MENU

Where the world comes to study the Bible

2. Gereja Perjanjian Baru-Pelayanannya

Ephesians 4:11-12 Dan Ialah yang memberikan baik rasul-rasul maupun nabi-nabi, baik pemberita-pemberita Injil maupun gembala-gembala dan pengajar-pengajar, 12 untuk memperlengkapi orang-orang kudus bagi pekerjaan pelayanan, bagi pembangunan tubuh Kristus

1 Corinthians 12:4-7 Ada rupa-rupa karunia, tetapi satu Roh. 5 Dan ada rupa-rupa pelayanan, tetapi satu Tuhan. 6 Dan ada berbagai-bagai perbuatan ajaib, tetapi Allah adalah satu yang mengerjakan semuanya dalam semua orang. 7 Tetapi kepada tiap-tiap orang dikaruniakan penyataan Roh untuk kepentingan bersama.

1 Peter 2:4-9 Dan datanglah kepada-Nya, batu yang hidup itu, yang memang dibuang oleh manusia, tetapi yang dipilih dan dihormat di hadirat Allah. 5 Dan biarlah kamu juga dipergunakan sebagai batu hidup untuk pembangunan suatu rumah rohani, bagi suatu imamat kudus, untuk mempersembahkan persembahan rohani yang karena Yesus Kristus berkenan kepada Allah. 6 Sebab ada tertulis dalam Kitab Suci: Sesungguhnya, Aku meletakkan di Sion sebuah batu yang terpilih, sebuah batu penjuru yang mahal, dan siapa yang percaya kepada-Nya, tidak akan dipermalukan. 7 Karena itu bagi kamu, yang percaya, ia mahal, tetapi bagi mereka yang tidak percaya: Batu yang telah dibuang oleh tukang-tukang bangunan, telah menjadi batu penjuru, juga telah menjadi batu sentuhan dan suatu batu sandungan. 8 Mereka tersandung padanya, karena mereka tidak taat kepada Firman Allah; dan untuk itu mereka juga telah disediakan. 9 Tetapi kamulah bangsa yang terpilih, imamat yang rajani, bangsa yang kudus, umat kepunyaan Allah sendiri, supaya kamu memberitakan perbuatan-perbuatan yang besar dari Dia, yang telah memanggil kamu keluar dari kegelapan kepada terang-Nya yang ajaib:

Pendahuluan

Terkadang salah pengertian bisa menghibur. Wanita yang dihentikan seorang polisi karena mengemudi dijalur yang salah memprotes, “tapi petugas, saya hanya pergi satu arah.” Atau satu hari saya melihat Alan Fundt dalam Candid Camera menginterview seorang pria muda mengenai sepak bola. Sangat sulit dipercaya bahwa pengertiannya akan sepak bola bisa jauh dari kenyataan. Diantara beberapa hal yang dikatakan anak itu adalah alasan kenapa para pemain mengenakan alas bahu agar kelihatan lebih kuat dari yang sebenarnya sehingga pemain lain takut menghadapi mereka dilapangan.

Satu kali seseorang mengatakan pada saya tentang seorang pemimpin Kristen yang menonjol dikelas minggunya. Seorang muda bertanya apa artinya menjadi seorang Kristen, dan dijawab dengan memiliki Kristus dalam hatinya. Saat anak itu meyakinkan gurunya bahwa Yesus sudah ada didalam hatinya, sang guru bertanya bagaimana Yesus bisa ada disana. Saat itu anak muda itu terdiam sebentar dan berpikir keras, setelah itu menjawab dengan tergesa-gesa, “Saya kira Dia disana melalui lobang dikaus kaki saya.”

Walau beberapa kesalah pengertian bisa menjadi hal yang lucu, beberapa lainnya bisa menjadi tragedy mendalam. Seperti kasus pengertian akan pelayanan dalam gereja. Ini telah menyebabkan banyak pastor frustrasi dan meninggalkan pelayanan. Ini mengecewakan banyak orang dalam gereja yang tidak memiliki pelatihan atau status professional dalam pelayanan, karena mereak berasumsi kalau kontribusi pelayanan terutama dalam hal fisik atau keuangan.

Dalam terang kebingungan orang Kristen dan hubungannya dengan pelayanan, Saya ingin menfokuskan perhatian anda pada PB. Subjek pelajaran ini merupakan “Gereja Perjanjian Baru—Pelayanannya.” Kita akan mulai dengan menentukan siapa yang ada dalam pelayanan, dan kemudian melanjutkannya dengan mendefinisikan kata ‘pelayanan’ dari Alkitab. Ini akan membawa kita kepada pembahasan prinsip Firman Tuhan mengenai kenapa ‘pelayanan’ merupakan pekerjaan semua orang Kristen. Akhirnya kita akan membuat beberapa usulan praktis sebagai aplikasi pengajaran ini.

Siapa yang Ada dalam Pelayanan?

Kesalahan utama yang pertama dalam pemikiran injili sekarang ini yang harus diatasi adalah siapa yang bertanggung jawab atas “pelayanan.” Pada umumnya sekarang ini kita bicara tentang kelompok khusus individu yang ‘melayani” Inti para elite ini adalah yang bertanggung jawab bagi keseluruhan pelayanan, dan yang pasti paling penting dalam pelayanan gereja local. Tapi jika ini merupakan pemikiran Kekristenan modern, maka itu bukan pengajaran Perjanjian Baru, karena Paulus menulis:

“Dan Ialah yang memberikan baik rasul-rasul maupun nabi-nabi, baik pemberita-pemberita Injil maupun gembala-gembala dan pengajar-pengajar, untuk memperlengkapi orang-orang kudus bagi pekerjaan pelayanan, bagi pembangunan tubuh Kristus” (Eph. 4:11-12, Berkeley).

Dalam insitlah pengajaran Alkitabiah, setiap orang Kristen ada dalam pelayanan. Tidak ada kelompok terpisah yang melayani sementara yang lain berdiri disamping dan mengawasi. Sebagian menyerahkan waktunya untuk pelayanan lebih dari yang lain; sebagian dibayar lebih karena pelayanan mereka; tapi semua orang Kristen ada dalam pelayanan.

Disatu sisi mereka yang adalah penginjil dan pastor kurang terlibat dalam pelayanan dibanding orang kudus lainnya. Siapa, sebagai contoh, yang lebih terlibat dalam bermain sepakbola, , Tom Landry atau Roger Staubach? Tom Landry adalah pelatih Dallas Cowboys, tapi apakah anda pernah melihat dia melempar, atau berlari dalam pertandingan? Pemainlah yang secara langsung terlibat dalam permainan sepakbola. Demikian juga, pelayanan dalam gereja. Paulus telah menulis bahwa penginjil dan pengajar memperlengkapi orang kudus untuk pelayanan. Bukan penginjil dan pengajar yang melakukan pelayanan itu; mereka memperlengkapi orang kudus untuk melakukan pekerjaan pelayanan.

Apakah anda bisa melihat berapa jauh kita telah melenceng dari Alkitab? Kita berpikir “pelayanan” adalah pekerjaan beberapa professional yang secara formal telah dilatih teologinya dan yang memberikan seluruh waktunya untuk berkotbah dan mengajar serta konseling. Paulus berkata bahwa pengajar tidak melakukan pelayanan, tapi melatih orang kudus agar mereka bisa menjalankan pelayanan. Mereka yang disebut orang awam mencari pastor untuk melakukan pelayanan; Paulus mencari orang awam. Dunia membagi orang Kristen kedalam kelompok berbeda: pendeta dan orang awam. Alkitab tidak mengajarkan perbedaan itu.

Definisi Alkitab terhadap “Pelayanan”

Setiap orang Kristen, ada dalam pelayanan. Jika anda seorang Kristen, maka anda ada dalam pelayanan. Karena setiap anda, berasumsi kalau anda telah memiliki hubungan pribadi dengan Yesus Kristus, ada dalam pelayanan, seharusnya masalah mengetahui pelayanan terdiri dari apa saja merupakan hal yang menarik. Apa itu pelayanan? Apa yang dipercayakan Tuhan untuk dipertanggung jawabkan oleh anda?

Walau banyak yang bisa dikatakan mengenai kata “pelayanan” ada 2 karakteristik umum dalam PB yang penting bagi setiap kita untuk mengerti. Pertama, pemikiran pelayanan mungkin paling baik didefinisikan dalam istilah service. Ini dinyatakan oleh terjemahan Ephesians 4:12 dari New American Standard Version: “… for the equipping of the saints for the work of service, to the building up of the body of Christ …”

Ada 3 kata Yunani yang digunakan dalam PB yang menyatakan konsep service. Kata pertama (douleo) menunjukan apa yang disebut ‘Slave service,’ karena ini kata yang biasa digunakan untuk menggambarkan service seorang budak pada tuannya (cf. Rom. 1:1; 1 Pet. 2:16). Paulus menggunakan kata ini untuk menggambarkan sikap service-nya pada manusia saat dia menulis: “Sungguhpun aku bebas terhadap semua orang, aku menjadikan diriku hamba dari semua orang, supaya aku boleh memenangkan sebanyak mungkin orang” (1 Corinthians 9:19).

Kata kedua (leitourgos), penggunaannya dalam PB, memiliki lebih banyak konotasi agama. Dalam terjemahan Yunani di PL ini digunakan dalam menerjemahkan suatu istilah teknis bagi pelayanan pendeta kepada Tuhan.8 Lukas menggunakan istilah ini untuk menggambarkan pelayanan Paulus dan Barnabas digereja Antiokia (Acts 13:2). Ini juga digunakan dalam pelayanan orang Kristen di Makedonia dan Akaia yang memberikan kepada orang miskin di Jerusalem (Rom. 15:27). Paulus sekali lagi menggunakan kata ini dalam Philippians 2:30 untuk pelayanan orang Filipi padanya melalui Epaphroditus.

Tapi kata ‘service’ atau ‘ministry’ dalam Ephesians 4:12 tidak digunakan, tapi kata (diakonos) dari sini kata ‘deacon’ berasal. Beyer menyatakan bahwa walau douleo menekankan service seperti seorang budak, dan leitourgos menunjukan pelayanan dalan gereja, “… diakoneo memiliki kualitas khusus dalam menunjukan secara khusus pelayanan. … dalam diakonio ada perkiraan yang lebih kuat akan konsep pelayanan kasih.”9 Ini merupakan kata yang menunjukan pelayanan kasih orang percaya dalam Yesus Kristus kepada orang lain. Ini diaplikasikan bagi kerasulan (Acts 1:17, 25), bagi pelayanan Firman (Acts 6:4), juga pelayanan meja (Acts 6:1).

Saya ingin menggaris bawahi konsep pelayanan ini, karena jelas ini tidak menjadi bagian dari roh zaman ini. Sayangnya, ini secara mentalitas tidak ditunjukan orang Kristen. Kita jelas tidak bisa menyangkal fakta bahwa itu merupakan sikap Tuhan Yesus, karena Dia berkata: “Karena Anak Manusia juga datang bukan untuk dilayani, melainkan untuk melayani dan untuk memberikan nyawa-Nya menjadi tebusan bagi banyak orang” (Mark 10:45).

Paulus juga menulis, “Hendaklah kamu dalam hidupmu bersama, menaruh pikiran dan perasaan yang terdapat juga dalam Kristus Yesus” (Phil. 2:5).

Karakteristik umum yang kedua dari pelayanan PB adalah pelayanan yang menguntungkan. Ini merupakan pelayanan yang memiliki banyak fase dan manifestasi tapi ada satu elemen umum dalam kerangaman itu, dan itu adalah pelayanan yang secara rohani menguntungkan individu dan membangun tubuh Kristus saat itu menguatkan dan membangun setiap anggota tubuh. Paulus tidak mengatakan secara spesifik kepada kita berbagai pelayanan apa yang ada dalam Ephesians 4:12, tapi dia mengatakan pada kita hasil pelayanan ini: “untuk memperlengkapi orang-orang kudus bagi pekerjaan pelayanan, bagi pembangunan tubuh Kristus.”

Pelayanan rohani, pelayanan seorang Kristen sejati, merupakan pelayanan yang menguntungkan. Itu membangun orang Kristen dan kemudian membangun tubuh Kristus.

Hal menyedihkan adalah banyak orang Kristen berpikir kalau pelayanan yang menguntungkan adalah pelayanan yang hanya dilakukan oleh professional. Mereka merasa bahwa jika mereka membentuk pelayanan yang bukan berkotbah atau mengajar atau konseling maka itu sedikit bernilai. Betapa menyedihkan dan tidak alkitabiah pemikiran ini. Memenuhi kebutuhan fisik orang miskin dinyatakan dalam Alkitab sebagai pelayanan (e.g. Rom. 15:27). Seperti kata Yakobus pada kita (2:15-16) orang yang kurang pakaian dan makan tidak diuntungkan oleh perkataan semata, juga oleh kotbah yang luar biasa; mereka diuntungkan oleh disediakan makanan dan pakaian. Pelayanan dalam PB adalah memenuhi keseluruhan kebutuhan orang kudus untuk bisa menguatkan mereka dalam iman. Orang sakit lebih membutuhkan penghiburan, dikuatkan dan doa daripada kotbah. Orang yang baru saja dioperasi dan sudah dirumah untuk penyembuhan lebih membutuhkan praktek teologi daripada diajarkan teologi—seperti dibawakan makanan, ditolong pekerjaan rumahnya, anaknya dibawa kesekolah, dan yang lain. Seringkali orang mengevaluasi nilai pelayanan mereka melalui jenis pelayanan daripada hasil keseluruhannya.

Mari kita simpulkan apa yang sudah kita bahas sampai saat ini. Saya telah mengatakan bahwa pekerjaan pelayaan merupakan pekerjaan semua orang kudus, yaitu meliputi lebih dari kotbah, mengajar, dan konseling (walau ini merupakan bagian penting), tapi juga termasuk setiap bentuk pelayanan yang menguntungkan orang Kristen lain.

Prinsip dibelakang Praktek

Apa yang telah saya katakan sampai say ini bukan suatu pilihan, tapi suatu keharusan. Perlunya suatu pelayanan yang beragam dan universal diperintahkan oleh prinsip Alkitab. Dua prinsip utama yang menggaris bawahi konsep pelayanan dalam PB adalah (1) doktrin karunia rohani, dan (2) dontrin kependetaan setiap orang percaya.

    Dontrin Karunia Rohani

Mengenai karunia rohani Paulus menulis: “Ada rupa-rupa karunia, tetapi satu Roh. Dan ada rupa-rupa pelayanan, tetapi satu Tuhan. Dan ada berbagai-bagai perbuatan ajaib, tetapi Allah adalah satu yang mengerjakan semuanya dalam semua orang. Tetapi kepada tiap-tiap orang dikaruniakan penyataan Roh untuk kepentingan bersama” (1 Cor. 12:4-7).

Dalam pasal ke 12 dari 1 Corinthians Paulus menggambarkan gereja sebagai tubuh. Setiap orang Kristen merupakan anggota tubuh (v. 13) dengan karunia dan fungsi individu (vss. 7-11). Dalam tubuh ada kesatuan dan keragaman. Tidak ada satu anggota tubuh bisa melihat dirinya lebih tinggi dari tubuh karena dia tergantung padanya, juga lebih rendah dan tidak penting bagi tubuh, karena dia memiliki kontribusi unik bagi fungsi tubuh. Dalam ayat 29 dan 30 Paulus juga menginstruksikan kita bahwa tidak ada individu yang memiliki seluruh karunia, juga tidak ada yang tidak memiliki karunia sama sekali. Walau dibumi Tuhan menyatakan DiriNya melalui tubuh, tapi sekarang Dia memilih melanjutkan apa yang dimulainya melalui tubuh rohani, gereja (Acts 1:1ff).

Seperti fungsi tertentu bagi tubuh rohani Kristus, untuk beberapa hal setia orang Kristen bertanggung jawab menjalankan setiap fungsi ini. Tapi setiap anggota tubuh, Tuhan sudah memberikan kemampuan tertentu untuk menjalankan beberapa fungsi lebih baik dari yang lain. Kemampuan ini kita sebut karunia rohani. Walau semua memberi untuk mendukung kebutuhan rohani tubuh (cf. pelajaran 7, Gereja Perjanjian Baru—Keuangannya), sebagian diberikan karunia supernatural (Rom. 12:8). Semua diperintahkan untuk menjadi saksi (Acts 1:8; Col. 4:5-6; 1 Pet. 3:15, etc.), tapi sebagian dikaruniai sebagai penginjil (Eph. 4:11).

Semua ini menunjukan kepada kita bahwa pekerjaan pelayanan meliputi semua fungsi yang dinyatakan oleh keseluruhan karunia rohani yang diberikan pada tubuh. Karunia rohani diberikan untuk menopang dan membangun tubuh (1 Cor. 12:12-27). Pekerjaan pelayanan merupakan pekerjaan yang menopang dan membangun tubuh (Eph. 4:11-13). Karunia rohani diberikan untuk memampukan orang Kristen untuk menjalankan pelayanan, yaitu membangun tubuh Kristus. Pekerjaan pelayanan tergantung atas dijalankannya setiap karunia rohani (yaitu karunia permanen).

Sekarang kita kembali kebagian dalam 1 Corinthians 12:4-7, karena itu sangat penting bagi pengertian kita akan pekerjaan pelayanan. Dalam ayat 4 Paulus menyatakan bahwa ada keragaman karunia. Ini kita tahu dengan baik. Tapi dalam ayat 5 dia berkata, “ada rupa-rupa pelayanan, tetapi satu Tuhan.” Disini Paulus bicara tentang keragaman pelayanan yang bisa dilakukan karunia yang sama. Seseorang mungkin memiliki karunia mengajar dan mengajar di South Africa, orang lain mungkin mengajar di sekolah minggu di Dallas atau Hong Kong, orang lain bisa saja mengajar ribuan orang melalui radio atau televise atau kaset. Semua memiliki karunia mengajar, tapi Tuhan telah memberikan setiap kita pelayanan yang perlu dan penting.

Dalam ayat 6 kita diberitahu, “Dan ada berbagai-bagai perbuatan ajaib, tetapi Allah adalah satu yang mengerjakan semuanya dalam semua orang.” Tuhan tidak hanya membarikan karunia berbeda bagi setiap orang Kristen, dan pelayanan beragam bagi mereka yang sama karunianya, tapi Dia juga memberikan perbedaan tingkatan efektifitas. Seseorang mungkin memiliki karunia penginjilan dan memenangkan 5 orang bagi Kristus dalam setahun, sementara orang lain bisa memenangkan 50,000. Setiap orang bisa mengajar kelas berisi 4 orang, sedangkan yang lain bisa mengajar satu kelas berisi 4,000 orang. Ini karena Tuhan dalam kedaulatannya menentukan adanya perbedaan efektifitas.

