1 Tesalonika 2:15 Bahkan orang-orang Yahudi itu telah membunuh Tuhan Yesus dan para nabi dan telah menganiaya kami. Apa yang berkenan kepada Allah tidak mereka pedulikan dan semua manusia mereka musuhi.

(7) Saat kita gagal menyenangkan Tuhan, kita jadi bersikap bermusuhan atau setidaknya menjadi tidak berguna bagi Tuhan dan manusia. Satu-satunya cara memenuhi kebutuhan manusia adalah dengan menyenangkan Tuhan melalui meletakan rencanaNya ditempat pertama (perhatikan carry over dalam Rom. 14:17-18).

Roma 8:8 “Mereka yang hidup dalam daging, tidak mungkin berkenan kepada Allah.”

Roma 14:17-18 Sebab Kerajaan Allah bukanlah soal makanan dan minuman, tetapi soal kebenaran, damai sejahtera dan sukacita oleh Roh Kudus. Karena barangsiapa melayani Kristus dengan cara ini, ia berkenan pada Allah dan dihormati oleh manusia.

Tolong perhatikan, 1 Tesalonika 4:1 dan 4:5 harusnya saling dihubungkan. Saat manusia tidak mengenal Tuhan, mereka diatur oleh kedagingan mereka tanpa kepedulian mau menyenangkan Tuhan.

1 Tesalonika 4:1, 5 Akhirnya, saudara-saudara, kami minta dan nasihatkan kamu dalam Tuhan Yesus: Kamu telah mendengar dari kami bagaimana kamu harus hidup supaya berkenan kepada Allah. Hal itu memang telah kamu turuti, tetapi baiklah kamu melakukannya lebih bersungguh-sungguh lagi..… 5 bukan di dalam keinginan hawa nafsu, seperti yang dibuat oleh orang-orang yang tidak mengenal Allah;

(8) Mereka yang ada dalam daging dan yang tidak kenal Tuhan (belum percaya), atau mereka yang berjalan dalam daging (orang percaya daging) tidak mampu menyenangkan Tuhan. Roh yang memenuhi orang percaya merupakan satu-satunya cara kita bisa memiliki kemampuan rohani untuk menyenangkan Tuhan. Inilah orang-orang yang menunjukan buah Roh.

1 Korintus 3:3-4 Karena kamu masih manusia duniawi. Sebab, jika di antara kamu ada iri hati dan perselisihan bukankah hal itu menunjukkan, bahwa kamu manusia duniawi dan bahwa kamu hidup secara manusiawi? Karena jika yang seorang berkata: Aku dari golongan Paulus, dan yang lain berkata: Aku dari golongan Apolos, bukankah hal itu menunjukkan, bahwa kamu manusia duniawi yang bukan rohani?

Roma 15:1-6 Kita, yang kuat, wajib menanggung kelemahan orang yang tidak kuat dan jangan kita mencari kesenangan kita sendiri. Setiap orang di antara kita harus mencari kesenangan sesama kita demi kebaikannya untuk membangunnya. Karena Kristus juga tidak mencari kesenangan-Nya sendiri, tetapi seperti ada tertulis: Kata-kata cercaan mereka, yang mencerca Engkau, telah mengenai aku. Sebab segala sesuatu yang ditulis dahulu, telah ditulis untuk menjadi pelajaran bagi kita, supaya kita teguh berpegang pada pengharapan oleh ketekunan dan penghiburan dari Kitab Suci. Semoga Allah, yang adalah sumber ketekunan dan penghiburan, mengaruniakan kerukunan kepada kamu, sesuai dengan kehendak Kristus Yesus, sehingga dengan satu hati dan satu suara kamu memuliakan Allah dan Bapa Tuhan kita, Yesus Kristus.

1 Korintus 10:33 Sama seperti aku juga berusaha menyenangkan hati semua orang dalam segala hal, bukan untuk kepentingan diriku, tetapi untuk kepentingan orang banyak, supaya mereka beroleh selamat.

