MENU

Where the world comes to study the Bible

7. Prinsip Pemeliharaan

(Mengenal Anakmu)9

Dasar Alkitab

    Psalm 139:1-6

1 Untuk pemimpin biduan. Mazmur Daud. TUHAN, Engkau menyelidiki dan mengenal aku; 2 Engkau mengetahui, kalau aku duduk atau berdiri, Engkau mengerti pikiranku dari jauh. 3 Engkau memeriksa aku, kalau aku berjalan dan berbaring, segala jalanku Kaumaklumi. 4 Sebab sebelum lidahku mengeluarkan perkataan, sesungguhnya, semuanya telah Kauketahui, ya TUHAN. 5 Dari belakang dan dari depan Engkau mengurung aku, dan Engkau menaruh tangan-Mu ke atasku. 6 Terlalu ajaib bagiku pengetahuan itu, terlalu tinggi, tidak sanggup aku mencapainya.

Konsep pengetahuan anak kita hanya berupa akal sehat, tetapi mempunyai akar dalam pemeliharaan Bapa surgawi kita. Didalam Mazmur 139:1-6 Daud menemukan keamanan dan kenyamanan besar dalam pengetahuan bahwa kemaha hadiran Tuhan adalah relational, bahwa Tuhan tidak hanya mengetahui tentang dia, tetapi bahwa Ia mengenal dia dengan intim dan mengetahui semua detil dari hidupnya sebagai Seorang yang mengawasi dia, bahkan seperti Orang yang menaruh Tangannya di sekitar hidup David's ( vs 5). Membaca ini, aku jadi berpikir tentang iklan Allstate , Kamu ditangan ahlinya dengan Allstate. Sebagai jawaban atas kebenaran ini, David berseru, . pengetahuan seperti itu terlalu bagus untuk aku; terlalu tinggi, aku tidak bisa mencapainya ( NIV). Kenyataan Tuhan terlibat dalam hidup umatnya, Anak-anak rohaninya ( Heb. 12:5-7), adalah di luar pengertian Daud. meski demikian, kebenaran ini memikatnya dan memberi dia kenyamanan besar

Sebagai orangtua surgawi kita, Tuhan terlibat seluruhnya dengan anak-anakNya. Ia mengetahui penipuan kita( Ia yang merancang kita), jalan kita, dan situasi, mental, emosional, spiritual dan phisik. Ia mengetahui kelemahan kita, kekuatan, pola pikir, alasan, dan kebiasaan. Betapa contoh yang indah untuk kita sebagai orang tua. Tentu saja, orang tua adalah segalanya kecuali mahatahu, meskipun demikian saya sering berpikir kalau ibu saya mempunyai mata dibelakang kepalanya. Meskipun demikian, model dari Bapa surgawi menunjukkan bagaimana orangtua harus mengamati dan mengenal anak-anak mereka sehingga mereka bisa membedakan kebutuhan phisik, rohani, dan emosional mereka.

Lihat juga Jeremiah 1:5 untuk ilustrasi lain ttg pengetahuan dan keterlibatan pribadi Tuhan dengan umatNya. Kita perlu mencatat komentar Daud dalam ayat 1, Kamu sudah mencari aku dan mengenal aku. Yang dicari Ibraninya chaqar, mencari sampai ketemu suatu pokok atau perihal, menyelidiki, menguji secara menyeluruh. Pengetahuan adalah hasil pengujian. Karena Tuhan, yang adalah abadi dan mengetahui masa depan seperti halnya sekarang, telah diketahui sejak kekekalan. Bagi orangtua, memerlukan studi saksama untuk mengenal anak-anak mereka, setiap anak, sebagaimana mereka ada. Perhatikan, penekanan dalam seluruh ayat awal ini ada pada pengujian Tuhan, pengetahuan, dan pengenalan semua detil hidup Daud.

Seperti Bapa Surgawi menyelidiki kita, demikian juga orang tua harus menyelidiki dan mengenal anak mereka sebaik mungkin. Kenapa? Perhatikan Psalm 139:23-24.

Selidikilah aku, ya Allah, dan kenallah hatiku, ujilah aku dan kenallah pikiran-pikiranku;lihatlah, apakah jalanku serong, dan tuntunlah aku di jalan yang kekal!.

Tujuannya adalah untuk memperhatikan cara menyakitkan dalam rangka membantu seorang anak masuk ke dalam hidup yang kekal, suatu hidup berlimpah-limpah dibumi dengan penghargaan abadi di surga

Saya akan menyarankan dua aplikasi di sini:

Pertama, orang tua harus mengenal anak-anak mereka dengan intim dalam rangka memimpin mereka ke luar dari jalan yang menyakitkan (secara harafiah, jalan duka cita). Ini adalah jalan dari sudut pandang manusia, kejasmanian, ketidak dewasaan, dan dosa, menuju ke dalam jalan kedewasaan dan pertumbuhan Alkitab, jalan yang memberi anak itu arti yang benar, kepuasan, dan keamanan dengan hasil abadi.

Kedua, sebagai bagian dari proses pelatihan, anak-anak harus mengenali, menghargai, dan bereaksi terhadap peran orang tua yang diberi Allah untuk menjadi agen perubahan (tidak hanya popok!). Sperti Daud berserah kepada orangtua surgawinya, maka anak-anak harus diajar untuk lakukan yang sama melalui pemahaman dan menghormati peran yang diberikan Tuhan kepada orang tua mereka. Tak seorangpun dapat mengenal seorang anak seperti orangtuanya-jika orangtuanya memperhatikan dan berjalan dekat dengan Tuhan.

    Proverbs 20:11-12

Anak-anakpun sudah dapat dikenal dari pada perbuatannya, apakah bersih dan jujur kelakuannya. 12 Telinga yang mendengar dan mata yang melihat, kedua-duanya dibuat oleh TUHAN.

Prinsip akal sehat dan pelajaran yang jelas nyata didalam dua ayat ini adalah bahwa perilaku seorang anak bisa dipelajari; itu akan mengajar orang tua tentang anak mereka jika mereka mau memberi waktu dan usaha untuk belajar, mengamati, dan lihat apa yang terjadi didalam hidup anak mereka. Tetapi apa yang dicari orangtua? Apa yang bisa mereka harapkan dari anak-anak mereka? Kitab injil menetapkan sejumlah kebenaran yang akan memandu kita, tetapi barangkali tempat untuk mulai adalah ayat dasar, Amsal 22:6

    Proverbs 22:6

Didiklah orang muda menurut jalan yang patut baginya, maka pada masa tuanyapun ia tidak akan menyimpang dari pada jalan itu.

Seperti yang telah dicatat, ayat ini adalah suatu kunci seluruh tanggung jawab pelatihan anak, tetapi ada fokus tertentu di ayat ini yang menunjukan kalau suatu pelatihan anak dari orangtua harus didasarkan pada pengenalan akan anaknya. Penekanan ini tidak hanya jelas dalam bahasa Inggris seperti dalam teks Ibrani. Seperti dilihat sebelumnya, kata melatih, Ibraninya chanak, mempunyai maksud/arti utama, melatih, menginstruksikan, memulai, dan dapat juga berarti, untuk mempunyai dedikasi, mencekik atau disiplin. Didalam katakerja kita bisa melihat tanggung jawab utamanya. Orang tua ada untuk melatih dan mengajar anak-anak mereka untuk membawa kendali Tuhan ke dalam hidup anak. Dan pasti, karena anak-anak mereka adalah kepercayaan dari Tuhan, mereka harus mendedikasikan anak-anak ini kepada Tuhan dan mempersembahkan diri mereka kepada proses pelatihan.

Tetapi apa yang menjadi standard proses? Perkataan Tuhan adalah standardnya, tentu saja, tetapi ada hal lain yang harus memandu proses itu dan ini dilihat dalam, dalam jalan yang ia harus pergi. Teks Ibrani lebih kuat dari itu dan secara literal, menurut ukuran jalannya. Sesuai dengan, Ibraninya ' al pi, secara harafiah menurut mulut. Ini membawa gagasan menurut perintah, bukti atau kalimat, atau menurut ukuran. 10 Kata depan ' Al menandakan norma, standard, atau aturan dengan mana sesuatu diharapkan untuk yang diselesaikan. Pi Kata bendanya pe, mulut, pembukaan. Karena mulut atau lobang bidik kamera ukurannya beragam, mengembangkan konsep ukuran atau porsi. Dengan pemikiran ini, pe sering digunakan di kata depan yang berarti sebanding dengan. Seorang anak kecil secara normal mempunyai mulut jauh lebih kecil dibanding orang dewasa dan tidak bisa menerima sama besar seperti orang dewasa. Prinsip di sini mestinya sudah jelas. Pelatihan harus dilaksanakan menurut ukuran, kapasitas, atau kemampuan. Tetapi apa itu? Itu ditunjukkan dengan kata-kata jalannya.”

Teks Ibrani mempunyai kataganti orang berkait dengan kata benda jalan. Itu dibaca, jalannya dan tidak hanya didalam jalan yang ia perlu pergi. Jalan Ibraninya derek, jalan, perjalanan, cara. Itu digunakan untuk ( 1) suatu jalan, alur, perjalanan, tindakan, ( 2) gaya, kebiasaan, cara sebagai kondisi atau pengalaman biasa, dan ( 3) tentang tugas dan tindakan moral dan karakter baik dan jahat. 11 Dari pengenalan Alkitab dan dari pengenalan anak-anak, kita mengetahui berbagai hal tentang jalan mereka. pertama, kita mengetahui bahwa Tuhan, di dalam Kedaulatannya, mempunyai suatu rencana, suatu jalan yang dia ingin setiap anak mengikutinya. kedua, kita mengetahui bahwa tiap-tiap anak mempunyai suatu keadaan spesifik sebagai suatu individu dengan kemampuan tertentu, bakat, dan kecenderungan tertentu. Derek dari katakerja darak, untuk menginjak, berbaris, tetapi sering digunakan secara metafora meluncurkan sesuatu seperti melentur busur dalam rangka meluncurkan panah, atau suatu sergapan, atau pidato pahit, atau pertimbangan suatu arah tertentu ( cf. P. 7:13; La. 2:4; 3:12; P. 57:7; 64:3; 1 Chron. 5:18; 8:40; Isa. 21:15). Walau derek tidak mempunyai maksud/arti spesifik, penggunaan format katakerja menyediakan kita ilustrasi menarik yang mengenai sifat alami anak-anak menurut faktor warisan dan sebagaimana Tuhan telah merancang mereka.

Dengan hal ini, mari kita melihat beberapa pemikiran kunci dalam melatih anak menurut jalannya:

(1) Orang tua harus mengenal anak-anak mereka sebagai individu yang unik. Untuk melakukan ini, mereka harus dengan berdoa mengamati, belajar, dan mengenali karakteristik individu ( atau kebengkokan) dari tiap anak-anak mereka dan melatih mereka dengan tepat.

(2) Orang tua jangan pernah berpikir kalau seorang anak mendapatkan banyak pelatihan Alkitab atau pergi ke gereja sudah cukup. Pengajaran Alkitab, gereja, dan tumbuh dewasa dalam pengajaran Alkitab dirumah merupakan semua hal penting dan bagian penting dari proses, tetapi masing-masing anak perlu untuk diperlakukan sebagai individu unik dan tidak boleh langsung percaya. Orang tua harus mengambil catatan khusus dari apa yang sedang terjadi pada setiap respon anak, kelemahan, kebiasaan, sikap, dan lain lain. Lingkungan yang sama tidak berarti bahwa masing-masing anak akan menjawab dengan cara yang sama. Suatu pendekatan yang sama tidak akan berhasil. Beberapa ilustrasi Alkitab tentang respon akan yang berbeda terhadap pengajaran dan lingkungan yang sama di dalam keluarga yang sama adalah Cain dan Abel, Jacob dan Esau, dan Absolom dan Solomon.

(3) Orang tua jangan pernah mencoba untuk memaksa anak-anak mereka ke dalam jalan yang mereka sendiri. Maksud saya orang tua sering mencoba untuk memaksakan seorang anak ke dalam cetakan cita-cita mereka. Ini tak lain suatu usaha orantua, melalui pencapaian anak mereka, untuk mendapat pujian atau apapun juga yang mereka butuhkan, tetapi tidak pernah menerimanya. Sebagai contoh, suatu orangtua mungkin punya suatu mimpi melihat anak mereka menjadi seniman atau atlit besar dan melakukan segalanya untuk menggerakkan dan mendorong anak mereka kearah itu walau itu sama sekali tidak sesuai dengan bakat, kemampuan, atau keinginan anak itu sendiri- Membiarkan kehendak Tuhan jadi atas anak itu.

(4) Suatu busur dibuat oleh perancangnya untuk menekuk satu arah, sesuai caranya. Kita lihat bahwa format katakerja “jalan” digunakan suatu busur untuk meluncurkan sesuatu. Jika orang yang menggunakan busur itu tidak tahu cara busur dibengkokkan dan mencoba untuk menekuknya dengan cara yang berbeda, ia tidak akan hanya menghadapi suatu tugas sulit, tetapi ia bisa merusak busur itu. seperti juga, orang tua harus mengenali cara anak mereka dibengkokkan, baik melalui cara Tuhan yang telah merancang mereka dan cara dosa yang telah mempengaruhi mereka. Jika orangtua gagal untuk mengenali ini, mereka gagal membantu menempatkan anak mereka dalam rencana Tuhan bagi hidup mereka. Ini menyatakan bahwa anak-anak tidak seperti potongan tanah liat lembut yang bisa dibentuk sesuka orangtua. Melainkan, mereka adalah individu unik dengan suatu jalan telah ditetapkan dan perlu diketahui, diakui, dan dihadapkan dengan kebenaran Alkitab dan suatu pengamatan saksama dari orangtua.

Doktrin Manusia

Jika orang tua mau mengajar anak-anak mereka menurut Alkitab, percaya itu adalah Firman Tuhan, maka mereka harus pula mengetahui dan menerima apa yang diajarkan Alkitab tentang nature dan penciptaan manusia. Ini adalah suatu dasar yang perlu dan pemandu untuk apa yang harus harapkan dari seorang anak. Manusia modern katakan bahwa orang-orang pada dasarnya baik, dan permasalahan kita bersumber terutama dari lingkungan kita. Jika kita menyapu bersih lingkungan itu maka anak-anak akan jadi bagus. Isolasikan dan tempatkan anak-anak didalam suatu lingkungan sempurna dimana permasalahan nyaris menghilang lenyap. Tak seorangpun menyangkal bahwa lingkungan akan mempengaruhi karakter seorang anak secara negatif atau secara positif. Tentu saja, itulah mengapa Alkitab menempatkan penekanan yang kuat seperti itu pada keluarga dan pemeliharaan anak-anak. Tetapi Alkitab mengajar kita bahwa inti atau permasalahan dalam perilaku penuh dosa didalam anak-anak dan jalan yang mereka hasilkan ada diluar lingkungan. Permasalahannya adalah dosa. Meskipun diciptakan dalam gambaran Tuhan dan tanpa dosa, Adam berdosa dan ras kita jatuh. Alkitab mengajar kita:

(1) Adam’s dosa diteruskan turun temurun. Dalam Kejadian 5:1 kita diberitahu kalau Adam diciptakan serupa dengan Tuhan. Dengan suatu kepribadian ( kesadaran diri, akal, kemauan, dan emosi) manusia diciptakan segambar dengan Allah. Akan tetapi didalam ayat 3 kita lihat bahwa Adam mempunyai seorang putra yang serupa dengannya, menurut gambarannya. Dalam kaitan dengan kejatuhan ini tidak hanya termasuk phisik, mental, dan faktor emosional turunan, tetapi juga suatu nature penuh dosa atau bengkok kearah kejahatan, suatu natur yang didefinisikan Alkitab sebagai kejahatan yang tidak bisa disembuhkan, menipu, dan apa yang hanya dapat diketahui Allah ( cf. J. 17:9; Rom. 5:12; 7:17-18). Jika kita adalah untuk sungguh-sungguh mengenal diri kita dan anak-anak kita/kami, kita harus mengetahui apa yang dinyatakan Tuhan tentang hati manusia menurut FirmanNya.

Jeremiah 17:9 berkata, “Betapa liciknya hati, lebih licik dari pada segala sesuatu, hatinya sudah membatu: siapakah yang dapat mengetahuinya?” Walau nature berdosa ( di sini disebut hati) dapat dikendalikan oleh anugrah keselamatan Tuhan dan persucian didalam Kristus, itu tidak bisa dibasmi, dipindahkan, diubah atau diselamatkan. Jika, seperti kata Jeremiah dalam ayat 5-8, jalan berkat dan kutuk menjadi sangat jelas dan berbeda, mengapa seseorang memilih jalan berdosa? Jawaban sederhana. Sebab akar yang menyebabkan manusia memilih jalan dosa dan terkutuk ada dalam hati manusia—nature berdosanya. Tetapi darimana kondisi penuh dosa ini datang?

(2) Setiap anak mewarisi nature dosa dari orangtuanya. Daud menulis, “Sesungguhnya, dalam kesalahan aku diperanakkan, dalam dosa aku dikandung ibuku” ( P. 51:5, NIV). Daud baru saja mengaku dosanya dalam Mazmur ini dan mengakui bahwa ia tidak bisa menyalahkan lingkungan atau keadaan. Ia adalah orang yang berdosa dan sudah begitu sejak lahir. Maksud Daud ia telah dilahirkan dalam keadaan berdosa, orang berdosa dengan natur dosa, dengan kecenderungan berbuat dosa.

(3) Bahkan anak kecil juga berdosa. Lalu apa yang orangtua harapkan? “Sejak lahir orang-orang fasik telah menyimpang, sejak dari kandungan pendusta-pendusta telah sesat” ( P. 58:3, NIV). Mengapa? Sebab anak telah melakukan dosa? Tidak! Seorang anak berdosa sebab didalam anak tidak bersalah ada kecenderungan alami ke arah kejahatan seperti menceritakan kepalsuan untuk melindungi dirinya dari konsekwensi perilaku tidak baik.

(4) Seorang anak yang dibiarkan akan membawa aib kepada orangtuanya. Apa sebabnya seorang anak yang tak berdisiplin, terbiar, membawa aib bagi orangtua ( Prov. 29:15)? Sebab, sungguhpun anak-anak kecil ada didalam satu pengertian tidak bersalah, ada suatu prinsip berdosa yang sedang bekerja yang menggerakan mereka ke arah perilaku berdosa dan egois. Maka anak-anak harus diajar untuk tidak berdusta atau mencuri. Mereka harus diajar untuk menjadi tak egois, untuk mencintai dan menghormati orang lain, dan untuk menghormati otoritas.

Dua Sisi Koin

Untuk mengajar seorang anak menurut jalannya orang tua harus mengetahui dan percaya bahwa tiap-tiap anak dilahirkan dengan dua kecenderungan, kecenderungan kearah kejahatan ( kecenderungan suka menentang) dan kecenderungan kearah baik ( yang dapat digunakan untuk kemuliaan Tuhan dan berkat bagi yang lain).

    Kecenderungan Kearah Kejahatan

(1) Kecenderungan umum atau warisan dosa. Dari orangtua awal, Adam, semua anak-anak menerima nature berdosa. Untuk mengajar anak-anak berarti orangtua tidak akan dikejutkan tetapi sadar akan kecenderungan pemberontakan ini dan keinginan diri sendiri yang merugikan orang lain.

Mengerti ini bisa membantu orang tua menjadi lebih sabar dan lebih sedikit frustrasi ketika malaikat kecil mereka menunjukkan kecenderungan suka menentang atau menyimpan mengejar keinginan diri sendiri. Kita mengetahui kalau manusia kecil ini juga mengalami pertempuran dengan nature berdosa mereka seperti halnya kita. Betapapun, mereka mirip orangtuanya! Pengetahuan dan Pemahaman tentang hal ini akan membantu kesabaran dan pengertian kita, tetapi mereka tidak boleh dibiarkan dan mengabaikan sikap atau perilaku tidak baik. Pemahaman tentang kecenderungan ini menolong orangtua menyadari bahwa hanya dengan menceritakan kepada anak apa yang diharapkan tidaklah menyelesaikan masalah. Anak mungkin ingin melakukan apa yang benar, tapi karena nature berdosa, kelemahan, ketidak-tahuan rohani, dan pergumulan dalam dirinya, ia memerlukan bantuan yang khusus, pelatihan, dan disiplin yang disediakan oleh orangtua. Karena prinsip keberdosaan ini tidak bisa dibasmi atau sungguh-sungguh diubah dan akan bersama dengan anak seumur hidup, orangtua harus berkomitmen untuk memindahkan anak dari kendali eksternal ( hukum) ke pengawasan intern ( anugrah) sehingga anak belajar untuk hidup dari kesaksian imannya dan hubungan akrab dengan Tuhan melalui Kristus.

(2) Kelemahan Karakter atau Kecenderungan spesifik. Setiap anak mempunyai kecenderungan spesifik atau kecenderungan ke arah perilaku penuh dosa dari keluarganya melalui keturunan ( genetically) dan dari faktor lingkungan ( kondisi-kondisi di rumah dan masyarakat). Dan tiap-tiap anak berespon dengan cara yang berbeda terhadap lingkungan mereka. Yang pasti, seringkali sukar untuk mengetahui di mana akhir factor keturunan dan awal factor lingkungan, tetapi satu hal sudah pasti, atmospir di mana seorang anak dibesarkan sangat mempengaruhi kecenderungan hereditas itu.

Walau masing-masing anak mempunyai kecenderungan berdosa, masing-masing anak sangat berbeda dalam menyatakan hal itu. Ini memerlukan pengetahuan dan pengamatan saksama dari tiap anak. Satu anak mungkin mempertunjukkan kecenderungan rendah diri atau perasaan tidak mampu, sedang anak lain dalam keluarga yang sama dapat percaya diri dan berpikir ia dapat melakukan apapun dan lebih baik daripada orang lain. Keduanya memerlukan kasih karunia yang sama, tetapi dalam arah yang berbeda. Seseorang harus mempunyai kepercayaan dalam Tuhan, apa bisa Dia lakukan melalui dan dengan mereka. Kebutuhan lain adalah suatu pemahaman tentang anugrah Tuhan yang akan membantu ke arah kerendahan hati dan pada waktu yang sama memberi harapan yang berpusat pada Tuhan.

Abraham dan keturunannya menyediakan kita ilustrasi yang baik bagaimana lingkungan, barangkali dikombinasikan dengan jenis tempramen, dapat mendorong atau merintangi godaan dosa. Dalam rangka melindungi dirinya, Abraham cenderung untuk berdusta. Lebih dari satu kali ia berbohong tentang isterinya Sarah. Dia adalah perempuan yang sangat indah dan takut raja daerah itu akan membunuh dia dalam rangka mengambil Sarah, ia mengklaim dia adalah saudarinya. Saya merasa pasti ia membenarkan ini dalam pikirannya sebab dia adalah saudari tirinya( cf. Kejadian. 12 dan 20). Dengan jelas ciri karakter ini terbawa keputranya, karena dalam Kejadian 26 kita temukan Isaac melakukan dengan tepat hal yang sama untuk melindungi dirinya dari Abimelech

    Kecenderungan Kearah Kebaikan

(1) Dari Kelahiran Phisik. Alkitab mengajar kita bahwa Tuhan terlibat dengan anak-anak sejak kelahirannya ( Ia yang membuka dan menutup kandungan ) melalui keseluruhan proses pembentukan anak didalam kandungan ibunya sampai kepada kelahirannya ( cf. Kej. 4:1; 15:3; 16:2; 20:17-18; 29:31; 30:22; P. 113:9; 127:3-5; 139:13-16; J. 1:5; Prov. 16:4). Seorang anak, kemudian, mestinya tidak saja dipandang sebagai suatu kunjungan dari Tuhan, tetapi sebagai kepercayaan khusus yang diberikan Tuhan. Melalui setiap karya Tuhan, tiap-tiap anak diciptakan oleh kehendak Tuhan dan keterlibatan pribadi dengan bakat spesifik, kecenderungan, kapasitas atau kemampuan phisik, dan artistik. Ini diberikan kedalam anak dari kedaulatan pemeliharaan Tuhan. Dalam Yohanes 9:1-12 orang yang dilahirkan buta, termasuk cacat kelahiran, meskipun ini niscaya dapat terjadi sebagai hasil kejatuhan dan dosa-dunia yang terkutuk. Kita bisa melihat ini dalam masyarakat kita oleh karena alkohol dan obat/racun berhubungan erat dengan cacat kelahiran. Walaupun demikian, kita tidak pernah berpikir Tuhan tidaklah secara berdaulat terlibat. Pertimbangkan yang berikut:

Dengan masyarakat kita yang tergantung pada pemikiran manusia bukannya otoritas Alkitab dan dengan etika situasi yang sekarang diajar banyak sekolah, banyak orang hari ini mendekati hidup dan berbagai kesulitannya seperti memandang cacat kelahiran dari sudut pandang manusia bukannya dengan sudut pandang Alkitab. Seorang guru yang ingin menggambarkan kekurangan pemikiran manusia situasi seperti ini kepada suatu kelas

Bagaimana kamu akan menasehati seorang ibu hamil berdasarkan fakta berikut.

Suaminya menderita sipilis. Dia menderita TBC. Anak pertama mereka dilahirkan buta. Anak kedua mereka meninggal. Anak ketiga mereka dilahirkan tuli. Anak keempat mereka menderita TBC.

Ibu itu sedang mempertimbangkan pengguguran. Akan kamu menasehatinya untuk mengandung lagi?

Mengingat fakta ini, kebanyakan dari para siswa menyetujui bahwa dia perlu melakukan pengguguran.

Guru itu kemudian mengumumkan, “ Jika kamu berkata ‘ Ya’ kamu baru saja membunuh penggubah musik yang besar Ludwig von Beethoven!”

Maka penting bagi orang tua untuk bersandar pada pengawasan kedaulatan Tuhan dalam hubungan dengan anak-anak mereka dan belajar serta mengetahui anak-anak mereka dalam rangka mengenali kemampuan mereka, karunia, kebutuhan, dan kecenderungannya yang ditentukan oleh Allah dalam rangka membantu mengembangkan bakat mereka, karunia, dan kemampuan alami, atau untuk mengalahkan ketidak-mampuan atau kelemahan (melihat masalahnya) sehingga Tuhan bisa dimuliakan melalui hidup anak itu.

(2) Dari Kelahiran Rohani. Tujuan terbesar yang harus dimiliki Orang tua Kristen untuk anak-anak mereka adalah membawa anak mereka percaya Kristus. Percaya Kristus mendatangkan kelahiran yang baru, dilahirkan ke dalam keluarga Tuhan dan ditempatkan kedalam tubuh Kristus sebagai anggota dengan karunia rohani tertentu dan suatu tujuan khusus didalam rencana Tuhan ( cf. 1 Cor. 12:11ff; Eph. 2:10; 1 Pet. 4:10). Ini adalah suatu area penting untuk diperhatikan dan dijaga orangtua. Anak-Anak perlu diamati untuk indikasi kecenderungan rohani mereka, karunia, minat, dan karya Tuhan dalam hidup mereka dan kemudian memelihara mereka. Kecenderungan melalaikan area ini untuk pengejaran hal lain atau untuk pergi ke ekstrim lain dan mencoba untuk memaksa itu. Saya sudah melihat orang tua yang ingin pergi ke bidang misi, tetapi tidak pernah melakukannya. Sebagai hasilnya mereka mencoba untuk memaksa anak-anak mereka ke dalam misi dan ini mendorong pemberontakan atau kepada suatu area di mana mereka tidaklah cocok. Pekerjaan orang tua adalah untuk menyediakan pemeliharaan dan konteks rohani yang mengarahkan hati anak kearah Tuhan sehingga Ia mempunyai kebebasan untuk memimpin mereka menurut Kehendaknya. Setelah memberi anak-anak mereka kepada Tuhan, orang tua hanya perlu melihat anak-anak mereka mengetahui, mencintai, dan mengikuti Tuhan di mana saja Ia pimpin.

Suatu ilustrasi baik dari apa yang orang tua mestinya tidak lakukan dapat ditemukan dalam hidup Jacob dan Esau. Dua saudara laki-laki ini adalah kembar, tetapi mereka jauh dari serupa. Kej 25:27-28 mengambarkan tentang mereka dan pilih kasih yang ia tunjukkan, “Lalu bertambah besarlah kedua anak itu: Esau menjadi seorang yang pandai berburu, seorang yang suka tinggal di padang, tetapi Yakub adalah seorang yang tenang, yang suka tinggal di kemah. Ishak sayang kepada Esau, sebab ia suka makan daging buruan, tetapi Ribka kasih kepada Yakub.” Esau adalah orang yang suka diluar, yang berbeda dengan Isaac, tetapi terutama sekali ia mencintai permainan liar. Esau adalah kesayangan Isaac, dan untuk semua hal ia mungkin sedikit perhatian ke Jacob. Sebagai anak pertama, Esau mempunyai hak dan tanggung-jawab mencakup berkat phisik dan rohani, tetapi ia sedikit menghargai hak waris keturunannya yang akan secepatnya menjadi milik Yakub berdasarkan atas janji Tuhan ( lihat Kej. 25:22-23). Esau, dengan kecenderungannya, lebih memperhatikan hal diluar rumah dan berbagai hal material, dan menunjukkan sedikit perhatian dalam berkat rohani yang adalah miliknya sebagai anak pertama yang bertanggung jawab untuk mengabadikan perjanjian Abraham (yang mencakup janji Messianic). Isaac, akan jadi pelayan Esau, pasti telah mengetahui hal ini seharusnya bertindak untuk memberi perhatian rohani pada Esau, tetapi ia gagal untuk melakukannya.

Jacob pada sisi lain adalah orang suka tinggal di rumah, tetapi ia juga berminat pada berbagai hal rohani. Jelas, ia memperoleh inspirasinya dari Rebekah, yang bukannya bersandar padan janji Tuhan, melakukan apapun bagi putra kesayangannya. Isaac tidak tertarik atau terlalu lemah untuk mengikuti perkembangan curang Jacob dan Rebekah.

Dalam ilustrasi ini ada dua saudara laki-laki yang dibesarkan dalam satu keluarga dengan kecenderungan yang berbeda. Kita juga mempunyai ibu dan bapak yang gagal untuk bekerjasama dalam mengetahui anak-anak mereka agar mereka bisa menghadapi anak-anak dengan tepat. Sebagai gantinya, perbedaan itu menjadi suatu sumber pilih kasih pribadi yang hanya menciptakan permasalahan lebih besar didalam rumah dan menyebabkan makin kuatnya perselisihan. Ironisnya, Isaac berdoa tentang perihal dua anak-anak yang berjuang dalam kandungan Rebeka dan pada waktu itu menerima pernyataan dari Tuhan. Bagaimanapun, nampak ia gagal berdoa setelah mereka dilahirkan sehingga perbedaan menjadi jelas dan pergumulan makin kuat.

Prinsip untuk Orang tua

(1) Meskipun mereka harus diberi peluang sama, anak-anak tidak diciptakan sama. Anak-Anak didalam keluarga yang sama sering sangat berbeda seperti Esau dan Jacob. Mereka mempunyai bakat berbeda, kecenderungan, kapasitas dan kemampuan berpikir, secara phisik, artistik, dan secara emosional. Orang tua perlu, oleh karena itu, mempelajari anak-anak mereka untuk mengamati kemampuan dan kecenderungan khusus mereka dan mendorongnya dengan peluang dan motivasi rohani yang sesuai untuk menemukan kemampuan dan kecenderungan itu dan kemudian membantu anak mereka mengembangkannya menurut kehendak Tuhan dengan alasan dan tujuan yang benar. Anak-Anak perlu untuk termotivasi, layaknya, untuk menjadi yang terbaik didalam bakat dan kemampuan pemberian Tuhan. Tetapi tidak setiap anak ‘berbakat,’ maksudnya orang tua mestinya tidak menaruh anak-anak di bawah tekanan emosional, berusaha untuk membuat mereka menjadi sesuatu yang bukan diri mereka. Pada sisi lain, beberapa anak-anak memang berbakat di banyak area dan bisa mengejar banyak hal dengan sukses. Jadi orang tua harus mengawasi kecenderungan atau kecenderungan khusus.

Sepanjang masa remaja, orang muda cenderung untuk ingin dilibatkan dalam segala hal, tetapi itu sangat tidak bijak karena remaja dan seluruh keluarga akan kelelahan untuk menyesuaikan diri dengan jadwal yang ada. Suatu pendekatan lebih bijaksana adalah membantu mereka membuat prioritas berdasar pada kemampuan, keinginan, dan kecenderungan mereka. Ingat, seseorang dapat jadi‘ Orang serba tahu, tapi tidak menguasai apapun.’ Ini juga sangat menolong untuk ingat bagaimana anak belasan tahun dapat berubah total seperti minat mereka. Ini adalah bagian dari proses tumbuh dewasa. Sekali aktivitas atau proyek dimulai, sebaiknya dorong anak itu untuk setia kepada hal itu, sedikitnya sampai pekerjaan diselesaikan atau sampai mereka sudah mengembangkan keahliannya. Ini akan memenuhi dua hal: ( a) Itu akan menghalangi mereka menjadi orang yang menunjukkan gairah besar untuk memulai satu proyek keproyek lain, tetapi tidak pernah menyelesaikan apapun. ( b) Itu juga memberi mereka waktu untuk menemukan apakah mereka benar-benar menyukainya dan jika mereka mempunyai bakat atau kemampuan untuk mengejar itu, sedikitnya dalam hidupnya nanti.

(2) Tuhan adalah Pengarang bakat. Orang tua harus bijaksana untuk mengenali dan menyediakan peluang untuk anak-anak mereka sehingga mereka dapat mngembangkan bakat mereka. Sesungguhnya, kegagalan untuk melakukannya dapat menciptakan permasalahan disiplin. Orang tua jangan pernah mencoba untuk membuat satu anak seperti yang lain, atau memberi kesan seseorang lebih penting dibanding yang lain, atau bahwa kamu menghargai bakat satu dibanding yang lain. Masing-Masing anak harus mengetahui kalau dia istimewa dalam rencana Tuhan dan dicintai, dihargai, tidak berdasar karunia, bakat atau wajahnya.


9 For some of the ideas expressed in this section of the study, I am indebted to Joe Temple whom I heard teach on this subject by tape many years ago. He was at that time pastoring a Bible teaching church in Abilene, Texas. Since that time, a book has been compiled from this series entitled Know Your Child, Baker Book House, Grand Rapids, 1974.

10 Richard Whitaker, Editor, The Abridged Brown-Driver-Briggs Hebrew-English Lexicon of the Old Testament, Logos Research Systems, Oak Harbor, WA, 1997, electronic media.

11 Brown, Driver, and Briggs, pp. 202-203.

Related Topics: Man (Anthropology), Christian Home

18. David Devient Roi d’Israël

Le Livre de 1 Samuel 16 – 2 Samuel 10148

Introduction

« C’était le meilleur des temps, le pire des temps, … » Comme ça commence « The Tales of Two Cities » de Charles Dickens. C’est la façon dont ma femme et moi regardons en arrière sur les jours quand j’étais étudiant au séminaire. Dans ces deux premières années, nous ne savions pas souvent d’où l’argent allait venir pour la nourriture, les frais du séminaire ou les factures de l’hôpital. C’était des temps difficiles à beaucoup d’égards, mais ils étaient aussi les meilleurs. Maintes fois, nous avons vu la main de provision et de protection de Dieu. Nous avons fait l’expérience de la grâce et du soin de Dieu à travers beaucoup d’amis généreux et solidaires, et par les réponses inattendues à nos prières.

Je pense que David dirait la même chose de ses premières années, avant qu’il n’arrive au pouvoir comme le roi d’Israël. Il eut quelques temps difficiles. Il était le fils cadet, et il sembla récolter tout le sale travail. Ses frères ne s’occupaient pas de lui, mais le traitaient avec un grand manque de respect (1 Samuel 17:28). Il ne fut même pas présent pour la sélection du roi d’Israël (1 Samuel 16:10-11). Après avoir été proclamé roi d’Israël et avoir battu Goliath, il dut échapper à Saül, qui cherchait à perpétuer son règne en tuant son remplaçant.

Ces jours-là furent des jours difficiles pour David, mais ils furent aussi « les meilleurs ». David apprit à traiter avec le danger, et il apprit aussi à combattre (voir 1 Samuel 16:18). Il apprit à compter sur Dieu et à aimer Sa Parole. Il apprit l’obéissance et la soumission, même quand sa vie était en danger. Il développa des amitiés et des alliances très fortes.

C’est la première portion de la vie de David qui sera le sujet de notre étude dans cette leçon. Nous commencerons avec l’onction de David dans 1 Samuel 16, et nous finirons à la période quand David fut nommé roi d’à la fois Israël et Juda (2 Samuel 10). Il y a beaucoup d’histoires excitantes dans notre texte avec beaucoup de leçons importantes à apprendre pour nous, alors écoutons bien ce que Dieu doit nous dire à travers la vie de David, ses amis et ses ennemis.

David est Oint Comme Roi d’Israël (1 Samuel 16:1-13)

Dieu réprimanda Samuel pour continuer à porter le deuil pour Saül. Il ne devait pas être pris en pitié. Dieu s’était occupé de lui, à juste titre. Samuel fut alors ordonné d’aller voir un homme nommé Isaï à Bethléhem et d’oindre un de ses fils prochain roi d’Israël. Premièrement, la chose qui attira mon attention dans ce texte est la peur exprimée par Samuel et par les responsables de Bethléhem:

« 2 Samuel répondit:
   ---Comment puis-je faire cela? Saül l'apprendra et il me fera mourir!

   L'Eternel lui dit:
   ---Tu emmèneras une génisse et tu diras que tu vas m'offrir un sacrifice.

   3 Tu inviteras Isaï à y assister et je t'indiquerai alors ce que tu devras faire. Tu conféreras de ma part l'onction à celui que je te désignerai.

   4 Samuel fit ce que l'Eternel lui avait ordonné. Lorsqu'il arriva à Bethléhem, les responsables de la ville, inquiets, vinrent au-devant de lui et lui demandèrent:
   ---Ta venue annonce-t-elle quelque chose de bon? » (1 Samuel 16:2-4, mon accentuation en gras)

Nous avons besoin de nous rappeler que jusqu'à ce point, David n’avait pas été nommé le prochain roi. Goliath n’avait pas été tué par David. David était un jeune berger inconnu. En d’autres mots, Saül n’était pas menacé par David ; il n’était menacé par personne qui pourrait jouer un rôle dans la nomination de son remplaçant. Saül était un homme qui me rappelle beaucoup d’Herod, qui tuerait tous les jeunes enfants mâles vivant à et autour de Bethléhem, juste pour empêcher un d’eux de devenir le « roi d’Israël » (voir Matthieu 2:16-18). Samuel avait même peur que Saül le tuerait, car il était la personne logique pour oindre le prochain roi. Saül était un homme très dangereux.

Deuxièmement, la chose importante dans ces versets est qui Dieu choisit pour être le roi. Comme la plupart d’entre nous, Samuel regarda au fils ainé et assuma qu’il était celui que Dieu avait choisi. Il avait tort. Saül était le roi de l’homme, qu’Israël voulait pour son roi. Le fils ainé d’Isaï était probablement quelque chose comme Saül en termes d’âge, grandeur, et de stature. Saül était un homme qui dominait physiquement – il dépassait d’une tête ses compatriotes (1 Samuel 9:2), mais son cœur n’était pas tourné vers le Seigneur. Cette fois Dieu nommerait un homme dont le cœur était justement tourné vers Lui. David était un jeune homme séduisant (16:12), et il était vu comme un « brave guerrier », même avant d’avoir tué Goliath (16:18). Nous savons que l’armure de Saül était trop large et encombrante pour lui, alors David devait être un homme plus petit, au moins beaucoup plus petit que Saül ; et, il serait sûr de dire, il était plus jeune (17:33,43).

Il y a beaucoup d’inquiétude de nos jours à propos de « portrait racial », mais je vous suggèrerais que nous devrions aussi être inquiets en ce qui concerne le « portrait de dirigeants ». C’est un fait bien connu et communément accepté qu’un nombre disproportionné de dirigeants en Amérique sont des hommes qui sont « grands, bruns, et séduisants », pour ainsi dire. Dans la communauté chrétienne, nous avons notre propre version de « portrait de dirigeants ». Les comité de direction de l’église et des organisations chrétiennes sont le plus souvent des bureaucrates, des hommes d’affaires prospères. Quand nous cherchons des leaders, nous donnons une importance disproportionnée à l’éducation, l’intelligence, la confiance de soi, l’assurance, et plus que tout, la prospérité. Nous pourrions bien faire de penser davantage au choix de Dieu de David comme roi de l'Israël et ne pas nous permettre d'oublier les mots de l'Apôtre Paul sur cette question:

« 26 Considérez donc votre situation, frères: qui êtes-vous, vous que Dieu a appelés à lui? On ne trouve parmi vous que peu de sages selon les critères humains, peu de personnalités influentes, peu de membres de la haute société!

   27 Non! Dieu a choisi ce que le monde considère comme une folie pour confondre les «sages», et il a choisi ce qui est faible pour couvrir de honte les puissants.

   28 Dieu a porté son choix sur ce qui n'a aucune noblesse et que le monde méprise, sur ce qui est considéré comme insignifiant, pour réduire à néant ce que le monde estime important.

   29 Ainsi, aucune créature ne pourra se vanter devant Dieu.

   30 Par lui, vous êtes unis au Christ, qui est devenu pour nous cette sagesse qui vient de Dieu: en Christ, en effet, se trouvent pour nous l'acquittement, la purification et la libération du péché.

   31 Et il en est ainsi pour que soit respecté ce commandement de l'Ecriture:
      Si quelqu'un veut éprouver de la fierté,
      qu'il place sa fierté dans le Seigneur. » (1 Corinthiens 1:26-31)149

Rappelons-nous, les disciples n’étaient pas non plus des hommes que nous aurions choisis pour être les apôtres de notre Seigneur:

« 13 Les membres du Grand-Conseil étaient étonnés de voir l'assurance de Pierre et de Jean, car ils se rendaient compte que c'étaient des gens simples et sans instruction; ils les reconnaissaient pour avoir été avec Jésus. » (Actes 4:13)

Tenons compte de notre texte et des mots de l’Apôtre Paul. Prenons garde à ceux de Saül et recherchons ceux de David.

La nomination de David par Samuel le désigna comme le choix de Dieu comme prochain roi d’Israël. Il se pourrait bien que les frères de David furent soulagés, sachant que Saül essayerait de tuer n’importe qui qui semblerait menacer sa continuation comme roi. Mais au-delà de designer David comme le choix de Dieu comme roi, l’onction de David fut accompagnée par la descente de l’Esprit de l’Eternel sur lui:

« 13 Samuel prit la corne pleine d'huile et il en oignit David en présence de sa famille. L'Esprit de l'Eternel tomba sur David et demeura sur lui à partir de ce jour-là et dans la suite. Après cela, Samuel se remit en route et retourna à Rama. » (1 Samuel 16:13)

Comme avec l’onction de Saül (10:1-11), l’Esprit de Dieu fut donné pour responsabiliser le roi de Dieu, pour réaliser sa tâche. Quand l’Esprit abandonna Saül et vint sur David, c’était un signe sur que des choses allaient changer. À partir de ce moment là, les choses ne seraient jamais plus pareilles ni pour Saül, ni pour David.

Le Grand Echange d’Esprit (1 Samuel 16:14-23)

C’est en fait un des textes les plus difficiles de 1 Samuel. Il n’est pas vraiment surprenant de lire que l’Esprit de Dieu « se retira de Saül », mais il est surprenant de lire qu’ « un mauvais esprit de Dieu se mit à le tourmenter » (1 Samuel 16:14). Si Dieu prend le royaume de Saül et le donne à David, nous pouvons comprendre pourquoi l’Esprit quitta Saül (verset 14) au même instant qu’il est donné à David (verset 13). Mais pourquoi est-ce que Dieu enverrait « un mauvais esprit » pour tourmenter Saül ?

Nous devons surement nous demander, « Pourquoi est-ce que Dieu enverrait un mauvais esprit pour tourmenter n’importe qui ? » Nous espèrerions Satan de le faire, n’est-ce pas ? La réponse devrait probablement être trouvée dans les deux premiers chapitres du Livre de Job. Là, nous lisons que Satan dut demander la permission à Dieu avant d’amener beaucoup de souffrances à son saint. Bien que Satan soit la cause immédiate de la souffrance de Job, il ne pouvait rien faire sans la permission de Dieu. Job souffrit des mains de Satan, seulement parce que Dieu le permit. J’assume que la même chose est vraie dans notre texte et ainsi, l’auteur pourrait parler de cela comme « le mauvais esprit de Dieu ». Dieu n’est pas la cause immédiate des problèmes de Saül, mais Il est celui qui à la fin est au contrôle de toutes choses. Cela pourrait ne pas être complètement différent de ce que nous trouvons dans le Nouveau Testament:

« 2 C'était au cours du repas de la Pâque. Déjà le diable avait semé dans le cœur de Judas, fils de Simon Iscariot, le projet de trahir son Maître et de le livrer. » (Jean 13:2)

« 27 Dès que Judas eut reçu ce morceau de pain, Satan entra en lui.
   Alors Jésus lui dit:
   ---Ce que tu fais, fais-le vite. » (Jean 13:27)

« 5 qu'un tel homme soit livré à Satan en vue de la destruction du mal qui est en lui afin qu'il soit sauvé au jour du Seigneur.» (1 Corinthiens 5:5)

Le résultat est que Dieu est souverain, et rien ne peut arriver qui soit contraire à Son but et Son plan divin. Un mauvais Esprit peut tourmenter un homme seulement parce que Dieu le permet, et dans ce sens, il pourrait être dit qu’il « est un Esprit de Dieu ». Je dois aussi signaler que par la jalousie et la rage incontrôlée de Saül, il s’est lui-même ouvert à l’activité satanique.

Nous ne devrions pas manquer de voir la main providentielle de Dieu dans tout ça. Saül n’était pas juste maintenant soumis à des crises démoniaques. Ses servants les reconnurent comme étant démoniaques, et ils semblèrent savoir que la musique pouvait quelque fois apaiser une âme tourmentée comme celle de Saül. Alors ils engagèrent David, qui était un musicien de qualité, pour jouer de la lyre et ainsi calmer l’esprit troublé de Saül. Le résultat de cela – David fut introduit au protocole de la royauté, entraînement sur emploi pour quand il deviendrait roi.

Quelqu’un pourrait assumer que toutes les actions pécheresses de Saül étaient le résultat de cet « échange d’Esprit », mais je ne crois pas du tout que ce fut le cas. Rappelons-nous, les deux grands péchés150 de Saül qui « le privèrent de son royaume » furent commis avant l’arrivée du « mauvais Esprit » et durent être fait avant que le saint Esprit fut retiré ! De plus, le « mauvais Esprit » ne tourmentait pas constamment Saül, mais plutôt ne le tourmentait que de temps en temps. Le mauvais Esprit poussa Saül à jeter sa lance sur David (18:10-11), mais d’autres actes de Saül semblent être venus de Saül lui-même (20:30-33).

Il est important pour nous de remarquer que la jalousie et la rage incontrôlée de Saül n’apparurent pas soudainement quand Saül réalisa que David était son remplaçant. Saül fut diabolisé et sujet à des crises de rage, avant qu’il ne sut que David devrait le remplacer. David n’a pas rendu Saül comme il était ; Saül était comme ça, même avant que l’Esprit de Dieu ne le quitte. Avant que David ne fût oint, à la fois Samuel et les responsables de Bethléhem avaient très peur de Saül (16:2,4). Je crois qu’une personne pourrait faire un argument sur le sujet que le péché de Saül ouvrit la porte à son comportement diabolique.

Quelques fois nous sommes rapides à blâmer Satan pour nos péchés, alors que nous en sommes la source. À mon avis, le « mauvais Esprit » accrut simplement les péchés de Saül.170Un Homme Digne du Trône: David et Goliath (1 Samuel 17)

Le roi d'Israël devait être un homme qui dirigerait le pays pendant une guerre:

« 20 Nous voulons, nous aussi, être dirigés comme tous les autres peuples. Notre roi rendra la justice parmi nous et prendra notre commandement pour nous mener au combat. » (1 Samuel 8:20)

« 1 Samuel prit le flacon d'huile qu'il avait emporté et en répandit le contenu sur la tête de Saül, puis il l'embrassa et dit:
   ---Par cette onction, l'Eternel t'établit chef du peuple qui lui appartient. [C'est toi qui le gouverneras, tu le sauveras des ennemis qui l'entourent. Et voici la preuve que c'est l'Eternel qui t'établit chef de son peuple par cette onction.] » (1 Samuel 10:1)

Les deux grands péchés de Saül étaient liés à son rôle de commandant en chef de l’armée d’Israël. Dans le chapitre 17, nous montrerons comment Saül manqua à son devoir de roi, et comment David réalisa ses responsabilités comme le nouveau roi nommé.

« 1 Les Philistins mobilisèrent leurs troupes pour une expédition guerrière, ils se rassemblèrent à Soko en Juda et dressèrent leur camp entre Soko et Azéqa, à Ephès-Dammim.

  2 Saül, de son côté, rassembla les hommes d'Israël et ils campèrent dans la vallée du Chêne. C'est là qu'ils prirent position en ordre de bataille face aux Philistins.

  3 Ceux-ci occupaient un versant de la montagne et les Israélites le versant opposé; la vallée séparait les deux armées.

  4 Alors un champion sortit du camp des Philistins et s'avança vers Israël. C'était un géant mesurant près de trois mètres, nommé Goliath, originaire de Gath.

  5 Il était revêtu d'un casque de bronze et d'une cuirasse à écailles en bronze pesant une soixantaine de kilos.

  6 Ses jambes étaient protégées par des plaques de bronze et il portait en bandoulière sur ses épaules un javelot de bronze.

  7 Le bois de sa lance avait la grosseur d'un cylindre de métier à tisser, le fer de lance à lui seul pesait près de sept kilos. Il était précédé d'un homme qui portait son bouclier.

  8 Il se campa face aux troupes israélites, et leur cria:
   ---Pourquoi vous êtes-vous rangés en ordre de combat? Moi, je suis le Philistin, et vous, les esclaves de Saül. Choisissez parmi vous un homme, et qu'il m'affronte en combat singulier!

  9 S'il peut me battre et qu'il me tue, alors nous vous serons assujettis. Mais si c'est moi le vainqueur et si je le tue, c'est vous qui nous serez assujettis et vous serez nos esclaves.

  10 Puis il ajouta: Je lance aujourd'hui ce défi à l'armée d'Israël. Envoyez-moi un homme et nous nous affronterons en combat singulier.

  11 Quand Saül et toute son armée entendirent ces paroles du Philistin, ils furent démoralisés et une grande peur s'empara d'eux. » (1 Samuel 17:1-11)

Saül était celui qui devait mener ses soldats au combat. Il était aussi le « Goliath » d’Israël, car il était bien plus grand que le reste du peuple (1 Samuel 9:2 ; 10:23). Saül était le champion des soldats Israélites, pourtant on ne le trouvait pas en premières lignes de la bataille, mais observant d’une distance lointaine. Au moment où ses soldats avaient le plus besoin de Saül, il avait peur. Ce n’était pas étonnant que ses hommes avaient aussi peur (17:11,24).

Les Israélites et les Philistins se trouvaient face à face, chacun sur une colline, séparées par une vallée avec un cours d’eau. Pendant quarante jours, ces deux armées se firent face. Les Israélites semblaient avoir peur de ne pas battre les Philistins. Je suspecte que les Philistins essayaient d’attirer les Israélites en bas du coteau, pour qu’ils puissent utiliser leurs chariots dans la vallée (comparez 2 Samuel 18:8 ; 1 Rois 20:23). Les Israélites semblaient être silencieux, mais Goliath était arrogant et profane.

Goliath était certainement un géant, mais les Israélites, qui étaient familiers avec l’histoire et avec la Parole de Dieu, n’auraient pas du être intimidés. Dans Genèse 12:3, Dieu dit clairement qu’Il s’occupera de n’importe qui qui maudira Son peuple. Cet incident à Qadech, enregistré dans Nombres 13, était à propos des peurs des Israélites des géants du pays de Canaan. Mais Dieu promit de leur livrer ces géants, et Il le fit. La prière d’Anne dans le chapitre 2 adresse aussi ce sujet:

«  9 Il gardera les pas de ses fidèles,
      mais les méchants périront dans la nuit,
      car aucun homme n'est vainqueur par la force.

   10 Ceux qui contestent contre Dieu sont brisés.
      Du haut du ciel, il tonnera contre eux.
      Il jugera les confins de la terre;
      il donnera la puissance à son roi
      et il élèvera l'homme qui, de sa part, a reçu l'onction d'huile.» (1 Samuel 2:9-10)

Dans le chapitre 14, Jonathan avait fait face à une situation similaire, mais il ne permit pas à la chance contre lui de l’empêcher de combattre les Philistins:

« 4 Dans le défilé que Jonathan cherchait à franchir pour atteindre le poste des Philistins se dressaient de part et d'autre deux pointes rocheuses appelées Botsets et Séné.

  5 L'une d'elles s'élève au nord en face de Mikmach et l'autre au sud en face de Guéba.

  6 Jonathan dit au jeune homme qui portait ses armes:
   ---Viens et attaquons le poste de ces incirconcis. Peut-être l'Eternel agira-t-il en notre faveur, car rien ne l'empêche de sauver par un petit nombre aussi bien que par un grand. » (1 Samuel 14:4-6)

C’était une situation qui exigeait foi en le Dieu d'Israël, et Saül manquait cette foi. Cela exigerait un autre individu, qui aurait une foi plus grande, pour affronter Goliath et les Philistins. Dieu orchestra divinement les évènements pour que David puisse voir et entendre lui-même le blasphème de Goliath. Son père l’envoya pour voir comment ses trois frères ainés allaient, qui combattaient les Philistins sous le commandement de Saül:

« 22 David déposa son chargement et le confia au gardien des bagages, puis il courut au front. Aussitôt arrivé, il vint demander de leurs nouvelles à ses frères.

   23 Pendant qu'il parlait avec eux, Goliath, le champion des Philistins, originaire de Gath, sortit de leurs rangs et lança son défi habituel. David l'entendit.

   24 A la vue de cet homme, tous les soldats d'Israël s'enfuirent terrorisés. » (1 Samuel 17:22-24)

Les Israélites avaient l’habitude de la fureur de Goliath, mais David la reconnut pour ce qu’elle était. Il savait que Goliath devait être opposé et réduit au silence: 

« 26 David demanda aux hommes qui se tenaient autour de lui:
   ---Qu'est-ce que l'on donnera à celui qui abattra ce Philistin et qui lavera le peuple d'Israël de la honte qui lui est infligée? Qu'est donc cet incirconcis de Philistin, pour oser insulter les bataillons du Dieu vivant?

  27 On répéta à David ce qui était promis comme récompense à celui qui tuerait le géant. » (1 Samuel 17:26-27)

Le frère ainé de David fut révolté par les mots de David. Ces paroles, sans aucun doute, touchèrent un point sensible. Pourquoi personne ne s’opposait-il pas à cette grande gueule philistine ? Alors Eliab riposta chaudement:

« 28 Lorsque son frère aîné Eliab l'entendit discuter avec les soldats, il se mit en colère contre lui et lui dit:
   ---Que viens-tu faire ici? A qui as-tu laissé nos quelques moutons dans la steppe? Je te connais bien, moi, petit prétentieux! Je sais quelles mauvaises intentions tu as dans ton cœur ! Tu n'es venu que pour voir la bataille! » (1 Samuel 17:28)

Quel dédain complet Eliab avait pour David. D’autres pouvaient recommander David à Saül comme étant un « brave guerrier » (16:18), mais pas Eliab. Nous ne devrions pas oublier qu’Eliab fut ignoré par Samuel (et ultimement par Dieu), qui nomma David comme le prochain roi d’Israël (1 Samuel 16:6-7). Tout ce qu’Eliab pouvait entendre des mots de David était une curiosité et stupidité enfantine. Peut-être pouvons-nous voir maintenant pourquoi Dieu négligea rapidement Eliab.

Saül répondit d’une manière très différente. Quelqu’un apprit au roi qu’il y avait quelqu’un disposé à opposer Goliath. Saül sembla désespérément sauter sur cette occasion– n’importe qui excepté lui pourrait défier Goliath. Saül ne négligea pas la jeunesse de David, et il chercha même à le décourager de combattre Goliath:

« 32 David lui dit:
   ---Que personne ne perde courage à cause de ce Philistin! Moi, ton serviteur, j'irai et je le combattrai.

  33 Mais Saül lui répondit:
   ---Tu ne peux pas aller lutter contre ce Philistin. Tu n'es qu'un gamin, alors que lui, c'est un homme de guerre depuis sa jeunesse.» (1 Samuel 17:32-33)

David informa Saül qu’il était prêt pour ce jour, parce qu’il avait combattu d’autres adversaires intimidant, pendant qu’il gardait les moutons de son père (une simple tâche sans importance, à l’Esprit d’Eliab, voir 17:28). Dieu avait donné la victoire à David contre un lion et un ours. Dieu ferait de même avec Goliath, spécialement puisque Sa réputation était en question:

« 36 Puisque ton serviteur a tué des lions et même des ours, il abattra bien cet incirconcis de Philistin comme l'un d'eux, car il a insulté les bataillons du Dieu vivant.

  37 Puis David ajouta:
   ---L'Eternel qui m'a délivré de la griffe du lion et de l'ours me délivrera aussi de ce Philistin.
   Finalement, Saül dit à David:
   ---Vas-y donc et que l'Eternel soit avec toi!» (1 Samuel 17:36-37)

Saül fut convaincu. C’était plutôt étonnant, puisque les actions de David auraient pu très bien précipiter une grande confrontation. Pour quelques raisons que ce soient, Saül laissa David aller avec sa bénédiction. Il lui offrit même son armure, mais elle était trop grande pour lui. Quel affront cela a dû être pour Saül de regarder David, impatient d’accomplir la tâche qui aurait dû être la sienne, puis de voir ce « jeune » avec une armure complète évoquant la stature de Saül, comme un rappel qu’il était le géant d’Israël qui aurait dû affronter Goliath.

David était déterminé à combattre Goliath avec les armes qu’il avait déjà utilisées. Il s’empressa vers les premières lignes pour confronter Goliath. Il n’avait pas d’armure, pas d’épée, seulement un bâton, sa fronde et son sac de berger, avec cinq pierres lisses. Quand Goliath réalisa que seul un gamin allait l’affronter, il fut offensé et en colère. Quelle insulte, d’envoyer un gosse pour combattre le champion des Philistins. L’auteur dit clairement que c’était une question spirituelle:

« 43 et lui lança:
   ---Est-ce que tu me prends pour un chien pour venir contre moi avec un bâton?
   Puis il le maudit par ses dieux.

  44 ---Approche un peu, ajouta-t-il, pour que je donne ta chair à manger aux oiseaux du ciel et aux bêtes des champs!

  45 A quoi David répondit:
   ---Tu marches contre moi avec l'épée, la lance et le javelot, et moi je marche contre toi au nom de l'Eternel, le Seigneur des armées célestes, le Dieu des bataillons d'Israël, que tu as insulté.

  46 Aujourd'hui même, l'Eternel me donnera la victoire sur toi, je t'abattrai, je te couperai la tête et, avant ce soir, je donnerai les cadavres des soldats philistins à manger aux oiseaux du ciel et aux bêtes sauvages de la terre. Alors toute la terre saura qu'Israël a un Dieu.

  47 Et toute cette multitude assemblée saura que ce n'est ni par l'épée ni par la lance que l'Eternel délivre. Car l'issue de cette bataille dépend de lui, et il vous livre en notre pouvoir. » (1 Samuel 17:43-47)

David courut vers Goliath, sa fronde tournant dans l’air. Des années de pratique (sans mentionner la main de Dieu) avaient préparé David pour ce moment. Nous savons que certains Israélites étaient très habiles avec la fronde (Juges 20:16). La pierre avait été bien précisément visée et trouva son objectif – le front du géant. La pierre frappa avec assez de force pour rendre Goliath incapable de réagir. Cela donna à David le temps de se ruer sur le géant, d’« emprunter » son épée, et de lui couper la tête, avant qu’il ne puisse se défendre lui-même. Les Israélites commencèrent à poursuivre les Philistins. David amena la tête de Goliath à Saül, qui observait d’une bonne distance, et puis demanda l’identité du père de David.171La Renommée de David et les Peurs de Saül

La victoire de David sur Goliath le propulsa dans une proéminence instantanée, quelque chose comme la foi et le courage de Cassie Bernall, la jeune fille de 17 ans qui fut tuée au Lycée Columbine de Littleton, Colorado. Mais, alors que David gagna de plus en plus de renommée, Saül en vint à le craindre. David était beaucoup aimé, à la fois par Jonathan, le fils de Saül (1-4), et pas sa fille Mikal (18-20). Saül, toujours pas prêt à mener son armée au combat, chargea David de cette tâche. Cela fut très bien reçu par les soldats et aussi par l’administration de Saül. Finalement, tout cela s’arrêta quand il entendit quelques femmes chantant les louanges de David après une victoire de guerre:

« 6 Lorsqu'ils étaient revenus de la guerre, après que David eut tué le Philistin, les femmes étaient sorties de toutes les villes d'Israël à la rencontre du roi Saül en chantant, en dansant et en poussant des cris de joie au son de tambourins et de cymbales.

    7 Elles chantaient en cœurs alternés, tout en dansant:
      Saül a vaincu ses milliers
      et David ses dizaines de milliers. » (1 Samuel 18:6-7)

Ce fut tout ce qui fut nécessaire pour Saül, qui maintenant regardait David comme un challenger pour le trône:

« 8 Saül le prit très mal et se mit dans une grande colère.
   ---Elles en attribuent dix mille à David, dit-il, et à moi seulement mille! Il ne lui manque plus que la royauté!

  9 A partir de ce moment-là, Saül regarda David d'un mauvais œil. » (1 Samuel 18:8-9)

D’un coté, Saül avait absolument raison – David était celui qui deviendrait le roi d’Israël à sa place. Mais il avait tort de ne pas lui faire confiance, comme s’il cherchait à le détrôner. La jalousie s’éprit de Saül, et il chercha à le tuer avec une lance lorsqu’il joua de son instrument dans sa maison.

À partir de ce jour-là, Saül s’efforça de tuer David. En premier, il essaya la méthode indirecte. Il l’encouragea à combattre les ennemis d’Israël, espérant qu’il serait tué à la guerre. Saül offrit même ses filles en mariage, s’il se montrait courageux au combat. Au lieu de mourir au combat, David décrocha victoire sur victoire, et devint plus populaire auprès du peuple. Le plan de Saül échoua. Quand David tua 20 000 Philistins en dot, Saül lui donna Mikal sa fille en mariage. Les peurs de Saül ne furent que multipliées.

Finalement, Saül décida d’essayer une approche directe. Il ordonna à ses serviteurs de tuer David (19:1). Jonathan aimait beaucoup son ami David, et il l’avertit que son Père voulait le tuer. Jonathan parla aussi avec son père et le persuada temporairement que David était un serviteur fidèle. Saül promit de ne pas lui faire de Mal. Cela dura jusqu'à ce que David retourna au combat et eut à nouveau de grandes victoires. La jalousie de Saül, alimentée par un mauvais Esprit, le poussa à essayer de tuer David avec une lance pour la seconde fois. Puis Saül envoya ses serviteurs à la maison de David pour l’arrêter et le mettre à mort. Avec l’aide de Mikal, David fut capable de s’évader. Il alla chez Samuel et lui raconta tout ce qui se passait. Saül apprit que David et Samuel était à Rama et envoya une troupe pour l’arrêter. Mais à chaque fois que la troupe arrivait, ils prophétisaient. Qui, sous le contrôle de l’Esprit de Dieu, pourrait capturer l’Oint de Dieu ? Finalement, après avoir envoyé en vain des messagers armés pour la troisième fois, Saül y alla lui-même, seulement pour être surmonté par l’Esprit et prophétiser lui-même (19:23-24). Ne vous demandez-vous pas ce que Saül prophétisa ? Je me demande s’il prophétisa que David deviendrait en fait le prochain roi d’Israël ?

David Prend la Fuite

Sachant que Saül chercherait encore une fois à le tuer, David s’enfuit dans la campagne à Rama. Là, David rencontra secrètement Jonathan, qui lui assura qu’il ne permettrait pas à son père de lui faire du mal. Il lui promit qu’il chercherait à découvrir les intentions de son père en ce qui concernait David. Saül devit si enragé avec Jonathan qu’il essaya de le tuer:

« 30 Alors Saül se mit en colère contre Jonathan et lui cria:
   ---Fils de chienne, fils de rebelle! Crois-tu que je ne sais pas que tu as pris parti pour le fils d'Isaï, à ta honte et à celle de ta mère?

  31 Aussi longtemps que le fils d'Isaï sera en vie, tu ne pourras pas t'imposer ni établir ta royauté. C'est pourquoi, fais-le chercher et ordonne qu'on me l'amène sans retard, car il mérite la mort.

  32 Jonathan répliqua à Saül son père:
   ---Pourquoi devrait-il mourir? Qu'a-t-il fait?

  33 Alors Saül brandit sa lance contre lui pour le frapper. Jonathan comprit que son père avait fermement décidé de faire mourir David. » (1 Samuel 30-33)

Alors David et Jonathan se rencontrèrent encore une fois en secret. Jonathan informa David des intentions de Saül et lui conseilla vivement de partir, mais avec un traité de paix entre eux:

« 42 Alors Jonathan lui dit:
   ---Va en paix, puisque nous nous sommes engagés l'un envers l'autre par serment au nom de l'Eternel en disant: Que l'Eternel soit garant entre toi et moi, entre tes descendants et les miens, à tout jamais. » (1 Samuel 20:42)

À partir de là, David fut vraiment un fugitif. Il s’enfuit d’endroit à endroit, juste un peu à l’avance de Saül. C’est là que nous arrivons au « meilleur des temps » et au « pire des temps ». Ce ne fut pas toujours une bonne période pou David, parce qu’il avait quelques fois peur et qu’il fit des choix qui sembleraient difficilement être sage et pieux. Une de ses erreurs coûta à quelques hommes leurs vies. Dans le chapitre 2, David s’enfuit chez Ahimélek, le prêtre à Nob. Il ne lui dit pas toute la vérité. David demanda une épée et fut donné l’épée de Goliath, qu’il avait prit du Philistin quand il le tua. Il demanda aussi du pain et fut donné un peu de pain sacré normalement réservé pour les prêtres et leurs familles. Doëg, l’Edomite, était là et vit David. Quand plus tard Doëg apprit cela à Saül, Saül fit mettre les prêtres et leurs familles à mort, bien qu’ils n’avaient rien fait de mal.

David s’enfuit deux fois au pays des Philistins, et chaque fois cela sembla être une erreur. Dans le chapitre 21, David alla à Gath et chercha asile chez Akich, le roi de Gath. Ce fut cette chanson qui une fois de plus le mit en difficulté.

« 10 Le prêtre répondit:
   ---Il y a l'épée de Goliath, le Philistin que tu as vaincu dans la vallée du Chêne. La voilà, enveloppée dans un drap derrière l'éphod. Si tu veux, tu peux la prendre, car c'est la seule arme que nous ayons ici.
   ---Oui, donne-la moi, dit David, elle est sans pareille.

   11 Puis David partit ce même jour pour s'enfuir loin de Saül. Il se rendit chez Akich, le roi de Gath.

   12 Les hauts fonctionnaires d'Akich dirent au roi:
   ---N'est-ce pas David, le roi du pays? N'est-ce pas celui pour qui l'on chantait en dansant: «Saül a vaincu ses milliers et David ses dizaines de milliers »?

   13 David prit ces paroles très au sérieux. Il eut une grande peur d'Akich, le roi de Gath.

   14 Alors il fit semblant devant eux d'avoir perdu la raison: il se comportait de manière extravagante et faisait des marques sur les battants des portes et laissait la bave couler sur sa barbe.

   15 Akich dit à ses familiers:
   ---Vous voyez bien que cet homme est fou. Pourquoi me l'avez-vous amené? » (1 Samuel 21:10-15)

Plus tard, David s’enfuit une deuxième fois chez le roi de Gath, avec 600 hommes (1 Samuel 27:1-12 ; 29:1-11:30:1-31). Il dit à Akich qu’il ne voulait pas être un fardeau pour lui et lui demanda où lui, ses hommes et leurs familles pourraient vivre. Le roi lui donna la ville de Tsiqlag. Par des déceptions habiles, David le convainquit que lui et ses hommes faisaient des raids sur les villes Israélites, avançant ainsi les intérêts Philistins. Eventuellement, le plan de David échoua d’une paire de façons. Premièrement, la ville de Tsiqlag fut attaquée par une bande d’Amalécites, et toutes les familles et les possessions de David et de ses hommes furent capturées et prises comme butin de guerre. Deuxièmement, quand les Philistins allèrent en guerre contre Israël, David et ses hommes purent à peine éviter d’aller avec eux.

David eut des moments très sombres pendant les années qu’il fuyait Saül, mais il y eut quelques points brillants. Quand David était un fugitif, les vrais amis de David mirent leurs propres vies en danger pour le défendre. Jonathan chercha David plus d’une fois pour l’encourager:

« 16 Jonathan, le fils de Saül, se mit en route et se rendit auprès de David à Horecha pour l'encourager en affermissant sa confiance en Dieu.

  17 Il lui dit:
   ---Sois sans crainte! Mon père ne réussira pas à mettre la main sur toi; tu régneras sur Israël, et moi je serai au second rang près de toi; mon père lui-même sait bien qu'il en sera ainsi.

  18 Tous deux renouvelèrent leur pacte d'amitié devant l'Eternel. David resta à Horecha et Jonathan rentra chez lui. » (1 Samuel 23:16-18)

Abigaïl encouragea aussi David et lui donna quelque très bons conseils:

« 28 Veuille aussi pardonner la faute de ta servante. Certainement, l'Eternel ne manquera pas d'accorder à mon seigneur une dynastie stable, car mon seigneur livre les guerres de l'Eternel et, si l'on considère toute la durée de ta vie, on ne te trouve coupable d'aucun mal.

  29 Si quelqu'un s'avise de te poursuivre pour t'ôter la vie, l'Eternel ton Dieu gardera la vie de mon seigneur pour que tu restes au nombre des vivants. Mais il jettera la vie de tes ennemis au loin comme avec une fronde.

  30 Lorsque l'Eternel aura accompli pour mon seigneur tous les bienfaits qu'il t'a promis, et qu'il t'aura institué comme chef d'Israël,

  31 alors mon seigneur n'aura ni remords ni trouble de conscience pour avoir tué quelqu'un inutilement et s'être vengé lui-même. L'Eternel fera du bien à mon seigneur et tu te souviendras de ta servante. » (1 Samuel 25:28-31)

Le mari d’Abigaïl, Nabal, était vraiment un fou. Quand David demanda un signe d’appréciation, il dédaigna sa requête. Ce n’était pas une erreur innocente, parce que Nabal savait qui David était:

« 10 Nabal leur répondit:
   ---Qui est David, et qui est le fils d'Isaï? De nos jours il y a trop de serviteurs qui s'enfuient de chez leurs maîtres.

  11 Et vous croyez que je vais prendre de mon pain, de mon eau et de ma viande, que j'ai fait débiter pour mes tondeurs, pour les donner à des gens venus de je ne sais où? » (1 Samuel 25:10-11)

La folie de Nabal est encore plus apparente quand ses mots des versets 10 et 11 sont comparés à ceux d’Abigaïl des versets 28-31. Elle savait que David allait être le prochain roi d’Israël, et le traita en conséquence. Quand Abigaïl intercepta David, en route pour tuer tous les hommes de la famille de Nabal, elle prouva lui être un grand encouragement.

Même Saül fut un encouragement pour David. Quand David risqua sa vie pour faire appel à Saül, il répondit par ces mots:

« 20 Si quelqu'un surprend son ennemi, le laisse-t-il avec bienveillance poursuivre sa route? Que l'Eternel te récompense pour ce que tu as fait pour moi en ce jour!

  21 Maintenant, tu vois, je sais que tu seras certainement roi un jour et que le royaume d'Israël sera stable sous ton autorité. » (1 Samuel 24:20-21)

Quel encouragement d’entendre ces mots des lèvres de Saül. Saül savait que David serait en fait roi un jour, prenant sa place. Entendre cela de Saül était un encouragement pour David dans ses heures les plus sombres.

David avait ses moments de doutes et de désespoir:

« 1 David réfléchit et se dit:
   ---Un jour ou l'autre, Saül finira bien par me tuer. Ce que j'ai de mieux à faire, c'est de m'enfuir pour de bon et de me réfugier au pays des Philistins, pour qu'il renonce à me traquer dans tout le territoire d'Israël; ainsi j'échapperai à son emprise.» (1 Samuel 27:1)

Mais ces moments passèrent. C’était pendant les jours où Saül cherchait à tuer David que celui-ci montra ce qu’il était capable de faire. Ceux-ci furent quelques-uns des meilleurs moments de David. Il montra qui il était quand les circonstances lui fournirent l’opportunité de tuer Saül et quand ses hommes lui conseillèrent vivement de saisir le moment.

La première instance est enregistrée dans 1 Samuel 24. David et ses hommes se cachaient de Saül dans une grotte. Saül s’arrêta à cet endroit pour se soulager en privé. Vous pouvez imaginer comment cela a dû faire de voir le roi si prêt et de savoir que ses hommes étaient juste à coté. Si Saül avait su qu’ils étaient là, ils auraient été piégés. Les hommes de David lui dirent que le Seigneur lui donnait l’opportunité de tuer Saül, mais David refusa:

« 7 Il dit à ses hommes:
   ---Que l'Eternel me garde de jamais faire une chose pareille et de porter la main sur mon seigneur à qui Dieu a conféré l'onction, car c'est de la part de l'Eternel qu'il a été oint.

  8 Par ces paroles, David arrêta ses hommes; il ne les laissa pas se jeter sur Saül. Le roi sortit de la grotte et continua son chemin. » (1 Samuel 24:7-8)

David n’était pas assez prêt de Saül pour couper un morceau de son vêtement, alors après que Saül s’éloigna de la grotte, David l’appela et lui fit savoir qu’il a eut l’opportunité de le tuer mais qu’il ne l’avait pas prise. Il voulait que Saül sache qu’il était toujours son serviteur fidèle, et que ceux qui lui avaient dit que David voulait sa vie avaient tort. Saül fut très touché par les actions de David et lui demanda de promettre qu’il ne détruirait pas ses descendants après qu’il deviendra roi. David promit à Saül, et ils se séparèrent. Malheureusement, le changement de cœur de Saül fut temporaire.

La deuxième opportunité pour David de tuer Saül est enregistrée dans 1 Samuel 26. Les gens de Ziph trahirent David en indiquant à Saül où il se cachait. Quand Saül arriva, David et ses hommes localisèrent son camp. David, avec Abichaï, le frère de Joab, s’introduisirent dans le camp de Saül pendant que tout le monde dormait. Ils se faufilèrent parmi les soldats et passèrent les gardes de Saül. Abichaï était plus disposé à tuer Saül:

« 8 Alors Abichaï dit à David:
   ---Cette nuit, Dieu livre ton ennemi en ton pouvoir. Permets-moi de le clouer au sol d'un seul coup de lance, je n'aurai pas à y revenir à deux fois. » (1 Samuel 26:8)

Une nouvelle fois, David refusa de lever la main contre Saül, l’oint du Seigneur. Si Saül devait être éliminé, Dieu devra être Celui qui le fera:

« 9 ---Non, lui dit David, ne le tue pas. Car qui resterait impuni après avoir porté la main sur celui à qui l'Eternel a conféré l'onction?

  10 Aussi vrai que l'Eternel est vivant, ajouta-t-il, c'est l'Eternel qui le frappera, soit en le faisant mourir de mort naturelle, soit en le faisant périr à la guerre.

  11 Que l'Eternel me garde de porter la main sur celui qui a reçu l'onction de la part de l'Eternel! Prenons seulement la lance qui est à son chevet et la cruche d'eau, et allons-nous-en. » (1 Samuel 26:9-11)

David prit alors la lance de Saül et une cruche d’eau, comme preuve qu’il était venu prêt du roi pendant qu’il et ses gardes dormaient. Il cria au roi, attirant l’attention sur le fait que quand il eut l’opportunité de le tuer, il ne l’avait pas fait. Encore une fois, Saül admit qu’il avait tort:

« 21 Alors Saül s'écria:
   ---J'ai commis une faute, reviens, mon fils David, je ne te ferai plus de mal, puisque cette nuit tu as épargné ma vie. J'ai agi comme un *insensé et j'ai commis une grave erreur.

  22 David répondit:
   ---Voici ta lance, ô roi! Envoie l'un de tes jeunes gens pour venir la prendre.

  23 Que chacun de nous soit traité selon sa justice et sa fidélité par l'Eternel, car il t'avait livré aujourd'hui en mon pouvoir, mais je n'ai pas voulu porter la main sur celui qui a reçu l'onction de sa part.

  24 Comme ta vie a été pour moi d'un grand prix aujourd'hui, ainsi ma vie sera d'un grand prix pour l'Eternel, et il me délivrera de toute détresse.

  25 Alors Saül reprit:
   ---Sois béni, mon fils David! Certainement tu accompliras beaucoup de choses et tu réussiras tout ce que tu entreprendras.
   Puis David reprit son chemin, tandis que Saül retourna chez lui. » (1 Samuel 26:21-25)

La Mort de Saül

L’histoire de la mort de Saül est tragique. Quand les Philistins se rassemblèrent pour combattre Israël, David et ses hommes furent très prêts d’en faire parti (28:1-2 ; 29:1-11). Saül était terrifié, et Samuel était mort. ce fut une des occasions quand Saül chercha des conseils divins, mais il était trop tard. En désespoir, Saül chercha des conseils de la tombe. Il ne chercha pas des conseils des dieux païens, mais de Samuel, le prophète décédé. Pour faire cela, il dut utiliser un médium. Cela, bien sur, était clairement interdit. Saül lui-même avait éliminé les médiums et les magiciens du pays (28:3). Il instruisit ses serviteurs de trouver un médium, une femme d’Eyn-Dor. Se déguisant, Saül alla la trouver et lui demanda de faire apparaitre Samuel. La femme fut terrifiée quand Samuel apparut. Chaque indication prouva que c’était vraiment Samuel. Son message pour Saül était certainement consistant. Au moins cette fois, il n’avait pas à s’inquiéter que Saül allait le tuer ! Samuel informa Saül que Dieu s’était tourné contre lui et qu’il allait mourir au combat. Demain, Dieu le livrerait aux Philistins. Lui et ses fils mourront, et la prophétie de Dieu par Samuel serait exaucée.

Le jour suivant, les Philistins s’imposèrent sur Saül et les Israélites. Les trois fils de Saül, Jonathan inclut, furent tués (31:2). La mort de Saül n’arriva pas aussi facilement ou rapidement. La flèche d’un archer blessa sérieusement Saül. Sachant qu’il allait mourir, Saül implora son archer de le tuer rapidement, plutôt que de le laisser tomber entre les mains de ses ennemis et d’être torturé. Son archer ne put pas tuer le roi, et Saül se tua avec sa propre lance. Cela ne sembla pas avoir marché non plus, si nous devons croire les paroles d’un jeune Amalécites:

« 6 Le jeune homme lui dit:
   ---Je me trouvais justement sur le mont Guilboa; Saül était appuyé sur sa lance, tandis que les chars et les cavaliers allaient l'atteindre.

   7 S'étant retourné, il m'a aperçu et m'a appelé. J'ai répondu: «Oui, je viens!»

   8 Alors il m'a demandé: «Qui es-tu?» J'ai dit: «Je suis un Amalécite.»

   9 Alors il m'a ordonné: «Approche-toi et donne-moi la mort, car je suis pris d'un malaise bien que je sois encore plein de vie.»

   10 Je me suis approché de lui et je lui ai donné un coup mortel parce que je savais qu'il ne survivrait pas à sa défaite. Puis j'ai enlevé la couronne de sa tête et le bracelet qu'il avait au bras. Les voici, je te les apporte, mon seigneur. » (2 Samuel 1:6-10)

Saül n’aurait pas pu mourir d’une mort plus misérable, mais l’humiliation ne fut pas terminée:

« 8 Le lendemain, les Philistins vinrent sur le champ de bataille pour détrousser les cadavres. Ils découvrirent Saül et ses trois fils qui étaient tombés sur le mont Guilboa.