Sekarang disamping semua perbedaan dalam karunia, dan keragaman pelayanan dan keefektifannya, Paulus berkata dalam ayat 7, “Tetapi kepada tiap-tiap orang dikaruniakan penyataan Roh untuk kepentingan bersama.” Temanku, tidak soal apa karuniamu, itu untuk kepentingan bersama; tidak soal bagaimana karuniamu dikerjakan, itu untuk keuntungan keseluruhan tubuh; disamping seberapa banyak atau sedikit efek karuniamu, itu untuk kepentingan semua.

Itulah kenapa pekerjaan pelayanan merupakan pelayanan yang dijalankan oleh semua orang percaya bagi keuntungan seluruh orang percaya. Pekerjaan pelayanan, pekerjaan membangun tubuh tidak akan komplit tanpa anda menjalankan karunia rohani anda sendiri. Karunia rohani merupakan hadiah supernatural untuk menjalankan pekerjaan pelayanan. Karena tidak ada orang yang memiliki semua karunia, karena setiap orang diberikan karunia untuk penggunaan tertentu, setiap orang Kristen harus melakukan pekerjaan pelayanan.

    Doktrin Priesthood pada Setiap Orang Percaya

Prinsip Alkitab kedua yang menggaris bawahi konsep pelayanan dalam PB adalah keimaman setiap orang percaya. Walau doktrin ini diajarkan dibagian lain (cf. Rev. 1:6; 5:9), Petruslah yang memberikan kita pernyataan yang terjelas dalam hal ini:

Dan biarlah kamu juga dipergunakan sebagai batu hidup untuk pembangunan suatu rumah rohani, bagi suatu imamat kudus, untuk mempersembahkan persembahan rohani yang karena Yesus Kristus berkenan kepada Allah. … Tetapi kamulah bangsa yang terpilih, imamat yang rajani, bangsa yang kudus, umat kepunyaan Allah sendiri, supaya kamu memberitakan perbuatan-perbuatan yang besar dari Dia, yang telah memanggil kamu keluar dari kegelapan kepada terang-Nya yang ajaib (1 Peter 2:5, 9).

Dalam PL ada kelompok imam yang menjadi perantara antara manusia dan Tuhan. Dalam PB, kita tahu bahwa hanya ada satu pengantara antara Tuhan dan manusia: “Karena Allah itu esa dan esa pula Dia yang menjadi pengantara antara Allah dan manusia, yaitu manusia Kristus Yesus” (1 Tim. 2:5). Karena Dia Imam Besar maka kita semua diberi jalan seperti imam Tuhan, melalui pelayanan seperti imam:

Hebrews 10:19-25 Jadi, saudara-saudara, oleh darah Yesus kita sekarang penuh keberanian dapat masuk ke dalam tempat kudus, 20 karena Ia telah membuka jalan yang baru dan yang hidup bagi kita melalui tabir, yaitu diri-Nya sendiri, 21 dan kita mempunyai seorang Imam Besar sebagai kepala Rumah Allah. 22 Karena itu marilah kita menghadap Allah dengan hati yang tulus ikhlas dan keyakinan iman yang teguh, oleh karena hati kita telah dibersihkan dari hati nurani yang jahat dan tubuh kita telah dibasuh dengan air yang murni. 23 Marilah kita teguh berpegang pada pengakuan tentang pengharapan kita, sebab Ia, yang menjanjikannya, setia. 24 Dan marilah kita saling memperhatikan supaya kita saling mendorong dalam kasih dan dalam pekerjaan baik. 25 Janganlah kita menjauhkan diri dari pertemuan-pertemuan ibadah kita, seperti dibiasakan oleh beberapa orang, tetapi marilah kita saling menasihati, dan semakin giat melakukannya menjelang hari Tuhan yang mendekat.

Keimaman Tuhan Yesus Kristus berarti dua hal: memotivasi kita lebih dekat padaNya dengan kepercayaan penuh, dan memerintahkan kita untuk melayani yang lain. Karena perhatian kita adalah melayani orang lain, mari kita melihat lagi keimaman kita berkaitan dengan orang lain. Bagaimana kemimaman kita berkaitan dengan pelayanan kita kepada orang lain? Intinya fungsi imam orang Kristen digambarkan dalam istilah korban rohani:10 “Dan biarlah kamu juga dipergunakan sebagai batu hidup untuk pembangunan suatu rumah rohani, bagi suatu imamat kudus, untuk mempersembahkan persembahan rohani yang karena Yesus Kristus berkenan kepada Allah” (1 Peter 2:5). Persembahan rohani ini dinyatakan dalam PB:

(1) Korban diri, sebagai korban yang hidup dalam pelayanan kepada Tuhan. Dalam Roma, Paulus berkata: “Karena itu, saudara-saudara, demi kemurahan Allah aku menasihatkan kamu, supaya kamu mempersembahkan tubuhmu sebagai persembahan yang hidup, yang kudus dan yang berkenan kepada Allah: itu adalah ibadahmu yang sejati.” (Rom. 12:1).

Korban diri sebagai korban yang hidup. Bagaimana seseorang bisa menjadi korban yang hidup? Dalam konteks Romans pasal 12 perlu diperhatikan bahwa subjek pertama yang dinyatakan Paulus setelah seruannya adalah memberi diri sebagai korban yang hidup adalah mengenai karunia rohani (vss. 3-8). Pengertian saya adalah kita korban yang hidup bagi Tuhan saat kita memberi diri bagi pelayanan untuk orang lain melalui karunia rohani kita.

(2) Korban pujian dan ucapan syukur. Dalam Ibrani pasal 13 kita diberi bentuk lain dari korban rohani: “Sebab itu marilah kita, oleh Dia, senantiasa mempersembahkan korban syukur kepada Allah, yaitu ucapan bibir yang memuliakan nama-Nya” (Hebrews 13:15).

Salah satu persembahan dalam PL adalah korban syukur. Demikian juga, aada korban syukur dalam PB. Saat kita secara umum atau pribadi mengucap syukur dan memuji Tuhan, kita melaksanakan keimaman kita.

(3) Korban Pelayanan. Sekali lagi dalam Ibrani 13 kita menemukan bentuk korban rohani lain: “Dan janganlah kamu lupa berbuat baik dan memberi bantuan, sebab korban-korban yang demikianlah yang berkenan kepada Allah” (Heb. 13:16).

Sekarang ada aktifitas keimaman yang luar biasa. Kita memberikan korban pelayanan pada Tuhan saat kita berbuat baik, saat kita bermurah hati, saat kita melayani melalui keuangan. Kata “berbagi” adalah koinonia, yang secara umum dimengerti sebagai ‘persekutuan.’ Satu manifestasi kebersamaan, kebersamaan hidup, berbagi kebutuhan dan uang dengan mereka yang membutuhkan uang. Ini merupakan fungsi keimaman.

(4) Korban Proklamasi. Satu lagi persembahan rohani yang harus diberikan setiap orang percaya adalah proklamasi. Kita harus memproklamasikan kebaikan dan kebesaran Tuhan: “Tetapi kamulah bangsa yang terpilih, imamat yang rajani, bangsa yang kudus, umat kepunyaan Allah sendiri, supaya kamu memberitakan perbuatan-perbuatan yang besar dari Dia, yang telah memanggil kamu keluar dari kegelapan kepada terang-Nya yang ajaib” (1 Pet. 2:9).

Kita harus memproklamasikan injil Tuhan. Paulus menggambarkan proklamasi injil kepada orang non Yahudi dan keselamatan mereka dalam istilah korban: “Namun, karena kasih karunia yang telah dianugerahkan Allah kepadaku, aku di sana sini dengan agak berani telah menulis kepadamu untuk mengingatkan kamu, yaitu bahwa aku boleh menjadi pelayan Kristus Yesus bagi bangsa-bangsa bukan Yahudi dalam pelayanan pemberitaan Injil Allah, supaya bangsa-bangsa bukan Yahudi dapat diterima oleh Allah sebagai persembahan yang berkenan kepada-Nya, yang disucikan oleh Roh Kudus” (Rom. 15:15-16).

Memikirkan itu, keselamatan jiwa melalui proklamasi injil dilihat sebagai korban pada Tuhan yang merupakan tindakan keimaman. Tidak hanya proklamasi injil dan keselamatan jiwa merupakan korban yang menyenangkan, tapi juga pemberian kita pada mereka yang memproklamasikan injil: “Kini aku telah menerima semua yang perlu dari padamu, malahan lebih dari pada itu. Aku berkelimpahan, karena aku telah menerima kirimanmu dari Epafroditus, suatu persembahan yang harum, suatu korban yang disukai dan yang berkenan kepada Allah” (Phil. 4:18).

Apakah anda melihat aplikasi keimaman setiap orang percaya dalam hal pelayanan? Wilayah pelayanan keimaman yang kita pelajari tumpang tindih dengan fungsi yang dicakup oleh karunia rohani, juga pekerjaan pelayanan yang digambarkan dalam PB. Pekerjaan pelayanan merupakan setiap pelayanan yang diperlukan untuk menjaga tubuh dan membangunnya. Kemampuan melaksanakan fungsi ini disediakan bagi orang Kristen melalui karunia rohani. Tanggung jawab setiap orang Kristen untuk aktif dalam pelayanan diajarkan oleh doktrin keimaman bagi setiap orang percaya.

Jika anda seorang percaya dalam Yesus Kristus, anda seorang imam, dan fungsi keimaman anda adalah pekerjaan pelayanan. Jika anda seorang Kristen, setidaknya anda memiliki satu karunia roh, dan karunia ini memampukan anda menjalankan fungsi tertentu dalam pelayanan bagi anda. Jika anda seorang percaya dalam Yesus Kristus anda ada dalam “pelayanan” dan merupakan tanggung jawab pastor untuk memperlengkapi anda untuk melaksanakan pelayanan itu.

Aplikasi

Ada beberapa aplikasi praktis bagi saya sebagai pengajar.

Pertama, Alkitab memanggil saya untuk keluar dari aktivitas berlebihan diwilayah pelayanan yang tidak sejalan dengan karunia rohani saya. Ini sangat penting dengan dua alasan. Pertama saya pasti memberi waktu untuk mencoba sesuatu yang tidak akan bisa saya lakukan dengan baik. Ini merupakan frustrasi yang sama dengan seseorang yang tidak memiliki latar belakang mekanik mencoba memperbaiki mobilnya. Dan lagi, jika saya melayani diwilayah yang saya sendiri tidak ada karunia disitu, saya secara efektif menghalangi orang lain melakukan karunia mereka. Ini tidak berarti saya tidak pernah mencoba bersaksi karena karunia saya bukan penginjilan, karena jika saya mengerti 2 Timothy 4:5 dengan benar, Paulus menasihati Timotius untuk melakukan pekerjaan sebagai penginjil, walau ini kelihatannya bukan karunia rohaninya. Saya bicara tentang memberikan tenaga dan waktu yang besar untuk wilayah pelayanan dimana orang lain bisa melakukannya lebih baik dari kita.

Dalam praktek ini berarti ada beberapa hal yang orang Kristen harapkan dilakukan oleh pendeta, saya tidak akan melakukannya untuk kepuasan mereka. Terlalu sering kita menyewakan tanggung jawab kita—membayar pendeta untuk melakukan apa yang kita sendiri tidak mau lakukan. Perkunjungan ke rumah sakit, konseling, administrasi, dan banyak wilayah pelayanan lain yang mestinya jatuh pada mereka yang dikaruniai dalam pelayanan itu.

Kedua, Alkitab mengindikasikan bahwa konsep pelayanan saya harus melayani melalui orang, daripada hanya melayani pada orang. Seperti yang kita lihat dalam Efesus pasal 4, pekerjaan saya adalah memperlengkapi orang bagi pelayanan. Tanggung jawab saya, yang saya mengerti dari Firman Tuha, adalah memberikan waktu lebih dalam menolong mereka yang ingin melakukan pekerjaan pelayanan. Penekanan pelayanan saya, adalah mendorong dan menolong memperlengkapi pengajar, konselor dan pemimpin. Saya diharapkan menolong melatih konselor yang akan menjalankan bagian yang lebih besar dari konseling sebelum dan sesudah nikah. Keinginan saya adalah melihat wanita diperlengkapi untuk melayani wanita lain. Saya ingin memberi diri bagi pengajar sekolah minggu, dibawah arahan pengawas kita, dan berbagi dengan mereka apa yang akan saya ajarkan dalam bagian yang sama yang akan diajarkan mereka minggu berikut.

Mungkin lebih penting saya berkomitmen bekerja dengan para ayah yang ditunjuk sebagai pemimpin rohani dalam rumah. Kita bermaksud menyiapkan pelajaran keluarga setiap minggu, yang menolong para ayah atau kepala keluarga untuk mempelajarinya sebelum minggu berikut, membahas teksnya dengan istri dan anak. Kita berkomitmen memberikan setiap pertolongan yang bisa disediakan dan dukukang bagi mereka yang ingin menjadi pemimpin dalam keluarga dan dalam gereja.

Tapi adan implikasi bagi anda dalam bagian ini berkenaan dengan pelayanan. Seharusnya jelas bahwa pekerjaan pelayanan adalah melayani. Ketakutan saya adlaah banyak yang mendengar pelayanan Firman hanya untuk pendeta. Satu penghiburan besar adalah banyak dari mereka yang ingin terlibat dalam pelayanan. Mereka sangat menghargai pengajaran yang mereka terima tapi juga sangat ingin membagikan apa yang mereka terima pada orang lain. Inilah orang yang ingin kita lihat, banyak yang ingin menjadi pelayan, daripada dilayani.

Dimasa mendatang kami berharap anda menemukan gereja baru kami berfungsi dengan baik, tapi akan ada banyak penyesuaian yang harus dibuat. Setiap hal pasti ada rintangan. Tidak mudah duduk dan berharap tidak diperhatikan. Hanya mereka yang memiliki hati pelayan yang selamat diminggu-minggu awal, tapi pekerjaan pelayanan adalah pekerjaan setiap orang kudus.

Temanku, dalam istilah Firman Tuhan anda ada dalam pelayanan. Biarlah Tuhan membuat pelayanan anda begitu jelas, dan anda menemukan sukacita melayaniNya sebagai imam Tuhan, melalui kuasa dan anugrahNya.


8 Cf. Robert L. Saucy, The Church in God’s Program (Chicago: Moody Press, 1972), p. 131.

9 Hermann W. Beyer, “DiaKoneo…, DiaKonia, DiaKonos,Theological Dictionary of the New Testament, Edited by Gerhard Kittel and Gerhard Friedrich, Trans. by Geoffrey W. Bromiley (Grand Rapids: Eerdmans, 1964), Vol. 2, p. 81.

10 Since priestly activity is also indicated by the word leitourgeo, the ministry of priests can be seen in verses which employ this term (e.g. Acts 13:2-3; Romans 15:27; 2 Corinthians 9:12; Romans 15:16). Cf. Robert Saucy, p. 167.

Related Topics: Ecclesiology (The Church)

3. Gereja Perjanjian Baru-Pertemuannya

Acts 2:42, 46 Mereka bertekun dalam pengajaran rasul-rasul dan dalam persekutuan. Dan mereka selalu berkumpul untuk memecahkan roti dan berdoa. … 46 Dengan bertekun dan dengan sehati mereka berkumpul tiap-tiap hari dalam Bait Allah. Mereka memecahkan roti di rumah masing-masing secara bergilir dan makan bersama-sama dengan gembira dan dengan tulus hati,

Acts 20:7 Pada hari pertama dalam minggu itu, ketika kami berkumpul untuk memecah-mecahkan roti, Paulus berbicara dengan saudara-saudara di situ, karena ia bermaksud untuk berangkat pada keesokan harinya. Pembicaraan itu berlangsung sampai tengah malam.

1 Corinthians 11:18 Sebab pertama-tama aku mendengar, bahwa apabila kamu berkumpul sebagai Jemaat, ada perpecahan di antara kamu, dan hal itu sedikit banyak aku percaya.

1 Corinthians 14:26-40 Jadi bagaimana sekarang, saudara-saudara? Bilamana kamu berkumpul, hendaklah tiap-tiap orang mempersembahkan sesuatu: yang seorang mazmur, yang lain pengajaran, atau penyataan Allah, atau karunia bahasa roh, atau karunia untuk menafsirkan bahasa roh, tetapi semuanya itu harus dipergunakan untuk membangun. 27 Jika ada yang berkata-kata dengan bahasa roh, biarlah dua atau sebanyak-banyaknya tiga orang, seorang demi seorang, dan harus ada seorang lain untuk menafsirkannya. 28 Jika tidak ada orang yang dapat menafsirkannya, hendaklah mereka berdiam diri dalam pertemuan Jemaat dan hanya boleh berkata-kata kepada dirinya sendiri dan kepada Allah. 29 Tentang nabi-nabi--baiklah dua atau tiga orang di antaranya berkata-kata dan yang lain menanggapi apa yang mereka katakan. 30 Tetapi jika seorang lain yang duduk di situ mendapat penyataan, maka yang pertama itu harus berdiam diri. 31 Sebab kamu semua boleh bernubuat seorang demi seorang, sehingga kamu semua dapat belajar dan beroleh kekuatan. 32 Karunia nabi takluk kepada nabi-nabi. 33 Sebab Allah tidak menghendaki kekacauan, tetapi damai sejahtera. 34 Sama seperti dalam semua Jemaat orang-orang kudus, perempuan-perempuan harus berdiam diri dalam pertemuan-pertemuan Jemaat. Sebab mereka tidak diperbolehkan untuk berbicara. Mereka harus menundukkan diri, seperti yang dikatakan juga oleh hukum Taurat. 35 Jika mereka ingin mengetahui sesuatu, baiklah mereka menanyakannya kepada suaminya di rumah. Sebab tidak sopan bagi perempuan untuk berbicara dalam pertemuan Jemaat. 36 Atau adakah firman Allah mulai dari kamu? Atau hanya kepada kamu sajakah firman itu telah datang? 37 Jika seorang menganggap dirinya nabi atau orang yang mendapat karunia rohani, ia harus sadar, bahwa apa yang kukatakan kepadamu adalah perintah Tuhan. 38 Tetapi jika ia tidak mengindahkannya, janganlah kamu mengindahkan dia. 39 Karena itu, saudara-saudaraku, usahakanlah dirimu untuk memperoleh karunia untuk bernubuat dan janganlah melarang orang yang berkata-kata dengan bahasa roh. 40 Tetapi segala sesuatu harus berlangsung dengan sopan dan teratur

Pendahuluan

Saat kita memulai seri mengenai gereja Perjanjian Baru, kita menekankan pentingnya gereja dalam program Tuhan. Jika saya bisa menyatakan prinsip ini secara visual, saya pikira itu bisa menolong menekankan fakta bahwa gereja Perjanjian Baru merupakan titik pusat dari program Tuhan, karena dalam gerejalah maksud Tuhan bertemu. Kita bisa menggambarkan hal ini dengan ilustrasi demikian:

Jika kita mengerti gereja seperti ini, maka seharusnya jelas bahwa doktrin gereja sangat penting, karena tujuan Tuhan dalam dunia sekarang ini tidak bisa dipisahkan dengan prinsip dan praktek gereja. Ini dasar yang sudah dibahas tapi baik untuk ditekankan kembali, karena gereja masa sekarang dianggap tidak relevan dan tidak berdaya oleh sebagian besar orang Kristen.