(9) Menyenangkan Tuhan artinya belajar hidup untuk orang lain dan tidak hanya menyenangkan diri sendiri. Orang yang menyenangkan Tuhan bukan orang yang menyenangkan manusia juga diri sendiri. Satu-satunya waktu dimana kita menyenangkan manusia adalah saat kita berusaha menolong mereka dengan meletakan kebutuhan mereka diatas kita untuk meneguhkan iman atau keselamatan mereka. Ini bisa jadi tidak menyenangkan mereka melalui kasih yang keras.

Galatia 5:17 Sebab keinginan daging berlawanan dengan keinginan Roh dan keinginan Roh berlawanan dengan keinginan daging--karena keduanya bertentangan--sehingga kamu setiap kali tidak melakukan apa yang kamu kehendaki Akan tetapi jikalau kamu memberi dirimu dipimpin oleh Roh, maka kamu tidak hidup di bawah hukum Taurat.

(10) Natur berdosa atau kedagingan terus mengancam kita dalam menyenangkan Tuhan dan dalam pelayanan kepada orang lain karena keegoisannya, tapi dipenuhi Roh merupakan cara dimana kita mampu menyenangkan Dia.

Kolose 1:9-10 Sebab itu sejak waktu kami mendengarnya, kami tiada berhenti-henti berdoa untuk kamu. Kami meminta, supaya kamu menerima segala hikmat dan pengertian yang benar, untuk mengetahui kehendak Tuhan dengan sempurna, sehingga hidupmu layak di hadapan-Nya serta berkenan kepada-Nya dalam segala hal, dan kamu memberi buah dalam segala pekerjaan yang baik dan bertumbuh dalam pengetahuan yang benar tentang Allah;

Roma 14:17-18 Sebab Kerajaan Allah bukanlah soal makanan dan minuman, tetapi soal kebenaran, damai sejahtera dan sukacita oleh Roh Kudus. 18 Karena barangsiapa melayani Kristus dengan cara ini, ia berkenan pada Allah dan dihormati oleh manusia.

(11) Menyenangkan Tuhan itu menyentuh setiap kegiatan, wilayah, dan aspek hidup orang percaya. Tujuan menyenangkan Tuhan seharusnya tidak ada pembatasan atau dipisah-pisahkan.

Kolose 3:22-24 Hai hamba-hamba, taatilah tuanmu yang di dunia ini dalam segala hal, jangan hanya di hadapan mereka saja untuk menyenangkan mereka, melainkan dengan tulus hati karena takut akan Tuhan. Apapun juga yang kamu perbuat, perbuatlah dengan segenap hatimu seperti untuk Tuhan dan bukan untuk manusia. Kamu tahu, bahwa dari Tuhanlah kamu akan menerima bagian yang ditentukan bagimu sebagai upah. Kristus adalah tuan dan kamu hamba-Nya.

(12) Menyenangkan Tuhan menyentuh dunia kerja. Ini menggambarkan prinsip sebelumnya. Setiap orang percaya memiliki tanggung jawab untuk meninggikan Kristus dalam pekerjaannya sebagai orang yang menyenangkan Tuhan, sebagai orang yang melakukan pekerjaannya seperti untuk Tuhan bukan untuk manusia. Dengan melakukan itu, kita menyenangkan majikan kita dan Tuhan dimuliakan.

(13) Bergantung pada upah yang akan didapat bisa terus menjadi sumber motivasi kita.

2 Timothy 2:4 Seorang prajurit yang sedang berjuang tidak memusingkan dirinya dengan soal-soal penghidupannya (praagmateia), supaya dengan demikian ia berkenan kepada komandannya.