  9 Ils coupèrent la tête du roi et le dépouillèrent de ses armes. Ils firent annoncer la nouvelle de leur triomphe à travers tout le pays des Philistins, dans les temples de leurs idoles et parmi la population.

  10 Ils disposèrent les armes de Saül dans le temple de leurs déesses, les Astartés, et suspendirent son cadavre sur le rempart de Beth-Chân. » (1 Samuel 31:8-10)

Quand David entendit la nouvelle de la mort de son roi et de son ami bien aimé Jonathan, il fut très touché. Son deuil pour Saül, comme pour Jonathan, était dur et sincère. L’hommage de David dans 2 Samuel 1 rend honneur à Saül pour tous ses accomplissements et oublia tous ses péchés (« l’amour couvre une multitude de péchés »). David exécuta le jeune Amalécite pour son rôle dans la mort du roi. C’était la fin d’une époque.

David Devient Roi

Maintenant que Saül était mort, David devint rapidement – et presque automatiquement – roi d’Israël. Ce ne fut pas du tout le cas. Il faudra plus de sept ans après la mort de Saül pour que David devienne le roi de tout Israël. Il chercha les conseils de Dieu et retourna à Hébron, où il reçut l’onction royale sur Juda (2 Samuel 2:1-4). Le premier acte royal de David fut de récompenser le peuple de Yabéch Galaad pour enlever courageusement le corps de Saül de la vue publique et l’ensevelir dans un tombeau (2:5-7).

Abner, l’oncle de Saül et général dans l’armée de Saül, prit Ich-Bocheth, le fils de Saül, et l’installa comme roi d’Israël. Israël avait ainsi deux Rois: David était roi sur Juda, et Ich-Bocheth était roi sur le reste des tribus d’Israël. Les semences de la division future d’Israël furent plantées durant les années où Israël eut deux rois. Une confrontation insensée arriva entre Israël et Juda, du largement aux égos de Joab et Abner. Une dispute explosa en une brève guerre dans laquelle beaucoup d’hommes moururent. Abner tua le frère de Joab, Asaël, avant que le combat ne prenne fin.

Comme le conflit entre la maison de Saül et la maison de David continuait, Abner prit une des concubines de Saül, une action qui apparut signaler une revendication du trône (voir 1 Rois 2:13-25). Ich-Bocheth avait raison d’être inquiet, mais quand il défia Abner, son général (qui était mieux placé pour organiser un coup militaire ?), Abner réagit fortement. Ce fut ce défit qui poussa Abner à changer son support vers David comme le roi légitime d’Israël, plutôt que le descendant de Saül, Ich-Bocheth. Il négocia un arrangement avec David, mais quand Joab l’apprit, il tua Abner, vengeant ainsi le sang de son frère Asaël.

La réponse de David à la vengeance de Joab joua un rôle crucial dans la guérison du pays. David porta publiquement le deuil de la mort d’Abner et réprimanda fermement Joab pour ses actions. Les Israélites reconnurent que rien n’était la faute de David et qu’il n’était pas d’accord avec (2 Samuel 3:36). Peu de temps après, deux serviteurs d’Ich-Bocheth le tuèrent et amenèrent sa tête à David à Hébron. Ils avaient sérieusement fait une erreur de calcul sur sa réponse, car David les fit exécuter pour leur action. Il, lui qui ne voulait pas devenir roi en tuant Saül, ne récompenserait pas ceux qui tuèrent son fils. Finalement, après sept ans et demi de guerre, David devint roi de tout Israël:

« 1 Des représentants de toutes les tribus d'Israël vinrent auprès de David à Hébron et lui dirent:
   ---Nous voici! Nous sommes de ta race et de ton sang.

  2 Autrefois déjà, du temps où Saül était notre roi, c'est toi qui dirigeais les expéditions militaires d'Israël. Or l'Eternel t'a promis que tu serais le berger d'Israël son peuple et que tu en deviendrais le chef.

  3 Ainsi tous les responsables d'Israël vinrent trouver le roi à Hébron. Là, le roi David conclut une alliance avec eux devant l'Eternel, et ils lui conférèrent l'onction pour le faire roi d'Israël.

  4 David était âgé de trente ans à son avènement, et son règne dura quarante ans.

  5 Il régna sept ans et six mois sur Juda à Hébron, et il régna trente-trois ans sur tout Israël et Juda à Jérusalem. » (2 Samuel 5:1-5)

À ce moment, Jérusalem (connu alors sous le nom de Yébous) était contrôlé par les Yebousiens. David captura la ville et l’occupa comme sa capitale. Pas de doute, sa forte position défensive, qui rendrait difficile de la conquérir, fit que Jérusalem était attirante à David comme ville plus facilement défendable comme sa capitale:

« 9 David s'installa dans la forteresse qu'il appela la cité de David. Il fit des constructions tout autour, depuis les terrasses aménagées pour les cultures jusque vers l'intérieur.

  10 David devenait de plus en plus puissant, et l'Eternel, le Dieu des armées célestes, était avec lui. » (2 Samuel 5:9-10)

Quelqu’un pourrait imaginer pourquoi les Philistins auraient fortement réagi à la nouvelle que David était devenu le roi de tout Israël. Quand ils arrivèrent en force, cherchant à trouver David, David et ses armées furent divinement instruits d’attaquer, et Dieu donna à David une victoire décisive sur les ennemis d’Israël. En s’enfuyant, les Philistins, abandonnèrent leurs idoles parce qu’elles n’étaient qu’un poids mort inutile (5:21).

David chercha alors à amener le coffre de l’alliance de Dieu à Jérusalem. Le problème était qu’il ne fit pas attention à transporter le coffre de l’alliance de la façon que Dieu avait prescrite. Au lieu de ça, il fut transporté comme les Philistins l’avaient transporté, sur un chariot. Quand un des bœufs trébucha, il semblerait que le coffre de l’alliance se retourna, alors Ouzza tendit sa main pour le stabiliser et Dieu le tua sur place pour son irrévérence. David fut en colère parce qu’il sembla que Dieu gâcha tout. La cérémonie se termina abruptement, et le coffre de l’alliance resta à la maison d’Obed-Edom.

Il y a dû avoir un sérieux examen de conscience après la mort d’Ouzza, mais David réalisa pourquoi cette tragédie était arrivée. Alors, ils amenèrent le coffre de l’alliance à Jérusalem:

« 11 David appela les prêtres Tsadoq et Abiatar et les lévites Ouriel, Asaya, Joël, Chemaeya, Eliel et Amminadab.

  12 Il leur dit:
   ---Vous êtes les chefs des groupes familiaux des lévites, purifiez-vous, vous et tous les membres de vos familles, pour être en mesure de transporter le coffre de l'Eternel, le Dieu d'Israël, à l'emplacement que je lui ai préparé.

  13 En effet, c'est parce que vous n'étiez pas présents la première fois, que l'Eternel notre Dieu a fait une brèche parmi nous: nous ne nous sommes pas occupés selon la Loi de ce qui le concerne.

  14 Les prêtres et les lévites se purifièrent donc pour le transport du coffre de l'Eternel, le Dieu d'Israël.

  15 Les lévites portèrent le coffre de Dieu avec des barres[b]sur leurs épaules, conformément aux ordres que Moïse avait donnés d'après la parole de l'Eternel[c]. » (1 Chronicles 15:11-15)

« 13 Quand ceux qui portaient le coffre de l'Eternel eurent avancé de six pas, ils s'arrêtèrent et l'on offrit en sacrifice un taureau et un veau gras.

  14 David dansait de toutes ses forces devant l'Eternel, vêtu seulement d'un vêtement de lin semblable à celui des prêtres.

  15 Ainsi David et tout le peuple d'Israël transportèrent le coffre de l'Eternel en poussant des cris de joie et en faisant résonner les cors. » (2 Samuel 6:13-15)

L’Alliance Avec David (2 Samuel 7:1-17)

« 1 Comme le roi s'était installé dans son palais, et que l'Eternel lui avait accordé une existence paisible en le délivrant de tous ses ennemis à l'entour,

  2 il dit au prophète Nathan:
   ---Regarde! J'habite dans un palais de cèdre, alors que le coffre de Dieu est installé au milieu d'une tente de toile.

  3 Nathan lui répondit:
   ---Va et réalise les projets qui te tiennent à cœur, car l'Eternel est avec toi.

  4 Cependant, la nuit suivante l'Eternel adressa la parole à Nathan en ces termes:

  5 ---Va dire à mon serviteur David: «Voici ce que déclare l'Eternel: Tu veux me bâtir un temple où je puisse habiter?

  6 Je n'ai jamais résidé dans un temple depuis le jour où j'ai fait sortir les Israélites d'Egypte jusqu'à aujourd'hui. J'ai cheminé sous une tente, logeant dans le tabernacle.

  7 Pendant tout ce temps où j'ai accompagné les Israélites, ai-je jamais dit à un seul des chefs d'Israël que j'avais établis pour diriger mon peuple: Pourquoi ne me bâtissez-vous pas un temple en bois de cèdre?»

  8 Voici maintenant ce que tu diras à mon serviteur David: «Ainsi parle l'Eternel, le Seigneur des armées célestes: je suis allé te chercher dans les pâturages où tu gardais les moutons, pour faire de toi le chef de mon peuple Israël.

  9 Je t'ai soutenu dans toutes tes entreprises et je t'ai débarrassé de tous tes ennemis. Je te ferai un nom très glorieux comme celui des grands de la terre.

  10 J'attribuerai un territoire à mon peuple Israël où je l'implanterai pour qu'il puisse habiter chez lui et ne soit plus inquiété et opprimé comme auparavant par des hommes méchants,

  11 comme à l'époque où j'avais établi des chefs pour mon peuple Israël. Je t'accorderai une existence paisible en te délivrant de tous tes ennemis. Enfin, l'Eternel t'annonce qu'il te constituera une dynastie.

  12 Quand le moment sera venu pour toi de rejoindre tes ancêtres décédés, j'établirai après toi l'un de tes propres descendants pour te succéder comme roi, et j'affermirai son autorité royale.

  13 C'est lui qui construira un temple en mon honneur et je maintiendrai à toujours son trône royal.

  14 Je serai pour lui un père, et il sera pour moi un fils; s'il fait le mal, je me servirai d'hommes pour le corriger par des coups et des châtiments,

  15 mais je ne lui retirerai jamais ma faveur, comme je l'ai retirée à Saül, que j'ai écarté pour te faire place.

  16 Oui, je rendrai stable pour toujours ta dynastie et ta royauté, et ton trône sera inébranlable à perpétuité.»

  17 Nathan rapporta fidèlement à David toutes ces paroles et toute cette révélation. » (2 Samuel 7:1-17)

David s’était installé à Jérusalem. Il avait construit un palais pour lui-même, mais il semblait inapproprié pour le coffre d’être gardé dans une tente. David conçut l’idée de construire un temple à Jérusalem, et il proposa l’idée à Nathan, le prophète. Nathan répondit positivement mais sans consulter Dieu. Cela semblait être une bonne idée, mais ce serait Salomon qui construirait le temple, non pas David.

La réponse de Dieu à Nathan – qu’il transmit à David – mit la question d’un temple dans sa perspective. Dieu dit clairement qu’Il n’avait pas demandé une «  maison » où résider. Depuis qu’Il avait sorti les Israélites d’Egypte, Dieu avait choisi d’habiter dans une tente, et Il était très satisfait avec ces arrangements. Le fait était que Dieu ne pouvait pas être restreint dans de tels logements. C’est précisément l’argument qu’Etienne eut dans le Livre d’Actes:

« 46 Celui-ci (David) obtint la faveur de Dieu et demanda de pouvoir donner une demeure au Dieu de Jacob.

  47 Mais ce fut Salomon qui bâtit le Temple.

  48 Cependant, le Dieu très-haut n'habite pas dans des édifices construits par des mains humaines. C'est ce que dit le prophète:

  49 Mon trône, c'est le ciel,
      la terre, l'escabeau où je pose le pied.
      Quelle est donc la maison que vous me bâtirez, dit le Seigneur,
      ou quel lieu de repos pourrait me servir de demeure?

  50 N'est-ce pas moi qui ai créé tout cela? » (Actes 7:46-50)

Dieu changea le plan. David construira-t-il une maison pour Dieu ? Non. Dieu ne permettra pas à David de faire cela, mais Salomon le fera. Mais Dieu allait construire une « maison » (c'est-à-dire une dynastie) pour David. Dieu élèverait les descendants de David pour être sur le trône de leur Père. Ce sera une dynastie perpétuelle. Cette alliance sera certainement observée; elle sera observée et pour tous quand Jésus, le « Fils de David » sera sur le trône:

« 30 L'ange lui dit alors:
   ---N'aie pas peur, Marie, car Dieu t'a accordé sa faveur.

   31 Voici: bientôt tu seras enceinte et tu mettras au monde un fils; tu le nommeras Jésus.

   32 Il sera grand. Il sera appelé «Fils du Très-Haut», et le Seigneur Dieu lui donnera le trône de David, son ancêtre.

   33 Il régnera éternellement sur le peuple issu de Jacob, et son règne n'aura pas de fin. » (Luc 1:30-33)

Conclusion

Finalement, Israël a un roi, un roi qui adorait la loi de Dieu, et dont le cœur voulait et cherchait la volonté de Dieu. On pourrait se demander pourquoi Dieu ne nomma pas immédiatement David roi, plutôt que de s’embêter avec Saül. Je crois qu’il y avait plusieurs raisons pour lesquelles Dieu donna Saül à Israël comme son premier roi. Premièrement, les Israélites demandèrent inadéquatement. Ils avaient rejeté Dieu comme leur roi et Samuel comme leur prophète et juge. Leur donner un roi pieux aurait et récompenser Israël pour leur péché. Deuxièmement, Saül était précisément le genre de roi que les Israélites pensaient ils voulaient. Il était grand, peut-être brun, et surement beau. Il était un homme qui avait toutes les qualités physiques d’un grand dirigeant, ou ils le pensaient. Troisièmement, Dieu leur donna Saül, pour que les Israélites apprécient David pour qui il était et ce qu’il faisait, en contraste à Saül. Finalement, Dieu donna Saül à Israël comme roi, pour qu’il puisse aider à équiper David pour son rôle de roi. La persécution de David par Saül fut utilise par Dieu pour faire de David un homme dévot.

Notre texte est incroyable, avec beaucoup de leçons pour ceux qui apprendraient de celui-ci. Permettez-moi de suggérer plusieurs domaines d’application.

Premièrement, il nous apprend quelques leçons de valeur regardant la soumission. Quel modèle de soumission David est dans sa relation à Saül. Même quand Saül cherche à tuer David, il ne leva pas une main contre l’oint de Dieu. Quand David eut l’opportunité de prendre la vie de Saül, il ne le fit pas. Il compte sur Dieu pour destituer Saül. La soumission n’est pas toujours une question simple, comme certains semblent penser. Quelques fois, la soumission devient compliquée, comme notre texte indique. Jonathan dut faire face à beaucoup de choix durs en ce qui concerne la soumission. Lui, comme fils, et comme un sujet du roi, devait se soumettre à son père. Mais Jonathan dut obéir à Dieu plutôt qu’aux hommes. Ainsi, il ne voudra pas et ne tuera pas David, même quand son Père lui donne l’ordre de le tuer. Puisque David doit devenir le prochain roi d’Israël, Jonathan doit aussi se soumettre à lui. Jonathan doit avoir une hiérarchie d’autorité distincte, pour qu’il puisse lui-même se soumettre à ceux qui ont plus d’autorité que lui.

La même chose est vraie pour Abigaïl. Son idiot de mari, Nabal, rejette David comme le prochain roi d’Israël. Il ne donnera à David aucun des dons qu’il a requit. Abigaïl a une obligation de se soumettre à Nabal, comme son mari, mais elle est aussi obligée de se soumettre à David comme le prochain roi d’Israël. Elle, comme Jonathan, est dans une situation d’obéissance et de soumission très dangereuse en cherchant à être soumise à Nabal, quand elle faisait ce qu’il avait interdit.172Souvenons-nous, elle risqua sa vie pour sauver son mari. Elle ne cherchait pas à satisfaire ses propres intérêts, mais les siens.

Deuxièmement, notre texte a quelque chose à nous apprendre à propos de la spiritualité dans le monde spirituel. La visite de Saül à la femme d’Eyn-Dor est effectivement bizarre. Il ne semble pas non plus être normal. Même la femme est surprise et terrifiée par ce qui arrive. Je crois que dans cette instance, Dieu fit quelque chose de très inhabituel, comme faisant parti de la discipline divine que Saül méritait. Saül sauta sur ce fruit défendu, et Dieu lui donna un aperçu de l’autre monde – celui qui lui fit une peur bleue.

Il semble y avoir un contraste intentionnel entre Saül et David quand on parle de la présence de l’Esprit de Dieu avec chacun d’entre eux. Dans 1 Samuel, nous voyons la manifestation visible de l’Esprit dans la vie de Saül en plusieurs occasions. Au début, l’Esprit vient sur Saül peu après avoir été oint par Samuel (1 Samuel 10:10). A nouveau, l’Esprit « tomba sur Saül » quand il entendit comment les Ammonites avaient menacé Yabéch Galaad (1 Samuel 11:6). L’Esprit de Dieu le saisit aussi à Rama, l’empêchant de tuer David (1 Samuel 19:23-24).

Puis il y eut aussi les occasions quand le mauvais Esprit vint sur Saül, le poussant à opposer David. Cela arriva deux fois (18:10-11 ; 19:9-10), résultant en Saül lançant avec violence sa lance à David. Remarquez que ce mauvais Esprit rendant capable les attentats contre la vie de David échoua. Ce « mauvais Esprit du Seigneur » était le mauvais Esprit que notre Seigneur autorisa à stimuler Saül, mais l’empêcha aussi de succéder.

Comme je vois Saül dans 1 Samuel, un Esprit le domine souvent. Quelques fois, il est maîtrisé par l’Esprit de Dieu ; plus souvent il est possédé par un mauvais Esprit. Quand l’Esprit de Dieu vient sur Saül, c’était un acte souverain qui le rendait capable de faire quelque chose, un acte qui n’aurait pu être réalisé par Saül lui-même. Quand un mauvais Esprit lui tombait dessus, cela semblait être parce que ses propres péchés avaient presque invité le diable.

Saül, un homme très impie, était fréquemment donné du pouvoir par un Esprit, bon ou mauvais. David, d’un autre coté, était un homme très spirituel, et pourtant nous ne lisons qu’une fois de l’Esprit de Dieu tombant sur lui:

« 13 Samuel prit la corne pleine d'huile et il en oignit David en présence de sa famille. L'Esprit de l'Eternel tomba sur David et demeura sur lui à partir de ce jour-là et dans la suite. Après cela, Samuel se remit en route et retourna à Rama. » (1 Samuel 16:13)

Ça me rappelle d’un texte dans les Evangiles:

« 30 C'est de lui que je vous ai parlé lorsque je disais: «Un homme vient après moi, il m'a précédé, car il existait avant moi.»

  31 Moi non plus, je ne savais pas que c'était lui, mais si je suis venu baptiser dans l'eau, c'est pour le faire connaître au peuple d'Israël.

  32 Jean-Baptiste rendit ce témoignage:
   ---J'ai vu l'Esprit descendre du ciel comme une colombe et se poser sur lui.

  33 Je ne savais pas que c'était lui, mais Dieu, qui m'a envoyé baptiser dans l'eau, m'avait dit: Tu verras l'Esprit descendre et se poser sur un homme; c'est lui qui baptisera dans le Saint-Esprit. » (Jean 1:30-33, mon accentuation en gras)

L’Esprit de Dieu ne tomba sur David qu’une fois, et resta sur lui. L’Esprit de Dieu tomba sur Saül à plusieurs reprises, mais il est évident qu’Il ne resta pas sur lui. On nous dit clairement que l’Esprit de Dieu abandonna Saül. Puis, un mauvais Esprit vint et repartit. Saül n’était pas du tout un homme spirituel. David l’était. L’Esprit de Dieu vint sur David et resta sur lui. La seule fois que David eut peur que l’Esprit de Dieu ne l’oublie fut quand il pécha (Psaumes 51:10-11).

Il y a ceux qui assimileraient la spiritualité avec des manifestations spectaculaires de l’Esprit. Je ne doute ou ne questionne pas que Dieu soit libre de Se manifester de différentes façons, certaines desquelles pouvant être spectaculaires. Mais je questionne l’hypothèse qu’une manifestation spectaculaire de l’Esprit prouve que la personne impliquée est vraiment spirituelle. N’oublions pas que ce genre de « spiritualité » fut souvent vu dans le Livre des Juges, quand l’Esprit de Dieu tomba sur des hommes comme Samson. Même l’ânesse de Balaam pouvait nous impressionner par ces standards, mais ces hommes n’étaient pas des instruments volontaires dans les mains de Dieu ; ils n’étaient pas spirituels.

David est un exemple d’homme qui est « rempli de Saint-Esprit ». L’Esprit tomba sur lui une fois, et resta sur lui, tout comme l’Esprit vint sur notre Seigneur et resta sur Lui. Les manifestations de l’Esprit ne furent souvent pas spectaculaires. Dans le cas de David, comme avec notre Seigneur, leur spiritualité était évidente dans leur amour pour Dieu et dans leur désir d’accomplir Sa volonté. Maintes fois, nous trouvons David cherchant à connaître la volonté de Dieu. Rarement voyons-nous cela avec Saül. Quand Dieu ne se révèle pas à Saül, Saül essaye de contacter quelqu’un qui est mort (par un medium à Eyn-Dor). Faisons attention de ne pas juger la spiritualité par les apparences extérieures (1 Samuel 16:7). La présence de l’Esprit est plus certainement connue par le caractère d’une personne que par son attraction. Paul a beaucoup à dire à propos de ça dans 1 Corinthiens.

Troisièmement, notre texte a beaucoup à nous apprendre sur la souffrance. La souffrance était le moyen de Dieu de préparer David pour le trône. (Saül ne fit pas l’expérience d’une telle souffrance). Ces années à être considéré inférieur par ses frères, à s’occuper d’un petit troupeau de moutons, à être détesté et poursuivi par Saül, faisaient parti du processus de Dieu de le préparer à régner. Ce fut durant cette période de souffrance que David fut tenté de tuer Saül, mais il refusa. Ce fut durant ces temps de souffrance que David écrivit quelques uns des plus beaux Psaumes. La souffrance prépara David à régner:

« 10 Heureux ceux qui sont opprimés pour la justice, car le royaume des cieux leur appartient.» (Matthieu 5:10)

« 16 L'Esprit Saint lui-même et notre esprit nous témoignent ensemble que nous sommes enfants de Dieu.

  17 Et puisque nous sommes enfants, nous sommes aussi héritiers: héritiers de Dieu, et donc cohéritiers du Christ, puisque nous souffrons avec lui pour avoir part à sa gloire. » (Romains 8:16-17)

« 10 Je supporte donc patiemment toutes ces épreuves, à cause de ceux que Dieu a choisis, pour qu'eux aussi parviennent au salut qui est en Jésus-Christ, et à la gloire éternelle qui l'accompagne.

  11 Car ces paroles sont certaines:
      Si nous mourons avec lui,
      avec lui nous revivrons,

  12 et si nous persévérons,
      avec lui nous régnerons.
      Mais si nous le renions,
      lui aussi nous reniera. » (2 Timothée 2:10-12)

« 7 Ainsi, au cours de sa vie sur terre, Jésus, avec de grands cris et des larmes, a présenté des prières et des supplications à celui qui pouvait le sauver de la mort, et il a été exaucé, à cause de sa soumission à Dieu.

  8 Bien qu'étant Fils de Dieu, il a appris l'obéissance par tout ce qu'il a souffert.

  9 Et c'est parce qu'il a été ainsi amené à la perfection qu'il est devenu, pour tous ceux qui lui obéissent, l'auteur d'un salut éternel:

La souffrance de David servit aussi à tester de fidélité de ses amis. Ce fut les vrais amis de David qui endurèrent avec lui les temps d’adversité. Jonathan se prouva être un vrai ami de David quand Saül chercha à le tuer. Maintes fois, nous voyons Jonathan encourager David au milieu de ses épreuves. Plus tard dans la vie de David, quand Absalom prit temporairement le royaume, la souffrance prouvera à David qui ses vrais amis sont.

La souffrance révéla clairement qui les ennemis de David étaient. Il y avait les gens de Ziph, qui trahirent la location de David au roi Saül (1 Samuel 23:19). Il y avait Doëg, qui informa Saül que David avait été à Nob, où il obtint de la nourriture et son épée. Ce fut sa trahison qui couta aux prêtres et à leurs familles leurs vies (1 Samuel 22:9). Nabal révéla ses vraies couleurs, aussi bien par son rejet de David comme prochain roi d’Israël (1 Samuel 25).

Nous aussi pourrions être soit un Nabal, ou une Abigaïl, un Doëg ou un Jonathan. Nous avons été appelé à nous identifier avec Christ, qui fut rejeté par les hommes et crucifie sur la crois au Calvaire:

« 17 Voici donc ce que je vous commande: aimez-vous les uns les autres.

  18 ---Si le monde a de la haine pour vous, sachez qu'il m'a haï avant vous.

  19 Si vous faisiez partie du monde, il vous aimerait parce que vous lui appartiendriez. Mais vous n'appartenez pas au monde parce que je vous ai choisis du milieu du monde; c'est pourquoi il vous poursuit de sa haine.

  20 Souvenez-vous de ce que je vous ai déjà dit: le serviteur n'est jamais supérieur à son maître. S'ils m'ont persécuté, ils vous persécuteront vous aussi; s'ils ont gardé mes paroles, ils garderont aussi les vôtres.

  21 Mais c'est à cause de moi qu'ils agiront ainsi, parce qu'ils ne connaissent pas celui qui m'a envoyé. » (Jean 15:17-21)

« 10 C'est ainsi que je pourrai connaître le Christ, c'est-à-dire expérimenter la puissance de sa résurrection et avoir part à ses souffrances, en devenant semblable à lui jusque dans sa mort,

  11 afin de parvenir, quoi qu'il arrive, à la résurrection d'entre les morts. » (Philippiens 3:10-11)

« 24 Maintenant, je me réjouis des souffrances que j'endure pour vous. Car, en ma personne, je complète, pour le bien de son corps --- qui est l'Eglise --- ce qui manque aux détresses que connaît le Christ. » (Colossiens 1:24)

« 12 Mes chers amis, vous avez été plongés dans la fournaise de l'épreuve. N'en soyez pas surpris, comme s'il vous arrivait quelque chose d'anormal.

  13 Au contraire, réjouissez-vous, car vous participez aux souffrances du Christ, afin d'être remplis de joie quand il paraîtra dans toute sa gloire.

  14 Si l'on vous insulte parce que vous appartenez au Christ, heureux êtes-vous, car l'Esprit glorieux, l'Esprit de Dieu, repose sur vous. » (1 Pierre 4:12-14 ; voir aussi 2:18-25)

En plus de nous identifier avec Christ dans Ses souffrances, nous sommes appelés à nous identifier avec ceux qui souffrent pour Christ:

« 32 Rappelez-vous au contraire les premiers temps où, après avoir reçu la lumière de Dieu, vous avez enduré les souffrances d'un rude combat.

  33 Car tantôt vous avez été exposés publiquement aux injures et aux mauvais traitements, tantôt vous vous êtes rendus solidaires de ceux qui étaient traités de la même manière.

  34 Oui, vous avez pris part à la souffrance des prisonniers et vous avez accepté avec joie d'être dépouillés de vos biens, car vous vous saviez en possession de richesses plus précieuses, et qui durent toujours. » (Hébreux 10:32-34)

La souffrance au nom de la justice – la souffrance innocente – est un test de notre foi et de notre endurance, ainsi qu’un test pour les autres qui doivent choisir s’ils s’identifieront ou non avec celui qui souffre. Chaque semaine, nous observons le Souper de notre Seigneur (la communion). Nous célébrons la souffrance du Seigneur et Sa mort à notre place. Rappelons-nous que nous ne sommes pas seulement appelés à nous identifier avec Ses souffrances à l’église, mais nous sommes appelés à nous identifier avec Ses souffrances comme Christ vit Sa vie en nous pendant la semaine. Alors que nous préférerions éviter ce temps de souffrance et de rejet, cela joue un rôle vital dans nos vies et dans le déroulement du programme de rédemption de Dieu.

Quatrièmement, comme je lis les expériences de David dans ce texte, je suis frappé avec les similarités entre son royaume et le royaume de notre Seigneur. David était apparemment une personne sans réputation ou proéminence quand il fut présenté comme le roi de l'Israël. Notre Seigneur vint sur terre comme un enfant né dans une famille pauvre ; l’endroit de Sa naissance était une étable. David était méprisé et abandonné par ses frères ; de même le fut notre Seigneur. La vie de David fut mise en danger par un roi qui était terrifié et intensément jaloux de tout autre roi qui pourrait défier son royaume. Le roi Herod, qui Le percevait comme une menace pour son royaume, mis la vie de notre Seigneur en danger. David fut introduit comme le roi d’Israël bien avant qu’il ne devienne réellement roi. Notre Seigneur fut introduit comme le roi d’Israël, et pourtant Il doit encore revenir pour revendiquer le trône. Ceux qui étaient les parias de la société entouraient David. Beaucoup de ceux qui suivirent Christ étaient ceux qui étaient les parias de la société (voir Actes 4:13 ; 1 Corinthiens 1:26-31). Quand David vint à régner en roi, il dut unir ceux de Juda avec les autres tribus d’Israël qui étaient en guerre. Le royaume de notre Seigneur unira les riches et les pauvres, les Juifs et les païens, les esclaves et les libres.

Comme nous réfléchissons sur notre texte et sur l’ascension de David comme roi d’Israël, regardons au-delà et plus loin que lui, pour voir Celui dont le royaume anticipe – notre Seigneur Jésus Christ. Mon ami, John Maurer, conduisait un des groupes de discussion dans notre église qui débattait cette leçon. Il nous rappela la déclaration d’un des autres groupes. En général, John dit, « N’oublions pas qu’alors que David était une héro, il n’était pas un héro parfait. Le vrai héro de toute l’histoire est Dieu et Dieu seul. » A Lui revient la gloire.

Ceux qui rejetèrent David furent tous détruits. Saül ne réussit pas à tuer David ; Dieu s’occupa que Saül perdit sa vie. Ceux qui rejetèrent David devinrent ses ennemis. Plus que ça, ils devinrent les ennemis de Dieu, et pour cela, ils payèrent un prix eternel. Jésus est le Roi de Dieu, le Sauveur de Dieu. L’adopter comme Roi des Rois et le Sauveur des pécheurs est choisir la vie éternelle. Le rejeter, est choisir le tourment eternel. Je prie qu’Il soit votre Roi.


148 This is the edited manuscript of a message delivered by Robert L. Deffinbaugh, teacher and elder at Community Bible Chapel, on March 18, 2001.

149 Unless otherwise indicated, all Scripture quotations are from the NET Bible. The NEW ENGLISH TRANSLATION, also known as THE NET BIBLE, is a completely new translation of the Bible, not a revision or an update of a previous English version. It was completed by more than twenty biblical scholars who worked directly from the best currently available Hebrew, Aramaic, and Greek texts. The translation project originally started as an attempt to provide an electronic version of a modern translation for electronic distribution over the Internet and on CD (compact disk). Anyone anywhere in the world with an Internet connection will be able to use and print out the NET Bible without cost for personal study. In addition, anyone who wants to share the Bible with others can print unlimited copies and give them away free to others. It is available on the Internet at: www.netbible.org.

150 These would be: (a) His failure to wait for Samuel in chapter 13; and, (b) his failure to totally annihilate the Amalekites in chapter 15.

Related Topics: Demons

17. Israël Obtient un Roi

Le Livre de 1 Samuel 1:1 - 16:23148

Introduction

Il y a des années, notre famille est allée à un parc d’amusement, avec une autre famille de notre église. C’était une journée magnifique, et beaucoup d’autres familles avaient choisi de faire de même. Il y avait des lignes d’attente pour tous les bons manèges. Après avoir passé plusieurs heures à cela, je me suis tourné vers notre ami et dit, « Tu sais, c’est une illustration excellente du péché – ce tour de manège ne dure pas longtemps, et le prix est élevé ! ». Depuis, j’ai pensé à une autre dimension: « Si le tour de manège est bon, il te terrifiera à mort. » Comme nous arrivons au règne du Roi Saül, je trouve que les mots ci-dessus sont une bonne description. Le tour de manège est court, et le prix est élevé, et terrifiant.

Quand nous arrivons au Livre de 1 Samuel, nous venons de la période des Juges (Juges, Ruth, 1 Samuel 1-7) à la nouvelle monarchie (1 Samuel 8). À l’insistance d’Israël, ils auront un roi, et Saül sera le premier. Son règne sera court, pour Israël et pour Saül (40 ans n’est pas vraiment longtemps). Ses fils ne règneront pas après sa mort. Un nouveau roi, David, règnera à sa place. Le prix pour Saül est élevé. Il perd sa dynastie, son fils Jonathan, et sa propre vie. Le prix est aussi élevé pour Israël, comme Samuel l’explique clairement (1 Samuel 9-10-18). Le règne est aussi effrayant. Si les Israélites pensaient qu’un roi leur donnerait la sécurité et la paix ininterrompues, ils avaient tort. Sous la direction de Saül, il y eut beaucoup de moments terrifiants (voir 1 Samuel 13:7 ; 14:15).

Comme je l’ai indiqué, notre texte nous mène de la période des Juges à la monarchie – le règne des rois d’Israël, commençant avec Saül. La structure de notre texte est très simple. Les chapitres 1-7 décrivent la fin de la période des Juges. Eli et ses fils seront destitués du clergé et de juger Israël, et ils seront remplacés par Samuel et ses fils. Les chapitres 8-15 racontent l’histoire de comment Israël obtint son premier roi. Alors que Saül ne mourra pas avant la fin du Livre, les péchés qui lui coutèrent son royaume seront documentés dans les chapitres 13 et 15. Sa contribution positive est illustrée par sa victoire sur Nahach et les Ammonites dans le chapitre 11. Ses faiblesses de caractère sont illustrées dans les chapitres 13-15. Son règne est moins qu’idéal, et ses derniers jours ne sont pas moins que tragiques.

Le Livre de 1 Samuel décrit beaucoup « de tournants » pour des individus comme Saül, et pour le pays Israël. Ce Livre contient quelques-unes des histoires de la Bible les plus populaires et les plus aimées de tous les temps, mais il est important que nous les comprenions dans le contexte du « drame de rédemption  qui se déroule » de Dieu. Alors, écoutons bien ce que Dieu nous dit par cette portion de Sa Parole inspirée.

La Fin de la Période des Juges (1 Samuel 1-7)

Au début, Samuel n’était qu’un Livre, pas deux, et il suivait immédiatement le Livre des Juges. Cela veut dire que les mots qui précèdent immédiatement 1 Samuel seraient:

« 25 En ces temps-là, il n'y avait pas de roi en Israël. Chacun faisait ce qu'il jugeait bon. » (Juges 21:25)149

Dans ce temps la, les hommes et les femmes ne vivaient pas selon la Loi de Moïse, la Parole révélée de Dieu ; ils vivaient selon leurs propres standards, leurs propres sens de bien et de mal – et ce fut un désastre. En conséquence, Dieu fut silencieux pendant un certain temps:

« 1 Le jeune Samuel accomplissait le service de l'Eternel auprès d'Eli. A cette époque, l'Eternel parlait rarement aux hommes et les révélations que Dieu leur montrait n'étaient pas fréquentes. » (1 Samuel 3:1)

La naissance de Samuel, tout comme la naissance de Jean le Baptiste, était une initiative divine par laquelle le silence de Dieu fut brisé. Elqana avait deux épouses, Anne et Peninna. Anne était l’épouse la plus aimée, mais elle n’avait pas d’enfant, et Peninna profitait de cela, ce qui faisait mal à Anne en faisant l’étalage du fait qu’elle pouvait avoir des enfants, alors qu’Anne ne pouvait pas. (Il est apparent que Peninna n’avait aucune idée du fait que Dieu empêchait délibérément Anne de concevoir des enfants, jusqu'à ce point – voir 1:6, 19-20).

Ce fut par l’agonie de son cœur qu’elle fit appel au Seigneur, L’implorant d’avoir un enfant. Elle promit que si Dieu lui donnait un enfant masculin, elle le Lui dédierait, et que (comme Samson – voir Juges 13) il serait un homme totalement consacré à l’Eternel (1 Samuel 1:11). Eli vit cette femme désespérée et prit sa conduite comme celle de quelqu’un en état d’ébriété. Quand il la réprimanda, elle expliqua rapidement ses circonstances et en réponse, Eli l’a béni avec l’assurance qu’elle aurait un fils. Pas longtemps après ça, Anne devint enceinte, et quand son fils fut sevré, elle l’emmena à la maison de l’eternel à Silo, le laissant avec Eli.

L’auteur inclût alors ce Psaume de louange, composé par Anne:

« 1 Alors Anne prononça cette prière[a]:
      La joie remplit mon cœur, c'est grâce à l'Eternel;
      oui, grâce à l'Eternel, mon front s'est relevé
      et j'ai de quoi répondre à ceux qui me blessaient.
      Oui, je jubile, car Dieu m'a secourue.

  2 Nul ne l'égale. L'Eternel seul est saint,
      et, à part lui, il n'y a pas de Dieu,
      pas de rocher semblable à notre Dieu.

  3 Que cessent donc, vos paroles hautaines
      et les bravades sortant de votre bouche!
      Car l'Eternel est un Dieu qui sait tout,
      c'est lui qui pèse les actes des humains.

  4 Voilà brisé l'arc des guerriers!
      Ceux qui chancellent sont armés de vigueur.

  5 Tous les repus s'embauchent pour du pain,
      les affamés seront comblés de biens
      et la stérile met sept enfants au monde,
      alors que celle qui en avait beaucoup sera flétrie.

  6 C'est l'Eternel qui fait mourir et vivre,
      il fait descendre dans le séjour des morts et en fait remonter.

  7 L'Eternel seul dépouille et enrichit,
      il humilie, et il élève aussi.

  8 De la poussière, il arrache le pauvre,
      et il relève l'indigent de la fange
      pour l'installer au milieu des puissants
      et lui donner une place d'honneur.
      A l'Eternel sont les fondements de la terre,
      et c'est sur eux qu'il a posé le monde.

  9 Il gardera les pas de ses fidèles,
      mais les méchants périront dans la nuit,
      car aucun homme n'est vainqueur par la force.

  10 Ceux qui contestent contre Dieu sont brisés.
      Du haut du ciel, il tonnera contre eux.
      Il jugera les confins de la terre;
      il donnera la puissance à son roi
      et il élèvera l'homme qui, de sa part, a reçu l'onction d'huile. » (1 Samuel 2:1-10)

Nous ne pouvons pas essayer d’expliquer ce Psaume magnifique dans une étude comme celle-ci, mais j’aimerais faire quelques observations, qui serviraient à améliorer notre appréciation de ce Psaume de louange, résultant à améliorer notre propre adoration.150

Premièrement, c’est une prière.

Deuxièmement, cette prière est de la poésie, un Psaume de louange à Dieu.

Troisièmement, c’est un Psaume divinement inspiré. Il est devenu une partie des Ecritures, et alors nous sommes assurés de son inspiration divine (2 Timothée 3:16). Comme tel, nous savons que Dieu l’a inclus dans les Ecritures pour notre éducation et notre instruction (2 Timothée 3:16-17).

Quatrièmement, ce Psaume est un Psaume de louange et de remerciement, provoqué par la réponse de Dieu aux prières d’Anne pour un fils.

Cinquièmement, c’est un Psaume qui est concentré sur Dieu. Contrairement au « Psaume » de Jonas dans Jonas 2:2-9, Anne ne s’éternise pas sur ses expériences ; elle s’éternise sur Dieu, Sa souveraineté, Sa puissance, et Sa grâce. Voilà une leçon que nous pourrions tous prendre à cœur dans notre vénération. Combien de nos témoignages et vénérations sont centrés sur nous-mêmes ?

Sixièmement, c’est un Psaume qui est assez similaire au Magnificat de Marie dans Luc 1:46-55. Il semblerait certainement que les paroles de Marie étaient influencées par le Psaume d’Anne.

Septièmement, ce Psaume de louange va au-delà de l’expérience personnelle d’Anne vers l’espoir et l’assurance d’Israël ; en effet, il attend impatiemment la venue du Messie (voir 2:10).

Anne ne pouvait pas avoir d’enfant, et était très désespérée. Peninna était l’ennemi d’Anne, qui l’harassait constamment à propos de son incapacité d’avoir des enfants. Dieu entendit la prière d’Anne, ne lui donna pas un seul enfant, mais plusieurs. De son expérience, Anne pouvait voir et se réjouir en la souveraineté de Dieu. Elle pouvait voir que Dieu était un Dieu qui élevait l’humble et le brisé, et qui humiliait le puissant et le fier. Ce que Dieu avait fait pour elle, elle savait qu’Il le ferait pour les autres. Dieu humiliera les ennemis d’Israël, exaltera le faible, et amènera le jugement et la justice. Finalement, cela arrivera quand Dieu ressuscitera Ses « consacrés », Son Messie (2:10).

Quelle grande foi Anne avait, quand elle écrivit ce Psaume. Elle vit la main de Dieu dans sa vie, et sut que ce n’était qu’un exemple du travail de Dieu parmi Son peuple. Alors que le Livre des Juges finit avec,

« 25 En ces temps-là, il n'y avait pas de roi en Israël. » (Juges 21:25a)

Le Psaume d’Anne attend le jour quand Dieu enverra Son Elu pour régner. À cette période, les vérités de son Psaume seront complètement et définitivement réalisées.

Je me demande si Anne vécut assez longtemps pour voir la raison de ses souffrances ? Dans ses jours sans enfants, avec Peninna « versant constamment du sel sur ses plaies », Anne ne pouvait que croire que Dieu causerait d’une façon ou d’une autre des circonstances qui finiraient bien. Et à la fin, elles le firent. Anne était si impatiente d’avoir un fils qu’elle promit qu’elle dédierait ce garçon à Dieu, et qu’elle l’abandonnerait. Ça a dû être difficile pour elle de placer Samuel entre les mains d’Eli, sachant combien il avait échoué de s’occuper de ses propres fils. Elle ne savait pas que c’était l’intention de Dieu que Samuel soit élevé par Eli et grandisse dans la maison du Seigneur, pour qu’il puisse devenir le remplaçant d’Eli. Ce n’est que quand nous regardons en arrière que nous voyons comment Dieu utilisa la souffrance d’Anne pour son bien, et pour Sa gloire.

Les fils d’Eli étaient excessivement corrompus. Ils refusèrent d’attendre et pour manter le bœuf bouilli qui leur appartenait, et au lieu de ça, ils prirent de force la viande avant qu’elle ne soit cuite, avant même que la graisse ne soit offerte 0 Dieu. Notre auteur résume tout ça quand il nous dit qu’ils

« 17 … ils profanaient les offrandes faites à l'Eternel. » (2:17)

Non seulement ils péchèrent en ce qui concerne les offrandes, ils péchèrent aussi en ayant des relations sexuelles avec les jeunes femmes qui travaillaient à l’entrée de la Tente de la Rencontre (2:22). Samuel réprimanda verbalement ses fils, mais il ne suivit jamais ses réprimandes avec des actions. À la fin, Samuel aurait dû les congédier, et par la loi ils auraient dû être lapidés (Deutéronome 21:18-21).

Les parents aujourd’hui feraient bien de considérer la bêtise d’Eli élevant ses fils. Il y a une période quand de simples mots ne sont pas suffisants, et quand des actions plus agressives sont requises. Cela ne justifie certainement pas l’abus. Notre génération est caractérisée par des enfants qui ne connaissent pas le sens du mot « Non », et qui sont convaincus que s’ils désobéissent, leurs parents hausseront simplement les épaules et renonceront. Ce fut le problème d’Eli: un petit mot et pas d’actions.

La Parole de Dieu était rare à cette période (3:1), alors Eli aurait dû être dûment impressionné quand un « homme de Dieu » lui rendit visite (2:27). Ce prophète rappela à Eli comment Dieu avait nommé sa famille pour servir pour toujours comme Ses prêtres (2:28,30). Cela viendrait à une fin soudaine, en raison de leurs péchés. Il est important de voir que Dieu tint Eli responsable comme complice:

« 29 Pourquoi donc méprisez-vous les sacrifices et les offrandes qui me sont destinés et que j'ai ordonné d'offrir dans ma demeure? Pourquoi honores-tu tes fils plus que moi en vous engraissant des meilleurs morceaux des sacrifices que mon peuple Israël vient m'offrir?» » (1 Samuel 2:29)

L’homme de Dieu dit clairement qu’Eli récolta les fruits de la conduite pécheresse de ses fils. Nous savons qu’il était un homme très gros (4:18), et Dieu l’informa que lui et ses fils « s’étaient engraissés » en mangeant la viande qu’ils dévorèrent. Eli sut ce qu’il avait mangé. Il savait comment cette viande était cuite, et comment elle était obtenue. Néanmoins, il l’a mangea avec ses fils. Pas étonnant qu’il ne fit rien d’autre que de les réprimander. Il profitait des fruits des péchés de ses fils. L’heure du jugement d’Eli et de ses fils arriva. Dieu détruirait la maison d’Eli, et ses fils mourraient le même jour et Dieu élèverait un autre pour prendre la place d’Eli (2:33-35).

C’est à ce point là que nous sommes informés que des révélations (comme celle donnée par l’homme de Dieu dans le chapitre 2) étaient extrêmement rares (3:1). Soudainement, dans ces jours sombres, Dieu commença à nouveau à parler – à, et par, le jeune Samuel. Nous connaissons tous l’histoire. Nous connaissons tous l’histoire de comment Dieu appela Samuel trois fois dans la nuit. Dieu confirma les paroles du prophète d’avant concernant Eli et ses fils (3:11-14). Encouragé par Eli à être complètement honnête, Samuel dit à Eli tout ce que Dieu lui a révélé. La réponse d’Eli n’est pas vraiment très encourageante:

« 18 Alors Samuel lui rapporta toutes les paroles de l'Eternel sans rien lui cacher. Eli déclara:
   ---C'est l'Eternel. Qu'il fasse ce qu'il jugera bon! » (1 Samuel 3:18)

Il y a une sorte de fatalisme dans les paroles d’Eli que je trouve troublante. Moïse serait intervenu, je crois, et n’aurait par renoncé avant que Dieu soit accorde sa pétition ou la dénie fortement. Eli semble juste accepter passivement le verdict de Dieu, sans aucune repentance, et sans prendre aucune action corrective.

Au moins, Eli reconnaît que les paroles de Samuel étaient une révélation divine. L’auteur nous informe que ce ne fut pas une prophétie isolée de la part de Samuel ; c’était la première de beaucoup d’autres prophéties. Samuel fut reconnu être un prophète, et pour de bonnes raison, car Dieu ne permit à aucune de ses prophéties dites d’échouer. Même avant la mort d’Eli, tout Israël en était arrivé à reconnaître que Samuel était un prophète, par lequel Dieu parlait.

Les chapitres 3-7 décrivent les derniers épisodes de la période des Juges. Ces chapitres tournent autour de deux termes liés: (a) le coffre de l’alliance, sa perte et sa récupération ; et (b) le conflit continuel d’Israël avec les Philistins. Quand les Israélites déclarèrent la guerre avec les Philistins, ils souffrirent une défaite humiliante, et la perte de 4 000 hommes (3:1-2). Les anciens étaient troublés à propos de pourquoi Dieu leur permettait de souffrir cette défaite. Ils étaient déterminés à retourner sur le champ de bataille, mais cette fois, avec le coffre de l’alliance. Cela garantirait surement la présence et la puissance de Dieu avec eux. Et cela sembla être vrai. Quand le coffre fut amené dans le camp des Israélites, les guerriers laissèrent échappés un grand cri qui put être entendu par les Philistins. Ils furent terrifiés et furent certains qu’ils souffriraient une défaite des mains des Israélites. Néanmoins, ils étaient déterminés à se battre – et à mourir – comme des hommes. À l’étonnement de tous, les Philistins gagnèrent la bataille. Ils tuèrent 30 000 guerriers d’infanterie, et aussi Hophni et Phinéas, les fils d’Eli (4:10-11), réalisant ainsi un aspect de la prophétie d’auparavant. Quand les mots de la tragédie arrivèrent à Eli, il tomba de sa chaise, se brisant son cou dans sa chute (4:18). En tout, Eli jugea Israël pendant 40 ans. Apprenant les nouvelles, la belle-fille d’Eli, la femme de Phinéas accoucha. L’enfant vécut, mais la femme mourut. Avant de mourir, elle nomma le bébé I-Kabod, voulant dire « la gloire nous a quitté ».

Le récit du bref séjour du coffre (sept mois – voir 6:1) dans le pays des Philistins est à la fois amusant et instructif. Le coffre de l’alliance était le symbole de la présence et puissance de Dieu. Quand les Philistins battirent les Israélites et capturèrent le coffre, ils conclurent faussement que leur dieu, Dagon, avait battu le Dieu d’Israël. Alors ils prirent le coffre comme trophée de guerre et le placèrent dans le temple de Dagon à Asdod (5:1-2). Tôt le lendemain, l’idole de Dagon était étendue parterre devant le coffre. Les Philistins la mirent debout, pour la découvrir à nouveau sur le sol devant le coffre le lendemain – mais cette fois avec sa tête et ses bras cassés. Manifestement, Dagon se prosternait devant le Dieu d’Israël, brisé et impuissant de se sauver.

Ce fut seulement le commencement des problèmes d’Asdod. Un fléau éclata dans la ville, provoquant des plaies et des tumeurs. Une infestation de rongeurs sembla aussi accompagner cette épidémie (voir 6:3-5). Le peuple de la ville suspecta que la présence du coffre était la source de leur affliction et alors ils renvoyèrent le coffre à la ville philistine de Gath, où le même fléau suivit. Le coffre fut alors envoyé à Ekron, mais le peuple de cette ville ne voulait pas subir les mêmes souffrances ; ils insistèrent que le coffre soit renvoyé à Israël, d’où il venait.

Il fut conclu que le coffre devait être retourné, et avec une offrande de réparation (cinq « images de tumeurs en or » et cinq « rats en or »). Il est des plus intéressant de voir la logique de ceux qui réalisèrent ce qui allait honorer le Dieu d’Israël:

« 5 Vous fabriquerez donc des effigies de vos tumeurs et des rats qui dévastent le pays, et vous les offrirez en hommage au Dieu d'Israël. Peut-être cessera-t-il de vous frapper sévèrement, vous, vos dieux et votre pays.

   6 Ne vous obstinez pas comme les Egyptiens et le pharaon. Rappelez-vous qu'après avoir été malmenés par ce Dieu, ils ont dû laisser partir les Israélites.» (1 Samuel 6:5-6, mon accentuation en gras)

Ces païens n’entendirent pas seulement parler à propos de l’exode des Israélites ; ils apprirent de celui-ci. Ils ne voulaient pas être comme Pharaon et les Egyptiens. Ils ne voulaient pas être détruits par la colère de Dieu. Si les Egyptiens durent être persuadés de libérer les Israélites « d’une façon dure (par les fléaux), les Philistins ne voulaient pas être si insensibles. Ils libéreraient le coffre et le renverraient, avec des cadeaux, tout comme les Egyptiens l’avaient fait avec les Israélites.

Ils voulaient aussi être sûrs que ces fléaux venaient de la main du Dieu d’Israël, et alors ils imaginèrent un plan très ingénieux. Ils placeraient le coffre sur un nouveau chariot et utiliseraient deux vaches pour le tirer. Ces vaches seraient séparées de leurs veaux, pour que leurs instincts naturels les guideraient vers le pays de Philistins (où leurs veaux seraient attachés, braillant pour leurs mères). Si ces deux vaches tiraient le chariot directement vers Israël, sans se retourner, alors les Philistins sauraient que tout cela aurait été le travail de Dieu. Les Philistins regardant stupéfaits, grandement soulagés de voir le coffre partant de leur pays, les vaches allèrent directement pour la ville israélite de Beth-Chémech.

Il y a certainement une leçon à être apprise du coffre. Les Israélites apprirent que le coffre n’était pas magique ; sa présence ne garantissait pas nécessairement la présence et puissance de Dieu, comme nous pouvons voir dans le chapitre 4. D’un autre coté, Dieu était lié de près avec le coffre, pour qu’Il puisse affaiblir les Philistins (et leur dieu). L’armée d’Israël, avec le coffre, était impuissante contre les Philistins sans la présence de Dieu. Le coffre de Dieu, sans l’armée Israélite, était puissant contre les philistins quand Dieu était présent. Dieu n’avait pas besoin des Israélites pour s’imposer sur les Philistins, mais les Israélites avaient surement besoin de Dieu pour l’emporter.

Quand le coffre retourna à Israël, les Israélites eurent aussi besoin d’être rappeler de la terreur du Seigneur. Le peuple stupidement regarda dans le coffre et ce jour, 50 070 moururent. Le peuple de Beth-Chémech posa une question très importante,

« ---Qui pourrait subsister devant l'Eternel, ce Dieu saint? » (6:20)

La réponse était, « Personne ». Dieu fournissait toujours une sorte de barrière de protection entre Sa présence sacrée et le peuple pécheur parmi lequel Il choisissait de vivre. Dans un esprit similaire à celui du peuple d’Asdod (5:6-7), le coffre devait maintenant passer devant le peuple de Qiryath-Yearim. Le fils d’Abinadab, Eléazar, fut chargé du travail de garder le coffre du Seigneur. Le coffre resta dans la maison d’Abinadab pendant 20 ans (7:2).

Le dernier incident des jours des Juges est enregistré dans 1 Samuel 7. C’est la meilleure conclusion pour la période des Juges. Les Israélites avaient très envie du Seigneur, et Samuel appela la nation à se repentir:

« 3 Alors Samuel dit à tous les Israélites:
   ---Si c'est de tout votre cœur que vous voulez revenir à l'Eternel, faites disparaître de chez vous les dieux étrangers et les idoles d'Astarté, et attachez-vous de tout votre cœur à l'Eternel et rendez-lui un culte à lui seul. Alors il vous délivrera des Philistins.

   4 Les Israélites firent disparaître de chez eux les Baals et les Astartés, et ils ne rendirent plus de culte qu'à l'Eternel. » (1 Samuel 7:3-4)

Samuel appela alors toute la nation à se rassembler à Mitspa, où il prierait pour eux. Le peuple jeûna et pria, pendant que Samuel les conduisait. Mizpah était situé à quelques kilomètres au nord de Jérusalem et dans une région élevée. Le nom « Mizpah » veut dire « tour de guet » ou « endroit de surveillance ». C’était un genre de vigie, sur la campagne environnante. Les Philistins apprirent que les Israélites étaient assemblés là, et semblèrent avoir pris cette réunion pour une manœuvre militaire. C’était, après tout, un endroit parfait pour se défendre d’une attaque. Les Philistins rassemblèrent leurs forces et marchèrent sur les Israélites, qui étaient en train de vénérer. Quand les Israélites réalisèrent que les Philistins les attaquaient, ils furent terrifiés. Ils n’avaient que peu d’armes, parce que les Philistins avaient confisqué toutes les armes de fer et tous les outils nécessaires pour faire des produits de fer:

« 19 A cette époque, il n'y avait pas de forgeron dans tout le pays d'Israël, car les Philistins avaient voulu empêcher que les Hébreux fabriquent des épées et des lances.

   20 Tous les Israélites devaient donc se rendre chez les Philistins pour faire affûter leurs socs de charrue, leurs pioches, leurs haches, leurs bêches

   21 lorsque leurs bêches, leurs pioches, leurs tridents et leur haches étaient émoussés, ainsi que pour redresser leurs aiguillons.

   22 C'est pourquoi, le jour de la bataille, les hommes qui étaient avec Saül et Jonathan n'avaient ni épée ni lance; seuls Saül et son fils Jonathan en possédaient. » (1 Samuel 13:19-22)

Les Israélites semblèrent être dans une situation terrible, quelque chose similaire aux Israélites quittant l’Egypte et se trouvant entre la Mer Rouge, les montagnes, et l’armée égyptienne. Puisque le peuple ne pouvait pas vraiment se batte, ils furent forcés d’implorer Dieu pour de l’aide (7:8-9). Dieu sauva les Israélites d’une façon des plus incroyables – Il utilisa la technique militaire avancée des Philistins contre eux. Leur avantage technique était leurs armes en fer – leurs épées et boucliers, et aussi leurs chariots bardés de fer (Josué 17:16,18 ; Juges 1:19 ; 4:3,13). Les Philistins s’approchaient des Israélites au sommet du terrain où ils se blottissaient les uns contre les autres. Ils levèrent leurs épées dans les airs, attendant pour leur commandant de crier « Chargez ! ». À ce moment, Dieu envoya une tempête électrique, et les plus puissantes armes du monde devinrent des éclairs. Les Philistins, parés de leurs armures à toute épreuve, tenant leurs épées à bout de bras debout dans leurs chariots bardés, étaient comme des aimants, attirant les éclairs sur eux-mêmes. Ce fut le commencement d’une grande victoire pour Israël, et une défaite terrible pour les Philistins (7:13). Et à cause de la façon dont les Philistins furent détruits, il était évident que tout était de la main de Dieu. Je penserais que les Philistins auraient rapidement jetés les armes et fuit, pour que les Israélites n’aient qu’à ramasser ces armes (une fois refroidies) et les poursuivre.

Dans le chapitre suivant de 1 Samuel, le peuple insistera à avoir un roi qui ira devant eux et combattra leurs batailles. Saül ne s’est pas prouvé être ce genre de leader militaire. Pourquoi les Israélites voudrait un roi comme Saül, quand ils pouvaient avoir un libérateur comme Dieu, qui par lui-même secourut Israël de ses ennemis ? L’échec de la période des Juges n’était pas l’échec de Dieu, mais celui de l’homme. Serait-il différent dans la monarchie, quand les rois règneraient ? Les chapitres suivants nous donneront certainement la réponse.

La Monarchie Commence (1 Samuel 8-15)

Même avant la mort d’Eli, tout le monde savait que Samuel était un prophète, par lequel Dieu parlait. Samuel était, en fait, le dernier (et le plus grand) juge d’Israël (1 Samuel 7, spécialement verset 7). Comme prophète, cela aurait aussi été son devoir de designer les deux premiers rois, Saül et David. Mais en faisant cela, Samuel aurait dû démissionné comme le juge d’Israël (ou libérateur).

Si nous vivions dans les derniers jours de Samuel, nous serions certainement inquiets pour l’avenir, comme les Israélites l’étaient:

« 1 Samuel, devenu vieux, confia à ses fils l'administration de la justice en Israël.

   2 L'aîné s'appelait Joël et le cadet Abiya. Ils s'établirent à Beer-Chéba pour y rendre la justice.

   3 Mais ils ne suivaient pas les traces de leur père: comme ils étaient corrompus par l'amour de l'argent, ils acceptaient des pots-de-vin et faussaient le droit. » (1 Samuel 8:1-3)

L’avenir ne se présentait pas particulièrement bien pour les fils de Samuel servant comme juges. Ils n’étaient pas du tout comme leur Père. On pourrait se demander pourquoi Samuel nommerait ses fils comme Juges. A-t-il pensé qu’ils continueraient à sa place après sa mort ? Etaient-ils déjà corrompus avant d’avoir été nommés Juges ou est-ce que leurs positions les avaient corrompus ? Est-ce que Samuel suivait les pas d’Eli, négligeant les péchés de ses propres fils ? Quelques soient les raisons de Samuel, le peuple n’était pas impatients d’avoir ses fils comme Juges. Même si quelques unes des inquiétudes du peuple étaient valides, la solution qu’elles nécessitaient ne faisait pas plaisir à Samuel ou à Dieu.

« 4 C'est pourquoi tous les responsables d'Israël se réunirent auprès de Samuel à Rama.

   5 Ils lui déclarèrent:
   ---Te voilà devenu âgé, et tes fils ne suivent pas tes traces; maintenant, établis sur nous un roi pour qu'il nous dirige comme cela se fait dans toutes les autres nations.

   6 Cette demande d'établir sur eux un roi pour les diriger déplut à Samuel et il pria l'Eternel.

   7 L'Eternel lui répondit:
   ---Ecoute ce peuple et accepte toutes leurs demandes. En effet, ce n'est pas toi qu'ils rejettent, c'est moi: ils ne veulent plus que je règne sur eux.

   8 Ils agissent à ton égard comme ils n'ont cessé d'agir envers moi depuis le jour où je les ai fait sortir d'Egypte jusqu'à aujourd'hui: ils m'ont abandonné pour rendre un culte à d'autres dieux. » (1 Samuel 8:4-8)

Cet incident est tellement pertinent à la vie d’Israël. Je l’ai vu arrivé de cette façon de nombreuses fois dans mon ministère. Les gens ont un certain mauvais cours d’actions qu’ils veulent poursuivre, et ils font toutes sortes d’excuses qui apparaissent les justifier. C’est, dans les mots du Livre de Proverbes, « un lion qui barre la route »151 - cette excuse fascinante pour faire ou ne pas faire ce qu’on désire. Le paresseux refuse d’aller en dehors de sa maison et refuse de travailler, parce qu’ « il y a un lion qui barre la route ». Si, effectivement, il y avait un lion qui barrait la route, une personne serait stupide de sortir de sa maison. Mais ce n’est souvent qu’une excuse.

Les Israélites se souviennent surement des paroles de destruction de Dieu dans la loi de Moïse:

« 14 ---Lorsque vous serez entrés dans le pays que l'Eternel vous donne, que vous en aurez pris possession et que vous y serez installés, il se peut que vous disiez: «Donnons-nous un roi comme toutes les nations qui nous entourent.»

   15 Vous établirez alors sur vous le roi que l'Eternel votre Dieu aura choisi; c'est l'un de vos compatriotes que vous prendrez pour régner sur vous; vous ne pourrez pas choisir un étranger pour roi.

   16 Ce roi ne devra pas avoir une importante cavalerie, et il ne renverra pas le peuple en Egypte pour s'y procurer des chevaux en grand nombre. Car l'Eternel vous a dit: «Vous ne retournerez plus par ce chemin-là.»

   17 Qu'il ne prenne pas un grand nombre de femmes, pour qu'il ne se corrompe pas. Qu'il n'amasse pas non plus de grandes quantités d'argent et d'or.

   18 Quand il accédera au trône, il écrira sur un livre pour son usage personnel, une copie de cette Loi que lui communiqueront les prêtres-lévites.

   19 Cette copie ne le quittera pas, il y lira tous les jours de sa vie afin qu'il apprenne à révérer l'Eternel son Dieu, en obéissant à toute cette Loi et en appliquant toutes ces ordonnances.

   20 Ainsi, il ne s'enorgueillira pas pour s'élever au-dessus de ses compatriotes et il ne déviera de la Loi ni dans un sens ni dans l'autre. De la sorte, il s'assurera, ainsi qu'à ses descendants, un long règne sur le trône d'Israël. » (Deutéronome 17:14-20)

Les Israélites des jours de Samuel lirent ce texte comme une permission pour ce qu’ils voulaient faire. Ils le virent comme le seau d’approbation de Dieu sur leur plan d’avoir un roi. Leur attitude était très similaire à celle des Juifs des jours de Jésus en ce qui concerne le divorce:

« 3 Des pharisiens s'approchèrent de lui avec l'intention de lui tendre un piège. Ils lui demandèrent:
   ---Un homme a-t-il le droit de divorcer d'avec sa femme pour une raison quelconque?

   4 Il leur répondit:
   ---N'avez-vous pas lu dans les Ecritures qu'au commencement le Créateur a créé l'être humain homme et femme

   5 et qu'il a déclaré: C'est pourquoi l'homme quittera son père et sa mère pour s'attacher à sa femme, et les deux ne feront plus qu'un?

   6 Ainsi, ils ne sont plus deux; ils font un. Que l'homme ne sépare donc pas ce que Dieu a uni.

   7 Mais les pharisiens objectèrent:
   ---Pourquoi alors Moïse a-t-il commandé à l'homme de remettre à sa femme un certificat de divorce quand il divorce d'avec elle?

   8 Il leur répondit:
   ---C'est à cause de la dureté de votre cœur que Moïse vous a permis de divorcer d'avec vos épouses. Mais, au commencement, il n'en était pas ainsi.

   9 Aussi, je vous déclare que celui qui divorce et se remarie, commet un adultère --- sauf en cas d'immoralité sexuelle.

   10 Les disciples lui dirent:
   ---Si telle est la situation de l'homme par rapport à la femme, il n'est pas intéressant pour lui de se marier.

   11 Il leur répondit:
   ---Tous les hommes ne sont pas capables d'accepter cet enseignement. Cela n'est possible qu'à ceux qui en ont reçu le don.

   12 En effet, il y a ceux qui ne peuvent pas se marier parce que, de naissance, ils en sont incapables; d'autres le sont devenus par une intervention humaine. D'autres, enfin, renoncent à se marier à cause du royaume des cieux. Que celui qui est capable d'accepter cet enseignement, l'accepte! » (Matthieu 19:3-12)

Le divorce était une provision de Dieu pour les homes, dû à leur dureté de cœur. Ce n’était pas plaisant à Dieu. Notre Seigneur le dit clairement qu’il serait mieux pour une personne de ne pas se marier du tout, que de se marier avec une possibilité de divorcer. L’idéal pour Dieu – qui était agréable à Sa vue – était pour un homme de marier une femme pour toute sa vie.

Il était de même avec Israël ayant un roi. Dans Deutéronome 17, Dieu donne de claires instructions aux Israélites en ce qui concerne qui devrait être leur roi (uniquement un Israélite) et comment il devrait être sélectionné (le choix de Dieu). Il établit aussi des règles regardant la conduite et les practices du roi. Mais ayant noté ça, ne manquons pas de sentir la note de désapprobation dans Deutéronome 17:14:

« 14 ---Lorsque vous serez entrés dans le pays que l'Eternel vous donne, que vous en aurez pris possession et que vous y serez installés, il se peut que vous disiez: «Donnons-nous un roi comme toutes les nations qui nous entourent.» » (mon accentuation en gras)

Ces mots de Moïse étaient à la fois un avertissement et une prophétie. Comparez les mots de Moïse avec les mots du peuple à Samuel dans 1 Samuel 8:5:

« 5 Ils lui déclarèrent:
   ---Te voilà devenu âgé, et tes fils ne suivent pas tes traces; maintenant, établis sur nous un roi pour qu'il nous dirige comme cela se fait dans toutes les autres nations. » (mon accentuation en gras)

Dans les deux textes, c’est le peuple qui demande un roi, tout comme dans les deux, leur motivation était d’être « comme les autres nations ». Si les Israélites ne pouvaient pas imiter les autres nations par l’immoralité et l’idolâtrie, ils les imiteraient en ayant un roi. Ce que les Israélites manquèrent de comprendre était que leur désir d’avoir un roi était de l’idolâtrie:

« 7 L'Eternel lui répondit:
   ---Ecoute ce peuple et accepte toutes leurs demandes. En effet, ce n'est pas toi qu'ils rejettent, c'est moi: ils ne veulent plus que je règne sur eux.

   8 Ils agissent à ton égard comme ils n'ont cessé d'agir envers moi depuis le jour où je les ai fait sortir d'Egypte jusqu'à aujourd'hui: ils m'ont abandonné pour rendre un culte à d'autres dieux. » (1 Samuel 8:7-8, mon accentuation en gras)

Ici, nous voyons que les idoles ne sont pas toujours des objets de métal ou pierre, des mots, faits par les hommes ; des idoles peuvent aussi être des hommes. La raison pour laquelle les hommes font des idoles est parce qu’ils veulent voir qui ou quoi ils vénèrent. Les idoles assurent le fidèle de succès, que ce soit victoire à la guerre, abondante reproduction, ou pluie pour ses récoltes. Un roi fort et puissant pourrait sembler être la clef du succès. Et souvenez-vous, certains rois étaient actuellement vénérés comme des dieux (voir Daniel 3 ; Actes 12:20-24). Puisque Dieu est invisible, il ne peut y avoir de représentation de Lui sous la forme d’une idole (Deutéronome 4:15-19). Les Israélites voulaient un leader qu’ils pouvaient voir, quelqu’un en qui ils pouvaient mettre toute leur confiance pour les sauver. Ils voulaient un roi, comme les autres nations.

Les idoles pouvaient donc être des hommes, et ce n’était pas simplement les rois qui pouvaient être vénérés (soit littéralement ou raisonnablement). Beaucoup des jeunes de notre pays pratiquement vénèrent certaines célébrités, spécialement des musiciens, acteurs, et actrices. Certains Chrétiens idéalisent des dirigeants chrétiens proéminents alors que d’autres (malheureusement pouvant être Chrétiens) suivent aveuglement des chefs persuasifs de cultes. Soyons attentifs de montrer le respect à ceux d’autorité, mais prenons garde à ne pas devenir des adorateurs d’hommes. N’espérez jamais des hommes ce que Dieu seul peut faire ; ne donnez jamais aux hommes ce que Dieu mérite.

Samuel répondit aux Israélites ce que Dieu lui avait dit. À ce point là, il ne les accuse pas de refuser Dieu, bien qu’ils l’aient fait. Au lieu de ça, il fait remarquer les droits très nombreux des Rois:

« 10 Samuel rapporta au peuple qui lui demandait un roi toutes les paroles de l'Eternel.

  11 Il leur dit:
   ---Voilà quels seront les droits du roi qui régnera sur vous. Il prendra vos fils pour en faire ses soldats et les affectera au service de ses chars de guerre et de ses chevaux, et ils auront à courir devant son char personnel.

  12 Il choisira certains parmi eux pour en faire des officiers commandant de «milliers» et de «cinquantaines ». Il en prendra d'autres pour labourer ses champs et récolter ses moissons, ou pour fabriquer ses armes et l'équipement de ses chars.

  13 Il prendra vos filles comme parfumeuses, cuisinières et boulangères.

  14 Il prendra vos champs, vos vignes et vos meilleurs oliviers pour les donner à ses hauts fonctionnaires.

  15 Il prélèvera une redevance de dix pour cent sur les produits de vos champs et de vos vignes et il la distribuera à ses courtisans et à ses hauts fonctionnaires.

  16 Il prendra vos serviteurs, vos servantes et vos jeunes gens vigoureux, et même vos ânes, et il s'en servira pour ses propres travaux.

  17 Il prélèvera une bête sur dix dans vos troupeaux et vous deviendrez ses serviteurs.

  18 Ce jour-là, vous vous lamenterez à cause du roi que vous aurez choisi, mais l'Eternel ne vous écoutera pas. » (1 Samuel 8:10-18)

Les Israélites étaient déjà requis de payer la dîme et de faire des offrandes pour prendre soin des pauvres et pour le soutien de ceux qui servent comme les prêtres. Ayant un roi doublerait pratiquement leurs dépenses. Avoir un roi ne coûterait pas seulement plus d’argent, cela limiterait aussi leur liberté. Le roi qu’ils désiraient tellement prendrait leur propriété de force et l’utiliserait, ou la donnerait à ses amis, comme il prendrait leurs enfants comme serviteurs. Ce que les Israélites demandaient non seulement offensait Dieu, cela n’était même pas dans le meilleur de leurs intérêts. Alors que les pécheurs pensaient qu’ils amélioraient leurs propres intérêts, en fait ils faisaient le contraire. Le péché est contre-productif et autodestructif. C’est sans doute une bonne chose à se rappeler quand nous cherchons à dissuader un autre de ses péchés. Laissons le pécheur comprendre que le prix du péché est élevé, et le tour ne dure pas longtemps (et souvent effrayant).

Je devrais signaler une chose qui est très importante concernant les mots d’avertissement de Samuel à propos du coût élevé des rois. Samuel n’avertit pas simplement les Israélites que leur premier roi (dont nous savons sera Saül) ne vaudra pas le coût. Dieu le dit clairement que chaque roi – même le meilleur – leur coûtera un prix très élevé. Quelqu’un n’aurait qu’à demander à Urie à ce propos, car le Roi David fut capable de marier sa femme, au coût de la vie de son fidèle guerrier. Plus tard, Salomon opprimerait le peuple d’Israël avec ses taxes (voir 1 Rois 4:7-22-25; 9:1; 12:4).

Je vais continuer pour dire quelque chose qui sera reconnu comme assez politique, mais qui a besoin d’être dit parce que je crois que c’est vrai. Bien trop de gens aujourd’hui regarde le gouvernement comme s’il était leur dieu. Ils regardent vers le gouvernement pour avoir prospérité et paix. Ils regardent vers le gouvernement pour « la vie en rose », et c’est pourquoi, pour quelques-uns, le plus grand le gouvernement devient et le mieux c’est. Les paroles de Samuel ne s’appliquent pas seulement aux Rois, mais à tout gouvernement, et spécialement, « les grands gouvernements ». Il est intéressant qu’inscrit sur les billets notre gouvernement imprime les mots « Nous Faisons Confiance en Dieu ». Je me demande combien de gens aujourd’hui font plus confiance en leur gouvernement qu’en Dieu ? Peut-être devrions-nous lire notre argent et prendre ces mots à cœur. Nous devrions certainement prendre plus sérieusement à cœur les mots de Samuel.

Le peuple ne sera pas dissuadé. Ils insistèrent à avoir leur roi. Alors, Dieu dit à Samuel de renvoyer le peuple avec l’assurance qu’Il leur donnerait le roi qu’ils demandaient. Comme le peuple retournait à leurs maisons, ils ne savaient pas qui serait leur roi, alors tous les yeux se posaient sur Samuel pour voir qui il nommerait comme roi.

Les chapitres 9 et 10 décrivent le processus par lequel Dieu révéla l’identité du roi d’Israël. Dans 9:1-10:16, l’auteur lie la façon dont Dieu en privé révéla à Saül qu’il deviendrait le roi d’Israël. Le chapitre 10:17-27 enregistre le processus par lequel Dieu identifia publiquement Saül aux Israélites comme leur roi.

Saül était juste le genre d’homme que les Israélites cherchaient. Il venait d’une famille proéminente, il était un homme séduisant, et il était le Goliath d’Israël:

« 1 Un homme de la tribu de Benjamin nommé Qich avait pour ancêtres en ligne ascendante: Abiel, Tseror, Bekorath et Aphiah, qui descendaient d'un Benjaminite. Qich était un vaillant guerrier.

  2 Il avait un fils nommé Saül. C'était un beau jeune homme, aucun Israélite n'avait plus belle allure que lui; il les dépassait tous de la tête. » (1 Samuel 9:1-2)

Tout a commencé avec quelques ânesses fugueuses que Qich avait envoyé son fils Saül chercher. Saül, accompagné par un des ses jeunes serviteurs, les poursuivit pendant plusieurs jours. Quand ils n’eurent presque plus de nourriture, Saül était prêt à abandonner et à retourner à la maison. Son servant reconnut qu’ils arrivaient à la ville où un prophète vivait. (Il sembla que Saül ne le savait pas, ce qui donne un indice de son état spirituel). Le serviteur croyait que le prophète (ou le voyant) pourrait leur dire où trouver leurs ânesses perdues et fut disposé à fournir l’argent pour le payer pour ses services. Saül suivit le conseil du serviteur, et ils arrivèrent à la ville et demandèrent où le prophète habitait. (Dieu avait déjà révélé à Samuel que le roi d’Israël arriverait, et qu’il serait un Benjaminite – voir 9:15-16).

Samuel fit de Saül son invité d’honneur, et plus tard il l’oignit en privé comme roi d’Israël. Saül donna à Samuel plusieurs signes pour le convaincre que c’était la volonté de Dieu. Samuel dit à Saül que les ânesses avaient déjà été trouvées – avant même que Saül eut l’opportunité de mentionner qu’ils les cherchaient. Samuel dit à Saül qu’il rencontrerait deux hommes, qui lui assureraient que les ânesses de son père avaient été trouvées, et que son père était inquiet à propos de lui (10:2). À propos, cela était à peu près ce que Saül avait dit auparavant dans 9:5. Saül rencontrerait alors trois hommes qui allaient à Béthel. Un homme porterait trois chevreaux, un autre aurait trois pains, et le troisième un pot de vin. Samuel dit à Saül que l’homme avec le pain lui donnerait deux pains. Il dit aussi à Saül qu’il rencontrerait un groupe de prophètes, et qu’il prophétiserait. Toutes ces choses arrivèrent, comme Samuel l’avait indiqué.

Samuel donna aussi à Saül une instruction très spécifique:

« 8 Tu me précéderas à Guilgal où je te rejoindrai pour offrir des holocaustes et des sacrifices de communion. Tu m'attendras sept jours jusqu'à ce que je vienne te retrouver. Alors je te ferai savoir ce que tu dois faire. » (1 Samuel 10:8)

Malheureusement, cette instruction ne serait pas obéie, comme nous le verrons bientôt. Quand Saül arriva à la maison, son oncle (Abner ? – voir 14:50) était des plus intéressé par ce que Samuel avait à dire à son neveu, une fois qu’il apprit que Saül avait parlé au prophète. Pas étonnant. Tout le monde savait que Samuel oindrait un nouveau roi. Tous ceux qui traiteraient avec Samuel seraient considérés comme des candidats possibles pour devenir roi.

Maintenant, Samuel appela le pays à s’assembler devant le Seigneur à Mitspa (souvenez-vous la dernière fois cela arriva dans le chapitre 7). Samuel commença avec un mot de réprimande:

« 18 Il dit aux Israélites:
   ---Voici ce que déclare l'Eternel, le Dieu d'Israël: «Je vous ai moi-même fait sortir d'Egypte et je vous ai libérés des Egyptiens et de tous les royaumes qui vous opprimaient.

   19 Et vous, aujourd'hui, vous avez rejeté votre Dieu, qui pourtant vous a délivrés de tous vos maux et de toutes vos détresses. Vous lui avez dit: Il faut que tu établisses un roi sur nous. Eh bien, puisqu'il en est ainsi, présentez-vous devant l'Eternel, par tribus et par familles.» » (1 Samuel 10:18-19)

Le cas de Samuel contre Israël en est un simple. Depuis les jours de leur exode d’Egypte, Dieu avait libéré Son peuple des mains de leurs ennemis. Dieu fit tout cela sans un roi. Maintenant Samuel réprimanda le peuple pour rejeter Dieu comme leur Roi et Libérateur. Maintenant, ils demandaient un roi à la place de Dieu. Les mots de réprimande de Samuel précèdent la nomination de Saül comme leur roi. Bien sur, Samuel savait qui ce roi serait, mais il ne nomme pas simplement Saül. Samuel procéda par élimination de tirer au sort. Premièrement, la tribu de Benjamin fut tirée au sort, puis la famille de Matri, puis finalement Saül. Saül ne fut pas trouvé, alors ils demandèrent à Dieu. Il les informa que Saül se cachait parmi les bagages. Il n’agissait certainement pas comme un roi. Certains prirent rapidement note de cela, questionnant comment un tel individu pourrait sauver Israël (10:27). D’autres remarquèrent qu’il était bien plus grand que les autres Israélites (10:23 ; voir 9:2). Ceux qui acceptèrent Saül comme leur roi lui apportèrent des cadeaux. Ceux qui le haïssaient n’amenèrent rien.

Je dois dire, un peu entre parenthèse, que j’ai remarqué ce sujet de cadeaux durant notre offrande dimanche dernier. J’ai attiré l’attention sur la façon dont les mages de l’est apportèrent des cadeaux à Celui qu’ils pensaient était le « Roi des Juifs » (Matthieu 2:1-12). Si nous reconnaissons quelqu’un comme roi en lui faisant des cadeaux, que cela veut-il dire quand nous venons à l’église semaine après semaine, et ne donnant rien à Celui que nous professons être le Roi des rois ? C’est tristement vrai que pratiquement dans toutes les églises, il y a un nombre important de gens qui ne donnent jamais. Ce texte devrait les faire réfléchir. Et de peur que ceux d’entre nous qui donnons ne nous sentions trop fiers de nous-mêmes, je devrais aussi dire que la taille du don dit aussi quelque chose sur combien notre Roi représente pour nous.