Dalam cara yang mirip, bagi saya kelihatan bahwa kita mengatakan kalau pertemuan digereja sepenting dan tidak terpisahkan dari prinsip Tuhan terhadap gereja dengan program Tuhan bagi dunia. Biarlah saya menyatakannya dengan grafik seperti ini:

Disini kita melihat bahwa titik temu prinsip gereja PB sangat penting, yaitu pertemuan gereja. Karena ini merupakan pembahasan kita, “Gereja Perjanjian Baru—Pertemuannya.”

‘Pertemuan Gereja’ dan Pertemuan-pertemuan gereja

Saat kita memulai, kita harus hati-hati membedakan antara apa yang akan saya sebut sebagai ‘pertemuan gereja’ dan ‘pertemuan-pertemuan gereja’. Ekspresi ‘pertemuan gereja’ menunjuk pada pertemuan mingguan gereja untuk mengajar, bersekutu, memecahkan roti (atau mungkin anda biasa menyebutnya ‘perjamuan kudus’) dan doa. Setelah kelahiran gereja pada hari Pentakosta dalam Kisah Para Rasul pasal 2, Lukas menggambarkan aktifitas yang dilakukan gereja baru itu: “Mereka bertekun dalam pengajaran rasul-rasul dan dalam persekutuan. Dan mereka selalu berkumpul untuk memecahkan roti dan berdoa.” (Acts 2:42).

Sekarang kita tahu bahwa dimasa permulaan gereja, hal itu dilakukan setiap hari (Acts 2:46), tapi kita juga menyadari bahwa ini tidak praktis untuk dilakukan seterusnya, seperti kita sekarang. Akibatnya, praktek permanent dari gereja adalah bertemu dihari pertama dalam satu minggu untuk meneruskan fungsi pengajaran, persekutuan, memcahkan roti dan berdoa. Hal seperti itu kesimpulan dari (baca Acts 20:1) Acts 20:7-12, 1 Corinthians 11:17ff., dan 14:26ff. Kita berasumsi, bahwa ‘pertemuan gereja’ merupakan pertemuan dihari pertama setiap minggu, dimana semua orang Kristen yang menjadi bagian dari gereja datang untuk diajar, mengingat Tuhan dalam perjamuan, untuk persekutuan dan doa.

Secara umum telah saya katakan bahwa pertemuan gereja bertujuan untuk pengajaran, persekutuan, memecahkan roti, dan berdoa. Saat kita melihat berbagai bagian Alkitab yang menggambarkan pertemuan gereja dalam detil yang lebih besar (cf. 1 Cor. 11:17ff; 14:26ff), kita menemukan bahwa ada variasi partisipasi dan aktifitas dimana orang kudus terlibat dalam pertemuan gereja. Kita mengetahui kalau mereka menyanyi (Eph. 5:19; Col. 3:16), berdoa (Acts 2:42; 1 Tim. 2:1-2, 8), mengajar (Acts 2:42; 20:7), discipline (Matt. 18:17), pembacaan Alkitab (1 Cor. 14:26; 1 Tim. 4:13), dan mungkin mengumpulkan persembahan (cf. Acts 2:42, 45; 1 Cor. 16:1-4). Di masa permulaan gereja ada juga pelaksanaan karunia lidah, interpretasi, dan nubuat (1 Cor. 14:26-28, 29).

Disamping pertemuan teratur ada beberapa pertemuan tambahan yang diadakan gereja. Sebagai contoh, dalam Acts 12:5, 12ff., gereja bertemu untuk berdoa bagi Petrus yang ditangkap oleh Herodes. Kita tahu bahwa Paulus mengajar setiap hari disekolah Tyrannus di Ephesus hampir 2 tahun (Acts 19:9-10). Pertemuan semacam ini jelas diadakan oleh gereja, tapi berbeda waktu, tempat dan keadaan, dan tidak secara regular, secara konsisten atau seragam dijalankan oleh semua gereja.

Anda akan mengerti jika saya bicara ‘pertemuan-pertemuan gereja’ saya tidak menunjuk hal ini sebagai satu-satunya pertemuan yang bisa dijalankan secara legitimate oleh gereja. Pertemuan doa khusus, penyelidikan Alkitab dirumah, pertemuan misionaris, dan pertemuan khusus lainnya ada didalam prinsip Alkitab. Pertemuan ini bisa dilakukan secara teratur dan tidak melanggar prinsip Alkitab. Tapi pertemuan ini bukan merupakan keharusan, itu semua tidak sepenting ‘pertemuan gereja.’

Kenapa Kita tidak bisa Memisahkan
Kegiatan Ini kedalam Beberapa Pertemuan Terpisah?

Sekarang saya yakin bahwa saya telah membuat suatu pertanyaan dalam pikiran anda. Itu bisa dinyatakan seperti ini: “Jika semua aktifitas berlangsung digereja, apa salahnya mengadakan beberapa pertemuan yang memasukan fungsi yang sama seperti ini?” Beberapa gereja memiliki pertemuan gereja, pertemuan pengajaran, bernyanyi, Alkitab, dll. Dan gereja mana yang tidak ada persembahannya? Kenapa semua ini harus dilakukan dipertemuan yang sama? Ini merupakan pertanyaan yang penting dan bernilai untuk diusahakan jawabannya.

    Alasan Alkitab bagi Satu Pertemuan Gereja

Untuk memulainya, biarlah saya mengutip beberapa alasan Alkitab kenapa keragaman pertemuan gereja merupakan suatu kesalahan.

(1) Alkitab mengajar bahwa setiap manusia memiliki hak untuk ikut serta dalam pertemuan gereja dengan berbagai cara. Saat elemen pertemuan gereja dibagi kedalam berbagai pertemuan, hampir tidak ada kesempatan bagi setiap orang untuk partisipasi. Sebagai contoh, walau ada pelayanan kotbah dan pengajaran, apakah setiap orang bebas mengajar dan berkotbah disana? Jika tidak, maka dimana dia bisa menyampaikannya kepada seluruh tubuh untuk keuntungan mereka? Sekarang saya menyadari bahwa dipertemuan doa tradisional semua bisa berdoa, tapi tidak demikian dengan sharing lagu, sebagian Alkitab, atau kesaksian pribadi. Setiap orang seharusnya bebas disuatu waktu, dan saya ingin menuntut satu waktu, untuk menjalankan keimamannya dan karunia rohaninya secara verbal dan umum.

(2) Saat berbagai elemen dari pertemuan gereja dibagi kedalam beberapa pertemuan berbeda, ini penekanan yang tidak pada tempatnya atau nilai diletakan atas satu orang dibanding yang lain. Saya menemukan, bahwa ada beberapa orang yang merasa kalau eksposisi Alkitab dihari minggu merupakan sesuatu yang mereka inginkan, jadi mereka tidak merasa perlu datang ke perjamuan kudus minggu malam. Penekanan PB adalah keseimbangan, sejauh ini saya melihat, dalam hal pengajaran, persekutuan, dan doa. Pembagian fungsi ini hampir selalu menyebabkan ketidakseimbangan.

(3) Masalah serius lain yang diciptakan melalui pembagian dalam pertemuan gereja adalah menciptakan kebingungan terhadap kapan prinsip PB secara spesifik dihubungkan dengan pertemuan gereja yang harus diaplikasikan. Sebagai contoh, kita diberitahu dalam 1 Corinthians 14:34-35 bahwa wanita harus diam dipertemuan gereja, dan tidak boleh bertanya. Jika elemen pertemuan gereja dibagi kedalam beberapa pertemuan, apakah ini artinya wanita tidak bisa bertanya disetiap pertemuan ini? Jika bisa, dipertemuan mana dia bisa bertanya dan mana yang tidak? Apa dasar kesalahannya? Pertanyaan ini muncul dari keragaman pertemuan daripada satu pertemuan.

    Alasan Praktis untuk Satu Pertemuan Gereja

Selain Alkitabiah, praktek dan pengajaran PB adalah praktis. Ada beberapa alasan praktis untuk mengadakan satu pertemuan gereja.

(1) Terlalu banyak pertemuan dan tidak cukup waktu. Bagi banyak gereja hal ini terlalu banyak pertemuan dan tidak memiliki cukup waktu. Seringkali agar dilihar rohani oleh orang gereja, kita harus memberikan perhatian yang cukup bagi keluarga kita. Lingkungan kita terlalu kompleks, tuntutan waktu terlalu besar, memiliki beberapa pertemuan disetiap minggu. Minggu tidak ada waktu istirahat; itu jadi hari pergulatan dan sibuk dengan anak ked an dari gereja. Kita memberi terlalu banyak pertemuan dengan orang percaya, kita tidak memiliki waktu untuk yang terhilang.

(2) Terlalu banyak perjalanan dan sediki bahan bakar. Untuk lebih jelasnya, terlalu banyak inefisiensi dari pertemuan terus menerus dalam gereja. Tidak hanya terlalu banyaknya waktu yang dihabiskan dalam perjalanan, tapi juga bahan bakar—dan seharusnya sudah jelas bagi kita kalau sumber itu suatu saat akan habis. Dan belum lagi tenaga yang dihabiskan dalam penghangant, pendingin, dan penerangan bangunan gereja.

(3) Sebagai hasil bentroknya waktu dan jadwal, setiap keluarga harus membuat pilihan dimana harus membuang beberapa aspek penting dari kegiatan gereja. Karena tidak mungkin bagi setiap keluarga mengikuti semua pertemuan gereja dalam seminggu, mereka harus memilih beberapa dan menghilangkan yang lain. Walau mereka tahu bahwa pertemuan yang tidak diikuti itu penting, apakah itu pertemuan doa, pelayanan perjamuan, atau sesi pengajaran, mereka tidak bisa mengikuti semuanya. Jadi apapun alasan tidak mengikuti setiap kegiatan itu, mereka kekurangan.

(4) Seperti anda tidak bisa membedah suatu mahluk hidup tanpa menghancurkan hidupnya, demikian juga anda tidak bisa membedah pertemuan gereja tanpa kehilangan vitalitasnya. Ada sesuatu mengenai kombinasi elemen dalam pertemuan gereja yang hilang saat setiap elemen diisolasi dalam beberapa pertemuan berbeda. Saat semua elemen pertemuan gereja dikombinasikan ada suatu keragaman, rasa expectasi, suatu vitalitas yang membuat seseorang ingin datang lagi. Seorang penulis mengungkapkan kekurangan kita dalam pertemuan yang beragam,

Seseorang tidak bisa tidak merasa ada sesuatu yang hilang dalam gereja sekarang ini dan untuk tingkatan tertentu Cullman patut diperhatikan saat dia berkata “pelayanan ibadah dalam gereja protestan di masa kita sangat miskin, tidak hanya dalam hal karya Roh Kudus, tapi juga dalam hal liturgy dan terutama dalam hal apa yang dituju dalam pertemuan komunitas.”11

Saya melihat sebuah artikel majalah yang berjudul, “Saat cetakan jadi berjamur” dan saya tertawa saat penulis meratapi kenyataan bahwa kita selalu bisa menetapkan jam kita melalui urutan pelayanan. Hal seperti itu bukan pertemuan yang mengobarkan orang percaya mula-mula dan membalikan dunia. Berbagai elemen gereja itu saling berhubungan dan tidak bisa dipisahkan. Ibadah tidak bisa terjadi dalam suatu ruang hampa, atau atas perintah. Itu suatu respon pada Tuhan, atributNya, kesetiaanNya, kebaikanNya, karyaNya dalam hidup kita. Sat kita mengajar Alkitab dan memuji diwaktu yang berbeda, kita melakukan aborsi Firman Tuhan, karena saat kita kagum dan diinspirasi oleh pengajaran Firman Tuhan, saat itulah kita diingatkan akan karakter, dan kebaikannya, maka kita disuruh berdiri untuk doa berkat. Inilah waktu untuk doa pujian, hymne pujian, mengambil bagian secara sukacita dalam elemen perjamuan yang melambangkan karyaNya dalam tindakan kita. Anda tidak bisa memisahkan elemen ini dalam pertemuan gereja.

Pertemuan Gereja:
Titik Inti dari Prinsip Gereja PB

Anda akan mengingat kembali pesan yang mulai saya katakan pada anda bahwa seperti gereja adalah pusat karya Tuhan bagi manusia, demikian juga pertemuan gereja merupakan pusat prinsip PB mengenai gereja. Mari saya ulangi pentingnya pertemuan gereja jika kita ingin menjalankan prinsip PB yang seharusnya.

(1) Prinsip Karunia Rohani. Prinsip bahwa setiap orang Kristen telah diberikan karunia rohani untuk keuntungan seluruh tubuh (1 Cor. 7). Pertemuan gereja memberikan suatu kesempatan bagi manusia untuk menemukan dan mengembangkan apa yang disebut karunia utama. Pasti ada jalan menemukan dan mengembangkan karunia rohani, tapi pertemuan gereja adalah yang terpenting. Jelas, sebagian besar gereja PB, itu mungkin satu-satunya cara untuk ekspresi secara umum, karena mungkin tidak ada lagi pertemuan gereja yang lain.

(2) Yesus Kristus sebagai Kepala. Kedua, mengambil prinsip Kristus sebagai Kepal atas gereja. Bagaimana itu secara praktek nyata melalui gereja? Cara apa yang lebih baik dan jelas daripada datang bersama sebagai gereja dan melihat Dia memimpin orang untuk mengajar, menasihati, membagikan pujian atau bagian Alkitab saat dipimpin ilahi. Ini tidak berarti bahwa mereka tidak mempersiapkan diri sepanjang minggu, tapi, tidak ada koordinasi yang detil dari berbagai peserta pertemuan. Karena tidak ada satu pemimpin yang mengarahkan detil pertemuan, menjadi nyata bahwa Tuhan sendiri memimpin pertemuan melalui RohNya.

Kepemimpinan Yesus Kristus atas gerejaNya nyata oleh fakta bahwa manusia memimpin dalam pertemuan gereja (1 Corinthians 11:3). Inilah alasan Paulus memberitahu seseorang untuk memimpin doa dan pengajaran saat gereja berkumpul beribadah, dan alasan wanita berdiam diri belajar (1 Timothy 2:8-15). Ini juga alasan pria yang melayani sebagai elder bukan wanita.12

(3) Kependetaan setiap orang percaya. Sekarang kesempatan apa yang lebih besar untuk menunjukan kependetaan pada setiap orang percaya daripada dalam pertemuan gereja. Manusia bisa menjalankan kependetaannya dengan secara verbal memuji Tuhan dan menyerukan FirmanNya, dan dalam permohonan bagi yang lain. Wanita, walau tidak dengan jelas, memberikan pujian, memohon bagi yang lain, dan berpartisipasi dalam mengingat akan kematian Tuhan. Disini, memang, menjalankan kependetaan setiap orang percaya secara umum.

Kependetaan setiap orang percaya ditunjukan dalam menyampaikan elemen selama komuni, dan dalam doa bagi persembahan. Karena kependetaan setiap orang percaya menghilangkan perbedaan PL antara orang awam dan pendeta, memimpin komuni dan persembahan adalah hak istimewa dan kewajiban setiap orang.

(4) Gereja sebagai tubuh Kristus. Pada pertemuan gereja, orang kudus berkumpul sebagai tubuh Kristus. Setiap anggota saling bergantung dengan anggota tubuh lainnya. Setiap anggota saling menguatkan dan menasihati. Setiap anggota diingatkan mengenai kesatuan tubuh saat mengambil bagian dalam perjamuan (1 Cor. 10:17). Setiap anggota diingatkan akan kebergantungannya dalam tubuh Kristus saat berkontribusi dalam pelayanan.

Demikian kamu melihat bahwa prinsip dari gereja PB secara indah meliputi dan mencapai puncaknya dalam pertemuan gereja. Didalam pertemuan mingguan dari gereja local ini orang kudus berkumpul untuk pengajaran, persekutuan, memecahkan roti dan berdoa. Dengan kata lain, mereka bertemu untuk beribadah; didalamnya, mereka bertemu untuk peneguhan iman; diluarnya, mereka berkumpul untuk menyatakan kemuliaan anugrahNya. Suatu hak istimewa telah diberikan pada kita untuk berkumpul dengan cara ini setiap minggu.

Biar saya sekali lagi menegaskan kebutuhan untuk keseimbangan dalam berbagai elemen dari pertemuan gereja. Ada beberapa gereja yang lebih baik disebut, “Apostles Doctrine Church,” yang lainnya, “Fellowship Church,” dan yang lain “Communion Church.” Setiap elemen ini harus ditemukan secara seimbang dalam setiap gereja. Itulah keinginan kita untuk gereja kita.

Pertemuan Gereja

Sekarang, setelah mengatakan semua itu, dan anda tahu ada banyak hal yang bisa dikatakan disini, biarlah secara singkat digambarkan apa yang kita inginkan dalam pertemuan gereja. Pertama, kita bermaksud menyediakan suatu pengajaran, persekutuan dan pengingat akan Tuhan , serta doa yang seimbang. Kita mempertimbangkan setiap hal ini sebagai hal yang penting. Kita berusaha menyediakan keseimbangan semua hal ini dalam setiap pertemuan gereja setiap minggu dari jam 9 a.m. sampai kira-kita11:30 or 11:45. Karena pengajaran sistematik penting bagi pertumbuhan dan kedewasaan gereja, porsi pertama dari pertemuan diberikan pada pengajaran. Saya akan mulai suatu seri dari Kitab Kisah Para Rasul. Walau saya (atau saudara yang lain) mengajar orang dewasa, anak-anak akan mempelajari dari teks yang sama (dalam kebanyakan kasus) pada tingkatan kemampuan dan ketertarikan mereka. Setelah sesi pengajaran akan ada saat untuk pertanyaan (oleh pria—1 Cor. 14:35) dam jawaban. Setelah ini saya menduga kita akan memperkenalkan pengunjung dan istirahat untuk kopi dan ngobrol sekitar 20 atau 25 minutes. Kemudian kita akan memulai segmen pujian dan sekolah minggu akan bergabung dengan kita saat bernyanyi (dimasukan beberapa lagu anak-anak). Kita akan memiliki waktu untuk setiap pria yang ingin berbagi Firman. Kita juga memberi waktu untuk pujian dan mengingat Tuhan kita dalam komuni. Terakhir kita memberi waktu untuk doa dan pujian. Selama pertemuan, lagu dan hymn yang tepat dibutuhkan. Keinginan kita dalam menjalankan pertemuan gereja adalah agar Tuhan dipuji, orang kudus diteguhkan imannya, dan yang belum bertobat disadarkan dan bertobat.