Lukas 19:13 Ia memanggil sepuluh orang hambanya dan memberikan sepuluh mina kepada mereka, katanya: Pakailah ini untuk berdagang (pragmateuomai) sampai aku datang kembali”

1 Korintus 7:25-35 Sekarang tentang para gadis. Untuk mereka aku tidak mendapat perintah dari Tuhan. Tetapi aku memberikan pendapatku sebagai seorang yang dapat dipercayai karena rahmat yang diterimanya dari Allah. 26 Aku berpendapat, bahwa, mengingat waktu darurat sekarang, adalah baik bagi manusia untuk tetap dalam keadaannya. 27 Adakah engkau terikat pada seorang perempuan? Janganlah engkau mengusahakan perceraian! Adakah engkau tidak terikat pada seorang perempuan? Janganlah engkau mencari seorang! 28 Tetapi, kalau engkau kawin, engkau tidak berdosa. Dan kalau seorang gadis kawin, ia tidak berbuat dosa. Tetapi orang-orang yang demikian akan ditimpa kesusahan badani dan aku mau menghindarkan kamu dari kesusahan itu. 29 Saudara-saudara, inilah yang kumaksudkan, yaitu: waktu telah singkat! Karena itu dalam waktu yang masih sisa ini orang-orang yang beristeri harus berlaku seolah-olah mereka tidak beristeri; 30 dan orang-orang yang menangis seolah-olah tidak menangis; dan orang-orang yang bergembira seolah-olah tidak bergembira; dan orang-orang yang membeli seolah-olah tidak memiliki apa yang mereka beli; 31 pendeknya orang-orang yang mempergunakan barang-barang duniawi seolah-olah sama sekali tidak mempergunakannya. Sebab dunia seperti yang kita kenal sekarang akan berlalu. 32 Aku ingin, supaya kamu hidup tanpa kekuatiran. Orang yang tidak beristeri memusatkan perhatiannya pada perkara Tuhan, bagaimana Tuhan berkenan kepadanya. 33 Orang yang beristeri memusatkan perhatiannya pada perkara duniawi, bagaimana ia dapat menyenangkan isterinya, 34 dan dengan demikian perhatiannya terbagi-bagi. Perempuan yang tidak bersuami dan anak-anak gadis memusatkan perhatian mereka pada perkara Tuhan, supaya tubuh dan jiwa mereka kudus. Tetapi perempuan yang bersuami memusatkan perhatiannya pada perkara duniawi, bagaimana ia dapat menyenangkan suaminya. 35 Semuanya ini kukatakan untuk kepentingan kamu sendiri, bukan untuk menghalang-halangi kamu dalam kebebasan kamu, tetapi sebaliknya supaya kamu melakukan apa yang benar dan baik, dan melayani Tuhan tanpa gangguan.

2 Korintus 5:9 Sebab itu juga kami berusaha, baik kami diam di dalam tubuh ini, maupun kami diam di luarnya, supaya kami berkenan kepada-Nya.

(14) Kita diperingatkan mengenai keterlibatan yang bisa menghalangi kemampuan kita menyenangkan Tuhan dalam melakukan usahaNya sebagai pelayanNya dan pelayan anugrahNya. Ini terutama dimasa sulit. Tidak menikah memberikan waktu lebih banyak untuk menyenangkan Tuhan, tapi ini bisa terjadi jika diberikan anugrah untuk tidak menikah. Perhatikan, Paulus tidak mengatakan kalau tidak menikah itu lebih baik, itu baik karena kemampuannya menyenangkan Tuhan dan karena kesulitan saat itu.

Filipi 1:10 sehingga kamu dapat memilih apa yang baik, supaya kamu suci dan tak bercacat menjelang hari Kristus;

1 Korintus 7:7-8 and 26 Namun demikian alangkah baiknya, kalau semua orang seperti aku; tetapi setiap orang menerima dari Allah karunianya yang khas, yang seorang karunia ini, yang lain karunia itu. Tetapi kepada orang-orang yang tidak kawin dan kepada janda-janda aku anjurkan, supaya baiklah mereka tinggal dalam keadaan seperti aku. … 26 Aku berpendapat, bahwa, mengingat waktu darurat sekarang, adalah baik bagi manusia untuk tetap dalam keadaannya.

Related Topics: Theology Proper (God), Spiritual Life, Rewards

Pages