C’est dans les chapitres 11 et 12 que le droit de Saül de régner est établi d’une façon très publique. Est-il étrange que certains se demandèrent comment celui-ci, qui se cacha parmi les bagages, pourrait diriger les Israélites pendant une guerre ? Dieu montra comment dans le chapitre 11, quand Nahach l’Ammonite marcha contre la ville de Yabéch en Galaad. Les habitants de cette ville savaient qu’ils étaient surpassés en nombres et étaient disposés à capituler conformément aux termes ordinaires. Nahach ne voulait pas pour ce peuple de simplement se soumettre ; il voulait les humilier complètement. S’ils voulaient se soumettre à lui, ils devraient lui permettre de leur crever leurs yeux droits. Les dirigeants de la ville lui demandèrent une semaine pour lui donner leur décision, pendant laquelle ils cherchèrent à apprendre si un de leurs frères viendraient à leur rescousse. (Il semblerait que Nahach était assez confiant qu’ils ne seraient pas secourus, ce qui voulait dire qu’il avait aussi l’avantage avec les autres villes, puisque les Israélites démontreraient ainsi leur manque d’unité).

Quand Saül entendit le dilemme dans lequel le peuple de Yabéch en Galaad était, l’Esprit de Dieu descendit sur lui puissamment. Il prit ses bœufs et les sacrifia, les découpant en morceaux, qu’il envoya dans tout le pays (comme la façon dont le Lévite envoya les morceaux de sa femme dans le pays dans Juges 19:29-30). Il menaça de tuer tout homme qui ne viendrait pas et joindrait leurs frères pour la bataille contre les Ammonites. Cela motiva la nation entière à s’assembler pour la guerre: 300 000 Israélites et 30 000 hommes de Juda (11:8). Saül et cette armée battirent les Ammonites et secoururent la ville. Maintenant, il était clair à tous que Saül était capable de diriger la nation en guerre contre leurs ennemis. Certains voulaient même punir ceux qui avaient questionné le droit de régner de Saül, mais Saül leur interdit de le faire (11:12-13).

Le peuple était débordant de joie, alors Samuel leur ordonna de se rassembler à Guilgal, où ils devaient établir la royauté (11:13). Saül fut alors proclamé roi à l’unanimité, et des offrandes de communion furent offertes. Ce fut un temps de célébration, mais ce fut aussi le temps pour Samuel de dire clairement à Israël combien sérieux leur péché était en demandant un roi. Samuel commença en défiant n’importe qui d’amener une accusation contre lui. Tous reconnurent qu’il avait traité correctement le peuple (12:1-5). Cela donna à Samuel l’autorité morale dont il avait besoin pour réprimander les Israélites pour leurs péchés.

« 6 Samuel dit encore au peuple:
   ---C'est l'Eternel qui a établi Moïse et Aaron et qui a fait sortir nos ancêtres d'Egypte.

   7 Maintenant donc, comparaissez en sa présence et je vais vous citer tous les actes puissants qu'il a accomplis pour vous sauver, vous et vos ancêtres.

   8 Après que Jacob fut venu en Egypte, lorsque vos ancêtres ont imploré l'Eternel, il a envoyé Moïse et Aaron qui les ont fait sortir d'Egypte pour les établir dans le pays où nous sommes.

   9 Mais eux, ils ont délaissé l'Eternel leur Dieu. C'est pourquoi il les a livrés à Sisera, le chef de l'armée de Hatsor, aux Philistins et au roi de Moab qui leur ont fait la guerre.

   10 Alors ils ont de nouveau imploré l'Eternel en confessant: «Nous avons péché, car nous avons abandonné l'Eternel et nous avons adoré les dieux Baals et Astartés. Mais à présent, délivre-nous de nos ennemis et nous te servirons.»

   11 Alors l'Eternel a envoyé Gédéon, Baraq et Jephté, et finalement moi, Samuel. Il vous a délivrés de tous les ennemis qui vous entourent et vous avez habité le pays en sécurité.

   12 Lorsque152 vous avez vu Nahach le roi des Ammonites venir vous attaquer, vous êtes venus me dire: «Nous ne voulons pas continuer ainsi; il faut qu'un roi règne sur nous.» Comme si l'Eternel n'était pas votre roi!

   13 Eh bien, maintenant, voici votre roi selon ce que vous avez choisi et demandé. C'est l'Eternel qui l'a établi sur vous.

   14 Si désormais vous révérez l'Eternel, si vous lui rendez votre culte, si vous lui obéissez sans vous révolter contre ses paroles et si vous et votre roi qui règne sur vous, vous suivez l'Eternel votre Dieu, tout ira bien.

   15 Mais si vous n'écoutez pas l'Eternel et si vous êtes rebelles à ses commandements, l'Eternel vous frappera sévèrement, ainsi que votre roi, comme il a frappé sévèrement vos ancêtres. » (1 Samuel 12:6-15)

Voici la réprimande la plus complète que Samuel donna à la demande des Israélites d’avoir un roi. Il cita instance après instance la protection et les soins que Dieu avait pour Son peuple, en étant leur roi. Il accentua que leurs plus récentes difficultés avec des pays étrangers étaient le résultat de leurs péchés, et qu’en réponse à leurs pétitions pour recevoir de l’aide, Dieu leur envoya un libérateur. Samuel sembla stresser le fait que quelque chose « craqua » (nous pourrions dire) quand Nahach et les Ammonites attaquèrent Israël. D’une façon ou d’une autre il les terrorisa, pour qu’ils aient l’impression d’avoir besoin d’un roi. Bon maintenant, Israël avait leur roi, mais le peuple de Dieu devait savoir que leurs demandes pour un roi constituaient un péché encore plus sérieux. C’était un échec de ne pas croire en Dieu. C’était croire en l’homme, plutôt qu’en Dieu.

Pourtant, Dieu était disposé à accorder leur requête et à leur donner un roi, et à continuer à honorer Son alliance avec eux. Cependant, le changement à une monarchie ne mit pas de coté l’Alliance Mosaïque et ses exigences. Dieu continuerait à bénir Israël, si ils et le roi obéissaient Ses commandements. S’ils ou leur roi se rebellaient contre Ses commandements, alors Dieu amènerait le jugement sur eux.

Pour souligner la magnitude des péchés d’Israël et les mots de réprimande que Samuel avait juste dit, Dieu envoya une tempête qui détruisit une partie des récoltes et attira l’attention d’Israël. Le peuple avait peur d’à la fois Samuel et du Seigneur:

« 19 Tous supplièrent Samuel:
   ---Intercède pour tes serviteurs auprès de l'Eternel ton Dieu afin que nous ne mourions pas, car nous avons ajouté à toutes nos fautes celle de demander un roi pour nous. » (1 Samuel 12:19)

La réponse de Samuel fit réfléchir et était réconfortante:

« 20 Samuel rassura le peuple:
   ---Soyez sans crainte! Oui, vous êtes bien coupables de ce mal, mais ne vous détournez pas de l'Eternel et servez-le de tout votre cœur.

   21 Ne vous éloignez pas de lui, sinon vous courrez après des choses de néant qui sont inutiles et incapables de secourir, parce qu'elles ne sont que néant.

   22 Il a plu à l'Eternel de faire de vous son peuple. C'est pourquoi il ne vous abandonnera pas, car il tient à faire honneur à son grand nom.

   23 En ce qui me concerne, que l'Eternel me garde de commettre une faute contre lui en cessant de prier pour vous. Je continuerai à vous enseigner le bon et droit chemin.

   24 De votre côté, révérez l'Eternel et servez-le sincèrement de tout votre cœur en considérant les grandes choses qu'il a accomplies pour vous.

   25 Mais si vous faites le mal, vous serez détruits, vous et votre roi. » (1 Samuel 12:20-25)

Je suis spécialement impressionné par les mots du verset 21. Ces mots ressemblent beaucoup à un avertissement contre l’idolâtrie, n’est-ce pas ? En fait, la version NIV (New International Version) traduit le verset 21 de cette façon:

« Ne vous tournez pas vers des idoles inutiles. Elles ne vous aideront pas, ni ne vous secourront pas, parce qu’elles sont inutiles. » (mon accentuation en gras)

Bien que ce mot, traduit « choses de néant » soit un des mots les plus fascinant, digne de plus d’étude, il sera suffisant pour cette étude d’indiquer simplement que « les rois » ne sont que des « choses de néant » et des « idoles inutiles » quand nous nous tournons vers eux pour nous sauver, plutôt que vers Dieu. ce n’est pas la noblesse et la puissance des rois humains, mais la puissance, la souveraineté, et l’amour loyal (l’alliance) de Dieu qui nous assure de notre sécurité terrestre et céleste.

« 9 Ceux qui fabriquent des idoles ne sont tous que néant,
      et leurs plus belles œuvres ne sont d'aucun profit.
      Leurs témoins ne voient rien
      et ils ne savent rien;
      ils rougiront de honte. » (Esaïe 44:9)

« 22 Or, pour celui qui siège sur son trône au-dessus du cercle de la terre,
      ses habitants sont pareils à des sauterelles.
      Il a tendu le ciel comme une toile
      et il l'a déployé comme une tente
      pour l'habiter.

   23 Il réduit à néant les princes de la terre
      et fait évanouir les dirigeants du monde. » (Esaïe 40:22-23)

Bien que le règne de Saül ait juste commencé, et il règnera sur Israël pendant 40 ans, les chapitres suivants (13-15) décrivent ses défauts du caractère de Saül (chapitres 13 et 14) et décrivent les deux échecs qui lui coûtent une dynastie éternelle et même son propre royaume (chapitres 13:1-14 et 15).

Commençons avec les défauts du caractère de Saül. Notre première claire indication du manque de courage de Saül vient au moment de son introduction publique comme roi d’Israël, quand il fut trouvé se cachant parmi les bagages (10:22). Dans les premiers versets du chapitre 13, je crois que nous voyons un autre signe d’avertissement:

«3 Jonathan abattit la stèle dressée par les Philistins à Guéba. Alors se répandit rapidement parmi les Philistins la nouvelle que les Hébreux s'étaient révoltés. Saül fit annoncer la chose au son du cor dans tout le pays:
   ---Que les Hébreux le sachent! » (1 Samuel 13:3, mon accentuation en gras)

Comme nous pouvons le voir, Israël est toujours occupé par les philistins. Guéba est une ville sur le territoire de Benjamin, juste quelques kilomètres au nord de Jérusalem. Les Philistins maintenaient une garnison là, un symbole de leur domination et de leur contrôle sur Israël, et un moyen d’application.153 Saül fut couronné roi sur Israël pour « combattre leurs batailles » (8:20). Alors, pourquoi hésita-t-il à attaquer les Philistins, qui maintenaient des garnisons en Israël ? J’ai bien peur que c’était dû au manque de courage et de foi. Saül maintenait un genre de « squelette d’armée », qui n’aurait pas été assez grande pour provoquer les Philistins. Ils semblaient être un genre de force de police pour le pays, et plus pour protéger le pays, et plus que tout, pour protéger Saül. Contrairement à son père, Jonathan n’était pas intimidés par les Philistins. Il attaqua la garnison philistine de Guéba, et seulement après cela, Saül déclara la guerre. Quoi d’autre aurait-il pu faire ? L’armée de Saül avait attaqué les Philistins, et il savait qu’ils étaient sûrs de riposter en force, comme ils le firent:

« 5 Les Philistins mobilisèrent leurs troupes pour combattre Israël. Ils avaient trois mille chars de guerre et six mille soldats sur char, ainsi qu'une multitude de fantassins, nombreux comme les grains de sable des mers. Ils allèrent prendre position à Mikmach à l'est de Beth-Aven.

   6 Les hommes d'Israël virent qu'ils étaient dans une situation extrêmement critique, car ils étaient serrés de près par l'ennemi. Ils se cachèrent dans les grottes, les buissons, les cavernes, les souterrains et les citernes.

   7 Certains Hébreux franchirent le Jourdain et se réfugièrent dans le territoire de Gad et de Galaad. Pendant ce temps, Saül était toujours à Guilgal, au milieu de son armée qui tremblait d'épouvante. » (1 Samuel 13:5-7)

Les Israélites ne semblèrent pas être aussi nombreux qu’avant, à Yabéch Galaad. Saül ne sembla pas disposé ou capable de prendre l’offensive. En résultat, ses soldats étaient terrifiés et se cachaient où ils pouvaient. On ne peut pas s’empêcher de sentir que la peur des soldats de Saül n’était que la réflexion des peurs de Saül. Ce serait Jonathan, avec son serviteur, qui attaquerait la garnison philistine au col de Mikmach (13:23), avec Saül agissant seulement quand il apparut que les philistines étaient prêts à battre en retraite. Saül ne chercha pas le conseil divin, comme il aurait dû (14:3,16-19), ne le faisant que quand il était sous la contrainte, ou quand il était poussé à le faire (14:36-37). Quand stupidement Saül ordonna à ses hommes de prêter serment de jeûner (un serment qui rappelle celui de Jephté dans Juges 11), Jonathan ne le savait pas et involontairement le viola (1 Samuel 14:24-30). Jonathan pouvait facilement voir la folie de cette décision. Et quand il fut apprit que Jonathan était celui qui avait violé le serment de Saül, son père allait le faire mettre à mort. Ce fut seulement le peuple qui sauva Jonathan de la mort. Saül était un homme avec de sérieux défauts de caractère, et ceux-ci ne deviendront que plus évidents quand David deviendra populaire avec les Israélites.

Saül était coupable de deux péchés précis qui lui coûtèrent son royaume. Le premier est enregistré dans 1 Samuel 13:

« 8 Il attendit sept jours le rendez-vous fixé par Samuel. Celui-ci n'arrivant pas, les soldats commencèrent à abandonner Saül et à se disperser.

   9 Alors Saül dit:
   ---Amenez-moi les bêtes de l'holocauste et des sacrifices de communion.
   Et il offrit lui-même l'holocauste.

   10 Au moment où il achevait de l'offrir, Samuel arriva. Saül alla à sa rencontre pour le saluer.

   11 Samuel lui demanda:
   ---Qu'as-tu fait?
   Saül répondit:
   ---Quand j'ai vu que mes soldats se dispersaient loin de moi, que tu n'arrivais pas au rendez-vous fixé et que les Philistins étaient concentrés à Mikmach,

   12 je me suis dit: «Les Philistins vont tomber sur moi à Guilgal avant que j'aie pu implorer l'Eternel.» Alors je me suis fait violence et j'ai offert l'holocauste. » (1 Samuel 13:8-12)

Saül était certainement sous pression. Les Philistins semblaient avoir l’avantage, et son armée s’était vaporisée sous ses yeux. À quelque distance de là, il semblerait certainement que les instructions données par Dieu au moment de la nomination privée de Saül comme roi furent le commandement que Saül désobéit:

« 7 Quand ces signes se seront réalisés pour toi, agis selon ce que tu trouveras à faire, car Dieu est avec toi!

   8 Tu me précéderas à Guilgal où je te rejoindrai pour offrir des holocaustes et des sacrifices de communion. Tu m'attendras sept jours jusqu'à ce que je vienne te retrouver. Alors je te ferai savoir ce que tu dois faire. » (1 Samuel 10:7-8)

Etant donné tout ce que nous savons de Saül, mon impression est qu’une fois que Dieu notifia Saül qu’il devait devenir roi, Dieu lui donna une certaine quantité de pouvoirs discrétionnaires. Du verset 7, il semblerait que Dieu informa Saül que dès que les signes de confirmation étaient survenus, il était libre de commencer à agir comme le roi d’Israël. En d’autres mots, il était libre de déclarer la guerre aux Philistins, comme, en fait, son fils Jonathan le fit. Dieu promit d’être avec Saül et Il le fut. Mais que fit Saül ? Pratiquement rien, avant d’être persuadé de le faire. Son action la plus décisive arriva quand les Ammonites menacèrent le peuple d’Yabéch Galaad,154 du coté est du Jourdain, mais Saül ne prit pas l’initiative d’attaquer les Philistins, qui menaçaient Israël de l’ouest.

Je suis enclin de conclure que bien que Dieu avait donné à Saül l’autorisation d’attaquer les Philistins, il ne l’avait pas fait, à cause de sa peur et de sa passivité. Mais avant de mener cette attaque, Saül fut instruit d’aller à Guilgal, où Samuel offrirait des offrandes de communion et des offrandes entièrement brûlées. Ce serait à ce moment que Samuel lui donnerait des instructions précises concernant la bataille. Saül fut instruit d’attendre Samuel pendant sept jours. Il avait tergiversé si longtemps pour attaquer que maintenant ses hommes le désertaient. Maintenant, dû à sa passivité, Saül estima qu’il ne pouvait plus attendre davantage, et il offrit le sacrifice lui-même. Il m’apparaît qu’en le faisant, Saül commit deux péchés. Premièrement, il désobéit clairement les instructions de Dieu. Deuxièmement, il n’honora pas la « séparation de pouvoir » que Dieu avait établie. Le roi ne pouvait pas usurper la fonction des prêtres, et il devait être guidé par des révélations prophétiques. Il agit unilatéralement, mettant de coté la division de pouvoir de Dieu.

Cette stupide action pécheresse de la part de Saül lui couterait chèrement:

« 13 Samuel dit à Saül:
   ---Tu as agi comme un insensé. Tu n'as pas obéi au commandement que l'Eternel ton Dieu t'avait donné. Si tu l'avais fait, l'Eternel aurait affermi ton autorité royale sur Israël et il aurait fait en sorte que tes descendants y gardent pour toujours la royauté.

   14 Mais puisque tu as désobéi aux ordres de l'Eternel, ta royauté ne subsistera pas. L'Eternel a décidé de se chercher un homme qui corresponde à ses désirs et de l'établir chef de son peuple. » (1 Samuel 13:13-14)

Le royaume de Saül ne durerait pas plus longtemps que son règne de roi. Il n’aura pas de dynastie durable – ses fils ne règneront pas comme roi après lui. Dieu chercherait un roi qui obéirait Ses ordres (souvenez-vous Deutéronome 17:14-20 ; 1 Samuel 12:14-15, 24-25), mais Saül avait désobéit. Sous entendu dans les mots de Samuel de 13:14 est le fait que Dieu remplacerait Saül comme roi. Cette question sera traitée avec fermeté au moment du second grand acte de désobéissance de Saül en tant que roi. Le plus pénible de tout est que même quand Samuel réprimanda Saül pour ses péchés, il n’y eu pas un seul indice de repentance. Saül ne confessa pas qu’il avait péché. Lui et Samuel se séparèrent simplement.

Le second acte de rébellion de Saül est décrit dans le chapitre 15. Dieu instruisit Saül par Samuel de déclarer la guerre aux Amalécites:

« 1 Un jour, Samuel dit à Saül:
   ---C'est moi que l'Eternel a envoyé pour te conférer l'onction qui t'a établi roi de son peuple, Israël. Maintenant donc, écoute les paroles de l'Eternel.

  2 Voici ce que déclare l'Eternel, le Seigneur des armées célestes: «J'ai décidé de punir les Amalécites pour ce qu'ils ont fait au peuple d'Israël, en se mettant en travers de sa route quand il venait d'Egypte.

  3 Maintenant, va les attaquer et voue-les moi en les exterminant totalement avec tout ce qui leur appartient. Sois sans pitié et fais périr hommes et femmes, enfants et bébés, bœufs, moutons, chèvres, chameaux et ânes. » » (1 Samuel 15:1-3, mon accentuation en gras)

Rien ne pourrait être plus clair que ses instructions. Les Amalécites devaient être tous annihilés – les hommes, les femmes, les enfants, et le bétail. Rien ne devait rester vivant. Saül assembla une armée de 210 000 et déclara la guerre les Amalécites et Amalec. Il les battit, mais ne les annihila pas tous:

« 8 Il captura Agag, roi d'Amalec, vivant, et extermina toute la population par l'épée.

   9 Saül et ses soldats épargnèrent Agag ainsi que les meilleurs animaux du butin: moutons, chèvres et bœufs, bêtes grasses et agneaux; ils ne voulurent pas les détruire pour les vouer à l'Eternel. Par contre, ils détruisirent tout ce qui était méprisable et sans valeur. » (1 Samuel 15:8-9)

Il apparaitrait que Saül garda Agag en vie comme un roi de trophée ou pour une raison égoïste. Saül tua tout ce qui est inutile, mais garda les choses de plus grandes valeurs. Saül était un autre Akân (Josué 6:17-19 ; 7:19-21), seulement sur une plus grande échelle, et cela fut fait publiquement. Ce fut une grande erreur, une qui allait lui coûter son royaume. Contrairement à Akân, Saül ne se repentit pas. Au début, il nia son péché, puis essaya de l’excuser. Quand Samuel vint le voir, Saül était occupé à faire un monument à lui-même:

« 12 Le lendemain matin, il partit trouver Saül. En chemin, il apprit que celui-ci s'était rendu à Karmel pour y ériger un mémorial, puis qu'il était reparti en direction de Guilgal.

   13 Finalement, Samuel le rejoignit. Saül l'aborda par ces mots:
   ---Que l'Eternel te bénisse! J'ai exécuté l'ordre de l'Eternel.

   14 Mais Samuel lui demanda:
   ---D'où viennent donc ces bêlements de moutons qui résonnent à mes oreilles et ces mugissements de bœufs que j'entends?

   15 Saül répondit:
   ---Ils les ont ramenés de chez les Amalécites, car les soldats ont épargné les meilleures bêtes parmi les moutons et les bœufs pour les offrir en sacrifice à l'Eternel ton Dieu; le reste nous l'avons totalement détruit.

   16 ---Assez, interrompit Samuel. Je vais t'apprendre ce que l'Eternel m'a dit cette nuit.
   ---Parle, lui dit Saül.

   17 Et Samuel lui déclara:
   ---Alors que tu te considérais comme un personnage peu important, tu es devenu le chef des tribus d'Israël et l'Eternel t'a oint pour t'établir roi d'Israël.

   18 Il t'a envoyé en campagne avec cet ordre précis: «Va et détruis les Amalécites pour me les vouer, ce peuple de pécheurs, en les combattant jusqu'à leur totale extermination.»

   19 Alors pourquoi n'as-tu pas obéi à l'ordre de l'Eternel? Pourquoi as-tu fait ce qu'il considère comme mal en te précipitant sur le butin?

   20 Saül répliqua:
   ---Mais si, j'ai obéi à l'ordre de l'Eternel et j'ai accompli la mission qu'il m'avait confiée: j'ai ramené Agag, roi d'Amalec, et j'ai exterminé les Amalécites pour les vouer à l'Eternel.

   21 Mais les soldats ont prélevé sur le butin les meilleurs moutons et les meilleurs bœufs qui devaient être voués à l'Eternel par destruction, pour les offrir en sacrifice à l'Eternel ton Dieu à Guilgal. » (1 Samuel 15:12-21, mon accentuation en gras)

Saül essaya d’excuser ses actions, prétendant que les animaux qui avaient été gardés vivant devaient servir comme animaux sacrificiels. Cela poussa la réponse de Samuel, qui fit la distinction entre les simples observances rituelles et l’obéissance de foi:

« 22 Samuel lui dit alors:
      Les *holocaustes et les sacrifices
      font-ils autant plaisir à l'Eternel
      que l'obéissance à ses ordres?
      Non! Car l'obéissance est préférable aux sacrifices,
      la soumission vaut mieux que la graisse des béliers.

   23 Car l'insoumission est aussi coupable que le péché de divination
      et la désobéissance aussi grave que le péché d'idolâtrie.
      Puisque tu as rejeté les ordres de
      l'Eternel,
      lui aussi te rejette et te retire la
      royauté. » (1 Samuel 15:22-23)

Le péché de désobéissance de Saül était le péché de rébellion et était ainsi aussi mal que les péchés de divination et d’idolâtrie. Dieu n’est pas aussi content par les sacrifices rituels qu’Il l’est par l’obéissance par la foi. Finalement, Saül admit sa culpabilité, mais prétendit qu’il le fit par peur de son armée:

« 24 Alors Saül répondit à Samuel:
   ---J'ai péché, car j'ai transgressé l'ordre de l'Eternel et tes instructions, parce que j'ai eu peur de mécontenter mes soldats, et j'ai cédé à leurs demandes.

   25 A présent, je t'en prie, pardonne ma faute; et reviens avec moi pour que je me prosterne devant l'Eternel. » (1 Samuel 15:24-25)

Ce chef prétendit avoir été induit en erreur. Il maintint que ce ne fut pas vraiment sa faute du tout. Son péché était excusable à cause de ses circonstances. Saül ne se repentait toujours pas ; il ne pensait qu’à se débarrasser des conséquences de son péché. Combien cela semble familier ! Je l’ai vu de nombreuses fois dans mon ministère. Saul était maintenant rejeté par Dieu comme le roi d'Israël. Pour autant que Saül chercha à sauver son titre, ou au moins sa dignité, Dieu avait parlé, et Il ne changerait pas d’avis:

« 27 Comme Samuel se retournait pour partir, Saül le saisit par le pan de son manteau et le morceau fut arraché.

   28 Alors Samuel lui déclara:
   ---C'est ainsi que l'Eternel t'arrache aujourd'hui la royauté d'Israël pour la donner à un autre qui est meilleur que toi.

   29 Sois-en certain: Celui qui est la gloire d'Israël ne ment pas et ne se rétractera pas, car il n'est pas comme un être humain pour se rétracter.

   30 Saül répéta:
   ---J'ai péché! Toutefois, en ce moment, je t'en supplie, continue à m'honorer devant les responsables de mon peuple et devant Israël. Reviens avec moi et je me prosternerai devant l'Eternel ton Dieu!

   31 A la fin, Samuel l'accompagna et Saül se prosterna devant l'Eternel. » (1 Samuel 15:27-31)

Ce fut Samuel qui personnellement exécuta Agag, roi des Amalécites (15:32-33). Quand Saül et Samuel se séparèrent ce jour-là, ce fut pour la dernière fois. Ils ne se reverraient jamais face à face. Samuel eut ses regrets à propos de la punition de Saül, mais Dieu n’en avait aucun:

« 34 Puis il retourna à Rama, et Saül rentra chez lui à Guibea de Saül.

   35 Samuel n'alla plus voir Saül jusqu'au jour de sa mort; mais il était dans l'affliction à son sujet parce que l'Eternel avait décidé d'annuler ce qu'il avait fait en l'établissant roi sur Israël. » (1 Samuel 34-35)

Des années passèrent avant que cette sentence pour Saül ne fut exécutée, mais son destin était maintenant irréversiblement déterminé. Dans le chapitre suivant, Samuel oindra David comme le remplaçant de Saül.

Conclusion

Il y a une leçon à apprendre de la désobéissance de Saül, une que nous devrions tous retenir:

Obéissance Partielle est Vraiment Désobeissance

Saül était content de n’obéir les commandements du Seigneur que partiellement, supposant que Dieu trouverait ça acceptable. Les standards de Dieu sont inflexibles. Si nous n’obéissons pas les commandements de Dieu complètement, alors nous les avons désobéis. Ce genre de péché est si commun, et si communément accepté, que nous devrions nous arrêter pour réaliser combien de fois et de façon si flagrante c’est fait aujourd’hui, même par des Chrétiens. Nous nous excusons nous-mêmes en disant des choses comme « Bon, je ne suis qu’humain… » Quelques fois les gens diront quelques choses comme, « Et alors, même le roi David pécha. » Il est vrai qu’il pécha, et il souffrit les conséquences de sa désobéissance.

Souvent nous choisissons les commandements de la Bible, et même les commandements de notre Seigneur. Jésus dit à Ses disciples,

« 18 Alors Jésus s'approcha d'eux et leur parla ainsi:
   ---J'ai reçu tout pouvoir dans le ciel et sur la terre:

   19 allez donc dans le monde entier, faites des disciples parmi tous les peuples, baptisez-les au nom du Père, du Fils et du Saint-Esprit

   20 et apprenez-leur à obéir à tout ce que je vous ai prescrit. Et voici: je suis moi-même avec vous chaque jour, jusqu'à la fin du monde. » (Matthieu 28:18-20)

Il dit aussi:

« 15 ---Si vous m'aimez, vous suivrez mes enseignements. » (Jean 14:15)

« 10 Si vous obéissez à mes commandements, vous demeurerez dans mon amour, tout comme moi-même j'ai obéi aux commandements de mon Père et je demeure dans son amour. » (Jean 15:10)

Combien de commandements de notre Seigneur en fait pratiquons-nous ? Nous trouvons de nombreuses excuses pour ne pas faire ce qu’Il commanda. Cela devrait nous perturber profondément et nous rendre coupable. Mais nous sentons-nous coupables ? On nous dit de nous soumettre à l’autorité humaine, mais combien d’entre nous ignorons les limites de vitesse?

C’est juste le point que quelqu’un pourrait objecter, « Mais c’est le légalisme ! » No, ce ne l’est pas ! L’obéissance à tous les commandements de Dieu n’est pas du légalisme. Le Nouveau Testament a beaucoup à dire à propos du légalisme, mais nous ne pouvons pas entrer dans cette discussion ici. Jésus obéit complètement les commandements de Son Père. Fut-ce cela du légalisme ? Certainement pas.

« 17 ---Ne vous imaginez pas que je sois venu pour abolir ce qui est écrit dans la Loi ou les prophètes; je ne suis pas venu pour abolir, mais pour accomplir.

   18 Oui, vraiment, je vous l'assure: tant que le ciel et la terre resteront en place, ni la plus petite lettre de la Loi, ni même un point sur un i n'en sera supprimé jusqu'à ce que tout se réalise.

   19 Par conséquent, si quelqu'un n'obéit pas à un seul de ces commandements --- même s'il s'agit du moindre d'entre eux --- et s'il apprend aux autres à faire de même, il sera lui-même considéré comme «le moindre» dans le royaume des cieux. Au contraire, celui qui obéira à ces commandements et qui les enseignera aux autres, sera considéré comme grand dans le royaume des cieux.

   20 Je vous le dis: si vous n'obéissez pas à la Loi mieux que les spécialistes de la Loi et les pharisiens, vous n'entrerez pas dans le royaume des cieux. » (Matthieu 5:17-20)

« 41 Puis il se retira à la distance d'un jet de pierre, se mit à genoux et pria ainsi:

   42 ---O Père, si tu le veux, écarte de moi cette coupe! Toutefois, que ta volonté soit faite, et non la mienne. » (Luc 22:41-42)

« 46 Qui d'entre vous peut m'accuser d'avoir commis une seule faute? Si je dis vrai, pourquoi ne me croyez-vous pas?» (Jean 8:46)

« 8 Il s'abaissa lui-même
      en devenant obéissant,
      jusqu'à subir la mort,
      oui, la mort sur la croix. » (Philippiens 2:8)

« 7 Ainsi, au cours de sa vie sur terre, Jésus, avec de grands cris et des larmes, a présenté des prières et des supplications à celui qui pouvait le sauver de la mort, et il a été exaucé, à cause de sa soumission à Dieu.

   8 Bien qu'étant Fils de Dieu, il a appris l'obéissance par tout ce qu'il a souffert.

   9 Et c'est parce qu'il a été ainsi amené à la perfection qu'il est devenu, pour tous ceux qui lui obéissent, l'auteur d'un salut éternel:

   10 Dieu, en effet, l'a déclaré grand-prêtre dans la ligne de Melchisédek. » (Hébreux 5:7-9)

« 5 Voilà pourquoi, en entrant dans le monde, le Christ a dit:
      Tu n'as voulu ni sacrifice, ni offrande:
      tu m'as formé un corps.

   6 Tu n'as pris nul plaisir aux holocaustes, aux sacrifices pour le péché.

   7 Alors j'ai dit: Voici je viens
      --- dans le rouleau du livre, il est question de moi ---
      pour faire, ô Dieu, ta volonté. » (Hébreux 10:5-7)

Mes enfants, je veux vous parler sur obéir vos parents. Ce n’est pas de l’obéissance quand vous obéissez seulement à des instructions que vous aimez ou avec lesquelles vous êtes d’accord. L’obéissance est vraiment prouvée quand vous obéissez à des commandements que vous préféreriez désobéir. La vrai obéissance est l’obéissance complète, pas seulement faire ce qu’on nous dit de faire car nous le trouvons acceptable.

Je veux dire seulement une chose de plus sur le sujet de l’obéissance partielle. Saül chercha à excuser sa désobéissance en regardant ses circonstances comme étant exceptionnelles. Il excusa son refus d’attendre Samuel parce que c’était une situation urgente (une urgence qu’il avait créée). Son échec d’annihiler tous les Amalécites et leurs troupeaux fut aussi dû à des circonstances exceptionnelles. J’ai souvent entendu cet argument. « Je sais que Dieu est (en général) contre le divorce, mais mon Mari (ou ma femme) … », « Je sais que c’est mal de marier cette personne, mais je suis sûr que Dieu voudrais que je sois heureux (se) ». « Je sais que la Bible me dit que je devrais confronter celui qui a péché comme ça, mais c’est mon patron et il pourrait me virer ». Les urgences ne mettent pas les commandements de Dieu de coté, ou n’excusent pas notre désobéissance.

Ce que nous avons vu jusqu'à présent (et allons continuer à voir à travers le reste de l’Ancien Testament) est qu’aucun système humain de gouvernement ne marchera comme il devrait tant que les hommes en sont une partie. Les saints individuels comme Adam, Noé, Abraham, Jacob, et même Moïse échoueront. La période des Juges échoua à cause des « erreurs humaines ». À la fin, aucun système de gouvernement ne succèdera si de simples hommes sont impliqués. Le problème n’est pas autant avec ces systèmes qu’il ne l’est avec l’homme lui-même. Nous arrivons bientôt à voir que seul le monde parfait viendra quand il sera gouverné par Dieu et quand le péché cessera d’exister. Si nous supposons qu’avoir un roi changerait les choses, nous avons tort. Le Royaume de Dieu viendra quand le Roi Lui-même reviendra dans ce monde pour y régner. Jusque là, nous ne pouvons que prier,

« 10 que ton règne vienne,
      que ta volonté soit faite,
      et tout cela, sur la terre comme au ciel. » (Matthieu 6:10)


148 This is the edited manuscript of a message delivered by Robert L. Deffinbaugh, teacher and elder at Community Bible Chapel, on March 11, 2001.

149 Unless otherwise indicated, all Scripture quotations are from the NET Bible. The NEW ENGLISH TRANSLATION, also known as THE NET BIBLE, is a completely new translation of the Bible, not a revision or an update of a previous English version. It was completed by more than twenty biblical scholars who worked directly from the best currently available Hebrew, Aramaic, and Greek texts. The translation project originally started as an attempt to provide an electronic version of a modern translation for electronic distribution over the Internet and on CD (compact disk). Anyone anywhere in the world with an Internet connection will be able to use and print out the NET Bible without cost for personal study. In addition, anyone who wants to share the Bible with others can print unlimited copies and give them away free to others. It is available on the Internet at: www.netbible.org.

150 For a more thorough look at this psalm, see my exposition of 1 Samuel on the Biblical Studies Foundation Website at /docs/ot/books/1sa/deffin/1sam-02.htm.

151 See Proverbs 26:13.

152 It seems to me that the conjunction here must be translated as adversative, “but.” This is consistent with the flow of thought of the passage, and it is the way several other translations (e.g., the NIV) have rendered it.

153 As we can see from 1 Samuel 13:19-22, the Philistines would not allow the Israelites to manufacture or maintain any iron products. The garrison at Geba (and perhaps other garrisons elsewhere) would see to it that this technology embargo was observed. This would be something like the U.N. arms inspectors in Iraq (although I suspect that the Philistines were more successful).

154 It is interesting to recall that the people of Jabesh Gilead did not go to battle with the Benjamites in Judges 21:9. Did this in any way predispose Saul, a Benjamite, to come to their aid?

16. Une Lumière Dans des Jours Sombres

Le Livre des Ruth148

Introduction

Il y a plusieurs années, je me suis trouvé au milieu d’une dispute théologique concernant la dîme. Une église loin de chez nous cherchait à spécifier combien ses dirigeants devaient payer pour la dîme. Est-ce qu’un dirigeant devrait payer la dîme ? Et combien ? Est-ce que la dîme devrait être calculée sur le revenu net ou brut ? Quand je fus invité à donner mon opinion, j’ai sauté directement sur l’occasion, totalement convaincu d’avoir la réponse biblique. Je croyais que j’avais la bonne réponse du point de vue technique, mais mon attention fut alors dirigée sur le Livre de Ruth. Après considérer le message de ce grand petit Livre, et spécialement l’exemple de Booz, j’ai réalisé que mon approche complète à ce débat était fondamentalement mauvaise. J’ai dû écrire à un des hommes avec qui j’avais communiqué et leur dire que j’avais changé d’avis.

Ruth est un Livre des plus incroyables. Il n’a que quatre chapitres, mais il nous raconte une histoire des plus réconfortantes sur une veuve juive, sa belle-fille païenne, et un homme plus âgé avec un très grand cœur. Bien qu’elle soit courte, c’est une histoire très importante. Elle a des implications pour les anciens Juifs, et elle continue à avoir aussi beaucoup à dire aux saints d’aujourd’hui. Nous devrions bien écouter ce que ce Livre dit, demandant au Saint-Esprit d’ouvrir nos cœurs et nos esprits à son message.

L’histoire de Ruth se passe durant les jours sombres des Juges, les chefs (1:1). Le Livre des Juges est un Livre des plus troublants, car il décrit les jours où Israël n’avait pas de roi, et quand les hommes et les femmes agissaient d’eux-mêmes – ils/elles « faisaient ce que bon leur semblait ». Ils ne vivaient pas selon la loi, mais n’en faisaient qu’à leur tête et selon leurs envies. Nous lisons d’un cercle de péchés sans fin, de jugement divin, implorant l’aide de Dieu, une libération divine, puis ils retournaient à leurs péchés. Nous lisons à propos d’hommes faibles et de femmes fortes, d’un prêtre lévite à louer aux enchères, et d’un autre qui découpa sa femme en 12 morceaux, qu’il envoya aux tribus d’Israël. Dans ces jours sombres de l’histoire d’Israël, vivait là une veuve juive, une femme païenne nommée Ruth, et un homme juif charmant et pieux nommé Booz. Ils ont beaucoup à nous apprendre.

Avant d’aller plus loin, je dois dire un mot sur les Moabites. Ruth, l’héroïne de notre histoire, est une Moabite. Les Moabites étaient une race qui résultait de l’union de Lot et de sa fille aînée, décrit dans Genèse 19:30-38. Les Moabites n’étaient pas Cananéens. Bien que les Moabites furent interdits d’entrer dans l’assemblée du Seigneur jusqu'à la dixième génération (Deutéronome 23:3), les Israélites ne furent pas ordonnés de les annihiler, et ne furent pas ordonnés de ne pas se marier avec eux (Deutéronome 20:10-15 ; 21:10-14 ; contraste avec 7:1-6 ; 20:16-20). Vous vous rappellerez que quand David avait été poursuivit par Saul, il emmena ses parents chez le roi de Moab pour protection (1 Samuel 22:3). Au moins certains des Moabites étaient apparentés à David.

Mon approche de cette leçon sera de donner une brève vue d’ensemble de l’histoire du Livre de Ruth, puis de considérer chacun des trois caractères principaux. Finalement, nous chercherons à trouver la contribution de ce Livre à la Bible, et explorerons sa pertinence et son application pour les hommes et les femmes d’aujourd’hui.

L’Histoire du Livre de Ruth

Le Livre de Ruth commence avec une famine dans le pays d’Israël. Cette famine poussa Elimélek à quitter Israël avec sa famille et de séjourner temporairement à Moab. Elimélek sembla mourir relativement peu de temps après être arrivé à Moab. Elimélek et sa femme, Noémi, avaient deux fils. Chaque fils maria une femme moabite, et éventuellement, le deux fils moururent sans avoir d’enfants.

Noémi resta seule, avec ses deux belles-filles, Ruth et Orpa. Elle apprit que Dieu était intervenu pour Son peuple et qu’il y avait à nouveau du grain dans le pays d’Israël. Noémi décida d’y retourner, mais elle conseilla vivement à ses belles-filles de rester à Moab. Elle arriva à persuader Orpa de retourner chez ses parents, mais Ruth était déterminée à rester avec Noémi, quoi qu’il arrive. Elle ne put pas être persuadée du contraire, alors Noémi, avec Ruth, retourna dans le pays d’Israël.

Quand elles arrivèrent dans la ville de Noémi, Bethléhem, le peuple la reconnut immédiatement et était excité qu’elle soit revenue. Noémi leur raconta rapidement ses malheurs, attribuant ses problèmes à Dieu, qui semblait lui en vouloir, elle impliqua (1:20-22).

Immédiatement Ruth s’arrangea pour fournir ce dont Noémi avait besoin. Elle commença à glâner dans le champ voisin d’un homme qui « se trouva être » un parent proche d’Elimélek (2:3). Rapidement, Ruth attira l’attention des gens travaillant dans le champ parce qu’elle travaillait diligemment, ne s’arrêtant presque pas pour se reposer (2:7). Booz la remarqua aussi et s’arrangea pour que Ruth soit protégée et soit pourvue avec du grain à glâner car elle cherchait à prendre soin de sa belle-mère.

Noémi réalisa que Booz montrait beaucoup de gentillesse à Ruth, alors elle agit comme un marieur, cherchant à arranger le mariage de Ruth avec Booz. Noémi formula un plan où Ruth pourrait indiquer son besoin pour un mari et son désir de marier Booz. Le plan marcha, et Booz indiqua qu’il serait ravi de marier Ruth, excepté qu’il n’était pas son parent le plus proche. Booz rencontra le parent le plus proche de Ruth à la porte de la ville, lui donnant l’opportunité d’acheter la terre d’Elimélek, et d’acquérir Ruth comme épouse. Le parent proche était disposé à acheter la terre d’Elimélek mais ne voulait pas marier Ruth, alors Booz acquit à la fois la terre et Ruth. Ils se marièrent, et l’enfant que Ruth eut de Booz fut appelé Obed. Obed fut le grand-père de David.

Les Trois Caractères Principaux du Livre de Ruth

Noémi

J’ai autant à confesser à mes lecteurs que Noémi n’est pas un de mes caractères préférés de la Bible. Elle n’est certainement pas une héroïne, comme Ruth. Je la vois comme un genre de mélange de Jacob, Job, Jonas, et Esther. Noémi aurait pu facilement avoir mérité le titre d’une des « Mauvaises Filles de la Bible ». J’ai bien peur que beaucoup de Chrétiens aient été induits en erreur par certaines propagandes populaires qui cherchent à « sanctifier » Noémi. Permettez-moi de communiquer quelques-unes de mes inquiétudes à propos de Noémi.

Dans le chapitre 1, on nous dit que le mari de Noémi mourut, la laissant seule avec et ses deux fils (1:3). J’ai l’impression qu’Elimélek mourut peu de temps après qu’ils arrivèrent à Moab. Les garçons semblèrent se marier plus tard, après la mort de leur père. On nous dit qu’ils épousèrent des femmes moabites. J’en ai conclu qu’ils se marièrent après la mort de leur Père, et à une période où Noémi aurait fonctionnée comme chef de famille. Noémi arrangea ces mariages avec les femmes Moabites, ou elle les permit passivement et les accepta. Noémi et ses fils vivaient à Moab pendant à peu près dix ans (Ruth 1:4). Pendant toute cette période, Noémi ne fit apparemment pas d’efforts pour retourner en Israël alors que l’intention de son mari était de ne rester à Moab que pendant que la famine sévissait.

Quand Noémi décida finalement de retourner en Israël, c’était parce qu’elle avait entendu que Dieu avait fournit à nouveau du grain pour Son peuple. Aucune mention n’est faite que cette famine était la discipline de Dieu pour les péchés et l’idolâtrie d’Israël. Cela n’a aucun sens de penser que quitter Israël était quitter l’endroit spécial de la présence et de bénédictions de Dieu. Il n’y avait pas de désir apparent de retourner en d’Israël. Ses raisons pour retourner au pays semblaient plus pragmatiques que nobles.

Ce qui est troublant est que Noémi insiste que ses filles restent à Moab, et qu’elles trouvent des maris là. Encore pire est l’indifférence claire qu’elles devraient rester à Moab en tant que Moabites, vénérant les dieux de Moab:

« Noémi lui dit:
   ---Regarde: ta belle-sœur est partie rejoindre son peuple et ses dieux, fais comme elle: retourne chez les tiens! » (Ruth 1:5)149

Une personne ne peut pas savoir quels étaient les motifs de Naomi ici, mais si elle avait compris les maux de l’idolâtrie, elle aurait réalisée que pousser les belles-filles à rester à Moab et vénérer les dieux moabites étaient accablant.

Finalement dans le chapitre 1, Noémi rend Dieu responsable pour sa souffrance:

« 13 attendriez-vous qu'ils aient grandi et renonceriez-vous pour cela à vous remarier? Bien sûr que non, mes filles! Je suis bien plus affligée que vous, car l'Eternel est intervenu contre moi.» » (1:13, mon accentuation en gras)

« 20 Elle leur répondit:
   ---Ne m'appelez plus Noémi (L'heureuse), appelez-moi Mara (L'affligée), car le Tout-Puissant m'a beaucoup affligée.

   21 Je suis partie d'ici comblée, et l'Eternel m'y fait revenir les mains vides. Alors pourquoi m'appeler encore Noémi quand l'Eternel s'est prononcé contre moi et que le Tout-Puissant m'a plongée dans l'affliction? » (1: 20-21, mon accentuation en gras)

Quand Naomi retourna dans sa ville natale de Bethléhem, elle fut immédiatement reconnue et accueillie joyeusement. Il y a une ambiance de célébration joyeuse, mais rapidement Noémi « gâcha » la fête. Elle ne confessa pas ses péchés. Elle parla de Dieu comme Celui qui était tout-puissant, mais aussi Celui qui était cruel et capricieux. Dieu était la source de sa souffrance, qui n’a rien à voir avec ses péchés, ou avec les péchés de son peuple.

Dans le chapitre 2, nous voyons Ruth travaillant dur pour prendre soin de sa belle-mère et elle-même, mais on ne nous dit rien de Noémi allant glâner dans les champs. On pourrait avoir l’impression qu’Elimélek et Noémi étaient assez riches avant la famine (ils « étaient comblés » – 1:21). Est-ce que Noémi ne travaillait pas parce qu’elle était âgée et infirme ? Peut-être. Mais n’est-il pas aussi possible qu’elle ne fit pas comme Ruth faisait parce qu’elle pensait que c’était indigne d’elle, parce qu’elle était trop fière ? Bien des fois à Taiwan et ailleurs, je fus émerveillé combien les personnes âgées travaillaient dur pour aider à supporter leurs familles.

Dans le chapitre 3, les actions de Noémi soulèvent beaucoup de questions. Noémi décide d’arranger les choses pour que Ruth trouve un mari et un foyer. Plus que n’importe quoi, cela ne semble pas être une mauvaise idée. Mais sa méthode de le faire se réaliser est douteuse, au mieux. Premièrement, alors que certains ont cherché à montrer que la méthode de Noémi était une coutume familière de ces jours, je ne crois pas que c’était le cas du tout ici. Considérez les mots de Leon Morris:

« Nous ne connaissons que très peu de choses à propos des coutumes en vogue en Israël de l’antiquité et les arrangements pour les mariages soulignés ici ne sont confirmés nulle part ailleurs. »150 

« Le contexte rend clair que cela décrivait la façon par laquelle Ruth signifiait à Booz son désir de l’épouser. Des méthodes ordinaires d’approche étaient sans aucun doute difficiles et celle-là fournissait un bon milieu. Mais la raison pour laquelle cela devait être fait comme ça, nous ne savons pas. Ni savons nous si c’était ou non une coutume largement pratiquée. »151

Deuxièmement, Booz n’était pas le parent le plus proche d’Elimélek. Je doute beaucoup que Ruth savait cela avant que Booz ne l’informe du fait (3:12) ; mais Noémi le savait certainement. Alors pourquoi est-ce que Noémi chercha à arranger le mariage de Ruth avec Booz, plutôt qu’avec le parent le plus proche ?

Troisièmement, il semble bizarre que Ruth aurait été celle qui aurait proposée le mariage. Pourquoi Noémi ne demanda-t-elle pas à Booz s’il voulait prendre Ruth pour épouse ?

Quatrièmement, Noémi choisit un moment, un endroit, et une méthode d’approche pour faire appel à des désirs sensuels, plutôt qu’à un engagement raisonnable. Noémi ordonna à Ruth d’aller vers Booz pendant le battage, un temps joyeux de célébration. C’était dans une occasion similaire que Judas eut une liaison avec une femme qu’il croyait être une prostituée sacrée, mais qui était en fait sa belle-fille (Genèse 38:11-30). Noémi dit à Ruth d’aller avec Booz à la nuit tombée, après qu’il ait mangé et bu – en d’autres mots, aller coucher avec lui après qu’il ait assez bu pour que « son cœur soit très content ».

« 3 Lave-toi donc et parfume-toi, puis mets tes plus beaux habits et rends-toi à l'aire où il bat son orge. Mais ne fais pas connaître ta présence avant qu'il ait fini de manger et de boire. » (Ruth 3:3, mon accentuation en gras)

« 7 Booz mangea et but et il fut très content, puis il alla se coucher au bord du tas d'orge. Alors Ruth s'approcha tout doucement, elle écarta la couverture pour découvrir ses pieds et se coucha là. » (Ruth 3:7, mon accentuation en gras)

Quelqu’un pourrait supposer que je lis trop entre les lignes. Pas du tout ! Vous pouvez pratiquement voir la même expression (littéralement, « faire la fête » – être content) dans Juges 19:6, 9, où le Père de la femme offre une grande hospitalité à son beau-fils. Elle est utilisée avec Nabal, quand il devint ivre (1 Samuel 25:36). Nous la trouvons dans 2 Samuel 22:11,13, où David essaye d’intoxiquer Urie, pour qu’il rentre à la maison et couche avec sa femme, couvrant ainsi le péché d’adultère de David. Puis, il y a 2 Samuel 13:28 où Absalom ordonne ses serviteurs d’intoxiquer Amnôn et de le tuer. L’expression est aussi trouvée dans Esther 1:10 où le roi perse, en état d’ébriété, demande à ce que la reine apparaisse devant lui et ses chefs.

Cinquièmement, Noémi avait voulu que l’approche de Ruth vers Booz le charme au niveau physique:

« 3 Lave-toi donc et parfume-toi, puis mets tes plus beaux habits et rends-toi à l'aire où il bat son orge. Mais ne fais pas connaître ta présence avant qu'il ait fini de manger et de boire.

   4 Quand il se couchera pour dormir, note bien l'endroit où il s'installe, approche-toi, écarte la couverture pour lui découvrir les pieds et puis, couche-toi là. Il te dira alors ce que tu devras faire. » (Ruth 3:3-4)

Arrêtez-vous et pensez un peu à cela. Booz travailla dur à la moisson, et c’était l’heure de manger et de boire. Son cœur était gai, pas seulement à cause de l’occasion festive, mais à cause du vin qu’il avait bu. Une belle jeune femme vient et se couche près de lui, parfumée, portant sa plus belle sa robe. N’êtes-vous pas d’accord que c’est loin d’être une mise en scène platonique ?

Sixièmement, Naomi dit à Ruth que tout ce que Booz lui demande de faire, elle le fasse (3:4).

Maintenant, si quelqu’un trouve que mes suspicions vont un peu trop loin, permettez-moi de vous signaler comment Booz répondit. Il dit à Ruth que personne ne doit savoir qu’elle a été sur l’aire de battage (3:14). Si c’était une méthode ordinaire de proposer le mariage, alors pourquoi tout le monde ne comprendrait-il pas la présence et les actions de Ruth ? Pourquoi sa présence menacerait-elle la réputation de Booz, ou de Ruth ? Pas étonnant que Morris signale les dangers de l’approche que Noémi proposa:

Le narrateur utilise une délicatesse suprême, mais il est clair que le plan de Noémi n’était pas sans dangers. Le fait qu’elle était préparée à conseiller vivement ce plan à Ruth est la mesure de sa confiance en les deux participants. D'autant plus que ça arrive dans ancien Proche-Orient où les pratiques immorales aux temps des récoltes n’étaient en aucune façon rares, et apparaissent effectivement avoir été encouragées par les rites de fertilité pratiqués dans certaines régions.152

Je dois conclure de tous ces faits que Noémi cherchait à provoquer le mariage de Ruth d’une façon provocatrice et manipulatrice, plutôt que d’une façon pratique. A mon avis, cela ne dit rien de bien de Noémi.

Ruth

Je suis sur que quand nous lisons d’une « femme de noble caractère » dans Proverbes 31, nous avons tendance à penser à une femme juive. En lisant le Livre de Ruth, je pense à elle en tant que « femme de noble caractère », comme le « genre de femme du Proverbes 31 ». Ruth est surement une femme de noble caractère comme nous allons le voir.

Dans le chapitre 1, Ruth s’attache à Noémi, en dépit du fait que sa belle-mère lui conseille vivement de retourner chez ses parents, dans sa patrie, et vers ses dieux païens:

« 15 Noémi lui dit:
   ---Regarde: ta belle-sœur est partie rejoindre son peuple et ses dieux, fais comme elle: retourne chez les tiens!

   16 Mais Ruth lui répondit:
   ---N'insiste pas pour que je te quitte et que je me détourne de ta route; partout où tu iras, j'irai; où tu t'installeras, je m'installerai; ton peuple sera mon peuple et ton Dieu sera mon Dieu.

   17 Là où tu mourras, je mourrai aussi et j'y serai enterrée. Que l'Eternel me punisse avec la plus grande sévérité, si autre chose que la mort me sépare de toi! » (Ruth 1:15-17)

Noémi est une vieille femme amère, qui pense que son Dieu l’a mal traitée. Elle conseille vivement à Ruth de retourner dans son pays de Moab, chez ses parents, et à son dieu. Quelqu’un aurait pu penser qu’il aurait été tentant pour Ruth d’« obéir » sa belle-mère et de retourner chez elle. En effet, les paroles de Ruth sont quelques fois utilisées comme vœux matrimoniaux. Par sa promesse, Ruth se lie à Noémi, au pays d’Israël, et au Dieu d’Israël. Sa loyauté n’est pas de courte durée, jusqu'à la mort de Noémi. Le lien de Ruth à Israël et au Dieu d’Israël dure toute sa vie. Ruth dit à Noémi qu’elle restera en Israël après la mort de sa belle-mère. En fait, Ruth dit à Noémi qu’elle aussi sera enterrée avec sa belle-mère en Israël. Comme je comprends les paroles de Ruth, elle exprime sa conversion et sa promesse d’adorer Yahwé, le Dieu d’Israël pendant toute sa vie. De ces paroles de Booz, je crois qu’il comprit Ruth de la même façon:

« 11 Booz lui répondit:
   ---On m'a bien raconté tout ce que tu as fait pour ta belle-mère après la mort de ton mari. Je sais que tu as quitté ton père et ta mère et ton pays natal pour venir vivre chez un peuple que tu ne connaissais pas auparavant.

   12 Que l'Eternel te récompense pour ce que tu as fait et que le Dieu d'Israël, sous la protection duquel tu es venue t'abriter, t'accorde une pleine récompense! » (Ruth 2:11-12, mon accentuation en gras)

Dans le chapitre 2, c’est Ruth qui prend l’initiative de chercher le support de Noémi en glanant dans les champs. Ce n’est pas seulement une évidence du fait qu’elle était une bonne travailleuse ; c’est aussi une évidence de sa foi. Ce qu’elle proposait de faire était dangereux. Une belle jeune femme célibataire étrangère était vulnérable. Il y avait ceux qui n’hésiteraient pas à profiter d’elle (souvenez vous des hommes dans la ville de Guibea dans Juges 19). Le danger est évident par la façon dont Booz a cherché à la protéger:

« 8 Booz dit à Ruth:
   ---Ecoute bien, ma fille: Ne va pas glâner dans un autre champ; reste ici et suis mes servantes!

   9 Regarde bien où mes hommes moissonneront et suis les femmes qui ramassent les épis. J'ai interdit à mes serviteurs de t'ennuyer. Et si tu as soif, va boire aux cruches qu'ils ont remplies. » (Ruth 2:8-9 ; voir les commentaires de Noémi dans 2:22)

Booz avertit Ruth qu’elle ne devrait travailler que dans son champ, et qu’elle devrait travailler uniquement qu’à coté des ses employées. En plus, Booz avertit ses serviteurs de ne pas l’embêter ; en fait, ils ne devaient même pas lui faire de reproches (2:16). En dépit des risques, Ruth était disposée à travailler dans les champs, pour qu’elle puisse prendre soin de Noémi et d’elle-même.

Quand Ruth alla dans le champ de Booz pour glâner, elle travailla dur pendant toute la journée, ne se reposant que très peu. Les travailleurs de Booz l’informèrent:

« 7 Elle nous a demandé la permission de glâner les épis entre les gerbes derrière les moissonneurs. Elle est venue ce matin et, depuis, elle a été à pied d'œuvre jusqu'à maintenant et s'est à peine reposée un instant. » (Ruth 2:7)

Quand elle fut invitée à s’asseoir à la table de Booz et de ses serviteurs, elle garda un peu d’épis grillés pour sa belle-mère, plutôt que de les manger tous (2:14,18).

Bien que Ruth était une attrayante jeune femme, elle n’utilisa pas sa beauté pour séduire, mais était humble et sans prétention:

« 10 Ruth s'inclina jusqu'à terre, se prosterna et lui dit:
   ---Pourquoi m'accueilles-tu avec tant de faveur et t'intéresses-tu à moi qui ne suis qu'une étrangère ?... 

13 Ruth dit:
   ---Mon maître, tu m'accueilles avec tant de faveur que j'en suis réconfortée. Tes paroles me touchent, moi ta servante, bien que je ne sois pas même au rang de tes servantes. » (Ruth 2:10,13)

Quand nous arrivons au chapitre 3, nous voyons Ruth suivant docilement les instructions que Noémi lui avait données, agissant en foi et avec modestie et humilité. Elle n’était pas une séductrice. La réponse de Booz en est une qui concentre sur son caractère pieux:

« 10 ---Que l'Eternel te bénisse, ma fille, lui dit-il. Ce que tu viens de faire est une preuve d'amour envers ta belle-mère encore plus grande que ce que tu as déjà fait. En effet, tu aurais pu courir après les jeunes hommes, qu'ils soient pauvres ou riches. » (Ruth 3:10)

Dans l’ensemble, Ruth était regardée comme une femme noble et digne:

« 11 Maintenant, ma fille, ne t'inquiète pas: je ferai pour toi tout ce que tu demandes, car tous les gens de l'endroit savent que tu es une femme de valeur. » (Ruth 3:11, mon accentuation en gras)

« 14 Les femmes de Bethléhem dirent à Noémi:
   ---Béni soit l'Eternel qui ne t'a pas privée d'un soutien de famille! Que son nom devienne célèbre en Israël!

   15 Il te rendra une raison de vivre et prendra soin de toi dans tes vieux jours, puisque c'est ta belle-fille qui t'aime qui t'a donné ce petit-fils. Elle vaut mieux pour toi que sept fils. » (Ruth 4:14-15, mon accentuation en gras)

Boaz

Boaz est un homme des plus mémorables. Cela semblerait assez évident qu’il était un homme un peu plus âgé (3:10), et très riche. Il était aussi un homme d’intégrité et de grand caractère. Il y aurait des gens qui seraient enclins à penser que Booz montra du favoritisme envers Ruth principalement à cause de sa beauté. Je suis fortement en désaccord. A mon avis, Booz était bon et courtois envers tout le monde, et non pas uniquement envers Ruth. Nous pouvons voir qu’il y a un respect mutuel entre Booz et ses employés:

« 4 Un peu plus tard, Booz lui-même vint de Bethléhem et salua les moissonneurs en leur disant:
   ---Que l'Eternel soit avec vous!
   Ils lui répondirent:
   ---Que l'Eternel te bénisse! » (Ruth 2:4)

Quand il remarqua Ruth, Booz ne la vit pas comme quelqu’un de « disponible », mais comme quelqu’un qui est déjà promise:

« 5 Booz demanda au serviteur qui était responsable des moissonneurs:
   ---A qui est cette jeune femme ? » (Ruth 2:5)

Sa préoccupation pour Ruth est une préoccupation « paternelle ». Au moins deux fois (2:8 ; 3:10), Booz fait référence à Ruth l’appelant « ma fille », contrairement à « chérie », « cocotte » et autres. Booz reconnaît que Ruth est une femme de caractère, et qu’elle cherchait à prendre soin de Noémi. En conséquence, il la traita généreusement. Il la laissa s’asseoir à sa table et boire l’eau qui était pour ses serviteurs (2:9,14). Il prit d’autres mesures pour être sur que rien ne lui arrive (2:8-9,16). Il ordonna à ses employés de laisser quelques grains à glâner pour elle (2:15-16). Il était enchanté de son caractère pieux, sa fidélité à Noémi, et par le fait qu’elle croyait en le Dieu d’Israël. Il prononça des bénédictions de Dieu sur elle (2:11-12).

Le caractère pieux de Booz est particulièrement évident dans les chapitres 3 et 4. Booz agit honorablement envers Ruth quand il découvrit qu’elle était couchée à ses cotés, lui demandant symboliquement de l’épouser. Il ne profita pas d’elle. Il lui dit qu’il n’était pas son parent le plus proche, ne pouvant pas la marier avant d’avoir résolue cette question. Il protégea son honneur en la renvoyant avant que quelqu’un ne la voit. Dans le chapitre 4, Booz résout le problème publiquement à la porte de la ville. Il n’essaie pas du tout de déformer ou de falsifier la procédure, de dissuader le parent le plus proche d’acheter la propriété d’Elimélek et d’épouser Ruth. Tout ce qu’il fait est honnête et au-dessus de tout reproche.

Conclusion

Quelle histoire magnifique, réconfortante le Livre de Ruth est. Cependant, ce n’est pas juste une histoire romantique ; c’est une histoire avec des leçons pour Israël et pour nous. En concluant, considérons le sens et le message de ce Livre.

Premièrement, le Livre de Ruth nous donne la généalogie de David, une des plus célèbres généalogies des rois d’Israël de tous les temps. Leon Morris écrit:

Il est un fait intéressant que bien que David soit le plus grand roi connu dans les livres historiques, et bien qu’il soit vu par les générations suivantes comme le roi idéal, il n’y a aucune généalogie de lui dans 1 Samuel. Là, il y a simplement « le fils d’Isaï  ». Le Livre de Ruth finit avec la généalogie retournant jusqu'à Pérets, le fils de Juda. Il est suggéré que le Livre fut écrit pour fournir la généalogie manquante.153

Deuxièmement, nous voyons que peu importe comment sombres les jours deviennent, Dieu préserve toujours un reste juste. Quelques années plus tard, Elie pensa « qu’il avait été laissé seul » (1 Rois 19:10,14).

Le fait était que Dieu avait préservé 7000 qui « ne s’étaient pas agenouillés devant Baal » (1 Rois 19:18). C’est pendant les périodes de grande obscurité que la « lumière » de l’Evangile brille plus splendidement à travers les vies et les témoignages des saints:

« 10 si tu donnes ton pain
      à celui qui a faim
      et si tu pourvois aux besoins de l'opprimé,
      la lumière luira pour toi au milieu des ténèbres,
      et ton obscurité se changera pour toi en clarté de midi, » (Esaïe 58:10)

« 12 La nuit tire à sa fin, le jour va se lever. Débarrassons-nous de tout ce qui se fait dans les ténèbres, et revêtons-nous de l'armure de la lumière. » (Romains 13:12)

« 8 Autrefois, certes, vous apparteniez aux ténèbres, mais à présent, par votre union avec le Seigneur, vous appartenez à la lumière. Comportez-vous donc comme des enfants de la lumière --- » (Ephésiens 5:8)

« 15 pour être irréprochables et purs, des enfants de Dieu sans tache au sein d'une humanité corrompue et perverse. Dans cette humanité, vous brillez comme des flambeaux dans le monde,

   16 en portant la Parole de vie. Ainsi, lorsque viendra le jour du Christ, vous serez mon titre de gloire, la preuve que je n'aurai pas couru pour rien et que ma peine n'aura pas été inutile. » (Philippiens 2:15-16)

Troisièmement, nous sommes rappelés par notre texte que nos actions peuvent avoir un impact sur les générations futures. Les vies justes de Ruth et de Booz ne furent non seulement une bénédiction pour Noémi, elles furent une bénédiction pour toutes les générations suivantes. L’enfant né de Ruth et de Booz deviendra le grand-père du roi David (Ruth 4:18-22). Nous ne réalisons pas souvent combien nos décisions et nos actions pourraient impacter ceux qui viennent après nous.

Quatrièmement, Booz est une illustration de la « vraie religion ».

« 9 Quand vous ferez les moissons dans votre pays, tu ne couperas pas les épis jusqu'au bord de ton champ, et tu ne ramasseras pas ce qui reste à glaner.

   10 De même, tu ne cueilleras pas les grappes restées dans ta vigne et tu ne ramasseras pas les fruits qui y seront tombés. Tu laisseras tout cela au pauvre et à l'immigré. Je suis l'Eternel, votre Dieu. » (Lévitique 19:9-10)

« 17 car l'Eternel votre Dieu est le Dieu suprême et le Seigneur des seigneurs, le grand Dieu, puissant et redoutable, qui ne fait pas de favoritisme et ne se laisse pas corrompre par des présents.

   18 Il rend justice à l'orphelin et à la veuve et témoigne son amour à l'étranger en lui assurant le pain et le vêtement.

   19 Vous aussi, vous aimerez l'étranger parmi vous, car vous avez été étrangers en Egypte. » (Deutéronome 10:17-19)

« 19 Quand tu moissonneras ton champ, si tu oublies une gerbe dans le champ, ne retourne pas pour la ramasser, laisse-la pour l'immigré, pour l'orphelin ou la veuve, afin que l'Eternel ton Dieu te bénisse dans tout ce que tu entreprendras. » (Deutéronome 24:19)

« 17 Efforcez-vous de pratiquer le bien,
      d'agir avec droiture,
      assistez l'opprimé,
      et défendez le droit de l'orphelin,
      plaidez la cause de la veuve! » (Esaïe 1:17)

« 8 On te l'a enseigné, ô homme, ce qui est bien
      et ce que l'Eternel attend de toi:
      c'est que tu te conduises avec droiture,
      que tu prennes plaisir à témoigner de la bonté
      et qu'avec vigilance tu vives pour ton Dieu. » (Michée 6:8)

Quel homme remarquable Booz est. La Loi de Moïse lui ordonnait de laisser les bords de son champ non coupés, et de ne pas ramasser les gerbes d’orge qui tombaient aux bords du champ. Booz ordonna à ses serviteurs d’abandonner délibérément du grain pour que Ruth puisse les trouver. Booz fournit aussi de l’eau et de la nourriture pour elle. Il la traita comme une de ses employées. Il chercha à la protéger de ceux qui pourraient lui faire du mal ou l’abuser. Booz n’était pas un frère du mari décédé de Ruth, et à cause de ça comme je le vois, il n’était pas légalement obligé de la marier. Néanmoins, il le fit, en faisant plus que nécessaire dans presque tous les cas pour prendre soin de Noémi et Ruth.

Mon point dans tout cela est que Booz ne regardait pas à la loi comme une obligation qu’il devait faire à contrecœur, un peu de la même façon dont nous regardons payer nos impôts (nous n’avons pas l’intention de donner au gouvernement un centimes de plus que ce que la loi exige). Booz regardait la loi au standard minimum. Il considérait même une plus grande compassion et plus grande générosité comme étant son privilège, et son plaisir. Voilà un homme qui aimait la loi de Dieu, et qui vivait sa vie avec un esprit qui était ravi de servir Dieu et les autres.

Cinquièmement, le Livre de Ruth est un excellent commentaire sur la charité chrétienne. Quel contraste la charité de Booz est au bien-être de nos jours. Trop souvent, les aides sociales en fait découragent (ou même pénalisent) les bons travailleurs. Les aides sociales dégradent aussi les gens, plutôt que de leur fournir des moyens honorables d’obtenir ce dont ils ont besoin pour eux et leurs familles. Ruth ne fut pas donnée l’aumône ; elle fut donnée une opportunité de travailler, et elle l’a prit volontiers. Son travail dur lui apporta le respect de la communauté toute entière. C’est le genre de charité que nous devrions nous efforcer de pratiquer à nos loisirs.

La question avec laquelle j’ai un problème est celle-ci: « Dans notre âge technologique, qu’est-ce qui constitue le « bord de mon champ ? » Je ne suis pas un fermier, comme la plupart d’entre vous. Alors, comment pratiquer le principe de la charité d’une façon qui prend soin des besoins des pauvres, et pourtant d’une façon qui maintient (et même promeut) leur dignité ? C’est un vrai challenge, et la réponse pour chacun d’entre nous pourrait être un peu différente. Je réalise que pas tout le monde n’est capable de travailler, mais ceux-là sont la minorité. Pour ceux qui peuvent travailler, nous devrions leur faciliter le chemin. Il n’y a pas de réponses rapides et faciles ici, mais le principe est clair, et je crois que les réponses sont là pour ceux qui les recherchent sincèrement.

Sixièmement, le Livre de Ruth nous fournit un aperçu incroyable du rôle des païens dans le « drame de la rédemption de Dieu qui se déroule ». Booz était assez sensible pour réaliser qu’une femme païenne qui embrasse le Dieu d’Israël par la foi pourrait recevoir les bénédictions des Juifs. Cela est compris dans la bénédiction qu’il prononça sur Ruth dans 2:11-12. Ce fut pour cette raison que Booz n’avait aucune réservation pour marier Ruth et avoir des enfants avec elle. Grâce à cet aperçu et à la maturité de Booz, l’élévation d’un saint païen est achevée, à une certaine mesure par les gens de la ville:

« 11 Alors tous ceux qui se trouvaient à la porte et tous les responsables dirent:
   ---Oui: nous en sommes témoins! Que l'Eternel rende la femme qui entre dans ta famille semblable à Rachel et à Léa qui, à elles deux, ont donné naissance à tout le peuple d'Israël! Puisses-tu toi-même prospérer à Ephrata et devenir célèbre à Bethléhem!

   12 Que l'Eternel t'accorde, par cette jeune femme, une descendance aussi nombreuse que celle de Pérets, le fils que Tamar a donné à Juda. » (Ruth 4:11-12, mon accentuation en gras)

Il m’a fallu un moment pour voir cela, mais c’est assez évident une fois que vous le voyez. En bénissant Ruth, le peuple de Bethléhem fait référence à trois femmes, qui étaient toutes des étrangères d’un point de vue israélite. Rachel et Léa étaient parentes, mais pour obtenir ces femmes comme épouses, Jacob dut quitter Canaan et aller a Paddân-Aram, où il acquit Léa et sa jeune sœur Rachel. Sans le savoir Juda réalisa les devoirs d’un mariage de levirate quand il eut des relations sexuelles avec Tamar, sa belle-fille (Genèse 38). Le peuple de Bethléhem réalisa que Dieu avait béni Israël par ces femmes « étrangères », et ainsi il ne fut pas trop difficile pour eux de croire que Dieu bénirait Israël à travers Ruth. Et Dieu fit cela, d’une façon qui surpassa leurs plus grandes espérances. Ruth deviendrait l’arrière grand-mère du Roi David (Ruth 4:18-22).

Maintenant, nous avons vu Dieu « intégrer » un nombre de païens dans la lignée du « Messie » promis. Tout d’abord, nous voyons Rahab adoptée par Israël, à cause de sa foi (Josué 2:1 ; 6:17-25). En effet, Rahab était la femme de Salma, et la mère de Booz. Est-ce une partie de la raison pour laquelle Booz put adopter Ruth comme un membre de la famille de foi ? Si sa mère était une païenne, pourquoi pas aussi sa femme ? A part Rahab et Ruth, il y eut aussi Tamar, Léa, et Rachel. Dieu n’a pas exclu les païens de Son plan de rédemption, mais les a « intégrés » comme faisant partis de Son plan.

Septièmement, Noémi, Ruth, et Booz symbolisaient chacun une personne ou un groupe particulier. Noémi personnifia Israël d’une façon moins que flatteuse. Elle représente une attitude d’avoir droit à quelque chose, et elle était amère envers Dieu pour ne pas avoir été bénie. Elle ne semble pas de saisir la grâce de Dieu, et elle ne reconnaît certainement aucun péché de sa part. Elle semble ne pas être consciente de l’animosité de cette période, et du fait du jugement de Dieu. Elle quitta Israël avec son mari, mais n’y retourna pas avant plusieurs années, après que ses fils aient marié des femmes moabites. Sa raison pour retourner en Israël était qu’il y avait de nouveau de la nourriture là-bas. Noémi avait peu d’égard pour le bien-être spirituel de ses belles-filles. Elle essaya de les renvoyer dans leurs familles et à leur religion païenne. En cela, elle semble manifester un peu de l’esprit de Jonas. Elle est quelque peu manipulatrice, comme cela peut être vu dans la manière dont elle utilisa pour marier Ruth à Booz. En faisant cela, elle semble avoir un peu de Jacob dans son sang. Même si mon évaluation de Noémi est excessivement dure, il n’y a que peu de bonne choses à dire en sa faveur. Ce fut en dépit de ses échecs et de son amertume que Dieu déversa gracieusement ses bénédictions sur elle, et à un grand degré, à travers une païenne. Paul ne parle-t-il pas du salut des païens faisant parti du plan de Dieu pour sauver les Juifs (voir Romains 11:32) ?

Ruth est une illustration de ces païens croyants que Dieu greffa sur la « vigne » de Ses bénédictions de l’alliance (Jean 10:16 ; Romains 11:17). Elle ne revendique pas ces bénédictions, comme si elle les méritait, mais les accepte humblement comme une manifestation de la grâce de Dieu. Elle est un exemple d’une vraie Israélite, pas en vertu de ses ancêtres, mais par vertu de sa foi:

« 26 Maintenant, par la foi en Jésus-Christ, vous êtes tous fils de Dieu.

   27 Car vous tous qui avez été baptisés pour le Christ, vous vous êtes revêtus du Christ.

   28 Il n'y a donc plus de différence entre les Juifs et les non-Juifs, entre les esclaves et les hommes libres, entre les hommes et les femmes. Unis à Jésus-Christ, vous êtes tous un.

   29 Si vous lui appartenez, vous êtes la descendance d'Abraham et donc, aussi, les héritiers des biens que Dieu a promis à Abraham. » (Galates 3:26-29 ; voir aussi 3:7 ; 6:16 ; Romains 9:6 ; Philippiens 3:3)

Comme Dieu unit Ruth (une païenne) à Booz (un juif) par le mariage, Il a réconcilié les Juifs et les païens en Christ:

« 11 C'est pourquoi, vous qui portez, dans votre corps, la preuve que vous n'êtes pas des Juifs et qui donc êtes traités d'«incirconcis» par ceux qui se disent «les circoncis» à cause d'un rite accompli sur leur corps et par des hommes, rappelez-vous quelle était votre situation autrefois.

  12 En ce temps-là, vous étiez sans Messie, vous n'aviez pas le droit de faire partie du peuple d'Israël, vous étiez étrangers aux alliances conclues par Dieu pour garantir sa promesse, sans espérance et sans Dieu dans le monde.

  13 Mais maintenant, par votre union avec le Christ, Jésus, vous qui, autrefois, étiez loin, vous êtes devenus proches grâce au sacrifice du Christ.

  14 Car nous lui devons notre paix. Il a, en effet, instauré l'unité entre les Juifs et les non-Juifs et abattu le mur qui les séparait: en livrant son corps à la mort, il a annulé les effets de ce qui faisait d'eux des ennemis,

  15 c'est-à-dire de la Loi de Moïse, dans ses commandements et ses règles. Il voulait ainsi créer une seule et nouvelle humanité à partir des Juifs et des non-Juifs qu'il a unis à lui-même, en établissant la paix.

  16 Il voulait aussi les réconcilier les uns et les autres avec Dieu et les unir en un seul corps, en supprimant, par sa mort sur la croix, ce qui faisait d'eux des ennemis.

  17 Ainsi il est venu annoncer la paix à vous qui étiez loin et la paix à ceux qui étaient proches.

  18 Car, grâce à lui, nous avons accès, les uns comme les autres, auprès du Père, par le même Esprit.

  19 Voilà pourquoi vous n'êtes plus des étrangers ou des résidents temporaires, vous êtes concitoyens des membres du peuple de Dieu, vous faites partie de la famille de Dieu.

  20 Dieu vous a intégrés à l'édifice qu'il construit sur le fondement que sont les apôtres, ses prophètes, et dont Jésus-Christ lui-même est la pierre principale.

  21 En lui toute la construction s'élève, bien coordonnée, afin d'être un temple saint dans le Seigneur,

  22 et, unis au Christ, vous avez été intégrés ensemble à cette construction pour former une demeure où Dieu habite par l'Esprit. » (Ephésiens 2:11-22)

Booz est l’illustration de Dieu, et plus particulièrement de notre Seigneur Jésus Christ. C’est lui qui, comme Christ, accueille les païens dans la famille de foi (voir, par exemple, Luc 4:16-30), spécialement les versets 23-27). Il est le rédempteur de famille, qui « sauve » Noémi et Ruth en période de besoin. Comme Booz devint « un » avec Ruth, continuant la lignée du Messie promis, notre Seigneur Jésus devint chair humaine, devenant un d’entre nous dans notre humanité, pour que nous puissions devenir un avec Lui par la foi, et ainsi être sauvé. Booz mit de coté son propre intérêt (contrairement au parent le plus proche), pour qu’il puisse être une bénédiction pour ceux dans le besoin.

Huitièmement, Ruth et Booz exemplifient le genre d’amour loyal que nous devrions montrer envers ceux qui sont « désagréables ». Je l’ai dit assez clairement que je regarde Noémi comme étant une femme amère, qui blâme Dieu pour ses difficultés dans sa vie. Ce n’est pas le genre de personne dont vous ou moi aimerions être autour. Les joyeux commentaires des amis et voisins de Noémi sont dénigrés par sa réponse très négative (1:19-21). Si j’étais Ruth, j’aurais été tentée d’obéir ses instructions de l’abandonner et de retourner chez ma famille. Mais Ruth persévéra, pas parce que Noémi était si charmante (comme son nom suggèrerait normalement) ou adorable, mais à cause de son amour pour les gens désagréables. L’amour de Ruth pour Noémi n’était pas en réponse au charme de Noémi, mais en dépit de son amertume. Son amour fut provoqué par le besoin de Noémi.

L’endurance et la persistance de Ruth est absolument incroyable, non seulement pendant sa période, mais dans la nôtre. Combien de maris et de femmes se sont séparés à cause d’irritation avec leur compagnon ? Ruth n’avait aucune obligation légale envers Noémi, seulement l’obligation d’amour. Parce que Ruth resta loyale et fidèle à sa belle-mère, elle fut grandement admirée et grandement récompensée par Dieu.

Je me demande si vous, mes lecteurs, avez considérez vous séparer quand vous auriez du persévérer ? Qui est votre Noémi ? Cela pourrait être un ami, ou un parent (une belle-mère), ou même votre époux (se). Qu’est ce que le livre de Ruth a à vous dire à propos de persévérer? Je pense qu’il nous réprimande pour nos attitudes égoïstes et notre manque de disposition à aider les autres ou d’obligation à ceux autour de nous. Apprenons à endurer dans nos relations avec les autres, tout comme Dieu a persisté dans Sa fidélité à nous, même quand nous Lui sommes infidèles (voir 2 Timothée 2:13).

Neuvièmement, nous voyons que les péchés de Noémi n’ont pas empêché Ruth de croire en le Dieu d’Israël. Je sais que beaucoup de gens ont excusé leur incrédulité en signalant à un Chrétien témoignant et les accusant d’hypocrites. Noami était un exemple d’une Israélite à son pire, mais il y en avait d’autres, comme Booz, qui étaient des saints merveilleux. Aucun d’entre nous ne sera excusé pour être une Noémi, mais aucun incrédule ne sera épargné de la furie éternelle de Dieu parce que certains saints étaient des hypocrites. Les échecs de Noémi n’ont pas empêche Ruth d’avoir la foi. Ne laissez pas un hypocrite devenir votre excuse pour atterrir en enfer. Croyez en le Seigneur Jésus Christ, la seule provision de Dieu pour votre salut eternel. Leçon 19 – Israël Reçoit un Roi.154


148 This is the edited manuscript of a message delivered by Robert L. Deffinbaugh, teacher and elder at Community Bible Chapel, on March 4, 2001.