11 Robert L. Saucy, The Church in God’s Program (Chicago: Moody Press, 1972), p. 190, quoting Oscar Cullmann, Early Christian Worship, p. 26.

12 Hal ini sering diperdebatkan. Sebagian berpendapat bahwa hanya pria yang bisa melayani sebagai tetua, tapi wania bisa melayani sebagai deacons (or deaconesses). Pengertia pribadi saya bahwa hanya pria saja yang bisa memegang kedua jabatan diatas. Maksudnya disini, melalui pria memimpin gereja, mereka mencerminkan Kristus sebagai kepada atas gereja.

Related Topics: Ecclesiology (The Church)

2. Vr Store och Vldige Gud: "Jag r Herren och Det r Mitt Namn"

Meditation: Vem r Vi Herre?

Paulus Exempel i Apostlagrningarna 22:8,10

1. Ls Apostlagrningarna 21:1- 22:21. Var ngonstans r Paulus och vad hnde dr?
2. Vilka tv frgor stllde Paulus efter sitt mte med Kristus som hade teruppsttt ( se 22:8, 10)?

Frsta delen av lektionen fokuserar p frsta frgan medan den andra delen fokuserar p andra frgan.

Gud lskar dig

1. Ls 1 Johannes 4:8. Vad sger Johannes om Guds vsen?
2. Vad skulle det vara fr fel om vi vnder p Johannes uttalande i 1 Johannes 4:8 och istllet sger att krleken r Gud?
3. Vad r det som de fljande verserna lr oss om Guds krlek?

a. 1 Johannes 4:10

b. Jesaja 49:15-16 ( Exodus 28:9-12)

c. Efesierbrevet 1:4-5, 2:4-5

d. Romarbrevet 8:38-39

Vr Gud r en Helig Gud

1. Ls Jesaja 6:1-6. Vad sg Jesaja i 6:1-2?
2. Hur var Seraferna i vers 3 nr de refererar till Gud?
3. Vad upplevde Jesaja i vers 5? Vad gjorde Gud genom Seraferna i vers 6-7?
4. Vilket r psalmskrivarens vittnesml Psalm 99:9?
5. Vad sa Petrus om Gud i Petrus 1:15-16?
6. En av Jesajas favorit benmningar fr Gud betrffande Hans Helighet. Ls Jesaja 1:4; 12:6; 41:20, etc. Jesaja refererar till Gud p det sttet mer n 25 gnger. Vad r Guds benmning i Jesaja och vad r det som de verserna lr oss om Guds Helighet?

Vr Gud r en Treenighet

1. Ls Efesierbrevet 11111:2. P vilket stt refererar Paulus till Fadern?
2. Ls Titus 2:13. P vilket stt refererar Paulus till Jesus ( Filipperbrevet 2:6)?
3. Ls Apostlagrningarna 5:3, 5. P vilket stt refererar Petrus till Den Helige Anden?
4. Ls Deuteronomium 6:4 och Markus 12:29. Hur mnga Gudar finns dr?
5. Vilken slutsats kan du dra frn det bibliska vittnesmlet om Gud? Svar: Numeriskt sett

r Han Ett, men lever som tre distinkta personer. Han r Ett i Sitt innersta vsen ( alla Treenighetsleder talar om Guds attribut), tre i substans (det handlar om tre distinkta personer; Fadern, Sonen och Den Helige Anden).

Vi kommer att frdjupa oss i mnet i de kommande lektionerna.

Kortfattat kan man sga att Bibeln inte stdjer tre-theism ( tre olika Gudar) inte heller modalism ( En Gud i tre olika former),utan den stdjer trinitarism

(Tre personer i En Gud).

Han jobbar alltid i ditt liv

1. Ls Johannes 5:17. Betrffande Hans mjlighet att frlsa och befria mnniskorna frn syndar, vad var det som Jesus berttade om Sin Fader och sig sjlv? Betyder det en trst fr dig?
2. Hur beskriver Paulus i Romarbrevet 8:28 och Johannes 5:17 Jesus lror? Meditera grna till varje ord i Romarbrevet 8:28 och sen tacka Gud fr Sitt stndiga engagemang i ditt liv.

Meditation: Herre, Vad Vill Du Att Jag Skall Gra?

Tillbedjan

Vi har lrt oss i den hr lektionen att vr Gud r krleksfull och helig. Han lskar alla mnniskor, men Han hatar synden. Vi har ocks lrt oss att Han r Treenighet ,allts bestr av tre personer som alla kan bli betraktade som gudomlighet eller Gud. Psalmskrivaren sade: Stor r vr Herre och vrdig vra lovord. Ingen kan utforska din storhet( Psalm 145:3). Vi skulle svara p samma stt som Jesaja gjorde med att falla ner p vra knn och tillbedja Gud. (ocks Romarbrevet 11:33-36).

Tillit

P vilket stt blir du strkt i din tro p Honom nu nr du vet att Han r krleksfull och helig? P vilket stt relaterar Hans krlek till de ofta mycket svra situationer Han lter dig hamna i? Hur kan man stta i relation Hans helighet och sannfrdighet med vem Han r? Med vem vi r och Hans plan fr var och en av oss?

Lyd

Vad betyder det fr dig att lyda Gud i allt, nu nr du har lrt knna och studerat Hans krlek och helighet? Hur relaterar man lydnaden till tillit?

Krlek

Ls Johannes 2:5. Hur visar vi vr krlek fr Gud? Hur relaterar vi vr krlek till 1 Johannes 2:15-16?

Var Helig

Det viktigaste vi kan gra i vr tillbedjan och krlek till Gud r att vxa i helighet. Ls Petrus 1:15-16 nnu en gng. Efter det, ls Hebreerbrevet 13:14 och Andra Korinthierbrevet 7:1.Vad betyder det att vara helig och hur relaterar man det till hur viktigt det r att vara ett krleksfullt vsen? Varfr r det viktigt att vara helig enligt Hebreerbrevet 13:14?

Proklamera Kristus

Ls Andra Korinthierbrevet 5:14-15. P vilket stt har Guds krlek pverkat Paulus? Vad gjorde Paulus enligt Andra Korinthierbrevet 5:16-21?

Related Topics: Theology Proper (God)

3. Jesus Kristus: "Vr Store Gud och Frlsare"

S lskade Gud vrden att Han gav den sin ende son, fr att de som tror p Honom icke skall g under utan ha evigt liv (Johannes 3:16).

Meditation: Jag Skall Komma Och Vara Bland Er

Jesus Kristus r Gud

1. Ls Johannes 1:1, 14. Vem r Ordet i Johannes 1:1? Vad gjorde ordet i 1.14?

2. Vad hnde efter det att Ordet blev mnniska i Johannes 1:18 (Johannes 8:58; 14:8-9; 20:28)?

3. Hur pratar Paulus om Jesus i Filipperbrevet 2:6? Uttrycket Han gde Guds gestalt r det starkaste grekiska uttryckssttet p Kristus helighet. Uttryckssttet refererar till Hans fullndade inre attribut.

4. Hur karakteriserar Paulus Kristus i Titus 2:13?

5. Vad r det som titeln Herre avsljar fr oss om Jesus i Romarbrevet 10:13 (Apostlagrningar 2:20-21)? Vilken text ur det Gamla Testamentet citerar Romarbrevet 10:13? Vem r Herren i det Gamla Testamentets avsnitt? Enligt judendomen r det bara Gud som kan frlsa. Obs. Visa termer som det Gamla Testamentet anvnder sig av fr att benmna Gud som Yahweh (Gud) och Adonai r vanligtvis mycket konstigt versatta till grekiska. Ett exempel som bevis p detta kan man hitta i Romarbrevet 10:13 var den judisk monoteistiske skrivaren refererar till Jesus som till en som r konstig.

6. Ls Hebreerbrevet 1:3 och 1:8. Vad sger frfattaren om Jesus?

Jesus Kristus r Ocks Mnniska

1. Ls Johannes 8:40 och Apostlagrningarna 2:22. P vilket stt refererar Jesus till sig sjlv? P vilket stt refererar Petrus till Honom?

2. Ls Lukas 2:52. Vad berttar avsnittet fr oss om Jesus mnsklighet?

3. Ls Hebreerbrevet 2:14. Vad berttar frfattaren fr oss om Jesus Kristus mnsklighet? P vilket stt bevisar Hans dd att Han var mnsklig?

4. Vilka tv mycket viktiga sacker pongterar Hebreerbrevet 4:16 om Jesus?

5. Det Gamla Testamentet blev versatt till grekiska nn gng mellan 285 och 150 F K. Ofta refererar man till det med de romerska siffrorna LXX (sjuttio). Detta kommer uppenbarligen frn en tradition som pstr att versttningsarbetet har gjorts av sjuttiotv versttare och blivit fullbordat p sjuttiotv dagar. Denna tradition verkar ha sina rtter i Aristeas epistel andra rhundradet fre Kristus, i Philos ( Vita Mosis 2.5-7.25-44) i Josephus (Antiquities 12.2. 1.-15) och Justin ( Against Heresis,3.21.2). Fr mer information ber vi lsaren att vnda sig till Everett Fergusonss Backgrounds of Early Christianity.

6. Ls 1 Johannes 1:1-3; Matteus 4:2; Johannes 4:6; 19:28. Vad r det som de hr avsnitten lr oss om Jesus och Hans mnsklighet?

7. Ls Hebreerbrevet 12:2; Markus 3:5; 6:6; 10:14; Lukas 7:9. P vilket stt bidrar de hr avsnitten till en bttre uppfattning av Jesus mnsklighet?

Sammanfattning om vem Jesus r

Jesus r svl Gud som mnniska. Uppenbarligen r Guds stt att fullborda denna union ett fullstndigt mysterium (1 Timotheosbrevet 3:16). Den Heliga Skriften presenterar Jesus frn bda sidor, medan de bibliska dokument refererar till Jesus Kristus som till en person som agerar och talar som en enda individ. Man anvnder gudomliga titlar ner man refererar till Hans mnskliga kvaliteer och grningar och mnskliga titlar ner man beskriver Hans gudomlighet (kvaliteer eller grningar). Han r med andra ord svl gudomlig som mnsklig, attribut som r frenade fr evigt i en och samma person.

Det som Jesus stadkom genom att ha dtt och teruppsttt

1. Ls 1 Petrus 3:18.Vem betalade fr sina synder? Varfr gjorde han det? Ls Hebreerbrevet 9:27-28. Behver Kristus d eller bli offrad om och om igen?

2. Ls 1 Johannes 2:2 och 4:10. Hur, d har Kristus dd pverkat Guds rttvisa vrede (Romarbrevet 5:10) mot oss?

3. Ls Johannes 12:31; 16:11 och speciellt 1 Johannes 3:8. P vilket stt har Jesus dd och det faktumet att Han teruppstod frn de dda pverkat ondskans auktoritet?

4. Vad stadkom Jesus dd och teruppstndelse fr oss kristna? Ls Kolosserbrevet 1:13-14; Apostlarbrevet 2:31-33; Romarbrevet 5:1 och 6:1-14; Efesierbrevet 1:3-14; 2:5-7.

Meningen med Kristus Dd och teruppstndelse- Sammanfattning

Kristus dd r en model p svl beredskapen att offra sig fr att tjna Gud som p Hans krlek till mnniskor. Hans beredskap att d fr att uppfylla Guds vilja och Hans krlek fr oss, r faktiskt inte den huvudsakliga frklaringen till frgan- vilken r meningen. Meningen r enligt Det Nya Testamentet att Jesus skulle offras i stllet fr oss, fr alla vra synder, mot en ondlig och helig Gud.

Meditation: Vad betyder detta fr mitt liv?

Tillbedjan

Paulus refererar till Jesus som till vr Store Gud och Frlsare (Titus 2:13). P samma stt som Petrus fll ner p sina kneen infr Jesus och dyrkade Honom,( Lukas 5:8) s mste vi ocks med stor dmjukhet tillbedja vr Herre, lska Honom med en brinnande krlek (Efesierbrevet 6:24). Vad betyder att tillbedja Jesus Kristus? Vad tror du? Gr grna en jmfrelse mellan Markus 12:29-30 och Romarbrevet 12:1-2. Vilket r Guds nskeml? Se Johannes 4:23-24; Markus 12:41-44.

Lydnad

Hur knns det att tjna en ny herre istllet fr synden? P vilket stt r Jesus en bttre herre n de diktat och lustar som vra gamla liv var fyllda av och den tid vi levde utan Honom?

Mysteriet: Lt Gud Vara Gud

Det finns mnga som frnekar Jesus Kristus gudomlighet eller mnsklighet och p det sttet frvrnger Den Heliga Skriftens lror. De brjar nstan alltid med den frutsttningen att inkarnation r absurd eller logiskt motsgande. Detta r helt enkelt felaktigt. Det finns inget motsgande i pstendet att Jesus var svl Gud som mnniska, att Han var bda samtidigt. Vi har inte psttt att Hans mnskliga vsen var gudomlig och mnsklig p en och samma gng och p ett och samma stt, inte heller har vi sagt att Hans gudomliga vsen r svl mnsklig och gudomlig p en och samma gng, eller p ett och samma stt, d skulle vi sjlva vara en motsgelse. Det som vi pstr r att i Kristus en och samma person finns tv vsen, en mnsklig och en gudomlig. Dom bibliska bevisen krver en sdan definition. Medan inkarnationen inte r logiskt motsgande, r den exakta relationen mellan Hans gudomliga och mnskliga vsen en gta och kommer s alltid att frbli. Bara fr att vi inte fullstndigt kan frklara visa saker betyder inte att de r motsgande, det betyder bara att vi inte kan frst tillrckligt bra sanningen, och drmed penetrera mysteriet (1 Timotheus 3:16; jmfr grna med Romarbrevet 11:33-36)

Related Topics: Christology

4. Den Helige Anden: Envldig Herre och Livgivare

Inte genom ngon mnniskas styrka eller kraft skall det ske, utan genom min Ande, sger Herren Sebaot (Sakarja 4:6).

Meditation: Den Gud som ger liv!

Andens Verkan r Ett Infriande Av Det Gamla Testamentets Lfte

    1. Ls Genesis 12:1-3. Vad var det som Gud lovade att gra fr Abraham och hans avkomma?

    2. Vem var det som skulle ta emot vlsignelserna i Gen. 12:1-3? Gr grna en jmfrelse mellan Apostlagrningarna 1:8; 3:25 och Galaterbrevet 3:29

    3. Ls Samuel 7:12-16. Hur lnge kommer Gud att upprtthlla Davids kungarike och hans kungatron? Vad symboliserar en kungatron?

    4. Anteckning: Fr att lftet ska uppfyllas fr den framtida israeliten s mste han hrstamma frn Judah, och i synnerhet frn David . Frga: Om vlsignelserna i Genesis 12:1-3 var avsedda att vara universella och Davids kungatron i 2 Sam 7:12-16 skulle bli upprttad fr alltid, vad finns det d fr samband, tycker du mellan de tv? Ls grna Apostlagrningarna 13:23 och Romarbrevet 1:3-4.

    5. Gud lovade att gra Abraham och hans avkomma till ett stort folk och genom de skulle alla slkter p jorden bli vlsignade. Gud bestmde sig fr att utveckla det lftet genom alla Israels kungar som lydigt och med gudsfruktan styrde folket. Men Israel som alla folk, var olydig. I denna situation dyker det upp en svar frga, nmligen hur skulle Gud kunna uppfylla sitt lfte (till ett syndigt folk) och vlsigna hela vrlden?! (Hebreerbrevet 8:7-8a). Svaret r Det Nya Frbundet. Ls Jeremia 31:31-33. Vad r det fr uttryck som Gud anvnder fr att beskriva sitt nya lfte? Vad betyder uttrycket frbund ?

    6. Det nya frbundet innehller mnga nrliggande lften. Vad var det Gud lovade angende Lagen i Jeremia 31:32-33? Angende Sitt folk? Angende kunskapen om Honom? Angende syndarnas och elakhetens frltelse?

    7. Det Nya Frbundet i Hezekiel blandar in Anden. Ls grna Hezekiel 36:27. Hur kommer Gud att gr det mjligt fr oss att lyda p Honom?

    8. Ls Lukas 22:19-20. P vilka grunder har Gud etablerat Det Nya Frbundet? Jmfr grna med Hebreerbrevet 9:15-22.

    9. Ls Apostlagrningarna 2:32-33. Denne, nmligen Jesus, har Gud ltit uppst och vi kan alla vittna om det. Gud har upphjt Honom med Sin hgra hand, och sedan Han enligt lftet, tagit emot Den Heliga Anden av Fader, har Han nu utgjutit Den, s som ni hr ser och hr. Jmfr grna 2 Korinthierbrevet 3:6, med 7-18. Han regerar nu enligt det infriade lftet som David fick, delar ut Anden som ett infriande av det lfte Gud gav till Jeremia och Hezekiel och gr det s universellt ( till alla som tror, inte bara judar ) allt som ett infriande av det lfte Gud gav till Abraham.

    10. Ls 1 Peter 2:4-10. Hur relaterar detta avsnitt till temat att vi r Guds folk och att Han r vr Gud som vi kan lsa i Jeremia 31:33?

    11. Ls 1 Korinthierbrevet 12:13. P vilket stt kommer vi att ing i Guds nya folk och hur refererar man till det? Ls Efesierbrevet 2:22 ocks. P vilket stt refererar Paulus till kyrkan?

Gamla Testamentets lften angende Andens kommande

Lftet i Genesis 12:1-3 visar p Guds plan till att vlsigna alla nationerna genom Abraham och hans avkomma. I 2 Samuel 7:12-16 och i Apostlagrningarna 13:22-23 kan vi se att infriandet av det lfte som Abraham fick innehller ocks infriandet av ett annat lfte nmligen det som David fick och som handlar om en framtida kung och kungarike. Vi har redan sett att frfattarna till Det Nya Testamentet pstod att Jesus genom sin dd, teruppstndelse och upphjning till himmeln redan har infriat det lftet. Det r hr vi terigen kan se infriandet av det lfte som ingick i det Nya Frbundet dvs. genom den upphjde Jesus blev Den Helige Anden utdelad till alla troende. Det som vi ville understryka i den hr texten, r att Andens kommande, hnger mycket nra ihop med Jesus kommande och Guds plan om vlsignandet av hela vrlden.

Andens Verkan Skall Man Alltid Frst i Relation till Treenighetens Verkan

    1. Ls Efesierbrevet 1:3-11 Vad r det fr ord som Paulus anvnder sig av i vers 3 fr att beskriva vad Gud har gjort fr oss i vr frlsning?