149 Unless otherwise indicated, all Scripture quotations are from the NET Bible. The NEW ENGLISH TRANSLATION, also known as THE NET BIBLE, is a completely new translation of the Bible, not a revision or an update of a previous English version. It was completed by more than twenty biblical scholars who worked directly from the best currently available Hebrew, Aramaic, and Greek texts. The translation project originally started as an attempt to provide an electronic version of a modern translation for electronic distribution over the Internet and on CD (compact disk). Anyone anywhere in the world with an Internet connection will be able to use and print out the NET Bible without cost for personal study. In addition, anyone who wants to share the Bible with others can print unlimited copies and give them away free to others. It is available on the Internet at: www.netbible.org.

150 Arthur E. Cundall, Judges, and Leon Morris, Ruth (Downers Grove, Ill.: Inter-Varsity Press, 1973 [reprint]), p. 284.

151 IBID, p. 287

152 Leon Morris, Ruth, p. 287.

153 Leon Morris, Ruth: An Introduction and Commentary; Judges Ruth (Downers Grove, Ill.: Inter-Varsity Press, 1973 [reprint]), p. 241.

154 This is the edited manuscript of a message delivered by Robert L. Deffinbaugh, teacher and elder at Community Bible Chapel, on March 11, 2001.

Related Topics: Law, Suffering, Trials, Persecution

15. Les Périodes Noires d’Israël

Le Livre des Juges148

Introduction

Il y a plusieurs années, je prêchais sur le Livre des Juges. Notre coutume était qu’un des hommes de notre église lise le texte des Ecritures et pour moi de prier avant mon sermon. Le texte était Juges 19. Ce texte est si triste que quelque chose arriva pour la première fois de ma carrière – ma requête de lire le texte biblique et de prier fut refusée. Remarquez, ce n’est pas arrivé qu’une seule fois ; cela arriva deux ou trois fois de plus, jusqu'à ce qu’un homme fut d’accord pour lire les Ecritures. Le dimanche matin, quand le moment fut venu de lire le passage, il dit quelque chose comme ça: « Je sais que c’est notre coutume de lire le texte et de prier, mais si cela ne vous dérange pas, j’aimerais prier avant de lire. »

Le Livre des Juges est un livre très déconcertant, et ce n’est pas non plus juste cet incident. Le Livre tout entier est pénible. Tout récemment, j’ai reçu un mail de quelqu’un concernant un autre passage. C’était un peu comme ça:

J’ai lu quelque chose dans la Bible qui me trouble vraiment, qui ébranla les fondations de ma foi. Je n’ai jamais pensé que je puisse lire que Dieu accepta un sacrifice humain. Je m’attendais à ce que Dieu allait arrêter Jephté et lui dire de ne pas sacrifier sa fille. Est-ce que c’est mentionné quelque part ailleurs dans la Bible ? Dieu approuva-t-il ? Comment est-ce que Dieu a-t-il pu permettre ça ?

L’auteur faisait référence à une autre histoire du Livre des Juges, où Jephté fit un vœu stupide:

« 30 Jephté fit un vœu à l'Eternel et dit:
   ---Si vraiment tu me donnes la victoire sur les Ammonites,

   31 je te consacrerai et je t'offrirai en holocauste la première personne qui sortira de ma maison pour venir à ma rencontre, quand je reviendrai en vainqueur de la bataille contre les Ammonites. » (Juges 11:30-31)149

Un peu plus tard dans l’histoire, nous lisons que la fille de Jephté sortit de sa maison pour venir à sa rencontre, et qu’il tint sa promesse, aussi stupide qu’elle était (Juges 11:39-40).

Le Livre des Juges décrit une période très sombre de l’histoire d’Israël, et pourtant les évènements de ce Livre arrivent très tôt après les « années d’or » de la « génération de Josué ». Ce n’est pas le genre de lecture que nous faisons pour notre plaisir, mais c’est une période importante dans l’histoire d’Israël, une période que nous avons besoin de comprendre, et de laquelle nous devrions apprendre des leçons importantes. Il est triste de dire que c’est une période qui était très similaire à nos jours, la rendant un message des plus pertinents pour nous. Ecoutons bien, et faisons attention au message que Dieu a pour nous dans ces pages difficiles.

La Structure du Livre des Juges

La structure de Livre des Juges est très simple:

Chapitres 1-3:6 Introduction à la période des Juges

Chapitres 3:7 – 16:31 Description du règne des Juges

Chapitres 17-21 Prologue: Deux histoires qui caractérisent la période des Juges

Comprendre le Livre des juges

Qu’est-ce qu’un juge ?

Quand nous arrivons à étudier le Livre des Juges, il est important que nous comprenions ce qu’un juge est, et n’est pas. A cette période en Israël, un “juge” n’était presque jamais une personne qui passait jugement sur certains cas, ou qui résolvait des disputes, bien qu’il y avait un tel rôle (voir Exode 18 ; Nombres 11). Débora avait un genre de rôle judiciaire (Juges 4:4-5), mais cela semble être plus lié à son rôle de prophétesse qu’à un des Juges d’Israël. Aucun des autres « juges » dans le Livre des Juges ne « jugea » vraiment dans le sens le plus commun du mot.

Les Juges ne furent pas un premier prototype des rois d’Israël. Les Juges étaient principalement « des libérateurs » de l’oppression des ennemis d’Israël. Quelques fois, ils agissaient indépendamment, comme le fit Samson, qui était un genre de « juge Lone Ranger ». Quelques-uns des Juges conduisirent les forces militaires d’une ou de plusieurs tribus contre leurs ennemis. Ces Juges ne menèrent pas les forces militaires du pays tout entier, mais seulement quelques-unes de ses sections. En règle générale, ils n’avaient aucune fonction administrative, qu’un roi aurait. Dieu nomma ces Juges spontanément, à cause de l’oppression d’Israël par leurs ennemis. Il n’y avait pas de succession, ni de dynastie. Normalement, les Israélites n’étaient pas opprimés tant que le juge vivait.

Le Livre des Juges et l’Alliance Avec Moïse

La clef de la compréhension du Livre des Juges est l’Alliance Mosaïque que Dieu avait conclue avec Son peuple, les Israélites. Les bénédictions et les malédictions de l’alliance Mosaïque sont d’abord établies dans Lévitique 26. Puis elles sont répétées en plus grand détails dans Deutéronome 28. Ces bénédictions sont résumées dans les versets 1 et 2:

« 1 ---Si vous écoutez attentivement la parole de l'Eternel votre Dieu et si vous obéissez à tous les commandements que je vous donne aujourd'hui, si vous les appliquez, alors l'Eternel votre Dieu vous fera devenir la première de toutes les nations de la terre[a].

  2 Si vous obéissez à l'Eternel votre Dieu, voici toutes les bénédictions dont Dieu vous comblera. » (Deutéronome 28:1-2)

Mais tout comme Dieu promit Ses bénédictions à ceux qui obéiraient Ses commandements, il y avait aussi des malédictions pour ceux qui désobéiraient:

« 15 ---Par contre, si vous n'obéissez pas à l'Eternel votre Dieu, si vous ne veillez pas à appliquer tous ses commandements et ses lois que je vous transmets moi-même aujourd'hui, voici quelles malédictions fondront sur vous:

   16 Vous serez maudits à la ville comme aux champs.

   17 La malédiction reposera sur votre corbeille à fruits et sur votre pétrin.

   18 Dieu maudira vos enfants et vos récoltes, et les portées de vos troupeaux de gros et de petit bétail.

   19 Maudits serez-vous dans vos allées et venues, au départ comme à l'arrivée. » (Deutéronome 28:15-19, voir aussi les versets 20-68)

Les derniers paroles de Josué aux Israélites répétèrent l’avertissement transmit plus tôt à Israël par Moïse:

« 9 Alors l'Eternel dépossédera en votre faveur des peuples nombreux et puissants; or, jusqu'à ce jour, personne n'a pu vous résister.

   10 Un seul d'entre vous en mettait mille en fuite, car l'Eternel votre Dieu combattait pour vous, comme il vous l'avait promis.

   11 Veillez donc sur vous-mêmes pour aimer l'Eternel votre Dieu!

   12 Car si vous vous détournez de lui et si vous vous associez au reste de ces peuples qui subsistent parmi vous, si vous vous alliez à eux par des mariages et si vous avez des relations avec eux,

   13 sachez bien que l'Eternel votre Dieu ne continuera pas à déposséder ces peuples en votre faveur. Alors ils deviendront pour vous des pièges et des filets, ils seront des fouets à vos côtés, et des épines dans vos yeux. Et vous finirez par disparaître de ce bon pays que l'Eternel votre Dieu vous a donné.

   14 Voilà que je m'en vais par le chemin que prend tout être humain. Reconnaissez de tout votre cœur et de tout votre être qu'aucune des promesses de bienfait que l'Eternel votre Dieu vous a faites n'est restée sans effet: elles se sont toutes accomplies pour vous, sans exception aucune.

   15 Eh bien, comme il a tenu toutes ses promesses de bienfaits, l'Eternel votre Dieu accomplira aussi toutes ses menaces contre vous, jusqu'à vous faire disparaître de ce bon pays qu'il vous a donné[c].

   16 Si vous violez l'alliance qu'il a établie pour vous et si vous allez rendre un culte à d'autres dieux en vous prosternant devant eux, l'Eternel se mettra en colère contre vous et vous disparaîtrez sans tarder de ce bon pays qu'il vous a donné. » (Josué 23:9-16, mon accentuation en gras)

L’Introduction du Livre des Juges: Juges 1:1 – 3:6

Dans Juges 1 et 2, nous trouvons une explication pour le déclin spirituel des Israélites. La chute d’Israël commence tôt après la mort du Josué. Quand le Livre de Josué finit, la génération de Josué meurt, alors, il appelle la génération suivante des Israélites à embrasser l’alliance que Dieu à conclue avec leurs ancêtres comme la leur. Il les appelle à décider qui ils allaient servir:

« 14 ---Maintenant donc, dit Josué, respectez l'Eternel et servez-le de façon irréprochable et avec fidélité. Rejetez les dieux auxquels vos ancêtres rendaient un culte de l'autre côté de l'Euphrate et en Egypte, et rendez un culte à l'Eternel seulement.

  15 S'il vous déplaît de servir l'Eternel, alors choisissez aujourd'hui à quels dieux vous voulez rendre un culte: ceux que vos ancêtres adoraient de l'autre côté de l'Euphrate ou ceux des Amoréens dont vous habitez le pays; quant à moi et à ma famille, nous adorerons l'Eternel. » (Josué 24:14-15, mon accentuation en gras)

En dépit de leur détermination exprimée de servir Dieu, Josué les avertit qu’ils ne pourraient pas tenir leur promesse. Ils ne pourraient simplement pas être fidèles aux normes d’un Dieu saint:

« Alors Josué dit au peuple:
   ---Vous ne serez pas capables de servir l'Eternel, car c'est un Dieu saint, un Dieu qui ne tolère aucun rival. Il ne tolérera ni vos révoltes ni vos péchés. » (Josué 24:19)

Il ne nous faut pas beaucoup de temps pour voir la vérité dans les paroles de Josué. Leurs réalisations commencent tôt dans le Livre des Juges, dans le chapitre 1. Bien que la force des Rois Cananéens fût détruite par Josué, il restait aux tribus individuelles à annihiler le reste des Cananéens du pays. Dans les chapitres 1 et 2, l’auteur fournit au lecteur une explication pour la chute de la nation, ainsi qu’une raison pour laquelle Dieu laissa les Cananéens dans le pays. Dans ces deux chapitres, nous observons la série suivante.

Numéro Un: Victoire Partielle

Les tribus de Juda et de Siméon eurent un certain succès (1:17), mais pas total (1:19). Les Benjaminites ne purent pas complètement déposséder les Yebousiens les laissant à Jérusalem:

« 19 L'Eternel lui-même était avec eux, et c'est ainsi que les hommes de Juda purent conquérir la région montagneuse. Ils ne réussirent pas à déposséder les habitants de la vallée, car ceux-ci disposaient de chars de combat bardés de fer.

   20 On attribua Hébron à Caleb, comme Moïse l'avait dit. Il en expulsa les trois descendants d'Anaq.

   21 Les descendants de Benjamin ne dépossédèrent pas les Yebousiens qui habitaient Jérusalem; ceux-ci y vivent encore aujourd'hui avec les Benjaminites. » (Juges 1:19-21)

Les hommes de Juda ne purent vaincre les gens vivant sur la plaine côtière, qui avaient les dernières technologies (charriots bardés de fer). Les hommes de Joseph firent raisonnablement bien (1:22-26). Mais le reste du chapitre 1 des Juges est l’histoire d’une victoire incomplète. Les hommes de Manassé (1:27-28), Ephraïm (1:29), Zabulon (1:30), Aser (1:31-32), Nephtali (1:33), et Dan (1:34-35) ne conquirent pas complètement et ne purent détruire les Cananéens dans leur pays. La victoire partielle sur les Cananéens voulait dire vivre avec eux, le pas suivant dans la spirale de la chute.

Numéro Deux: Coexistance avec l’Ennemi

Parce que les Israélites ne détruisirent pas complètement les Cananéens, ils durent coexister avec eux dans le pays. Dans certains cas, les Cananéens servirent d’esclaves, mais ils ne furent pas exterminés:

« 33 Les gens de Nephtali ne dépossédèrent pas les habitants de Beth-Chémech ni ceux de Beth-Anath. Ils s'installèrent au milieu des Cananéens qui habitaient le pays et ils soumirent à des corvées les habitants de ces deux villes.

   34 Les Amoréens refoulèrent les Danites dans la région montagneuse et les empêchèrent de descendre dans la vallée. » (Juges 1:33-34, mon accentuation en gras)

Numéro Trois: Coopération avec l’Ennemi

Quand une personne vit parmi un autre peuple, il devient « nécessaire » de faire des alliances et des associations officielles avec eux. Par exemple, nous trouvons que Héber le Qénien (un descendant du beau-frère de Moïse) devint un allie du roi Yabîn de Canaan (1:16 ; 4:11,17). Ce genre de coopération amena une réprimande divine:

« 1 L'ange de l'Eternel monta de Guilgal à Bokim et déclara au peuple d'Israël:
   ---Je vous ai fait sortir d'Egypte et je vous ai amenés dans le pays que j'ai solennellement promis à vos ancêtres. J'ai déclaré que je ne romprais jamais mon alliance avec vous.

  2 Et vous de même, vous ne conclurez pas d'alliance avec les habitants de ce pays et vous démolirez leurs autels. Or, vous ne m'avez pas obéi. Pourquoi avez-vous fait cela?

  3 Aussi ai-je résolu de ne pas déposséder les habitants du pays en votre faveur. Ils resteront pour vous des adversaires et leurs dieux seront un piège pour vous. » (Juges 2:1-3, mon accentuation en gras)

Officialiser les alliances avec les Cananéens devait les légitimiser ; cela devait reconnaître leur droit d’exister quand Dieu avait ordonné aux Israélites de les exterminer.

Numéro Quatre: Etre Corrompus par les Cananéens

« 6 Après que Josué eut renvoyé le peuple, les Israélites se rendirent chacun dans son patrimoine pour prendre possession du pays.

   7 Ils servirent l'Eternel pendant toute la vie de Josué et, après sa mort, tant que vécurent les responsables qui avaient vu toute l’œuvre de l'Eternel en faveur d'Israël.

   8 Josué, fils de Noun, serviteur de l'Eternel, mourut à l'âge de 110 ans.

   9 On l'enterra dans le domaine qu'il avait reçu pour propriété à Timnath-Hérès, dans la région montagneuse d'Ephraïm, au nord du mont Gaach.

   10 Tous ceux de sa génération disparurent à leur tour. Une nouvelle génération se leva, qui ne connaissait pas l'Eternel, et n'avait pas vu les œuvres qu'il avait accomplies en faveur d'Israël.

   11 Alors les Israélites firent ce que l'Eternel considère comme mal, et ils se mirent à rendre un culte aux dieux Baals.

   12 Ils abandonnèrent l'Eternel, le Dieu de leurs ancêtres qui les avait fait sortir d'Egypte, et se rallièrent à d'autres dieux, à ceux des peuples qui vivaient autour d'eux. Ils se prosternèrent devant ces dieux et irritèrent l'Eternel.

   13 Ainsi, ils abandonnèrent l'Eternel pour rendre un culte aux Baals et aux Astartés. » (Juges 2:6-13, mon accentuation en gras)

La chose dont laquelle Dieu avait si souvent et ardemment avertit les Israélites, les Israélites la firent. De simplement tolérer les Cananéens, les Israélites en vinrent à les imiter. Ils commencèrent par se marier avec eux et vénérer leurs dieux. La nation qui devait être sainte et rester séparée du mode de vie coupable des Cananéens embrassèrent les mêmes péchés qui ont amenés la colère de Dieu sur eux.

Numéro Cinq: La Discipline Divine

« 14 Alors l'Eternel se mit en colère contre les Israélites et il les abandonna aux violences de pillards qui les dépouillèrent; il les livra au pouvoir de leurs ennemis d'alentour, de sorte qu'ils ne furent plus capables de leur résister.

   15 Chaque fois qu'ils entreprenaient une campagne, l'Eternel intervenait contre eux pour leur malheur, comme il le leur avait déclaré, et même annoncé par serment. Ainsi ils furent réduits à la plus grande détresse. » (Juges 2:14-15)

Les malédictions de l’Alliance Mosaïque étaient maintenant exécutées contre le pays Israël. Les Israélites souffriraient maintenant une défaite militaire des mains (ou épées) de leurs ennemis. Dieu cesserait de faire pleuvoir pour leurs récoltes, et leurs troupeaux ne prospèreraient ou ne se reproduiraient plus. Ce que Dieu avait prévenu Il ferait, maintenant commença à arriver.

Numéro Six: La D2livrance Divine

« 16 Alors l'Eternel leur suscita des chefs qui les délivrèrent des pillards.

   17 Mais les Israélites n'obéirent pas non plus à ces chefs, ils se prostituaient avec d'autres dieux et se prosternaient devant eux. Ils s'écartèrent très vite du chemin qu'avaient suivi leurs ancêtres qui obéissaient aux commandements de l'Eternel; ils ne suivirent pas leur exemple. » (Juges 2:16-17, mon accentuation en gras)

En réponse à leur souffrance, les Israélites crièrent à Dieu pour les délivrer. Dieu, dans Sa grâce, fournit un libérateur, un juge, qui les délivrerait de l’oppression de leurs ennemis. Cette libération durait normalement tant que le libérateur était vivant.

Numéro Sept: Avancant dans l’Apostasie

« 19 Mais après la mort du chef, le peuple recommençait à se corrompre encore plus que les générations précédentes, en se ralliant à d'autres dieux pour leur rendre un culte et se prosterner devant eux; ils refusaient d'abandonner leurs pratiques et s'obstinaient dans leur conduite. » (Juges 2:19, mon accentuation en gras)

Quelqu’un espèrerait certainement qu’après un cycle douloureux de péchés, de jugement, et de soulagement, les Israélites auraient appris leur leçon et vivraient selon les commandements de Dieu. Ce ne fut pas le cas du tout. Après la mort de leur libérateur, les Israélites retournèrent vers leurs mauvaises habitudes. Ils n’ont pas seulement repris où ils avaient arrêtés ; ils devinrent encore plus diaboliques qu’avant. Leurs péchés s’aggravèrent. Les choses allèrent de mal en pis.

Laissés Derrière: Une Déclaration à But Divin (Juges 2:20–3:6)

« 20 L'Eternel se mit donc en colère contre Israël et déclara:
   ---Puisque ce peuple a violé l'alliance que j'avais conclue avec leurs ancêtres et qu'il ne m'écoute pas,

  21 désormais, je ne déposséderai plus devant eux une seule des nations qui subsistaient dans le pays à la mort de Josué.

  22 Elles me serviront à éprouver les Israélites pour voir si oui ou non ils suivent la voie que je leur ai prescrite et m'obéissent comme l'ont fait leurs ancêtres.

  23 L'Eternel laissa donc subsister, sans se presser de les déposséder, ces nations qu'il n'avait pas livrées au pouvoir de Josué.

1 Voici quelles nations l'Eternel laissa subsister pour mettre à l'épreuve les Israélites qui n'avaient pas participé aux guerres pour la conquête de Canaan.

  2 Il voulait que les nouvelles générations d'Israélites, qui n'avaient pas connu la guerre, apprennent ce qu'est la guerre.

  3 L'Eternel laissa donc dans le pays les cinq principautés philistines, tous les Cananéens et les Sidoniens, les Héviens qui habitaient la chaîne du Liban depuis la montagne de Baal-Hermon jusqu'à Lebo-Hamath.

  4 Ces nations servirent à éprouver les Israélites pour savoir s'ils obéiraient aux commandements que l'Eternel avait donnés à leurs ancêtres par Moïse.

  5 Ainsi les Israélites habitèrent au milieu des Cananéens, des Hittites, des Amoréens, des Phéréziens, des Héviens et des Yebousiens.

  6 Ils épousèrent leurs filles, donnèrent leurs propres filles à leurs fils et adorèrent leurs dieux. » (Juges 2:20–3:6)

Nous aurions tort de penser que Josué détruisit l’opposition cananéenne, puis laissa les opérations de « nettoyage » aux tribus individuelles. Comme nous le voyons dans les versets ci-dessus et du texte ci-dessous, Dieu avait un but pour laisser les Cananéens dans le pays:

« 20 De plus, il enverra contre eux les frelons pour faire périr les rescapés qui se seraient cachés pour t'échapper.

   21 Ne tremble pas devant eux, car l'Eternel ton Dieu qui est au milieu de toi est un Dieu grand et redoutable.

   22 C'est seulement petit à petit que l'Eternel ton Dieu chassera ces nations devant toi, tu ne pourras pas les éliminer d'un seul coup, sinon les bêtes sauvages se multiplieraient dangereusement chez toi.

   23 L'Eternel ton Dieu livrera ces peuples en ton pouvoir et les mettra en déroute, jusqu'à leur destruction totale.

   24 Il te livrera leurs rois, et tu feras disparaître leur nom de dessous le ciel; personne ne pourra te résister: tu les extermineras tous. » (Deutéronome 7:20-24, mon accentuation en gras)

Moïse dit aux Israélites que Dieu enlèverait les Cananéens petit à petit, parce qu’autrement les animaux sauvages envahiraient le pays. Je prends cela voulant dire que la population n’aurait pas été suffisante pour « dominer » ce pays, et ainsi il serait envahi par les animaux sauvages. Comme la population grandissait, les Israélites chasseraient les Cananéens, contrôlant ainsi le pays tout entier. Jusqu'à ce que cela arrive, les Cananéens seraient permis de rester.

Pourtant dans Juges 2, nous sommes donnés une autre raison pour laquelle Dieu laissa les Cananéens dans le pays pour quelques temps. C’était pour tester et éduquer Israël. Les Cananéens testeraient l’engagement d’Israël d’exécuter toutes les exigences de la loi de Dieu. Est-ce que les Israélites pourraient finir le travail que Josué avait si bien commencé ? Et est-ce que les Israélites resteraient séparés des Cananéens en ne prenant pas leurs femmes en mariage ou en ne vénérant pas leurs dieux ? Les Cananéens furent aussi laissés derrière pour instruire aux générations suivantes d’Israélites comment conduire une guerre sainte (3:2). Dieu ne voulait pas que les Israélites deviennent « mous ». Ils avaient besoin de devenir fort, pour qu’ils puissent défendre leurs frontières des nations environnantes. Les Cananéens faisaient partis d’une partie du programme d’entrainement et de tests.

La première génération d’Israélites fut testée par Dieu dans le désert, comme Moïse leur rappela:

« 1 ---Vous vous appliquerez à obéir à tous les commandements que je vous donne aujourd'hui, afin que vous viviez, que vous deveniez nombreux et que vous puissiez entrer dans le pays que l'Eternel a promis par serment à vos ancêtres et en prendre possession.

  2 N'oublie jamais tout le chemin que l'Eternel ton Dieu t'a fait parcourir pendant ces quarante ans dans le désert afin de te faire connaître la pauvreté pour t'éprouver. Il a agi ainsi pour découvrir tes véritables dispositions intérieures et savoir si tu allais, ou non, obéir à ses commandements.

  3 Oui, il t'a fait connaître la pauvreté et la faim, et il t'a nourri avec cette manne que tu ne connaissais pas et que tes ancêtres n'avaient pas connue. De cette manière, il voulait t'apprendre que l'homme ne vit pas seulement de pain, mais aussi de toute parole prononcée par l'Eternel.

  4 Le vêtement que tu portais ne s'est pas usé sur toi et tes pieds ne se sont pas enflés pendant ces quarante ans. » (Deutéronome 8:1-4, mon accentuation en gras)

Les Israélites ratèrent ces tests. Ils murmuraient et se plaignaient constamment à chaque fois qu’ils manquaient de quelque chose dont ils avaient besoin, ou qu’ils voulaient (comme de la viande). Ils étaient menés par leurs appétits charnels et non pas par un engagement de croire et d’obéir à Dieu en observant Ses commandements (voir 1 Corinthiens 10:1-13).

Cette génération échoua aussi à passer le test des Cananéens qui furent « laissés derrière ». Au lieu de rester séparés d’eux et de les chasser tous du pays, ils commencèrent à les marier et à vénérer leurs dieux (3:5-6). Et à cause de ça, Dieu laissa ces nations dans le pays pour discipliner les Israélites pour leur désobéissance.

Etudes de Quatre Cas: Débora et Baraq, Gédéon, Jephté, et Samson

L’auteur des Juges parle de la libération d’Israël par plus d’une douzaine de gens. Nous ne savons presque rien de six juges: Chamgar (3:31), Tola (10:1-2), Yaîr (10:3-5), Ibtsân (12:8-10), Elôn (12:11-12), et Abdôn (12:13-15). Les juges les plus importants dans le Livre sont Débora (et Baraq – chapitres 4 et 5), Gédéon (chapitres 6-8), Jephté (10:6 – 12: 7), et Samson (chapitres 13-16). Je me concentrerais donc sur ces quatre Juges, parce qu’ils réçurent des places de premier plan dans ce Livre.

Débora et Baraq (Juges 4-1 – 5:31)

Israël était opprimé par le roi Yabîn de Canaan, assisté par Sisera, le commandant de ses forces armées. Quand les Israélites implorèrent de l’aide, Dieu nomma Débora, la prophétesse (Juges 4:4). Les paroles de Débora à Baraq sont des plus intéressantes et instructives:

« 6 Un jour, elle envoya chercher Baraq, fils d'Abinoam, de Qédech en Nephtali, et lui dit:
   ---Voici ce que t'ordonne l'Eternel, le Dieu d'Israël: «Va recruter dix mille hommes dans les tribus de Nephtali et de Zabulon et conduis-les sur le mont Thabor. » (Juges 4:6)

La Bible NET transcrit la première partie de ce verset comme une question, tout comme la version King James ainsi que la version du New King James, et quelques autres. Il est possible, bien sur, que ce soit simplement un ordre. Mais une remarque dans la marge de la New American Standard Bible indique que cela puisse, en fait, être une question. Si cela doit être comprit comme la Bible NET l’a transcrit, alors le lecteur a l’impression que les mots d’instruction de Débora ne sont pas les premiers que Baraq ait entendus. Le lecteur pourrait facilement avoir l’impression que Dieu avait déjà ordonné Baraq de faire ce que Débora lui demanda. Cela soulignerait la peur et l’insécurité de Baraq, une peur qui lui provoqua de refuser d’attaquer Sisera et son armée à moins que Débora ne l’accompagne.

Dans un sens, Baraq a le droit de s’inquiéter. L’armée du roi Yabîn, sous le commandement de Sisera, a 900 chariots bardés de fer (Juges 4:13 ; voir aussi 1:19). La foi de Baraq était certainement faible. Bien qu’il fût ordonné d’attaquer les forces de Sisera par une prophétesse, Baraq ne voulait pas le faire seul. Ce n’était pas parce qu’il manquait de respect pour Débora, parce qu’il insista qu’il n’irait seulement à la guerre que si Débora allait avec lui. Elle n’était qu’une femme, pas un soldat, une épouse et mère, pas un génie militaire. Débora consentit à aller avec lui, mais indiqua que la victoire ne lui amènerait pas la gloire:

« 8 Baraq répondit à Débora:
   ---Si tu m'accompagnes, j'irai; mais si tu ne viens pas avec moi, je n'irai pas.

   9 ---Soit, lui répondit-elle, j'irai avec toi; mais sache que ce n'est pas à toi que reviendra l'honneur de l'expédition que tu vas entreprendre, car c'est entre les mains d'une femme que l'Eternel livrera Sisera.
   Débora se mit donc en route pour se rendre avec Baraq à Qédech. » (Juges 4:8-9)

Baraq va chez Yaël150

Barak et ses forces vainquirent l’ennemi, qui furent tous tués, excepté pour Sisera, qui s’enfuit à pied. Il courut jusqu'à ce qu’il soit complètement épuisé, puis il chercha refuge à la maison d’Héber le Qéniens, qui avait fait un traité avec le roi Yabîn que Sisera servait. Cependant, Héber n’était pas à la maison, seule sa femme, Yaël, l’était. Son allégeance était à juste titre avec le peuple de Dieu et non pas avec ce roi Cananéen et son commandant en chef.

Yaël reçut Sisera terrifié et épuisé dans sa tente. Il demande de l’eau, mais elle lui donne du lait chaud. Elle lui assure qu’il est en sécurité, puis le couvre d’une couverture pour qu’il puisse se reposer. Quand il s’endormit, Yaël s’agenouille près de lui avec un piquet de sa tente et un marteau, et lui transperça le crane, le tuant instantanément. Quand Baraq arriva, Yaël lui montra son trophée mort dans sa tente. Ce jour-là, le roi Yabîn fut humilié, ainsi que Baraq, parce que la victoire était vraiment due à deux femmes: Débora et Yaël.

Le cantique dans Juges 5 parle de Débora, Baraq, et Yaël et de la part qu’ils jouèrent dans cette victoire. Il honore aussi Dieu, qui était la vraie source de la victoire. On nous dit d’une façon poétique que Dieu utilisa toute la nature pour amener la défaite aux ennemis d’Israël:

« 4 O Eternel, lorsque tu sortis de Séir,
      lorsque tu t'avanças depuis les champs d'Edom,
      la terre se mit à trembler et le ciel se fondit en eau:
      les nuées déversèrent une pluie abondante.

   5 Devant toi, Eternel, les montagnes ont vacillé, devant le Dieu du Sinaï,
      oui, devant l'Eternel, Dieu d'Israël. » (Juges 5:4-5)

« 20 Dans le ciel, même les étoiles ont pris part au combat;
      du haut de leurs orbites, elles combattaient Sisera.

   21 Le torrent de Qichôn les a tous balayés,
      le torrent de Qichôn, celui des temps anciens.
      Marchons avec hardiesse! » (Juges 5:20-21)

Ce qui est de grand intérêt est que ce cantique souligne qui a participa ou ne participa pas à la bataille:

« 14 Ceux qui ont vaincu Amalec sont sortis d'Ephraïm.
      Benjamin t'a suivi, il est parmi tes troupes.
      De Makir sont venus ceux qui ont commandé,
      et de Zabulon ceux qui tiennent le bâton de commandement.

   15 Les princes d'Issacar ont rejoint Débora,
      et toute sa tribu sur les pas de Baraq
      s'est précipitée dans la plaine.
      Dans les rangs de Ruben, on a délibéré
      et discuté sans fin.

   16 Pourquoi es-tu resté au milieu des enclos,
      écoutant bêler les troupeaux?
      Dans les rangs de Ruben, on a délibéré
      et discuté sans fin!

   17 Galaad est resté au-delà du Jourdain,
      et Dan n'a pas bougé d'auprès de ses vaisseaux.
      Aser est demeuré près du bord de la mer
      et il s'est cantonné auprès des ports paisibles.

   18 Zabulon est un peuple qui a bravé la mort,
      et Nephtali aussi,
      sur les hauteurs, dans la campagne. » (Juges 5:14-18)

« 23 L'ange de l'Eternel dit: Maudissez Méroz;
      maudissez, maudissez ses habitants:
      ils ne sont pas venus prêter main forte à l'Eternel,
      prêter main forte à l'Eternel au milieu de ses braves. » (Juges 5:23)

Ayant dit que Débora, Baraq, et Yaël étaient mentionnés dans ce cantique, ce n’est pas Baraq qui est le grand héro de cette bataille, mais plutôt Yaël. Elle est celle dont les actions sont le plus soulignées. L’honneur va à Débora et à Yaël quand il aurait pu (et aurait dû) aller à Baraq. Néanmoins, Dieu donna la paix au pays pour 40 ans.

Voilà une victoire qui est moins qu’une victoire complète. C’est une victoire sur les oppresseurs d’Israël, une victoire que Dieu donna à Israël sur un ennemi puissant. C’est une victoire qui est à la fois douce et aigre. Pendant que quelques tribus ont relevé le challenge et combattirent avec et pour leurs frères, d’autres détournèrent simplement leur regard à leur grande honte. C’est pratiquement le mieux que ça sera dans le Livre des Juges et cela va devenir bientôt bien plus mal.

Gédéon, Homme Puissant de Valeur (Juges 6-8)

Une fois encore les Israélites sont coupables de pratiquer ce qui est mal à la vue de Dieu. Cette fois Dieu utilise les Madianites comme le bâton de réprimande. Alors, les Israélites implorent Dieu de les libérer, et Dieu leur envoya un homme nomme Gédéon. Un ange vint à Gédéon pendant qu’il était en train de battre le blé dans un pressoir à raisin (6:11). Normalement, une personne battrait le blé sur un terrain élevé où le vent emmènerait la paille. Gédéon ne pouvait pas faire ça parce qu’il serait alors en pleine vue des Madianites, qui viendrait voler le grain.

Je vois un gars apeuré battant son blé, regardant furtivement pour tous signes des Madianites. Cela semble certainement ironique qu’un ange vienne à Gédéon avec les mots,

« 12 L'ange de l'Eternel lui apparut et dit:
   ---L'Eternel est avec toi, vaillant guerrier! » (6:12)

J’ai pensé que l’ange a dû avoir des difficultés à garder un visage sérieux sans éclater de rire. Maintenant, je vois ces mots comme prophétiques. L’ange parla à Gédéon, pas comme il était à ce moment-la, mais selon ce qu’il serait dans l’avenir. Et de peur de trouver cela difficile à comprendre, c’est quelque chose comme la Parole de Dieu nous appelant « saints ». Ce que nous pourrions être (effectivement, nous le sommes), mais pas dû à aucune « sainteté » de notre part.

La réponse de Gédéon fut de demander à Dieu où Il était au milieu de la souffrance de Son peuple:

« 13 Gédéon lui répondit:
   ---De grâce, mon seigneur, si l'Eternel est avec nous, pourquoi tant de malheurs s'abattent-ils sur nous? Où sont donc tous ces prodiges que nos pères nous ont racontés en nous disant que l'Eternel nous a fait sortir d'Egypte? En réalité, l'Eternel nous a abandonnés et nous a livrés au pouvoir des Madianites. » (Juges 6:13)

La réponse de Dieu ne fut pas celle que Gédéon attendait ou voulait ! Dieu informa Gédéon qu’il amènerait maintenant la délivrance à Son peuple, à travers lui.

« 14 Alors l'Eternel se tourna vers lui et dit:
   ---Va avec cette force que tu as, et délivre Israël des Madianites. N'est-ce pas moi qui t'envoie? » (Juges 6:14)

Gédéon voulait l’assurance que c’était vraiment Dieu qui lui parlait. Il demande un signe (6:17) et l’obtient – l’ange enflamma l’offrande de Gédéon. En réponse, Gédéon construit un autel là pour le Seigneur.

Il semble que Dieu donna à Gédéon quelque heure pour réfléchir à ce qui venait d’arriver avant que l’ange revienne avec un autre challenge pour sa foi. (Jusqu'à maintenant, Dieu avait seulement dit d’une façon générale que Gédéon devrait délivrer son peuple).

Construire ce premier autel était un « petit pas » de foi pour Gédéon, mais maintenant Dieu demanda une plus grande foi et obéissance. Cette nuit même le Seigneur instruisit Gédéon de détruire l’autel de Baal et le poteau sacré que son Père avait érigés. Gédéon devait alors construire un autel pour le Seigneur à sa place et offrir un sacrifice. Il obéit, mais plus tard dans la nuit dans l’obscurité. Ce ne fut pas avant le matin que les hommes de la ville découvrirent ce qui était arrivé pendant la nuit et qui l’avait fait. Ils demandèrent que le Père de Gédéon mette son fils à mort, mais son Père refusa, insistant que Baal devait être assez puissant pour protéger ses propres intérêts. Bonne logique !

C’est une chose extraordinaire, n’est-ce pas, que le peuple de cette ville était impatient de voir Gédéon mis à mort pour sa vénération du Dieu d’Israël, et pour blasphémer Baal ? Ils auraient dû mettre le Père de Gédéon à mort pour construire un autel pour un dieu païen. A quelle vitesse les Israélites avaient chuté des « jours d’or » de la génération de Josué.

Ensuite, Dieu ordonna à Gédéon de déclarer la guerre aux nations orientales (6:33). Rendu courageux par l’Esprit de Dieu, Gédéon sonna une trompette, ordonna aux tribus des alentours de le suivre (6:34-35). Gédéon sentit le besoin d’une autre confirmation, et il requit deux signes. C’est le fameux signe de la toison de Gédéon. Premièrement, la toison devait être mouillée, mais le sol devait rester sec. Puis la toison devait être sèche, mais le sol autour devait être mouillé. Dieu accorda les deux requêtes et Gédéon est maintenant disposé à aller à la guerre.

Cependant, Dieu n’était pas encore prêt. Trente deux milles Israélites arrivèrent pour la bataille, et ce fut pour faire face à une armée de bien plus de 100 000 hommes (voir 8:10). Dieu savait qu’une armée de la taille d’Israël serait tentée de se créditer de la victoire. Alors, Il ordonna à Gédéon de renvoyer tous ceux qui avaient peur, deux-tiers de ses hommes. Même les 10 000 hommes qui restaient était toujours un nombre trop grand pour Dieu, alors Il diminua finalement les soldats israélites jusqu'à ce qui ne resta simplement que 300 hommes. Dieu savait que Gédéon aurait besoin d’un autre signe, alors, Il l’invita à aller au camp Madianite. Là, Gédéon entendit un soldat parler avec un autre, révélant la peur que les Madianites avaient de Gédéon et de son armée. Ce fut aussi encourageant pour Gédéon que Rahab le fut pour les deux espions, et les Israélites (voir Josué 2:8-11, 23-24).

La victoire initiale de Gédéon et de ses 300 hommes est une histoire extraordinaire. Il divisa ses 300 hommes en 3 groupes de 100 hommes. Il donna à chaque homme un cor et une cruche vide avec une torche à l’intérieur. Les 3 groupes encerclèrent le camp ennemi. Le texte nous donne à ce point un détail très spécifique:

« Peu avant minuit, Gédéon et les cent hommes de son groupe arrivèrent aux abords du camp. On venait juste de remplacer les sentinelles. Soudain, ils sonnèrent du cor et cassèrent les cruches qu'ils tenaient à la main. » (Juges 7:19, mon accentuation en gras)

Pourquoi nous dit-on que cela arriva au milieu de la nuit et que les sentinelles venaient juste d’être relevées ? Il était apparemment 22:00 heures. Puisque les gardes avaient juste été changés, les nouvelles sentinelles venaient juste de prendre leurs postes, et les autres gardes seraient en train de retourner à leurs tentes. En d’autres mots, ce fut le moment précis durant l’heure de nuit où il y aurait le plus grand nombre de soldats madianites éveillés dans le camp. C’est ma théorie151 que si les soldats israélites avaient des épées, ils ne les avaient pas en main. Comment pourraient-ils, tenant une cruche dans une main et un cor dans l’autre ? Après avoir sonné leurs cors, ils brisèrent les cruches, exposant les torches. Les Madianites paniquèrent et commencèrent à se tuer les uns les autres. Comment cela a-t-il pu arriver ? C’est mon avis que les cors surprirent l’armée déjà paniquée (7:20-21) et que la lumière les aveugla. Leurs yeux étaient accoutumés à l’obscurité, et ces lumières les aveugla, comme une biche dans les phares d’une voiture. Ils crurent qu’ils étaient attaqués, et ne pouvant voir très bien, ils commencèrent à embrocher tout ce qui bougeait. Les seuls qui se tenaient près d’eux étaient leurs camarades madianites. Les 300 soldats Israélites se tenaient à l’extérieur du camp, bien à l’écart des épées. Le plus les Madianites paniquaient (et étaient embrochés par leurs camarades-soldats), le plus ils combattaient – les uns avec les autres. La fin résulta en les Madianites se massacrant alors que les Israélites les observèrent stupéfaits à la lumière de leurs torches. Réalisant qu’ils se détruisaient (bien qu’ils ne savaient pas qu’ils se tuaient), les Madianites cherchèrent à s’échapper dans la nuit. Cela voulait dire qu’ils n’avaient pas toutes leurs armes et leurs réserves, les abandonnant pour Gédéon et ses hommes. Cela n’est peut-être pas arrivé précisément comme ça, mais je m’avancerais à dire que c’était probablement arrivé comme ça.

Il était temps maintenant pour leurs camarades Israélites de les joindre et de finir cette bataille:

« 23 Les hommes d'Israël se rassemblèrent, ceux des tribus de Nephtali, d'Aser et de tout Manassé s'unirent et se lancèrent à la poursuite des Madianites. » (Juges 7:23)

Cependant, les hommes d’Ephraïm furent indignés. Ils protestèrent qu’ils avaient été ordonnés très tard dans le conflit (7:24 – 8:1). Ce fut la réponse prudente et calme de Gédéon qui les apaisa (8:2-3). Ce ne fut que la première des réponses hostiles des hommes d’Ephraïm. Cependant, il y en eut d’autres hommes, qui ne collaboreraient pas du tout:

« 4 ---Lorsqu'il atteignit le Jourdain, Gédéon le traversa avec les trois cents hommes qui l'accompagnaient. Malgré leur fatigue, ils continuaient à poursuivre l'ennemi.

  5 Arrivés à la ville de Soukkoth, Gédéon dit à ses habitants:
   ---Donnez, je vous prie, des miches de pain aux hommes qui m'accompagnent, car ils sont épuisés et je suis à la poursuite des deux rois madianites Zébah et Tsalmounna.

  6 Mais les chefs de Soukkoth lui répondirent:
   ---Tiens-tu déjà Zébah et Tsalmounna en ton pouvoir pour que nous donnions du pain à ta troupe?

  7 ---Eh bien, riposta Gédéon, quand l'Eternel aura livré Zébah et Tsalmounna en mon pouvoir, je vous fouetterai avec des chardons et des épines du désert!

  8 De là, Gédéon se rendit à Penouél où il adressa la même demande aux habitants. Il reçut la même réponse qu'à Soukkoth

  9 et déclara aux gens de Penouél:
   ---Quand je repasserai, une fois le combat terminé, je démolirai cette tour. » (Juges 8:4-9)

Soukkoth et Penouél étaient deux villes israélites dans le territoire de Gad sur la côte est du Jourdain. Ainsi, une fois encore, certains Israélites n’étaient pas disposés à aider leurs frères qui étaient dans le besoin. L’unité entre les tribus d’Israël que nous voyons dans le Livre de Josué s’érode rapidement dans le Livre des Juges.

Après que Gédéon ait mit ses ennemis à la déroute, il retourna à Soukkoth et Pénouél, où il punit leurs chefs et les exécuta. Il détruisit aussi la tour de Pénouél. Gédéon tua les deux Rois ennemis, Zébah et Tsalmounna, et pris les ornements qui étaient aux cous de leurs animaux.

Les hommes d’Israël étaient si contents avec la direction de Gédéon qu’ils voulaient en faire leur roi, une offre que Gédéon refusa sagement. La triste nouvelle est que Gédéon profita de leur gratitude. Il leur demanda une partie du butin de guerre qu’ils avaient pris des Madianites. Ils la donnèrent volontiers à Gédéon, mais de ce butin Gédéon fit un éphod qu’il garda dans sa ville natale, et cet éphod devint un objet de vénération. De cette façon, le grand libérateur d’Israël devint un obstacle pour ses compatriotes israélites, leur causant de retomber dans l’idolâtrie qui amènerait le prochain cycle de discipline divine.

Jephté (Juges 10:6 – 12:7)

Passant au dessus d’un certains nombres de juges, nous arrivons à Jephté, une des grandes énigmes du Livre des Juges. Contrairement à Gédéon tôt dans sa vie, Jephté était un valeureux militaire. Il était aussi le fils d’une prostituée (11:1). Quand le demi-frère de Jephté grandit, ils le forcèrent de quitter sa famille, mais quand les Ammonites commencèrent à les opprimer, le peuple de Galaad lui conseilla vivement de revenir comme leur chef (11:15-16). Jephté dut d’accord, à condition qu’ils adresseraient ses doléances avec sa famille et les autres à Galaad. Puis, Jephté commença à négocier avec le roi ammonite. Nous n’aurons pas le temps d’étudier ce texte, mais l’échange entre Jephté et le roi ammonite est un excellent résumé de la lutte pour le pays d’Israël comme il est aujourd’hui (voir 11:12-28).

Quand les négociations échouèrent, Jephté conduisit les Israélites contre les Ammonites. Avant d’aller au combat, Jephté fit un stupide vœu:

« 30 Jephté fit un vœu à l'Eternel et dit:
   ---Si vraiment tu me donnes la victoire sur les Ammonites,

   31 je te consacrerai et je t'offrirai en holocauste la première personne qui sortira de ma maison pour venir à ma rencontre, quand je reviendrai en vainqueur de la bataille contre les Ammonites. » (Juges 11:30-31)

Jephté et son armée battirent les Ammonites, et quand ils retournèrent chez eux, sa fille courut pour l’accueillir. Par conséquent, Jephté réalisa son vœu imprudent concernant sa fille. Parce qu’il est si difficile de croire que ce père pourrait sacrifier sa fille, d’autres explications ont été suggérées, mais aucune ne laisse une personne avec une bonne impression à propos de ce père ou de son vœu.

Une fois encore, nous lisons d’une guerre avec les gens d’Ephraïm (8:1-3). Ils semblaient avoir été querelleurs. Ils se disputaient avec Jephté parce qu’il ne les avait pas appelés à participer à la bataille (pour qu’ils puissent partager la gloire ?). Le résultat final de ce conflit fut la guerre entre les forces de Jephté et les hommes d’Ephraïm (12:1-7). Les choses allèrent de mal en pis. Au début, les Israélites combattirent ensemble, contre de ennemis communs. Maintenant, ils luttaient entre eux.

Samson (Juges 13-16)

Comme avec Gédéon, beaucoup d’attention est portée sur Samson dans le Livre des Juges. Il est une figure spécialement importante. Tout d’abord, Samson est le dernier juge du Livre des Juges. Deuxièmement, Samson est une figure tragique, un homme totalement asservit par la chair. Troisièmement, Samson est une image du pays Israël. Je suis particulièrement endetté pour les commentaires d’Albert H. Baylis, dans son bon livre, From Creation to the Cross152:

Alors que Jephté libère Israël à l’est du Jourdain, Samson devient un juge à l’ouest (chapitres 13-16). L’auteur passe plus de temps sur Samson que sur aucun autre juge. Il fut choisi pour être juge avant sa naissance, alors ses débuts rivalisent avec ceux de Samuel, Jérémie, et Jean le Baptiste. Beaucoup devrait être certainement attendu de cet homme. Mais il est tristement décevant. Il néglige régulièrement la loi, se marie avec les philistines, et a recours à son pouvoir pour réaliser des actes de violence imprévus.

Pourquoi passer tant de temps sur l’échec de Samson ? Parce qu’il est l’apothéose du message du Livre des Juges. Sa vie correspond à celle même du pays. Samson, comme Israël, avait une vocation spéciale mais l’a désertée pour poursuivre ses propres désirs. Son pouvoir, bien que grand et conféré par Yahwé, n’a pas tenu ses promesses parce que sa vie fut marquée par l’infidélité à Yahwé et son mariage consanguin avec les nations du pays.

Je ne suis pas d’accord avec quelques-uns des commentaires de Baylis,153 mais je suis certainement d’accord avec ses pensées principales ici. Samson était le « fond de la barrique » en ce qui concerne être le libérateur d’Israël, et une personne devait être vraiment corrompue pour gagner cette honneur. Alors que d’autres libérateurs surmontèrent leurs débuts, Samson n’aurait pas pu être plus privilégié. Sa naissance et son ministère furent annoncés à l’avance d’une façon qui le met au niveau de Jean le Baptiste. Ses parents étaient des disciples fidèles et engagés pour Dieu. Ils étaient assidus à rechercher les conseils de Dieu en ce qui concernait comment ils devraient élever ce fils, et ils les suivaient aussi bien que possible. Ils élevèrent Samson comme un homme consacré, et pourtant il sembla mépriser son droit de naissance spirituel. Le seul indice de toute repentance et d’obéissance de sa part vint dans les derniers moments de sa vie. Effectivement, il était une figure dramatique.

Les faiblesses dans le caractère de Samson sont apparentes dans sa première romance avec une femme philistine dans le chapitre 14. Ici était une femme dont la seule qualité était son apparence, et c’était suffisant pour Samson. Samson fit des erreurs à chaque tournant, de manger du miel de la carcasse d’un lion mort à ne pas tenir compte des conseils de ses parents en ce qui concerne choisir son épouse. La future épouse dupa Samson à lui révéler le secret (la réponse à la devinette), parce qu’elle avait peur de ceux qui la menaçait si elle ne leur révélait pas l’information (14:15-17). Quand Samson réalisa qu’elle l’avait dupée, sous l’emprise de sa colère il frappa les Philistins. Il ne les détruisit pas au nom de ses compatriotes israélites, mais plutôt pour venger sa fierté blessée. Quand cette femme fut donnée à son témoin en mariage, Samson sous l’emprise de la colère les frappa à nouveau. Il était complètement égoïste. Quelle chose terrible de voir une personne rendue si puissante par l’Esprit de Dieu, et pourtant si dominée par la chair.

Quelqu’un pourrait espérer que Samson apprit sa leçon de ce premier désastre pour acquérir une épouse des Philistins, mais quand il rencontre Dalila, il répète sa folie à un degré qu’il est à nouveau amadoué à révéler à une femme étrangère ses secrets intimes (la source de son pouvoir). Cela amène à la captivité et la cécité de Samson. C’est seulement après que ses cheveux poussèrent et qu’il implora Dieu de lui rendre sa force qu’il fut capable de se venger en faisant écrouler le temple où il était exhibé.

Epilogue: L’Histoire des Deux Lévites (Juges 17-21)

Les derniers chapitres de Juges sont un épilogue. Au lieu de se concentrer sur les péchés du peuple, ou des Juges qui les délivrèrent, les cinq derniers chapitres examinent les vies de deux Lévites. Qu’est-ce qui arrive aux chefs religieux de la nation ? Nous allons voir que la direction religieuse ne tenait pas la nation responsable pour son péché, mais au lieu de ça, se complaisait dans les pistes brûlantes de conduite pécheresse. L’aspirateur spirituel auquel je fais allusion était impliqué dans les premiers chapitres des Juges. Dans les Juges 2:1-4, c’est un « ange » qui réprimande le pays pour ses péchés. A nouveau dans 2:20-32, Dieu parle. Seulement la prophétesse Débora (4:4) et un prophète non nommé (6:7-10) semblent avoir parlé pour Dieu dans le Livre des Juges. Où sont les prêtres ou les prophètes ? N’y a-t-il aucun homme qui défendra Dieu ? Apparemment non ! Comme Paul le dira plus tard,

« 19 J'espère, en comptant sur le Seigneur Jésus, vous envoyer bientôt Timothée pour être moi-même encouragé par les nouvelles qu'il me donnera de vous.

  20 Il n'y a personne ici, en dehors de lui, pour partager mes sentiments et se soucier sincèrement de ce qui vous concerne.

  21 Car tous ne s'intéressent qu'à leurs propres affaires et non à la cause de Jésus-Christ. » (Philippiens 2:19-21)

Les deux Lévites dans notre texte sont des hommes qui ne cherchent pas les intérêts de Dieu, ou les intérêts des autres, mais les leurs.

Des Prêtres Sans Emplois à Louer au Plus Offrant (Juges 17-18)

Quelle histoire incroyable. Le jeune prêtre, un lévite de Bethléhem, n’est jamais nommé, mais son patron – Mika – l’est. Mika était dans la région montagneuse d’Ephraïm. Il avait volé de l’argent de sa mère et l’avait entendu prononcer une malédiction sur le voleur. Il sembla avoir peur que la malédiction le pousserait à confesser. En réponse, sa mère prononça une bénédiction sur lui, puis dédia une partie de l’argent « pour le Seigneur » pour le bénéfice de son fils. Puis elle engagea un orfèvre pour faire une idole. Un endroit de culte fut construit dans la maison de Mika. Mika créa alors une collection d’idoles, incluant un éphod, et engage un de ses fils comme prêtre.

Il y avait un jeune Lévite qui habitait temporairement à Bethléhem, parmi le peuple de Juda. J’ai l’impression qu’il était sans emploi. (Avec le collapse spirituel de la nation, qu’est-ce qu’un prêtre pouvait faire ? Il serait comme un directeur de pompes funèbres dans un monde sans mort). Le jeune Lévite déménagea à la recherche d’un autre endroit pour vivre, et arriva dans la région montagneuse d’Ephraïm. Là, il trouva la maison de Mika, qui lui offrit rapidement un emploi comme son prêtre personnel (Quoi de mieux que d’avoir un Lévite comme son propre prêtre ?). C’était une offre que le jeune Lévite ne pouvait refuser. Mika était maintenant assurà, dans son esprit, que Dieu le bénirait:

« 13 Mika dit:
   ---Maintenant, je suis certain que l'Eternel me fera du bien, puisque j'ai pu avoir un lévite pour prêtre. » (Juges 17:13)

La tribu de Dan cherchait un endroit où s’installer, et ils envoyèrent cinq hommes pour explorer le pays. Dans leur voyage, ils arrivèrent à la maison de Mika, où ils passèrent la nuit. Quand ils entendirent le jeune prêtre parler, ils reconnurent son accent et surent qu’il n’était pas du pays. Il leur dit comment Mika l’employait comme son prêtre personnel. Apprenant qu’il était un prêtre, ils demandèrent qu’il cherche à obtenir une révélation divine concernant leur recherche d’habitation. Le jeune prêtre les assura du succès (Quel prêtre à louer ne le ferait pas ?), et ils continuèrent leur chemin.

Quand ces espions retournèrent chez eux, ils avaient de bonnes nouvelles à propos de Laïch, un endroit tranquille d’abondance qui était éloigné et sans défense. Les Danites allèrent alors vers Laïch, s’arrêtant chez Mika en chemin. En approchant la maison de Mika, les cinq espions informèrent les autres des idoles et de l’éphod, et du jeune prêtre. S’il allaient dévaliser Laïch, ils avaient autant voler aussi les idoles de Mika (L’éphod n’était-il pas l’instrument par lequel ils avaient appris leur destin ?). Ils discutèrent avec le jeune prêtre pendant qu’ils volaient les idoles. Quand le prêtre réalisa ce qu’ils faisaient, il les défia, mais fut rapidement réduit au silence. D’autre part, ils lui offrirent un meilleur travail, les servir avec les mêmes idoles comme leur prêtre. C’était une chance de promotion, et il accepta rapidement. Mika, qui avait été comme un père pour le jeune prêtre (17:10), protesta, mais il était surpassé en nombre et abandonna. Les Danites, accompagnés par le jeune prêtre, continuèrent vers Laïch, détruisant et s’installant dans la ville pour eux-mêmes. Là, ils vénérèrent la statue sculptée, alors même que le sanctuaire d’Israël pour vénérer était Silo (18:31).

L’histoire du Lévite est une fenêtre sur le caractère moral et religieux du pays Israël et de ses chefs spirituels. Ce prêtre ne fut pas engagé dans ses devoirs officiels, probablement parce que le pays avait cessé de vénérer Dieu selon la Loi. Au lieu de ça, « chaque homme faisait ce qui leur semblait bon ». Bien que sans travail, ce Lévite sembla se foutre quel « dieu » il servait, tant que la paye était bonne. Et si une meilleure offre se présentait, comme elle arriva, il oublierait alors ses engagements préalables et ferait ce que serait le mieux pour lui, d’après lui. Les chefs spirituels d’Israël étaient pourris à la source.

Un Regard à un Second Lévite (Juges 19-21)

Pour la troisième fois dans cet épilogue, nous lisons:

« 1 A cette époque où il n'y avait pas de roi en Israël, … » (Juges 19:1a, mon accentuation en gras)

L’histoire du second Lévite est alors racontée. Ce gars vivait temporairement dans la région montagneuse d’Ephraïm. Lui aussi semblait ne pas avoir de travail. Il n’est pas à l’ endroit légitime de vénération d’Israël – Silo (voir 18:31). Il avait acquis une femme de Bethlehem, mais elle le quitta et retourna chez son père à Bethléhem. Le Lévite la poursuivit, espérant la convaincre de revenir avec lui. Quand il arriva à la maison de son père, il fut bien accueilli, et sa mission réussit. Elle fut disposée à retourner avec lui. Ils seraient partis plus tôt, excepté pour l’hospitalité de son père. Jour après jour, il persuada son beau-fils de rester un peu plus longtemps, et son hospitalité valait bien la peine de rester.

Finalement le Lévite et sa femme purent quitter la maison du père de la femme et commencèrent leur voyage de retour. Ils ne partirent que tard dans la journée, et l’obscurité menaçait de tomber alors qu’ils étaient encore en route. Approchant Yébous (Jérusalem), le servant du Lévite voulait passer la nuit là. Puisque ce n’était pas une ville israélite à cette période là, le Lévite voulait continuer à voyager jusqu'à ce qu’ils soient sur le territoire israélite. Alors ils continuèrent jusqu'à ce qu’ils arrivent à Guibea, une ville sur le territoire de la tribu des Benjamins juste quelques kilomètres plus loin. Ils arrivèrent à la grand place de Guibea à la nuit tombée, où ils s’attendirent à être accueillis et invités dans une des maisons des Benjamins. Finalement, un homme âgé revenait des champs. Il n’était pas un Benjamin ; sa maison était dans la région montagneuse d’Ephraïm, mais il vivait temporairement à Guibea. Quand il vit le voyageur, il lui parla. Le Lévite expliqua qu’il avait beaucoup de provisions ; il avait seulement besoin d’un endroit pour passer la nuit. Le vieil homme l’invita chez lui pour la nuit, insistant qu’il lui fournirait la nourriture. Ils venaient juste de finir de manger quand les hommes de la ville vinrent frapper à la porte et insistèrent que le vieil homme mit le Lévite à la porte pour qu’ils l’attaquent sexuellement. C’était Sodome revécut (comparez Genèse 19:1-13).

Le vieil homme offrit sa fille vierge à la foule, avec la femme du Lévite. Les hommes de la ville refusèrent son offre, mais le Lévite saisit sa femme et la jeta dehors, où les hommes de la ville l’abusèrent toute la nuit. Au matin, le Lévite était prêt à reprendre la route. Quand il ouvrit la porte, il trouva sa femme étendue sur le sol, ses mains sur le seuil de la porte. Sans une note de compassion, le Lévite ordonna à sa femme de se lever pour qu’ils puissent partir. Il ne réalisa pas qu’elle était morte. Quand il le réalisa, il mit son corps sur son âne et l’emmena chez lui, où il découpa son corps en 12 morceaux, envoyant un morceau et un message à chaque tribu d’Israël. C’était évidemment un message choquant:

« 30 A tous ceux qui voyaient cela, les émissaires demandaient:
   ---A-t-on jamais vu un crime aussi horrible depuis que les Israélites sont sortis d'Egypte? Réfléchissez, consultez-vous, et prenez une décision! » (Juges 19:30)

Les hommes de la tribu de Benjamin refusèrent de traiter avec leurs frères entêtés de Guibea, et ainsi le reste des Israélites trouvèrent nécessaire de déclarer la guerre avec la tribu toute entière. Par les instructions du Seigneur, Juda conduisit la charge contre les 26 000 guerriers benjaminites. Les hommes de la tribu de Benjamins réussirent à tuer 22 000 Israélites le premier jour de la bataille. Les Israélites pleurèrent devant le Seigneur à cause de leurs pertes et demandèrent s’ils devraient continuer leur attaque. Le Seigneur les instruisit d’attaquer, mais les Gabaonites tuèrent 18 000 Israélites ce jour là. L’armée entière d’Israël alla à Béthel où ils jeûnèrent et pleurèrent devant le Seigneur. Ils offrirent des sacrifices au Seigneur et demandèrent à nouveau s’ils devaient continuer à attaquer. Le Seigneur leur dit d’attaquer à nouveau, mais cette fois Il leur assura de la victoire (20:28). Les Israélites se mirent en embuscade et feignirent la défaite,154 pour que les Benjaminites poussent leur attaque, laissant la sécurité de la ville. Alors les forces battant en retraite firent demi-tour et attaquèrent. La bataille fut très violente, mais quand le jour se termina plus de 25 100 guerriers Benjaminites étaient morts. L’armée benjaminite fut décimée. Seulement 600 soldats survécurent et s’enfuirent dans le désert. Alors les Israélites détruisirent complètement les villes benjaminites, tout comme ils avaient annihilé les Cananéens (20:48).

Les Israélites prêtèrent aussi serment ce jour de ne permettre à aucune de leurs filles de marier un homme benjaminite (21:1). Ce fut peu de temps après que l’ampleur de cette tragédie commença à les pénétrer et les Israélites regrettèrent le fait qu’une de leurs tribus avait presqu’été annihilée. Le lendemain les Israélites offrirent un sacrifice au Seigneur, puis cherchèrent à trouver une façon de sauver cette tribu de la disparition. Ils se renseignèrent à propos de qui n’avaient pas été à la guerre contre les Benjaminites, et ainsi qui n’avaient pas prêté serment de ne pas donner leurs filles en mariage aux Benjaminites. En bref, les Israélites se repentaient de leur zèle de traiter avec la méchanceté des Benjaminites.

Le peuple de Yabéch Galaad ne s’était pas rassemblé pour combattre leurs camarades israélites contre les Benjaminites (21:8-9). En conséquence, 12 000 guerriers israélites furent envoyés pour exterminer les hommes, femmes, et enfants de Yabéch Galaad pour ne pas participer au conflit avec les Benjaminites. Seules les femmes vierges furent épargnées, pour servir comme femmes pour les Benjaminites survivants. Quatre cent jeunes femmes furent épargnées, et elles furent emmenées à Silo. Des messagers furent envoyés aux 600 Benjaminites survivants pour les assurer qu’ils ne seraient pas blessés ou tués. Les 400 jeunes femmes leur furent données comme épouses. Ils conçurent aussi un plan pour organiser un festival à Silo, pour que les Benjaminites puissent être donnés l’opportunité de kidnapper quelques unes des jeunes femmes de Silo et les épouser (21:19-21). C’était en quelque sorte une bonne fin pour le récit d’une période tragique de l’histoire d’Israël. A la fin, les Israélites ne sont pas meilleurs que les Cananéens qu’ils devaient déposséder.

Conclusion

Nous n’aurons pas le temps de montrer toutes les ramifications pratiques et les applications de ce Livre incroyable. Cependant, je ferais quelques commentaires généraux et suggérerais quelques thèmes cruciaux pour réfléchir et étudier un peu plus.

Premièrement, nous devrions reconnaître la contribution unique du Livre des Juges au canon des Ecritures. Voilà un Livre qui décrit une période tragique de l’histoire d’Israël, une période de transition entre la possession du pays sous le commandement de Josué et l’institution de la monarchie de 1 Samuel 8 et suivant. La répétition de la phrase, 

« En ces temps-là, il n'y avait pas de roi en Israël… » (17:6 ; 18:1 ; 19:1 ; 21:25)

Cela implique que si Israël avait eu un roi, les choses auraient pu être différentes. Israël ne profita de la paix seulement pendant la vie de leur Juge ou libérateur. S’il y avait eu un roi, avec des fils pour lui succéder, il n’y aurait pas eu un manque de chef. Peut-être c’était la clef de la paix. Bien sur, nous allons apprendre le contraire, mais le Livre des Juges aide à préparer le lecteur à accueillir un roi. Sans un roi, Israël ne marcha pas très bien pendant les jours de Juges.

Deuxièmement, je trouve nécessaire d’accentuer le fait que le livre des Juges n’est pas l’endroit pour trouver des hommes et des femmes dont nous devrions suivre les exemples. En règle générale, les libérateurs d’Israël ne sont pas des gens que nous devrions chercher à imiter. Samson n’est ni un fils modèle, ni un chef modèle. Il n’est certainement pas un modèle pour « Comment Trouver une Femme Pieuse ». Nous ne sommes pas encouragés à suivre l’exemple de Gédéon et de constamment rechercher des signes. Bien que j’ai un grand respect pour Débora, je recommanderais que vous fassiez bien attention si vous cherchez à utiliser l’histoire de Débora et Baraq comme preuve pour que les femmes s’affirment comme des leaders à la place d’hommes. Il est clair dans ce Livre que le rôle de direction de Débora (que je ne nie pas, et dont j’admire et respecte le caractère) dans les Juges représente une réprimande aux hommes qui ont échoué à diriger. Je voudrais aussi signaler que Débora refusa de conduire l’armée, et à la fin, ce fut les hommes qui assumèrent le commandement.

Il y a plusieurs thèmes qui dominent le Livre des Juges. Permettez-moi d’en mentionner quelques-uns et de faire quelques suggestions pour plus de considérations.

UNITE. Je trouve dans le Livre des Juges que le plus longtemps les Israélites vivent parmi les Cananéens, le plus intimes leurs associations deviennent avec ces Cananéens. Les Israélites deviennent de plus en plus comme les Cananéens et de plus en plus unis avec eux. Ils commencèrent à se marier avec eux, et ils embrassèrent la vénération de leurs idoles. De certaines façons (comme dans la perversion des Gabaonites – chapitre 19), ils surpassèrent même les Cananéens en impureté. Cela me rappelle des mots de Paul aux Corinthiens en ce qui concerne les péchés trouvés dans l’église de Corinthe:

« 1 On entend dire partout qu'il y a de l'immoralité parmi vous, et une immoralité telle qu'il ne s'en rencontre même pas chez les païens: l'un de vous vit avec la deuxième femme de son père!    

  2 Et vous vous en vantez encore! Vous devriez au contraire en être vivement affligés et faire en sorte que l'auteur d'un tel acte soit exclu du milieu de vous. » (1 Corinthiens 5:1-2)

L’unité des forces Israélites, sous le commandement de Josué, se désintégra rapidement dans le Livre des Juges. Alors que les Israélites poursuivaient l’unité avec les Cananéens (par exemple, le traité d’Héber155 avec le roi Yabîn), leur unité des uns avec les autres fondit. Au début du Livre, Juda fit équipe avec Siméon, et ils furent victorieux (1:3). Quand nous arrivons à Débora et Baraq, le cantique de victoire (Juges 5), nous voyons certaines tribus honorées pour participer à la bataille et d’autres réprimandées pour ne pas les joindre (5:14-18,23). Quand Gédéon combattit les Madianites, les hommes d’Ephraïm se plaignirent qu’ils avaient été exclus (8:1). Les Israélites de Soukkoth (8:5-7) et Pénouél (8:8-9) refusèrent de donner de l’eau et de la nourriture aux hommes de Gédéon. Dans le chapitre 9, Abimélek tua ses frères, et dans le chapitre 12, les Israélites sous le commandement de Jephté durent combattre les hommes d’Ephraïm. Finalement, le pays tout entier fut ordonné de déclarer la guerre à la tribu de Benjamin.

LA PAROLE DE DIEU NEGLIGEE. C’est la période quand les hommes négligent et désobéissent la Parole de Dieu. « Faire ce qu’ils voulaient faire » est synonyme de ne pas tenir compte de la loi de Dieu:

« 1 ---Voici les ordonnances et les lois auxquelles vous obéirez et que vous appliquerez dans le pays que l'Eternel, le Dieu de vos ancêtres, vous donne en possession, aussi longtemps que vous y vivrez.

  2 Vous ferez totalement disparaître tous les lieux où les nations que vous allez chasser ont adoré leurs dieux, sur les sommets des hautes montagnes et des collines et sous tout arbre verdoyant.

  3 Vous démolirez leurs autels, vous briserez leurs stèles sacrées, vous brûlerez leurs pieux sacrés, vous mettrez en pièces les idoles de leurs dieux et vous effacerez leur souvenir de cette contrée.

  4 Vous agirez tout autrement à l'égard de l'Eternel votre Dieu.

  5 L'Eternel votre Dieu choisira un lieu au milieu des territoires de toutes vos tribus pour y établir sa présence et pour en faire sa demeure; c'est là seulement que vous irez l'invoquer.

  6 Là, vous apporterez vos holocaustes et vos sacrifices, vos dîmes et vos offrandes prélevées sur le fruit de votre travail, celles que vous ferez pour accomplir un vœu, vos dons spontanés et les premiers-nés de votre gros et de votre petit bétail.

  7 Là aussi, vous prendrez vos repas cultuels en présence de l'Eternel votre Dieu, et vous vous réjouirez, vous et vos familles, de tous les produits de votre travail par lesquels l'Eternel votre Dieu vous aura bénis.

  8 Vous n'agirez donc plus comme nous agissons ici aujourd'hui, où chacun fait ce qui lui semble bon. » (Deutéronome 12:1-8)

Les hommes de la ville de Gédéon étaient prêts à l’exécuter pour obéir Dieu, pendant qu’ils cherchaient à protéger et préserver la vénération de Baal.

L’esprit de cet âge était un esprit d’autonomie personnelle et une rébellion forte contre les lois de Dieu. Il est effrayant de réaliser combien notre culture d’aujourd’hui est semblable à cette période. Par exemple, c’est maintenant un « droit » chéri d’une femme d’être souveraine sur son corps. Cela s’applique à sa conduite sexuelle (comme pour les hommes – homosexuel ou hétérosexuel). Cela s’applique aussi aux meurtres de l’enfant pas encore né. La loi Roe contre Wade de la Cour Suprême était basée sur le principe de l’intimité de l’autonomie personnelle. « Il n’y a pas d’autorité (de loi) aujourd’hui, et chaque homme et femme fait ce qui est juste à leurs propres yeux, incluant le meurtre de leurs enfants innocents pas encore nés. »

VIOLENCE. Ce Livre est rempli de violence de toutes sortes. Je ne doute pas que certains parents seraient mal à l’aise avec leurs enfants lisant certaines parties de Livre des Juges. La violence peut-être la plus horrible du Livre est trouvée dans le chapitre 19, où le Lévite donne sa femme aux hommes de la ville de Guibea pour être violée, et puis il découpe son corps mort et l’envoie à ses compatriotes israélites. Cela ne semble-t-il pas être presque inconcevable ? Et pourtant cela arrive pratiquement quotidiennement dans notre pays, avec très peu de protestations. Ça s’appelle l’« avortement de naissance partielle ». Le corps d’un enfant vivant est démembré dans le ventre de sa mère et est extrait morceau par morceau. Je vous demande, mes amis, sommes-nous de meilleures personnes que les Israélites de l’ancien temps à leurs pires ? Je ne pense pas. Cela ne nous sert-il pas à nous avertir que le temps du jugement divin est proche ?

LEADERSHIP. Le thème de direction semble se répandre dans ce Livre. Il semble être une détérioration persistante des dirigeants d'Israël dans le livre des Juges, de dirigeants assez bons comme Otniel, Ehoud, Débora et Baraq aux hommes comme Jephté et Samson (sans parler des deux Lévites à la fin du Livre). Les mauvais dirigeants corrompent la nation (comme Gédéon le fait quand il provoque Israël à vénérer son éphod). Les bons dirigeants encouragent les hommes à faire ce qui est juste devant Dieu (par exemple, Josué).

Je crois qu’il est aussi légitime de déduire que Dieu donna à Israël le genre de dirigeants qu’ils méritaient. Samson était un homme dont l’attitude et la conduite étaient très parallèles à celles du pays d’Israël. Ils, comme Samson, étaient dominés par leur appétits charnels et non pas par leurs désirs de faire confiance et d’obéir Dieu.

Il se peut que nous n’aimons pas l’admettre, mais je crois que le Livre des Juges nous informe (comme nous le trouvons ailleurs) que Dieu n’utilise pas seulement des « bons dirigeants » pour réaliser Ses buts. Dieu utilise un Pharaon au cœur dur (Romains 9:17) tout comme Il utilisa Moïse. Dieu n’est pas restreint à utiliser seulement des gens pieux. C’est certainement notre avantage de vivre pieusement, mais Dieu peut aussi utiliser des gens impies pour accomplir Ses buts. Croyez-le ou pas, Dieu utilisa Jephté, Samson, et d’autres caractères indésirables pour réaliser Ses fins.

LE ROLE DES FEMMES DANS LE LIVRE DES JUGES. Un de mes amis, Hampton Keathley IV, a écrit un excellent article sur le sujet du « Rôle des Femmes dans le Livre des Juges. »156 Je le recommanderais vivement au lecteur. Les Cananéens étaient certainement une culture corrompue, et elle se manifestait dans leurs attitudes et leurs actions envers les femmes. Mais quand nous arrivons au Livre des Juges, nous trouvons qu’une nation décadente comme Israël était aussi mauvaise ou pire. Un père fait un vœu qui exige qu’il sacrifie sa fille (Jephté). Un Benjaminite jette sa femme « aux loups » de Guibea, pour se sauver sa peau, et d’un ton bourru lui ordonne de se lever du sol. Quand il découvre qu’elle est morte, il l’a découpe en morceaux. Les femmes semblent avoir plus de pouvoirs dans le Livre des Juges. Débora et Yaël sont justement honorées. Une femme lance une meule de moulin sur la tête d’Abimélek, le tuant (9:53). Et une femme séduit Samson et l’amadoue pour qu’il lui dise ses plus grands secrets. Mais alors que les femmes semblent avoir plus de pouvoirs, elles manquent certainement d’honneur (excepté pour quelques cas). Cette période n’était pas une dans lesquelles les femmes étaient chéries et honorées. Elles étaient utilisées et abusées. Une société pourrait bien être jugée par son traitement des femmes, et si elle l’est, la période des Juges et la nôtre seront trouvées ne pas être à la hauteur.

Que Dieu nous permette d’apprendre ces leçons du Livre des Juges que les Israélites d’autres fois n’avaient pas apprises.


148 This is the edited manuscript of a message delivered by Robert L. Deffinbaugh, teacher and elder at Community Bible Chapel, on February 25, 2001.

149 Unless otherwise indicated, all Scripture quotations are from the NET Bible. The NEW ENGLISH TRANSLATION, also known as THE NET BIBLE, is a completely new translation of the Bible, not a revision or an update of a previous English version. It was completed by more than twenty biblical scholars who worked directly from the best currently available Hebrew, Aramaic, and Greek texts. The translation project originally started as an attempt to provide an electronic version of a modern translation for electronic distribution over the Internet and on CD (compact disk). Anyone anywhere in the world with an Internet connection will be able to use and print out the NET Bible without cost for personal study. In addition, anyone who wants to share the Bible with others can print unlimited copies and give them away free to others. It is available on the Internet at: www.netbible.org.

150 Sorry for the pun. I couldn’t resist.

151 I confess this is speculative, but it would help to explain how the next events took place.

152 Albert H. Baylis, From Creation to the Cross: Understanding the First Half of the Bible (Grand Rapids: Zondervan Publishing House, 1996), p. 175. I must also say to the reader that I was not familiar with this book or its author until after I had entitled this series, “From Creation to the Cross.” I apologize for any confusion I have created by using the same title.

153 I think Samson did deliver Israel.

154 Much as they did at Ai; see Joshua 8.

155 Strictly speaking, Heber may not be a Jew, biologically, but his ancestor was the father-in-law of Moses, who did join himself to Israel (Judges 1:16)

Related Topics: Introductions, Arguments, Outlines

14. Les Années d’Or d’Israël

Le Livre de Josué124

Introduction

Il y a une photo dans la collection de photos de famille de mes parents qui sera toujours plus importante dans mon esprit. Elle fut prise durant une vacance de famille qui inclut quelques jours au Glacier National Park. Nous avions emprunté une tente et autre équipements de plein air d’un membre de notre famille et étions prêts à faire l’expérience de notre première aventure de camping. Nous avons trouvé un endroit creux ou le sol était lisse et sans pierres. En un mot, il était là pour que nous puissions planter notre tente. A cette période, nous ne connaissions rien des orages de montagne ou qu’il fallait planter une tente à des endroits élevés. Nous n’avions aucune idée de quelle direction les vents et les pluies pourraient venir, mais nous allions apprendre tout ce que nous aurions dû savoir avant que la nuit ne soit finie !

Notre photo de famille fut prise tard dans l’après midi, posant joyeusement devant notre tente. Le ciel était bleu et pratiquement sans un nuage. Cela ressemblait à des vacances de famille parfaites. Ce ne fut qu’après que nous soyons tous à l’intérieur de la tente pour la nuit, enrubannés dans nos sacs de couchage que l’inattendu arriva. Un orage estival nous engloutit soudainement. Il y avait des pluies torrentielles, accompagnées de tonnerre et éclairs. Les eaux s’amassèrent dans le creux, où nous avions planté notre tente. Bientôt, il y avait au moins cinq centimètres d’eau de pluie à l’intérieur de la tente. Nos sacs de couchage étaient trempés, et mon jeune frère chantait « Jésus m’aime » aussi fort qu’il pouvait. Nous avons remballés notre tente, nos sacs de couchage et tout, à toute vitesse et les empilèrent dans le coffre de notre voiture, et avons été cherché un motel où nous pourrions nous sécher.

Certaines choses qui commencent très bien peuvent finir d’une manière très différente. Cette partie de nos vacances de famille me rappelle de la relation du Livre de Josué au Livre suivant, le Livre de Juges. Josué est la « marque haute » du succès de l’histoire d’Israël. Les choses pouvaient difficilement allées mieux. Comment quelqu’un pouvait-il être autre qu’optimiste en ce qui concerne l’avenir ? Mais quand nous arrivons au Livre suivant, le Livre de Juges, les choses étaient au plus bas. Là, elles pouvaient difficilement être pires.

Comment cela a-t-il pu arriver ? Comment Israël a-t-il pu chuter de ses succès des jours de Josué à ses échecs des jours des Juges ? Certaines de ces choses vont devoir attendre notre prochaine leçon, mais nous devrions approcher le Livre de Josué avec nos yeux grands ouverts, sachant ce que l’avenir tenait. Savourons les « bons temps » de Josué, mais soyons aussi préparés pour les mauvais temps qui vont bientôt arrivés.

La Structure du Livre de Josué

La structure du Livre de Josué est assez transparente:

Chapitres 1-12 Occupant le Pays et Venant à Bout des Cananéens 

Chapitres 13-21 Divisant le Pays

Chapitres22-24 Derniers Evènements et Mots d’Exhortation et d’Avertissement de Josué

Dans cette étude, nous devrons fixer notre attention sur la première et la dernière section du Livre. La première section est remplie d’évènements excitants décrivant la traversée du Jourdain et la conquête du pays. La section finale est très similaire aux derniers mots de Moïse dans le Livre de Deutéronome. Josué conseille vivement au peuple d’embrasser l’alliance de Dieu comme la leur, puis les avertit qu’ils ne seront jamais capables de tenir leur promesse.

Aperçu de la Conquête du Pays de Canaan (Josué 1:1 – 12:24)

Chapitre 1

Le premier chapitre de Josué est rempli de mots d’instruction et d’encouragement. Dieu ordonne à Josué d’emmener les Israélites de l’autre coté du Jourdain et de conquérir le pays. Quand il le fait, Dieu lui fait ces promesses:

« 3 Comme je l'ai promis à Moïse, je vous donne tout endroit où vous poserez vos pieds.