    2. Vad gr Fadern fr att trygga vr frlsning i vers 4? Nr har valet gjorts?

    3. Vad gr Sonen fr att trygga vr frlsning (v.7)? Ledtrd: Vad hnvisar Kristus Blod till i Kolosserbrevet 1:21-22? Vad r det fr budskap som Kolosserbrevet 1.21-22 och Jeremia 31:33 har gemensamt?

    4. Vad gr Anden fr vr frlsning (v. 13-14)?

    5. Ls Efesierbrevet 1:4 och Romarbrevet 8:29. Vilket spirituellt och etiskt ml har Gud valt oss fr? Romarbrevet 8:30 och Kolosserbrevet 3:9-10.

Andens Verkan Genom Kristi Frhrligande och Vrt Bemyndigande

    1. Ls Titus 3:5. Vad r det som Anden gr i brjan av vr frlsning? Johannes 3:5-8; Johannes 7:37-39.

    2. Ls 1 Korinthierbrevet 3:16; 6:19-20 och Romarbrevet 8:9. Var ngonstans kommer Anden att vistas? Enligt Korinthierbrevet 3:16 finns Anden inom oss alla. P vilket stt refererar Paulus till alla troende betrffande uttalandet i Korinthierbrevet? P vilket stt relaterar detta till Det Gamla Testamentet och Hesekiel 36:27?

    3. Vi sg i de frgende raderna att Anden ger liv och bor fr alltid inom oss. Med ovanstende i tanke, undrar vi om vilken Andens huvudsakliga verkan skulle kunna vara fr oss troende, enligt Johannes 16:13-14?

Andens Verkan och Dess Uppgift Att Frvandla Oss

    1. Ls Korinthiebrevet 3.18 (och Filipperbrevet 1:19). Enligt det syftet vi blev utvalda fr och Sonens dd, vad r Andens slutml i de frra passagerna? Vad r det fr ord som Paulus anvnder fr att beskriva Andens arbete (verkan hr)? Frklara grna ordets betydelse?

    2. Ls Romarbrevet 8:1-17. P vilket stt beskriver Paulus vr frvandling i vers 13 (och andra verser i Romarbrevet 8)?

    3. Ls Galaterbrevet 5:16-26. Skulle vi som troende och som lskar vr Herre frvnta oss konflikter under vr frvandlingsprocess att likna Kristus? Frklara grna relationen mellan Andens frukt och Guds syfte med att vlja ut och kalla p oss? (Efesierbrevet 1:4).

    4. Ls Efesierbrevet 4.30. P vilket stt kommer vra synder p kollisionskurs med den Helige Anden som frvandlar oss? Det r sjlvklart att alla synder leder fram till denna konsekvens, men vad r det fr synd som Paulus koncentrerar sig srskild p i vers 29, 31? Jmfr grna med 1 Thessalonikerbrevet 5:19.

    5. Ls Efesierbrevet 5:18. Denna Passage verstts bttre med var fylld med Anden. Vilken r befallningen hr? Vem fyller oss? Med vad kommer vi att bli fyllda? Jmfr grna vers 1:23 med vers 3:18-19 i Efesierbrevet. Vilka r fljderna av att bli fylld med Anden som understryks i vers 5:19-21 och deras relation till heligheten som Gud har valt oss fr?

    6. Ls 2 Timotheosbrevet 1:7-8; 1 Korinthierbrevet 2:4-5; 1 Thessalonikerbrevet 1:5. P vilket stt mjliggr Anden fr oss att sprida Evangeliet till andra?

De Spirituella Gvorna Som Fljd Av Andens Verkan

    1. Ls Romarbrevet 12:1-8;1 Korinthierbrevet 12:7-11,27-21; Efesierbrevet 4:1-16, och 1 Petrus 4:10-11. Nmn ngra av Andens spirituella gvor.

    2. Vem r det som bestmmer ver dom olika gvorna och vem skall f dom, enligt 1 Korinthierbrevet 12:11?

    3. Varfr delar Anden ut gvor? Ls Efesierbrevet 4:12; 1 Korinthierbrevet 12.7.

    4. Ls Korintierbrevet 13:1-14:1. Vilket r det ideella sammanhanget som gynnar dom spirituella gvornas verkan?

Vr Framtidsfrskran Genom Andens Verkan

    1. Ls 2 Korintierbrevet 1:21-22; 5:5 och Efesierbrevet 1:13-14. P vilket stt refererar Paulus till Anden i dom hr passagerna?

    2. Hur relaterar vrt nuvarande gande av Anden till vertygelsen av vr framtid?

Meditation: Vad betyder detta fr mitt liv?

Behovet Av Att Tnka Konsekvent

Det finns alltid en direkt relation mellan Fader, Son och Andens verkan. Fadern vljer ut vissa mnniskor till att bli frlsta och Sonen dr fr att rdda dom. Anden ger nytt liv till alla dom som blev utvalda p grund av Sonens dd och teruppstndelse. P vilket stt kommer denna strre frlsningsstruktur att hjlpa dig att frst Andens verkan bttre och vad Gud gr i ditt liv just nu?

Att Frst den Inre Kampen

Vi vet att vr frlsning r s sker att Paulus redan d kunde prata om vr frhrligande i det frflutna ( ner vi kommer till himmeln och r fullndade)som om allt hade redan fullbordats (Romarbrevet 8:30). Det r som en uppgjord affr och det som terstr fr oss att gra r att vila i Treenighetens verkan. Men fr nuvarande r det stora besvr och ofta mycket smrta och lidande som prglar vra liv. Hur relaterar vi vr inre kamp till Den Helige Andens verkan? Varfr finns denna konflikt ibland? Vad kan vi gra i en sn situation?(Romarbrevet 8:13,26-27) Hur har vi hanterat livets svrigheter hittills?

Att Lra Knna Andens Makt

Vi fr aldrig tnka p Anden bara genom maktens givna ramar. Det r sant att det r Han som ger oss oerhrt stor spirituell makt till att dyrka Gud, att inse vra synder, att knna spirituell gldje, att tjna andra, och att dela med sig Evangeliet med vnliga ord och grningar. Vi fr allts aldrig reducera Treenighetens tredje person till vilken maktfaktor som helst! M det aldrig ske! Han r en gudomlig person som har till uppgift att frmedla Guds nrvaro Genom Kristus till oss .Hur relaterar vi detta till vr aktuella uppfattning om Anden och Hans verkan?

Att urskilja och anvnda vra spirituella gvor

Vilka r dina spirituella gvor? Varfr gav Gud dig dom gvorna? Hur kommer du att anvnda dom och till allas frdel? r din kyrka ett krleksfullt stlle dr man kan anvnda dessa gvor? Om inte, hur kan du d diskutera detta med ledarskapet?

Related Topics: Pneumatology (The Holy Spirit)

1. Johannes: Der Mann und das Evangelium

Einleitung

In so manchen wissenschaftlichen Kreisen würde diese Botschaft als nicht des Anhörens wert abgetan werden. Leon Morris zitiert A.M. Hunter folgendermaßen: „,Aus diesen und anderen Gründen würde kaum ein Wissenschaftler von Ruf in diesem Lande heutzutage sagen wollen, dass das Vierte Evangelium von dem Apostel Johannes geschrieben wurde.’“ 1

Die liberale Wissenschaft neigt zu der Ansicht, dass dieses Evangelium nicht von dem Apostel Johannes geschrieben wurde, sondern von einem anonymen Christen des zweiten Jahrhunderts, der „Jesus nie zu Gesicht bekommen hat“2. Wenn das wahr wäre – welchen Wert könnte dann die Beschäftigung mit dem Apostel Johannes für das Studium dieses großartigen Evangeliums haben? Ich würde Ihnen gerne erklären, warum ich denke, dass sie von großem Wert ist.

Um es gleich zu sagen: Ich glaube, dass das Johannes-Evangelium von dem Apostel Johannes geschrieben wurde3. Das Johannes der Autor dieses Evangeliums war, sollten wir aus verschiedenen Gründen akzeptieren: Es war dies die Überzeugung der Kirchenväter des zweiten Jahrhunderts, die diese Frage erstmals zur Sprache brachten4. Es war dies immer die Ansicht wahrhaft evangelikaler Wissenschaftler5. Morris sagt dazu: „Der fundamentale Grund für die Auffassung, dass der Apostel Johannes der Verfasser war, liegt darin, dass das Evangelium selbst es offenbar so sagt.“6

Wenn man in den vier Evangelien liest, stellt man fest, dass Matthäus den Apostel Johannes dreimal namentlich erwähnt, Markus zehnmal, Lukas siebenmal und Johannes überhaupt nicht. Johannes erwähnt allerdings die „Söhne des Zebedäus“ in Vers 21:2, und es gibt Anspielungen auf ihn selbst in den Versen 13:23, 18:15-16, 19:26-27, 20:1-10, 21:7, 20-23 und 24. Dass Johannes davon Abstand nimmt, sich selbst namentlich zu erwähnen, überrascht nicht im Geringsten. Ebenso wenig erwähnt er in seinem Evangelium ausdrücklich die „inneren Drei“ (Petrus, Jakobus und Johannes – siehe Markus 5:37, Matthäus 17:1, Markus 14:33). Von den vier Verfassern der neutestamentarischen Evangelien waren zwei (Markus und insbesondere Lukas) nicht bei unserem Herrn als einer Seiner 12 Jünger anwesend. Matthäus gehörte nicht zu den inneren Drei. Und so kann Matthäus zwar aus der Perspektive eines der „äußeren“ neun Jünger über den Dienst unseres Herrn schreiben, doch nur Johannes kann aus der Perspektive der inneren Drei bestimmte kritische Ereignisse beschreiben. So hat jedes Evangelium seinen eigenen Zweck, seine eigene Perspektive, seine eigenen Adressaten und seinen eigenen, einmaligen Beitrag.

Johannes: Der Mensch

Die Evangelien geben uns ein recht klares Bild vom Jünger Johannes. Um das Evangelium des Johannes zu verstehen, sollten wir die biographischen Züge berücksichtigen, die uns die Schrift über diesen Mann mitteilt.

Unsere erste Begegnung mit Johannes findet vielleicht in Johannes 1:35-40 statt. Da schaut Johannes der Täufer auf Jesus und erklärt: „Siehe, das Lamm Gottes!“ (Johannes 1:36, NET). Zwei der Jünger von Johannes verlassen ihn daraufhin sofort und schließen sich Jesus an. Der Name eines dieser beiden Männer, so wird uns gesagt, war Andreas (Vers 40), der andere Jünger von Johannes dem Täufer wird nicht namentlich genannt. Ich bezweifle, dass es Petrus war, der Bruder von Andreas, denn Andreas wird Petrus aufsuchen und darüber informieren, dass sie den Messias gefunden haben (Vers 40-42). Da Petrus und Andreas Partner von Jakobus und Johannes waren, ist durchaus die Möglichkeit gegeben, dass der Apostel Johannes der zweite Jünger von Johannes dem Täufer war. Interessanterweise lenkt das Johannes-Evangelium unsere Aufmerksamkeit gleich auf „Johannes den Täufer“, der im Johannes-Evangelium allerdings niemals mit diesem Titel genannt wird; er wird immer nur als „Johannes“ bezeichnet. Der Grund dafür mag sein, dass ihn der Apostel Johannes als sein vormaliger Jünger so gut kannte.

Als Nächstes lesen wir von dem Ruf an Johannes und seinen Bruder Jakobus, direkt nach dem Ruf an Petrus und Andreas (Matthäus 4:18-22, Markus 1:19). Jesus geht am Ufer des Galiläischen Meeres entlang. Er trifft zuerst auf Petrus und Andreas, zu denen er spricht: „Folgt Mir“, sagte Jesus zu ihnen, „und ich werde euch Menschen fischen lassen.“ (Markus 1:17). Als Nächstes trifft Er auf Jakobus und Johannes, die mit ihrem Vater im Boot sitzen und ihre Netze flicken. Er rief sie, und die zwei Brüder verließen sofort ihre Netze und folgten Ihm. Es scheint dies nicht das endgültige Verlassen und Folgen gewesen zu sein; das wird erst später geschehen. Es ist der Ruf, dass sie ihre Beschäftigung für eine Weile verlassen sollen, damit sie bei Ihm sein können. Johannes scheint einer der ersten gewesen zu sein, die unserem Herrn als Jünger gefolgt sind. Und wenn das so ist, dann war er von Anfang an bei Ihm.

Gemeinsam mit seinem Bruder Jakobus begleitete Johannes Jesus zum Haus von Simon Petrus und Andreas, wo Jesus Simons Schwiegermutter und anschließend noch viele andere Menschen heilte (Markus 1:29-31f). Gemäß Markus geschah dies, nachdem Jesus in der Synagoge von Kapernaum gelehrt hatte. Die Menschen, die Jesus hörten, waren erstaunt, denn im Gegensatz zu den Schriftgelehrten und Pharisäern lehrte Er mit Vollmacht (Vers 22, 27). Welche Vollmacht Jesus besaß, zeigte sich in Seiner Fähigkeit zu heilen und Dämonen auszutreiben. Und wenn irgendjemand die Vollmacht unseres Herrn bezeugen konnte, dann war es Johannes, der zusammen mit Petrus und Jakobus Zeuge von mehr Wundern aus der Hand unseres Herrn war als praktisch jeder andere Mensch.

Während der Zeit, die er mit dem Herrn verbrachte, wurde Johannes immer deutlicher bewusst, wie groß und überwältigend Jesus eigentlich war. In Lukas 5:1-11 gibt es einen Quantensprung in Johannes’ Verständnis von Jesus. Jesus hatte zu der Menge am See Genezareth (dem Galiläischen Meer) gesprochen. In der Nähe lagen zwei Boote, eines gehörte Simon und Andreas und das andere Jakobus und Johannes. Während Jesus lehrte, saßen die Männer in ihren Booten und wuschen ihre Netze, nachdem sie die ganze Nacht lang erfolglos gefischt hatten. Jesus sprach von einem der Boote aus, und dann wies er Petrus an, in tieferes Wasser hinauszufahren und die Netze zum Fang auszuwerfen. Petrus protestierte kurz, dann aber gab er nach und ließ die Netze herab, die anschließend einen großen Fang enthielten. Der Fang war so groß, dass er seine Partner Jakobus und Johannes zu Hilfe rufen musste (Vers 10), um die Netze einbringen zu können. Sie füllten ihre Boote, bis diese zu sinken begannen. Als er das sah, fiel Petrus zitternd vor unserem Herrn nieder mit den Worten: „Geh von mir weg, denn ich bin ein sündiger Mensch, Herr!“ (Vers 8). Das Gleiche taten, so sagt der Text uns auch, Petrus’ Partner, Jakobus und Johannes. Die Worte Jesu: „Fürchte dich nicht, von nun an wirst du Menschen fangen.“ richteten sich an alle drei Männer, nicht nur an Petrus (siehe Vers 10). Und Johannes war auf dem Weg, die Erhabenheit und Macht Dessen zu verstehen, dem er folgen würde.

Johannes wurde von unserem Herrn erwählt, dass er zu den Zwölfen gezählt würde (Matthäus 10:1ff., Markus 3:13-19, Lukas 6:12-16). Markus berichtet uns, dass Jesus zu dieser Zeit Jakobus und Johannes den Beinamen „Donnersöhne“ gab (Markus 3:17). Das passt definitiv zu dem, was wir an anderer Stelle von den beiden zu sehen bekommen. Diese beiden Kerle waren eine altertümliche Ausgabe der Filmstars John Wayne und Clint Eastwood – sie waren ein ungeschliffenes und ungeschlachtes Paar. Johannes scheint nicht so viel geredet zu haben wie Petrus, aber er war eindeutig jemand, der sich behaupten konnte. Er war vom kräftigen, ruhigen Schlag, von der Art Mensch, die man besser nicht gegen sich aufbringt.

Johannes war einer der „inneren drei“ Jünger unseres Herrn. Nur Petrus, Jakobus und Johannes war es erlaubt, Jesus in das Haus des Synagogenvorstehers zu begleiten, dessen Tochter gestorben war, noch bevor Jesus dort ankam (Markus 5:35-43, Lukas 8:49-56). Hier wurde Johannes offensichtlich Zeuge von der Macht unseres Herrn über den Tod.

Johannes war, gemeinsam mit Jakobus und Petrus, anwesend bei der Verklärung Jesu (Matthäus 17:1ff., Markus 9:2ff., Lukas 9:28ff.). Hierbei bekam Johannes einen Vorgeschmack auf den Ruhm unseres Herrn und Seines Königreiches. Während Petrus bei dieser Gelegenheit keine Hemmungen hatte zu sprechen, scheint Johannes stumm geblieben zu sein; vielleicht weil es ihm vor Staunen über das, was er zu sehen bekam, die Sprache verschlagen hatte.

Johannes war es, der bekannte, dass sie einem Mann begegnet wären, der in Jesu Namen Dämonen austrieb, und ihm verboten hätten, so etwas noch einmal zu tun (Markus 9:38, Lukas 9:49). Johannes und andere (zu denen zumindest Petrus und Jakobus gehört haben müssen) hatten irgendwie angenommen, dass ihnen das „Jesus-Franchise“ gehörte und sie daher das Recht hätten, andere bei Taten in Seinem Namen zu lizenzieren oder zu behindern. Jesus widersprach ihnen und fuhr fort mit der Mahnung, „die Kleinen nicht sündigen [straucheln] zu machen“.

Jakobus und Johannes waren es, die Jesus um Erlaubnis baten, Feuer vom Himmel herabzurufen und „den Ort abzufackeln“, als einige Samariter Jesus nicht in ihr Dorf kommen lassen wollten (Lukas 9:54). Die beiden Brüder waren bereit und willens, Gottes Macht einzusetzen, um die Heiden zu bestrafen.

Zu einem äußerst unangemessenen Zeitpunkt bat Johannes, gemeinsam mit seinem Bruder Jakobus, um eine herausragende Position in Seinem künftigen Königreich (Markus 10:35). Als Jesus auf dem Weg nach Jerusalem war, erzählte Er Seinen Jüngern, dass Er dort in Kürze zum Tode verurteilt werden würde (Markus 10:32-34). Jetzt, wo die Zeit zu sterben für unseren Herrn näher rückt, zieht Er Seine Jünger ins Vertrauen und erzählt ihnen, was geschehen wird. Aber es ist, als hätten Jakobus und Johannes überhaupt nicht gehört, was Jesus gesagt hatte. Sie nahmen Jesus beiseite und baten Ihn im Geheimen, dass Er ihre Forderung nach einer herausragenden Position in Seinem Königreich erfüllen und sie über die anderen Jünger stellen möge. Die anderen Jünger waren natürlich erzürnt. Jakobus und Johannes wussten überhaupt nicht, worum sie da baten oder worin die wahre Jüngerschaft eigentlich bestand.