   4 Votre territoire s'étendra du désert jusqu'aux montagnes du Liban et du grand fleuve, l'Euphrate, à travers tout le pays des Hittites jusqu'à la mer Méditerranée, à l'ouest.

   5 Tant que tu vivras, personne ne pourra te résister, car je serai avec toi comme j'ai été avec Moïse, je ne te délaisserai pas et je ne t'abandonnerai pas.

   6 Prends courage et tiens bon, car c'est toi qui feras entrer ce peuple en possession du pays que j'ai promis par serment à leurs ancêtres de leur donner.

   7 Simplement, prends courage et tiens bon pour veiller à obéir à toute la Loi que mon serviteur Moïse t'a prescrite, sans t'en écarter ni d'un côté ni de l'autre. Alors tu réussiras dans tout ce que tu entreprendras.

   8 Aie soin de répéter sans cesse les paroles de ce livre de la Loi, médite-les jour et nuit afin d'y obéir et d'appliquer tout ce qui y est écrit, car alors tu auras du succès dans tes entreprises, alors tu réussiras.

   9 Je t'ai donné cet ordre: Prends courage et tiens bon, ne crains rien et ne te laisse pas effrayer, car moi, l'Eternel ton Dieu, je serai avec toi pour tout ce que tu entreprendras. » (Josué 1:3-9, mon accentuation en gras)125

Avec les assurances de Dieu, il y avait des exhortations et des commandements. Josué devait être fort et brave (1:6,7) ; il ne devait pas avoir peur (1:9). Il devait faire traverser le Jourdain par le peuple et posséder le pays que Dieu avait promit à leurs ancêtres (1:6). Il devait tenir compte de la Loi que Dieu avait donnée par Moïse. Il devait la mémoriser et en tenir compte soigneusement, ne violant aucun de ses commandements (1:7-8).

Josué donna alors des instructions aux tribus de Ruben, Gad, et à Manassé – ces tribus qui avaient choisies de rester du coté est du Jourdain – leur rappelant qu’ils devaient aider leurs frères à posséder le pays à l’ouest de la rivière avant de pouvoir joindre leurs familles dans leur propre pays, à l’est du Jourdain. La réponse de ces Israélites aux mots de Josué est incroyable:

« 16 Ils répondirent à Josué:
   ---Nous ferons tout ce que tu nous as ordonné et nous irons partout où tu nous enverras.

   17 Nous voulons t'obéir en toute chose, comme nous avons obéi à Moïse. Que l'Eternel ton Dieu soit avec toi, comme il a été avec Moïse.

   18 Celui qui s'opposera à ton autorité et désobéira à tes ordres sera mis à mort, quelle que soit la chose que tu auras ordonnée. Prends donc courage et tiens bon! » (Josué 1:16-18)

Moïse avait ordonné à leurs pères d’occuper le pays de Canaan, et ils avaient refusé, menaçant de le tuer et de nommer un nouveau chef qui les ramènerait en Egypte (Nombres 14:1-4,10). En contraste, cette génération promit de suivre Josué, et même l’encouragèrent à être fort et brave ! Ils menacèrent de tuer n’importe qui qui oserait opposer Josué.

Chapitre 2

Cette fois-ci, Josué envoya seulement deux espions (2:1), ce qui est surement lié à l’échec de la première génération à Qadech quand seuls 2 des 12 espions eurent un « bon rapport ». Les actions de Josué rendirent claires quel genre de rapports il attendait de ces deux espions. Dieu intervint de telle façon qu’ils étaient certains d’être des « bons rapports ». Les deux espions allèrent à Jéricho, sur le coté ouest du Jourdain. Le seul endroit où loger dans la ville était la maison de Rahab, la prostituée. (Qui suspecterait des étrangers de rester chez elle ?)

Les espions trouvèrent une femme de foi en Rahab. Le roi de Jéricho apprit l’arrivée de deux espions, et il savait qu’ils étaient chez Rahab. Le roi demanda qu’elle lui livre les deux hommes. Elle choisit de les protéger, plutôt que de les lui livrer. Elle savait que les Israélites allaient s’imposer sur Jéricho et les Cananéens:

« 9 Elle leur dit:
   ---Je sais que l'Eternel vous a donné ce pays: la terreur s'est emparée de nous et tous les habitants de la région sont pris de panique à cause de vous.

   10 Car nous avons entendu que l'Eternel a mis à sec les eaux de la mer des Roseaux devant vous lorsque vous êtes sortis d'Egypte. Nous avons appris comment vous avez traité les deux rois des Amoréens, Sihôn et Og, qui régnaient de l'autre côté du Jourdain, pour les vouer à l'Eternel, en les exterminant.

   11 Depuis que nous avons entendu ces nouvelles, le cœur nous manque, et personne n'a plus le courage de vous tenir tête. En effet, c'est l'Eternel votre Dieu qui est Dieu, en haut dans le ciel et ici-bas sur la terre. » (Josué 2:9-11)

Rahab marchanda avec les espions d’être épargner avec sa famille, si elle les protégeait. Ils furent d’accord, et les espions s’échappèrent de la ville, descendus le long du mur par une corde de la fenêtre de Rahab (2:15). Les espions s’enfuirent dans les collines puis retournèrent au camp des Israélites. Ils amenèrent de bonnes nouvelles à Josué:

« ---Certainement l'Eternel nous livre tout le pays, lui dirent-ils, car déjà toute la population de la région est prise de panique à cause de nous. » (Josué 2:24)126

Le rapport de Rahab n’était pas seulement le moyen de sa propre libération ; il joua aussi un rôle important en donnant aux Israélites le courage d’attaquer Jéricho.

Chapitre 3

Cela a dû être un grand jour dans l’histoire d’Israël, un jour où Dieu honora Josué, démontrant aux Israélites que Sa main était avec leur nouveau leader, tout comme elle était avec Moïse:

« L'Eternel dit à Josué:
   ---Aujourd'hui même, je commencerai à t'honorer aux yeux de tout Israël pour qu'ils sachent que je serai avec toi tout comme je l'ai été avec Moïse. » (Josué 3:7, mon accentuation en gras)

Comme ils se préparaient à traverser le Jourdain, Josué déclara au peuple:

« 9 Alors Josué s'adressa à tous les Israélites et leur dit:
   ---Approchez-vous et écoutez les paroles de l'Eternel, votre Dieu.

   10 Voici comment vous saurez que le Dieu vivant est au milieu de vous et qu'il ne manquera pas de déposséder en votre faveur les Cananéens, les Hittites, les Héviens, les Phéréziens, les Guirgasiens, les Amoréens et les Yebousiens:

   11 Le coffre de l'alliance du Seigneur de toute la terre va traverser le Jourdain devant vous.

   13 Dès que les prêtres qui porteront le coffre de l'Eternel, le Seigneur de toute la terre, poseront la plante des pieds dans le Jourdain, le fleuve sera coupé en deux: les eaux venant de l'amont s'arrêteront net en formant comme un mur. » (Josué 3:9-11,13)

Quand les prêtres entrèrent dans les eaux du Jourdain, l’eau s’arrêta de couler de l’amont. Cela avait surement pour intention de ramener à l’esprit des Israélites le miracle d’avant quand ils avaient traversé la Mer Rouge à pied sec. Les prêtres portant le coffre de l’alliance s’arrêtèrent au milieu du Jourdain pendant que le peuple traversa.

Chapitre 4

Dieu ordonna à Josué de construire un monument, un rappel pour cette et les générations futures de la grande chose que Dieu avait fait pour Son peuple. Douze hommes (un de chaque tribu) durent aller dans le lit de la rivière et enlevèrent une pierre. Ces pierres devaient être amenées au camp sur le coté ouest du Jourdain, et la ces pierres seraient entassées comme monument. Il semblerait qu’un second monument fut construit au milieu du Jourdain. Douze pierres de la terre furent portées à l’ endroit où le coffre de l’alliance était encore, au milieu de la rivière (4:9). L’auteur informe ses lecteurs que cette pile de pierres était encore sous l’eau au moment où qu’il écrivit le récit (4:9).

Ce jour, un puissant miracle fut performé, un qui avait pour intention de démontrer aux Israélites que Dieu allait au devant d’eux pour leur permettre de battre les Cananéens et de posséder le pays (voir 3:9-13). Ce fut aussi le moyen pour Dieu d’honorer Josué, pour que le peuple puisse le respecter et le suivre, comme ils avaient suivi Moïse:

« Ce jour-là, l'Eternel honora Josué aux yeux de tous les Israélites, et ils respectèrent son autorité comme ils l'avaient fait pour Moïse durant toute sa vie. » (Josué 4:14)

Ce fut aussi le moyen pour Dieu d’encourager les Israélites à L’obéir et à terroriser les Cananéens qui opposeraient Son peuple:

« 24 Il a agi ainsi pour que tous les peuples de la terre sachent combien grande est sa puissance et pour que vous-mêmes vous révériez l'Eternel votre Dieu pour toujours.

  5:1 Tous les rois des Amoréens établis sur la rive occidentale du Jourdain et tous les rois des Cananéens établis sur le littoral de la mer Méditerranée apprirent que l'Eternel avait asséché le Jourdain devant les Israélites jusqu'à ce qu'ils l'aient traversé. Alors le courage leur manqua et ils perdirent tous leurs moyens en face des Israélites. » (Josué 4:24-5:1)

Chapitre 5

Une fois qu’ils furent de l’autre coté du Jourdain, Dieu ordonna aux Israélites d’être circoncis. Alors que la première génération qui quitta l’Egypte avait été circoncise, ils n’avaient pas circoncis leurs enfants (5:5-7). Ce fut la façon que cette nouvelle génération embrasserait publiquement l’alliance que Dieu avait conclue avec leurs ancêtres et concluait maintenant avec eux. Ce verset est très informatif et ne devrait pas être négligé:

« Après que tout le peuple eut été circoncis, ils restèrent sur place dans le camp jusqu'à leur guérison. » (Josué 5:8)

Cela nous rappelle d’un incident préalable, enregistré dans le Livre de Genèse:

« 24 Alors tous ceux qui se trouvaient à la porte de la ville se laissèrent convaincre par Hamor et son fils Sichem, et tous les hommes et les garçons qui se trouvaient dans la ville furent circoncis.

   25 Le troisième jour, alors qu'ils étaient souffrants, deux des fils de Jacob, Siméon et Lévi, les frères de Dina, prirent chacun son épée, et tombèrent sur la ville qui se croyait en sécurité. Ils tuèrent tous les hommes et les garçons.

   26 Ils tuèrent aussi Hamor et son fils Sichem, reprirent Dina de la maison de Sichem et partirent.

   27 Les autres fils de Jacob vinrent achever les blessés et pillèrent la ville, parce qu'on avait déshonoré leur sœur.

   28 Ils prirent le gros et le petit bétail ainsi que les ânes et tout ce qui était dans la ville et dans les champs.

   29 Ils s'emparèrent de tous leurs biens, de leurs enfants et de leurs femmes et raflèrent tout ce qui était dans les maisons. » (Genèse 34:24-29, mon accentuation en gras)

Quand Sichem viola Dina, la sœur de Siméon et Lévi, ces frères en colère firent trompeusement un traité avec les hommes de Sichem, à la condition que tous les hommes Sichemites subissent le rite de la circoncision. Pendant la période de trois jours de guérison, quand les Sichemites souffraient énormément et étaient faibles, les fils de Jacob massacrèrent les hommes et prirent leurs femmes, enfants et leurs troupeaux comme butin de guerre.

Cela nous informe que, quand les Israélites se soumirent à la circoncision immédiatement après la traversée du Jourdain, ce ne fut pas seulement un acte d’obéissance mais aussi un acte de foi. Traverser le Jourdain serait interprété par les habitants de Canaan comme un acte d’agression, un acte de guerre. Le peuple de Jéricho (sans mentionner d’autres) aurait toutes les raisons d’attaquer en premier les Israélites, avant qu’ils ne viennent plus près. La possibilité d’une attaque ennemie après la traversée du Jourdain était très réelle, et donc se soumettre à la circoncision voulait dire devenir vulnérable à une attaque pendant plusieurs jours. Si les Cananéens avaient attaqué Israël à ce moment, ils auraient été à leur point le plus faible en tant que nation. En dépit des risques et de la douleur sous entendue, les Israélites obéirent l’ordre de Dieu.127

Après leur circoncision, les Israélites observèrent la Pâque sur les plaines de Jéricho (5:10). Plus que ça, ils mangèrent pour la première fois du pain sans levain (5:11). Le menu changea à partir de ce jour là. Plus jamais cette génération ne mangerait de la manne (5:12). Quel délice ce premier repas a dû être.

Une chose très étrange est arrivée. Comme Josué approchait Jéricho, un homme apparut devant lui, avec son épée tirée. Josué s’approcha et lui demanda s’il était pour ou contre Israël. C’était une bonne question, mais Josué n’avait pas peur de lui demander. Après tout, cet homme n’était qu’un seul homme, et derrière Josué était une armée très impressionnante. Néanmoins, Josué n’était pas préparé pour la réponse que cet homme lui donna:

« 14 ---Non, répondit l'homme. Je suis le chef de l'armée de l'Eternel et je viens maintenant.
   Alors Josué se prosterna, le visage contre terre, et lui dit:
   ---Seigneur, je suis ton serviteur, quels sont tes ordres?

   15 Le chef de l'armée de l'Eternel lui répondit:
   ---Ote tes sandales de tes pieds, car l'endroit où tu te tiens est un lieu saint.
   Et Josué obéit. » (Josué 5:14-15, mon accentuation en gras)

Beaucoup de gens pensent que c’est une manifestation de Christ pré-incarné, et je suis très enclin à être d’accord. Pas étonnant que Josué enleva rapidement ses sandales et se prosterna devant ce « Chef des Armées ». Une fois encore, on nous rappelle d’un incident préalable dans le Pentateuque:

« 3 Il se dit alors:
   ---Je vais faire un détour pour aller regarder ce phénomène extraordinaire et voir pourquoi le buisson ne se consume pas.

   4 L'Eternel vit que Moïse faisait un détour pour aller voir et il l'appela du milieu du buisson:
   ---Moïse, Moïse!
   ---Je suis là, répondit Moïse.

   5 Dieu lui dit:
   ---N'approche pas d'ici, enlève tes sandales, car le lieu où tu te tiens est un lieu sacré.

   6 Puis il ajouta: Je suis le Dieu de tes ancêtres, le Dieu d'Abraham, le Dieu d'Isaac et le Dieu de Jacob.
   Alors Moïse se couvrit le visage car il avait peur de regarder Dieu. » (Exode 3:3-6, mon accentuation en gras)

Alors, Josué a sa propre version du « buisson embrasé » ; il a une rencontre directe avec Dieu. Il reçoit ses instructions de bataille de personne d’autre que du « Chef des Armées » des forces armées d’Israël. Le plan qu’Il révèle en est un qu’aucun chef militaire n’aurait pu imaginer, comme nous allons le voir bientôt.

Chapitre 6

J’adore cette histoire. Le chapitre commence avec une description d’un vrai problème militaire:

« La ville de Jéricho avait soigneusement fermé toutes ses portes et s'était barricadée derrière, par peur des Israélites. Plus personne n'entrait ni ne sortait par ses portes. » (Josué 6:1)

Comment les Israélites traiteraient le fait que Jéricho était une ville fortifiée, avec de grands murs et des portes impénétrables ? Alarmé par la présence de l’armée Israélite, ces portes étaient solidement fermées ; personne ne pouvait entrer ni sortir de la ville. Si les Israélites cherchaient à escalader les murs, beaucoup de vies seraient perdues. S’ils essayaient d’enfoncer les portes de la ville, la même chose arriverait. Comment pourraient-ils surmonter ces murs massifs ?

Dieu avait la solution parfaite, une que personne n’aurait considérée, parce que c’était un miracle. Le messager divin ne dit pas vraiment à Josué comment les Israélites allaient entrer dans la ville ou comment le peuple de Jéricho serait battu. C’était parce que les Israélites durent agir en acte de foi:

«Par la foi, les murailles de Jéricho se sont écroulées quand le peuple en eut fait le tour pendant sept jours. » (Hébreux 11:30)

Le Commandant en chef dit à Josué que les Israélites devaient marcher autour de la vile une fois par jour pendant six jours. Des hommes armés devront marcher en premier, sonnant les trompettes. Les prêtres devront les suivre, portant le coffre de l’alliance et sonnant les trompettes. Puis le reste de la troupe suivront derrière, sonnant les trompettes. Cependant, le peuple devra rester silencieux. Quelle vue incroyable cela a dû être ! Vous pouvez imaginer que le peuple de Jéricho aligné sur les remparts de la ville, regardant avec un mélange de peur et de stupéfaction les Israélites marchant autour de leur ville. Les trompettes sonnaient, mais le peuple restait silencieux. Finalement, le septième jour128, les Israélites marchèrent autour de la ville sept fois, et quand les trompettes furent sonnées, le peuple poussa un grand cri de guerre, ne sachant pas (à mon avis) ce qui allait se passer.

A la stupéfaction de tous (ceux marchant en dehors de la ville, et ceux sur les remparts les regardant) les murs de la ville s’effondrèrent. C’est mon avis que beaucoup (sinon la plupart) des soldats de Jéricho se tenaient sur les remparts, ou près d’eux, prêts à repousser les Israélites s’ils attaquaient la ville. Quand les murs s’effondrèrent, cela a dû en tuer beaucoup. Et ceux qui survécurent ont dû être complètement déboussolés. Leur système de défense fut complètement détruit. Ce en quoi ils avaient mis toute leur confiance et sécurité fut l’instrument de leur propre destruction. La barrière impénétrable d’Israël (les murs et les portes de la ville) s’ effondra devant eux. Tout ce que les Israélites eurent à faire était de « finir le boulot » et ce fut ce qu’ils firent. Ils annihilèrent complètement le peuple et la ville, ne laissant aucun survivant.

Il y eut encore un autre miracle, du moins lisant le récit. Dieu détruisit la ville en causant les remparts de d’effondrer, et pourtant, il épargna Rahab et sa famille dont la maison était sur une partie du rempart. Cette partie ne s’est certainement pas écroulée, comme le reste. Puis les deux espions furent envoyés à la maison de Rahab pour l’amener et sa famille à l’abri, sous la protection d’Israël. Parce que Rahab avait protégé les deux espions, Dieu protégea Rahab et sa famille en Israël. Mieux que ça, le nom de Rahab fut enregistré dans le livre de la vie, et elle est trouvée dans la liste des gens de foi (Hébreux 11:31 ; Jacques 2:25).

Chapitre 7

Il y avait un problème avec la victoire d’Israël sur le peuple de Jéricho, et l’auteur le révèle dans le verset 1:

« 1 Les Israélites commirent un acte d'infidélité à l'égard des objets voués à l'Eternel: Akân, fils de Karmi et descendant de Zabdi et de Zérah, de la tribu de Juda, prit pour lui certains de ces objets, et l'Eternel se mit en colère contre les Israélites. » (Josué 7:1)

Akân avait désobéi les instructions que Moïse avait préalablement données:

« 22 C'est seulement petit à petit que l'Eternel ton Dieu chassera ces nations devant toi, tu ne pourras pas les éliminer d'un seul coup, sinon les bêtes sauvages se multiplieraient dangereusement chez toi[h].

   23 L'Eternel ton Dieu livrera ces peuples en ton pouvoir et les mettra en déroute, jusqu'à leur destruction totale.

   24 Il te livrera leurs rois, et tu feras disparaître leur nom de dessous le ciel; personne ne pourra te résister: tu les extermineras tous.

   25 Vous brûlerez les statues de leurs dieux. Ne cède pas à la tentation de récupérer l'argent ou l'or qui les recouvre! Ne le prends pas! Cela pourrait constituer un piège pour toi, car c'est une abomination pour l'Eternel ton Dieu.

   26 Tu n'introduiras donc pas dans ta maison une abomination, car tu te mettrais avec elle sous le coup de la malédiction. Tu la tiendras pour une chose réprouvée, tu l'auras en abomination, car elle est sous la malédiction. » (Deutéronome 7:22-26, mon accentuation en gras)

Plus que ça, Akân désobéit les instructions spécifiques de Josué, données juste avant que les Israélites capturent Jéricho:

« 17 La ville avec tout ce qu'elle contient sera vouée à l'Eternel; seule Rahab, la prostituée, sera laissée en vie avec tous ceux qui se trouveront dans sa maison, car elle a caché les hommes que nous avions envoyés.

   18 Mais attention! Prenez bien garde à ce qui doit être voué à l'Eternel. Ne prenez rien de cela, sinon vous placeriez le camp d'Israël sous une sentence de destruction et vous lui attireriez le malheur.

   19 Tout l'argent et l'or, tous les objets de bronze et de fer seront consacrés à l'Eternel et on les mettra dans son trésor. » (Josué 6:17-19)

Le péché d’Akân amena une grande calamité, non seulement sur lui-même et sa famille, mais aussi sur toute la nation Israël. Cela deviendra apparent bientôt. La ville suivante avec laquelle les Israélites devront traiter est la ville d’Aï. Quand les espions furent envoyés pour évaluer la force militaire de la ville, ils semblèrent être presque trop surs d’eux-mêmes:

« 3 A leur retour, ils dirent à Josué:
   ---Il est inutile d'envoyer toute l'armée: deux ou trois mille hommes suffiront pour battre Aï. Ne donne pas de fatigue à tout le peuple, car l'adversaire est peu nombreux. » (Josué 7:3)

Cela aurait pu être que deux ou trois milles hommes auraient pu prendre la ville, particulièrement avec l’aide de Dieu. Mais ce ne fut pas le cas, pas cette fois. Quand les Israélites engagèrent le peuple d’Aï en bataille, leurs adversaires gagnèrent l’avantage et déroutèrent les forces Israélites. Trente six hommes furent perdus dans la bataille. Josué et tout Israël étaient horrifiés et perplexes à cause de leur défaite. Qu’est-ce qui a bien pu aller de travers ? Dieu dit à Josué:

« 10 L'Eternel répondit à Josué:
   ---Lève-toi! Pourquoi restes-tu prostré la face contre terre?

   11 Israël a commis un péché. On a transgressé l'alliance que j'avais établie pour eux. On a pris des objets qui m'étaient voués, on en a dérobé, caché et mis dans ses propres affaires.

   12 C'est pourquoi les Israélites ne pourront plus résister à leurs ennemis, ils fuiront devant eux car ils sont sous le coup d'une sentence de destruction. Je ne continuerai pas à être avec vous si vous ne détruisez pas ce qui est au milieu de vous. » (Josué 7:10-12)

Josué passa alors les Israélites à un processus d’élimination, jusqu’à ce qu’il fut révélé qu’Akân était le coupable. Josué conseilla vivement à Akân d’avouer son péché, et il le fit:

« 20 Akân lui répondit:
   ---C'est vrai, j'ai commis une faute envers l'Eternel, le Dieu d'Israël. Voici ce que j'ai fait:

   21 J'ai vu dans le butin un magnifique manteau de Babylone, deux cents pièces d'argent et un lingot d'or d'une livre. J'en ai eu fortement envie, alors je m'en suis emparé. Ces objets sont enterrés au milieu de ma tente, et l'argent est en-dessous. » (Josué 7:20-21)

Vous devez créditer Akân pour admettre ouvertement son péché, sans faire d’excuses. Mais son péché était sérieux ; il avait couté à Israël une défaite des mains de ses ennemis, et il avait couté à 36 hommes leurs vies. Puis, à la direction de Dieu, Akân et sa famille furent lapidés et leurs corps brûlés. La colère de Dieu fut apaisée.

Chapitre 8

Dieu encouragea Josué à ne pas avoir peur et à être brave. Il l’instruisit de prendre l’armée toute entière et d’attaquer la ville d’Aï. Le plan de bataille prendrait avantage de la défaite préalable d’Israël aux mains des guerriers d’Aï. Trente milles hommes de Josué se tiendraient en embuscade derrière la ville d’Aï. Josué et ses troupes attaqueraient alors par le devant de la ville. Josué et son armée prétendraient être battus et commenceraient à battre en retraite. Beaucoup des troupes d’Aï pourchasseraient alors Josué et son armée. Quand ceux qui restèrent en garde à l’intérieur d’Aï virent ce qui se passait, ils voulaient faire partie de la tuerie, et ils quittèrent la ville à la poursuite effrénée de Josué et ses hommes. Ceux qui attendaient en embuscade se faufilèrent alors dans la ville et la brûlèrent. Quand le peuple d’Aï vit leur ville en flammes, ils surent qu’ils ne pouvaient aller nulle part. Maintenant ils étaient piégés entre ceux qui s’étaient cachés en embuscade derrière eux et ceux qui avaient simulés leur défaite devant eux.

Le Seigneur instruisit alors Josué de brandir son épée vers Aï, parce qu’Il lui donnait la ville (8:18). Il brandit son épée jusqu'à ce que la victoire fut complète (8:26). Une fois encore, nous sommes rappelés d’un incident préalable dans le Pentateuque impliquant Moïse et Josué:

« 8 Les Amalécites vinrent attaquer Israël à Rephidim.

  9 Alors Moïse dit à Josué:
   ---Choisis-nous des guerriers et demain tu iras combattre les Amalécites. Moi, je me tiendrai au sommet de la colline, avec le bâton de Dieu à la main.

  10 Josué se conforma aux instructions de Moïse. Il alla combattre les Amalécites, tandis que Moïse, Aaron et Hourmontèrent au sommet de la colline.

  11 Or, lorsque Moïse élevait la main pour prier, Israël avait l'avantage dans la bataille, et lorsqu'il la laissait retomber, Amalec l'emportait.

  12 Comme les bras de Moïse se fatiguaient, Aaron et Hour prirent une pierre qu'ils placèrent sous lui pour le faire asseoir dessus, et ils lui soutinrent les bras, chacun d'un côté; ainsi ses bras tinrent fermes jusqu'au coucher du soleil,

  13 et Josué remporta la victoire sur les Amalécites à la pointe de l'épée.

  14 L'Eternel dit à Moïse:
   ---Consigne cela par écrit pour qu'on en garde le souvenir et déclare à Josué que j'effacerai complètement le souvenir d'Amalec de sous le ciel.

  15 Moïse érigea un autel qu'il appela Adonaï-Nissi (Le Seigneur est ma bannière),

  16 puis il ajouta:
   ---Puisqu'on s'est attaqué au trône de l'Eternel, l'Eternel fera la guerre à Amalec de génération en génération. » (Exode 17:8-16, mon accentuation en gras)

Tout comme Moïse avait instruit (deutéronome 27), Josué construisit un autel pour le seigneur sur le mont Ebal. Là, ils offrirent des sacrifices et inscrirent la Loi sur de la Pierre. La moitié des Israélites se tinrent devant le mont Garizim et l’autre moitié devant le mont Ebal. Josué lut à haute voix toutes les bénédictions et les malédictions de la Loi pendant que le peuple écoutait.

Chapitre 9

Dans le chapitre 9, nous lisons un des échecs de Josué et des chefs d’Israël. Il n’était pas intentionnel, mais fut le résultat de conclure imprudemment un traité avec le people de Gabaon. Les récits des victoires d’Israël sur Jéricho et Aï avaient atteint les oreilles des Rois qui habitaient à l’ouest du Jourdain, qui formèrent une alliance pour lutter contre les Israélites. Les résidents de Gabaon prirent une approche différente. Ils, comme Rahab, étaient convaincus que les Israélites gagneraient, et ils magouillèrent un plan de tromperie.129

Les Gabaonites ont d[u dévaliser tous les magasins de l’Armée du Salut dans le pays, trouvant beaucoup de vieux vêtements tout us2s et des sandales. Ils acquirent aussi du vieux pain desséché. Ces choses furent utilisées pour convaincre les Israélites qu’ils venaient de loin, d’un pays très éloigné. Il semblerait que ces gens avaient quelques connaissances de la loi, ou du moins du traitement d’Israël avec différentes pays. Les principes directifs pour la politique étrangère des Israélites sont trouvés dans Deutéronome:

« 10 ---Quand vous marcherez sur une ville pour l'attaquer, vous proposerez d'abord à ses habitants de se rendre sans combat.

   11 S'ils acceptent vos propositions et vous ouvrent la porte de la ville, toute la population sera soumise à des corvées et vous servira comme esclave.

   12 S'ils refusent votre proposition et engagent le combat contre vous, vous assiégerez la ville.

   13 L'Eternel votre Dieu la livrera entre vos mains, et vous y ferez périr tous les hommes par l'épée.

   14 Mais vous pourrez vous réserver les femmes, les enfants, le bétail et tout le butin que vous trouverez dans la ville. Vous disposerez du butin pris sur vos ennemis que l'Eternel votre Dieu vous aura livrés.

   15 Vous agirez ainsi à l'égard de toutes les villes situées loin de chez vous et qui ne font pas partie du pays où vous allez vous installer.

   16 Quant aux villes de ces peuples que l'Eternel votre Dieu vous donne en possession, vous n'y laisserez pas subsister âme qui vive.

   17 Vous exterminerez totalement pour les vouer à l'Eternel les Hittites, les Amoréens, les Cananéens, les Phéréziens, les Héviens et les Yebousiens, comme l'Eternel votre Dieu vous l'a ordonné,

   18 afin qu'ils ne vous apprennent pas à imiter les pratiques abominables auxquelles ils se livrent en l'honneur de leurs dieux, et par lesquelles vous pécheriez contre l'Eternel votre Dieu. » (Deutéronome 20:10-18, mon accentuation en gras)

Comptant sur le fait que les Israélites vivraient par les lois de Dieu, les Gabaonites se feraient passer pour des gens venant d’un pays très loin d’Israël, plutôt que pour des gens vivant dans le pays que Dieu avait donné à Israël. Sans se renseigner soigneusement sur cette question (certainement sans demander la volonté de Dieu), les chef d’Israël crurent la parole des Gabaonites et conclurent un traité avec eux, comme s’ils étaient d’une nation lointaine. C’est seulement après que le traité fut conclu que les Israélites apprirent qu’ils avaient été trompés. Parce qu’ils avaient donné leur parole d’honneur, ils ne pouvaient pas briser leur serment. Cependant, les Gabaonites furent soumis à des durs travaux.

Chapitre 10

La saga des Gabaonites n’est pas finie. L’alliance des rois amoréens d’abord mentionnés dans Josué 9:1-2 est maintenant traitée en plus grands détails dans le chapitre 10. Ces rois furent bouleversés d’apprendre que les Gabaonites avaient conclu un traité avec les Israélites parce que Gabaon était une grande ville, et qu’ils étaient de grands guerriers (10:2). Au lieu d’avoir Gabaon comme allié, ces gens étaient maintenant leurs ennemis. L’alliance des rois pensait qu’ils devaient attaquer Gabaon et les neutraliser. Quand les Gabaonites réalisèrent qu’ils étaient attaqués, ils envoyèrent un message à leur allié, les Israélites, qui furent alors obligés de les aider.

Josué assembla son armée et se mit en route pour Gabaon. Dieu encouragea Josué et les Israélites à ne pas avoir peur, les assurant qu’Il allait leur donner la victoire sur leurs ennemis (10:8). Une marche de nuit (une montée de près de 40 kilomètres, et du niveau de la mer jusqu'à près de 1200 mètres d’altitude) les amena à Gabaon tôt le lendemain matin, prenant les rois par surprise. Le Seigneur donna à Israël une grande victoire à Gabaon. Quand les soldats amoréens s’enfuirent, Dieu fit tomber sur eux de grosses tempêtes de grêle, faisant plus de victimes que ceux qui avaient été tués par l’épée (10:11). La bataille marchait bien, mais la continuation de la victoire fut menacée par la tombée de la nuit. Alors Josué fut une requête des plus inhabituelles, et sa prière fut exaucée:

« 12 Ce jour-là où l'Eternel donna aux Israélites la victoire sur les Amoréens, Josué s'écria devant tout Israël:
   ---Soleil, arrête-toi sur Gabaon! Et toi, lune, fais halte sur la vallée d'Ayalôn.

   13 Et le soleil s'arrêta, la lune suspendit son cours jusqu'à ce que la nation d'Israël eût réglé ses comptes avec ses ennemis. C'est bien ce qui est écrit dans le livre du Juste. Le soleil s'immobilisa au milieu du ciel et différa son coucher pendant environ un jour entier. » (Josué 10:12-13)

« 14 Jamais auparavant et jamais depuis lors, il n'y eut de jour comparable à celui-là, où l'Eternel a écouté la voix d'un homme. C'est qu'il combattait lui-même pour Israël. » (Josué 10:14)

Dieu a-t-il utilisé les forces de la nature pour séparer la Mer Rouge quand Moïse guida les Israélites ? Dieu n’est pas moins engagé pour prendre soin de Son peuple sous la direction de Josué. Dieu est puissant pour sauver. Il utilise toute la nature pour protéger Son peuple.

La grande victoire d’Israël sur les rois amoréens brisa les reins de l’opposition en Palestine centrale. Encouragés par leur succès et l’assurance de la présence puissante de Dieu parmi eux, les Israélites menèrent une campagne contre la partie sud de la Palestine (10:28-39). Leur victoire dans le sud fut stupéfiante:

« 40 Josué conquit tout le pays, il battit tous les rois de la région montagneuse, ceux du Néguev, de la plaine côtière et des contreforts des montagnes. Il extermina tous les êtres vivants sans épargner personne, pour les vouer à l'Eternel, comme l'Eternel, le Dieu d'Israël, l'avait ordonné.

   41 Il soumit toute la région de Qadech-Barnéa jusqu'à Gaza, et le district de Gochên jusqu'à Gabaon.

   42 En une seule campagne, il vainquit tous les rois et s'empara de leurs territoires, car l'Eternel, le Dieu d'Israël, combattait pour son peuple.

   43 Ensuite, Josué et tout Israël avec lui regagnèrent le camp de Guilgal. » (Josué 10:40-43)

Chapitre 11

Tout ce qui restait à faire pour Josué et l’armée des Israélites était de battre les rois du nord. Après cela, battre les Cananéens serait la tâche de chaque tribu. (C’est une tâche qu’ils échoueraient à accomplir, comme nous voyons dans le Livre des Juges.) Une alliance des rois du nord fut établie, mais ne les empêcha pas d’être battus par Josué et les Israélites. La victoire de Josué est résumée d’une telle façon qu’elle lie l’obéissance aux commandements de Dieu à sa victoire sur les ennemis d’Israël:

« 15 Josué se conforma entièrement aux ordres que l'Eternel avait donnés à son serviteur Moïse et que celui-ci lui avait transmis. Il n'enfreignit aucun de ces ordres.

   16 C'est ainsi que Josué conquit tout le pays: la région montagneuse, tout le Néguev, la région de Gochên, la plaine côtière, la vallée du Jourdain, ainsi que la région montagneuse et les plaines du nord.

   17 Il captura et tua tous les rois des régions situées entre le mont Halaq qui se dresse près de Séir au sud, jusqu'à Baal-Gad dans la dépression du Liban au pied du mont Hermon au nord.

   18 La guerre qu'il livra contre tous ces rois dura de longues années.

   19 Aucune ville --- sauf Gabaon habitée par les Héviens --- ne fit la paix avec les Israélites; il s'en empara par les armes.

   20 Cela venait de l'Eternel; en effet, il avait rendu ces gens obstinés pour qu'ils affrontent Israël, afin qu'ils soient détruits sans pitié jusqu'à leur totale extermination pour lui être voués, comme il l'avait ordonné à Moïse.

   21 A la même époque, Josué alla éliminer les Anaqim qui vivaient dans les montagnes d'Hébron, de Debir, d'Anab, dans les monts de Juda et dans la montagne d'Israël. Il les extermina et détruisit totalement leurs villes pour les vouer à l'Eternel.

   22 Il ne resta plus d'Anaqim dans le pays des Israélites, sauf dans les villes de Gaza, Gath et Asdod.

   23 Josué conquit donc tout le pays, comme l'Eternel l'avait dit à Moïse, et il le répartit entre les tribus d'Israël pour qu'elles possèdent chacune sa part. Et la guerre cessa dans le pays. » (Josué 11:15-23)

Derniers Evènements de Josué (Josué 22-24)

Les chapitres 13-21 de Josué concernent la distribution du pays. Les grands pouvoirs de la Terre Promise avaient été battus, mais beaucoup restaient à être conquis (13:1-6). Cela serait la tâche des tribus individuelles et non pas le devoir des forces combinées d'Israël. Au commandement de Dieu, Josué divisa le pays, avec chaque tribu étant responsable pour conquérir leur héritage.

Dans le chapitre 13, nous trouvons une anecdote brève, mais importante :

Les Israélites tuèrent Balaam, fils de Beor, le divin, avec tous les autres (Josué 13:22).

Le jour de paye de Balaam était finalement arrivé. Cette brève remarque souligne, d’une façon ou d’une autre, le commentaire que nous trouvons dans Josué 22:17, auquel nous allons bientôt faire référence.

Josué est maintenant très âgé (13:1 ; 23:1). Sa mort est proche. Maintenant que les pouvoirs majeurs de Canaan ont été battus, il est temps d’envoyer les tribus israélites vers leur héritage. Dans le chapitre 22, Josué renvoie les tribus de Ruben, Gad, et Manassé à leurs épouses et leurs enfants sur le coté est du Jourdain avec ces mots d’exhortation et d’avertissement130:

« 1 Alors Josué réunit les hommes de Ruben, de Gad et de la demi-tribu de Manassé

   2 et leur dit:
   ---Vous avez fait tout ce que Moïse, serviteur de l'Eternel, vous a ordonné et vous avez obéi à tout ce que je vous ai commandé.

   3 Durant toutes ces années jusqu'à ce jour, vous n'avez pas abandonné vos compatriotes et vous avez obéi fidèlement à l'ordre que l'Eternel vous avait donné.

   4 Maintenant, l'Eternel votre Dieu a accordé à vos compatriotes une existence paisible dans le pays, comme il le leur avait promis. Vous pouvez donc maintenant partir et rentrer dans le pays qui vous appartient et que Moïse, serviteur de l'Eternel, vous a donné en propriété de l'autre côté du Jourdain.

   5 Seulement, veillez bien à appliquer le commandement et la Loi que Moïse, serviteur de l'Eternel, vous a transmis: aimez l'Eternel, votre Dieu! Suivez tous les chemins qu'il a prescrits pour vous, obéissez à ses commandements, attachez-vous à lui et servez-le de tout votre cœur et de tout votre être! » (Josué 22:1-5)

Quand ils retournèrent, ces tribus construisirent un autel près du Jourdain (22:10). Cette nouvelle atteint les oreilles de leurs frères à l’ouest du Jourdain. Il y avait de l’inquiétude que ceux de l’autre coté de la rivière avaient commencé à perdre leur foi, et ceux du coté ouest du Jourdain étaient déterminés à traiter ce problème:

« 12 Dès que les Israélites l'apprirent, ils se rassemblèrent tous à Silo, pour aller attaquer les hommes des tribus transjordaniennes.

   13 Ils envoyèrent aux hommes des tribus de Ruben, de Gad et de la demi-tribu de Manassé en Galaad, Phinéas, fils du prêtre Eléazar,

   14 dix responsables, chefs de groupe familial parmi les familles d'Israël, un par tribu.

   15 Ils se rendirent auprès des hommes de Ruben, de Gad et de la demi-tribu de Manassé en Galaad et leur parlèrent en ces termes:

   16 ---Voici ce que vous fait dire toute la communauté de l'Eternel: «Pourquoi vous révoltez-vous contre le Dieu d'Israël? Pourquoi vous détournez-vous maintenant de l'Eternel? Car, en construisant un autel pour vous-mêmes, vous vous révoltez contre lui.

   17 Nous avons déjà commis une faute grave à Peor, et nous n'en sommes pas encore purifiés à ce jour, malgré le fléau qui nous a tous frappés. Cela ne suffit-il pas?

   18 Faut-il donc maintenant que vous vous détourniez de l'Eternel? Si, aujourd'hui, vous vous révoltez contre lui, demain, il s'irritera contre toute l'assemblée d'Israël.

   19 Si le pays qui vous a été donné en propriété vous paraît impur, venez donc dans le territoire qui appartient à l'Eternel, et où il a établi sa demeure, et installez-vous au milieu de nous; mais ne vous révoltez pas contre l'Eternel et ne vous opposez pas à nous en vous construisant un autel rival de celui de l'Eternel notre Dieu!

   20 Lorsque Akân, fils de Zérah, a commis une faute grave en dérobant un objet *voué à l'Eternel, tout le peuple d'Israël a subi le contrecoup de la colère divine. Il n'a pas été le seul à périr à cause de sa faute.» » (Josué 22:12-20, mon accentuation en gras)

Nous apprenons bientôt que les inquiétudes des tribus de l’ouest n’avaient pas de raisons d’être, et que cet autel était simplement un monument pour garder leurs cœurs et leurs esprits tournés vers leur Dieu. La chose encourageante à propos de cet incident est que le peuple de Dieu était complètement dévoué à obéir Dieu, et ainsi ils étaient disposés à combattre leurs compatriotes israélites, si besoin était, pour ne pas pécher contre Dieu. Leurs paroles ci-dessus démontrent que les Israélites avaient apprit non seulement des commandements de Dieu, mais aussi de l’histoire. Ils reconnaissaient les signes de désobéissance aux commandements de Dieu. Ils se souvenaient de la façon dont Balaam les avait corrompus (verse 17), et ils se souvenaient des conséquences du péché d’Akân (verset 20). Ils étaient déterminés à obéir Dieu et à traiter avec ceux qui se rebellaient contre Lui selon la Loi. Quel incident encourageant c’est.

Les mots de Josué dans les deux derniers chapitres du Livre de Josué sont similaires aux mots de Moïse dans les derniers chapitres de Deutéronome. Comme Moïse, Josué était très âgé (23:1), et sa mort approchait (23:14). Josué assembla les Israélites pour leur livrer un dernier message. Il rappela aux Israélites tout ce que Dieu avait fait – choses qu’ils avaient vues de leurs propres yeux (23:3). Comme Moïse, Josué conseilla vivement aux Israélites d’obéir attentivement la loi de Dieu et de ne jamais s’en écarter (23:6). Ils devaient faire attention de ne pas s’associer avec les Cananéens, ni d’embrasser aucune de leur idolâtrie (23:7-8,11-13). Josué rappela au peuple qu’aucune des promesses de Dieu n’avaient été accomplies (23:14-15a). Ils devaient aussi se rappeler que chacun des jugements promis par Dieu leur tomberaient dessus s’ils négligeaient d’obéir à Ses commandements (23:15b-16).

Dans le chapitre 24, Josué rappela aux Israélites leurs racines, racines qui les prédisposaient à l’idolâtrie. Il leur rappela que les racines d’Abraham étaient idolâtriques:

« … vos ancêtres, en particulier Térah, le père d'Abraham et de Nahor, ont habité de l'autre côté de l'Euphrate et ils rendaient un culte à d'autres dieux. » (Josué 24:2)

Dieu jugea les Egyptiens et leurs dieux à l’Exode, et pourtant il est apparent qu’au moins quelques-uns des Israélites embrassèrent la vénération des dieux d’Egypte:

« ---Maintenant donc, dit Josué, respectez l'Eternel et servez-le de façon irréprochable et avec fidélité. Rejetez les dieux auxquels vos ancêtres rendaient un culte de l'autre côté de l'Euphrate et en Egypte, et rendez un culte à l'Eternel seulement. » (Josué 24:14, mon accentuation en gras)

Josué défia la nouvelle génération des Israélites d’embrasser l’alliance de Dieu comme la leur. Ils devaient choisir de Le suivre:

« S'il vous déplaît de servir l'Eternel, alors choisissez aujourd'hui à quels dieux vous voulez rendre un culte: ceux que vos ancêtres adoraient de l'autre côté de l'Euphrate ou ceux des Amoréens dont vous habitez le pays; quant à moi et à ma famille, nous adorerons l'Eternel. » (Josué 24:15)

Le peuple répondit en assurant Josué qu’ils avaient l’intention de complètement suivre Dieu:

« 16 Le peuple répondit:
   ---Loin de nous la pensée d'abandonner l'Eternel pour adorer d'autres dieux!

   17 Car c'est l'Eternel notre Dieu qui nous a fait sortir, nous et nos ancêtres, d'Egypte, le pays où nous étions esclaves, il a accompli sous nos yeux des signes extraordinaires, il nous a protégés tout au long du chemin que nous avons parcouru et parmi tous les peuples dont nous avons traversé le territoire.

   18 C'est l'Eternel qui a chassé devant nous tous ces peuples, et en particulier les Amoréens qui habitaient la contrée. Oui, nous aussi, nous voulons adorer l'Eternel, car il est notre Dieu. » (Josué 14:16-18)

Certains penseraient que Josué aurait été ravi de leur réponse, et qu’il les aurait loués et encouragés. Au lieu de ça, il les avertit qu’ils leur seraient impossible tenir leur promesse:

« 19 Alors Josué dit au peuple:
   ---Vous ne serez pas capables de servir l'Eternel, car c'est un Dieu saint, un Dieu qui ne tolère aucun rival. Il ne tolérera ni vos révoltes ni vos péchés.

   20 Si vous l'abandonnez pour adorer des dieux étrangers, il se retournera contre vous pour vous faire du mal. Après vous avoir fait tant de bien, il vous consumera. » (Josué 24:19-20, mon accentuation en gras)

Les Israélites n’étaient pas prêts à accepter les mots de Josué. Bien que Josué les avertit, ils insistèrent qu’ils resteraient fidèles à Dieu:

« 21 ---Non, répondit le peuple. C'est bien l'Eternel que nous voulons adorer!

   22 Josué reprit:
   ---Vous êtes vous-mêmes témoins contre vous que vous avez vous-mêmes choisi l'Eternel pour l'adorer.
   Ils répondirent:
   ---Nous en sommes témoins.

   23 ---Dans ce cas, dit Josué, débarrassez-vous des dieux étrangers qui se trouvent encore au milieu de vous et tournez-vous de tout votre cœur vers l'Eternel, le Dieu d'Israël.

  24 Le peuple répondit:
   ---Nous adorerons l'Eternel notre Dieu, et nous lui obéirons. » (Josué 24:21-24)

Josué fit un contrat entre le peuple et leur Dieu, mais ses mots d’avertissement étaient clairs. Leur contrat servirait comme témoin contre eux (24:27). Tout comme Moïse avait averti de la désobéissance d’Israël dans l’avenir, Josué le fit aussi. Peu après cela, Josué mourut et fut enterré dans le pays montagneux d’Ephraïm. Les os de Joseph, amenés d’Egypte par les Israélites, furent enterrés à Sichem sur la terre de sa famille. Le fils d’Aaron, Eléazar, mourut aussi et fut enterré. Je crois que l’auteur dit clairement que cette génération d’Israélites fidèles s’épuisait.

La mort de la génération de Josué a beaucoup d’importance, parce que les choses ne seraient plus jamais pareilles:

« Les Israélites servirent l'Eternel pendant toute la vie de Josué et, après sa mort, tant que vécurent les responsables qui avaient vu toute l'œuvre de l'Eternel en faveur d'Israël. » (Josué 24:31)

Conclusion

Le Livre de Josué est une grande histoire de succès. Un contraste frappant de la première génération d’Israélites, qui refusèrent de livrer bataille aux Cananéens, qui menacèrent de tuer Moïse et de retourner en Egypte, cette génération audacieusement attaqua l’ennemi. Ils entrèrent en guerre « par la foi » (Hébreux 11:30). La seule défaite que cette génération souffrit sur le champ de bataille fut cette petite défaite (36 morts) à Aï, due au péché d’Akân.

Ce fut une génération marquée par leur obéissance. Ils suivirent fidèlement les ordres de Josué, et ils obéirent les commandements de Dieu (voir 4:10 ; 8:27,30-31 ; 11:15 ; 22:2). Ils ne se sont pas rebellés contre Dieu ou contre Josué. Ils encouragèrent même Josué à être fort et courageux (1:16-18). Ils ne se plaignirent qu’une fois, et dans ce cas, leur plainte était valide (9:18). Ils prirent une situation qui semblait être le commencement d’idolâtrie très sérieusement (22:10-34).

Dieu causa même les échecs des Israélites de « concourir au bien » (Romains 8:28). Quand Akân pécha, les hommes d’Aï gagnèrent une victoire initiale sur les Israélites. Mais ce fut cet échec qui provoqua la rencontre suivante d’Israël avec eux, d’une façon qui finit en grande victoire pour Israël. Dans la seconde confrontation entre Israël et Aï, les soldats qui étaient avec Josué prétendirent de battre en retraite, juste comme il l’avait fait la première fois. A cause de leur première « victoire », le peuple d’Aï déserta la ville pour poursuivre les Israélites, permettant ainsi aux Israélites cachés d’entrer dans la ville et de la brûler. Ainsi, la première défaite d’Israël provoqua la deuxième rencontre à Aï, qui se termina en victoire.

La décision stupide de conclure un traité avec les Gabaonites fut aussi utilisée par Dieu pour le bien. À cause de ce traité, les cinq rois amoréens formèrent une alliance et attaquèrent Gabaon. Cela exigea Israël à venir à leur aide, selon le traité qu’ils avaient conclu avec les Gabaonites. La bataille qui en résulta fut une grande victoire pour Israël et brisa l’esprit d’opposition des Cananéens en Palestine centrale.

La question que nous devrions nous poser est celle-ci: « Comment expliquons-nous le succès d’Israël ? » Etait-ce à cause de la direction de Josué ? Surement Josué était un grand homme et un grand chef, mais était-il meilleur que Moïse ? Je ne pense pas. Etait-ce parce que cette génération était meilleure que la première ? Je ne le pense pas non plus.

« Il n'y a pas de juste,
      pas même un seul,
 » (Romains 3:10)

Je crois qu’il n’y a qu’une explication: Il fut nécessaire pour cette génération de faire confiance et d’obéir Dieu, pour que Ses promesses puissent être satisfaites.

« 3 Comme je l'ai promis à Moïse, je vous donne tout endroit où vous poserez vos pieds.

   4 Votre territoire s'étendra du désert jusqu'aux montagnes du Liban et du grand fleuve, l'Euphrate, à travers tout le pays des Hittites jusqu'à la mer Méditerranée, à l'ouest.

   5 Tant que tu vivras, personne ne pourra te résister, car je serai avec toi comme j'ai été avec Moïse, je ne te délaisserai pas et je ne t'abandonnerai pas. » (Josué 1:3-5, mon accentuation en gras)

« 43 L'Eternel donna aux Israélites tout le pays qu'il avait promis par serment à leurs ancêtres. Ils en prirent possession et s'y établirent.

   44 L'Eternel leur accorda de vivre sans être inquiétés par aucun ennemi autour d'eux, comme il l'avait promis par serment à leurs ancêtres; il leur donna la victoire sur tous leurs ennemis, aucun d'eux ne put leur résister.

   45 Ainsi toutes les promesses de bienfaits que l'Eternel avait données au peuple d'Israël s'accomplirent: aucune d'elles ne resta sans effet. » (Josué 21:43-45)

« Voilà que je m'en vais par le chemin que prend tout être humain. Reconnaissez de tout votre cœur et de tout votre être qu'aucune des promesses de bienfait que l'Eternel votre Dieu vous a faites n'est restée sans effet: elles se sont toutes accomplies pour vous, sans exception aucune. » (Josué 23:14, mon accentuation en gras)

Je me rappelle des mots de Moïse, enregistrés pour nous dans le Livre de Deutéronome:

« Pourtant, jusqu'à ce jour, l'Eternel ne vous a pas donné un cœur capable de comprendre, ni des yeux pour voir ou des oreilles pour entendre. » (Deutéronome 29:3)

Donc, je crois que Dieu donna à cette génération d’Israélites des cœurs pour croire et la volonté d’obéir, pour qu’Il puisse les bénir avec le pays, comme Il promit, et selon Son alliance. La clef du succès d’Israël n’est pas trouvée avec les hommes, mais dans la fidélité de Dieu. L’hymne « Great is Thy Faithfulness » capture certainement la merveilleuse vérité de la grande fidélité de Dieu pour cette génération d’Israélites.

Si cette génération fut si prospère, alors pourquoi est-ce que Josué apparaît-il d’une manière si négative dans le dernier chapitre de Josué ? Je crois que la réponse est en accord avec ce que nous venons juste d’observer. Ce n’est pas la fidélité de l’homme à Dieu qui amène les bénédictions de Dieu, mais c’est la fidélité de Dieu aux hommes qui est la cause de toutes nos bénédictions. Josué conseilla vivement à une nouvelle génération de suivre Dieu, et avec bonnes raisons. Mais leur confiance était en eux-mêmes, en leur propre fidélité. Et c’était à cause de leur confiance en eux-mêmes que Josué leur donna un mot fort d’avertissement. Ils ne pourraient jamais tenir leur promesse, et Josué le savait, comme Moïse le savait. Les Israélites allaient oublier tout ce que Dieu avait fait pour eux, choses que leurs propres yeux avaient vues. Ils allaient abandonner Dieu et se tourner vers des idoles. Et à cause de leur rébellion, Dieu passerait jugement sur la nation.

Leçons Pour les Chrétiens d’Aujourd’hui

Il y a beaucoup de leçons pour nous à apprendre de ce texte. Premièrement, apprenons à ne jamais prendre crédit pour nos succès apparent dans la vie. Si nos « succès » sont vraiment des succès, alors, ceux-ci viennent vraiment de la main de Dieu. Il n’y a rien pour lequel nous oserions prendre le crédit:

« 36 En effet, tout vient de lui, tout subsiste par lui et pour lui. A lui soit la gloire à jamais! Amen. » (Romains 11:36)

« 7 Car qui te confère une distinction? Qu'as-tu qui ne t'ait été donné? Et puisqu'on t'a tout donné, pourquoi t'en vanter comme si tu ne l'avais pas reçu? » (1 Corinthiens 4:7)

Nous devons faire très attention que nous ne présumions pas que nous resterons fidèles. Les écritures sont claires dans leurs avertissements à propos d’être trop sur de soi.

« 12 C'est pourquoi, si quelqu'un se croit debout, qu'il prenne garde de ne pas tomber.

   13 Les tentations qui vous ont assaillis sont communes à tous les hommes. D'ailleurs, Dieu est fidèle et il ne permettra pas que vous soyez tentés au-delà de vos forces. Au moment de la tentation, il préparera le moyen d'en sortir pour que vous puissiez y résister.

   14 Pour toutes ces raisons, mes amis, je vous en conjure: fuyez le culte des idoles. » (1 Corinthiens 10:12-14, mon accentuation en gras)

Nous devrions nous efforcer à être fidèles. Mais nous ne pouvons pas prévoir que nous serons fidèles. C’est Dieu seul qui est complètement fidèle, et nous devons mettre toute notre confiance en Sa fidélité, pas la nôtre.

Dieu n’est pas seulement fidèle, Il est aussi excessivement puissant. Le Livre de Josué est rempli d’exemples du pouvoir de Dieu. Celui qui est fidèle est aussi Celui qui est tout-puissant. Dans le Livre de Josué, nous Le voyons arrêter la coulée de l’eau du Jourdain, pour que Son peuple puisse traverser vers la Terre Promise. Nous voyons Dieu fournir providentiellement la délivrance des espions à travers une prostituée – Rahab. Nous lisons que Dieu détruisit Ses ennemis avec une tempête de grêle, puis causa le soleil de s’arrêter dans le ciel. Quel Dieu merveilleux nous servons ! Il y a-t-il quelque chose dont nous devrions avoir peur autre que Lui ?

Nous sommes rappelés dans le Livre de Josué que l’échec national est toujours la prochaine génération (et quelques fois plus tôt !). Chaque génération doit choisir s’ils serviront ou non Dieu (voir Deutéronome 29:9-15 ; 30:15-20 ; Josué 24:15). Les Israélites furent dit énergiquement qu’ils devaient faire attention d’apprendre à leurs enfants de respecter le Seigneur (Deutéronome 4:5-6,10,40 ; 31:12-13 ; Josué 4:6,21-22 ;14:9). Nous aussi, nous devons faire attention d’apprendre à nos enfants de respecter le Seigneur (Ephésiens 6:4). Chaque génération doit être encouragée à suivre Dieu. Chaque génération doit choisir de le faire ou non.

Une autre question pour pensées et discussions est celle de la tromperie, ou pour parler franchement, mentir. Dans le Livre de Josué (et dans le Nouveau Testament), nous trouvons que Rahab, la prostituée, est nommée dans la liste des gens de foi (Hébreux 11:31 ; voir Jacques 2:25) et même dans la généalogie de notre Seigneur (Matthieu 1:5). Comment explique-t-on le fait qu’elle mentit à son propre peuple à propos des espions ? Et puis il y a la tromperie des Gabaonites. Il n’est pas surprenant de lire à propos d’un Cananéen mentant, mais la base pour les mensonges de chacun est la vérité que Dieu donnera la victoire à Israël. Ici est quelque chose qui vous fait réfléchir. Et par peur que vous ne pensiez que Dieu est tolérant sur le mensonge, souvenez-vous d’Ananias et de Saphira (Actes 5:1-11).

Le Livre de Josué nous rappelle des conséquences terribles du « péché dans le camp ». Le péché d’Akân pourrait sembler insignifiant pour certains, mais pas pour Dieu. En premier lieu, c’était la désobéissance à des instructions très claires et catégoriques (voir Deutéronome 7:25-26 ; Josué 6:17-19). Le péché non seulement corrompt le pécheur, il corrompt aussi l’église de Dieu. Il y a une conséquence sociale du péché, et c’est pourquoi le péché ne peut pas être prit légèrement dans l’église.

« 1 On entend dire partout qu'il y a de l'immoralité parmi vous, et une immoralité telle qu'il ne s'en rencontre même pas chez les païens: l'un de vous vit avec la deuxième femme de son père!

  2 Et vous vous en vantez encore! Vous devriez au contraire en être vivement affligés et faire en sorte que l'auteur d'un tel acte soit exclu du milieu de vous.

  3-4
   Pour moi, qui suis absent de corps, mais présent en pensée parmi vous, j'ai déjà, comme si j'étais présent, prononcé la sentence au nom du Seigneur Jésus contre celui qui a commis cette faute. Lorsque vous serez réunis, et que je serai présent parmi vous en pensée, appliquez cette sentence dans la puissance de notre Seigneur Jésus:

  5 qu'un tel homme soit livré à Satan en vue de la destruction du mal qui est en lui afin qu'il soit sauvé au jour du Seigneur.

  6 Ah! vous n'avez vraiment pas de quoi vous vanter! Ne savez-vous pas qu'«il suffit d'un peu de levain pour faire lever toute la pâte»?

  7 Faites donc disparaître tout «vieux levain» du milieu de vous afin que vous soyez comme «une pâte toute nouvelle», puisque, en fait, vous êtes «sans levain». Car nous avons un agneau pascal qui a été sacrifié pour nous, le Christ lui-même.

  8 C'est pourquoi célébrons la fête de la Pâque, non plus avec le «vieux levain», le levain du mal et de la méchanceté, mais uniquement avec les *pains sans levain de la pureté et de la vérité.

  9 Dans ma dernière lettre, je vous ai écrit de ne pas avoir de relations avec des personnes vivant dans la débauche.

  10 Mais je ne voulais évidemment pas dire par là qu'il faut éviter toute relation avec ceux qui, dans ce monde, mènent une vie de débauche, ou avec les avares, les voleurs ou les adorateurs d'idoles; car alors il vous faudrait sortir du monde.

  11 Non, je voulais simplement vous dire de ne pas entretenir de relations avec celui qui, tout en se disant votre «frère», vivrait dans la débauche, ou serait avare, idolâtre, calomniateur, adonné à la boisson ou voleur. Avec des gens de cette sorte, il ne vous faut même pas prendre de repas.

  12 Est-ce à moi de juger ceux qui vivent en dehors de la famille de Dieu? Certes non! Mais c'est bien à vous de juger ceux qui font partie de votre communauté.

  13 Ceux du dehors, Dieu les jugera. Mais vous, chassez le méchant du milieu de vous. » (1 Corinthiens 5:1-13)

Josué est surement un prototype de notre Seigneur Jésus Christ. C’était lui qui conduisit le peuple de Dieu à la Terre Promise. Ce fut lui qui ne fut jamais battu. Ce fut à lui que Dieu promit que pas un seul mot qu’il dirait échouerait (Josué 23:14). N’est-il pas étonnant que le nom donné à notre Seigneur – Jésus – était « Josué »:

Le nom Josué, une forme contractée de jehoshua (yehoshua), qui apparaît aussi sous la forme Jeshua (yeshua, Néh. 8:17), signifie « Yahwé est la délivrance » ou « salut,… »131

Dans Josué 24:31, on nous dit,

«Les Israélites servirent l'Eternel pendant toute la vie de Josué et, après sa mort, tant que vécurent les responsables qui avaient vu toute l'œuvre de l'Eternel en faveur d'Israël. »

Le peuple de Dieu était en sécurité tant que Josué était vivant. Ne sommes nous pas éternellement en sécurité puisque notre « Josué » vit pour toujours ?

« 15 Cela devient plus évident encore quand on considère ce fait: c'est sur le modèle de Melchisédek qu'un autre prêtre a été établi;

   16 et il n'est pas devenu prêtre en vertu d'une règle liée à la filiation naturelle, mais par la puissance d'une vie indestructible.

   17 Car il est déclaré à son sujet:
      Tu es prêtre pour toujours
      dans la ligne de Melchisédek.

   18 D'une part donc, la règle antérieure se trouve abrogée parce qu'elle était impuissante et inutile.

   19 La Loi, en effet, n'a rien amené à la perfection. D'autre part, une meilleure espérance a été introduite, par laquelle nous nous approchons de Dieu.

   20 En outre, tout cela ne s'est pas fait sans serment de Dieu. Les autres prêtres ont reçu la prêtrise sans un tel serment,

   21 mais Jésus est devenu prêtre en vertu d'un serment que Dieu a prononcé quand il lui a dit:
      Le Seigneur l'a juré, il ne reviendra pas sur son engagement:
      tu es prêtre pour toujours.

   22 Ainsi, Jésus est devenu le garant d'une *alliance meilleure.

   23 De plus, de nombreux prêtres se succèdent parce que la mort les empêche d'exercer leurs fonctions à perpétuité.

   24 Mais Jésus, lui, parce qu'il demeure éternellement, possède le sacerdoce perpétuel.

   25 Voilà pourquoi il est en mesure de sauver parfaitement ceux qui s'approchent de Dieu par lui, puisqu'il est toujours vivant pour intercéder en leur faveur auprès de Dieu. » (Hébreux 7:15-25, mon accentuation en gras)

« 8 Jésus-Christ est le même hier, aujourd'hui, et pour toujours. » (Hébreux 13:8)

Finalement, je remarque que la plus belle heure d’Israël arriva au moment de leurs plus grands défis, en face d’oppositions et de dangers incroyables. Si souvent nous sommes tentés de penser que la présence de Dieu doit être trouvée dans des périodes de paix et de prospérité. La réalité est que nous nous accrochons plus à Dieu quand la vie est dure. Il en était de même pour cette génération. Réfléchissez, Israël avait juste perdu le plus grand chef de tous les temps (Moïse), et ils souffraient la conséquence d’une génération entière mourant dans le désert. Des forces plus nombreuses et plus puissantes les menaçaient. Ce fut durant les temps les plus durs qu’Israël fit l’expérience des meilleures périodes.

Je ne peux m’empêcher de penser à cela en relation à notre propre église. Dans plusieurs années passées, nous avons perdu plusieurs leaders par la mort. Il ne sera pas long avant que la première génération de chefs disparaitra. Qu’arrivera-t-il alors de notre église ? Nous n’avons pas besoin d’avoir peur, car Dieu fournira ce dont nous avons besoin, tout comme Il le fit pour Israël. Dieu avait un Josué attendant dans les coulisses. Le travail de Dieu continua sans incident ; en fait, il continua mieux que sous le commandement de Moïse. Des jours de défi nous attendent, mes amis, mais Dieu est aussi fidèle aujourd’hui qu’Il l’était dans la période de Josué. Et ainsi, je conclus en vous rappelant des mots de notre texte,

« Prends courage et tiens bon, ne crains rien et ne te laisse pas effrayer, car moi, l'Eternel ton Dieu, je serai avec toi pour tout ce que tu entreprendras. » (Josué 1:9)


124 This is the edited manuscript of a message delivered by Robert L. Deffinbaugh, teacher and elder at Community Bible Chapel, on February 18, 2001

125 Unless otherwise indicated, all Scripture quotations are from the NET Bible. The NEW ENGLISH TRANSLATION, also known as THE NET BIBLE, is a completely new translation of the Bible, not a revision or an update of a previous English version. It was completed by more than twenty biblical scholars who worked directly from the best currently available Hebrew, Aramaic, and Greek texts. The translation project originally started as an attempt to provide an electronic version of a modern translation for electronic distribution over the Internet and on CD (compact disk). Anyone anywhere in the world with an Internet connection will be able to use and print out the NET Bible without cost for personal study. In addition, anyone who wants to share the Bible with others can print unlimited copies and give them away free to others. It is available on the Internet at: www.netbible.org.

126 I am reminded of God’s encouragement of Gideon in a similar fashion (see Judges 7:9-14).

127 We should also be reminded of the passage in Exodus 4:24-26, when God nearly killed Moses because he had not circumcised his son. To fail to obey God was therefore more dangerous than to obey.

128 One can hardly believe that the number seven had no significance here.

129 It is interesting to ponder the basis for the Gibeonites’ actions. First, they had to believe that the Israelites would possess the land, so that they were willing to become slaves to them in order to live. Second, they must have believed that the Israelites were people of integrity. Otherwise, how could they have trusted the Israelites to keep their covenant once they learned they had been deceived?

130 It is interesting to note that Joshua begins with Joshua’s words spoken to the eastern tribes, Reuben, Gad, and Manasseh, just as the historical events of the book end with words to these tribes.

131 “Joshua,” The International Standard Bible Encyclopedia, electronic edition.

Related Topics: Faith

19. La Chute de David

Le Livre de 2 Samuel 11 – 24148

Introduction

Il y a quelques années, je lisais une histoire dans le journal que j’ai trouvée amusante. Un homme et sa femme décidèrent d’aller à un cinéma drive-in. Le mari eut l’idée géniale d’essayer d’économiser le prix d’une entrée. Juste à l’extérieur de l’entrée du cinéma, ils arrêtèrent la voiture et le mari se mit dans le coffre. La femme paya son entrée, se gara, et alla à l’arrière de la voiture pour libérer son mari. Il n’y eut qu’un problème – il avait la clef du coffre dans sa poche ! Après que tous les efforts aient échoué, la femme dut appeler de l’aide. Je ne sais pas combien de gens vinrent pour l’aider, mais quand tout fut fini, tout le monde sut qu’ils avaient essayé de voler le cinéma du prix d’un ticket. Les gens venus les aider durent ouvrir le coffre de force, ce qui résultat en beaucoup de dommage. À la fin, ni le mari, ni la femme ne virent le film, ils souffrirent de beaucoup d’humiliation, et ils durent payer pour les dommages du coffre.

Cette histoire me rappelle le récit du péché de David avec Bath-Chéba dans notre texte. Pour David, ses actions pendant cette nuit fatale semblèrent insignifiantes, simplement une pause momentanée dans une vie autrement pieuse. Cependant, les conséquences furent dévastatrices, non seulement pour David, ou pour Urie, mais aussi pour la famille de David et le pays tout entier. Tout le pays paya un prix très élevé pour l’immoralité de David.

Quand nous étudions l’Ancien Testament (ou même le Nouveau), nous devons oublier l’idée que ces évènements bibliques arrivèrent « il y a longtemps et loin d’ici » - des évènements loin de nous, pas seulement physiquement mais dans le temps, et aussi en pertinence. Cependant, ce n’est pas le cas de notre texte. À la vue d’évènements récents dans la politique américaine, notre problème est presque l’oppos2. Les abus de pouvoir politique d’un homme, suivi par ses essais futiles de les dissimuler, sont aujourd’hui connaissances publiques. Les rapports de telles choses ont dominé les informations depuis plusieurs années. Nous sommes si habitués à ce genre de choses que nous sommes devenus désensibilisés à cela. Nous devrions être choqués et horrifiés, mais ces choses sont simplement trop communes. Notre texte devrait nous aider à mettre ces choses dans la propre perspective et de voir le péché comme Dieu le voit.

En étudiant les années difficiles de déclins de la vie de David, soyons tous conscients que nous sommes complètement capables de commettre les péchés que David commit, ou aussi mal. Certains ont peut-être déjà suivi son chemin. D’autres pourraient être en route pour le suivre. Ecoutons bien les mots de notre texte et les encouragements et la condamnation du Saint-Esprit, pour que nous ayons besoin d’apprendre les leçons dures de David comme il l’a fait.

Qu’est ce qu’un Homme Comme Vous Fait Dans un Endroit Comme Celui-là ?

Des Conditions Favorables à la Chute de David

« 8 Si tu construis une nouvelle maison, tu installeras une balustrade autour de ton toit en terrasse, pour que tu ne sois pas responsable de la mort de quelqu'un qui tomberait du toit. » (Deutéronome 22:8)149

« 28 Si un bœuf tue quelqu'un à coups de corne, il sera abattu à coups de pierres. On n'en mangera pas la viande, mais son propriétaire ne sera pas puni.

   29 Toutefois si, depuis quelque temps, ce bœuf avait l'habitude d'attaquer les gens à coups de corne et que son propriétaire en a été formellement averti mais ne l'a pas surveillé, et si ce bœuf tue quelqu'un, il sera abattu à coups de pierres et son propriétaire sera puni de mort.» (Exode 21:28-29)

Il y a certaines conditions qui nous prédisposent à des problèmes dans l’avenir. Si une personne construit une maison avec un toit qui est utilisé comme un balcon (ce qui était commun dans le monde biblique – voir Actes 10), alors ne pas installer une glissière de sécurité au bord du toit permettrait facilement à quelqu’un de tomber du toit, et le propriétaire serait responsable. Si un homme était propriétaire d’un bœuf qui avait auparavant encorné quelqu’un, il serait coupable de meurtre si ce bœuf encornait quelqu’un d’autre. Si vous n’attachez pas votre enfant avec sa ceinture de sécurité, vous pourrez être tenu responsable pour les blessures de votre enfant en cas d’accident. Nous pouvons aussi recevoir un P.V. pour ne pas attacher notre ceinture de sécurité. Négliger des choses importantes pourrait conduire à de sérieux problèmes, pour nous et pour les autres.

En lisant l’histoire de la chute de David dans 2 Samuel 11, je me rappelle de ces mots dans le Livre des Proverbes:

« 6 Un jour, je regardais à travers le treillis de ma fenêtre,

   7 et je vis, parmi les stupides,
      j'observais, parmi les jeunes, un jeune homme dépourvu de sens.

   8 Il passait dans la rue près du coin où se tenait l'une de ces femmes,
      se dirigeant vers sa maison.

   9 C'était au crépuscule, le jour baissait,
      et l'obscurité de la nuit commençait à se répandre.

   10 Or, voici que cette femme vint à sa rencontre,
      habillée comme une prostituée et l'esprit plein de ruse.

   11 Elle parlait fort et sans retenue,
      et ses pieds ne tenaient pas en place chez elle.

   12 Tantôt dans la rue, tantôt sur les places,
      elle faisait le guet à tous les carrefours.

   13 Elle attrapa le jeune homme, l'embrassa
      et, le regardant droit dans les yeux, elle lui dit:

   14 «J'avais à faire un sacrifice de reconnaissance,
      je viens, aujourd'hui même, de m'acquitter de mes vœux.

   15 Voilà pourquoi je suis sortie à ta rencontre,
      je cherchais à te voir, et je t'ai trouvé.

   16 J'ai garni mon lit de couvertures
      et d'étoffe brodée en fils d'Egypte.

   17 J'ai parfumé mon lit
      de myrrhe, d'aloès et de cinnamome.

   18 Viens, grisons-nous d'amour jusqu'au matin,
      livrons-nous aux délices de la volupté,

   19 car mon mari n'est pas à la maison:
      il est parti pour un voyage au loin.

   20 Il a emporté une bourse pleine d'argent,
      il ne rentrera qu'à la pleine lune.»

   21 A force d'artifices, elle le fit fléchir;
      par ses doux propos, elle l'entraîna.

   22 Alors il se mit soudain à la suivre
      comme un bœuf qui va à l'abattoir,
     comme un fou qu'on lie pour le châtier,

   23 jusqu'à ce qu'une flèche lui transperce le foie,
      comme un oiseau qui se précipite dans le filet
      sans se douter qu'il y va de sa vie. » (Proverbs 7:6-23)

Permettez-moi de commencer par dire que je ne compare pas du tout cette catin avec Bath-Chéba, en impliquant que Bath-Chéba d’une façon ou d’une autre attira David dans le péché comme cette femme attire ce jeune homme dans le péché. Proverbes 7:22-23 décrit les actions du jeune homme aussi soudaines et impulsives qu’elles le sont. Mais ce reflexe soudain au péché vient à la fin d’une série de mauvais choix de sa part. Le jeune homme est dehors toute la nuit, errant les rues. Il semble s’être attarder à un endroit où il n’aurait pas dû être. La femme trouve ce jeune homme et lui dit qu’elle sait ce qu’il veut entendre. Il écoute ses mots séduisants, puis soudainement il décide d’accepter son offre.

Le point de ce proverbe est d’apprendre aux jeunes hommes de faire attention à de telles femmes et à de telles circonstances. Le proverbe peut être résumé: « Ne vous y aventurez pas ! » Lisant l’histoire de la chute de David, je vois soudainement ce reflexe au péché comme le résultat d’une série d’échecs de la part de David. Permettez-moi brièvement d’attirer votre attention sur une paire d’erreurs très sérieuses de la part de David.

Premièrement, David choisit de ne pas être engagé dans la guerre d’Israël avec les Ammonites. 2 Samuel 11 commence avec ces mots:

« 1 Au printemps suivant, à l'époque où les rois ont coutume de partir en guerre, David envoya Joab et ses officiers en campagne à la tête de toute l'armée d'Israël. Ils ravagèrent le pays des Ammonites et mirent le siège devant Rabba, leur capitale. David était resté à Jérusalem. » (2 Samuel 11:1, mon accentuation en gras)

David aurait dû être sur le champ de bataille et non pas dans sa chambre.

Deuxièmement, en temps de guerre, un soldat ne devait pas se satisfaire avec les conforts normaux de la vie, incluant des relations sexuelles avec sa femme (sans parler avec la femme de quelqu’un d’autre). Quand David et ses hommes fuirent Saül, allant chez Ahimélek le prêtre à Nob, il lui demanda de pain. Remarquez très attentivement les mots du prêtre et la repose de David:

« 5 Le prêtre lui répondit:
   ---Je n'ai pas de pain ordinaire sous la main, mais seulement des pains consacrés. Tu peux les prendre pour tes hommes s'ils n'ont pas eu de relations sexuelles récemment

6 David répondit au prêtre:
   ---Ils n'en ont certainement pas eues, tout comme par le passé quand je suis parti en campagne. Si l'équipement de mes hommes est consacré pour une expédition profane, à plus forte raison aujourd'hui sont-ils tous consacrés avec leur équipement. » (1 Samuel 21:4-5), mon accentuation en gras)

Les paroles de David à Ahimélek reflètent sa connaissance du fait que les hommes qui sont en guerre « n’ont pas de relations sexuelles ». La tragédie est que quand David cesse de se conduire comme un guerrier devrait, il cherche aussi à persuader Urie de faire de même. David a dû sentir la piqûre de la réponse de Nathan:

« 7 Urie se présenta à David qui lui demanda des nouvelles de Joab, de l'armée et du déroulement des opérations.

  8 Puis David lui dit:
   ---Maintenant, rentre chez toi et repose-toi!
   Dès qu'il fut sorti du palais, le roi lui fit porter un présent.

  9 Mais Urie ne rentra pas dans sa maison: il se coucha à l'entrée du palais royal en compagnie des gardes de son seigneur.

  10 On vint dire à David qu'Urie n'était pas rentré chez lui. Le roi le fit appeler et lui demanda:
   ---Voyons, tu reviens après une longue absence, pourquoi n'es-tu pas rentré chez toi?

  11 Urie lui répondit:
   ---Le coffre sacré, Israël et Juda logent sous des tentes, mon général Joab et ses officiers couchent en rase campagne, et moi, j'irais dans ma maison pour manger, pour boire et pour coucher avec ma femme! Aussi vrai que tu es vivant, je te jure que je ne ferai jamais pareille chose.
 » (2 Samuel 11:7-11, mon accentuation en gras)

Troisièmement, Joab réprimandera bientôt David pour ne pas être sur le champ de bataille et ne pas participer à la guerre d’Israël avec les Ammonites:

« 26 Entre-temps, Joab attaqua Rabba, la cité ammonite, et il s'empara de la ville royale.

  27 Alors il envoya des messagers à David pour lui dire:
   ---J'ai donné l'assaut à Rabba et je me suis même emparé du quartier d'en bas où se trouve la réserve d'eau.

  28 Maintenant rassemble le reste de l'armée et viens toi-même assiéger la ville et t'en emparer. Il ne convient pas que ce soit moi qui la prenne et que tout l'honneur m'en revienne.

  29 David rassembla donc tout le peuple et partit pour Rabba. Il donna l'assaut à la ville et s'en empara.

  30 Il prit la couronne qui se trouvait sur la tête de leur roi[d]. Cette couronne, qui était tout en or, pesait une trentaine de kilos et était garnie d'une pierre précieuse. Elle vint orner la tête de David. Le roi emporta de la ville un immense butin. » (2 Samuel 12:26-30)

Cela fut certainement une piètre victoire pour David, mais au moins il fit quand même une apparition à Rabba. Tout cela est pour dire qu’alors que le péché de David apparut être soudain, et certainement pas digne de son caractère, cela en était un qui résulta de la négligence de son devoir et de son abus de pouvoir. Nous verrons cela quand nous considérerons la série des évènements à sa chute.

La Chute de David

David se lève dans la soirée et va se promener sur son toit. Cela veut-il dire qu’il a passé la journée au lit ? Il n’est certainement pas resté à la maison pour mettre son travail à jour. Le toit de David aurait été un « appartement penthouse » de ces jours. Son palais avait sans doute une vue splendide sur Jérusalem, et la vue devait être encore meilleure du toit.150 Alors qu’il regardait dehors, il vit une femme prenant un bain. Ce n’est pas nécessairement inhabituel. J’ai vu beaucoup de pauvres gens prenant des bains dans les rues en Inde. (Dans de telles circonstances, ils ne le font pas complément déshabillés). Les pauvres n’ont pas le privilège d’intimité complète.

Quand David vit cette femme, il n’agit pas comme un gentleman. Il n’a pas détourné son regard ; au lieu de cela, ses yeux se fixèrent sur elle et il contempla sa beauté. Il n’était, à ce moment, pas mieux qu’un voyeur. Je dois faire une pause ici pour dire que ce que David fit n’aurait pas été possible pour la plupart des hommes, parce qu’ils ne vivaient pas dans un palais avec une vue sur le monde d’en-bas. Mais le même péché est devenu encore plus facile pour les hommes et les femmes aujourd’hui. Je veux parler de la pornographie. Nous pourrions, par simplement quelques clics de souris, voir toute la nudité et la perversion qu’on veut sur l’Internet. Nous pouvons, simplement en poussant un certain bouton sur la télécommande, voir plus de nudité que David ne vit sur l’écran de notre télévision en regardant une émission. D’innombrables vies ont été détruites en regardant des choses que nous ne devrions pas voir.

Si David n’avait pas été le roi d’Israël, cette question n’aurait pas été plus loin. Mais il était l’homme le plus puissant d’Israël. Ce que David voulait, il pouvait l’avoir, et sans un mot de protestation. David envoya d’abord ses serviteurs s’enquérir de l’identité de cette femme. Quand ils lui dirent qu’elle était mariée, c’était un point qui aurait dû terminer sa poursuite. Mais ce n’était pas une barrière pour David. Il eut cette femme amenée à lui et elle coucha avec lui.

C’est mon avis que l’auteur n’essaye pas de blâmer Bath-Chéba. On ne nous dit pas qu’elle agit d’une manière provocatrice. Tout arriva à l’initiative de David. La réprimande de Nathan place le blâme tout entier sur David, et non sur Bath-Chéba. Elle n’était qu’une jeune femme, la femme d’un étranger ; David était le roi. Quand il ordonnait à quelqu’un de venir, ils venaient. Ce n’était pas les charmes de David qui amenèrent Bath-Chéba. Les deux ne se connaissaient pas avant cette nuit. Ce fut le pouvoir de David qui fit que cet évènement arriva.

Quand Bath-Chéba apprit qu’elle était enceinte, elle le fit savoir à David. David arriva alors à un autre point de sa vie. Il aurait pu avouer son péché et accepter les conséquences, ou essayer de le dissimuler. David choisit ce dernier. Une fois de plus, il abusa son pouvoir. Il ordonna d’amener Urie du champ de bataille sous le prétexte d’obtenir un rapport authentique en ce qui concernait la situation sur le terrain. Son plan était d’amener Urie à la maison, assumant qu’Urie ferait ce qu’il avait lui-même fait – couché avec Bath-Chéba. Il semblerait alors que cet enfant, l’enfant de David, serait l’enfant d’Urie.

Ça aurait bien pu marcher, si Urie avait agit comme David avait pensé. Combien tentant cela a dû être pour Urie de faire ce que David suggéra – d’aller chez lui et de passer la nuit avec sa femme. Urie était un soldat, mais il était bien plus que ça ; Urie était un héro militaire (voir 2 Samuel 23:39).151 Il était un homme qui avait un sens du devoir, et qu’il ne le mettrait pas de coté, même pour être avec sa femme et même après que David le soûla (2 Samuel 11:13).

Le plan de David de soûler Urie pour qu’il couche avec sa femme échoua. Urie saurait que l’enfant n’était pas de lui. David fit face à une autre décision. Avoua-t-il son péché, ou continuera-t-il vers un nouveau niveau diabolique ? Triste de dire, David ne choisit pas d’avouer. C’est à ce point que David entra dans une relation contraire à ses habitudes avec Joab. Il suspectait que Joab était un meurtrier:

« 5 Par ailleurs, tu sais tout ce que m'a fait Joab, fils de Tserouya, et ce qu'il a fait à deux chefs des armées d'Israël, à Abner, fils de Ner, et à Amasa, fils de Yéter. Il les a assassinés en pleine paix comme s'il s'agissait d'un fait de guerre, il a pris sur lui la pleine responsabilité de ce meurtre. » (1 Kings 2:5)

Le péché n’est pas l’ami des hommes. Cette alliance entre David et Joab ne serait jamais arrivée si David n’était pas, pour un moment, devenu comme Joab, un homme dont David méprisait la violence.

Réalisant qu’Urie avait trop d’intégrité pour coucher avec sa femme pendant la guerre, David changea ses plans. Il envoya des ordres à Joab, signant l’arrêt de mort d’Urie dans la main de ce vaillant guerrier. On pouvait compter sur cet homme pour exécuter les ordres sans même les regarder. Quel homme incroyable Urie était !

Pendant qu’Urie faisait de son mieux, David venait d’atteindre son plus bas. Quand vous arrêtez et réfléchissez, David était beaucoup devenu comme Saül. Urie était un sujet loyal de David, qui ne blesserait pas son roi, et pourtant, le roi (David) chercha à le tuer de la même façon que Saül employa quand il essaya de tuer David:

« 17 Un jour, Saül dit à David:
   ---Je suis prêt à te donner ma fille aînée Mérab en mariage à condition que tu me serves comme un vaillant guerrier et que tu livres les combats de l'Eternel.
   Il se disait:
   ---Il vaut mieux que ce ne soit pas moi-même qui attente à sa vie, mais plutôt les Philistins! » (1 Samuel 18:17, mon accentuation en gras)

Les ordres de David montrent ses actions étant encore plus mauvaises que celles de Saül dans le passage ci-dessus. Saül espérait que David serait tué à la guerre ; il n’ordonna pas que David soit placé en premières lignes et que ses troupes de support soient retirées. Le plan de Saül espérait la mort de David. Le plan de David résultat en la mort d’Urie au coût d’autres vies innocentes. David était disposé à sacrifier ses soldats aux mains des ennemis pour se débarrasser d’Urie. Le plan de David donna à son ennemi l’avantage et une victoire momentanée. Qu’est-ce qu’il est loin David à ce moment du vaillant guerrier qu’il avait été une fois.

Joab exécuta précisément les ordres de David, causant la mort d’Urie ainsi que celles d’autres soldats israélites. Quand le rapport de la mort d’Urie atteint David, sa réponse est incroyablement dure:

« 25 David dit au messager:
   ---Tu diras à Joab: «Ne prends pas cet incident au tragique. A la guerre, il y a toujours des morts tantôt ici, tantôt là. Poursuis ton attaque contre la ville et détruis-la!» Encourage-le ainsi! » (2 Samuel 11:25)

Quel contraste que c’est à la réponse de David au rapport de la défaite des Israélites et de la mort de Saül et de ses fils (voir 2 Samuel 1). Quel contraste à sa réponse à la mort d’Abner (2 Samuel 3:28-39). Quand David sut qu’Urie était mort, c’était comme si David avait dit, « Bon, des fois on gagne, des fois on perd ».

Je me demande si Bath-Chéba avait une idée (au moins au début) que c’était David qui donna l’ordre qu’Urie soit tué. Je doute sérieusement que David ne lui aurait jamais dit ; néanmoins, c’est devenu connaissance publique. Le plan de David était d’avoir Urie tué puis de faire la chose charitable d’accueillir sa femme dans son harem. Son plan était d’éliminer Urie avec seulement une autre personne étant au courant – Joab. Cela ne se passa pas comme David avait espéré.

« 2 Car tout ce qui se fait en secret sera dévoilé, et tout ce qui est caché finira par être connu.

  3 Ainsi, tout ce que vous aurez dit en secret sera entendu ouvertement en plein jour, et tout ce que vous aurez chuchoté dans le creux de l'oreille, derrière des portes bien closes, sera crié du haut des toits en terrasses. » (Luc 12:2-3; voir aussi Nombres 32:23; 1 Timothée 5:24-25)

Confrontation et Aveux

Quand j’étais un étudiant au séminaire, une des classes que je devais suivre était « comment prêcher ». J’étais très convaincu de l’importance des langues originales et de la théologie, mais je n’étais pas très intéressé par les classes de méthodes. Si j’avais été Nathan et j’avais su que j’allais avoir à confronter David pour son péché, j’aurais assisté à autant de classes de « comment prêcher » que j’aurais pu. Bien sur, il est important que ce que vous disiez soit vrai, mais il est aussi important de savoir comment dire la vérité.

Nathan confronta prudemment David avec la vérité. Je ne sais pas combien de temps il fallut à Nathan pour préparer son message, mais son approche fut magistrale, et elle accomplit sa tâche. Il confronta David avec son péché, l’amena à la repentance, et resta en vie pendant tout ça. David avait grandi comme un berger. Je pense qu’il aimait les moutons. Quand il s’occupait du troupeau de son père, il aurait pu caresser un agneau ou deux. Nathan raconta à David l’histoire d’un homme pauvre qui n’avait qu’un seul agneau qu’il aimait beaucoup. Il était comme un de ses enfants, un membre de sa famille. Il le portait dans ses bras et le nourrissait à sa table. Un homme riche qui avait un grand troupeau de moutons accueillit un visiteur et l’invita à diner. Plutôt que de tuer un de ses moutons, l’homme riche prit l’agneau du pauvre, le tua, et le servit à son invité.

Nathan avait bien choisi ses mots, sans mentionner le fait que l’Esprit de Dieu transperçait le cœur de David. David était furieux. Ce mec devrait mourir ! David devait probablement dire qu’il aimerait mettre la main sur ce type. Par la loi, l’homme ne pourrait être requis que de payer quatre fois le pauvre homme, mais cela ne remplacerait jamais ce qu’il avait perdu.

Ce ne fut qu’à ce moment-là que maintenant que Nathan expliqua l’histoire. Le vrai vilain était David. Ce n’était pas un petit agneau qui avait été volé à un pauvre homme, mais une jeune femme, qui avait était prise à un homme sous l’autorité de David. Comme l’homme riche dans l’histoire avait beaucoup de moutons, David avait beaucoup de femmes. Comme l’homme riche prit ce qui ne lui appartenait pas, David prit la femme d’Urie. Si David pensait que le voleur riche méritait de mourir, combien de fois plus David méritait de mourir pour ce qu’il avait fait à Urie ?

Une chose m’a troublé à propos de la réprimande de Nathan. Pourquoi cela arriva-t-il si tard ? Pourquoi est-ce que Dieu ne confronta-t-il pas David avant qu’il n’ait péché avec Bath-Chéba ? Pourquoi est-ce que Dieu ne réprimanda pas David avant qu’il ait fait tué Urie ? Pourquoi est-ce que Dieu a-t-il attendu si longtemps avant d’agir ? Je crois que nous avons quelques indices dans la Bible. Dans 2 Pierre 3, nous lisons:

« 8 Mais il y a un fait que vous ne devez pas oublier, mes chers amis: c'est que, pour le Seigneur, un jour est comme mille ans et mille ans sont comme un jour.

  9 Le Seigneur n'est pas en retard dans l'accomplissement de sa promesse, comme certains se l'imaginent, il fait simplement preuve de patience à votre égard, car il ne veut pas qu'un seul périsse. Il voudrait, au contraire, que tous parviennent à se convertir. » (2 Peter 3:8-9)

De cela nous apprenons que Dieu retarde d’amener le jugement des hommes comme une manifestation de Sa grâce. Dieu retarde le jugement (Il fait preuve de patience) pour donner aux hommes l’opportunité de se repentir.

Nous trouvons une autre raison dans Genèse 15:

« 13 Le Seigneur lui dit:
   ---Sache bien que tes descendants vivront en étrangers dans un pays qui ne leur appartiendra pas, on en fera des esclaves et on les opprimera pendant quatre cents ans.

  14 Mais je punirai la nation qui les aura réduits en esclavage et ils quitteront le pays chargés de grandes richesses.

  15 Quant à toi, tu rejoindras en paix tes ancêtres, et tu seras enterré après une heureuse vieillesse. 

16 C'est seulement à la quatrième génération que tes descendants reviendront ici car, jusqu'à présent, les Amoréens n'ont pas encore mis le comble à leurs crimes. » (Genèse 15:13-16, mon accentuation en gras)

Plutôt que de « détruire le péché au départ », quelques fois Dieu retarde Son jugement pour permettre au péché de grandir. Dans Proverbes, nous trouvons beaucoup d’avertissements. Le jeune homme ou jeune femme (« mes fils ») est encouragé à éviter le péché en étant prévenu où ce mauvais chemin conduira. Par exemple, dans Proverbes 7, on nous raconte une histoire d’un jeune homme dépourvu de sens et d’une femme adultère. À la fin, la personne sans sens est dite:

« 24 Et maintenant, mes fils, écoutez-moi!
      Prêtez attention à mes paroles!

  25 Que votre cœur ne se laisse pas entraîner par une telle femme!
      Ne vous égarez pas dans ses sentiers,

  26 car nombreuses sont ses victimes blessées à mort,
      et ceux qu'elle a fait périr comptent parmi les plus robustes.

  27 Sa maison est le chemin du séjour des morts
      qui mène directement aux demeures de la mort. » (Proverbes 7:24-27, mon accentuation en gras)

Certains d’entres nous n’apprennent pas les choses facilement – en étant avertis à l’ avance; au lieu de ça, nous devons apprendre de façon douloureuse. Ce sont à ces moments-là que Dieu permet au péché de se développer en sa forme complète. Alors, nous pouvons voir par nous-mêmes où le péché conduit. Dieu permit au péché de David de grandir, sans encombre, jusqu'à ce que son désir incontrôlé entraîna la mort de plusieurs Israélites et des conséquences dévastatrices pour sa famille et le pays. Pas étonnant que la Bible nous dise,

« 23 Car le salaire que verse le péché, c'est la mort, mais le don gratuit que Dieu accorde, c'est la vie éternelle dans l'union avec Jésus-Christ notre Seigneur. » (Romans 6:23)

Il y a encore une autre raison, je crois, pour le retard de Dieu à envoyer Nathan pour confronter David. Ce n’est pas que Dieu attendit pour commencer à s’occuper de David. Dieu attendit pour envoyer Nathan confronter David jusqu'à ce qu’Il eut assez préparé David pour la repentance. David lui-même nous dit cela dans Psaumes 32:

« 3 Tant que je taisais ma faute,
      je m'épuisais à gémir sans cesse, à longueur de jour.

  4 Sur moi, le jour et la nuit, ta main s'appesantissait,
      ma vigueur m'abandonnait comme l'herbe se dessèche lors des ardeurs de l'été.
      (Pause)

  5 Je t'ai avoué ma faute,
      je n'ai plus caché mes torts,
      j'ai dit: «Je reconnaîtrai devant l'Eternel les péchés que j'ai commis.»
      Alors tu m'as déchargé du poids de ma faute.
      (Pause) » (Psaumes 32:3-5)

Dieu attendit pour réprimander directement David jusqu'à ce que son esprit soit moins dur et plus sensible à son péché. Le cœur de David l’avait condamné longtemps avant que Nathan ne le réprimanda. Je crois que la réprimande de Nathan fut presque un soulagement pour David. Maintenant, finalement, son péché fut connu de tous et pouvait être confessé et pardonné.

Quelques fois on me demande de définir à quoi ressemble la vraie repentance. Normalement je dis aux gens qu’alors que la repentance peut être difficile à décrire à l’avance, elle est facile à reconnaître. Vous connaitrez la vraie repentance quand vous la verrez. Il n’y a aucun moyen de faire erreur sur la repentance dans les mots et les actions de David:

« 13 David dit à Nathan:
   ---J'ai péché contre l'Eternel!
   Nathan lui répondit:
   ---Eh bien, l'Eternel a passé sur ton péché. Tu ne mourras pas. » (2 Samuel 12:13)

David était vraiment un « homme qui correspondait aux désirs de Dieu » (1 Samuel 13:14; Actes 13:22). En dépit de ses péchés terribles, David aimait Dieu, et il écouta la réprimande de Nathan. Sa réponse est seulement une phrase courte. Il n’y a pas d’excuse ni de qualifications. David admit qu’il était coupable des accusations que Nathan avait énoncées. Il élaborera sur cela dans Psaumes 32 et 51, mais tout commenca par une très simple admission de culpabilité.

David fut pardonné (12:13). Il aurait dû mourir pour son péché, et il ne mourut pas. Mais il y aurait des conséquences douloureuses pour son péché.

« 14 Toutefois, comme par cette affaire tu as fourni aux ennemis de l'Eternel une occasion de le mépriser, le fils qui t'est né mourra. » (2 Samuel 12:14)

Non seulement le fils de David mourait, mais la famille de David et son royaume souffriraient aussi. Les conséquences étaient liées de près aux péchés de David:

« 9 Alors pourquoi as-tu méprisé ma parole en faisant ce que je considère comme mal? Tu as assassiné par l'épée Urie le Hittite. Tu as pris sa femme pour en faire la tienne, et lui-même tu l'as fait mourir par l'épée des Ammonites.

   10 Maintenant, la violence ne quittera plus jamais ta famille parce que tu m'as méprisé et que tu as pris la femme d'Urie le Hittite pour en faire ta femme.»

   11 Voici ce que déclare l'Eternel: «Je vais faire venir le malheur contre toi, du sein même de ta famille, je prendrai sous tes yeux tes propres femmes pour les donner à un autre, qui s'unira à elles au grand jour.

   12 Toi, tu as agi en cachette; mais moi j'exécuterai cela sous les yeux de tout Israël, au grand jour.»

   13 David dit à Nathan:
   ---J'ai péché contre l'Eternel!
   Nathan lui répondit:
   ---Eh bien, l'Eternel a passé sur ton péché. Tu ne mourras pas. » (2 Samuel 12:9-12)

Les conséquences pour les péchés de David étaient expliquées clairement et furent réalisées avec précision. Parce que David utilisa l’épée pour tuer Urie le Hittite, Dieu dit que l’épée ne quitterait pas la dynastie de David. L’épée fut souvent utilisée dans la dynastie de David. Son fils, Absalom, tuerait un autre fils, Amnôn. Absalom chercherait à détrôner David, et ainsi David devra combattre Absalom et ses armées pour protéger son royaume. Joab tuerait Absalom. Adoniya cherchera à s’établir lui-même comme roi à la place de David, et éventuellement Salomon le fera exécuter (1 Kings 1 et 2).

Parce que David prit la femme d’un autre homme en privé, Dieu dit à un autre homme de prendre les autres femmes de David à la vue de tous. Et cela arriva:

« 20 Alors Absalom dit à Ahitophel:
   ---Tenez conseil ensemble. Que dois-je faire?

   21 Ahitophel lui répondit:
   ---Va vers les épouses de second rang de ton père qu'il a laissées pour garder le palais, couche avec elles, et tout Israël saura que tu as outragé ton père. Ainsi le courage de tous tes partisans en sera affermi.

   22 On dressa donc une tente sur le toit en terrasse du palais, et Absalom y alla coucher avec les épouses de second rang de son père sous les yeux de tout Israël. » (2 Samuel 16:20-22, mon accentuation en gras)

Parce que David regardait le Seigneur avec mépris, le fils que Bath-Chéba eut avec lui mourrait. Et alors que ce fils mourut, David en fit un exemple très positif pour nous tous de la façon dont il se conduit. Du temps où l’enfant fut malade jusqu’au moment où il mourut, David jeuna et pria, comme si par hasard Dieu pourrait fléchir concernant sa mort. Quand le petit mourut, les serviteurs avaient peur de le dire à David, de peur qu’il puisse se blesser. S’il était si désespéré quand le bébé était malade, comment allait-il réagir quand il apprendrait que le petit était mort ? David remarqua que les serviteurs murmuraient et se douta que le petit était mort. Quand il leur demanda directement si le petit était mort, ils répondirent que oui.

Les serviteurs de David furent choqués de voir le roi se lever du sol, prendre un bain, changer ses vêtements, manger, puis aller à la maison du Seigneur pour vénérer. Ils lui demandèrent pourquoi il avait répondu comme ça. David leur dit qu’il savait que Dieu pourrait avoir pitié de l’enfant quand Il observait sa repentance. Mais maintenant que l’enfant était mort, il espérait cela comme venant du Seigneur, sachant que bien que l’enfant ne pouvait pas venir vers lui, il le joindrait un jour au paradis.152

Retour à l’Envoyeur

Le Viol de Tamar, la Fille de David

Il ne fallut pas longtemps pour que les conséquences promises pour le péché de David commencèrent à se déroulées. Le premier incident est le viol de la fille de David, Tamar,153 par son demi-frère, Amnôn. Amnôn « tomba amoureux »154 de Tamar, et grâce aux conseils de son « ami », Yehonadab, Amnôn persuada David qu’il était malade et que si sa sœur lui servait un repas, cela serait thérapeutique. Pourquoi David n’a-t-il pas senti un risque potentiel dans cette histoire est étonnant pour moi, mais je suspecte que son engourdissement d’Esprit dans ce domaine était lié à son propre collapse moral. (David aurait pu le suspecter puis le rejeter comme s’il venait de sa conscience coupable).

Je crois qu’il est important que Tamar fut agressée. Je suis convaincu que c’était un abus de pouvoir de David qui amena son union sexuelle avec Bath-Chéba. La femme ne fut pas invitée au palais de David ; il envoya des messagers pour l’amener à lui. Et maintenant, ce fut son fils – son fils ainé – qui viola la fille de David, sa demi-sœur. Ce fut David qui ordonna Tamar à aller chez Amnôn. Amnôn usa aussi son pouvoir pour accomplir son péché – pas seulement son pouvoir physique, mais son autorité. Amnôn ordonna tous ses serviteurs de quitter sa chambre. Qu’aurait-pu faire Tamar ? Maintenant David arriva à apprécier ce qu’avoir une personne qu’il aime être utilisée par une personne qui est puissante. Sans le savoir, David était un participant dans ce plan diabolique, qui ne lui apporta que la souffrance.

Le plan d’Yehonadab marcha. D’accord, ça ne raconte pas tous les détails, mais Amnôn ne semble pas avoir de difficulté à comprendre ce qu’Yehonadab voulait dire. Les plaidoiries de Tamar furent ignorées, mais après qu’Amnôn réussit à humilier sa demi-sœur, il la méprisa. Contrairement à David, il n’avait pas d’honneur du tout. Il ne la maria pas, comme Tamar pensa qu’il ferait, et comme elle le supplia. Il la jeta à la rue et verrouilla la porte derrière elle. Sa cruauté était au-delà de toute description.

Quand David apprit cet incident, il fut furieux. Au début, je pensais que David ne fit rien du tout. Mais les versets 21 et 22 semblent impliquer le contraire:

« 21 Le roi David apprit tout ce qui s'était passé et il en fut très irrité.

   22 Quant à Absalom, il n'adressait plus la parole à Amnôn, ni en bien, ni en mal, car il l'avait pris en haine à cause du viol de sa sœur Tamar. » (2 Samuel 13:21-22)

Les deux, David et Absalom, étaient furieux, mais Absalom se le garda. Il ne dit rien à Amnôn, bon ou mal. Je comprends que la réponse de David était différente. Je crois qu’il avait beaucoup à dire à Amnôn. Mais en dépit de ses mots, David semble n’avoir rien fait. Au moins, il aurait pu expulser Amnôn, ou il aurait pu insister qu’il marie Tamar. Il aurait pu au moins rendre sa désapprobation publique, comme il l’avait fait quand Joab assassina Abner (2 Samuel 3:27-39).

Absalom attendit deux ans pour prendre revanche sur Amnôn, pour ce qu’il avait fait contre sa sœur. Il persuada David d’envoyer Amnôn avec ses autres fils, à une célébration qu’il organisait à son ranch à la tonte des moutons. Une fois de plus, David sembla avoir quelques doutes, mais finalement il acquiesça, par cela devenant un complice à ce meurtre. Du rapport original que David reçut, il eut peur que tous ses fils avaient été tues par Absalom, mais ce n’était pas le cas. Yehonadab savait très bien que ce n’était pas le cas, et il le dit à David. Tout comme il facilita le viol de Tamar, il sembla connaître le plan d’Absalom pour tuer Amnôn, et pourtant il ne fit rien pour stopper aucun des crimes. Yehonadab est le genre d’ami dont personne n’a besoin.

La Folie d’Absalom

Après qu’Absalom tua Amnôn, il s’enfuit chez son grand-père, Roi Talmaï de Guechour (2 Samuel 3:3 ; 14:37). Bien que David fut remis de la mort d’Amnôn et désirait aller chercher Absalom, il ne le fit pas. Absalom resta à Guechour pendant trois ans. Finalement, Joab orchestra des évènements pour que David soit d’accord pour permettre à Absalom de revenir en Israël, mais David ne voulait toujours voir son fils face à face. Au moment où David avait été disposé à rencontrer Absalom, leur rapport avait déjà désintégré. Au moment où David était disposé à voir Absalom, leur relation avait déjà été détruite.

Absalom s’Engage Dans la Politique

Absalom était certainement un candidat logique pour roi, si les questions de cœur n’étaient pas considérées. Il était séduisant, intelligent, et il avait une façon charmante avec les gens. Quelque part le long du chemin, Absalom décida d’acquérir le royaume de son père. Tout comme il avait attendu patiemment pour tuer Amnôn, il fut aussi patient et résolu dans son plan pour acquérir le royaume de son père, David:

« 2 Il se levait de bon matin et se postait au bord de la route qui conduisait à l'entrée de la ville. Chaque fois que passait un homme qui se rendait auprès du roi pour demander justice à propos d'un litige, Absalom l'interpellait et lui demandait:
   ---De quelle ville viens-tu?
   L'autre répondait:
   ---Ton serviteur est de telle tribu d'Israël.

   3 Alors Absalom lui disait:
   ---Ta cause est juste et tu es dans ton bon droit, mais vois-tu, personne ne t'écoutera chez le roi.

   4 Puis il ajoutait:
   ---Ah! si je rendais la justice dans ce pays! Tous ceux qui seraient en litige ou en procès viendraient me trouver et je leur ferais justice!

   5 Quand quelqu'un s'approchait pour s'incliner devant lui, il lui tendait la main, le saisissait et l'embrassait.

   6 Absalom agissait ainsi envers tous ceux d'Israël qui se rendaient auprès du roi pour demander justice. De cette manière, il conquit insidieusement les suffrages des gens d'Israël. » (2 Samuel 15:2-6 )

Il n’est pas difficile de comprendre ce qui arriva et comment Absalom capitalisa dessus. Le people amenaient leurs disputes ou leurs inquiétudes devant le roi (1 Rois 3:16-28), ou ses représentants, pour un jugement. David a pu devenir « trop occupé » (ou trop important) pour de tels questions, et une bureaucratie a put être établie pour traiter ces affaires. Ceux qui ont fait la queue pour transférer une voiture ou pour renouveler leur permit de conduire savent quelles frustrations cela peut être. Un homme perspicace comme Absalom vit cela comme son opportunité pour gagner la confiance de ceux qui n’étaient pas contents avec le gouvernement de David.

Il peut difficilement être resumé d’une meilleure façon que de dire qu’Absalom devint un politicien typique. Il passait du temps parmi le peuple, leur promettant de leur donner ce qu’ils voulaient, s’il était roi. Il se faisait aimer des autres en donnant l’apparence d’être un humble serviteur du peuple et non pas un roi arrogant qui n’avait pas de temps pour les petites gens. Le peuple adorait entendre ça ; ils l’adoraient. Alors il arriva à détourner les cœurs du peuple de David vers lui.

Absalom réunit aussi les leaders qui renforceraient sa position autour de lui. Il recruta Ahitophel, le Guilonite, qui était avant le conseiller de confiance de David. David réalisa trop tard ce qui se passait. Ce fut par les mots d’un messager que David fut informé qu’une révolte de grande envergure mijotait sous la direction d’Absalom. La seule chose qui restait à faire était de fuir Jérusalem avec l’espoir d’échapper assez longtemps pour se regrouper, pour que les forces d’Absalom puissent être mises en défaite et son complot déjoué.

Ne laissant qu’un équipage réduit au stricte minimum, David fuit de Jérusalem, avec sa famille et ceux qui lui étaient loyaux. Voilà un autre temps dans la vie de David quand ses vrais amis montrèrent qui ils étaient. Ittaï le Gathiens refusa de quitter David, bien que David l’y encouragea (15:19-22). Houchaï le Arkien servit David en retournant à Jérusalem et prétendant être un fidèle serviteur d’Absalom, lui donnant ainsi l’opportunité de contrecarrer les conseils d’Ahitophel (15:31-37). Tsiba, le serviteur de Mephibocheth, rencontra David avec des ânes et des provisions de nourriture pour le roi et ceux avec lui (16:1-4).

Chimeï était un Benjaminite à qui le fait que David avait remplacé la dynastie de Saül avait déplu. Il accusa faussement David d’avoir tué tous ceux dans la maison de Saül. Abichaï, le fis de Tserouya et le frère de Joab et Asaël, voulait tuer Chimeï immédiatement, mais David ne le permit pas. David voulait être certain que Dieu ne parlait pas à travers Chimeï.

Pendant ce temps, à Jérusalem, Absalom arriva avec ses hommes et conquit le trône. Sa première décision fut quoi faire de David. Le conseil d’Ahitophel fut directement contredit par celui d’Houchaï (l’ami de David). L’avis contradictoire de ces deux conseillers peut être résumé comme ça :

Le Conseil d’Ahitophel L’Avis d’Houchaï

Poursuivre David Immédiatement Attendre Pour Attaquer

Utiliser une Force Spéciale de Guerriers Assembler l’Armée Toute Entière

Ahitophel Mènera la Poursuite Absalom Devrait Mener l’Attaque

Tuer Seulement David Tuer David et Son Armée

Bien que le conseil d’Ahitophel fût estimé presque autant qu’une prophétie (16:23), Dieu dirigea ces évènements pour que le conseil d’Houchaï domine. Cela donna à David et ses hommes le temps dont ils avaient besoin pour s’échapper et se préparer pour la bataille. Ahitophel réalisa qu’Absalom ne prévaudrait jamais sur David une fois qu’il adopta le plan qu’Houchaï proposa, alors il alla à sa maison, mit ses affaires en ordre et se suicida.

David divisa ces hommes en trois forces, menées par Joab, Abichaï, et Ittaï le Gathien. David avait l’intention de marcher avec son armée mais fut persuadé que cette fois, il serait mieux pour tous s’il restait à l’arrière. Les instructions de David à ses commandants fut le pire ordre qu’il donna en temps de guerre:

« 5 Le roi donna cet ordre à Joab, à Abichaï et à Ittaï:
   ---Par égard pour moi, ménagez le jeune Absalom!
   Toute la troupe l'entendit donner cet ordre à tous les chefs de l'armée au sujet d'Absalom. » (2 Samuel 18:5)

La folie de cet ordre est stupéfiante. C’était envoyer ses hommes à leur mort. Ils devaient risquer leurs vies combattant un ennemi cherchant à les tuer, pourtant ils furent ordonnés de ne pas faire de mal à celui qui était derrière tout ça. Tout le monde savait que le commandant des forces ennemies était la cible primordiale de la bataille:

« 2 Ensuite, il partagea l'armée en trois corps qu'il confia à Joab, à Abichaï, fils de Tserouya, frère de Joab, et à Ittaï, de Gath. Puis il annonça à la troupe qu'il les accompagnerait lui-même au combat.

   3 Mais les soldats s'écrièrent:
   ---Non, tu ne dois pas venir avec nous! Car si nous étions mis en fuite, on ne ferait pas attention à nous, et si même la moitié d'entre nous succombait, on n'y attacherait pas d'importance, mais toi, tu comptes autant que dix mille d'entre nous; d'autre part, il est préférable que tu puisses à tout moment venir à notre aide depuis la ville.

   4 Le roi leur dit:
   ---Je ferai ce que vous jugerez bon.
   Il se plaça donc près de la porte de la ville et toute l'armée sortit par «centaines» et par «milliers». » (2 Samuel 18:2-4; voir aussi 1 Kings 22:29-33

Notre propre histoire devrait nous enseigner qu’une armée ne devrait jamais être envoyée à la guerre si elle est ordonnée de ne pas gagner. Heureusement pour David, ce fut un ordre que Joab ignora.

La bataille eut lieu dans la forêt d’Ephraïm, et l’armée de David s’imposa sur l’armée d’Absalom. Dieu utilisa le terrain comme un allie. On nous dit que

« … ceux qui trouvèrent la mort dans la forêt furent plus nombreux que ceux qui furent tués par l'épée. » (18:8)

Par bonheur, Absalom rencontra les hommes de David, mais comme il était sur une mule, et sa tête s’accrocha aux branches d’un chêne, l’arrachant de sa monture, et le laissant suspendu à l’arbre. Les hommes de David le virent suspendu mais ne le frappèrent pas à cause des ordres de David. Joab réalisa la stupidité de cet ordre155 et tua Absalom lui-même. Quand des messagers allèrent à David pour lui rapporter leur victoire, il devint évident que David aimait plus Absalom que ses propres soldats. Quand David continua à porter le deuil pour Absalom, ses soldats avaient honte et commencèrent à déserter silencieusement, comme s’ils avaient mal fait. Joab réprimanda David et lui dit que s’il voulait garder son armée et son trône, il devrait se rendre plus accessible à ses soldats et montrer plus d’appréciation. Au crédit de David, il accepta le conseil de Joab, et les hommes de David furent encouragés.

Le retour de David à Jérusalem créa une situation très bizarre pour ceux qui l’avaient auparavant rejeté comme leur roi. David prit l’initiative d’envoyer un mot à Tsadoq et Abiatar les prêtres, les poussant à dire aux responsables de ne plus retarder son accueil au trône. Il rendit aussi Amasa (qui avait été le commandant de l’armée d’Absalom, mais était aussi un parent) le commandement de son armée, à la place de Joab.

Les hommes de Juda accueillir rapidement David, mais le reste des tribus d’Israël furent bien plus réticentes. Comme David et ceux avec lui traversèrent le Jourdain, Tsiba, le serviteur de la maison de Saül, vint aider le roi. Chimeï, qui avait maudit David quand il s’échappait de Jérusalem, fit de nombreuses excuses. Abichaï voulait (à nouveau) l’exécuter, mais David eut pitié de Chimeï, lui assurant qu’il ne serait pas exécuté pour ce qu’il avait fait. D’autres vinrent aussi accueillir David. Puis les hommes d’Israël se plaignirent parce que le groupe qui accueillit David était principalement composé d’hommes de sa propre tribu – Juda. Il y eut des mots forts de contestation entre les hommes de Juda et les hommes d’Israël, élargissant l’écart dans leur relation et mettant tout en place pour le royaume divisé.

Chéba, Benjaminite, profita du conflit entre Juda et les autres tribus d’Israël et annonça une rébellion contre David et Juda. David retourna chez lui et ordonna à Amasa de rassembler les hommes de Juda pour qu’il puisse stopper la rébellion de Chéba. Pour quelques raisons que ce soient, il fallut à Amasa plus de temps que les trois jours que David avait permit. Par conséquent, David envoya Abichaï (le frère de Joab) après Chéba, avec Joab et les forces de Juda. Quand ils rattrapèrent Amasa, Joab avança vers lui pour l’accueillir. Il le surprit et le poignarda. Joab était à nouveau le commandant de l’armée. Chéba fut mis à mort, et la bataille entre Juda et Israël se termina. David était à nouveau le roi, comme Joab était à nouveau le commandant de son armée. Mais le royaume de David ne fut jamais comme il avait été avant son péché.

Les Derniers Chapitres de 2 Samuel

Dans le chapitre 21 de 2 Samuel, nous remarquons un évènement très intéressant (et très déconcertant). Après que David ait résumé son règne sur Israël, le pays souffrit d’une famine pendant trois ans. Il était évident que Dieu cherchait à attirer l’attention de David. Quand il demanda au Seigneur, il fut informé que la famine était due au massacre des Gabaonites par Saül. Les Gabaonites auraient dû être annihilés par les Israélites, mais ils furent déçus et stupidement entrèrent dans une alliance avec eux qui leur garantissait leur sécurité. Apparemment, Saül chercha à oublier l’alliance en tuant une partie des Gabaonites. La solution à cette injustice exigeait la mort de sept des descendants de Saül. Quand ces sept furent mis à mort et leurs os – avec les os de Saül et Jonathan – furent enterrés dans la tombe de Qish, la famine cessa.

Ensuite nous lisons à propos des dernières batailles de David. La force physique de David déclinait, et les autres devaient compenser. David combattit son Goliath des années auparavant, et maintenant cela devint le travail de certains de ses compagnons fidèles de continuer comme David. Comme Saül avait pu infecter ses guerriers avec ses propres peurs, les hommes de David devinrent les hommes braves au combat. Le courage de ses hommes était un hommage à David, leur chef (21:15-22).

Le Psaume qui est enregistré dans 2 Samuel 22 est aussi enregistré dans l’Ancien Testament comme le Psaume 18. Je crois qu’il est répété ici parce que son message est particulièrement important au contexte. Quand quelqu’un regarde en arrière à la vie de David, et à ses nombreuses victoires militaires, ce Psaume nous aide à voir le succès de David dans sa propre perspective. Le point principal du Psaume est de donner à Dieu la gloire pour les victoires de David:

« 35 C'est lui qui m'entraîne au combat,
      et me fait tendre l'arc de bronze.

   36 Ta délivrance me sert de bouclier.
      Par ta sollicitude, tu me rends fort,

   37 grâce à toi, j'avance plus vite,
      mes jambes ne fléchissent pas.

   38 Je poursuis tous mes adversaires, je les détruis
      et je ne reviens pas sans les avoir brisés.

   39 Je les achève, je les frappe:
      aucun ne se relève,
      ils sont étendus sous mes pieds.

   40 Tu me rends fort pour le combat,
      tu fais plier mes agresseurs: les voilà à mes pieds.

   41 Tu mets mes ennemis en fuite,
      ceux qui m'en veulent sont brisés.

   42 Ils ont beau crier au secours, personne ne vient à leur aide,
      et s'ils appellent l'Eternel, celui-ci ne leur répond pas.

   43 Je les réduis en poudre,
      je les piétine, je les foule comme la boue des rues.

   44 En face d'un peuple en révolte, tu me fais triompher.
      Tu me maintiens chef des nations.
      Un peuple qu'autrefois je ne connaissais pas m'est maintenant soumis.

   45 Oui, des étrangers me courtisent,
      au premier mot, ils m'obéissent.

   46 Les étrangers perdent courage,
      tremblants, ils quittent leurs bastions.

   47 Dieu est vivant! Qu'il soit loué, lui qui est mon rocher!
      Que l'on proclame la grandeur de Dieu, le rocher qui me sauve.

   48 Ce Dieu m'accorde ma revanche,
      il abaisse sous moi des peuples.

   49 Tu me fais échapper aux ennemis,
      oui, tu me fais triompher d'eux.
     Et tu viens m'arracher aux hommes violents.

   50 Aussi, je publie tes louanges, Eternel, parmi les nations,
      je te célèbre par mes chants[e].

   51 Pour son roi, l'Eternel opère de grandes délivrances.
      Il traite avec bonté celui qui a reçu l'onction,
      David et sa postérité, pour toute éternité. » (2 Samuel 22:35-51)

L’auteur de 2 Samuel veut dire clairement que c’est Dieu qui est le héro et que David n’est que Son instrument.

Les sept premiers versets du chapitre 23 sont quelques-uns des derniers mots de David. Ici, David ne parle pas comme un guerrier, mais comme un auteur et chanteur de cantiques. Il est assuré que l’Esprit de Dieu a parlé à travers lui dans les choses qu’il a dites et écrites:

« 2 L'Esprit de l'Eternel s'est exprimé par moi,
      ses paroles sont sur ma langue.

   3 Le Dieu d'Israël a parlé,
      le rocher d'Israël m'a dit:
      Le juste gouverneur des hommes
      qui gouverne en révérant Dieu » (2 Samuel 23:2-3).

C’est à cause de l’alliance de Dieu avec David qu’il succéda. Ceux qui sont mauvais font face à un destin totalement différent. Ils feront l’expérience du jugement de Dieu (23:6-7).

Le reste du chapitre 23 est la « salle de la gloire » de ces guerriers qui combattirent vaillamment pour David et pour Israël. Le point de cela semble être que les victoires de David, bien qu’importantes, ne venaient pas seulement de David. Dans le chapitre 22, nous sommes rappelés que ce fut vraiment Dieu qui est le roi d’Israël, et c’est Lui qui gagne leurs batailles. Maintenant, nous sommes rappelés que les victoires de David étaient aussi un effort d’équipe. Ces vaillants guerriers qui sont répertoriés font parti de la raison pour laquelle David fut si couronné de succès sur les champs de bataille. Le dernier répertorié parmi ces vaillants guerriers est Urie le Hittite, le soldat dont David s’appropria la femme, le soldat que David tua pour essayer de dissimuler son péché.

L’incident final dans 2 Samuel est un évènement très important pour David et pour Israël. C’est le deuxième péché majeur de David. D’une certaine façon, il est même plus délibéré que le péché de David avec Bath-Chéba:

« 1 L'Eternel se mit de nouveau en colère contre les Israélites et il incita David à agir contre leurs intérêts en lui suggérant l'idée de faire le recensement d'Israël et de Juda.

  2 Alors le roi ordonna à Joab, chef de son armée qui se trouvait près de lui:
   ---Parcours, je te prie, toutes les tribus d'Israël, depuis Dan jusqu'à Beer-Chéba; que l'on recense le peuple, pour que je sache quel en est le nombre!

  3 Joab dit au roi:
   ---Que l'Eternel, ton Dieu, rende le peuple cent fois plus nombreux et que mon seigneur le roi puisse encore le voir de ses yeux! Mais pourquoi mon seigneur le roi désire-t-il faire pareille chose?

  4 Mais le roi maintint l'ordre donné à Joab et aux chefs de l'armée. Ils se mirent donc en route pour faire le recensement d'Israël. » (2 Samuel 24:1-4)

« 1 Satan se dressa contre Israël et il incita David à faire le recensement d'Israël.

  2 Alors David ordonna à Joab et aux chefs du peuple:
   ---Allez recenser les Israélites aptes au service militaire depuis Beer-Chéba jusqu'à Dan, puis revenez me faire votre rapport, que je sache quel en est le nombre.

  3 Joab dit:
   ---Que l'Eternel rende son peuple cent fois plus nombreux! O roi, mon seigneur, ne sont-ils pas tous aujourd'hui déjà des sujets de mon seigneur? Pourquoi alors, mon seigneur ordonne-t-il pareille chose? Pourquoi chargerait-il Israël d'une faute?

  4 Mais le roi maintint l'ordre donné à Joab. Joab se mit donc en route et parcourut tout Israël. Puis il regagna Jérusalem. » (1 Chronicles 21:1-4)

Ces récits parallèles dans Samuel et Chronicles nous donnent une illustration plus complète de ce qui est arrivé, en ce qui concerne les facteurs contribuant. Dans 2 Samuel, nous lisons que Dieu était en colère avec Israël et qu’il avait poussé David à agir d’une façon qui amènerait le jugement sur le peuple. 1 Chronicles nous dit qu’« un adversaire » opposa Israël. À mon avis, l’« adversaire » était Satan.156 Dans cet incident, nous voyons que le péché d’un homme est un choix personnel, pour lequel il est tenu responsable. Néanmoins, Satan pourrait « mettre de l’huile sur le feu », comme il est enclin de faire. Et derrière tout ça, Dieu est complètement souverain. Comme dans les deux premiers chapitres du Livre de Job, Dieu peut permettre à Satan d’imposer à ou d’influencer quelqu’un pour que Ses buts (ceux de Dieu) souverains soient réalisés. Les péchés de David amenèrent la discipline divine sur le pays d’Israël, mais notre texte dit clairement qu’ils méritaient de souffrir à cause de leurs péchés en tant que nation. Je trouve difficile de faire plus d’une chose à la fois (par exemple, écouter un CD Chrétien, et écrire un sermon) ; Dieu est capable de faire beaucoup de choses à la fois. Il est capable de donner aux hommes, et même à Satan, une mesure de liberté, et de faire que le résultat accomplisse Ses plans et Ses buts prédéterminés.

« 22 Ecoutez bien, Israélites, ce que j'ai à vous dire. Vous le savez tous: Jésus de Nazareth --- cet homme dont Dieu vous a montré qu'il l'approuvait en accomplissant, par son moyen, au milieu de vous des miracles, des signes et des actes extraordinaires ---

   23 a été livré entre vos mains conformément à la décision que Dieu avait prise et au projet qu'il avait établi d'avance. Et vous, vous l'avez tué en le faisant crucifier par des hommes qui ne connaissent pas Dieu.

   24 Mais Dieu a brisé les liens de la mort: il l'a ressuscité, car il était impossible que la mort le retienne captif. » (Actes 2:22-24, mon accentuation en gras)

À partir de là, nous voyons les péchés de David de sa perspective. David décida de faire un recensement des Israélites. Ce fut quelque chose qui n’était pas en fait nécessairement mal (voir Nombres 1:1-2; 4:1-2; 26:1-4), mais il y avait cette instruction donnée dans Exode 30:

« 11 L'Eternel parla encore à Moïse en ces termes:

   12 ---Lorsque tu recenseras les Israélites, chacun d'eux donnera à l'Eternel une rançon pour sa vie au moment où il sera recensé; ainsi ce dénombrement ne leur attirera aucun malheur.» (Exodus 30:11-12)

Nous ne pouvons être certains de la raison exacte pour laquelle le recensement d’Israël était mal à ce moment. Il ne semblait pas être nécessaire, et il a pu être fait seulement pour flatter l’égo de David. Mais nous savons que c’était mal, et même un homme aussi spirituellement froid que Joab le savait, ainsi que d’autres leaders.

David ne voulait pas entendre parler des actions qu’il avait décidé de prendre, et ainsi il ordonna Joab de faire le recensement. Après presque un an, Joab rapporta le nombre de soldats disponibles au roi. Ce fut alors que la conscience de David le tourmenta à cause de ce qu’il avait fait. La conscience coupable de David venait probablement du fait que Dieu sembla avoir frappé Israël avec une sorte de fléau (1 Chronicles 21:7). Quand David avoua son péché et consulta le prophète Gad, le Seigneur lui donna son choix de punition:

« 12 ---Va dire à David: «Voici ce que déclare l'Eternel: Je t'impose l'un des trois châtiments suivants; choisis l'un d'eux et je te l'infligerai.»

   13 Gad se rendit donc chez David et lui communiqua le message; il lui dit:
   ---Que veux-tu que je fasse venir contre toi: sept années de famine dans ton pays, trois mois de déroute devant tes ennemis qui s'acharneront contre toi, ou trois jours de peste dans ton pays? Réfléchis donc et décide, puis dis-moi ce que je dois répondre à celui qui m'envoie. » (2 Samuel 24:12-13)

Le choix de châtiment de David révéla qu’il était toujours « un homme qui correspond aux désirs de Dieu ». Il choisit de souffrir les trois jours de fléau, pas parce que c’était la punition la plus courte en temps, mais parce qu’elle viendrait directement de la main de Dieu:

« 14 David répondit à Gad:
   ---Je suis dans un grand désarroi. Oh! tombons plutôt entre les mains de l'Eternel, car ses compassions sont grandes; mais que je ne tombe pas entre les mains des hommes. » (2 Samuel 24:14)

Le fléau tomba sur Israël pendant les trois jours, et 70 000 hommes moururent dans le royaume. Le fléau sembla s’être répandu dans tout Israël, parce que quand l’ange étendit sa main sur Jérusalem (pour que le fléau tombe sur cette ville), le Seigneur l’arrêta, et la ville de Jérusalem fut épargnée. L’ange était près de l’aire d’Orna, le Yebousien. David dit à Dieu que cette punition était le résultat de son péché. Il pria que la punition tombe sur lui et sa famille, et pas sur le peuple. Gad instruisit David de construire un autel pour le Seigneur à l’aire d’Orna. David acheta l’aire d’Orna, construisit un autel, puis offrit des offrandes entièrement brûlées et des offrandes de communion. C’est précisément là (ou tout près) qu’Abraham offrit son fils Isaac (Genèse 22:2). Ce fut aussi là que Salomon construirait le temple (2 Chronicles 3:1).

Conclusion

Considérant ce texte, j’ai quelques inquiétudes que je dois partager avec vous avant de passer à l’application du texte. Pour commencer, ce que nous avons à la Maison Blanche ces dernières années est très similaire à ce qui arriva au palais du Roi David il y a des siècles. Le résultat est que j’ai bien peur que ce texte n’est pas du tout choquant pour nous. Nous ne sommes pas horrifiés qu’un homme qui professe croire en Dieu serait infidèle et s’engagerait dans la sexualité immorale – effectivement, qu’il utiliserait sa position et son pouvoir comme homme puissant pour la réaliser. Comparé à de récentes révélations de la mauvaise conduite présidentielle, l’histoire de David ne peut qu’être difficilement choquante. Un de mes amis du Tiers-Monde m’a dit que le genre de conduite que nous avons vu dans notre pays est attendu de dirigeants politiques dans d’autres parts du monde. Donc, je dois dire que nous ne devrions pas juger les actions de David (ou les actions de nos contemporains) dans notre culture, mais plutôt dans la perspective de la Parole de Dieu. La conduite de David était effroyable ; et si à personne d’autres, elle était effroyable aux yeux de Dieu.

De plus, je ne peux vous dire combien de fois j’ai entendu des hommes utiliser ce texte concernant les péchés de David comme justification pour leurs propres péchés. Quand ils sont confrontés à leurs péchés, beaucoup d’entres eux répondent quelque chose comme ça, « Ben, David pécha, avoua, et Dieu le laissa s’en sortir sans une punition trop forte, alors pourquoi Dieu ne me traiterait-Il pas de la même façon ? »

Je dois dire plusieurs choses en réponse à ce genre d’argument. Premièrement, Paul traita très spécifiquement avec ce genre de logique dans Romains 6 et aussi dans 1 Corinthiens 6:

« 1 Que dire maintenant? Persisterons-nous dans le péché pour que la grâce abonde?

  2 Loin de là! Puisque nous sommes morts pour le péché, comment pourrions-nous vivre encore dans le péché? » (Romains 6:1-2)

« 12 Que le péché n'exerce donc plus sa domination sur votre corps mortel pour vous soumettre à ses désirs.

   13 Ne mettez pas vos membres à la disposition du péché comme des armes au service du mal. Mais puisque vous étiez morts et que vous êtes maintenant vivants, offrez-vous vous-mêmes à Dieu et mettez vos membres à sa disposition comme des armes au service du bien. » (Romains 6:12-13)

« 21 Or, quels fruits portiez-vous alors? Des actes dont le seul souvenir vous fait rougir de honte aujourd'hui, car ils conduisent à la mort.

   22 Mais maintenant, affranchis du péché et devenus esclaves de Dieu, le fruit que vous portez, c'est une vie sainte, et le résultat auquel vous aboutissez, c'est la vie éternelle.

   23 Car le salaire que verse le péché, c'est la mort, mais le don gratuit que Dieu accorde, c'est la vie éternelle dans l'union avec Jésus-Christ notre Seigneur. » (Romains 6:21-23)

« 9-10
   Ne savez-vous pas que ceux qui pratiquent l'injustice n'auront aucune part au royaume de Dieu? Ne vous y trompez pas: il n'y aura point de part dans l'héritage de ce royaume pour les débauchés, les idolâtres, les adultères, les pervers ou les homosexuels, ni pour les voleurs, les avares, pas plus que pour les ivrognes, les calomniateurs ou les malhonnêtes.

   11 Voilà bien ce que vous étiez, certains d'entre vous. Mais vous avez été lavés, vous avez été purifiés du péché, vous en avez été déclarés justes au nom du Seigneur Jésus-Christ et par l'Esprit de notre Dieu. » (1 Corinthiens 6:9-11)

La grâce de Dieu n’est jamais une excuse pour pécher. Je n’ai encore jamais vu un Chrétien qui pécha volontairement s’en sortir avec un sourire sur son visage, avec un air satisfait pour l’avoir fait. Le salaire du péché est la mort. Satan promet beaucoup, mais il donne peu. Le prix pour le péché est élevé, et le tour de manège est court.

Deuxièmement, quand nous lisons toute l’histoire de la vie de David après son péché, nous réalisons douloureusement combien coûteux son péché fut. David se repentit pour ses péchés, et Dieu les pardonna, mais les conséquences de ses péchés furent grandes (2 Samuel 12:13-14). Le fils de David mourut. La fille de David fut violée par un de ses fils. Un autre fils chercha à lui prendre son trône. Aussi, bien trop d’Israélites moururent.

Ces derniers jours, beaucoup de responsables chrétiens sont tombés dans le péché sexuel (ainsi que dans d’autres péchés). Quelques-uns de ces hommes se sont sincèrement repentis ; les confessions d’autres laissent à désirer. Trop souvent, ceux qui sont tombés semblent penser que tout ce qu’ils ont à faire est de « se repentir » et que tout redeviendra comme avant – que d’une façon ou d’une autre ils peuvent « remonter le temps » sur leurs péchés et leurs conséquences. Ce ne fut jamais pareil pour David après son péché, et ce ne sera jamais pareil pour vous, ou pour moi non plus. Le péché vient toujours à un prix qui excède tous plaisirs temporaires qu’il peut promettre, ou même fournir.

Quelle différence il y a entre cette description du péché de David, que nous trouvons dans nos Bibles, et la version que nous voyons venant d’Hollywood. Le péché n’est pas glorifié ou séduisant. Les conséquences ne sont pas oubliées, ni ses plaisirs exagérés. Notre texte a l’intention de nous avertir à propos du péché et non pas nous tenter de pécher.

Ayant dit cela, il y a d’autres leçons importantes pour nous à apprendre de notre texte. Permettez-moi de conclure en suggérant seulement quelques zones d’application.

Premièrement, nous voyons que bien que le péché de l’homme est mal et a des conséquences douloureuses, Dieu peut causer le mal que nous voulons faire être utiliser pour le bien. Nous avons vu cela avec les péchés des frères de Joseph:

« 20 Vous aviez projeté de me faire du mal, mais par ce que vous avez fait, Dieu a projeté de faire du bien en vue d'accomplir ce qui se réalise aujourd'hui, pour sauver la vie à un peuple nombreux. » (Genèse 50:20)

Bien que le premier enfant né de David et Bath-Chéba mourut, leur fils Salomon fut aimé du Seigneur et choisi pour être le prochain roi d’Israël. Le péché de David de faire le recensement des Israélites coûta beaucoup de vies, mais il résultat en l’achat de l’endroit où le temple sera construit par Salomon. Dieu est capable de prendre les péchés des hommes (sans les causer ou les justifier) et les tourner en instruments pour Ses bénédictions. Dieu est capable de faire concourir toutes choses au bien de ceux qui l'aiment, de ceux qui ont été appelés conformément au plan divin (Romains 8:28). Le péché de l’homme ne peut contrecarrer les fins éternelles de Dieu.

Deuxièmement, dissimuler nos péchés n’ajoute qu’à nos péchés ; avouer nos péchés et se repentir est la seule cure. David chercha à dissimuler son péché en commettant un meurtre. Cela ne le rendit que plus coupable. Ce ne fut seulement qu’après que David avoua ses péchés qu’il fit l’expérience du pardon et de la réconciliation de Dieu.

Troisièmement, notre texte a beaucoup à nous apprendre à propos du leadership, spécialement à propos du mauvais leadership. Alors que David est l’illustration du bon leadership quand il fit face à Goliath, il nous fournit aussi beaucoup d’illustrations de mauvais leadership. David abusa sa position et son pouvoir en prenant Bath-Chéba et en tuant son mari, Urie le Hittite. Un homme pauvre et impuissant n’aurait pas pu faire ce que David fit. Il échoua fréquemment dans son leadership en tant que père. L’échec de David à diriger sa famille coûta à sa fille son innocence et détruisit sa vie. David aurait certainement dû voir les avertissements dans ce qu’Amnôn demandait. Il échoua à diriger de juste façon en traitant avec le péché d’Amnôn. L’échec de David à discipliner Amnôn était de blâmer en partie la rage et la vengeance d’Absalom. David échoua à traiter avec Absalom comme il aurait dû faire. Il fut virtuellement forcé de s’occuper de son fils, bien qu’il l’aimait profondément. Puis, bien sur, David envoya ses hommes combattre Absalom et son armée mais ordonna à ses hommes de ne pas faire de mal à ce rebelle.

Quatrièmement, nous apprenons qu’il n’y a pas de telle chose qu’un péché privé. Combien de fois en juste quelques années, on nous a dit que les péchés du plus haut leader politique de notre nation étaient « privés », et ainsi, pas une question d’intérêt public ? Le péché de David était privé, et il avait tout à voir avec sa vie publique et avec son leadership. Le péché éroda l’autorité de David et de son administration. Le péché de David coûta non seulement la vie d’un héro militaire – Urie le Hittite – mais aussi les vies de quelques-uns de ses autres vaillants soldats. Le péché de David fut dévastateur pour sa famille. Les péchés de David divisèrent le pays et mirent les Israélites en guerre avec leurs compatriotes. Un péché privé à tout à voir avec la politique publique, avec le ministère public. Permettez-moi de vous rappeler des paroles de Dieu à David:

« 12 Toi, tu as agi en cachette; mais moi j'exécuterai cela sous les yeux de tout Israël, au grand jour.» » (2 Samuel 12:12)

Quand j’étais étudiant au Séminaire Théologique de Dallas, nous avions un service très spécial à la chapelle en l’honneur de la remise des diplômes. C’était une occasion très solennelle, au moins pour l’administration. Mais un couple d’étudiants avaient fait une bannière qui fut enroulée comme un manuscrit. Ils l’avaient suspendu au-dessus du rideau, cachée de tous, et avaient attache une ligne de pêche pour qu'elle puisse être libérée depuis le fond de l'auditorium. À un moment donné, la bannière fut libérée, et elle se déroula sous les yeux de tous. On pouvait lire quelque chose comme ça: « Est-Ce Là Tout Ce Que la Grâce de Dieu Peut Faire ? » Apparemment un des derniers speakers avait utilisé ces mots, et maintenant ils étaient appliqués à toute la classe.

Il y avait une certaine mesure de vérité à ces paroles. Qu’il était facile pour les étudiants du séminaire, après des années d’étude des langues originales, de la théologie, d’apprendre à prêcher, de penser que nous étions vraiment quelque chose de spécial. Ce fut exactement la façon que David ressentit, juste avant sa chute. Notre texte devrait nous rappeler que même les plus grands hommes de la Bible étaient des hommes qui avaient des pieds d’argile (comme un de mes amis dit, « je suis d’argile de la plante de mes pieds à mes aisselles. ») Même les meilleurs hommes qui n’ont jamais vécu étaient des pécheurs, à qui le salut éternel était dû à la grâce de Dieu seul, et le cadeau gratuit du salut que Dieu donne à tous ceux qui croient, séparé des œuvres.

Cela doit nous avertir à propos d’idolâtrer les hommes. C’était le problème avec le désir d’Israël d’avoir un roi. C’était de l’idolâtrie. Ils voulaient quelqu’un qu’ils pourraient voir, qui les mènerait et combattrait leurs batailles. Personne n’est digne d’être une idole. Seul Dieu mérite notre adoration et vénération comme Dieu. David, bien qu’il fut un grand roi, n’aurait jamais pu réaliser les espoirs d’Israël pour le « roi parfait », le libérateur promis (Genèse 3:15; 49:10; Deutéronome 18:18-19; 2 Samuel 7:14-16). Seul le Messie pouvait remplir ce rôle. David sacrifia les autres, pour ses seuls intérêts. Jésus mit de coté Ses intérêts et Se sacrifia Lui-même, pour que nous puissions recevoir la vie éternelle:

« 5 Tendez à vivre ainsi entre vous, car c'est ce qui convient quand on est uni à Jésus-Christ.

   6 Lui qui, dès l'origine,
      était de condition divine,
      ne chercha pas à profiter
      de l'égalité avec Dieu,

   7 mais il s'est dépouillé lui-même,
      et il a pris
      la condition du serviteur.
      Il se rendit semblable
      aux hommes en tous points,
      et tout en lui montrait
      qu'il était bien un homme.

   8 Il s'abaissa lui-même
      en devenant obéissant,
      jusqu'à subir la mort,
      oui, la mort sur la croix. » (Philippiens 2:5-8)

Lui seul est Celui que nous devons vénérer et adorer comme le Roi des rois et le Seigneur des seigneurs. Lui seul est Celui à qui nous devrions avouer pour le pardon des péchés et le don de la vie éternelle.


148 This is the edited manuscript of a message delivered by Robert L. Deffinbaugh, teacher and elder at Community Bible Chapel, on March 25, 2001.

149 Unless otherwise indicated, all Scripture quotations are from the NET Bible. The NEW ENGLISH TRANSLATION, also known as THE NET BIBLE, is a completely new translation of the Bible, not a revision or an update of a previous English version. It was completed by more than twenty biblical scholars who worked directly from the best currently available Hebrew, Aramaic, and Greek texts. The translation project originally started as an attempt to provide an electronic version of a modern translation for electronic distribution over the Internet and on CD (compact disk). Anyone anywhere in the world with an Internet connection will be able to use and print out the NET Bible without (continued) cost for personal study. In addition, anyone who wants to share the Bible with others can print unlimited copies and give them away free to others. It is available on the Internet at: www.netbible.org.

150 We know from personal experience that the roof of the “King David Hotel” in Jerusalem has a commanding view of the city.

151 My thanks to Virginia Oubre, who reminded me that Bathsheba’s father, Eliam, was also a military hero (2 Samuel 23:34), and that her grandfather was Ahithophel, David’s counselor, who abandoned David and became Absalom’s advisor (2 Samuel 15:12ff.). Did the fact that Uriah was the husband of Ahithophel’s granddaughter have anything to do with this? I suspect it did (compare 2 Samuel 3:6-12).

152 This is an issue that requires more time and explanation than we can provide in this study. For a more detailed exposition of 2 Samuel 12 and the death of David’s son, please consult my lesson on the Biblical Studies Foundation web site. It can be found at: /docs/ot/books/2sa/deffin/2sam-12.htm

153 We know from 2 Samuel 3:2-3 that Amnon was David’s firstborn son, whose mother was Ahinoam the Jezreelite. His third son was Absalom, the son of Maacah, daughter of King Talmai of Geshur. Further, we learn from 2 Samuel 13:1 that Tamar was Absalom’s sister. She would thus be the half-sister of Amnon.

154 For those who seek to overwork the fine points of the Greek language, I should warn you that the word for “love” in 2 Samuel 13:1-2 in the Septuagint (the Greek translation of the Old Testament) is agape. My point is that we need to be careful not to assume that “agape love” is always “the highest form of love.”

155 David’s foolish order here reminds me a bit of the oath Saul foolishly imposed on his men, causing them not to be nourished in the time of battle – see 1 Samuel 14:24ff.

156 In the King James Bible, this Hebrew word occurs twenty-seven times. Nineteen times it is rendered “Satan.” Seven times it is rendered “adversary,” and in two of these instances the “adversary” is God (Numbers 22:22-23). Thus, most translations render this word “Satan” in our text.

Related Topics: Hamartiology (Sin)

20. Le Règne de Salomon

Le Livre de 1 Rois 1 – 11148

Introduction

Ces dernières élections présidentielles nous ont certainement gardées sur le feu pendant plusieurs semaines. Je regardais les résultats avec des amis quand il semblait qu’Al Gore allait gagner. Quelques heures plus tard il semblait que George Bush était le gagnant, et Al Gore concédait la défaite. Puis le compte des votes fut si prêt que Mr Gore changea son avis à propos de sa défaite et l’élection sembla être un match nul. Après avoir compté et recompté les votes (avec une décision par la Cour Suprême des Etats-Unis), George Bush fut déclaré le gagnant. Ce furent des moments incertains pour beaucoup de gens.

La situation était quelque chose comme ça il y a près de 3 000 ans quand David était le roi d’Israël.149 Sa santé et sa vitalité diminuaient quotidiennement, et ce fut seulement qu’une question de temps pour qu’il ne meure. Il était assumé qu’un des fils de David deviendrait le prochain roi, mais on ne savait pour sur quel fils lui succèderait. En privé, David avait dit à Bath-Chéba que Salomon régnerait à sa place, mais il n’avait pas proclamé publiquement son remplaçant. L’échec de David de se désister et d’agir fermement en installant Salomon sur le trône créa un vide à la tête du pays qu’Adoniya, un des autres fils de David, essaya de remplir. Adoniya réussit à convaincre quelques-uns des chefs clefs d’Israël de lui donner leur support, et la célébration de sa « victoire » était déjà en cours.

Ces moments furent intenses pour le pays d’Israël, et encore plus pour Bath-Chéba, la mère de Salomon, et pour ceux qui restaient loyaux à David. Si Adoniya avait du succès dans ses efforts pour saisir le trône, il aurait presque certainement tué tous les descendants de David qui aurait pu être des rivaux pour le trône. Les deux premiers chapitres de 1 Rois sont ainsi remplis de suspense et d’intrigue, alors que Salomon remporta et garantit finalement sa position comme roi d’Israël.

L’histoire de Salomon est, de beaucoup de façons, une incroyable histoire de succès. Il est l’homme le plus sage qui n’avait jamais existé. Sa richesse et son pouvoir furent connu de tous ceux qui vivaient en Israël et de la plupart de ceux qui vécurent au-delà de ses frontières. Salomon était un écrivain prolifique, composant 1 005 cantiques et 3 000 Proverbes. En dépit de tout ça, sa vie se termina en désastre. Beaucoup de ses femmes étrangères réussirent à détourner son cœur du Seigneur, ce qui couta à son fils une bonne partie de son royaume et divisa Israël pour des siècles à venir. Les leçons que nous apprenons de Salomon sont largement des leçons négatives – comment ne pas faire les mêmes erreurs qu’il fit.

Les parallèles entre les jours pendant lesquels Salomon vécut et les nôtres sont nombreux, et ils sont frappants. Ecoutons attentivement les mots des 11 premiers chapitres du Livre de 1 Rois, et apprenons des erreurs de Salomon, plutôt que de les répéter nous-mêmes.

Une Transition Tumultueuse: De David à Salomon (1 Rois 1 & 2)

Je fus tenté de titrer cette section, « Du Feu Dans la Cheminée, Mais pas de Chaleur Dans la Maison ». En lisant les quatre premiers versets du chapitre 1, je vois un David très différent du vaillant guerrier qui fit face à Goliath dans 1 Samuel 17. Ici était un vieil homme, qui arrivait à la fin de sa vie. Il était au lit tremblant, pratiquement pas conscient des affaires quotidiennes de son royaume. Il a une belle jeune femme qui s’occupe de lui, qui le sert, mais qui à mon avis était bien plus qu’une infirmière. Elle était une concubine, ce que les évènements démontrent clairement. Le fait que David ne la « connaissait » pas est dit au lecteur comme une indication de l’âge et de l’état physique de David. Il était un homme qui ne pouvait plus fonctionner dans de grandes parties de sa vie.

Il n’y a pas d’accusation ici, aucuns mots de condamnation, comme si David était responsable pour sa capacité diminuée. La faute reste avec l’échec de David de se désister, et plus particulièrement dans son échec de désigner qui lui succèderait comme roi d’Israël. Cet homme, dont le droit de régner avait été défié auparavant (par Absalom, et probablement d’autres), n’était pas impatient d’abandonner le pouvoir, et pourtant il ne possédait plus vraiment.

Plusieurs facteurs semblent avoir contribué à la tentative d’Adoniya de devenir le prochain roi d’Israël. (1) Il était apparemment le fils ainé survivant. (2) Il était un gars séduisant et avenant (1 Rois 1:6). (3) Adoniya était capable de rassembler un groupe d’hommes prestigieux qui servaient comme ses gardes du corps. (4) Il était un fils que David ne disciplina pas ou ne le « garda pas dans le droit chemin ». Je comprends ça comme on ne lui avait jamais dit « Non », donc, il avait l’habitude d’avoir tout ce qu’il voulait (1:6). Un enfant qui n’avait aucun respect, ni peur de son père serait plus enclin à essayer de le remplacer. Si David avait vraiment fonctionné comme le roi d’Israël, Adoniya n’aurait jamais eu de chance. (5) Adoniya avait gagné le support de Joab, le commandant de l’armée, et d’Abiatar, le prêtre. (6) David n’avait pas conscience de ce qui se passait et ne fonctionnait pratiquement pas comme un roi. Il y avait un vide de direction dans Israël, et Adoniya semblait avoir la résolution et les ressources pour le remplir.

Nathan savait ce qu’Adoniya voulait faire et que lui et ceux loyaux à David étaient exclus par Adoniya. Nathan avertit Bath-Chéba que si elle n’utilisait pas son influence avec David, elle et son fils serait bientôt en grand danger. À l’insistance de Nathan, Bath-Chéba alla voir David et lui dit ce qui se passait. Elle lui rappela aussi sa promesse que son fils, Salomon, serait le prochain roi d’Israël. Elle poussa David à faire quelque chose ou elle et son fils deviendraient des ennemis de l’état si Adoniya était permit de continuer sa révolte.

« Par coïncidence », Nathan arriva à la cour du roi. Il semblerait que Bath-Chéba quittait le roi quand Nathan apparut, alors ils purent parler en prive. Nathan dit à David la même histoire, qu’Adoniya cherchait à s’emparer du trône. Il informa David que la célébration de sa victoire avait déjà commencé. Nathan lui demanda s’il avait approuvé ces choses. David répondit en faisant rappeler Bath-Chéba. Alors il fit venir Tsadoq le prêtre, Nathan le prophète, et Benayahou le fils de Yehoyada (1:32). Il donna des instructions de couronner immédiatement Salomon roi d’Israël à la requête de David.150

Alors qu’Adoniya et ses supporters célèbrent sa « victoire », Tsadoq, le prêtre, oint Salomon roi d’Israël. Les trompettes sonnent et le peuple s’écrit « Vive le roi Salomon! ». Le peuple a dû avoir peur d’avoir Adoniya comme leur roi: la nouvelle du couronnement de Salomon est accueillie avec une célébration exubérante. Le bruit de cette célébration atteint les oreilles de ceux qui étaient avec Adoniya, mais ils ne savaient pas ce que cela voulait dire. Jonathan, fils d’Abiatar (le bientôt prêtre « viré »), les informa que les bruits de célébration n’étaient pas de bonnes nouvelles pour Adoniya et ses supporters. Il les informa que David avait désigné Salomon comme son successeur et qu’il était déjà monté sur le trône. Les invités d’Adoniya furent pris de panique quand ils réalisèrent qu’ils étaient maintenant les ennemis de Salomon.

Ils partirent rapidement, et Adoniya se précipita pour aller attraper les cornes de l’autel. Salomon accorda à son frère sa demande de pitié et le renvenvoya chez lui.

La transition d’un chef d’état à un autre ne se fait pas toujours dans la douceur. Dans notre dernière élection présidentielle, Bill Clinton passa les dernières heures de son temps à la Maison Blanche accordant des pardons et signant des ordres exécutifs. Une grande partie de ce qui fut fait pendant ces dernières heures fut de la politique partisane au mieux. Président George W. Bush et son administration passeront de longues heures à revoir ces mesures de dernières minutes, et beaucoup d’entres elles devront être inversées ou révisées. C’est un genre très différent de transition que celle décrite dans 1 Rois 2. David appela Salomon et lui donna quelques très bonnes instructions qui lui serviront à commencer sa nouvelle administration sur le bon pied. La chose intéressante à propos des instructions de David était qu’il encouragea Salomon à corriger ces choses qu’il n’avait lui-même pas réussi à faire durant son règne.

Premièrement, David conseilla vivement Salomon de se dévouer à suivre fidèlement la loi de Dieu:

« 2 ---Voici que je vais bientôt prendre le chemin que suit tout homme. Montre-toi courageux et conduis-toi en homme!

   3 Suis fidèlement les ordres de l'Eternel ton Dieu, en marchant dans les chemins qu'il a prescrits et en obéissant à ses lois, ses commandements, ses articles de droit et ses ordonnances, tels qu'ils sont consignés dans la Loi de Moïse. Alors tu auras du succès dans tout ce que tu entreprendras et partout où tu iras.

   4 Et ainsi l'Eternel accomplira la promesse qu'il m'a faite en me disant: «Si tes descendants veillent sur leur conduite pour vivre fidèlement selon ma volonté de tout leur cœur et de tout leur être, il y aura toujours l'un d'entre eux sur le trône d'Israël.» » (1 Rois 2:2-4)151

Deuxièmement, David insista que Salomon s’occupe de Joab:

« 5 Par ailleurs, tu sais tout ce que m'a fait Joab, fils de Tserouya, et ce qu'il a fait à deux chefs des armées d'Israël, à Abner, fils de Ner, et à Amasa, fils de Yéter. Il les a assassinés en pleine paix comme s'il s'agissait d'un fait de guerre, il a pris sur lui la pleine responsabilité de ce meurtre.

   6 Tu agiras envers lui avec sagesse et tu ne le laisseras pas mourir tranquillement de vieillesse. » (1 Rois 2:5-6)

C’est difficile pour moi de comprendre pourquoi David pousserait Salomon à s’occuper de Joab, quand il, lui-même, n’avait rien fait. David opposa les meurtres commis par Joab, mais il ne reagit pas comme il le fit avec le jeune Amalécite (2 Samuel 1:13-16) et avec les serviteurs d’Ich-Bocheth (2 Samuel 4:5-12). On peut se demander si David avait peur de Joab, comme beaucoup de présidents ont peur de la tête de leurs forces militaires. Après tout, David remplaça Joab une fois, seulement pour lui redonner sa position quelques jours plus tard (voir 2 Samuel 19:11-15; 20:4-23).

Troisièmement, David encourage Salomon à récompenser Barzillaï, un homme qui lui resta loyal dans sa période difficile:

« 7 Mais n'oublie pas de traiter avec bonté les fils de Barzillaï, le Galaadite. Compte-les parmi ceux qui mangent à la table royale, car ils m'ont secouru avec bonté lorsque je fuyais devant ton frère Absalom. » (1 Rois 2:7)

Tout comme la justice avait besoin de tomber sur ceux qui avaient péché, ceux qui avaient été loyaux à David devaient être récompensés par son fils, qui lui succéda.

Finalement, David recommanda à Salomon de s’occuper de Chimeï, un homme qui fut un problème continu pour lui:

« 8 Tu as aussi dans ton entourage Chimeï, fils de Guéra, un Benjaminite du village de Bahourim. Il a prononcé contre moi de terribles malédictions le jour où j'ai dû me réfugier à Mahanaïm. Mais lorsqu'il est venu à ma rencontre vers le Jourdain à mon retour, je lui ai juré au nom de l'Eternel que je ne le ferais pas mourir par l'épée.

   9 Maintenant, ne le considère pas comme innocent; tu es un homme avisé et tu sauras comment tu dois le traiter: tu veilleras à ce qu'il soit mis à mort malgré son grand âge. » (1 Rois 2:8-9)

Est-ce purement par rancune, ou est-ce que David fut convaincu que Chimeï serait toujours un adversaire d’un membre de sa dynastie parce qu’il n’était pas un descendant de Saül (voir 2 Samuel 16:5-8) ? C’est quelque peu ironique que l’homme qui accusa David d’être un « assassin, un vaurien » (2 Samuel 16:7-8) aurait maintenant une « mort sanglante » (1 Rois 2:9).

Le reste de 1 Rois 2 décrit comment Salomon s’acquitta des instructions de David et consolida ainsi son royaume. Adoniya rendit cela relativement facile pour Salomon. Adoniya persuada Bath-Chéba de demander qu’il soit donné Abichag pour épouse. Abichag était considérée une des concubines de David et, comme cela, la donner à Adoniya serait comme reconnaître son droit de régner comme roi d’Israël. Posséder la concubine du roi était prendre sa place.152 David réalisa la magouille d’Adoniya. Il l’avait pardonné une fois, mais cette fois-ci, ce fut aller trop loin et il envoya Benayahou pour l’exécuter. Adoniya ne sera plus un problème pour le royaume.

Ensuite Salomon s’occupa d’Abiatar, le prêtre qui l’avait trahi en supportant Adoniya dans son essai de devenir roi. David n’exécuta pas le prêtre, mais il l’exila dans sa maison. Salomon nomma Tsadoq comme prêtre à sa place (1 Rois 2:35). Nous sommes rappelés que cela accomplit les mots du Seigneur contre la maison d’Eli (1 Rois 2:27; voir 1 Samuel 2:27-36).

Quand la nouvelle atteint Joab que Salomon allait s’occuper de ses ennemis, il courut vers l’autel et en saisit ses cornes, espérant de la pitié de Salomon comme Adoniya avait reçu auparavant. Il y avait des raisons d’espérer de la pitié, excepté pour ceux coupables de meurtres intentionnels (voir Exode 21:12-14). Cette fois, Joab ne devait pas échapper au châtiment qu’il méritait. Salomon envoya Benayahou, qui exécuta Joab devant l’autel. La justice fut finalement rendue pour les meurtres de Joab (1 Rois 2:31-33).

Salomon accomplit finalement les instructions de David concernant Chimeï, le Benjaminite qui avait mal parlé à David. Chimeï fut responsable de sa propre mort. Salomon ordonna Chimeï de se construire une maison à Jérusalem, où il pourrait le garder à l’œil. Il lui promit que s’il quittait Jérusalem, il serait tué. Deux ans plus tard, deux des serviteurs de Chimeï s’enfuirent, et Chimeï les poursuivit. Quand Salomon apprit que Chimeï avait quitté Jérusalem, il lui ordonna de venir et le réprimanda pour enfreindre les termes que le roi avait établis. Puis Salomon ordonna à Benayahou de l’exécuter. De cette façon, le royaume de Salomon fut fermement établi, parce que ceux qui l’opposaient avaient été éliminés.

Un Souhait Accordé à Salomon (1 Rois 3-8)

Cela arrive normalement dans les comtes de fée ou les plaisanteries, mais nous avons tous entendu dire qu’un souhait a été accordé à quelqu’un. Qui aurait pu penser que Dieu accorderait un souhait, quoi qu’il soit, à un homme, mais Il le fit là. L’accord du souhait de Salomon est trouvé immédiatement après ces paroles:

« 1 Salomon s'allia par mariage avec le pharaon, roi d'Egypte, en épousant sa fille. En attendant d'avoir fini de bâtir son palais, le Temple de l'Eternel et le rempart autour de Jérusalem, il l'installa dans la cité de David.

  2 Seulement, en ce temps-là, le peuple continuait à offrir des sacrifices sur les hauts-lieux car on n'avait pas encore construit le Temple pour l'Eternel.

  3 Salomon aimait l'Eternel et se conformait aux instructions de son père David. Seulement, lui aussi offrait des sacrifices et des parfums sur les hauts-lieux. » (1 Rois 3:1-3)

Connaissant l’avertissement de Deutéronome 17:16-17 et comment le récit de la vie de Salomon finira, le lecteur doit un peu s’inquiéter à propos du mariage de Salomon avec une princesse Egyptienne.153 Cependant, nous devons nous rappeler qu’il n’y avait pas d’interdiction spécifique contre marier une Egyptienne. Ce n’était que les femmes cananéennes que les Israélites ne pouvaient pas marier. Abraham prit Agar comme concubine dans Genèse 16 ; Joseph prit aussi une femme égyptienne dans Genèse 41:45. Moïse prit une femme kouchite comme épouse, bien que ses frères et sœurs n’aient pas apprécié (Nombres 12:1-2).

Nous pourrions dire que quand Salomon épousa une princesse égyptienne, il commença à aller dans la mauvaise direction. Alors que l’auteur loua Salomon pour suivre généralement les pratiques de don père David, il accusa Salomon d’« offrir des sacrifices et de brûler de l’encens dans les hauts-lieux » (3:3). Si je comprends bien ces mots, ce n’était pas que Salomon offrait des sacrifices au mauvais dieu(x), mais plutôt qu’il offrait des sacrifices à Dieu aux mauvais endroits.

« 3 A tout homme d'Israël qui abattra un bœuf, un agneau ou une chèvre dans le camp ou à l'extérieur du camp

   4 sans l'avoir amené à l'entrée de la *tente de la Rencontre pour le présenter en offrande à l'Eternel devant son *tabernacle, il sera demandé compte du sang: puisqu'il a versé le sang, il sera retranché de son peuple.

   5 Ainsi, au lieu de faire leurs sacrifices en pleine campagne, les Israélites amèneront les victimes de leurs sacrifices au prêtre, à l'entrée de la tente de la Rencontre, pour l'Eternel, et ils les offriront en sacrifice de communion à l'Eternel. » (Lévitique 17:3-5)

« 5 L'Eternel votre Dieu choisira un lieu au milieu des territoires de toutes vos tribus pour y établir sa présence et pour en faire sa demeure; c'est là seulement que vous irez l'invoquer.

   6 Là, vous apporterez vos holocaustes et vos sacrifices, vos dîmes et vos offrandes prélevées sur le fruit de votre travail, celles que vous ferez pour accomplir un vœu, vos dons spontanés et les premiers-nés de votre gros et de votre petit bétail.

   7 Là aussi, vous prendrez vos repas cultuels en présence de l'Eternel votre Dieu, et vous vous réjouirez, vous et vos familles, de tous les produits de votre travail par lesquels l'Eternel votre Dieu vous aura bénis. » (Deutéronome 12:5-7, voir aussi versets 13-14)

C’est après une déclaration à propos du péché de Salomon (d’offrir des sacrifices aux hauts-lieux) que Dieu lui parla. Salomon était à Gabaon, le « lieu haut », où il avait l’intention d’offrir des sacrifices et des offrandes à Dieu – la chose qui était dite être mal dans le verset 3. Et pourtant, Dieu apparut à Salomon dans un rêve:

« 4 Un jour, le roi se rendit à Gabaon[c], où se trouvait alors le haut-lieu le plus important, pour offrir un sacrifice. Il fit immoler mille *holocaustes sur cet autel.