Gemeinsam mit Andreas baten Petrus, Jakobus und Johannes Jesus, als sie mit ihm allein waren, ihnen Einzelheiten über die letzten Tage zu enthüllen (Markus 13:1-4). Jesus und Seine Jünger waren in Jerusalem, und die Jünger waren vollkommen perplex über die Schönheit des Tempels. Jesus mahnte sie, ihr Herz nicht zu sehr an den Tempel zu hängen, da er zerstört werden würde. Die zwei Bruderpaare warteten, bis sie Jesus alleine sprechen konnten, und baten Ihn dann, ihnen „Insider-Informationen“ darüber zu geben, was wann geschehen würde. Tatsächlich bekümmerte sie weniger, „was“ geschehen würde, als „wann“ es geschehen würde. Das „Was“ hatten sie schon herausbekommen, so dachten sie, und müssten jetzt nur noch wissen, „wann“. Ihr Versuch, ohne die anderen geheimes Wissen von Jesus zu erlangen, war auch nur wieder der Wunsch, die Nase vorn zu haben. Es hat immer Menschen gegeben – und wird sie auch immer geben –, die prophetisches „Insider-Wissen“ zu erlangen suchen, das andere nicht haben. Manche Menschen brauchen solches Insider-Wissen, um sich den anderen überlegen zu fühlen.

Als Jesus zwei Seiner Jünger aussandte, um Vorbereitungen für das Passahfest zu treffen, war der eine davon Johannes und der andere war Petrus (Lukas 22:8). Diese beiden (die im Buch der Apostelgeschichte so viel Zeit miteinander verbringen) waren, so scheint es unter anderem, die zuverlässigsten Jünger. Judas konnte man diese Aufgabe gewiss nicht zutrauen. Es gab eine gewisse Geheimniskrämerei um den Ort ihres Versammlungsraumes, doch den beiden Männern gelang es, ihn so zu finden, wie Jesus es angekündigt hatte. Die Art, wie Jesus die beiden informierte und instruierte, hatte fast etwas Prophetisches, und so konnten sie die Vorbereitungen für die Passah-Feierlichkeiten treffen, ohne dass Judas erfuhr, wo sie sein würden.

Johannes war wohl „der Jünger, den Jesus liebhatte“ in Johannes 13:23 und derjenige, der während der Passahfeier an Jesu Brust lag. Jesus und Seine Jünger befanden sich dem Obergemach und feierten das Passahmahl. Während des Mahles sagte Jesus den Jüngern, dass einer von ihnen Ihn verraten würde. Die Jünger trauten ihren Ohren kaum. Sie hatten keine Ahnung, wen Er da als Seinen Verräter bezeichnete. Petrus war mit Johannes eng befreundet. Die beiden waren nicht nur Partner beim Fischen, sondern anscheinend auch enge Freunde. Anscheinend muss wohl Johannes der gewesen sein „den Jesus liebhatte“ (Vers 23), der an seiner Brust lehnte und dem Petrus Zeichen gab in der Hoffnung, dass Johannes mehr Einzelheiten aus Jesus herausbringen würde.

Johannes war, gemeinsam mit Petrus und Jakobus, dabei, als unser Herr im Garten von Gethsemane Todesangst erlitt (Markus 14:33).

Nachdem unser Herr verhaftet worden war, folgte Petrus Jesus gemeinsam mit „einen anderen Jünger“, bei dem es sich wohl um Johannes handelte. Dieser „andere Jünger“ war es, der dem Hohepriester bekannt war und daher den Hof des Hohepriesters betreten und Petrus dabei mit sich nehmen durfte (Johannes 18:15-16).

Als unser Herr am Kreuz hing, stand der „Jünger, den Jesus liebhatte“ am Fuße des Kreuzes. Vom Kreuz herab legte Jesus die Fürsorge für Seine Mutter in die Hand dieses Jüngers. Es scheint doch fast unbedingt so, dass dieser Mann Johannes gewesen sein muss (siehe Johannes 19:26-27).

Johannes war einer der ersten, die das leere Grab sahen und glaubten, dass Jesus tatsächlich von den Toten auferstanden war (Johannes 20:1-10). Nachdem Jesus gekreuzigt, begraben und auferweckt worden war, kam Maria am frühen Morgen des ersten Tages der Woche zum Grab. Als sie feststellte, dass der Stein davor schon weggenommen worden war, lief sie zu Petrus und „den anderen Jünger, den Jesus liebhatte“, um ihnen davon zu berichten. Der“andere Jünger“ (Johannes) rannte noch schneller als Petrus und erreichte das leere Grab als Erster. Er schaute hinein, sah die Leinentücher, aber betrat das Grab nicht. Als Petrus (keuchend und schnaufend, stelle ich mir vor) ankam, polterte er stracks hinein und sah die Grabtücher sauber geordnet, aber ohne den Leib des Herrn. Johannes betrat das Grab, beurteilte die Lage und glaubte. Johannes war nicht nur einer der ersten, die Zeuge der Auferstehung wurden, sondern er war der erste überhaupt, der daran glaubte.

Johannes scheint der „andere Jünger“ gewesen zu sein, an dessen Zukunft Petrus nach der Auferstehung unseres Herrrn so unangemessen interessiert ist (Johannes 21:20-23). In Johannes 21 lesen wir von den Worten, die unser Herr an Petrus richtete, und von der dreimaligen Frage: „Hast du Mich lieb?“ Nachdem unser Herr Petrus beauftragt hat, Seine Schafe zu weiden, sagt er ihm, dass er gegen seinen Willen fortgeführt werden wird, eine verhüllte Prophezeiung seines Todes als Märtyrer. Sofort schaut Petrus in Richtung „des Jüngers, den Jesus liebhatte“ und fragt: „Was ist mit ihm?“ Unser Herr erwiderte Petrus, dass ihn das nichts anginge. Manche Menschen haben unseren Herrn wohl irrtümlich so verstanden, dass Er sagen wollte, dieser „andere Jünger“ würde bis zur Wiederkunft des Herrn leben. Der Apostel Johannes korrigiert diese falsche Vorstellung und fährt dann fort, indem er sagt, dass eben dieser Mensch Zeuge dessen gewesen sei, was in diesem Evangelium aufgezeichnet ist, und dass er auch dessen Autor sei (Johannes 21:23-24). Dieser „andere Apostel“ ist der, den Jesus liebhatte, der beim Passahmahl an Jesu Brust lag und der das Johannesevangelium schrieb. Bei diesem „anderen Apostel“ handelt es sich fast mit Sicherheit um Johannes.

Johannes ist uns nicht zum letzten Mal begegnet, wenn wir an das Ende der Evangelien gelangt sind, denn Johannes und Petrus sind (neben Paulus) die dominanten Figuren der Apostelgeschichte. Johannes ist einer der Jünger, die sich im Obergemach versammelten (Apostelgeschichte 1:13). Er begleitet Petrus zur Stunde des Gebets auf dem Weg in den Tempel und hat so Teil an der Heilung des Lahmen (3:1ff). Johannes und Petrus werden verhaftet und von den Sadduzäern angewiesen, Christus nicht mehr zu predigen, doch sie weigern sich und beharren darauf, dass sie Gott mehr gehorchen müssen als den Menschen und daher verkündigen müssen,dass Jesus von den Toten auferweckt worden sei (4:1-22). Als das Evangelium in Samaria verkündet wird und viele zum Glauben kommen, werden Petrus und Johannes dorthin gesandt; und als sie den neuen Gläubigen die Hand auflegen, empfangen diese den Heiligen Geist, ebenso wie die Apostel selbst an Pfingsten (8:14-17). Jakobus, der Bruder des Johannes, wurde von Herodes getötet, und dieser beabsichtigte auch Petrus zu töten. Gott aber befreite Petrus, so dass der die Predigt des Evangeliums fortsetzen konnte (12:1ff.).

In Galater 2:9 bezeichnet Paulus Johannes als eine der „angesehenen Säulen“ der Gemeinde in Jerusalem. Johannes ist natürlich der Verfasser der Johannes-Briefe (Johannes 1, 2 und 3) und des Buches der Offenbarung. Dieser Mensch, der einst im Johannes-Evangelium „an Jesu Brust lag“, ist derselbe, der im Buch der Offenbarung „wie ein Toter“ zu den Füßen seines auferstandenen und verherrlichten Herrn niederfiel (Offenbarung 1:17).

Was wir aus dem Leben des Johannnes lernen können

Der „Johannes der Apostelgeschichte“ unterscheidet sich stark vom „Johannes der Evangelien“. Die Veränderungen, die wir feststellen, liegen nicht an Johannes selbst, sondern an seinem Gott. Manche Bereiche in Johannes’ Leben treffen auch auf uns zu, und wir tun gut daran sie zu bedenken. Erlauben Sie mir, einige Lehren mit Ihnen zu teilen, die wir aus dem Leben des Johannes ziehen können.

Erstens: Johannes’ Leben veranschaulicht die Gnade Gottes. Aus dem, was wir in den Evangelien über Johannes erfahren, können mit ausreichender Sicherheit sagen, dass unser Herr ihn deswegen auserwählte, weil er so viele gute Eigenschaften besessen hätte. Johannes hatte als Fischer keinen gesellschaftlichen Status und war auch, selbst nach den Maßstäben seiner Tage, kein gebildeter Mensch (siehe Apostelgeschichte 4:13). Bestimmt besaß er keinerlei Eigenschaften oder Bildung, die die Schriftgelehrten und Pharisäer beeindruckt hätten. Er war ein impulsiver Typ, ein „Donnersohn“. Er wird nicht als eine anziehende Persönlichkeit oder als ein charismatischer Führer beschrieben. Er war egozentrisch und selbstsüchtig, ein Opportunist, der ohne Zögern darauf aus war, seine Kameraden zu übertrumpfen. Dass unser Herr Johannes auswählte, ist Zeugnis für die Gnade Gottes. Der Apostel Paulus fasst das recht gut zusammen mit den Worten:

26 Bedenkt die Umstände eurer Berufung, Brüder und Schwestern. Nur wenige waren weise nach menschlichen Maßstäben, nur wenige waren mächtig, nur wenige gehörten zur Oberschicht. 27 Aber Gott erwählte, was die Welt für töricht hält, um die Weisen zu beschämen, und Gott erwählte, was die Welt für schwach hält, um die Starken zu beschämen. 28 Gott erwählte, was niedrig und verachtet ist in der Welt, was als Nichts erachtet wird, und ließ außer Acht, was als Etwas erachtet wird, 29 damit sich niemand in seiner Gegenwart rühmen kann. 30 Er allein ist der Grund dafür, dass ihr Gemeinschaft habt mit Christus Jesus, der für uns zur Weisheit von Gott geworden ist, und zur Gerechtigkeit und Heiligung und Erlösung, 31 damit es so sei, wie es geschrieben steht: „Wer sich rühmt, der rühme sich im Herrn“ (1. Korinther 1:26-31).

Wer hätte sich je vorstellen können, dass dieser ungeschlachte und ungeschliffene Fischer zum Apostel der Liebe werden würde? Wenn Gott einen Menschen wie den „Johannes des Evangeliums“ in den „Johannes“ verwandeln kann, der uns später im Neuen Testament begegnet, dann kann Er gewiss auch uns transformieren.

Zweitens: Johannes’ Leben veranschaulicht die göttliche Souveränität. Wir sehen die Souveränität Gottes in Seinem Beschluss, Johannes zu erretten und zu einem der Zwölf zu machen, und darin, dass Er ihn erwählte, einer der inneren Drei (Petrus, Jakobus und Johannes) zu werden. Wir können die Souveränität Gottes insbesondere erkennen, wenn wir Johannes seinem Bruder Jakobus gegenüberstellen. Die beiden Brüder wuchsen in derselben Familie auf und wurden durch dieselben Erfahrungen geformt. Beide Brüder folgten Jesus über denselben Zeitraum nach, und beide gehörten zum Kreis der inneren Drei. Trotz all dieser Ähnlichkeiten aber war Jakobus der erste, der als Märtyr um Christi willen starb; Johannes dagegen scheint als letzter der Zwölf gestorben zu sein. Jakobus schrieb kein einziges Buch des Neuen Testaments; Johannes schrieb fünf davon. Wie kann man das erklären? Ich weiß nicht, ob man es überhaupt erklären kann, aber man kann es als Veranschaulichung der göttlichen Souveränität akzeptieren. Gott wirkt nicht auf die Art, wie Menschen es erwarten. Gott erhebt den einen und erniedrigt den anderen. Gott ist souverän.

Drittens: Ich sehe im Leben des Johannes die Veranschaulichung von Gottes Liebe, die in diesem Evangelium7 und in den Johannes-Briefen ein herausragendes Thema darstellt. Johannes bezeichnet sich häufig als „der Jünger, den Jesus liebhatte“ (13:23, 20:2, 21:7,20). Ob Sie es glauben oder nicht: Einige Wissenschaftler denken, dass das eines der stärksten Argumente sei, die man gegen Johannes als den Autor des Evangeliums vorbringen kann. Morris schreibt: „Der stärkste Einwand gegen diese Identifikation ist meiner Meinung nach die Vorstellung, dass ein Mann wahrscheinlich nicht von sich selbst als dem ‚Jünger, den Jesus liebhatte’, sprechen würde. Dem stimme ich zu.“8 Für manche mag das vielleicht der stärkste Einwand gegen die Autorschaft des Johannes sein; ich aber halte es für einen ausgesprochen bemerkenswerten Titel, den Johannes sich selbst verliehen hat. Welcher Nachruf könnte besser sein, als bekannt zu sein als ein Mann, den Jesus liebhatte? Wenn David ein Mann nach Gottes Herzen war, so sah sich Johannes als einen Mann, den das Herz Gottes gesucht hatte.

„Liebe“ ist eines der großen Themen der Bibel und ganz bestimmt das Thema des Johannes-Evangeliums. In der New King James Version erscheint das Wort „Liebe“ in irgendeiner Form 57mal innerhalb des Johannes-Evangeliums. Kein Wunder, dass Menschen vom Studium des Johannes-Evangeliums mit dem überwältigenden Gefühl aufstehen, von Gott „geliebt“ zu sein: „In diesem Evangelium wird die Liebe Gottes in dramatischer Weise durch Jesus Christus vermittelt – so sehr, dass Karl Barth der Kommentar zugeschrieben wird, die tiefste Wahrheit, die er je gehört habe, sei ‚Jesus liebt mich, wissen wir, / denn die Bibel sagt es mir’“9.

Vor einigen Jahren nahm ich aktiv an den Gefängnis-Gottesdiensten der Prison Fellowship teil. Ein Seminar führte ich in einem Hochsicherheitsgefängnis in Texas durch. Das war ein ziemlich hartes Gefängnis. In einer Pause kam einer der Insassen zu mir und sagte, er habe gehört, dass einige der Freiwilligen, die das Seminar gestalteten, selbst ehemalige Verbrecher seien. Er fragte, ob es möglich wäre, dass einige dieser Ex-Verbrecher während des Seminars Zeugnis ablegten. Ich hielt das für eine großartige Idee und fragte die Freiwilligen, ob irgendjemand Zeugnis ablegen wollte. Einer von ihnen erzählte die folgende Geschichte, die ich so gut wiedergebe, wie ich mich an die Einzelheiten erinnern kann:

Ich saß vor einigen Jahren selbst in diesem Gefängnis. Ich war Mitglied einer Motorrad-Gang und lebte mit anderen Mitgliedern der Gang in einem Haus zusammen. Im Gefängnis war ich, weil ich ein Motorrad gestohlen hatte. Mein Leben lief überhaupt nicht gut, und dann sagte mir jemand, dass ich die Bibel lesen sollte. Also holte ich mir eine – na ja, eigentlich stahl ich mir eine. Ich begann die Evangelien zu lesen. Als ich von der Person Jesus Christus und Seiner Liebe las, war ich so überwältigt, dass ich zu weinen anfing. Ich weinte so laut, dass ich zum Lesen ins Badezimmer gehen musste, wo ich die Dusche aufdrehen konnte, um das Geräusch vom Weinen zu überdecken. ...

Irgendetwas in den Evangelien zieht Männer und Frauen zu unserem Herrn hin. Die Jünger, die Ihn sagen hörten „Folge mir nach“ konnten nicht anders als Ihm zu folgen. Männer und Frauen, die sich schändlicher Sünden schuldig gemacht hatten, näherten sich Ihm in der Gewissheit, dass Er sie irgendwie nicht zurückweisen würde, und sie spürten, dass Er gekommen war, um ihnen zu vergeben. Ich glaube, dass ein wesentlicher Teil dieser magnetischen Anziehungskraft, die Männer und Frauen zu unserem Herrn hinzog, Seine Liebe war.

Ich glaube, eines der Dinge, die Johannes überwältigten, war die Liebe, die Jesus für ihn hatte. Wie Karl Barth glaubte Johannes „Jesus liebt mich, wissen wir ...“. Das war mehr als genug auch für Johannes. Und deshalb bezeichnete sich Johannes mit dem Begriff, der ihm am meisten bedeutete. Johannes wusste, er war „der, den Jesus liebhatte“, und das genoss er. Welches Etikett wäre Johannes lieber gewesen als dies: „der, den Jesus liebhatte“? Wie kann man nur aus der Tatsache, dass Johannes in dieser Weise von sich spricht, ein Problem machen? Bei dem Gedanken wird mir regelrecht schwindlig, dass irgendjemand der Ansicht sein kann, die Tatsache, dass Johannes so von sich spricht, könne ein Argument gegen seine Autorschaft an diesem Evangelium sein.

Es gibt im Johannes-Evangelium eine bestimmte Stelle, die ich besonders mag:

Kurz vor den Passah-Feiern erkannte Jesus, dass die Zeit für ihn gekommen war, aus dieser Welt hinweg zum Vater zu gehen. Er hatte die Seinen, die in der Welt waren, geliebt, und nun liebte er sie bis zum Ende (Johannnes 13:1)10.

Andere Versionen lauten folgendermaßen:

Es war kurz vor den Passah-Feiern. Jesus erkannte, dass die Zeit für ihn gekommen war, diese Welt zu verlassen und zum Vater zu gehen. Er hatte die Seinen, die in der Welt waren, geliebt und zeigte ihnen nun das volle Ausmaß seiner Liebe (NIV).

Es war vor dem Passah-Fest. Jesus erkannte, dass seine Stunde gekommen war und er diese Welt verlassen und zum Vater gehen musste. Er hatte die Seinen, die in der Welt waren, immer geliebt und würde nun das volle Ausmaß seiner Liebe zeigen (New English Bible).

Es war vor dem Fest des Passah, und Jesus erkannte, dass die Stunde für ihn gekommen war, da er von dieser Welt zum Vater hinübergehen solle. Er hatte die, die in dieser Welt waren, immer geliebt, nun aber zeigte er, wie vollkommen seine Liebe war (New Jerusalem Bible).

Das volle Ausmaß der Liebe unseres Herrn zeigte sich am Kreuz von Golgatha. Dort nahm Er die Sünden der Welt auf Sich. Dort trug Er den Zorn Gottes für unsere Sünden. Hast Du diese Liebe schon persönlich erfahren und Seinen Opfertod für Deine Sünden angenommen? Ich bitte Dich dringend: Setz Dich einfach hin und lies dieses wunderbare Johannes-Evangelium durch. Spüre die Liebe, die Gott Dir in Christus entgegenbringt, und empfange sie, indem Du an Ihn glaubst. Es gibt keine größere Liebe. Es gibt kein größeres Geschenk als das Geschenk der Errettung in Jesus Christus.

Johannes: Das Evangelium

Ich war Trompeter in unserer Highschool-Band, die häufig bei Umzügen mitmarschierte, und wir hatten einen Posaunenspieler namens Pete, der peinlich berechenbar war. Wann immer jemand ein Foto von der Band machte: Pete war darauf aus dem Gleichschritt. Er geriet immer aus dem Schritt. Nicht dass er sich nicht bemühte, was glauben Sie! Er wusste nicht nur, dass er aus dem Schritt geraten war, sondern er versuchte auch andauernd, wieder in den Schritt zu kommen. Und so vollführte er in dem Versuch, seine Füße mit der Musik und mit denen der anderen Band-Mitglieder zu synchronisieren, ständig eine merkwürdige Art von Shuffle. Aber wenn er mit dem Shuffle fertig war, war Pete schon wieder aus dem Schritt.

Eine Reihe von Wissenschaftlern scheinen Johannes und sein Evangelium so ähnlich anzusehen wie meinen Freund Pete – aus dem Schritt geraten. Einige Wissenschaftler sagen etwa, dass das Evangelium des Johannes nicht im Gleichschritt ist mit den drei anderen Evangelien – Matthäus, Markus und Lukas. Diese drei Evangelien werden oft als die Synoptischen Evangelien bezeichnet, weil diese Evangelien das Leben Christi prinzipiell aus der gleichen Perspektive betrachten. Johannes geht dagegen geht an das Leben und den Dienst unseres Herrn ganz anders heran. Einige dieser Unterschiede und die Auswirkung, die sie auf unser Studium des Johannes-Evangeliums haben, würde ich gerne herausstellen.

Was fehlt im Evangelium des Johannes?11

Man kann das Evangelium des Johannes mit den synoptischen Evangelien vergleichen, indem man zunächst einmal das zu Rate zieht, was in den Evangelien übereinstimmt. Für diese „Übereinstimmungen“ stellt man die Ereignisse nebeneinander, die in allen vier Evangelien beschrieben werden. Wenn man dann Johannes mit den anderen drei (synoptischen) Evangelien vergleicht, entdeckt man, dass viele Elemente, die in den anderen Evangelien enthalten sind, bei Johannes nicht vorkommen. Ich will einige dieser „fehlenden“ Dinge hier benennen: Im Vergleich zu den synoptischen Evangelien enthält das Evangelium des Johannes nicht ...

  • die Genealogie von Jesus
  • einen Bericht über die Geburt unseres Herrn
  • irgendwelche Ereignisse aus der Kindheit unseres Herrn
  • die Taufe unseres Herrn
  • die Versuchung unseres Herrn
  • die Bergpredigt
  • den Bericht über die Zweifel von Johannes dem Täufer
  • irgendwelche Dämonenaustreibungen
  • irgendwelche Heilungen von Leprakranken
  • irgendwelche Gleichnisse unseres Herrn
  • einen Bericht über die Verklärung unseres Herrn
  • die Wahl und Aussendung der 12 oder der 70
  • irgendwelche eschatologischen (prophetischen) Reden
  • eine Wehklage über die religiösen Führer (vgl. Matthäus 23)
  • die Einsetzung des Abendmahls
  • einen Bericht über die Todesangst unseres Herrn im Garten von Gethsemane
  • die Verleihung der Großen Vollmacht
  • einen Bericht über die Himmelfahrt unseres Herrn

Was findet sich nur im Evangelium des Johannes?

Damit sich keiner jetzt beim Lesen des Johannes-Evangeliums übers Ohr gehauen fühlt, sollte ich Sie auch noch darauf hinweisen, dass es Vieles bei Johannes gibt, was man in keinem der anderen Evangelien findet. Erlauben Sie mir, hier einige der einmaligen Beiträge des Johannes-Evangeliums aufzuzählen. Nur im Evangelium des Johannes finden wir …

  • Jesus als den Schöpfer (Johannes 1)
  • Jesus als den „einzig gezeugten Sohn des Vaters“ (Johannes 1)
  • Jesus als das verheißene „Lamm Gottes“ (Johannes 1)
  • die Offenbarung Jesu als das große „Ich Bin“ (siehe die „Ich Bin“-Texte auf Seite 11)
  • wie Jesus Wasser in Wein verwandelt (Johannes 2)
  • Jesu Gespräch mit Nikodemus (Johannes 3)
  • Jesu Gespräch mit der Frau am Brunnen (Johannes 4)
  • Jesus und die überführte Ehebrecherin (Johannes 8)
  • die Erweckung des Lazarus von den Toten (Johannes 11)
  • wie Jesus den Jüngern die Füße wäscht (Johannes 13)
  • die Rede unseres Herrn im Obergemach (Johannes 14-17)
  • die Lehren Jesu über das Kommen des Heiligen Geistes (Johannes 14-16)
  • das hohepriesterliche Gebet Jesu (Johannes 17)

Insgesamt sind über 90% des Materials im Johannes-Evangelium spezifisch für dieses Evangelium12. Johannes vermied die unnötige Wiederholung von Dingen, die die anderen Evangelienschreiber schon mitgeteilt hatten, und möchte statt dessen seine Aufmerksamkeit dem widmen, was wir noch nicht erfahren haben. Es stellt sich heraus, dass das Evangelium des Johannes uns damit viele „Puzzle-Steine“ der Wahrheit präsentiert, die nicht nur über das hinausgehen, was wir an anderer Stelle erfahren, sondern auch dazu beitragen, dass wir besser verstehen können, was das, was wir anderswo in den Evangelien erfahren, eigentlich bedeutet.

Die Schwerpunkte des Johannes-Evangeliums

Es gibt bestimmte Schwerpunkte im Evangelium des Johannes, an die wir auch denken sollten, wenn wir mit dem Studium dieses großartigen Evangeliums beginnen. Johannes betont unter anderem …

  • den Dienst unseres Herrn in Jerusalem und Judäa, im Gegensatz zu Seinem Dienst in Galiläa
  • genauer die Zeitpunkte, insbesonderein Bezug auf die jüdischen Festtage
  • die Lehren Christi (wenn auch nicht die in Gleichnissen)
  • den „König“ mehr als „das Königreich Gottes“
  • Jesu private Gespräche mit einzelnen Menschen (Nikodemus, die Frau am Brunnen, Petrus)
  • Jesu Dienst an Seinen Jüngern
  • Jesu Lehre im Obergemach, insbesondere in Bezug auf das Kommen des Heiligen Geistes
  • die letzten 24 Stunden im Leben Jesu
  • Glaube13 und Unglaube14
  • „Mein Vater“ kommt 35 Mal vor, „Wahrlich, wahrlich“ (KJV) 25 Mal

Einige weitere Bereiche müssen im Hinblick auf ihre Betonung noch etwas näher untersucht werden. Beim ersten handelt es sich darum, wie Johannes vom Alte Testament Gebrauch macht. Man könnte meinen, dass Johannes das Alte Testament weniger wichtig nimmt, den er zitiert es seltener als jeder andere Evangelienschreiber – gerade einmal zehn Mal. Tatsächlich aber ist das Evangelium des Johannes durchdrungen von Bezügen zum Alten Testament, wie auch D.A. Carson sagt:

Obwohl Johannes vom Alten Testament nicht so häufig oder ausdrücklich wie Matthäus Gebrauch macht, tut er das doch (auch wenn es ihm so vorgeworfen wurde) nicht nur marginal; und das Johannes-Evangelium ist außergewöhnlich reich an feinsinnigen Bezügen auf das Alte Testament. Eines dieser Bezugsmuster besteht darin, wie Jesus alttestamentarische Gestalten und Einrichtungen ersetzen soll. Er ist der neue Tempel; er ist der, von dem Moses schrieb, er ist das wahre Brot vom Himmel, der wahre Sohn, der wahre Weinstock, das Tabernaculum [die Stiftshütte oder das Offenbarungszelt des Alten Testaments, Anm. d. Ü.], die Schlange in der Wüste, das Passahlamm. Obwohl es selten ausgesprochen wird, wirkt darin doch eine grundlegende Hermeneutik, eine Art, das Alte Testament zu lesen, die auf Jesus selbst zurückgeht15.

Ein zweiter wichtiger Schwerpunkt bei Johannes ist seine hochentwickelte Theologie. Paradoxerweise nehmen manche Menschen das als Argument dagegen, dass Johannes der Verfasser dieses Evangeliums wäre.

Viele meinen, dass die hochentwickelte Theologie von Johannes auf einen späteren Zeitraum hinweist.16

Das erinnert mich an einen Film, den ich vor Jahren als Lehrer einer sechsten Klasse meinen Schülern zeigte. Es ist schon eine ganze Weile her, aber ich glaube, der Titel des Films war „Das Geheimnis von Stonehenge“. Die entschlossenen Anhänger der Evolutionstheorie nahmen an, dass die Menschen der Urzeit primitiv gewesen sein mussten – gerade eben vom Baum heruntergestiegen, sozusagen. Als das erstaunliche Muster der Steine in Stonehenge entdeckt wurde, weigerten sich einige Wissenschaftler vehement dagegen zu glauben, dass dahinter irgendetwas Ausgeklügeltes stecken könnte. Primitive Menschen waren zu so etwas einfach nicht in der Lage. Je weiter aber Stonehenge untersucht wurde, umso mehr Menschen ergriff das Erstaunen darüber, wie diese Steine sich in Bezug zu den Himmelskörpern setzen ließen, vielleicht sogar in einer Weise, die sie zu einem einfachen Computer machte. Hüten wir uns also davor, dass unsere Sicht durch Vorurteile getrübt wird. Warum sollten wir eine primitive und unentwickelte Theologie erwarten, wenn Johannes mit der Inspiration des Heiligen Geistes schrieb?

Auch vom Inhalt her ist die Theologie des Johannes von Interesse. Er hat eindeutig bestimmte Doktrinen, die er seine Leser verstehen machen möchte. Die Christologie ist dabei ein Hauptgebiet und theologischer Schwerpunkt. In den synoptischen Evangelien sehen wir, wie die Göttlichkeit unseres Herrn den Jüngern allmählich immer mehr aufgeht. Am Anfang schauen sie den Reden und Handlungen Jesu mit großen Augen zu. In Lukas 5 (vgl. Vers 1-11) staunen Petrus, Jakobus und Johannes über das Wunder des großen Fischzugs. In Lukas 7 wird der verstorbene Sohn der Witwe von den Toten auferweckt (vgl. Vers 11-17). In Lukas 8 stillt Jesus den Sturm auf dem Galiläischen Meer, und die Jünger staunen (vgl. Vers 22-25). Den Wendepunkt stellt in den synoptischen Evangelien das große Bekenntnis des Petrus dar, dem die Verklärung unseres Herrn folgt. Bei Johannes gibt es keine derartige Spannung. Der Leser weiß schon und es wird ihm gleich zu Beginn des Buches gesagt, wer Jesus ist:

  • Er ist Gott, der Schöpfer des Universums, der keinen Anfang hat—1:1-3
  • Er ist Gott, der Fleisch geworden und als Mensch zu uns gekommen ist—1:14
  • Er ist weitaus größer als Johannes der Täufer, der größte Prophet—1:19-28
  • Er ist das Lamm Gottes, das die Sünde der Welt hinwegnimmt—1:29-36
  • Er ist der Sohn Gottes, der Messias, der König von Israel—1:40-51

Eine der großen theologischen Stoßrichtungen des Johannes ist die Doktrin von der Souveränität Gottes:

12 Allen aber, die ihn aufnahmen – die an seinen Namen glaubten –, gab er das Recht, Gottes Kinder zu werden 13 – Kinder, die nicht von menschlichen Eltern oder durch menschlichen Willen oder aus der Entscheidung eines Mannes heraus geboren werden, sondern durch Gott (Johannes 1:12-13).

„Niemand kann zu mir kommen, es sei den, der Vater ziehe ihn, der mich gesandt hat; und ich werde ihn am jüngsten Tage auferwecken“ (Johannes 6:44).

„So versuchten sie dann, Jesus zu ergreifen, doch niemand legte Hand an ihn, denn seine Stunde war noch nicht gekommen (Johannes 7:30).

27 „Meine Schafe hören auf meine Stimme und ich kenne sie und sie folgen mir. 28 Ich gebe ihnen ewiges Leben und sie werden niemals untergehen; niemand wird sie aus meiner Hand reißen. 29 Mein Vater, der sie mir gegeben hat, ist größer als Alle, und niemand kann sie meinem Vater aus der Hand reißen. 30 Ich und der Vater sind Eins.“ (Johann 10:27-30).

„Nicht ihr habt mich erwählt, sondern ich habe euch erwählt und beauftragt, hinzugehen und Frucht zu tragen, Frucht, die bestehen bleibt, so dass mein Vater euch geben wird, worum auch immer ihr ihn in meinem Namen bittet.“ (John 15:16).

Die Doktrin von der Dreieinigkeit steht im Evangelium des Johannes deutlicher als in jedem anderen Evangelium. Jesus sprach oft von Gott dem Vater, er sprach von Sich Selbst als Gott und vom Heiligen Geist als Gott. Die Dreieinigkeit findet sich überall, wo man hinschaut im Evangelium des Johannes.

Johannes leistet einen wichtigen Beitrag, indem er die Göttlichkeit des Herrn und seinen Anspruch darauf, der Messias Israels zu sein, durch Wunderzeichen bezeugt. Diese Wunderzeichen sind …

1. die Umwandlung von Wasser in Wein in Kana (2:1-11)

2. die Heilung eines Beamtensohns in Kapernaum (4:46-54)

3. die Heilung des Invaliden am Teich Bethesda (oder Bethsaida) in Jerusalem (5:1-18)

4. die Speisung der 5000 am Galiläischen Meer (6:5-14)

5. der Gang auf dem Wasser auf dem Galiläischen Meer (6:16-21)

6. die Heilung eines Blinden in Jerusalem (9:1-7)

7. die Auferweckung des toten Lazarus in Bethanien (11:1-45)

Zusätzlich gibt es „sieben Zeugen“ bei Johannes …

1. Johannes der Täufer

„Dieser ist der Auserwählte [wörtlich: ‚Sohn’] Gottes.“ (1:34)

2. Nathaniel

„Du bist der Sohn Gottes.“ (1:49)

3. Petrus

„Du bist der Heilige Gottes!“ (6:69)

4. Martha

„Du bist der Christus, der Sohn Gottes.“ (11:27)

5. Thomas

„Mein Herr und mein Gott!“ (20:28)

6. Johannes

„Jesus ist der Christus, der Sohn Gottes.“ (20:31)

7. Jesus

Ich bin der Sohn Gottes.” (10:36; siehe auch 4:26; 8:58)

Und schließlich gibt es sieben „Ich-Bins” bei Johannes …

1. „Ich bin das Brot des Lebens.“ (6:35)

2. „Ich bin das Licht der Welt.“ (8:12)

3. Ich bin das Tor für die Schafe.“ (10:7; vgl. Vers 9)

4. Ich bin der gute Hirte.“ (10:11, 14)

5. Ich bin die Auferstehung und das Leben.“ (11:25)

6. Ich bin der Weg und die Wahrheit und das Leben.“ (14:6)

7. Ich bin der wahre Weinstock.“ (15:1; vgl. Vers 5)

Das Evangelium des Johannes
und andere Werke des Johannes

In keinem der existierenden Kommentare wird dieses Thema, soweit ich gesehen habe, besonders ausführlich behandelt, und das sagt dem Leser vielleicht schon alles. Aber man kann über die Tatsache nicht hinwegsehen, dass Gott bei der Niederschrift von insgesamt fünf Büchern von Johannes Gebrauch machte. Diese bestehen aus dem Evangelium, den drei Johannes-Briefen (Erster, Zweiter und Dritter Johannes) und seinem großen Finale – dem Buch der Offenbarung. Diese fünf Bücher drücken eine gewisse Einheit und Vollständigkeit aus. (Das soll aber keineswegs heißen, dass wir nichts als die Werke des Johannes brauchen würden und die anderen Bücher der Bibel überflüssig wären.) Im Johannes-Evangelium, beispielsweise, spricht Jesus zu Seinen Jüngern über die Nächstenliebe und über die Kennzeichen eines wahren Jüngers. In seinen Briefen hat Johannes dann einiges dazu zu sagen, wie die Liebe unter Brüdern verwirklicht werden sollte.

Vielleicht ist hier die Zusammenfassung einiger Kontinuitäten hilfreich, die es zwischen dem Johannes-Evangelium und dem Buch der Offenbarung gibt:

Im Johannes-Evangelium beginnt Johannes mit Jesus zum Zeitpunkt der Schöpfung, mit Jesus dem Schöpfer. Er fängt, sozusagen, an bei der Genesis, dem Beginn der überlieferten biblischen Geschichte. In der Offenbarung konzentriert sich Johannes auf den Abschluss, die Vollendung der Geschichte.

In der Genesis haben wir den Sündenfall; im Evangelium haben wir eine neue Genesis, einen neuen Anfang, bei dem ein neuer treuer „Sohn“ im Bilde Gottes daherkommt und die Sünde durch Seinen Opfertod überwindet. In der Offenbarung wird diese Erlösung mit der Rückkehr in das Paradies dann vollständig verwirklicht; nun aber ist es ein vollkommenes Paradies.

Im Johannes-Evangelium sehen wir Gott vom Himmel auf die Erde herabkommen, nicht um die Menschen zu verdammen, sondern um sie zu erretten. In der Offenbarung sehen wir Gott vom Himmel herabkommen, um den Himmel für die Heiligen herabzubringen und um die Bösen zu richten.

Im Johannes-Evangelium sehen wir Johannes an der Brust Jesu liegen; in der Offenbarung sehen wir Johannes wie einen Toten zu Füßen Jesu niederfallen.

Im Johannes-Evangelium sehen wir, dass Gott wie im Tabernaculum unter den Menschen wohnt und Seine Herrlichkeit verborgen bleibt. In der Offenbarung sehen wir, wie Gott in Jesus in vollem Glanz und Herrlichkeit enthüllt wird, die so groß sind, dass durch das Licht des Ruhmes von Vater und Sohn die Sonne überflüssig wird.