  5 Pendant la nuit, l'Eternel lui apparut là en songe et lui dit:
   ---Demande ce que tu désires que je t'accorde. » (1 Rois 3:4-5)

Ces mots sont difficilement des mots que je m’attendais à entendre de Dieu. Je me serais attendu à entendre Dieu réprimander Salomon pour son péché et lui demander de se repentir et de Le vénérer de la bonne manière. Au lieu de ça, Dieu offrit à Salomon toute chose qu’il desire. Incroyable !

Mon attention est attirée vers le Psaume 72, un Psaume soit écrit par David à (ou pour) Salomon, ou écrit par Salomon lui-même:

« 1 De Salomon.
      O Dieu, accorde au roi de juger comme toi,
      et donne au fils du roi ton esprit de justice!

  2 Qu'il rende la justice à l'égard de ton peuple selon ce qui est juste,
      à l'égard de tes pauvres selon ce qui est droit;

  3 la paix descende des montagnes
      et la justice des collines pour tout le peuple!

  4 Qu'il fasse droit aux opprimés et aux malheureux de son peuple!
      Qu'il sauve les enfants des pauvres
      et qu'il écrase l'oppresseur! » (Psaume 72:1-4)

Je suis profondément reconnaissant pour les questions soulevées par deux ou trois amis dans notre église après avoir enseigner cette leçon. Les inscriptions lisent, “Pour Salomon” (la Bible NET, KJV), ou “de Salomon” (NKJV, NASB, NIV, NRSV). La lettre d’hébreux avant le nom de Salomon pourrait dire les deux ; c’est le choix du traducteur. Initialement, j’étais enclin à supposer que le Psaume était écrit par Salomon, mais j’ai changé d’avis. S’il avait été écrit par Salomon, il y avait trop de Salomon dedans. Je crois que ce fut David qui écrivit cela de son fils, dans l’espoir que par Salomon (ou au moins par ses descendants), l’alliance avec David (2 Samuel 7) serait réalisée par le Messie. Cela voulait dire qu’il y aurait beaucoup de prophéties impliquées. Cela serait-il surprenant ? Connaissant ce Psaume, pas étonnant que Salomon demanda de recevoir de la sagesse de Dieu – c’était le souhait de son père !

De toute façon, pendant que Salomon professait qu’il manquait de sagesse, il montra beaucoup de sagesse en ce qu’il demandait:

« 6 Salomon répondit:
   ---Tu as témoigné une grande bienveillance à ton serviteur David mon père, parce qu'il vivait fidèlement selon ta volonté, de façon juste et avec un cœur droit. Tu lui as conservé cette grande bienveillance et tu lui as accordé un fils qui siège aujourd'hui sur son trône.

   7 Maintenant, Eternel mon Dieu, c'est toi qui m'as fait régner, moi ton serviteur, à la place de mon père David, alors que je ne suis encore qu'un tout jeune homme et que je ne sais pas gouverner.

   8 Voilà ton serviteur au milieu de ton peuple que tu as toi-même choisi, un peuple nombreux qui ne peut être dénombré ni compté, tant il est nombreux.

   9 Veuille donc donner à ton serviteur l'intelligence nécessaire pour administrer la justice pour ton peuple, afin qu'il sache discerner entre le bien et le mal! Sans cela, qui pourrait administrer la justice pour ton peuple qui est si nombreux? » (1 Rois 3:6-9)

Je suis curieux qu’il n’y ait pas de mention de l’Esprit de Dieu dans le récit biblique de la vie de Salomon, et pourtant il fut l’homme le plus sage qui ait jamais vécut. L’Esprit était venu visiblement sur Saül, peu de temps après qu’il ait été oint roi (1 Samuel 10:10-11). L’Esprit était aussi venu sur David quand il fut oint roi d’Israël (1 Samuel 16:13). Pourtant, il n’y a aucune mention de l’Esprit venant sur Salomon au moment qu’il fut oint ; en fait, il n’y a aucune mention du tout de l’Esprit venant sur lui. Comment l’expliquer ? Honnêtement, je ne sais pas. Je suis enclin à penser que l’Esprit vint sur Salomon en réponse à sa demande de sagesse, bien qu’il n’y ait pas de démonstration spectaculaire. Peut-être devons nous apprendre que pas tout le monde n’a d’expérience spectaculaire en recevant l’Esprit.

Dans le cas de Salomon, il est lui-même la preuve. Immédiatement après avoir été dit que Dieu accorda à Salomon son souhait de sagesse (avec des richesses et de la gloire – 3:13) ; nous voyons beaucoup d’exemples de sagesse dans sa vie. Permettez-moi d’en énumérer quelques-uns:

Premièrement, il y a l’exemple de sagesse personnelle que nous voyons des actions de Salomon dans les versets qui suivent immédiatement son rêve:

« 15 Salomon s'éveilla, avec ce rêve présent à l'esprit, et il revint à Jérusalem. Là, il alla se présenter devant le coffre de l'alliance de l'Eternel. Il offrit des holocaustes, présenta des sacrifices de communion et donna un festin auquel il invita tous ses hauts fonctionnaires. » (1 Rois 3:15)

Quelle agréable surprise ces versets sont pour nous après avoir lu les trois premiers versets de ce même chapitre! Salomon reçut son souhait quand il était à Gabaon où il était allé offrir des sacrifices (3:4), bien qu’il ait tort (3:3). Quand Dieu accorda à Salomon son souhait de sagesse, la première chose que le roi fit fut d’aller visiter et d’offrir des offrandes entièrement brûlées et des offrandes de communion

« … devant le coffre de l'alliance de l'Eternel. » (3:15)

Je crois que nous serions tous d’accord qu’offrir des sacrifices sur les hauts-lieux était stupide ; offrir ses sacrifices devant le coffre de l’alliance était une bonne chose. La première démonstration de sagesse de Salomon fut dans sa propre vie, en obéissant au commandement de Dieu concernant la vénération.

Deuxièmement, il y a l’exemple de la sagesse judiciaire de Salomon, visible dans la façon dont il s’occupa de la dispute entre deux femmes, qui revendiquaient toutes les deux le même enfant comme le leur (3:16-28). Deux prostituées vinrent devant Salomon pour qu’il résolve leur dispute. Chacune revendiquait l’enfant vivant comme le sien. Les deux femmes avaient un bébé, mais une d’elle étouffa son bébé pendant la nuit. Chacune revendiqua le bébé vivant comme le sien. Il semblait n’y avoir aucun moyen de connaître la vérité, mais Salomon agit sagement. Il demanda qu’on lui apporte une épée et menaça de couper l’enfant en deux, donnant une moitié à chaque femme. La mère du bébé décédé était disposée à accepter ce jugement – si elle ne pouvait pas avoir le bébé de l’autre femme, elle ne voulait pas non plus que la mère l’ait. Que Salomon tue le petit garçon. La mère du bébé vivant aimait tant son fils qu’elle était disposée à l’abandonner, pour lui sauver sa vie. Salomon sut que ce petit garçon était son fils et ordonna que l’enfant soit donné à sa vraie mère. Tout le monde s’émerveilla de la sagesse de Salomon, la sagesse qu’il avait souhaitée.

Troisièmement, il y a l’exemple de sagesse administrative de Salomon, visible dans les hommes qu’il choisit pour son “gouvernement” (4:1-19).

Quatrièmement, nous sommes aussi donnés un exemple de la richesse et de la gloire que Dieu promit de donner à Salomon (4:20-5:8). Nous voyons de ces versets que tout Israël semblait être prospère et en paix sous la direction de Salomon. Les frontières d’Israël étaient bien plus larges. En même temps, nous sommes dits combien Salomon vivait bien. La consommation des biens par Salomon et sa cour royale était immense, tout comme Samuel avait averti auparavant dans 1 Samuel 8:11-18. Bien que dit sans accusation, la prospérité de Salomon avait dépassée les frontières que Dieu avait désignées pour les Rois d’Israël dans Deutéronome 17. Le problème était devant, bien qu’il ne fût pas immédiatement apparent.

Cinquièmement, nous voyons la sagesse de Salomon dans ses compositions musicales, sa recherche, et ses écritures:

« 9 Dieu donna à Salomon une sagesse exceptionnelle, une très grande intelligence et une large ouverture d'esprit qui le fit s'intéresser à des questions aussi nombreuses que les grains de sable au bord de la mer.

  10 Sa sagesse dépassait celle de tous les sages de l'Orient et de l'Egypte.

  11 Il surpassait tous les autres, même Etân l'Ezrahite, Hémân, Kalkol et Darda, les fils de Mahol. Aussi, sa renommée se répandit parmi tous les peuples voisins.

  12 Il fut l'auteur de trois mille proverbes et composa mille cinq chants.

  13 Il a décrit les plantes, du cèdre du Liban jusqu'à la branche d'hysope qui pousse sur les murailles, il a aussi parlé des animaux, des oiseaux, des reptiles et des poissons.

  14 Tous les rois de la terre qui avaient entendu vanter sa sagesse, envoyaient des délégations de tous les pays du monde pour l'entendre. » (1 Rois 5:9-14)

La sagesse de Salomon surpassait celle de n’importe qui vivant à cette période, et même la nôtre. Elle était un peu une mixture du meilleur de Leonard de Vinci, Benjamin Franklin, George Washington Carver, Einstein, Beethoven, Leonard Bernstein, et George Gershwin. Cet homme était un poète, un musicien, un scientifique, et un écrivain. Toute la nation sembla profiter de ses dons. Sans aucun doute, beaucoup profitèrent de son travail en biologie et en botanique. Les gens venaient du monde entier pour lui poser des questions et l’écouter parler.

Sixièmement, Salomon manifesta une grande sagesse en tant que constructeur. Beaucoup de projets de construction furent commencés et complétés durant la vie de Salomon, le plus important de ceux-ci étant la construction du temple. Hiram, le roi de Tyr, reconnut rapidement la sagesse de Salomon:

« 21 Lorsque Hiram reçut le message de Salomon, il s'en réjouit fort et déclara:
   ---Béni soit aujourd'hui l'Eternel, qui a donné à David un fils plein de sagesse pour gouverner ce grand peuple! » (1 Rois 5:21)

Nous devrions reconnaître que bien que Salomon commença la tâche de construire le temple et de le dédier, ce fut David qui fit toutes les préparations pour sa construction. David fit les plans, David et le peuple fournirent l’or, et David orchestra le service des Lévites. Nous voyons cela dans 1 Chroniques 23-29. Cela n’enleva rien à la compétence de constructeur de Salomon, mais nous rappelle seulement toutes les préparations que David fit pour le temple avant sa mort.

Les dimensions du temple étaient deux fois celles du tabernacle, sur les plans, et il était certainement plus haut – 15 mètres de haut. Il requit beaucoup de travail d’experts et contenait beaucoup d’or. Il fallut le travail de milliers d’hommes – 180 000 hommes – sans mentionner 3 300 superviseurs (5:27-30). Le projet dura sept ans pour être fini (6:37-38).

Je suis un peu perturbé par une paire de choses liées à la construction du temple. Je me demande pourquoi tant d’étrangers furent impliqués dans ce projet.

« 13 Le roi Salomon envoya chercher à Tyr un ouvrier nommé Hiram.

  14 C'était le fils d'une veuve de la tribu de Nephtali et d'un père tyrien. Il travaillait le bronze. Il était très habile, intelligent et compétent pour fabriquer toutes sortes d'ouvrages de bronze. Il vint auprès du roi Salomon et effectua tous ses ouvrages. » (1 Rois 7:13-14)

« 15 Le roi Salomon avait organisé des corvées pour la construction du Temple de l'Eternel, du palais royal, pour l'aménagement des terres pour des cultures en terrasse, ainsi que pour la construction du rempart qui entoure Jérusalem et les villes de Hatsor, Meguiddo et Guézer.

  16 Le pharaon, roi d'Egypte, s'était mis en campagne pour s'emparer de Guézer, il l'avait incendiée après avoir tué les Cananéens qui l'habitaient. Plus tard, il l'avait donnée en cadeau de noces à sa fille lorsqu'elle était devenue la femme de Salomon.

  17 Salomon reconstruisit Guézer ainsi que Beth-Horôn la Basse,

  18 Baalath et Tadmor dans la contrée désertique du pays,

  19 et toutes les villes qui lui servaient d'entrepôts et celles où il tenait en réserve ses chars de guerre et ses équipages de char. Il construisit tout ce qu'il avait envie de construire à Jérusalem, au Liban et dans tout le pays soumis à son autorité.

  20 Il y avait une population qui n'était pas israélite: des Amoréens, des Hittites, des Phéréziens, des Héviens et des Yebousiens

  21 dont les descendants étaient restés dans le pays et que les Israélites n'avaient pu vouer à l'extermination. Salomon les employa comme esclaves de corvée, et ils le sont restés jusqu'à ce jour.

  22 Mais Salomon n'astreignit à l'esclavage aucun des Israélites; il les enrôla dans l'armée comme soldats, fonctionnaires, officiers, écuyers, chefs de ses chars et de ses soldats sur char. » (1 Roi 9:15-22)

Quand le tabernacle fut construit, il était fait de matériels et avec l’argent contribués par les Israélites durant la vie de David (1 Chroniques 29:1-20). Je ne vois pas de participation joyeuse de la part du peuple, comme on le voit dans la construction du tabernacle et dans les préparations que David fit pour le temple. Quand le tabernacle fut construit, Dieu donna à certains Israélites comme Betsaleel et Oholiab (Exode 31:1-11). Pourquoi le temple fut-il construit par des ouvriers spécialisés étrangers154, dont les qualités ne sont pas dites avoir été données par l’Esprit de Dieu ? Et pourquoi le palais que Salomon se construisit prit deux fois plus de temps à construire (7:1) ? Se pourrait-il qu’il y ait une possibilité que ces indices pour le temps de construction de la « maison spirituelle » de Dieu aient quelque chose à voir avec l’utilisation d’ouvriers païens autant que des ouvriers Juifs (voir Ephésiens 2:11-22) ? Honnêtement, je ne suis pas sûr d’avoir la réponse.

Une chose que nous devons remarquer est que quand le temple est finalement complété, Dieu s’en empare dramatiquement:

« 6 Les prêtres installèrent le coffre de l'alliance de l'Eternel à la place qui lui était destinée dans la salle du fond du Temple, c'est-à-dire dans le lieu très-saint, sous les ailes des chérubins.

   7 Car les chérubins avaient leurs ailes déployées au-dessus de l'emplacement du coffre, de sorte qu'ils formaient un dais protecteur au-dessus du coffre et de ses barres.

   8 On avait donné à ces barres une longueur telle que leurs extrémités se voyaient depuis le lieu saint qui précédait le sanctuaire intérieur, mais elles ne se voyaient pas de l'extérieur. Elles sont restées là jusqu'à ce jour.

   9 Dans le coffre, il y avait seulement les deux tablettes de pierre que Moïse y avait déposées à Horeb, lorsque l'Eternel conclut une alliance avec les Israélites à leur sortie d'Egypte.

   10 Au moment où les prêtres sortirent du lieu saint, la nuée lumineuse remplit le Temple de l'Eternel.

   11 Les prêtres ne purent pas y rester pour accomplir le service, à cause de la nuée, car la gloire de l'Eternel remplissait son Temple. » (1 Kings 8:6-11)

« 1 Lorsque Salomon eut terminé sa prière, le feu tomba du ciel et consuma l'holocauste ainsi que les sacrifices, et la gloire de l'Eternel remplit le Temple. » (2 Chronicles 7:1)

Il y a peu de doute que la construction du temple est vue comme l’une des plus grandes contributions de Salomon. Plus de place est dévouée à la construction du temple qu’à aucun autre aspect de sa vie. La prière de dédicace de Salomon est certainement un des points hauts de sa vie spirituelle. Sa prière démontre la compréhension de la loi de Salomon et le rôle du temple. Qu’il ait reçu cela principalement de son père, ou que cela soit venu de sa propre méditation sur la loi, est contestable. J’ai tendance à penser que Salomon apprit la plupart de son discernement spirituel de son père. Permettez-moi de faire plusieurs observations concernant la prière de dédicace de Salomon.

Premièrement, cette dédicace du temple est principalement une prière de Salomon qui est adressée à Dieu, qui S’est installé dans le temple (8:10-11). Ce n’est pas un discours que Salomon fait à la foule qui est rassemblée, mais une requête au Dieu à Qui le temple appartient.

Deuxièmement, il y a un lien très proche entre cette prière de dédicace et l’Alliance Mosaïque. Salomon anticipe certains évènements dans l’avenir, qui devraient inciter le peuple de Dieu à se tourner vers le temple et prier. Ceux-ci incluent:

La défaite par un ennemi (8:33-34 ; voir Deutéronome 28:25)

La sécheresse et la famine (8:35-40 ; voir Deutéronome 28:23-24)

La captivité dans un pays étranger (8:46-51 ; voir Deutéronome 28:36-37, 63-68)

Toutes ces choses sont anticipées dans Deutéronome. La prière de Salomon est, ainsi, formée et guidée par l’Alliance Mosaïque.

Troisièmement, cette dédicace n’est pas seulement une prière, c’est à proprios de prier. Le mot « prier » ou « prière » est trouvé 3 fois dans 1 Rois 8. Le temple était désigné pour encourager et faciliter les prières du peuple de Dieu. Ceux qui pouvaient prier incluaient à la fois les Juifs et les non-Juifs:

« 41 Et même si un étranger qui ne fait pas partie de ton peuple Israël entend parler de toi et vient d'un pays lointain

   42 --- car les étrangers apprendront que tu es un grand Dieu qui agit en déployant sa puissance --- quand un étranger viendra prier dans ce Temple,

   43 veuille l'écouter depuis le ciel, la demeure où tu habites, et lui accorder tout ce qu'il t'aura demandé. De cette manière, tous les peuples du monde te connaîtront, ils te révéreront comme le fait ton peuple Israël et ils reconnaîtront que le Temple que j'ai construit t'appartient. » (1 Rois 8:41-43)

Cela nous aide certainement à comprendre pourquoi notre Seigneur fut si en colère quand quelques Juifs occupèrent la cour du temple et la tournèrent en place de marché, plutôt qu’un endroit de prière:

« 17 Puis, s'adressant à tous, il les enseigna en disant:
   ---N'est-il pas écrit: On appellera ma maison une maison de prière pour tous les peuples? Mais vous, vous en avez fait un repaire de brigands. » (Marc 11:17)

Quatrièmement, il y a une forte accentuation sur la réalisation des promesses de l’alliance de Dieu dans cette prière. Parmi d’autres choses, Salomon loue Dieu pour son temple comme la réalisation de Ses promesses. D’un coté, il y a remerciements et louanges pour la réalisation des promesses de Dieu à Abram et à Moïse:

« 56 ---Loué soit l'Eternel qui a accordé la paix à son peuple Israël, conformément à ses promesses. En effet, aucune promesse de bienfait qu'il nous a faite par l'intermédiaire de son serviteur Moïse n'a manqué de se réaliser. » (1 Kings 8:56, mon accentuation en gras)

« 20 L'Eternel a tenu sa promesse: j'ai succédé à mon père David et j'occupe le trône d'Israël comme l'Eternel l'avait annoncé, et j'ai construit ce Temple en l'honneur de l'Eternel, le Dieu d'Israël.

   21 J'y ai réservé un emplacement pour le coffre qui contient le code de l'alliance de l'Eternel, cette alliance qu'il a conclue avec nos ancêtres quand il les a fait sortir d'Egypte. » (1 Kings 8:20-21, mon accentuation en gras)

Nous voyons la réalisation de l’Alliance avec Abraham dans le nombres d’Israélites, dans les frontières géographiques d’Israël sous le règne de Salomon, et dans les bénédictions qui sont venues pour les non-Juifs:

« 1 L'Eternel dit à Abram:
   ---Va, quitte ton pays, ta famille et la maison de ton père pour te rendre dans le pays que je t'indiquerai.

  2 Je ferai de toi l'ancêtre d'une grande nation; je te bénirai, je ferai de toi un homme important et tu deviendras une source de bénédiction pour d'autres.

  3 Je bénirai ceux qui te béniront et je maudirai ceux qui t'outrageront. Tous les peuples de la terre seront bénis à travers toi. » (Genèse 12:1-3, mon accentuation en gras; comparez1 Rois 8:41-43, cite ci-dessus)

« 18 Ce jour-là, l'Eternel fit alliance avec Abram et lui dit:
   ---Je promets de donner à ta descendance tout ce pays, depuis le fleuve d'Egypte[e] jusqu'au grand fleuve, l'Euphrate,

   19 le pays des Qéniens, des Qeniziens, des Qadmonéens,

   20 des Hittites, des Phéréziens, des Rephaïm,

   21 des Amoréens, des Cananéens, des Guirgasiens et des Yebousiens. » (Genèse 15:18-21; voir aussi Deutéronome 11:24; Josué 1:4).

« 1 Salomon dominait sur tous les petits royaumes qui s'étendaient de l'Euphrate jusqu'au pays des Philistins, et jusqu'à la frontière de l'Egypte[a]. Pendant toute sa vie, ces peuples lui apportèrent leur tribut et lui restèrent assujettis. » (1 Rois 5:1)

Plus que tout, Salomon voyait l’achèvement du temple en termes de l’alliance que Dieu avait fait avec son père David:

« 15 Il dit:
   ---Loué soit l'Eternel, le Dieu d'Israël qui a, de sa propre bouche, parlé à mon père David et qui a agi pour accomplir la promesse qu'il lui avait faite. Il lui avait dit:

   16 «Depuis le jour où j'ai fait sortir mon peuple Israël d'Egypte, je n'ai jamais choisi une ville particulière parmi toutes les tribus d'Israël pour qu'on y bâtisse un temple où je sois présent, mais j'ai choisi David pour gouverner mon peuple Israël.»

   17 Mon père David avait à cœur de bâtir un temple en l'honneur de l'Eternel, le Dieu d'Israël.

   18 Mais l'Eternel lui a déclaré: «Ton projet de bâtir un temple en mon honneur est une excellente chose: tu as bien fait de prendre cela à cœur.

   19 Toutefois, ce n'est pas toi qui bâtiras ce Temple, c'est ton propre fils qui le bâtira pour moi.»

   20 L'Eternel a tenu sa promesse: j'ai succédé à mon père David et j'occupe le trône d'Israël comme l'Eternel l'avait annoncé, et j'ai construit ce Temple en l'honneur de l'Eternel, le Dieu d'Israël.

   21 J'y ai réservé un emplacement pour le coffre qui contient le code de l'alliance de l'Eternel, cette alliance qu'il a conclue avec nos ancêtres quand il les a fait sortir d'Egypte.» (1 Rois 8:15-21)

Cinquièmement, il y a sens fort d’anticipation dans cette prière de dédicace que Dieu réalisera Son alliance avec David:

« 24 Ainsi tu as tenu la promesse que tu avais faite à ton serviteur David, mon père, oui, tu as agi pour que soit accompli aujourd'hui ce que tu lui avais déclaré de ta propre bouche.

   25 A présent, Eternel, Dieu d'Israël, veuille aussi tenir l'autre promesse que tu lui as faite lorsque tu lui as dit: «Il y aura toujours l'un de tes descendants qui siégera sous mon regard sur le trône d'Israël, à condition qu'ils veillent sur leur conduite pour vivre selon ma volonté comme tu as toi-même vécu.»

   26 Oui, maintenant, Dieu d'Israël, daigne réaliser cette promesse que tu as faite à ton serviteur, mon père David. » (1 Rois 8:24-26, mon accentuation en gras)

Quand ces mots de Salomon sont comparés à Psaume 72, on a un sentiment distinct que Salomon espère que son règne sera la réalisation de l’Alliance davidique. Quand vous y pensez, Salomon et d’autres avaient quelques bases pour penser ça. Après tout, le royaume de Salomon pourrait sembler être la réalisation des Alliances Abrahamique et Mosaïque. Les descendants d’Abraham sont aussi nombreux que les grains de sable de la mer (1 Rois 4:20). Israël vécut dans la Terre Promise, ils dominaient les nations environnantes, et ils vécurent en grande prospérité. Si toutes ces promesses étaient réalisées, alors pourquoi pas la promesse que Dieu fit à David, et pourquoi pas à travers son fils, Salomon ?

Sixièmement, les mots de Salomon révèlent qu’il comprenait correctement que la présence de Dieu ne pouvait pas et ne serait pas limitée à un temple:

« 12 Alors Salomon dit:
   ---L'Eternel a déclaré qu'il demeurerait dans un lieu obscur.

   13 J'ai enfin bâti pour toi une résidence, un lieu où tu habiteras éternellement!

27 Mais est-ce qu'en vérité Dieu habiterait sur la terre, alors que le ciel dans toute son immensité ne saurait le contenir? Combien moins ce Temple que je viens de te construire! » (1 Rois 8:12-13,27)

C’est un point qu’Etienne soulèvera bien plus tard quand il est accuse de parler contre le temple (Actes 7:45-50).

Des Problèmes de devant (1 Rois 9-10)

Les signes d’avertissement étaient déjà là, si quelqu’un avait des yeux pour les voir. Dans le Livre de Deutéronome, Dieu avait prévenu le pays d'Israël concernant les dangers auxquels ils feraient face une fois qu’ils entreraient dans le pays de Canaan. Il les avertit des dangers de laisser les Cananéens dans le pays et de se marier avec eux. Ils ne devaient pas vénérer les dieux des Cananéens (7:1-6). Leur victoire sur les Cananéens n’était pas due à leur supériorité comme pays, mais due à la fidélité de Dieu aux promesses de Son alliance (7:7-11). Puis, dans le chapitre 8, nous trouvons ces mots d’avertissement:

« 11 Garde-toi d'oublier l'Eternel, ton Dieu, et de négliger d'obéir à ses commandements, à ses ordonnances et à ses lois que je te donne aujourd'hui.

   12 Si tu manges à satiété, si tu te construis de belles maisons et que tu y habites,

   13 si ton gros et ton petit bétail se multiplient, si ton argent et ton or s'accumulent, si tous tes biens s'accroissent,

   14 prends garde de ne pas céder à l'orgueil et d'oublier l'Eternel ton Dieu, qui t'a fait sortir d'Egypte, du pays où tu étais esclave,

   15 qui t'a conduit à travers ce vaste et terrible désert peuplé de serpents venimeux et de scorpions, dans des lieux arides et sans eau où il a fait jaillir pour toi de l'eau du rocher le plus dur.

   16 Dans ce désert, il t'a encore nourri en te donnant une manne que tes ancêtres ne connaissaient pas. Il a fait tout cela afin de te faire connaître la pauvreté et de te mettre à l'épreuve, pour ensuite te faire du bien.

   17 Prends donc garde de ne pas te dire: «C'est par mes propres forces et ma puissance que j'ai acquis toutes ces richesses.»

   18 Souviens-toi au contraire que c'est l'Eternel ton Dieu qui te donne la force de parvenir à la prospérité et qu'il le fait aujourd'hui pour tenir envers toi les engagements qu'il a pris par serment en concluant alliance avec tes ancêtres.

   19 Mais si vous en venez à oublier l'Eternel votre Dieu, et à rendre un culte à d'autres dieux, à les servir et à vous prosterner devant eux, je vous avertis aujourd'hui que vous périrez totalement.

   20 Vous périrez comme les nations que l'Eternel votre Dieu va faire périr devant vous, parce que vous ne lui aurez pas obéi. » (Deutéronome 8:11-20)

Israël n’avait jamais fait l’expérience de la prospérité et du succès au niveau de ce que Dieu les avait bénis durant le règne de Salomon. Maintenant, le danger était que Salomon (et d’autres) pourrait supposer qu’il était la raison de leur prospérité. Salomon pourrait commencer à penser trop hautement de lui-même, et les Israélites pourrait « adorer» leur roi, plutôt que de vénérer leur vrai Roi, Dieu Lui-même. C’est pour cette raison que Dieu apparut à Salomon une deuxième fois avec ces mots de reproche:

« 1 Lorsque Salomon eut achevé de bâtir le Temple de l'Eternel, le palais royal et tout ce qu'il avait désiré construire,

  2 l'Eternel lui apparut une seconde fois, de la même manière qu'il lui était apparu à Gabaon.

  3 Il lui dit:
   ---J'ai exaucé ta prière et la supplication que tu m'as adressée: je fais de cet édifice que tu as construit un lieu saint pour y établir à jamais ma présence. Je veillerai toujours sur lui et j'y aurai mon cœur.

  4 Quant à toi, si tu te conduis devant moi comme ton père David, avec un cœur intègre et droit, en faisant tout ce que je t'ai ordonné, si tu obéis aux ordonnances et aux lois que je t'ai données,

  5 je rendrai stable pour toujours ton trône royal sur Israël, comme je l'ai promis à ton père David, lorsque je lui ai dit: «Il y aura toujours l'un de tes descendants sur le trône d'Israël.»

  6 Mais si vous vous détournez délibérément de moi, vous et vos descendants, si vous n'obéissez pas à mes lois et à mes ordonnances que j'ai établies pour vous, et si vous allez rendre un culte à d'autres dieux et vous prosterner devant eux,

  7 je ferai disparaître le peuple d'Israël du pays que je lui ai donné, je rejetterai loin de ma vue ce Temple que j'ai consacré pour y être présent, et tous les peuples se moqueront d'Israël et ricaneront à son sujet.

  8 Quant à ce Temple si glorieux, tous ceux qui passeront à proximité seront consternés et épouvantés. On s'exclamera: «Pourquoi l'Eternel a-t-il traité ainsi ce pays et ce Temple?»

  9 Et l'on répondra: «C'est parce qu'ils ont abandonné l'Eternel leur Dieu, qui a fait sortir leurs ancêtres d'Egypte, parce qu'ils se sont attachés à d'autres dieux, qu'ils se sont prosternés devant eux et les ont adorés. Voilà pourquoi l'Eternel leur a infligé tout ce malheur.» » (1 Rois 9:1-9)

Ces mots sont une répétition de ce que Dieu avait dit aux Israélites à travers le prophète Samuel quand le peuple avait demandé à avoir un roi comme les autres pays:

« 12 Lorsque vous avez vu Nahach le roi des Ammonites venir vous attaquer, vous êtes venus me dire: «Nous ne voulons pas continuer ainsi; il faut qu'un roi règne sur nous.» Comme si l'Eternel n'était pas votre roi!

  13 Eh bien, maintenant, voici votre roi selon ce que vous avez choisi et demandé. C'est l'Eternel qui l'a établi sur vous.

  14 Si désormais vous révérez l'Eternel, si vous lui rendez votre culte, si vous lui obéissez sans vous révolter contre ses paroles et si vous et votre roi qui règne sur vous, vous suivez l'Eternel votre Dieu, tout ira bien.

  15 Mais si vous n'écoutez pas l'Eternel et si vous êtes rebelles à ses commandements, l'Eternel vous frappera sévèrement, ainsi que votre roi, comme il a frappé sévèrement vos ancêtres. » (1 Samuel 12:12-15)

À la fois Israël et son roi devaient respecter les commandements que Dieu avait établis dans Sa loi. S’ils obéissaient les commandements de Dieu, Il continuerait à les bénir. Si non, Dieu jugerait Son peuple, alors que le reste du monde les observerait et apprendrait. Le roi d’Israël ne mettrait pas la loi de coté – la loi devait être respectée, à la fois par le roi et par le peuple. Nous allons voir que Salomon ne respecta pas la loi. Avant de lire la chute de Salomon, nous somme rappelé des standards que Dieu établit pour le roi et le peuple.

Les premières claires indications de problèmes apparaissent dans 1 Kings 9:10-10:29. Dans 9:10-14, nous lisons que le Roi Hiram de Tyr fut mécontent avec les villes que Salomon lui avait données. Hiram les appelait kaboul (ce qui veut dire « Sans Valeur »). Salomon commençait-il à abuser son pouvoir ? Son ami Hiram n’est pas du tout content avec la façon dont Salomon le traita.

Dans 9:15-23, l’auteur décrit les ouvriers que Salomon employa pour s’occuper de ses projets de construction. Dans les versets 17-19, on nous raconte à propos de quelques-unes des villes que Salomon avait construites:

« 17 Salomon reconstruisit Guézer ainsi que Beth-Horôn la Basse,

  18 Baalath et Tadmor dans la contrée désertique du pays,

  19 et toutes les villes qui lui servaient d'entrepôts et celles où il tenait en réserve ses chars de guerre et ses équipages de char. Il construisit tout ce qu'il avait envie de construire à Jérusalem, au Liban et dans tout le pays soumis à son autorité. » (1 Kings 9:17-19, mon accentuation en gras)

Trois fois dans le récit de la vie de Salomon, on nous dit qu’il acquit un grand nombre de chevaux et de chars (1 Rois 4:26; 9:19; 10:26, 28-29). Cela était une violation des instructions de Dieu regardant les Rois dans Deutéronome 17:

« 16 Ce roi ne devra pas avoir une importante cavalerie, et il ne renverra pas le peuple en Egypte pour s'y procurer des chevaux en grand nombre. Car l'Eternel vous a dit: «Vous ne retournerez plus par ce chemin-là.»

   17 Qu'il ne prenne pas un grand nombre de femmes, pour qu'il ne se corrompe pas. Qu'il n'amasse pas non plus de grandes quantités d'argent et d'or.

   18 Quand il accédera au trône, il écrira sur un livre pour son usage personnel, une copie de cette Loi que lui communiqueront les prêtres-lévites.

   19 Cette copie ne le quittera pas, il y lira tous les jours de sa vie afin qu'il apprenne à révérer l'Eternel son Dieu, en obéissant à toute cette Loi et en appliquant toutes ces ordonnances. » (Deutéronome 17:16-19, mon accentuation en gras)

Dans les versets 20-23, nous apprenons où Salomon obtint les ouvriers pour s’occuper de ses projets de construction:

« 20 Il y avait une population qui n'était pas israélite: des Amoréens, des Hittites, des Phéréziens, des Héviens et des Yebousiens

  21 dont les descendants étaient restés dans le pays et que les Israélites n'avaient pu vouer à l'extermination. Salomon les employa comme esclaves de corvée, et ils le sont restés jusqu'à ce jour.

  22 Mais Salomon n'astreignit à l'esclavage aucun des Israélites; il les enrôla dans l'armée comme soldats, fonctionnaires, officiers, écuyers, chefs de ses chars et de ses soldats sur char.

  23 550 fonctionnaires principaux dirigeaient les ouvriers qui exécutaient les travaux forcés effectués pour Salomon. » (1 Rois 9:20-23, mon accentuation en gras)

Le problème avec les esclaves que Salomon employa était qu’ils étaient Cananéens, que Dieu avait instruit
Son peuple d’annihiler:

« 1 ---Lorsque l'Eternel ton Dieu t'aura fait entrer dans le pays où tu te rends pour en prendre possession, et qu'il aura chassé devant toi de nombreuses nations: les Hittites, les Guirgasiens, les Amoréens, les Cananéens, les Phéréziens, les Héviens et les Yebousiens, ces sept nations plus nombreuses et plus puissantes que toi[a],

   2 lorsqu'il te les aura livrées et que tu les auras vaincues, tu les extermineras totalement pour les vouer à l'Eternel; tu ne concluras pas d'alliance avec elles et tu n'auras pour elles aucune pitié.

  3 Tu ne t'uniras pas avec elles par des mariages, tu ne donneras pas tes filles à leurs fils et tu ne prendras pas leurs filles pour tes fils;

  4 car ils détourneraient de moi tes enfants, qui iraient rendre un culte à d'autres dieux: ma colère s'enflammerait alors contre vous et je ne tarderais pas à vous exterminer. » (Deutéronome 7:1-4, mon accentuation en gras)

Nous savons de Juges 1 qu’un nombre de ces Cananéens ne furent pas détruits et que les Israélites furent contents de vivre parmi eux. Quand les Israélites furent forts, ils utilisèrent ces gens comme esclaves:

« 34 Les Amoréens refoulèrent les Danites dans la région montagneuse et les empêchèrent de descendre dans la vallée.

   35 Les Amoréens continuèrent donc à se maintenir à Har-Hérès, à Ayalôn et à Chaalbim, mais les descendants de Joseph furent de plus en plus puissants et leur imposèrent des corvées.

   36 Le territoire des Amoréens s'étendait de la montée des Scorpions, depuis Séla, en remontant. » (Juges 1:34-36, mon accentuation en gras)

Salomon a dû se sentir moins coupable par la situation générale historique à propos du traitement des Cananéens. Il ne les traitait que comme ses prédécesseurs – les utilisant comme esclaves. Cependant, on pourrait difficilement dire que Salomon permettait aux Cananéens de vivre car il ne fut pas capable de les vaincre. Ses raisons semblaient être beaucoup plus pragmatiques – il voulait les garder en vie pour faire les travaux que son propre peuple n’était pas disposé à faire. En effet, Salomon voulait garder les Cananéens en vie pour qu’il puisse les utiliser d’une manière qui était similaire à celle du traitement des Israélites, qui étaient en Egypte, par les Egyptiens – en faisant d’eux leurs esclaves.

Nous allons bientôt apprendre que le plus grand échec de Salomon arriva résultant de ses « femmes étrangères » (11:1). J’aimerais suggérer que l’apogée a pu arriver avec une « femme étrangère », qui ne fut pas devenue son épouse – la Reine de Chéba:

« 1 La reine de Saba entendit parler de la réputation que Salomon avait acquise grâce à l'Eternel. Elle vint donc pour éprouver sa sagesse en lui posant des questions difficiles.

  2 Elle arriva à Jérusalem avec une suite importante et des chameaux chargés d'épices, de parfums, d'or en très grande quantité et de pierres précieuses. Elle se présenta devant Salomon et lui parla de tout ce qu'elle avait sur le cœur.

  3 Salomon lui expliqua tout ce qu'elle demandait; rien n'était trop difficile pour lui, il n'y avait aucun sujet sur lequel il ne pouvait lui donner de réponse.

  4 La reine de Saba constata combien Salomon était rempli de sagesse, elle vit le palais qu'il avait construit,

  5 les mets de sa table, le logement de ses serviteurs, l'organisation de leur service, leur tenue, ceux qui servaient à manger et à boire, et les holocaustes qu'il offrait dans le Temple de l'Eternel. Elle en perdit le souffle

  6 et elle dit au roi:
   ---C'était donc bien vrai ce que j'avais entendu dire dans mon pays au sujet de tes propos et de ta sagesse!

  7 Je ne croyais pas ce qu'on en disait avant d'être venue ici et de l'avoir vu de mes propres yeux. Et voici qu'on ne m'avait pas raconté la moitié de ce qui est. Ta sagesse et ta prospérité surpassent tout ce que j'avais entendu dire.

  8 Qu'ils ont de la chance, tous ceux qui t'entourent et qui sont toujours en ta présence, de pouvoir profiter sans cesse de ta sagesse!

  9 Loué soit l'Eternel, ton Dieu, qui t'a témoigné sa faveur en te plaçant sur le trône d'Israël! C'est à cause de son amour éternel pour Israël que l'Eternel t'a établi roi pour que tu gouvernes avec justice et équité. » (1 Rois 10:1-9).)

Je me rappelle du proverbe que Salomon aurait écrit lui-même:

« 18 L'orgueil précède la ruine;
      un esprit fier annonce la chute. » (Proverbes 16:18)

C’est mon avis que la visite de la Reine de Saba attisa le feu de la fierté de Salomon en flammes d’arrogance. Elle avait entendu les histoires à propos de sa sagesse et pensa qu’elles étaient exagérées. Alors elle vint lui rendre visite pour voir d’elle-même. Quand il répondit à toutes ses plus difficiles questions, elle fut impressionnée. Le pire de ça est qu’elle le lui dit. Il a dû être très difficile pour Salomon de ne pas croire ce que cette femme lui disait. Après tout, la plupart était vraie. Mais dans le processus d’entendre ces mots, j’ai bien peur que Salomon commença à prendre le crédit pour sa sagesse et son prestige. Le texte ne nous dit pas cela directement, mais il est intéressant que ce qui suit est plus de détails concernant son grand succès.

Salomon avait accumulé beaucoup de richesse (10:14-22), mais Dieu avait interdit au roi d’Israël de le faire (Deutéronome 17:17). Ceux qui vinrent rendre visite à Salomon et s’émerveiller à sa sagesse vinrent apportant des cadeaux, qui augmentèrent sa richesse (10: 23-25). Tous ces succès et gloire semblèrent paver le chemin du dernier chapitre de la vie de Salomon, un chapitre qui n’alla pas bien pour ce grand roi.

La Chute de Salomon: Femmes Etrangères (1 Kings 11)

« 1 Le roi Salomon aima beaucoup de femmes étrangères, outre la fille du pharaon: des Moabites, des Ammonites, des Edomites, des Sidoniennes, des Hittites.

  2 Elles venaient de ces nations païennes au sujet desquelles l'Eternel avait dit aux Israélites: «Vous ne vous unirez pas à elles, et elles ne s'uniront pas à vous; sinon elles détourneront votre cœur et vous entraîneront à adorer leurs dieux.» Or, c'est précisément à des femmes de ces nations-là que s'attacha Salomon, entraîné par l'amour.

  3 Il eut sept cents épouses de rang princier et trois cents épouses de second rang, et toutes ces femmes détournèrent son cœur.

  4 En effet, lorsque Salomon fut devenu vieux, ses femmes détournèrent son cœur vers des dieux étrangers, de sorte que son cœur n'appartint plus sans réserve à l'Eternel son Dieu, à la différence de son père David.

  5 Il pratiqua le culte d'Astarté, la déesse des Sidoniens, et celui de Milkom, l'idole abominable des Ammonites.

  6 Il fit ce que l'Eternel considère comme mal, car il n'obéit pas pleinement à l'Eternel comme l'avait fait son père David.

  7 A cette époque, Salomon bâtit sur la colline à l'est de Jérusalem un haut-lieu pour Kemoch, l'idole abominable de Moab, et pour Milkom, l'idole abominable des Ammonites.

  8 Il fit de même pour toutes ses femmes étrangères pour qu'elles puissent offrir des parfums et des sacrifices à leurs dieux. » (1 Rois 11:1-8)

L’échec de Salomon n’est pas décrit avant la fin de sa biographie, dans le dernier chapitre (1 Rois 11) qui traite avec son règne. Salomon maria beaucoup de femmes – 700 femmes de rang princier et 300 concubines. Pouvez-vous imaginer essayer de vous rappeler de tous les noms de vos épouses et enfants ? Deutéronome 17:17 était très clair concernant avoir beaucoup d’épouses étrangères:

« 17 Qu'il ne prenne pas un grand nombre de femmes, pour qu'il ne se corrompe pas. Qu'il n'amasse pas non plus de grandes quantités d'argent et d'or. » (Deutéronome 17:17)

L’avertissement que Dieu donna par Moïse n’aurait pas pu être plus précis. Les femmes de Salomon vénéraient des dieux étrangers. Pour qu’elles soient contentes, Salomon construisit des endroits de culte pour elles. Eventuellement, il les joignit même dans le culte de leurs dieux. Salomon, l’homme le plus sage sur terre, joua comme un idiot.

Dieu était en colère avec Salomon. Deux fois auparavant, Dieu lui était apparu, l’avait averti des dangers de la désobéissance (1 Rois 11:9-10). Dieu dit à Salomon que sa désobéissance continuelle lui coûterait une grande partie de son royaume. Pour David, Dieu retarderait le jugement sur la maison de Salomon jusqu'à sa mort. Une tribu resterait pour que le fils de Salomon règne, mais dix tribus appartiendraient à quelqu’un d’autre (11:11-13).

Dieu apporta certaines conséquences durant durant la vie de Salomon. Il éleva des adversaires qui opposèrent Salomon. Hadad l’Edomite (11:14-22) ; Rezôn fils d’Elyada (11:23-25) ; et Jéroboam fils de Nebath, qui éventuellement régnerait sur les dix tribus d’Israël (11: 26-40). Jéroboam était assuré que Dieu lui donnerait une longue dynastie, si seulement il obéissait Ses règles et commandements. Ce royaume divisé ne serait pas éternel.

Nous arrivons alors à l’épitaphe finale dans 1 Rois 11:21-43:

« 41 Les autres faits et gestes de Salomon, toutes ses réalisations et sa sagesse sont cités dans le livre des Annales de Salomon.

  42 La durée du règne de Salomon à Jérusalem sur tout Israël fut de quarante ans.

  43 Après cela, Salomon rejoignit ses ancêtres décédés et fut enterré dans la cité de David, son père. Son fils Roboam lui succéda sur le trône. » (1 Rois 11:41-43)

Conclusion

L’histoire de la vie de Salomon contient beaucoup de leçons pour nous. Premièrement, elle a quelques leçons importantes pour nous sur le leadership. Je vois dans les deux premiers chapitres de 1 Rois une réticence de la part de David de céder le pouvoir et laisser les autres prendre sa place. David fut une fois un grand leader, mais il vint un temps quand il ne fut plus capable de continuer à la barre du royaume. Il fonctionnait avec une capacité grandement diminuée. Il ne sembla pas avoir été conscient de ce qui se passait dans son royaume. Il n’était certainement pas conscient du plan d’Adoniya de s’emparer du trône. Il arrive un temps quand les leaders doivent mener en cédant le pouvoir, avant que d’autres souhaitent l’avoir fait et avant que quelqu’un arrive et les force à partir. Ce n’était pas que Salomon était inapte à la tâche ; c’était que David n’était pas disposé à céder le pouvoir.

Adoniya peut aussi nous apprendre une leçon sur les dirigeants. Il y a ceux aujourd’hui, comme Adoniya, qui sont bien trop impatients « de contrôler », qui cherchent des positions prestigieuses et importantes. Adoniya n’aurait pas été un bon roi ; il aurait été un despote. Depuis les années que j’ai servi dans l’église, j’ai vu des gens qui étaient trop impatients de devenir des dirigeants et étaient trop impulsifs pour être placés dans des positions d’autorité. Il semblerait qu’une grande partie (sinon la plupart) des grands dirigeants d’Israël était ceux qui commencèrent en tant que serviteurs.

Deuxièmement, voilà une autre leçon à être apprise à propos de leadership de notre texte. Ceux que Dieu appela à diriger durent traiter rapidement et fermement avec ceux qui cherchent à saper leur administration. Il me semble que David aurait traité personnellement avec des hommes comme Joab et Chimeï, mais au moins il eut la sagesse d’encourager son fils de s’occuper d’eux. Des dirigeants sages identifient ceux qui sont malhonnêtes et cherchent à les éliminer de tout rôle de pouvoir:

« 10 Chasse le moqueur, et la discorde prendra fin:
      les contestations et les insultes cesseront. » (Proverbes 22:10)

« 8 Lorsque le roi siège au tribunal,
      d'un coup d’oeil, il dissipe tout ce qui est mal. » (Proverbes 20:8)

« 26 Un roi sage chasse au loin les méchants
      et n'hésite pas à les vanner à la roue. » (Proverbes 20:26).)

« 5 Si l'on délivre le roi de la présence des méchants,
      son autorité s'affermira par la justice. » (Proverbes 25:5)

On ne peut pas lire l’histoire de Salomon sans poser la question, « Comment est-il possible qu’un homme qui était si sage soit devenu si stupide ? » La réponse à nos questions pourrait très bien venir de Salomon lui-même dans le Livre d’Ecclésiaste. Mais pour l’instant, permettez-moi de suggérer que la clef pourrait être trouvée dans les contrastes entre Salomon et son père, David.

David est crédité avec 73 des Psaumes – presque la moitié. Des 1 005 cantiques de Salomon, 1 seul (ou au plus 2) est « publié » dans le Livre de Psaumes.

La sagesse de Salomon était, à un niveau ou un autre, de la sagesse qui traita avec des questions assez séculaires. Celles-ci sont des sujets importants – la construction, la botanique, le gouvernement, la justice – mais nous ne voyons pas sa sagesse concentrée sur la Parole révélée de Dieu, la Loi de Moïse. On penserait que sa sagesse aurait pu fournir une profonde compréhension de la Loi. Psaume 119 dit clairement qu’il y a beaucoup de vérité à être trouvée ici, mais Salomon ne semble pas avoir passé autant de temps dessus qu’il a passé ailleurs.

David chercha à connaître et à vénérer Dieu ; Salomon chercha à bien connaître la création de Dieu.

David fut un « homme qui correspond aux désirs de Dieu » ; Salomon ne fut jamais à ce niveau, spirituellement parlant.

David était un servant, qui fut rejeté (à un certain degré) par ses frères. Il apprit à servir Dieu fidèlement, de façon humble. Salomon sembla avoir été né dans la royauté et la position. Il ne fut jamais un berger, défendant son troupeau contre des animaux sauvages.

David souffrit beaucoup dans sa vie ; Salomon souffrit peu, si du tout.

David participa à beaucoup de batailles ; Salomon était un homme de paix. Il n’essaya pas de débarrasser le pays des derniers Cananéens.

Ce fut David qui devint le standard par lequel tous les rois suivant d’Israël étaient mesuré ; ce ne fut pas Salomon, bien que son royaume fût plus grand que celui de David par des standards externes.

J’ai été spécialement troublé par la chute de David et Salomon. Au moins David récupéra spirituellement de sa chute, quelque chose qui n’arriva pas à Salomon selon le récit biblique. Les échecs de ces deux grands hommes devraient servir d’avertissement pour chacun de nous. Les deux hommes permirent leurs passions sexuelles de dominer leurs vies avec des conséquences dévastatrices. Les deux hommes, à mon avis, furent poussés par leurs egos, ainsi que par leurs hormones. David devint fier et arrogant pour un dirigeant militaire. Il resta à la maison quand il aurait dû être avec ses hommes, combattant l’ennemi. Il abusa sa position de commandant en chef des forces armées d’Israël pour tuer Urie, un de ses serviteurs fideles.

C’est mon opinion que les passions sexuelles de Salomon furent aussi enflammées par son égo. Il écouta la flatterie des femmes comme la Reine de Saba, et il aima ce qu’il entendit. Il ne désobéit pas Dieu en ayant des relations sexuelles en dehors du mariage ; il maria juste toutes les femmes qu’il voulait. Cela, aussi, fut une violation de la loi de Dieu pour les rois d’Israël, comme trouvé dans Deutéronome 17. Je suspecte qu’une grande partie des mariages de Salomon n’étaient pas le résultat de ses passions sexuelles, mais des moyens pragmatiques d’étendre son pouvoir, et ses alliances avec d’autres pays. Quand même, ce furent ses épouses qui détournèrent son cœur du Seigneur au point qu’il commença à adorer des dieux étrangers.

Il y avait une différence cruciale entre David et Salomon. David avait un cœur pour Dieu. Il devint le standard par lequel tous les Rois suivants furent mesurés. Salomon avait une relation plus intellectuelle avec Dieu. Il était plus détaché, plus philosophique concernant sa relation avec Dieu. il avait une « foi de connaissance, intellectuelle », plutôt qu’une relation quotidienne, intime et passionnée avec Dieu. Ayant observé des érudits bibliques aller et venir, les deux plus grandes causes ont été l’immoralité sexuelle et la dévotion à l’exercice de l’intellect - une obsession avec les pouvoirs intellectuels d’une personne.

La Bible a quelques mots de sagesse pour nous tous, mots que la vie de Salomon illustrent:

« 1 Passons au problème des viandes provenant d'animaux sacrifiés aux idoles. «Nous possédons tous la connaissance voulue,» dites-vous. C'est entendu, mais cette connaissance rend orgueilleux. L'amour, lui, fait grandir dans la foi. » (1 Corinthiens 8:1, mon accentuation en gras)

J’ai bien peur que beaucoup d’entres nous (moi inclut) sommes plus « Salomonique » dans notre relation avec Dieu que « Davidique ». C’est merveilleux pour nous de poursuivre la vérité (biblique ou naturelle), mais ce n’est pas un substitut pour une foi innocente en Dieu. Pensons sérieusement à ces choses qui prédisposèrent à la fois David et Salomon à échouer. Apprenons de leur expérience pour que nous n’ayons pas à apprendre de la nôtre.

Finalement, concluant cette leçon, j'espère tourner des hommes et leurs échecs vers le parfait Sauveur, le Seigneur Jésus Christ. Considérez le fait que les deux plus grands Rois d’Israël échouèrent ; ils échouèrent de loin du standard que Dieu avait établi pour le Messie. Si les promesses de Dieu à David – des promesses d’un royaume éternel par sa descendance – doivent être réalisées, cela ne sera pas par de simples hommes, peu importe la gloire de ces hommes. Israël voulait un roi, et ils l’ont eu, puis un autre, et un autre… le seul roi qui réalisera les promesses de Dieu et nos espoirs est Dieu lui-même. Les promesses de Dieu à David furent réalisées en la personne de Jésus Christ.

« 30 L'ange lui dit alors:
   ---N'aie pas peur, Marie, car Dieu t'a accordé sa faveur.

   31 Voici: bientôt tu seras enceinte et tu mettras au monde un fils; tu le nommeras Jésus.

   32 Il sera grand. Il sera appelé «Fils du Très-Haut», et le Seigneur Dieu lui donnera le trône de David, son ancêtre.

   33 Il régnera éternellement sur le peuple issu de *Jacob, et son règne n'aura pas de fin. » (Luc 1:30-33)

Le plus grand accomplissement de Salomon a pu être l’achèvement du temple. À chaque fois que le peuple de Dieu fut en danger, ils devaient se tourner vers le temple et prier, confiant que Dieu entendrait et répondrait à leurs prières. Considérez, pour un moment, quelles circonstances pousseraient les hommes à se tourner vers le temple et prier:

Quand ils étaient accusés de pécher (8:21-32)

Quand ils étaient battus par un ennemi (8:33-340

Quand Dieu jugeait la nation pour leurs péchés contre Lui (8:35-40)

Quand un étranger voulait se tourner vers Dieu (8:41-43)

Quand les Israélites allaient en guerre (8:44-45)

Quand Dieu donnait le mauvais Israël à ses ennemis, et qu’ils avaient besoin d’être pardonner et d’être libérés (8:46-51)

C’est notre Seigneur Jésus Christ qui est notre « temple suprême »:

« 14 Celui qui est la Parole est devenu homme et il a vécu parmi nous. Nous avons contemplé sa gloire, la gloire du Fils unique envoyé par son Père: plénitude de grâce et de vérité! » (Jean 1:14)

« 18 Là-dessus, les gens lui dirent:
   ---Quel signe miraculeux peux-tu nous montrer pour prouver que tu as le droit d'agir ainsi?

   19 ---Démolissez ce Temple, leur répondit Jésus, et en trois jours, je le relèverai.

   20 ---Comment? répondirent-ils. Il a fallu quarante-six ans pour reconstruire le Temple[e], et toi, tu serais capable de le relever en trois jours!

   21 Mais en parlant du «temple», Jésus faisait allusion à son propre corps.

   22 Plus tard, lorsque Jésus fut ressuscité, ses disciples se souvinrent qu'il avait dit cela, et ils crurent à l'Ecriture et à la parole que Jésus avait dite. » (John 2:18-22, mon accentuation en gras)

Jésus dit clairement 0 la « femme près du puits » qu’adorer Dieu n’est plus une question du « bon endroit », mais c’est une question d’adorer la bonne personne, Jésus Lui-même:

« 21 ---Crois-moi, lui dit Jésus, l'heure vient où il ne sera plus question de cette montagne ni de Jérusalem pour adorer le Père.

   22 Vous adorez ce que vous ne connaissez pas; nous, nous adorons ce que nous connaissons, car le salut vient du peuple juif.

   23 Mais l'heure vient, et elle est déjà là, où les vrais adorateurs adoreront le Père par l'Esprit et en vérité; car le Père recherche des hommes qui l'adorent ainsi.

   24 Dieu est Esprit et il faut que ceux qui l'adorent l'adorent par l'Esprit et en vérité.

   25 La femme lui dit:
   ---Je sais qu'un jour le *Messie doit venir --- celui qu'on appelle le Christ. Quand il sera venu, il nous expliquera tout.

   26 ---Je suis le Messie, moi qui te parle, lui dit Jésus. » (John 4:21-26)

Avez-vous péché ? Tournez-vous vers Jésus. Etes-vous débordés par les difficultés et les épreuves dans votre vie? Tournez-vous vers Jésus. Lui seul entendra et répondra à vos prières pour le salut. Il était la manifestation visible de la présence de Dieu parmi les hommes. Il vécut une vie pure et mourut une mort sacrificielle, fut enterré et fut ressuscité des morts et est maintenant la main droite du Père. Il est Celui que nous devrions adorer et servir. Les hommes, aussi grands qu’ils soient, échoueront ; Jésus n’échoué jamais.


148 This is the edited manuscript of a message delivered by Robert L. Deffinbaugh, teacher and elder at Community Bible Chapel, on April 1, 2001.

149 I should mention that the account of the transition of Israel’s leadership from David to Solomon in 1 Chronicles 29 is quite different in its perspective. There, David seems to take the initiative, not only to provide all that is needed for Solomon to complete the temple construction, but for Solomon’s ascent to the throne of Israel. In Chronicles the author does not seem as interested in pointing out the problems as he is in giving the big picture. Thus, David’s sin regarding Uriah and Bathsheba is never mentioned in Chronicles, though it is spelled out in 2 Samuel. David’s reluctance to designate Solomon as his replacement is also passed over in Chronicles. It would seem that chapters 23 through 29 of 1 Chronicles (at least 23:1 and 29:22) describe David’s actions after Bathsheba and Nathan advised him concerning Adonijah’s attempt to seize the throne.

150 As mentioned earlier, this is the point that I see the events of 1 Chronicles 23-29 taking place.

151 Unless otherwise indicated, all Scripture quotations are from the NET Bible. The NEW ENGLISH TRANSLATION, also known as THE NET BIBLE, is a completely new translation of the Bible, not a revision or an update of a previous English version. It was completed by more than twenty biblical scholars who worked directly from the best currently available Hebrew, Aramaic, and Greek texts. The translation project originally started as an attempt to provide an electronic version of a modern translation for electronic distribution over the Internet and on CD (compact disk). Anyone anywhere in the world with an Internet connection will be able to use and print out the NET Bible without cost for personal study. In addition, anyone who wants to share the Bible with others can print unlimited copies and give them away free to others. It is available on the Internet at: www.netbible.org.

152 See Genesis 35:22; 49:3-4; 2 Samuel 16:20-23; 1 Kings 2:22.

153 Commentators point out that, while it was not unusual for the Pharaoh of Egypt to take a wife from the surrounding nations, it was very rare for the Pharaoh to give one of his daughters in marriage to someone like Solomon. They view this: (1) as a sign of the weakness of Egypt at this point in time, and (2) as a sign of Solomon’s great power and prestige.

154 There are two Hiram’s involved in the construction of the temple: (1) Hiram, the King of Tyre (5:1ff.), who supplies the timber for the temple; and, (2) the “Hiram of Tyre” of chapter 7 (7:13ff.). The latter “Hiram” was the son of a woman from the tribe of Naphtali, whose father was a man of Tyre, who was a craftsman with bronze (1 Kings 7:13-14). We know from 2 Chronicles 2:3 that Hiram’s mother was said to be a Danite, which some explain by understanding Dan to be her tribe by birth and Naphtali her residence, or vice versa.

25. Littérature de Sagesse, les Psaumes, 1ère Partie

Introduction148

Aujourd’hui est l’anniversaire de ma sœur. En plus, Pâques (peut-être serait-il mieux de dire « Jour de la Résurrection ») est seulement dans une semaine. C’est une période où la section des cartes de vœux du magasin sera très fréquentée par des gens recherchant la carte parfaite. Nous achetons des cartes de vœux parce que quelqu’un arrive mieux à mettre nos pensées sur le papier. Pourtant, étrangement, beaucoup des cartes de vœux ne sont pas les traditionnels « cartes Hallmark » - la carte pour ceux « qui veulent le mieux ». De nos jours, les gens sont tout autant enclins à envoyer une carte humoristique qu’ils le seront une carte sérieuse, spécialement pour des anniversaires, anniversaires de mariage, et même des cartes d’amoureux. Quand les relations deviennent plus profondes, les gens ont des sentiments sérieux, puis luttent pour trouver les bons mots pour les exprimer. Maintenant, beaucoup ne veulent plus vraiment de relations intimes, et donc, ils envoient des cartes humoristiques à la place, des cartes qui n’arrivent jamais sous la surface de la relation.

Le Livre des Psaumes est quelque chose comme la section des « cartes Hallmark » de la Bible. Ici nous trouvons des mots qui expriment nos émotions les plus profondes et les plus fortes, pour n’importe quelles circonstances. Quelques Psaumes expriment des louanges joyeuses pour les actions de délivrance de Dieu ; d’autres expriment la repentance et les aveux de péché ; d’autres encore implorent Dieu parce qu’Il ne semble pas être conscient de la situation de l’auteur. L’éventail complet des émotions humaines est exprimé dans les Psaumes. C’est pour cette raison que les hommes et femmes se sont tournés vers les Psaumes pendant des siècles. Les Psaumes expriment les émotions les plus profondes du cœur.

J’ai une tâche intimidante – je dois essayer de traiter avec le Livre des Psaumes en deux leçons. Dans cette leçon, j’essayerai de donner une grande vue d’ensemble des Psaumes, cherchant à vous persuader que ce Livre est digne d’une grande partie de votre temps et attention. J’essaierais de montrer pourquoi les Psaumes sont si important et quelle unique contribution ils apportent aux Écritures Saintes. Je tenterais de résumer quelque unes des caractéristiques des Psaumes. Puis, nous étudierons brièvement un Psaume. Finalement, je chercherai à montrer comment les Psaumes s’appliquent à nous et à notre vénération aujourd’hui.

Pourquoi les Psaumes Sont-ils Importants ?

Après Esaïe, les Psaumes est le Livre de l’Ancien Testament le plus fréquemment cité dans le Nouveau Testament. Jésus indiqua que les Psaumes parlaient de Lui:

« 44 Puis il leur dit:
   ---Voici ce que je vous ai dit quand j'étais encore avec vous: «Il faut que s'accomplisse tout ce qui est écrit de moi dans la *Loi de *Moïse, dans les prophètes, et dans les Psaumes.» » (Luke 24:44)149

Sur la croix du Calvaire, Jésus cria les mots de Psaume 22:1. Les apôtres utilisèrent les Psaumes pour prouver que Jésus était le Messie (voir Actes 2:24-36; 12:29-39). Les Psaumes jouèrent aussi un rôle important dans la première église:

« 26 Comment donc agir, mes frères? Lorsque vous vous réunissez, l'un chantera un cantique, l'autre aura une parole d'enseignement, un autre une révélation; celui-ci s'exprimera dans une langue inconnue, celui-là en donnera l'interprétation; que tout cela serve à faire grandir l'Eglise dans la foi.» (1 Corinthians 14:26)

« 18 Ne vous enivrez pas de vin --- cela vous conduirait à une vie de désordre --- mais laissez-vous constamment remplir par l'Esprit:

   19 ainsi vous vous encouragerez mutuellement par le chant de psaumes, d'hymnes et de cantiques inspirés par l'Esprit, vous louerez le Seigneur de tout votre cœur par vos chants et vos psaumes; » (Ephésiens 5:18-19)

« 16 Que la Parole du Christ réside au milieu de vous dans toute sa richesse: qu'elle vous inspire une pleine sagesse, pour vous instruire et vous avertir les uns les autres ou pour chanter à Dieu de tout votre cœur des psaumes, des hymnes et des cantiques inspirés par l'Esprit afin d'exprimer votre reconnaissance à Dieu. » (Colossiens 3:16)

Les Psaumes ont été importants dans toute l’histoire de l’église. Chrysostome et Augustin sont parmi ceux qui ont écrit des commentaires sur les Psaumes. John Calvin dit cela sur les Psaumes:

« Je suis habitué à créer une anatomie de toutes les parties de l’âme ; car personne ne découvrira en lui-même un seul sentiment dont l’image n’est pas reflétée dans ce miroir. Non, toutes les douleurs, les chagrins, les peurs, les doutes, les espoirs, les attentions, les anxiétés – en bref, tous les sentiments tumultueux où les esprits des hommes sont habitués à être ballotter – le Saint-Esprit fut ici présenté à la vie. »150

Luther dit des Psaumes:

« Le Livre des Psaumes est le Livre préféré de tous les saints… [Chaque personne], quelque soient les circonstances, trouve dans [le Livre] Psaumes et mots qui sont appropriés aux circonstances dans lesquelles il se trouve et il satisfait ses besoins aussi adéquatement que s’ils furent composés exclusivement pour lui, et d’une telle façon que lui-même ne pourrait pas les améliorer ni trouver aucuns meilleurs Psaumes ou mots. »151

Bernhard Anderson rappelle ses lecteurs que Dietrich Bonhoeffer, qui fut exécuté par le régime Nazi, était un homme profondément influencé par les Psaumes.152 Sa dernière publication avant sa mort était The Prayer Book of the Bible: An Introduction to the Psalms (1940). Le 15 mai 1943, il écrivit ces mots: « Je lis les Psaumes tous les jours, comme je l’ai fait pendant des années. Je les connais et les aime plus qu’aucun autre Livre de la Bible. »153

Quelle Est l’Unique Contribution des Psaumes ?

(1) Les Psaumes sont de la poésie. Les Psaumes sont de la poésie, mais pas le genre de poésie à laquelle beaucoup d’entre nous sommes accoutumés. Quand vous regardez les Psaumes dans la version King James de la Bible, vous découvrez que le format du Livre des Psaumes n’est pas différent de celui de Genèse. Ce ne fut pas avant100 ans plus tard que l’évêque Robert Lowth redécouvrit le génie de la poésie hébraïque.154 La poésie hébraïque n’est pas comme notre poésie. Quand nous pensons à la poésie, nous pensons à des lignes qui riment:

La Cigale, ayant chanté
Tout l'été,
Se trouva fort dépourvue
Quand la bise fut venue

La poésie hébraïque ne dépend pas beaucoup des vers ; c’est basé sur la répétition et le développement de la pensée d’une ligne à l’autre. Cette répétition est connue comme « parallélisme ».155 Dans le parallélisme synonyme, la première ligne est répétée dans la deuxième, avec seulement un léger changement de termes:

« 1 Pourquoi tant d'effervescence parmi les nations?
      Et pourquoi donc trament-elles tous ces complots inutiles?» (Psaume 2:1; voir aussi 3:1)

Dans le parallélisme antithétique, les mots de la première ligne sont confirmés par la deuxième, pas par répétition, mais pas contraste:

« 6 Car l'Eternel veille sur la voie des justes;
      mais le sentier des méchants les mène à la ruine. » (Psaume 1:6, voir aussi 40:4)

Dans le parallélisme culminant, la seconde ligne raffine, développe, et complète la pensée de la première:

« 7 Célébrez l'Eternel, vous, nations de la terre,
      célébrez l'Eternel en proclamant sa gloire et sa puissance. » (Psaume 96:7)

Il y a d’autres genres de parallélisme, mais ceux-ci vous donne quelques exemples de la base de la poésie hébraïque. Combien sage et gracieux Dieu était d’utiliser la poésie hébraïque, plutôt que le genre de poésie à laquelle nous sommes habitués. Pouvez-vous imaginer combien difficile il serait de traduire « la cigale et la fourmi » en langue hébraïque pour que cette fable rime ? La poésie hébraïque est la forme la plus facile à traduire que je connaisse, et c’est la poésie que Dieu choisit pour le Livre des Psaumes.

La poésie est un moyen d’expression qui facilite la communication de sentiments profonds et d’émotions. Quand mon père était dans la Marine durant la Seconde Guerre Mondiale, il écrivait des poèmes à ma mère. (En fait, jusqu'à récemment, mon Père écrivait des poèmes à chacun de ses enfants et petits-enfants pour leurs anniversaires). Durant mes années de ministères dans les prisons, je fus choqué d’apprendre combien de prisonniers écrivaient des poèmes. Pour quelques raisons que ce soit, cela est considéré comme une façon acceptable de révéler les sentiments de quelqu’un (ce qui n’est pas fait beaucoup dans une prison).

Parce que les Psaumes sont de la poésie, ils doivent être interprétés d’une manière différente du récit historique. Nous nous attendons à des figures de rhétorique et ce qui semble être de l’exagération. Nous savons qu’il ne faut pas prendre chaque mot littéralement. Par exemple, dans les Psaumes, nous lisons,

« 8 Que les rivières battent des mains,
      que les montagnes, à l'unisson, chantent de joie. » (Psaume 98:8)

(2) Les Psaumes sont des cantiques. Le mot hébreu Tehillim qui est le titre du Livre des Psaumes dans la Bible hébraïque veut dire « cantiques de louanges ». Les termes trouvés dans les titres de beaucoup de Psaumes sont souvent des termes musicaux. Quelques fois, il y aura une référence au « chef du chœur » dans le premier verset du Psaume (Psaumes 4,5,6,8,9, etc.). Des instruments musicaux variés sont mentionnés, comme la flute (Psaume 5) et des instruments à cordes (Psaumes 4,6,54,55).

La musique jouait une part vitale de la vénération de l’ancien Israël, tout comme elle a dans l’église à travers les âges jusqu'à présent. Martin Luther a dit une fois,

« Celui qui méprise la musique… ne me plait pas. La musique est un don de Dieu, pas un don des hommes… après la théologie, j’accorde à la musique la plus haute place et le plus grand honneur. »156

La musique n’est pas une partie d’importance secondaire ; elle joue un rôle fondamental dans nos vies. La musique de David d’une certaine manière calmait l’Esprit troublé, démoniaque de Saül (1 Samuel 16:14-23). Les révélations prophétiques par l’Esprit de Dieu étaient liées de près à la musique dans au moins une paire d’instances (1 Kings 10:5-6; 9-11 ; 2 Kings 3:15).

Les ancien Israélites connaissaient l’air d’au moins quelques-uns des Psaumes:

« 1 Au chef de chœur, à chanter sur l'air «Les lis». Une méditation et un chant d'amour des Qoréites. » (Préface du Psaume 45).

Quelque part le long du chemin, la partition des Psaumes fut perdue, et je suis enclin à penser que cela ne fut pas par accident. Cela veut dire que pour nous de chanter les Psaumes nous devons les mettre sur de la musique, notre propre musique. Cela devrait être comme ça. Pouvez-vous imaginer ce que cela aurait du être de mettre les mots sur des notes quand les Psaumes furent traduits ? Quelques fois, en raison de la nature de la traduction, il y aurait eu deux fois plus de mots que de notes, et à d’autres moments, juste l’inverse. Quelques mots hébreux doivent être traduits avec une phrase, alors, plus de mots étaient requis.

Dieu savait que les Psaumes seraient traduits en de nombreuses langues, et que chaque groupe de langues aurait sa propre culture, sa propre musique, et ses propres préférences. Les Psaumes nous encouragent à écrire la partition musicale que nous trouvons appropriée aux Psaumes et à notre culture.3

Il est parfois amusant quand quelqu’un se lève et dit, « Chantons s’il vous plait l’hymne numéro 256, et chantons-le avec adoration ? » Avec adoration veut dire des choses différentes pour des gens différents. Pour certains, cela veut dire chanter a cappella ; pour d’autres, cela veut dire chanter doucement et lentement ; pour d’autres encore, cela veut dire chanter fort, peut-être en frappant des mains. Les Psaumes ne contiennent aucune musique prescrite pour que nous puissions mettre ces mots inspirés sur de la musique de façon qui soit appropriée à notre propre culture. C’est, bien entendu, dans les limites de bienséance, mais il y a un grand éventail de libertés ici.

(3) Les Psaumes sont des expressions de vénération. Les Psaumes sont une expression de la réponse de l’homme à Dieu à la vue de ses circonstances. L’éventail de circonstances d’urgence est très large dans les Psaumes. Ron Allen a, avec quelques mots d’avertissement, divisé les Écritures en trois catégories principales: Révélation, Réflexion, et Réponse.157 Révélation inclurait par exemple les récits de la Bible, Réflexion inclurait certains les livres de sagesse, comme Proverbes. Réponse serait exprime dans les Psaumes.

Souvent, les Psaumes sont une réponse publique à Dieu comme le résultat d’une rencontre plus privée avec Dieu. Nous voyons l’auteur des Psaumes exprimant leur vénération à Dieu comme la réalisation de leur promesse de louer Dieu publiquement pour Son intervention dans leurs vies en réponse à leurs requêtes:

« 14 et, devant tout son peuple,
      j'accomplirai les vœux que j'ai faits envers l'Eternel. » (Psaume 116:14)

« 25 Il n'a pas méprisé le pauvre en son malheur,
      il n'a pas détourné son regard loin de lui.
      Non! Il a écouté l'appel à l'aide qu'il lui lançait. » (Psaume 22:25; voir aussi 66:13-16)

L’auteur du Psaume, fréquemment, conseille vivement à ses compatriotes de le joindre dans sa vénération de Dieu. Dans Romains 12:15, nous sommes exhortés de,

« Nous réjouir avec ceux qui se réjouissent, de pleurer avec ceux qui pleurent. »

En fait, les Psaumes facilitent cela. Nous pouvons non seulement entrer dans l’expérience des auteurs des Psaumes, mais nous pouvons aussi entrer dans leurs têtes, spécialement leurs pensées concernant Dieu:

« 1 Au chef de chœur. Méditation des Qoréites.

  2 Comme un cerf qui soupire après l'eau des ruisseaux,
      de même je soupire après toi, ô mon Dieu.

  3 J'ai soif de Dieu, du Dieu vivant!
      Quand pourrai-je venir et me présenter devant Dieu?

  4 Mes larmes sont le pain de mes jours comme de mes nuits.
      Sans cesse, on me répète:
      «Ton Dieu, où est-il donc?»

  5 Avec quelle émotion je me souviens du temps
      où, avec le cortège, je m'avançais,
      en marchant à sa tête vers le temple de Dieu,
      au milieu de la joie et des cris de reconnaissance
      de tout un peuple en fête.

  6 Pourquoi donc, ô mon âme, es-tu si abattue
      et gémis-tu sur moi?
      Mets ton espoir en Dieu! Je le louerai encore,
      car il est mon Sauveur.

  7 Mon Dieu, mon âme est abattue,
      Voilà pourquoi, je pense à toi du pays du Jourdain,
      des cimes de l'Hermon et du mont Mitséar.

  8 Un abîme en appelle un autre: tu fais gronder tes chutes;
      tous tes flots et tes lames ont déferlé sur moi.

  9 Que, le jour, l'Eternel me montre son amour:
      je passerai la nuit à chanter ses louanges
      et j'adresserai ma prière au Dieu qui me fait vivre.» (Psaume 42:1-9)

(4) Les Psaumes sont des prières:

« 20 Ici s'achève le recueil des prières de David, fils d'Isaï. » (Psaume 72:20)

A ce moment, beaucoup d’attention est donnée à la prière de « Yaebets ».

« 10 Yaebets invoqua le Dieu d'Israël en disant: «Si tu me bénis réellement et si tu agrandis mon territoire, si tu es avec moi, si tu éloignes de moi le malheur pour m'épargner la souffrance...» Et Dieu lui accorda ce qu'il avait demandé. » (1 Chroniques 4:10)

Je n’essaye pas de donner tort à ceux qui nous auraient modelé certaines de nos prières sur la « prière de Yaebets », mais je signalerais que les Psaumes sont des prières qui étaient spécialement destinées à être répétées. Je ne suis pas si certain de ça en ce qui concerne la prière de Yaebets. En fait, il me semble que la plupart des Psaumes sont les prières des hommes qui se sont trouvés eux-mêmes dans des circonstances très difficiles. Ce sont souvent des prières de délivrance de danger et de mort, non pas des prières de prospérité. Je serais enclin à dire que la prière de Yaebets est concentrée directement sur son point principal (Yaebets et son bien-être), alors que les Psaumes concentrent plus sur Dieu, et ils sont incontestablement bien plus « diversifiés »  en termes de leur contenu.

(5) Les Psaumes sont des instructions. Les Psaumes sont un résumé, une condensation, de la théologie de l’Ancien Testament. Les Psaumes sont riches dans leur contenu en ce qui concerne la doctrine. Nous trouvons les qualités de Dieu être un thème constant dans les Psaumes. Nous voyons la loi, la façon elle a été désignée d’être vue dans les Psaumes. Les Psaumes résument aussi l’histoire de comment Dieu traita l’homme dans l’Ancien Testament (voir Psaumes 78,105). Les Psaumes contiennent beaucoup de prophéties, comme nous le verrons dans notre prochaine leçon. Les Psaumes rendent plus facile d’apprendre la Parole de Dieu et de la mémoriser. Par exemple, Psaume 119, est arrangé alphabétiquement (en hébraïque). Chaque section du Psaume commence avec la lettre suivante de l’alphabet. Les Psaumes sont riches en instructions. Quels aperçus incroyables nous sommes donnés concernant la loi de l’Ancien Testament:

« 97 Oh! Que j'aime ta Loi!
      Je la médite tout le jour.

   98 Ton commandement me rend sage, plus sage que mes ennemis,
      car il m'accompagne toujours.

   99 Je suis plus avisé que tous mes maîtres
      car je médite tes édits.

   100 Je suis plus sage que les vieillards
      parce que j'obéis à tes commandements.

   101 Mes pas ont évité tous les sentiers du mal
      pour obéir à ta parole.

   102 Je ne me suis pas écarté des lois que tu as établies,
      car tu m'as enseigné.

   103 Que ta parole est douce à mon palais!
      Elle est meilleure que le miel,

   104 et j'acquiers du discernement grâce à tes ordonnances;
      c'est pourquoi je déteste tout sentier mensonger.» (Psaume 119:97-104).

(6) Les Psaumes parlent de nous. Nous savons que les Psaumes parlent de nous, mais ils parlent aussi pour nous. Les Psaumes peuvent exprimer nos cœurs et nos pensées mieux que nos propres mots le peuvent. En plusieurs occasions, on m’a demande si Romains 8:26-27 est une explication pour parler en gémissant:

« 26 De même, l'Esprit vient nous aider dans notre faiblesse. En effet, nous ne savons pas prier comme il faut, mais l'Esprit lui-même intercède en gémissant d'une manière inexprimable.

   27 Et Dieu qui scrute les cœurs sait ce vers quoi tend l'Esprit, car c'est en accord avec Dieu qu'il intercède pour ceux qui appartiennent à Dieu. » (Romains 8:26-27)

Sans chercher à engager dans un débat sur le don de parlant en gémissant, je dirais que si quelqu’un croit ou non ce don existe aujourd’hui, je ne crois pas que Romains 8:26-27 fait référence à ce don. Ce texte nous dit que l’Esprit nous aide à communiquer avec Dieu, spécialement quand nous ne semblons pas trouver les mots pour exprimer nos cœurs à Dieu. Nous savons que l’Esprit de Dieu communique aussi de Dieu vers nous des choses que nos esprits naturels ne peuvent pas comprendre:

« 14 Mais l'homme livré à lui-même ne reçoit pas ce qui vient de l'Esprit de Dieu; à ses yeux, c'est «pure folie» et il est incapable de le comprendre, car seul l'Esprit de Dieu permet d'en juger.

   15 Celui qui a cet Esprit peut, lui, juger de tout, sans que personne ne puisse le juger. Car il est écrit:

   16 Qui donc connaît la pensée du Seigneur et qui pourrait l'instruire? Mais nous, nous avons la pensée du Christ. » (1 Corinthiens 2:14-16)

Cette communication de Dieu n’est pas le moyen du don de parler en gémissant à Dieu. En fait, sans interprétation, nous ne savons même pas ce qui a été dit en gémissant (voir 1 Corinthiens 14:6-19). De plus, les Écritures sont très claires que le don de parler en gémissemantt n’est donné qu’à quelques personnes, mais pas à tous les saints, comme les autres dons (1 Corinthiens 12:29-30). Si le don de parler en gémissant est le moyen par lequel nous sommes capables de communiquer nos pensées inexprimables à Dieu en prière, alors tous les saints ne sont pas capables de le faire, car pas tous le monde est capable de parler en gémissant.

Mon point ici est que la provision qui est exprimée dans Romans 8:26-27 doit être une provision universelle pour tous les saints, et non pas jute pour quelques-uns. Les Psaumes sont le moyen par lequel l’Esprit de Dieu nous aide à articuler les pensées et les lamentations de nos cœurs. Nos cœurs nous troublent, mais nous ne pouvons pas vraiment exprimer ce qui cause notre angoisse. Alors nous tournons vers les Psaumes et nous en trouvons un, spécial, qui décrit précisément notre angoisse. Je ne dis pas que les Psaumes sont la seule provision « universelle » que l’Esprit de Dieu met à notre disposition, mais je pense que les Psaumes sont une des provisions de l’Esprit qui nous aident à exprimer le sentiment profond de nos cœurs.

Ce fut Athanase, un chef d’église remarquable du quatrième siècle, qui déclara soit disant « que les Psaumes ont une place unique sans la Bible parce la plupart des Écritures nous parlent, alors que les Psaumes parlent pour nous. »158

Martin Luther trouva que les Psaumes étaient une école de prières:

« Le Chrétien peut apprendre à prier dans le Livre des Psaumes, car ici il peut entendre comment les saints parlent avec Dieu. Le nombre de sentiments exprimé ici, joie et souffrance, espoir et attention, rend possible pour chaque Chrétien de se trouver là, et de prier avec les Psaumes. »159

Un Coup d’œil au Psaume 73160

J’ai choisi le Psaume 73 pour montrer la manière dont les Psaumes enseignent la théologie. Psaume 73 adresse le problème du mal, comme le Psaume 37 et d’autres. Psaume 73 est un de ces psaumes que finissent sur une note joyeuse. Pas tous les Psaumes finissent comme ça. Dans certains Psaumes, l’auteur implore Dieu pour la délivrance ou une intervention divine parce que Dieu n’a pas encore agi. Dans de tels cas, l’auteur doit simplement se tourner vers le Dieu de la Bible et Lui faire confiance, basé sur Son caractère, Ses promesses des alliances, Ses actions dans le passé (voir par exemple, Psaumes 6, 13,34,44,74,79,80,89,94) et en dépit de ses circonstances. Cependant dans le Psaume 73, l’auteur atteint la résolution de son problème à l’avance, qu’il exprime dans son Psaume. Considérons brièvement le problème de l’auteur du Psaume, la solution qu’il trouve, et sa réponse à Dieu.

L’auteur de ce Psaume est Asaph, l’auteur de 12 Psaumes.161 Asaph est le chef des prêtres qui invoquaient Dieu devant le coffre de l’Eternel (1 Chroniques 16:4-5). Je peux imaginer que beaucoup de son agonie vint d’observer ceux qui venaient pour vénérer, sachant que certains devaient être des hypocrites. Le dilemme d’Asaph est basé sur ce principe fondamental, cru par chaque Israélite fidele:

«1 Oui, Dieu est bon pour Israël,
      pour tous ceux qui ont le cœur pur. » (Psaume 73:1)

L’Alliance Mosaïque assura le peuple de Dieu qu’Il bénirait ceux qui était justes et qu’Il punirait les mauvais. Quand Asaph observait les hommes pendant son temps d’office, cela ne semblait pas arriver. Effectivement, il semblait que l’opposé arrivait – il semblait que Dieu bénissait les mauvais, ou encore pire, que les mauvais prospéraient et que Dieu ne semblait pas savoir ou s’en soucier.

« 2 Pourtant, il s'en fallut de peu que mes pieds ne trébuchent,
      un rien de plus, et je tombais.

   3 J'étais jaloux des arrogants
      en voyant la prospérité des gens méchants.

   4 Car ils sont exempts de souffrance; jusqu'à leur mort,
      ils ont santé et embonpoint.

   5 Ils passent à côté des peines qui sont le lot commun des hommes.
      Ils ne subissent pas les maux qui frappent les humains.

   6 Aussi s'ornent-ils d'arrogance comme on porte un collier,
      et la violence est leur parure,

   7 leurs yeux sont pétillants dans leur visage plein de graisse,
      les mauvais désirs de leur cœur débordent sans mesure.

   8 Ils sont moqueurs, ils parlent méchamment
      et, sur un ton hautain, menacent d'opprimer.

   9 Leur bouche s'en prend au ciel même,
      leur langue sévit sur la terre.

   10 Aussi le peuple les suit-il,
      buvant à longs traits leurs paroles,

   11 tout en disant: «Dieu? Que sait-il?
      Celui qui est là-haut comment connaîtrait-il?»

   12 Voilà comment sont les méchants:
      toujours tranquilles, ils accumulent les richesses. » (Psaume 73:2-12)

Asaph dit clairement qu’il avait péché en doutant la bonté de Dieu et en étant jaloux de la prospérité des mauvais gens. Le contexte du Psaume tout entier devrait nous révéler que la perception d’Asaph était loin d’être exacte. Pas tout le monde qui prospérait était mauvais, ni tous les justes étaient pauvres et opprimés. Il n’a jamais été vrai non plus que les mauvais gens sont entièrement libres de douleurs et de souffrances. Asaph vit certains, qui étaient mauvais, prospéraient, et ils semblaient échapper à toutes punitions. Ce qui était encore pire était que ces mêmes gens étaient arrogants à propos de leurs péchés, s’en vantant (verset 8). Ils semblaient agir et parler comme s’ils étaient Dieu. Ils étaient si arrogants qu’ils parlaient même contre Dieu (verset 9). Ils osaient penser et dire que Dieu ne devait pas savoir ou se soucier qu’ils agissaient ainsi (versets 10-11). En résumé, quand Asaph observait les méchants, il enviait leur prospérité, et il commença à douter le principe fondamental que Dieu récompensait les justes et punissait les méchants. Il dénia presque une des fondations de la foi juive:

« 6 Or, sans la foi, il est impossible de lui être agréable. Car celui qui s'approche de Dieu doit croire qu'il existe et qu'il récompense ceux qui le cherchent. » (Hébreux 11:6)

Asaph confesse à quel point il en était venu près de « jeter l’éponge » et d’abandonner:

« 13 Alors, c'est donc en vain que je suis resté pur,
      que j'ai lavé mes mains en signe d'innocence!

14 Tous les jours, je subis des coups,
      je suis châtié chaque matin! » (Psaume 73:13-14)

Qu’est-ce qu’être bon lui avait rapporté, Asaph demanda. Bien sur, cela assume qu’il était vraiment juste – une supposition très dangereuse:

« 5 Nous sommes tous semblables à des êtres impurs,
      toute notre justice est comme des linges souillés.
      Nous sommes tous flétris comme un feuillage,
      nos fautes nous emportent comme le vent. » (Ésaïe 64:5)

Asaph honnêtement avoua son péché et les dangers qu’il posa pour lui-même et les autres:

«15 Si je disais: «Parlons comme eux»,
      alors je trahirais tes fils. » (Psaume 73:15)

« 21 Oui, quand j'avais le cœur amer
      et tant que je me tourmentais,

   22 j'étais un sot, un ignorant,
      je me comportais avec toi comme une bête sans raison. » (Psaume 73:21-22)

La solution de l’embarras vint quand il alla au sanctuaire de Dieu et put voir les méchants d’une perspective divine et éternelle:

« 16 Je me suis mis à réfléchir: j'ai cherché à comprendre,
      je trouvais tout cela bien trop injuste

   17 jusqu'au jour où je suis entré dans la maison de Dieu
      et où j'ai réfléchi au sort qui les attend.

   18 Car, en fait, tu les mets sur un terrain glissant,
      tu les entraînes vers la ruine.

   19 Et soudain, c'est la catastrophe: en un instant, ils sont perdus,
      ils sont détruits, et l'épouvante les saisit.

   20 Comme les images du rêve s'évanouissent, après le réveil,
      ô Eternel, quand tu interviendras, tu les feras tous disparaître. » (Psaume 73:16-20)

Je me souviens une fois mon frère et moi sommes allé à la pêche au saumon sur un bateau au large des côtes de l’Oregon. La pêche ne fut pas si bonne ce jour-là (c’est généralement comme ça quand je vais à la pêche). Mais il y avait un gars sur le bateau qui était fasciné par un magazine obscène attendant que le poisson morde, et ils mordirent – au moins pour lui. Je dis quelque chose à mon frère sur l’injustice de cela (certainement Dieu dirigerait juste un saumon vers mon hameçon), et il répondit sagement, « C’est tout le plaisir que cet homme n’aura jamais ; nous avons le paradis qui nous attend. » Bien sûr il avait raison. C’est ce qu’Asaph aussi arriva à réaliser, quand il regarda alors à la prospérité des méchants du point de vue eternel.

Asaph observa maintenant les mêmes gens, mais de la perspective divine. Il vit non seulement leur prospérité présente, mais leur ruine éternelle. Est-ce que les méchants prospèrent ? Si oui, leur prospérité n’est que pour un moment. Mais en dépit de leur arrogance et leur sécurité apparente, leur avenir est loin d’être sécurise. Un jour, Dieu abaissera les méchants, et ils payeront pour leurs péchés. Leur prospérité disparaitra soudainement comme un rêve. Quand Dieu « se réveillera », Il s’occupera d’eux pour leurs péchés.

Asaph vit maintenant ses propres circonstances d’un point de vue divin:

« 25 Qui ai-je au ciel, si ce n'est toi?
      Et ici-bas que désirer, car je suis avec toi?

   26 Mon corps peut s'épuiser et mon cœur défaillir,
      Dieu reste mon rocher, et mon bien précieux pour toujours. » (Psaume 73:25-26)

Dans leur prospérité, les méchants ont parlé avec arrogance contre Dieu (voir versets 8-12). La prospérité ne les a pas amenés plus près de Dieu. Asaph, d’un autre coté, est maintenant intensément conscient du bonheur de son intimité avec Dieu. Alors que sa vie put être marquée par abondance et aisance, il sait que Dieu est avec lui. Sa « pauvreté » (au moins comparée aux riches qui sont des scélérats) l’a rapproché de Dieu. Et ainsi sa vie terrestre avec Dieu, est meilleure que celle des méchants. Et pour surpasser tout cela, sa relation terrestre avec Dieu n’est que le commencement. Il est assuré de l’amitié éternelle de Dieu dans Sa présence.

Si Asaph avait conclu que les méchants « avaient le mieux » pour le moment, mais qu’il « aura le meilleur » dans l’éternité, il aurait eu tort. Asaph avait le meilleur maintenant et pour toujours. Il est arrivé maintenant à une définition différente du bien:

« 28 Tandis que mon bonheur à moi, c'est d'être toujours près de Dieu.
      Oui, j'ai placé dans le Seigneur, dans l'Eternel, mon sûr refuge,
      et je raconterai ses œuvres. » (Psaume 73:28)

Asaph commença avec cette phrase,

« Oui, Dieu est bon pour Israël, » (73:1a)

Pour Asaph, comme pour les autres, cela voulait dire que Dieu bénirait matériellement ceux qui étaient purs. Asaph voit maintenant les choses différemment. Il réalise que ses motifs n’étaient pas purs (voir 73:15, 21-22). Il ne méritait pas les bénédictions de Dieu. Et de plus, la bonté de Dieu ne devait pas être mesurée en termes de dollars et cents, mais en termes de proximité de Dieu.

Combien d’entres nous sommes coupables de penser en de similaires termes erronés ? Quand nous pensons au ciel, nous pensons souvent aux rues pavées d’or, ou qu’il n’y aura plus de larmes, plus de souffrance et de chagrin, plus de mort. Bien que cela soit vrai, la bénédiction la plus grande au ciel est que c’est où Dieu est. Le ciel est béni parce que là nous pouvons jouir d’une intimité libre avec Dieu pour l’éternité. Nos souffrances sont destinées à desserrer notre emprise sur ce monde et ses marchandises matérielles et améliorer notre faim pour le ciel:

« 16 Voilà pourquoi nous ne perdons pas courage. Et même si notre être extérieur se détériore peu à peu, intérieurement, nous sommes renouvelés de jour en jour.

   17 En effet, nos détresses présentes sont passagères et légères par rapport au poids insurpassable de gloire éternelle qu'elles nous préparent.

   18 Et nous ne portons pas notre attention sur les choses visibles, mais sur les réalités encore invisibles. Car les réalités visibles ne durent qu'un temps, mais les invisibles demeureront éternellement. » (2 Corinthiens 4:16-18)

Beaucoup de livres ont été écris sur le problème de la souffrance humaine. Ce Psaume le dit bien mieux que beaucoup d’efforts nobles pour attaquer ce problème. Il est un résumé de vérité biblique. Il corrige quelques conceptions erronées sur les Chrétiens et la souffrance (et la prospérité). Il le fait juste en quelques mots. Quel merveilleux coffre au trésor de vérités est trouvé dans le Livre des Psaumes. Pas étonnant que les Psaumes jouèrent un rôle important dans les églises du Nouveau Testament:

« 18 Ne vous enivrez pas de vin --- cela vous conduirait à une vie de désordre --- mais laissez-vous constamment remplir par l'Esprit:

   19 ainsi vous vous encouragerez mutuellement par le chant de psaumes, d'hymnes et de cantiques inspirés par l'Esprit, vous louerez le Seigneur de tout votre cœur par vos chants et vos psaumes; » (Ephésiens 5:18-19)

« 16 Que la Parole du Christ réside au milieu de vous dans toute sa richesse: qu'elle vous inspire une pleine sagesse, pour vous instruire et vous avertir les uns les autres ou pour chanter à Dieu de tout votre cœur des psaumes, des hymnes et des cantiques inspirés par l'Esprit afin d'exprimer votre reconnaissance à Dieu. » (Colossiens 3:16)

Si je sens des domaines de faiblesse dans ma propre vie chrétienne, l’un d’eux est dans le domaine de la vénération. Les Psaumes sont une mine d’or de matériel de vénération. Ils fournissent non seulement le contenu mais aussi le modèle de louange et de dévotion – personnel et social. Les Psaumes me permettent de louer Dieu en toutes circonstances. Ils manifestent une honnêteté, une franchise, et une transparence dans la dévotion qui souvent manque dans la mienne. Les Psaumes m'aident à connaître plus qu'un Christianisme cérébral – une sorte de foi intellectuelle. Les Psaumes engagent mon cœur et mes émotions, autant que mon Esprit.

Les Psaumes sont aussi instructifs dans ma participation publique à la dévotion sociale de l’église. Dans notre église, nous avons une réunion ouverte, où les hommes guident publiquement le service et où nous célébrons la communion chaque semaine. Si ma participation dans cette réunion est guidée par les Psaumes, alors ce sont mes expériences et mes rencontres avec Dieu pendant la semaine qui devraient fournir le matériel brut pour ma participation le dimanche. Il n’est pas aussi important où ma participation commence qu’où elle finit. Beaucoup de Psaumes sont nés dans des situations humbles, tel que David simulant la folie devant Abimélek (Psaume 34:1). Cependant le Psaume de David finit en concentrant sur la majesté de la compassion de Dieu et le salut. Plusieurs hommes dans notre église sont passés près de la mort, et certains sont décédés. Les mots de dévotion nous ont poussés à nous rapprocher de Dieu et à louer Dieu avec eux. Les Psaumes ne sont pas à propos de nous, mais sont à propos de Dieu. Ils commencent avec notre expérience, mais ils se concentrent sur Dieu, et ils sont une expression de dévotion.

Les Psaumes nous rappellent que nous devrions arriver préparés à vénérer. Ils ne sont pas des expressions spontanées de dévotion, mais des louanges et requêtes bien réfléchies et magnifiquement structurées. Les Psaumes devraient nous avertir de ne pas être négligeant dans notre vénération et ne pas aller à la messe non préparés à guider les autres à vénérer. Alors que certaines églises ont leurs chefs de dévotion, il me semblerait que tout homme qui guide à la dévotion devrait faire son travail comme un chef, attirer l’attention des gens sur Dieu, et les défier et les inspirer à adorer Dieu.

Que Dieu utilise les Psaumes pour enrichir nos vies et notre dévotion, et qu’Il nous accorde de nouveaux Psaumes de dévotion quand nous continuons à adorer Dieu à travers la poésie et les cantiques. Je termine avec un Psaume écrit par un jeune enfant du CM1 à l’Ecole du Dimanche dans notre église en réponse à notre étude des Psaumes:

Psaume d’un Jeune Enfant du CM1 (Cantique)

J’ai apprit et je crois

Que Jésus est le Seul pour moi

Quel est Celui pour lequel nous combattons ?

Roi des rois et Seigneur des seigneurs

Qui est Celui Qui nous donne la grâce ?

Jésus Christ est Celui Qui sauve.

Un jour Il reviendra

Et emmènera Ses enfants avec Lui


148 This is the edited manuscript of a message delivered by Robert L. Deffinbaugh, teacher and elder at Community Bible Chapel, on April 8, 2001.

149 Unless otherwise indicated, all Scripture quotations are from the NET Bible. The NEW ENGLISH TRANSLATION, also known as THE NET BIBLE, is a completely new translation of the Bible, not a revision or an update of a previous English version. It was completed by more than twenty biblical scholars who worked directly from the best currently available Hebrew, Aramaic, and Greek texts. The translation project originally started as an attempt to provide an electronic version of a modern translation for electronic distribution over the Internet and on CD (compact disk). Anyone anywhere in the world with an Internet connection will be able to use and print out the NET Bible without cost for personal study. In addition, anyone who wants to share the Bible with others can print unlimited copies and give them away free to others. It is available on the Internet at: www.netbible.org.

150 J. Sidlow Baxter, Explore the Book (Grand Rapids, Michigan: Zondervan Publishing House, 1960), Six volumes in one, vol. 3, pp. 83-84.

151 As quoted by John H. Hayes, Understanding the Psalms (Valley Forge: Judson Press, 1976), p. 5.

152 A. A. Anderson, The Book of Psalms (Grand Rapids: Wm. B. Eerdmans, 1972), p. x, 2, 75-76.

153 Ibid., p. 75.

154 Ibid., p. 48.

155 The following examples of Hebrew parallelism are from Ronald Barclay Allen, Praise! A Matter of Life and Breath (Nashville: Thomas Nelson Publishers, 1980), pp. 23-24. See also Derek Kidner, Psalms (Downers Grove: Inter-Varsity Press, 1973), I, pp. 2-4; A. A. Anderson, The Book of Psalms (Grand Rapids: Wm. B. Eerdmans, 1972), I, pp. 40-42; R.K. Harrison, “Hebrew Poetry,” The Zondervan Pictorial Encyclopedia of the Bible (Grand Rapids: Zondervan, 1975), III, pp. 76-87.

156 As quoted by Allen, p. 23, from Ewald M. Plass, What Luther Says: An Anthology, 3 vols. (St. Louis: Concordia, 1959), vol. 2, p. 980.

157 Ronald Barclay Allen, Praise! A Matter of Life and Breath (Nashville: Thomas Nelson Publishers, 1980), p. 97.

158 Ibid., p. x.

159 As quoted by Ronald Barclay Allen, Praise! A Matter of Life and Breath (Nashville: Thomas Nelson Publishers, 1980), p. 24.

160 For a more thorough exposition of Psalm 73, see /docs/ot/books/psa/deffin/psa-06.htm.

161 Psalms 50, 73-83.

Related Topics: Wisdom

26. Littérature de Sagesse, les Psaumes, 2ème Partie

Introduction

Il y a des années, lors de la communion le plateau accidentellement tomba parterre. Les petits verres en plastique de jus de raisin furent partout sur le sol, leur contenu déversé sur la moquette. Ce fut un moment embarrassant pour celui qui tenait le plateau. Marvin Ball était dans l’audience, et je n’oublierais jamais ce qu’il dit en réponse à cet accident. C’était un peu comme ça:

Ce que nous venons de voir était un accident. Le jus de raisin, représentant le sang de notre Seigneur Jésus Christ, fut déversé. Quelques fois j’entends les gens faire allusion à l’effusion du sang de notre Seigneur de la même façon. Ils disent que Son sang fut déversé. C’est faux ; Il fut versé. Un déversement est accidentel, et le versement du sang de notre Seigneur ne fut pas un accident. C’était son dessein de mourir, pour que Son sang versé puisse racheter nos péchés.

Je n’oublierais jamais l’impact que les mots de Marvin eurent sur nous tous qui avions vu cet accident. La mort de notre Seigneur ne fut pas un accident. C’est le Dimanche de la Résurrection, et il y aura ceux qui regarderont la mort de notre Seigneur comme un accident, comme si Jésus d’une façon ou d’une autre sous-estimait l’opposition. Ils pensent de la crucifixion comme le résultat malencontreux de quelque chose qui ne marcha pas correctement avec le plan de notre Seigneur pour devenir le Messie d’Israël.

La plupart des Chrétiens savent mieux que ça. Ils comprennent que ceux qui pensent que la mort de Jésus était un accident ont tort. Mais à mon avis, leur façon de raisonner n’a aucun mérite. La plupart des Chrétiens semblent penser que Dieu le Père était responsable pour que tous les résultats des évènements de la vie de notre Seigneur réalisent les Écritures. Mais en pensant cela, ils voient notre Seigneur étant passif dans Son arrestation, Son procès, et Sa crucifixion. Je crois que Jésus était un participant actif dans le processus divin pour réaliser les prophéties de l’Ancien Testament concernant Sa Passion. Quand j’enseignais sur la dernière semaine de la vie de notre Seigneur dans l’Évangile selon St Jean, je fis référence à cette section comme, « Jésus, Seigneur de Sa mort. »149 Jésus n’était pas une « victime » dans le sens qu’Il était incapable de Se sauver Lui-même de la mort ; plutôt, Jésus arrangea délibérément les évènements conduisant à Sa mort de façons qui réaliseraient la prophétie.

Il est très important pour nous de voir combien notre Seigneur contrôlait les évènements conduisant à Sa mort. C’est spécialement apparent dans l’Évangile selon St Jean, où notre Seigneur mena soigneusement Ses attaques contre les chefs religieux Juifs à Jérusalem. La première de ces « attaques » fut le nettoyage initial du temple de notre Seigneur durant la saison de la Pâque, enregistré dans Jean 2:13-25. Durant Son ministère terrestre, Jésus fit plusieurs visites à Jérusalem, chacune conduisant à une plus grande animosité de la part des chefs religieux Juifs. Ceux-ci étaient déjà déterminés à tuer Jésus150 quand Il reviendrait de Béthanie, en dehors de Jérusalem, pour ressusciter Lazare (Jean 11). Après la résurrection de Lazare, les espoirs et l’attente des gens que Jésus pourrait être le Messie étaient à son pinacle (Jean 11:45; 12:9-11, 42-43). Les chefs religieux Juifs furent pratiquement forcés à prendre des mesures contre Jésus:

« 47 Alors, les chefs des prêtres et les pharisiens convoquèrent le Grand-Conseil.
   ---Qu'allons-nous faire? disaient-ils. Cet homme accomplit trop de signes miraculeux;

  48 si nous le laissons faire de la sorte, tout le monde va croire en lui. Alors les Romains viendront et détruiront notre Temple et notre nation.

  49 L'un d'eux, qui s'appelait Caïphe, et qui était grand-prêtre cette année-là, prit la parole:
   ---Vous n'y entendez rien, leur dit-il.

  50 Vous ne voyez pas qu'il est de notre intérêt qu'un seul homme meure pour le peuple, pour que la nation ne disparaisse pas tout entière?

  51 Or ce qu'il disait là ne venait pas de lui; mais il était grand-prêtre cette année-là, et c'est en cette qualité qu'il déclara, sous l'inspiration de Dieu, qu'il fallait que Jésus meure pour son peuple.

  52 Et ce n'était pas seulement pour son peuple qu'il devait mourir, c'était aussi pour rassembler tous les enfants de Dieu dispersés à travers le monde et les réunir en un seul peuple.

  53 C'est ce jour-là que les chefs des Juifs prirent la décision de faire mourir Jésus. » (Jean 11:47-53)151

Les Juifs étaient déterminés à tuer Jésus, mais ils avaient la ferme intention de le faire de leur propre façon et selon leur plan. Jésus n’était pas tenu par leur plan, mais par un plan divin, par un script divin, qui avait été déterminé bien longtemps avant qu’Il ne vienne sur cette terre. Permettez-mois de vous rappeler seulement quelques-unes des façons que Jésus utilisa pour forcer les chefs religieux à « changer leurs plans » pour réaliser la prophétie biblique.

(1) Les Écritures exigeaient que Jésus devait mourir en étant crucifié, mais la méthode juive d’exécution était la lapidation. Les Juifs accusèrent Jésus de blasphème plusieurs fois, y compris à Son procès devant le grand prêtre (voir Marc 14:64; Luc 5:21; 10:33). La pénalité pour le blasphème était la mort par lapidation (Lévitique 24:11-16). Les Juifs essayèrent de lapider Jésus en plusieurs occasions, mais ils ne réussirent jamais (Jean 8:59; 10:31). Cependant, le Messie devait être crucifié:

« 13 Le Christ nous a libérés de la malédiction que la Loi faisait peser sur nous en prenant la malédiction sur lui, à notre place. Il est, en effet, écrit: Maudit est quiconque est pendu au gibet.

  14 Jésus-Christ l'a fait pour que, grâce à lui, la bénédiction d'Abraham s'étende aux non-Juifs et que nous recevions, par la foi, l'Esprit que Dieu avait promis. » (Galates 3:13-14)152

(2) Pour réaliser la prophétie, le Messie devait mourir publiquement pendant la Pâque, comme l’agneau du Passover (voir, par exemple, Jean 1:29; 1 Corinthiens 5:7). Les chefs religieux Juifs avaient spécialement ordonné que Jésus ne soit pas tuer durant la fête, et qu’Il ne soit pas arrêté et mis à mort secrètement:

« 3 Alors, les chefs des prêtres et les responsables du peuple se rassemblèrent dans la cour du *grand-prêtre Caïphe;

  4 ils décidèrent d'un commun accord de s'emparer de Jésus par ruse pour le faire mourir.

  5 Cependant ils se disaient:
   ---Il ne faut pas agir pendant la fête, pour ne pas provoquer d'émeute parmi le peuple. » (Matthieu 26:3-5, mon accentuation en gras)

Jésus empêcha Ses ennemis de l’arrêter avant Pâque en gardant secret Ses déplacements des Juifs et même de Judas. Judas cherchait le meilleur moment pour livrer Jésus aux mains des chefs religieux en privé (Matthieu 26:14-16), mais Jésus ne laissa même pas Judas savoir où il allait observer la Pâque:

« 17 Le premier jour de la fête des pains sans levain, les disciples vinrent trouver Jésus pour lui demander:
   ---Où veux-tu que nous fassions les préparatifs pour le repas de la Pâque?

  18 Il leur répondit:
   ---Allez à la ville, chez un tel, et parlez-lui ainsi: «Le Maître te fait dire: Mon heure est arrivée. C'est chez toi que je prendrai le repas de la Pâque avec mes disciples.»

  19 Les disciples se conformèrent aux ordres de Jésus et préparèrent le repas de la Pâque. » (Matthieu 26:17-19)

Alors qu’ils étaient réunis dans la pièce à l’étage pour la Pâque, Jésus indiqua à Ses disciple qu’Il serait trahi par l’un d’eux. Quand Judas demanda s’il serait celui qui Le trahirait, Jésus annonça qu’il était le traitre:

« 21 pendant qu'ils mangeaient, il dit:
   ---Vraiment, je vous l'assure: l'un de vous me trahira.

   22 Les disciples en furent consternés. Ils se mirent, l'un après l'autre, à lui demander:
   ---Seigneur, ce n'est pas moi, n'est-ce pas?

   23 En réponse, il leur dit:
   ---Celui qui a trempé son pain dans le plat avec moi, c'est lui qui me trahira.

   24 Certes, le Fils de l'homme s'en va conformément à ce que les Ecritures annoncent à son sujet. Mais malheur à celui qui le trahit! Il aurait mieux valu, pour lui, n'être jamais né.

   25 A son tour, Judas, qui le trahissait, lui demanda:
   ---Maître, ce n'est pas moi, n'est-ce pas?
   ---Tu le dis toi-même, lui répondit Jésus. » (Matthieu 26:21-25)153

Cela força pratiquement Judas à s’enfuir de la pièce à l’étage et d’aller voir les chefs religieux Juifs. À partir de là, comment pouvait-il regarder Jésus dans les yeux ? Comment pouvait-il prendre le risque que les autres disciples comprennent ce que Jésus avait dit et sachent qu’il était le traitre ? Qu’est que Pierre et les autres lui auraient fait s’ils avaient su qu’il allait Le livrer à Ses ennemis ? (Dans pas longtemps Pierre utilisera son épée sur un de ceux qui viendrait arrêter Jésus.) S’il devait livrer Jésus aux chefs religieux Juifs, ça devrait être tout de suite et pas plus tard. Judas savait très bien que Jésus et Ses disciples passeraient la nuit dans le Jardin de Gethsémané, comme Il l’avait fait auparavant. Jésus avait planté le décor pour Son arrestation, à l’endroit et à l’heure qu’Il avait choisi, pour que les Écritures soient réalisées.

(3) Je ne crois pas que les Juifs voulaient impliquer les Romains dans leur complot pour tuer Jésus, mais notre Seigneur les força à changer leurs plans et à mettre de coté leurs préférences et leurs préjugés. Il y eut des alliances très bizarres faites avec les ennemis de notre Seigneur. Les scribes et les pharisiens n’aimaient pas les sadducéens, mais ils se trouvèrent dans l’obligation de coopérer avec eux. Les Juifs ne voulaient pas non plus coopérer avec les Romains pour mettre Jésus à mort. Ils espéraient qu’un Messie serait venu et aurait renversé Rome. Mais il fut nécessaire que toutes les fractions du Judaïsme prennent part dans le rejet du Messie, y compris les non Juifs. Parce que c’était Pâque, plus de soldats Romains étaient présent (avec Pilate et Hérode) pour empêcher une insurrection. Ainsi, les chefs religieux Juifs ne purent pas éviter d’impliquer les Romains. Dans leurs efforts préalables d’arrêter Jésus, les chefs religieux s’étaient ridiculisés (voir Jean 7:45-53). Cette fois, ils ne voulaient pas échouer. Ils utiliseraient les soldats Romains pour arrêter Jésus, et ils chercheraient à obtenir la permission de Rome pour Le mettre à mort.

(4) Même dans Sa mort, le Seigneur Jésus contrôlait tout. Nous regarderons à cela de plus près dans un moment, mais laissez-moi vous rappeler que les Romains brisaient normalement les jambes de ceux qu’ils crucifiaient. C’était pour accélérer la mort de la personne qui était crucifiée. Alors que les jambes des deux criminels qui étaient aux cotés de notre Seigneur furent brisées, celles de Jésus ne le furent pas, parce qu’Il était déjà mort:

« 32 Les soldats vinrent donc et brisèrent les jambes au premier des criminels crucifiés avec Jésus, puis à l'autre.

  33 Quand ils arrivèrent à Jésus, ils constatèrent qu'il était déjà mort et ils ne lui brisèrent pas les jambes.

  34 L'un des soldats lui enfonça sa lance dans le côté, et aussitôt il en sortit du sang et de l'eau.

  35 Celui qui rapporte ces faits, les a vus de ses propres yeux et son témoignage est vrai. Il sait parfaitement qu'il dit la vérité pour que, vous aussi, vous croyiez.

  36 En effet, tout cela est arrivé pour que se réalise cette parole de l'Ecriture: Aucun de ses os ne sera brisé.

  37 De plus, un autre texte déclare: Ils tourneront leurs regards vers celui qu'ils ont transpercé. » (Jean 19:32-37, mon accentuation en gras)

Je vous ai signalé ces choses pour souligner le fait que Jésus n’était pas simplement une victime, qui Se trouva accablé par Ses circonstances. Jésus contrôlait complètement tous les aspects de Sa vie est de Sa mort. Il était vraiment, « Le Seigneur de Sa mort ». Même le centurion dur, qui montait la garde à coté de la croix de notre Seigneur, dut avouer que la mort de Jésus était unique:

« 54 En voyant le tremblement de terre et tout ce qui se passait, l'officier romain et les soldats qui gardaient Jésus furent saisis d'épouvante et dirent:
   ---Cet homme était vraiment le Fils de Dieu. » (Matthieu 27:54)

Cette leçon est une partie d’une série qui retrace « le drame de la rédemption se déroulant » de la création de la consommation de toutes choses au retour de notre Seigneur Jésus Christ. Dans notre dernière leçon, nous avons fait un tour général du Livre des Psaumes. Par la volonté de Dieu, nous sommes le dimanche de la Résurrection. Donc, il semble approprié de dévouer notre seconde et dernière leçon dans le Livre des Psaumes aux Psaumes messianiques – ces Psaumes qui parlent de la venue du Messie d’Israël, le Seigneur Jésus Christ.

Dans cette leçon, je veux commencer en démontrant combien notre Seigneur était conscient de la prophétie et de Son devoir de la remplir. J’essaie de montrer que les prophéties messianiques de l’Ancien Testament (et, dans cette leçon, les Psaumes messianiques en particulier) sont vues comme le script de notre Seigneur dont Il était profondément conscient, et qu’Il réalisa en détails. Puis nous regarderons au récit de Matthieu de l’arrestation, du procès, et de la crucifixion de notre Seigneur pour montrer comment notre Seigneur réalisa méticuleusement les Psaumes messianiques concernant Sa mort. Nous regarderons aussi au sermon d’Actes 2 pour voir comment Pierre interpréta la mort et la résurrection de notre Seigneur comme la réalisation de deux Psaumes messianiques. Dans tout cela, c’est mon intention de souligner le fait que la mort de notre Seigneur ne fut pas un accident, mais plutôt le résultat de Son obéissance aux plans et aux dessins de Dieu, et aux prophéties de l’Ancien Testament concernant l’action de protection du Messie sur la croix du Calvaire et de Sa résurrection victorieuse de la mort.

L’Intention de Faire la Volonté de Son Père

À travers la vie terrestre et le ministère de notre Seigneur, il était clair qu’Il eut l’intention de faire la volonté du Père. Nous voyons cela depuis que notre Seigneur avait 12 ans, discutant les Écritures dans le temple:

« 46 Trois jours plus tard, ils le retrouvèrent dans le Temple, assis au milieu des maîtres; il les écoutait et leur posait des questions.

  47 Tous ceux qui l'entendaient s'émerveillaient de son intelligence et de ses réponses.

  48 Ses parents furent très étonnés de le voir là, et sa mère lui dit:
   ---Mon enfant, pourquoi nous as-tu fait cela? Tu sais, ton père et moi, nous étions très inquiets et nous t'avons cherché partout.

  49 ---Pourquoi m'avez-vous cherché? leur répondit Jésus. Ne saviez-vous pas que je dois m'occuper des affaires de mon Père?

  50 Mais ils ne comprirent pas ce qu'il leur disait.

  51 Il repartit donc avec eux et retourna à Nazareth. Et il leur était obéissant. Sa mère gardait précieusement dans son cœur le souvenir de tout ce qui s'était passé. » (Luc 2:46-51).)

Est-ce que personne ne doute que les choses que notre Seigneur ne discuta avec les maitres concernaient la venue du Messie ?

Dans Ses tentations (Matthew 4:1-11; Luke 4:1-12), Jésus refusa d’agir indépendamment du Père. Spécialement dans l’Évangile de Jean, nous voyons notre Seigneur exprimant son engagement à faire la volonté de Son Père. Il refusa de parler et d’agir indépendamment du Père ; il fit et ne dit que ce que le Père ne dit et ne fit:

«19 Jésus répondit à ces reproches en leur disant:
   ---Vraiment, je vous l'assure: le Fils ne peut rien faire de sa propre initiative; il agit seulement d'après ce qu'il voit faire au Père. Tout ce que fait le Père, le Fils le fait également, » (Jean 5:19)

« 28 ---Quand vous aurez élevé le Fils de l'homme, alors vous comprendrez que moi, je suis. Vous reconnaîtrez que je ne fais rien de ma propre initiative, mais que je transmets ce que le Père m'a enseigné. » (Jean 8:28)

« 49 Car je n'ai pas parlé de ma propre initiative: le Père, qui m'a envoyé, m'a ordonné lui-même ce que je dois dire et enseigner.

   50 Or je le sais bien: l'enseignement que m'a confié le Père c'est la vie éternelle. Et mon enseignement consiste à dire fidèlement ce que m'a dit le Père. » (John 12:49-50)

« 10 Ne crois-tu pas que je suis dans le Père et que le Père est en moi? Ce que je vous dis, je ne le dis pas de moi-même: le Père demeure en moi et c'est lui qui accomplit ainsi ses propres œuvres. » (Jean 14:10)

Je crois que les Écritures Saintes prouvent clairement le fait que Jésus était conscient des prédictions concernant Sa mort et qu'Il s’arrangea pour qu’elles soient réalisés:

« 3 Il prit donc la tête d'une troupe de soldats et de gardes fournis par les chefs des prêtres et les pharisiens, et il arriva dans ce jardin. Ces hommes étaient munis de lanternes, de torches et d'armes.

  4 Jésus, qui savait tout ce qui allait lui arriver, s'avança vers eux et leur demanda:
   ---Qui cherchez-vous?

  5 Ils lui répondirent:
   ---Jésus de Nazareth.
   ---C'est moi, leur dit-il.
   Au milieu d'eux se tenait Judas, celui qui le trahissait. » (Jean 18:3-5)

« 27 Puis il dit au disciple:
   ---Voici ta mère.
   A partir de ce moment-là, le disciple la prit chez lui.

   28 Après cela, Jésus, sachant que désormais tout était achevé, dit, pour que l'Ecriture soit accomplie:
   ---J'ai soif.

   29 Près de là se trouvait un vase rempli de vinaigre. On attacha donc une éponge imbibée de ce vinaigre au bout d'une branche d'hysope, et on l'approcha de la bouche de Jésus. » (Jean 19:27-29)

Je dois donc conclure que, alors que tout le monde échoua à comprendre le fait que la plupart des prophéties messianiques étaient, en fait, des prophéties, Jésus le savait et fit attention de les réaliser. Les prophéties messianiques de l’Ancien Testament servirent comme script, que Jésus performa en obéissance à la volonté de Son Père.

Dans cette leçon, nous nous concentrerons sur les Psaumes messianiques. Il y a beaucoup trop de prophéties messianiques dans les Psaumes pour nous à tous les considérer dans une seule leçon, alors je me limiterais seulement aux Psaumes messianiques auxquels le récit de Matthieu de la crucifixion fait référence (Matthieu 26:20—27:66) et ceux dans le sermon de la Pentecôte de Pierre (spécialement Actes 2:22-36). Mais en premier, regardons quelques-unes des caractéristiques des Psaumes messianiques.

Les Caractéristiques des Psaumes Messianiques

(1) La plupart des Psaumes messianiques sont écris par David.154 Les expériences de David comme roi d’Israël, et comme quelqu’un qui souffrit et fut souvent opposé comme roi, fit de lui un genre d’ « Esprit apparenté » avec le Messie à venir. Puisque le Messie serait la réalisation de l’alliance davidique, il était approprié que David serait celui qui prophétiserait Sa venue.

(2) Généralement parlant, les Psaumes messianiques ne furent pas reconnus comme des prophéties au moment qu’ils furent écris, ni avant la résurrection de notre Seigneur. Les Psaumes messianiques ne furent pas compris comme des prophéties par leurs auteurs, ni par les Israélites de l’Ancien Testament qui les lirent. En grande partie, ce fut parce que les Juifs n’étaient pas enclins à voir souffrir leur Sauveur:

« 10 Ce salut a fait l'objet des recherches et des investigations des prophètes qui ont annoncé d'avance la grâce qui vous était destinée.

  11 Ils cherchaient à découvrir à quelle époque et à quels événements se rapportaient les indications données par l'Esprit du Christ. Cet Esprit était en eux et annonçait à l'avance les souffrances du *Messie et la gloire dont elles seraient suivies. » (1 Pierre 1:10-11)

« 20 Puis Jésus interdit à ses disciples de dire à qui que ce soit qu'il était le Messie.

  21 A partir de ce jour, Jésus commença à exposer à ses disciples qu'il devait se rendre à *Jérusalem, y subir de cruelles souffrances de la part des responsables du peuple, des chefs des prêtres et des spécialistes de la Loi, être mis à mort et ressusciter le troisième jour.

  22 Alors Pierre le prit à part et se mit à lui faire des reproches:
   ---Que Dieu t'en préserve, Seigneur! Cela ne t'arrivera pas! » (Matthieu 16:20-22)

Les Psaumes messianiques, comme beaucoup de l’Ancien Testament prophétisait ce qui concernait le Messie, ne furent pas compris comme des prophéties avant la résurrection de notre Seigneur. En regardant le passé, nous savons qu’ils étaient des Psaumes messianiques parce que les auteurs du Nouveau Testament nous le disent.

« 44 Puis il leur dit:
   ---Voici ce que je vous ai dit quand j'étais encore avec vous: «Il faut que s'accomplisse tout ce qui est écrit de moi dans la Loi de Moïse, dans les prophètes, et dans les Psaumes.»

   45 Là-dessus, il leur ouvrit l'intelligence pour qu'ils comprennent les Ecritures.

   46 ---Vous voyez, leur dit-il, les Ecritures enseignent que le *Messie doit souffrir, qu'il ressuscitera le troisième jour,

   47 et qu'on annoncera de sa part aux hommes de toutes les nations, en commençant par Jérusalem, qu'ils doivent changer pour obtenir le pardon des péchés.

   48 Vous êtes les témoins de ces événements. » (Luc 24:44-48)

(3) la plupart des psaumes messianiques parlent en même temps des expériences de David et des expériences du Messie. Les Psaume 22 et 69 sont de bons exemples de cela. Aucun de ces Psaumes n’identifie vraiment l’expérience de David, qui incita le Psaume. Dans le Psaume 22, David est évidemment en grande détresse quand il implore Dieu. À ce moment, il souffre beaucoup, mais Dieu ne semble pas entendre ses prières. Il semblerait que Dieu l’a oublié (22:1). En dépit de cela, David sait que Dieu est toujours venu à l’aide de son peuple en réponse à leurs cris. Sa description de son état mental et physique, comme celui de ses ennemis, est exagérée par la description poétique qu’il emploie. Néanmoins, elle tombe bien dans le domaine de la langue poétique.

Ce que ni David ni ses anciens lecteurs ne semblèrent avoir compris était que ce Psaume allait bien plus loin, que l’auteur et son temps, pour parler du Messie qui viendrait sur la terre des siècles plus tard. Les descriptions, qui étaient des exagérations poétiques parlant de David, étaient des prophéties pures (et souvent littérales) quand elles étaient appliquées aux souffrances de notre Seigneur sur la croix du Calvaire.

Ce qui arriva dans ces Psaumes messianiques est quelque chose comme la description de Satan dans Esaïe 14 et Ezéchiel 28 .

« 3 Au jour où l'Eternel t'aura accordé du repos
      après ta peine et ton tourment,
      et après le dur esclavage auquel on t'aura asservi,

  4 tu chanteras ce chant pour te moquer du roi de Babylone.
      Oui, tu diras:
      Comment est-ce possible? L'oppresseur n'est plus là!
      Finie la tyrannie:

  5 l'Eternel a brisé le bâton des *méchants,
      le sceptre des despotes.

  6 Celui qui, dans sa rage, frappait les peuples
      par des coups sans relâche
      et qui, dans sa colère, opprimait les nations,
      maintenant, à son tour, est poursuivi sans trêve.

  7 Toute la terre est en repos, elle est tranquille,
      et des cris d'allégresse retentissent partout.

  8 Les cyprès même sont heureux de sa chute, et les cèdres du Liban disent:
      «Depuis que tu t'es effondré
      le bûcheron ne vient plus nous abattre!»

  9 Le monde du séjour des morts en bas est en émoi à ton sujet
      pour t'accueillir à ta venue.
      Pour toi, on réveille les ombres
      et tous les princes de la terre.
      On a fait lever de leurs trônes tous les rois des nations.

  10 Eux tous, ils s'adressent à toi en te disant:
      «Toi aussi, tu es maintenant sans forces comme nous,
      te voilà donc semblable à nous!»

  11 Ton orgueil est précipité dans le séjour des morts
      ainsi que le son de tes luths.
      Les vers sont maintenant ta couche,
      la vermine ta couverture.

  12 Comment es-tu tombé du ciel,
      astre brillant, fils de l'aurore?
      Toi qui terrassais les nations,
      comment est-il possible que tu aies été abattu à terre?

  13 Tu disais en ton cœur: «Je monterai au ciel,
      j'élèverai mon trône bien au-dessus des étoiles divines.
      Je siégerai en roi sur la montagne de l'assemblée des dieux,
      aux confins du septentrion.

  14 Je monterai au sommet des nuages,
      je serai semblable au Très-Haut.»

  15 Mais te voilà précipité dans le séjour des morts,
      dans les profondeurs de l'abîme!

  16 Ceux qui te voient arrêtent leurs regards sur toi,
      ils se demandent:
      «Est-ce bien là cet homme qui ébranlait la terre
      et qui terrifiait les royaumes,

  17 qui changeait le monde en désert,
      qui détruisait les villes
      et qui ne relâchait jamais ses prisonniers?»

  18 Tous les rois des nations, oui, tous, sans exception,
      ont cet honneur de reposer chacun dans son caveau.

  19 Mais toi, loin de ta tombe, tu as été jeté
      comme un avorton[c] qu'on méprise,
      au milieu des victimes égorgées par l'épée,
      qu'on a précipitées dans la fosse de pierres,
      dont on piétine le cadavre.

  20 Tu ne seras jamais réuni avec elles dans le tombeau,
      car tu as ruiné ton pays,
      et tu as fait périr ton peuple.
      La race criminelle sera oubliée à jamais.

  21 Préparez le massacre de ses fils
      pour tous les crimes de leurs pères,
      pour qu'ils ne puissent pas se relever un jour pour conquérir le monde
      et couvrir de leurs villes[d] la face de la terre. » (Ésaïe 14:3-21, mon accentuation en gras).

« 12 ---Fils d'homme, prononce une complainte contre le roi de Tyr. Dis-lui: «Ainsi te parle le Seigneur, l'Eternel: Par ta grande sagesse et ta beauté parfaite, tu étais un modèle de perfection.

  13 Tu étais en Eden, dans le jardin de Dieu. Tu étais recouvert de pierres très précieuses[c] de toutes les espèces: rubis, topaze et diamant, chrysolithe et onyx, jaspe, saphir, escarboucle, émeraude. Tes tambourins, tes fifres étaient d'or ouvragé, ils furent préparés le jour même où tu fus créé.

  14 Or, je t'avais placé avec un *chérubin[e] ayant rôle de protecteur; c'est pourquoi je t'ai oint sur ma montagne sainte. C'est là que tu étais. Tu allais et venais au milieu de ces pierres aux feux étincelants.

  15 Tu as été irréprochable dans toute ta conduite depuis le jour où tu as été créé, jusqu'à ce que le mal se soit trouvé chez toi.

  16 Ton commerce prospère t'a entraîné à la violence qui a rempli ton cœur. Alors tu as péché, je t'ai mis au rang des profanes en te chassant de ma montagne. Et le chérubin protecteur t'a expulsé du milieu de ces pierres aux feux étincelants.

  17 De ta grande beauté, tu t'es enorgueilli et tu as laissé ta splendeur pervertir ta sagesse. Je t'ai précipité à terre, et te donne en spectacle aux autres rois.

  18 Par tes nombreux péchés dans ton commerce malhonnête, tu as souillé tes sanctuaires et, du milieu de toi, j'ai fait surgir un feu afin qu'il te consume, je t'ai réduit en cendres sur la terre, à la vue de tous.

  19 Et tous ceux qui te connaissaient parmi les peuples sont frappés de stupeur, car tu es devenu un objet d'épouvante. C'en est fini de toi, oui, fini pour toujours.» » (Ezéchiel 28:12-19, mon accentuation en gras).

Dans ces deux textes, Dieu parle contre les rois terrestres humains, le « roi de Babylone » (Esaïe 14:4) et le « roi de Tyr » (Ezéchiel 28:12). Bientôt, la description de ces rois change en une description de Satan. Ces hommes ont pris des qualités de Satan. Derrière ces rois cruels et arrogants est Satan, dont la cruauté et l’arrogance ont corrompus la race humaine. La concentration change chaque texte pour qu’à un moment le roi humain est en vue, et le moment suivant Satan est décrit.

Je crois que c’est similaire à ce qui arrive dans les Psaumes messianiques. L’auteur décrit sa souffrance en langage dramatiquement osé et poétique, puis soudainement les mots semblent aller au-delà de tout ce dont un roi terrestre puisse faire l’expérience. Dans ces moments, le Psaume est messianique, pourtant d’une façon qui ne fut pas immédiatement apparente au lecteur. Ce fut spécialement vrai, puisque aucun lecteur de l’Ancien Testament ne fut enclin à penser à un Messie qui serait un Sauveur Qui Souffrirait.

(4) Les Psaumes messianiques furent compris à ce titre par Jésus, et ils devinrent Son script. Comme nous le verrons, Jésus comprit les Psaumes messianiques comme tels, et il répondit en conséquence. Il vit ce que les autres ne virent pas. Ces psaumes gouvernèrent et guidèrent les paroles et les actions de notre Seigneur. Étudions le récit de Matthieu de l’arrestation, du procès, de la crucifixion, de l’enterrement et de la résurrection de notre seigneur pour voir comment les psaumes messianiques jouèrent un rôle dans les heures finales de notre seigneur.

Les Psaumes Messianiques Dans le Récit de la Mort de Notre Seigneur Selon Matthieu

Quand nous arrivons au récit des dernières heures de notre Seigneur dans l’Évangile selon Matthieu, nous trouvons que notre Seigneur est très conscient du fait que les Écritures sont remplies par les évènements de Sa mort. Trois fois, l’attention est attirée à la réalisation des Écritures dans Matthew 26:

« 24 Certes, le Fils de l'homme s'en va conformément à ce que les Ecritures annoncent à son sujet. Mais malheur à celui qui le trahit! Il aurait mieux valu, pour lui, n'être jamais né. » (Matthieu 26:24, mon accentuation en gras)

« 54 Mais alors, comment les Ecritures, qui annoncent que tout doit se passer ainsi, s'accompliraient-elles?» (Matthieu 26:54)

« 56 Mais tout ceci est arrivé pour que les écrits des prophètes s'accomplissent.
   Alors tous les disciples l'abandonnèrent et prirent la fuite. » (Matthieu 26:56, mon accentuation en gras)

Notre Seigneur savait très bien que le temps de Sa mort approchait ; après tout, c’était ce qu’Il avait travaillé à amener pendant les trois années de Son ministère public. Quand Jésus était à la maison de Simon le lépreux à Béthanie, une femme oint Sa tête avec du parfum de myrrhe de grande valeur. Ce fut ce qui détermina Judas a agir, qui peu après fit son affaire avec les chefs religieux Juifs (Matthew 26:14-16). Mais ce qui m’intéresse ici est la réponse de notre Seigneur aux protestations des disciples à cause de la folie de cette action:

« 10 Mais, se rendant compte de cela, Jésus leur dit:
   ---Pourquoi faites-vous de la peine à cette femme? Ce qu'elle vient d'accomplir pour moi est vraiment une belle action.

   11 Des pauvres, vous en aurez toujours autour de vous; mais moi, vous ne m'aurez pas toujours avec vous.

   12 Si elle a répandu cette myrrhe sur moi, c'est pour préparer mon enterrement. » (Matthew 26:10-12, mon accentuation en gras)

Cela ne devrait pas être surprenant pour nous, mais permettez-moi de souligner quand même le fait. Jésus savait que l’heure de Sa mort était arrivée. Ce fait est encore plus accentué par les paroles de notre Seigneur à Ses disciples alors qu’ils prenaient le repas de la Pâque:

«27 Ensuite il prit une coupe et, après avoir remercié Dieu, il la leur donna en disant:
   ---Buvez-en tous;

    28 ceci est mon sang, par lequel est scellée l'alliance. Il va être versé pour beaucoup d'hommes, afin que leurs péchés soient pardonnés.

    29 Je vous le déclare: Désormais, je ne boirai plus du fruit de la vigne jusqu'au jour où je boirai le vin nouveau avec vous dans le royaume de mon Père. » (Matthieu 26:27-29, mon accentuation en gras).

Jésus venait de dire à Ses disciples que l’un d’entre eux allait Le trahir, et quand Judas pressa Jésus à être plus précis, Jésus le laissa savoir qu’il était le traitre (26:20-25). Il continua à les informer qu’ils allaient tous L’abandonner, réalisant la prophétie messianique de Zacharie 13:7. Il parla de plus de Sa résurrection (26:32) et du reniement de Pierre (26:34).

Après que Jésus fut arrêté, ils L’amenèrent devant le grand-prêtre, qui demanda à Jésus sous serment de déclarer si oui ou non Il était le Christ, le Fils de Dieu. Quand Jésus répondit, Il employa les mots du Psaume messianique:

« 63 Jésus garda le silence.
   Alors le grand-prêtre reprit en disant:
   ---Je t'adjure, par le Dieu vivant, de nous déclarer si tu es le Messie, le Fils de Dieu.

   64 Jésus lui répondit:
   ---Tu l'as dit toi-même. De plus, je vous le déclare: A partir de maintenant, vous verrez le Fils de l'homme siéger à la droite du Tout-Puissant et venir en gloire sur les nuées du ciel. » (Matthew 26:63-64, mon accentuation en gras)

La réponse de notre Seigneur, sous serment, unie les mots du Psaume 110:1 avec ceux de Daniel 7:13.

Considérez pour un moment les mots de ce Psaume messianique:

« 1 Psaume de David.
      Déclaration de l'Eternel. Il dit à mon Seigneur:
      «Viens siéger à ma droite
      jusqu'à ce que j'aie mis tes ennemis comme un escabeau sous tes pieds.»

  2 L'Eternel étendra de Sion ton pouvoir royal,
      et tu domineras parmi tes ennemis.

  3 Au jour où tu combats,
      ton peuple est plein d'ardeur
      pour accourir vers toi dans sa parure sainte, et, du sein de l'aurore,
      tous tes jeunes guerriers se presseront vers toi comme naît la rosée.

  4 L'Eternel l'a juré, il ne reviendra pas sur son engagement:
      «Tu seras prêtre pour toujours
      selon la ligne de Melchisédek.»

  5 Le Seigneur, à ta droite,
      va écraser des rois au jour de sa colère.

  6 Il juge les nations; les cadavres s'entassent,
      il écrase des chefs de par la terre entière.

  7 En chemin, il s'abreuve, il boit l'eau d'un torrent,
      puis relève la tête. » (Psaume 110:1-7)

Jésus ne dit pas seulement au grand prêtre qu’Il était le Messie, mais qu’Il jugera aussi Ses ennemis quand Il reviendra sur la terre pour s’asseoir sur Son trône. Voilà un Psaume que les Juifs ont très bien pu croire était messianique, mais ils ne se seraient jamais attendus à ce qu’il soit utilisé comme Jésus l’avait fait.

Le récit de la mort de notre Seigneur par Matthieu est rempli de références aux prophéties. Le remords de Judas et son suicide est montré être une réalisation de la prophétie de Zacharie (Matthieu 27:3-5; Zacharie 11:12-13). Bien que non indiqué comme la réalisation de la prophétie, le silence de notre Seigneur devant Pilate réalise certainement la prophétie d’Esaïe 53:7.

Quand ils crucifièrent Jésus, ils réalisèrent involontairement un autre Psaume messianique:

« 33 Ils arrivèrent à un endroit nommé Golgotha (c'est-à-dire: «le lieu du Crâne»).

   34 Là, ils donnèrent à boire à Jésus du vin mélangé avec du fiel; mais quand il l'eut goûté, il refusa de le boire.

   35 Après l'avoir cloué sur la croix, les soldats se partagèrent ses vêtements en les tirant au sort.

   36 Puis ils s'assirent pour monter la garde. » (Matthieu 27:33-36, mon accentuation en gras)

Comparez le récit de Matthieu avec ces Psaumes messianiques:

« 22 Ils ont mis du poison[e] dans le pain que je mange.
      Pour étancher ma soif, ils m'offrent du vinaigre» (Psaume 69:21)

« 19 ils se partagent mes habits
      et tirent au sort ma tunique. » (Psaume 22:19)

Alors que les foules se moquèrent de notre Seigneur sur la croix, elles réalisèrent une autre prophétie:

« 39 Ceux qui passaient par là lui lançaient des insultes en secouant la tête,

   40 et criaient:
   ---Hé, toi qui démolis le Temple et qui le reconstruis en trois jours, sauve-toi toi-même. Si tu es le Fils de Dieu, descends de la croix!

   41 De même, les chefs des prêtres se moquaient de lui, avec les spécialistes de la Loi et les responsables du peuple, en disant:

   42 ---Dire qu'il a sauvé les autres, et qu'il est incapable de se sauver lui-même! C'est ça le roi d'*Israël? Qu'il descende donc de la croix, alors nous croirons en lui!

   43 Il a mis sa confiance en Dieu. Eh bien, si Dieu trouve son plaisir en lui, qu'il le délivre! N'a-t-il pas dit: «Je suis le Fils de Dieu»? » (Matthieu 27:39-43, mon accentuation en gras)

« 7 Mais moi je suis un ver, je ne suis plus un homme,
      tout le monde m'insulte, le peuple me méprise,

   8 ceux qui me voient se rient de moi.
      Tous, ils ricanent. On fait la moue en secouant la tête: » (Psaume 22:7-8)

Peut-être la réalisation la plus choquante des Psaumes messianiques est trouvée dans le cri que notre Seigneur poussa de la croix:

« 34 Vers trois heures, Jésus cria d'une voix forte:
   ---Eli, Eli, lama sabachthani? Ce qui signifie: Mon Dieu, mon Dieu, pourquoi m'as-tu abandonné? » (Marc 15:34, mon accentuation en gras)

C’est étrange de réaliser que personne ne reconnu ce que Jésus disait. Ils ne comprirent pas le fait que Jésus citait simplement le texte Hébreux de la première ligne du Psaume 22:1. En le faisant, Jésus s’identifia Lui-même avec l’auteur du Psaume et, plus important encore, avec le Messie de qui ce Psaume parlait. Il indiquait ainsi qu’Il était la réalisation de ce Psaume, qu’Il était le Messie promis.

Les Psaumes messianiques, concernant les souffrances de notre Seigneur, ont beaucoup à nous enseigner. Si les souffrances de l’auteur du Psaume étaient un exemple des souffrances du Messie, elles donnent du sens et un but aux souffrances de l’auteur du Psaume. Pour les saints d’aujourd’hui, tout le contraire est vrai. Ce sont les souffrances et l’agonie de notre Seigneur qui sont les exemples de la souffrance auxquelles nous sommes appelés et avons le privilège d’endurer pour Christ:

« 18 Serviteurs, soumettez-vous à votre maître avec tout le respect qui lui est dû, non seulement s'il est bon et bienveillant, mais aussi s'il est dur.

  19 En effet, c'est un privilège que de supporter des souffrances imméritées, par motif de conscience envers Dieu.

  20 Quelle gloire y a-t-il, en effet, à endurer un châtiment pour avoir commis une faute? Mais si vous endurez la souffrance tout en ayant fait le bien, c'est là un privilège devant Dieu.

  21 C'est à cela que Dieu vous a appelés, car le Christ aussi a souffert pour vous, vous laissant un exemple, pour que vous suiviez ses traces.

  22 Il n'a commis aucun péché, ses lèvres n'ont jamais prononcé de mensonge.

  23 Injurié, il ne ripostait pas par l'injure. Quand on le faisait souffrir, il ne formulait aucune menace, mais remettait sa cause entre les mains du juste Juge.

  24 Il a pris nos péchés sur lui et les a portés dans son corps, sur la croix, afin qu'étant morts pour le péché, nous menions une vie juste. Oui, c'est par ses blessures que vous avez été guéris.

  25 Car vous étiez comme des brebis errantes mais, à présent, vous êtes retournés vers le berger qui veille sur vous. » (1 Pierre 2:18-25, mon accentuation en gras)

Les apôtres remarquèrent cela, comme cela est révélé par leurs attitudes envers les souffrances des saints, et par leur enseignement sur ce sujet:

« 8 Je vais même plus loin: tout ce en quoi je pourrais me confier, je le considère comme une perte à cause de ce bien suprême: la connaissance de Jésus-Christ mon Seigneur. A cause de lui, j'ai accepté de perdre tout cela, oui, je le considère comme bon à être mis au rebut, afin de gagner le Christ.

   9 Mon désir est d'être trouvé en lui, non pas avec une justice que j'aurais moi-même acquise en obéissant à la Loi mais avec la justice qui vient de la foi en Christ et que Dieu accorde à ceux qui croient.

   10 C'est ainsi que je pourrai connaître le Christ, c'est-à-dire expérimenter la puissance de sa résurrection et avoir part à ses souffrances, en devenant semblable à lui jusque dans sa mort, » (Philippiens 3:8-10)

« 24 Maintenant, je me réjouis des souffrances que j'endure pour vous. Car, en ma personne, je complète, pour le bien de son corps --- qui est l'Eglise --- ce qui manque aux détresses que connaît le Christ. » (Colossiens 1:24)

« 12 Mes chers amis, vous avez été plongés dans la fournaise de l'épreuve. N'en soyez pas surpris, comme s'il vous arrivait quelque chose d'anormal.

  13 Au contraire, réjouissez-vous, car vous participez aux souffrances du Christ, afin d'être remplis de joie quand il paraîtra dans toute sa gloire.

  14 Si l'on vous insulte parce que vous appartenez au Christ, heureux êtes-vous, car l'Esprit glorieux, l'Esprit de Dieu, repose sur vous. » (1 Pierre 4:12-14)

Les Psaumes Messianiques Dans la Prédication de l’Évangile de Pierre à la Pentecôte

La bonne nouvelle est que les Psaumes messianiques ne nous laissent pas avec un Messie mort, mais avec un Messie qui triomphe de la mort et de la tombe. Ce ne fut qu’après la résurrection de notre Seigneur que les disciples comprirent la signification des Psaumes messianiques:

« 44 Puis il leur dit:
   ---Voici ce que je vous ai dit quand j'étais encore avec vous: «Il faut que s'accomplisse tout ce qui est écrit de moi dans la *Loi de *Moïse, dans les prophètes, et dans les Psaumes.»

   45 Là-dessus, il leur ouvrit l'intelligence pour qu'ils comprennent les Ecritures.

   46 ---Vous voyez, leur dit-il, les Ecritures enseignent que le *Messie doit souffrir, qu'il ressuscitera le troisième jour,

   47 et qu'on annoncera de sa part aux hommes de toutes les nations, en commençant par Jérusalem, qu'ils doivent changer pour obtenir le pardon des péchés.

   48 Vous êtes les témoins de ces événements. » (Luc 24:44-48, mon accentuation en gras)

Mais une fois que cette vérité fut comprise, les Psaumes messianiques furent utilisés comme une partie vitale de la prédiction de l’Évangile de Jésus Christ. Nous voyons cela dans le premier sermon de Pierre après la résurrection et l’ascension de Christ, enregistré dans Actes 2:22-36:

« 22 Ecoutez bien, Israélites, ce que j'ai à vous dire. Vous le savez tous: Jésus de *Nazareth --- cet homme dont Dieu vous a montré qu'il l'approuvait en accomplissant, par son moyen, au milieu de vous des miracles, des signes et des actes extraordinaires ---

   23 a été livré entre vos mains conformément à la décision que Dieu avait prise et au projet qu'il avait établi d'avance. Et vous, vous l'avez tué en le faisant crucifier par des hommes qui ne connaissent pas Dieu.

   24 Mais Dieu a brisé les liens de la mort: il l'a ressuscité, car il était impossible que la mort le retienne captif.

   25 En effet, David dit de lui:
      Je voyais le Seigneur constamment devant moi,
      car il est à ma droite pour que je ne vacille pas.

   26 Voilà pourquoi mon cœur est plein de joie et pourquoi mes paroles débordent d'allégresse.
      Même mon corps reposera dans l'espérance;

   27 tu ne m'abandonneras pas dans le séjour des morts:
      tu ne laisseras pas ton serviteur fidèle se décomposer dans la tombe.

   28 Car tu m'as fait connaître le chemin de la vie,
      et tu me combleras de joie en ta présence.

   29 Mes frères, permettez-moi de vous parler franchement: le patriarche[f] David est bel et bien mort et enterré. Son tombeau[g]existe encore près d'ici aujourd'hui.

   30 Mais il était prophète et il savait que Dieu lui avait promis, sous la foi du serment, de faire asseoir sur son trône un de ses descendants.

   31 Ainsi il a entrevu par avance la résurrection du Christ, et c'est d'elle qu'il parle en disant que Dieu ne l'abandonnera pas dans le séjour des morts et qu'il ne laissera pas son corps se décomposer.

   32 Dieu a ressuscité des morts ce Jésus dont je parle: nous en sommes tous témoins.

   33 Ensuite, il a été élevé pour siéger à la droite de Dieu. Et maintenant, comme Dieu l'a promis, il a reçu du Père l'Esprit Saint et il l'a répandu sur nous. C'est là ce que vous voyez et entendez.

   34 En effet, David, lui, n'est pas monté au ciel, mais il a dit:
      Le Seigneur a dit à mon Seigneur:
      Viens siéger à ma droite

   35 jusqu'à ce que j'aie mis tes ennemis
      comme un escabeau sous tes pieds.

   36 Voici donc ce que tout le peuple d'Israël doit savoir avec une entière certitude: Dieu a fait Seigneur et Messie ce Jésus que vous avez crucifié. » (Actes 2:22-36, mon accentuation en gras)

Maintenant Pierre comprend et proclame que les Psaumes messianiques non seulement prédirent les souffrances et la mort de notre Seigneur, mais aussi qu’ils exigeaient Sa résurrection des morts. Dieu avait promis à David un « royaume éternel » (2 Samuel 7:13). Cela ne peut arriver que si le roi d’Israël est libre de la soumission de la mort. Aucun roi simplement humain ne pourrait avoir un royaume éternel. Ainsi Pierre proclama à son audience qu’il était nécessaire pour le Messie d’être ressuscité d’entre les morts, pour ne jamais plus mourir. Puisque la tombe de David était à proximité, ainsi que les tombes d’autres Rois d’Israël, cela devait être réalisé par quelqu’un autre que David. Cela dut être réalise par le Messie d’Israël, le Seigneur Jésus Christ.

Non seulement les hommes rejetèrent Jésus, comme les Écritures prophétisèrent, mais Dieu Le ressuscita des morts, comme les Psaumes messianiques prédirent. Le sermon de Pierre à la Pentecôte commença avec une référence à la prophétie de Joël, qui expliquait l’importance des langues inconnues que la foule entendit. Mais à partir de là, les textes de preuve de Pierre sont trouvés dans les Psaumes. Il tourna en premier vers le Psaume 16:8-11 pour montrer que la résurrection du Messie d'Israël fut prophétisée par David. Il n’était pas impossible pour un homme de revenir de la mort à la vie – Jésus avait démontré ceci avec la résurrection de Lazare. Il fut impossible pour Jésus de ne pas revenir à la vie. Il était le Fils de Dieu, et Dieu n’aurait pas abandonné Son Fils ; Il n’aurait pas permis Sa chair de se décomposer dans une tombe. Il Lui fit connaître le sens de la vie.

Le point du sermon de Pierre n’avait pas encore été révélé ; le résultat devait encore arriver. Et il arrivera, utilisant les mots d’un autre Psaume messianique, Psaume 110, verset 1, le même psaume auquel notre Seigneur fit allusion auparavant quand Il se tenait devant le grand prêtre:

« 32 Dieu a ressuscité des morts ce Jésus dont je parle: nous en sommes tous témoins.

   33 Ensuite, il a été élevé pour siéger à la droite de Dieu. Et maintenant, comme Dieu l'a promis, il a reçu du Père l'Esprit Saint et il l'a répandu sur nous. C'est là ce que vous voyez et entendez.

   34 En effet, David, lui, n'est pas monté au ciel, mais il a dit:
      Le Seigneur a dit à mon Seigneur:
      Viens siéger à ma droite

   35 jusqu'à ce que j'aie mis tes ennemis
      comme un escabeau sous tes pieds.

   36 Voici donc ce que tout le peuple d'Israël doit savoir avec une entière certitude: Dieu a fait Seigneur et Messie ce Jésus que vous avez crucifié. » (Actes 2:32-36, mon accentuation en gras)

Permettez-moi de paraphraser le message de Pierre pour vous:

« J’ai une bonne nouvelle pour vous, et une mauvaise. La bonne nouvelle est que Jésus a été ressuscité des morts. La mauvaise est qu’Il a été élevé pour qu’Il puisse retourner sur la terre et S’occuper de Ses ennemis. Bon, maintenant qui sont ces ennemis ? Ils étaient ceux qui demandaient Sa mort. Vous étiez ceux qui disiez,

« ---Que la responsabilité de sa mort retombe sur nous et sur nos enfants! » (Matthieu 27:25)

C’est vous dont Il viendra bientôt s’occuper comme Ses ennemis. La solution pour vous est de vous repentir de vos péchés, et de reconnaître que Jésus Christ est le Messie de Dieu, et votre Sauveur. Admettez qu’Il ne méritait pas de mourir, mais que vous le méritiez. Croyez en Sa mort, à votre place, pour le pardon de vos péchés. De cette façon, vous recevrez les bénédictions promises de Dieu à travers Son Messie. »

Il y aura beaucoup de sermons prêchés aujourd’hui sur la résurrection. Certains seront si osés, proclamant que Jésus était littéralement et physiquement revenu à la vie. Beaucoup promettront qu’à cause de la résurrection de Jésus, nous pouvons avoir l’assurance de la vie éternelle. Pour certains, bien sur, c’est vrai, mais le sermon de Pierre à la Pentecôte devrait souligner le fait que, pour les autres, il ne réserve que l’assurance d’un jugement proche. Je reviendrais sur cela momentanément.

Conclusion

Les implications de la résurrection du Christ sont stupéfiantes ; leurs importances pour le Chrétien ne peuvent être que difficilement surestimées. Résumons quelques-unes des conséquences de la résurrection de notre Seigneur.

Tout d’abord, nous devrions comprendre que Jésus misa tout ce qu’Il dit sur Sa capacité d’être ressuscité des morts:

« 38 Quelques spécialistes de la Loi et des pharisiens intervinrent en disant:
   ---Maître, nous voudrions te voir faire un signe miraculeux.

   39 Il leur répondit:
   ---Ces gens de notre temps qui sont mauvais et infidèles à Dieu réclament un signe miraculeux! Un signe... il ne leur en sera pas accordé d'autre que celui du prophète Jonas.

   40 En effet, comme Jonas resta trois jours et trois nuits dans le ventre du poisson, ainsi le Fils de l'homme passera trois jours et trois nuits dans le sein de la terre. » (Matthew 12:38-40).

Même si Ses disciples l’avaient oublié, ce n’était pas le cas des ennemis de notre Seigneur. Ils savaient que l’absence de Son corps dans la tombe créditerait Ses revendications d’être le Messie:

« 62 Le lendemain, le jour qui suivait la préparation du sabbat, les chefs des prêtres et des pharisiens se rendirent ensemble chez Pilate

   63 pour lui dire:
   ---Excellence, nous nous souvenons que cet imposteur a dit, pendant qu'il était encore en vie: «Après trois jours, je ressusciterai.»

   64 Fais donc surveiller étroitement la tombe jusqu'à ce troisième jour: il faut à tout prix éviter que ses disciples ne viennent dérober le corps pour dire ensuite au peuple qu'il est ressuscité d'entre les morts. Cette dernière supercherie serait encore pire que la première.

   65 Pilate leur déclara:
   ---D'accord! Prenez un corps de garde et assurez la protection de ce tombeau à votre guise.

   66 Ils se rendirent donc au tombeau et le firent surveiller après avoir apposé les scellés sur la pierre en présence de la garde. » (Matthew 27:62-66).

Deuxièmement, la résurrection est la permission de Dieu du ministère de notre Seigneur, incluant Sa mort expiatoire au Calvaire.

« 3-4 … (Jésus-Christ) qui a été déclaré Fils de Dieu avec puissance lorsque le Saint-Esprit l'a ressuscité des morts. » (Romans 1:4).

Troisièmement, la résurrection de Jésus Christ est l’accomplissement de Son travail de secours (Romans 6). Par la fois en Christ, nous mourons à cause de la punition pour nos péchés. En Christ, nous sommes ressuscités à la fraicheur d’une nouvelle vie.

Quatrièmement, la résurrection de Jésus Christ est le moyen et l’assurance de vivre une vie qui est satisfaisante pour Dieu. Quand Paul agonisa sur le fait que le péché était plus puissant que sa chair, il implora,

« 24 Malheureux que je suis! Qui me délivrera de ce corps voué à la mort? » (Romans 7:24)

La solution de sa lutte avec le péché (et le nôtre) est trouvé dans Romans 8:

« 11 Et si l'Esprit de celui qui a ressuscité Jésus d'entre les morts habite en vous, celui qui a ressuscité le Christ d'entre les morts rendra aussi la vie à vos corps mortels par son Esprit qui habite en vous. » (Romans 8:11)

Sixièmement, la résurrection de Jésus Christ des morts veut dire que nos amis croyants et ceux qu’on aime qui sont déjà morts nous attendent, de l’autre coté. Durant les plusieurs années passées, la mort a emmenée plusieurs personnes de notre congrégation. La vérité de la résurrection de notre Seigneur est aussi notre assurance que nous serons réunis à nouveau avec ceux que nous aimons:

« 13 Nous ne voulons pas, frères, vous laisser dans l'ignorance au sujet de ceux qui sont décédés, afin que vous ne soyez pas tristes de la même manière que le reste des hommes, qui n'ont pas d'espérance.

  14 En effet, puisque nous croyons que Jésus est mort et ressuscité, nous croyons aussi que Dieu ramènera par Jésus et avec lui ceux qui sont morts.

  15 Car voici ce que nous vous déclarons d'après une parole du Seigneur: nous qui serons restés en vie au moment où le Seigneur viendra, nous ne précéderons pas ceux qui sont morts.

  16 En effet, au signal donné, sitôt que la voix de l'archange et le son de la trompette divine retentiront, le Seigneur lui-même descendra du ciel, et ceux qui sont morts unis au Christ ressusciteront les premiers.

  17 Ensuite, nous qui serons restés en vie à ce moment-là, nous serons enlevés ensemble avec eux, dans les nuées, pour rencontrer le Seigneur dans les airs. Ainsi nous serons pour toujours avec le Seigneur.

  18 Encouragez-vous donc mutuellement par ces paroles. » (1 Thessaloniciens 4:13-18)

Permettez-moi d’ajouter quelques pensées pour vous à considérer:

L’importance des souffrances du Messie est la mesure de l’importance de nos péchés.

L’importance des souffrances du Messie est la mesure de l’obéissance du Christ à la volonté du Père.

L’importance des souffrances du Messie est la mesure de la grâce de Dieu et de l’amour pour nous dans la croix du Christ.

Ces vérités sont une partie de l’espoir béni du Chrétien, mais je n’ose pas vous permettre de quitter cette leçon sans avertissements que l’« espoir béni» de la vie éternelle en la présence de Dieu n’est pas le destin de tous. Le sermon de Pierre rend cette question aussi simple et ferme que possible. Le travail de Jésus Christ sur la croix du Calvaire ne sauve pas automatiquement tous les êtres humains.

Je dois être fidèle à la Parole de Dieu et vous dire que la résurrection de Jésus christ est la vérité la plus effrayante de toutes pour la personne qui n’a jamais connu une foi personnelle qui sauve en Jésus Christ. Le message de la résurrection que Pierre prêcha à la Pentecôte fut les mots les plus terrifiants que son audience avait jamais entendus. Jésus fut revenu des morts, quelque chose que les Écritures exigèrent. Jésus, maintenant vivant, attend les instructions de son Père pour revenir sur terre pour punir Ses ennemis. Qui d’autres seraient Ses ennemis exceptés ceux qui demandèrent Sa mort sur la croix du Calvaire ?

Ne vous sentez pas trop à l'aise parce que vous ne viviez pas pendant les jours de Jésus et parce que vous n’étiez pas là criant « Crucifiez-Le ! » « Crucifiez-Le ! ». C’était comme si vous et moi avions été là, et nous sommes aussi coupable pour Sa mort qu’ils l’étaient. Sa mort, Son enterrement, et Sa résurrection peuvent vouloir dire le pardon de vos péchés, et l’assurance de la vie éternelle. Ils peuvent aussi vouloir dire que Jésus Christ est devenu le vainqueur du péché et de la mort, et qu’Il viendra bientôt pour battre et détruire Ses ennemis. Maintenant est la fenêtre d’opportunité gracieusement fournie par Dieu pour vous pour reconnaître vos péchés (particulièrement votre péché de rejeter Jésus comme le Fils de Dieu) et de croire en le travail de Jésus Christ sur la croix du Calvaire.

Que vous le croyez ou non, la résurrection de Jésus Christ était une nécessité biblique – les Psaumes messianiques l’exigeaient. Que vous le croyez ou non, Jésus fut ressuscité des morts, et il y eut pratiquement des centaines de gens qui en furent témoins (voir 1 Corinthiens 15:1-11).

« 3 Je vous ai transmis, comme un enseignement de première importance, ce que j'avais moi-même reçu: le Christ est mort pour nos péchés, conformément aux Ecritures;

   4 il a été mis au tombeau, il est ressuscité le troisième jour, comme l'avaient annoncé les Ecritures.

   5 Il est apparu à Pierre, puis aux Douze.

   6 Après cela, il a été vu par plus de cinq cents frères à la fois, dont la plupart vivent encore aujourd'hui --- quelques-uns d'entre eux seulement sont morts. » (1 Corinthiens 15:3-6)

Que vous le croyez ou non, Jésus va bientôt revenir, soit comme votre Sauveur et Seigneur béni, ou comme votre Juge. La vérité de la résurrection de Jésus Christ des morts n’est pas d’importance secondaire à l’Évangile ; elle est au cœur de l’Évangile. Pour être sauver, vous devez croire que Jésus Christ était le pure Fils de Dieu, qui mourut à la place du pécheur au Calvaire, et qui fut ressuscité des morts, triomphant du péché et de la mort. Est-ce que la résurrection de Jésus Christ est votre espoir béni, ou est-ce votre plus grande peur ? Vous pouvez régler la question une fois pour toute, en avouant vos péchés et en croyant en Jésus christ pour le don de la vie éternelle.

« 8 Que dit-elle donc?
      La Parole de Dieu est tout près de toi, elle est dans ta bouche et dans ton cœur. Cette Parole est celle de la foi, et c'est celle que nous annonçons.

   9 En effet, si de ta bouche, tu déclares que Jésus est Seigneur et si dans ton cœur, tu crois que Dieu l'a ressuscité des morts, tu seras sauvé,

   10 car celui qui croit dans son cœur, Dieu le déclare juste; celui qui affirme de sa bouche, Dieu le sauve.

   11 En effet, l'Ecriture dit:
      Celui qui met en lui sa confiance ne connaîtra jamais le déshonneur.

   12 Ainsi, il n'y a pas de différence entre Juifs et non-Juifs. Car tous ont le même Seigneur qui donne généreusement à tous ceux qui font appel à lui. En effet, il est écrit:

   13 Tous ceux qui feront appel au Seigneur seront sauvés. » (Romains 10:8-13)


148 This is the edited manuscript of a message delivered by Robert L. Deffinbaugh, teacher and elder at Community Bible Chapel, on April 15, 2001.

149 http://bible.org/series/you-might-believe-study-gospel-john

150 The disciples feared that they would die when they returned to Jerusalem – see John 11:16.

151 Unless otherwise indicated, all Scripture quotations are from the NET Bible. The NEW ENGLISH TRANSLATION, also known as THE NET BIBLE, is a completely new translation of the Bible, not a revision or an update of a previous English version. It was completed by more than twenty biblical scholars who worked directly from the best currently available Hebrew, Aramaic, and Greek texts. The translation project originally started as an attempt to provide an electronic version of a modern translation for electronic distribution over the Internet and on CD (compact disk). Anyone anywhere in the world with an Internet connection will be able to use and print out the NET Bible without cost for personal study. In addition, anyone who wants to share the Bible with others can print unlimited copies and give them away free to others. It is available on the Internet at: www.netbible.org.

152 It should be noted that the events described in Psalms 22 and 69 would not have been fulfilled by a stoning, but only by crucifixion.

153 The parallel account in Luke 22:7-13 makes it clear that Jesus sent Peter and John to make these preparations for their Passover celebration.

154 I am looking at Psalms 2, 16, 22, 40, 41, 68, 69, 109, 110, and 118 as messianic psalms. Psalms 2 and 118 are not designated as Davidic psalms in the superscription or introduction. In Acts 4:25, Peter indicates that Psalm 2 is written by David. This leaves only Psalm 118 as a messianic psalm not designated as having been penned by David.

Related Topics: Wisdom

Pages