Im Buch der Offenbarung schreibt Johannes von den schweren Zeiten, die vor uns liegen, und davon, dass Ausdauer und Ausharren notwendig sind. Im Anschluss daran beschreibt er die Segnungen, die den Ausharrenden zukommen werden. Es gibt einen „Strom von Wasser des Lebens“ (22:1) und einen „Baum des Lebens“ (22:2). Es gibt keinen Tempel und auch keine Sonne oder Mond, denn der Vater und der Sohn sind der Tempel und das „Lamm“ ist sein „Licht“ (21:23). Genau die gleichen Dinge, die Johannes im ersten Kapitel seines Evangeliums herausgestellt hat, werden auch im Schlusskapitel seines letzten Werkes – der Offenbarung – herausgestellt. Wenn Sie das Johannes-Evangelium durcharbeiten, sollten Sie daran denken, wie das, was im Johannes-Evangelium gesagt wird, an anderer Stelle in den späteren Schriften des Johannes wiederaufgenommen wird.

Johannes: Das Evangelium vom Glauben

Das Evangelium des Johannes ist ein wunderbares Werk; und manch ein Wissenschaftler hat diesem Buch einen großen Teil seines Lebens gewidmet. Hören Sie, was einige dieser Wissenschaftler über dieses Evangelium geschrieben haben:

Das Evangelium nach Johannes ist das erstaunlichste Buch, das je geschrieben wurde. ‚Ziehe deine Schuhe aus, denn der Ort, auf dem du stehst, ist heiliger Grund.’ – das mag gut und gerne zur Haltung eines jeden werden, der bei seinen Studien über die Schwelle dieses Buches tritt; denn wenn sein Zeugnis wahr ist, dann erhält der Glaube an Jesus Christus als den Sohn Gottes eine grandiose Bestätigung.17

Johannes war ein Poet, und sein Evangelium ist ein kunstvolles Gedicht. Seine Einfachheit täuscht. Johannes ist ein Spezialist für Doppeldeutigkeit, Anspielung, Allegorie, Ironie und Symbolik. Sein ausgefeiltes Werk präsentiert, wie eine Symphonie, neue Themen, driftet dann ab zu anderen und kehrt zurück mit Klängen, die wieder ähnlich und doch verlockend neu sind. Viele Lesungen und Kommentatoren verlieren sich in diesem Wogen. Auch mir ist das – wieder und wieder – passiert. Es ist schwierig zurückzutreten und die Gesamtbewegung des Werkes zu erfassen. Aber ich bin davon überzeugt, dass dieses Buch den Leser auf eine im Voraus entworfene Reise mitnimmt, die von Jesus selbst angeführt und von Johannes erzählt wird. ... Und ich habe mich davon überzeugen lassen, dass dieses Werk von einem Verfasser motiviert wurde, der sein ganzes Leben auf einer spirituellen Reise mit Jesus verbrachte und andere dazu ermutigen wollte, ihm dabei Gesellschaft zu leisten.18

Das Evangelium des Johannes ist täuschend einfach. Auf dem Priesterseminar war das Johannes-Evangelium das erste Buch des Neuen Testamentes, das uns zu übersetzen aufgegeben wurde, weil man es als das einfachste Griechisch betrachtete. Wir übersetzen das Johannes-Evangelium oft als erstes in die Sprache eines bisher nicht erreichten Volkes, das Zugang zur Botschaft der Evangelien bekommen soll. Wir regen die verlorenen und die neuen Christen dazu an, zuerst das Johannes-Evangelium zu lesen, weil es so klar und einfach ist. Trotz dieser vordergründigen Einfachheit stellen Wissenschaftler aber darin eine Tiefe der Bedeutung fest, die selbst noch nach jahrelanger Arbeit noch immer neu zu finden ist.

Das Johannes-Evangelium wird mit einem Teich verglichen, in dem ein Kind waten und ein Elephant schwimmen kann. Ich mag diesen Vergleich. Er ist sowohl einfach als auch tiefsinnig. Er gilt für den, der im Glauben noch ganz am Anfang steht, genauso wie für den gereiften Christen. Seine Wirkung ist unmittelbar und versagt nie.19

Das Johannes-Evangelium wurde nicht primär für Wissenschaftler geschrieben; es wurde für ganz alltägliche Männer und Frauen geschrieben, um sie davon zu überzeugen, dass der Jesus des Neuen Testaments der verheißene Messias des Alten Testaments ist, der Erlöser der Welt. Dadurch, dass sie an Ihn glauben, werden diese Männer und Frauen Kinder Gottes, ihre Sünden werden ihnen vergeben und sie gelangen in den Besitz ewigen Lebens. Es gibt keine wichtigere Frage in der ganzen Welt als diese: „Wer ist Jesus Christus?“ Und es gibt keinen besseren Ort, um die Antwort darauf zu finden, als das Evangelium des Johannes.

Das Herz all dessen, was dieses Evangelium so unverwechselbar macht, liegt darin, als wen uns Johannes Jesus vorstellt.20

Ich möchte diese Lektion mit einer Geschichte darüber beenden, welche Erfahrungen ich gemacht habe, als ich vor über 25 Jahren zum ersten Mal über das gesamte Johannes-Evangelium Unterricht hielt. Ein noch nicht erlöstes Ehepaar, das ein paar Häuser weiter wohnte, begann an meinen Bibelstudien über das Johannes-Evangelium teilzunehmen. Irgendwann um das dritte Kapitel herum, platzte die Frau plötzlich heraus: „Na, wenn ich es nicht besser wüsste, würde ich ja denken, dass Jesus behauptet, er wäre Gott.“ Einige Wochen später begleitete ich ihren Mann auf dem Heimweg nach dem Bibelstudium. Er erzählte mir, dass irgendwann in den zurückliegenden Wochen etwas in seinem Leben geschehen wäre. (Ich wusste, dass er mir sagen wollte, dass er gerettet worden wäre – dass er zu einem persönlichen Glauben an Jesus als seinen Erlöser gelangt wäre.) Ich fragte Charlie, wann diese Veränderung stattgefunden hätte. Seine Antwort werde ich nie vergessen. Sie lautete in etwa: „Na ja, das war irgendwo zwischen Kapitel 3 und Kapitel 6 vom Johannes-Evangelium.“ Charlie betrachete seine Bekehrung nicht unter zeitlichen Gesichtspunkten, sondern nach der Fortentwicklung der Argumentation im Johannes-Evangelium. Charlie war bereit. Er musste nicht bis Kapitel 21 warten, um an Christus zu glauben. Er war schon überzeugt und bekehrt, als er Kapitel 6 erreicht hatte.

Ich lade Sie ein, sich auf ein Studium des Johannes-Evangeliums einzulassen. Ich kann Ihnen versichern, dass es Ihr Leben verändern wird, wie Jesus das Leben der Apostel Johannes und Petrus veränderte und das Leben all der anderen, die an Ihn glaubten und Ihm in diesem Evangelium folgten. Studieren Sie mit mir gemeinsam dieses großartige Buch, ja? Machen Sie die Botschaft dieses Buches zu Ihrer eigenen. Es gibt keine wichtigere Botschaft in der ganzen Welt als die Botschaft dieses Evangeliums.


1 A.M. Hunter, Introducing the New Testament [Vorstellung des Neuen Testaments], (London, 1945), S. 50, wie zitiert bei Leon Morris, The Gospel According to John [Das Evangelium nach Johannes], (Grand Rapids: Wm.B. Eerdmans Publishing Co., 1971), S. 9.

2 Siehe Morris, Fußnote 1, S. 8.

3 Einige evangelikale Wissenschaftler glauben, dass Johannes der Urheber dieses Evangeliums ist, aber möglicherweise Hilfe bei dessen Abfassung hatte; ähnlich wie Markus, der sein Evangelium selbst schrieb, aber sich auf Petrus als seine Quelle stützte. Ich bin von dieser Ansicht nicht überzeugt, würde sie aber auch nicht als häretisch bezeichnen.

4 „Wenn wir uns den äußerlichen Hinweisen zuwenden, sehen wir uns mit der Tatsache konfrontiert, dass Johannes, der Sohn des Zebedäus, in den frühesten Tagen nicht als der Verfasser dieses Evangeliums genannt wird, dass in der Überlieferung aber auch kein anderer Name vorkommt. Der erste, von dem überliefert ist, dass er das Evangelium eindeutig Johannes zuschrieb, war offenbar Theophilus von Antiochien (c. AD 180). Auch Irenäus sagt, dass es von dem Apostel Johannes geschrieben wurde, und seine Quelle war anscheinend Polycarp, der Jesus noch persönlich kannte.“ Leon Morris, S. 21.

5 “Das Vierte Evangelium wurde seit dem zweiten Jahrhundert mit der Bezeichnung ‚nach Johannes’ versehen. Dies wurde in der christlichen Tradition so verstanden, dass die Autorität des Apostels Johannes, des Sohnes des Zebedäus, dahinter stehe und dass es dessen Zeugnis über das Leben und die Lehre Jesu enthalte. Der Kommentator stimmt voll und ganz mit der Aussage des verstorbenen Erzbischofs William Temple überein, der schrieb: ‚Meiner Meinung nach richtet sich jede Theorie über den Ursprung dieses Evangeliums selbst, die keine enge Verbindung zwischen dem Evangelium und Johannes, dem Sohn des Zebedäus feststellen kann. Die Kombination von inneren und äußeren Beweisen ist in diesem Punkt überwältigend.’“ R.V.G. Tasker, The Gospel According to St. John: An Introduction and Commentary [Das Evangelium nach St. Johannes: Einführung und Kommentar], (Grand Rapids, Michigan: Wm.B. Eerdmans Publishing Company, 1980 [zehnter Nachdruck]), S. 11.

6 Morris, S. 9; siehe Johannes 21:24.

7 „Interessanterweise gebraucht Johannes beide Verben [für Liebe] mehr als doppelt so häufig wie alle anderen. Liebe bedeutet diesem Verfasser eindeutig sehr viel.“ Leon Morris, S. 229, Fn. 71.

8 Leon Morris, S. 12.

9 D.A. Carson, The Gospel According to John [Das Evangelium nach Johannes], (Grand Rapids: William B. Eerdmans Publishing Company, 1991), S. 21.

10 Die Anmerkung des Übersetzers in der NET-Bible lautet: „Oder: ‚nun liebte er sie vollständig’, oder: ‚nun liebte er sie bis zum Äußersten’“ (siehe Johannes 19:30).

11 Wenn Morris das Problem der Austreibung aus dem Tempel in Kapitel 2 behandelt, weist er darauf hin, dass „… nichts sonst aus den ersten fünf Kapiteln dieses Evangeliums sich bei irgendeinem der Synoptiker findet“. Morris, S. 190.

12 „Damit enthält Johannes’ unverwechselbares Porträt Jesu zu 93 Prozent Originalmaterial, wenn man es mit den Synoptikern vergleicht.“ John F. Walvoord und Roy B. Zuck, The Bible Knowledge Commentary [Fakten zur Bibel], (Wheaton, Illinois: Scripture Press Publications, Inc.), 1983, 1985. “John” [„Johannes“] en loc.

13 Das griechische Verb für glauben erscheint 98 Mal im Johannes-Evangelium. Eigenartigerweise kommt die Substantiv-Form überhaupt nicht bei Johannes vor.

14 „Kein Evangelium überliefert mehr Beispiele von falschem Verständnis und von Unverständnis als das von Johannes.” Carson, S. 98.

15 Carson, S. 98.

16 Morris, S. 32

17 William Hendriksen, New Testament Commentary: Exposition of the Gospel According to John [Neutestamentarischer Kommentar: Entwurf zum Evangelium nach Johannes], (Grand Rapids: Baker Book House, 1953), S. 3.

18 Philip Wesley Comfort, I Am the Way: A Spiritual Journey Through the Gospel of John [Ich bin der Weg: Eine spirituelle Reise durch das Johannes-Evangelium], (Grand Rapids: Baker Books, 1994), S. 11.

19 Leon Morris, The Gospel According to John [Das Evangelium nach Johannes], (Grand Rapids: Wm.B. Eerdmans Publishing Co., 1971), S. 7.

20 Carson, S. 95.

Related Topics: Introductions, Arguments, Outlines, Character Study

2. Was ist das für ein Kind? (Johannes 1:1-18)

Einleitung

In der Weihnachtszeit wird oft ein Lied von William Chatterton Dix gesungen, das folgendermaßen anfängt:

What Child is this, who laid to rest / On Mary’s lap, is sleeping?
Whom angels greet with anthems sweet, / While shepherds watch are keeping?

This, this is Christ, the King, / Whom shepherds guard and angels sing:
Haste, haste to bring Him laud, / The Babe, the Son of Mary!

[Anm. d. Ü.: Dieses Lied wird nach der Melodie „Greensleeves“ gesungen und lautet übersetzt etwa:

Was ist das für ein Kind, das da in Marias Schoß gebettet schläft?
Das Engel mit süßen Melodien grüßen, während die Hirten die Wacht halten?

Das, das ist Christus, der König, den die Hirten bewachen und dem die Engel singen:
Eilt, eilt und bringt ihm Lob, dem Kind, Marias Sohn!
]21

Während ich diese Botschaft für Sie schreibe, ist Weihnachten schon sehr nahe gerückt. Insofern mag es angemessen sein, die Botschaft mit „Was ist das für ein Kind?“ zu überschreiben. Wenn man allerdings unseren Text im Johannes-Evangelium betrachtet, werden viele sagen, dass ich den Titel eher zu „Was für ein Kind?“ abkürzen müsste. Es gibt kein Kind in unserem Text – keine Maria, die vom Heiligen Geist schwanger wird, kein Baby in der Krippe, keine Hirten oder Magier, keinen sich bedroht fühlenden König Herodes. Warum also sollte man diese Botschaft „Was ist das für ein Kind?“ nennen, wenn es in unserem Text gar kein Kind gibt?

Matthäus und Lukas versorgen uns in ihren Evangelien mit einer ganzen Menge an Details über die Empfängnis und die Ankunft des Christuskindes. Markus übergeht diese Details und beginnt sein Evangelium mit dem Dienst Johannes’ des Täufers. Johannes fängt sein Evangelium mit einem Prolog an, den wir in den ersten 18 Versen von Kapitel 1 finden. Dieser Prolog zum Johannes-Evangelium ist unser Text für diese Lektion. Wenn auch viele der vertrauten „weihnachtlichen“ Elemente aus den anderen Evangelien fehlen, leistet der Prolog des Johannes doch einen wesentlichen Beitrag zum Weihnachtsfest, und das wurde in der Vergangenheit auch nicht übersehen. J.I. Packer schreibt über den Prolog des Johannes: „In der Kirche von England wird er jedes Jahr als das Evangelium für den Weihnachtstag gelesen, und das zu Recht. Nirgendwo im Neuen Testament werden das Wesen und die Bedeutung der Gottessohnschaft Jesu so deutlich erklärt wie hier.“22

Der Prolog des Johannes verschafft uns Einsichten, die dazu beitragen, unser Verständnis und unsere Wertschätzung für die Geburtserzählungen von Matthäus und Lukas zu verbessern. Die letzteren beiden Evangelien unterstreichen die Menschlichkeit unseres Herrn, ohne dabei Seine Göttlichkeit zu leugnen. Das Evangelium des Johannes unterstreicht die Göttlichkeit Jesu Christi, ohne Seine Menschlichkeit zu schmälern. Wenn wir Weihnachten in seiner ganzen Bedeutung feiern wollen, dürfen wir die Aussagen nicht außer Acht lassen, die im Prolog des Johannes enthalten sind. Lassen Sie uns also aufmerksam auf diese ganz besonderen Worte des Apostels Johannes hören, damit unsere Anbetung des Erlösers bereichert und verstärkt werde. Angesichts der reichhaltigen Doktrinen, die in diesem Text enthalten sind, werden wir dann geradezu zwangsläufig einstimmen, wenn zu Weihnachten gesungen wird: „O, lasset uns anbeten den König“.

Am Anfang:
Das Wort und der Vater
(1:1-2)

Am Anfang [schuf] Gott … (Genesis 1:1).
1 Am Anfang war das Wort, und das Wort war bei Gott, und das Wort war Gott. 2 Das Wort war im Anfang bei Gott.

Matthäus und Lukas beginnen mit der Geburt Johannes’ des Täufers und des Herrn, und Markus beginnt mit dem Dienst Johannes’ des Täufers. Johannes dagegen geht ganz zurück an den „Anfang“. Die ersten Worte vom Johannes-Evangelium „Am Anfang ...“ rufen die Erinnerung wach an den Schöpfungsbericht in Genesis 1. Die Formulierung „am Anfang“ ist – im Griechischen23 wie auch im Englischen oder Deutschen – dieselbe in Genesis 1:1 und in Johannes 1:1. Das kann kein Zufall sein, sondern es muss eine Absicht dahinter stecken. Als Moses das Buch Genesis schrieb, begann er mit „Am Anfang [schuf] Gott ...“. Praktisch dasselbe macht Johannes mit den zwei ersten Versen seines Evangeliums.

In diesem ersten Kapitel seines Evangeliums erwähnt Johannes den Namen „Jesus“ erst in Vers 17, und danach erst wieder in Vers 29. Er sagt nicht – und kann auch nicht sagen –, dass am Anfang „Jesus“ war. „Jesus“ ist der Name des Gott-Menschen, der von der Jungfrau Maria geboren wird. Es ist dies Sein menschlicher Name, der Ihm erst nach Seiner Inkarnation verliehen wird. Wenn ich über diesen Text lehren wollte, habe ich schon oft nach Worten gesucht, um unseren Herrn richtig zu bezeichnen. Manchmal kommt es vor, dass ich dann einen ganz anderen Ausdruck benutze: „die zweite Person der Gottheit“. Das kommt daher, dass unser Herr von jeher bei Gott und als Gott existierte, doch zu einem bestimmten Zeitpunkt nahm Er dann einen menschlichen, fleischlichen Körper an. In Johannes 1:1-3 spricht Johannes von der Präexistenz unseres Herrn als „zweiter Person der Gottheit“. Wenn Johannes hier von unserem Herrn spricht, nennt er Ihn „das Wort“24. Die Begriffe „Messias“, „Sohn Gottes“ und „Jesus“ sind im Großen und Ganzen nur dann angebracht, wenn man von unserem Herrn nach Seiner Inkarnation spricht25. Unser Herr hat schon immer als Gott existiert, und er hat schon immer in Einheit und Gemeinschaft mit Gott dem Vater existiert. Aber erst bei der Inkarnation wurde er der inkarnierte Gott (Jesus), der von Matthäus und Lukas beschrieben wird.

Was Johannes uns in den ersten zwei Versen seines Evangeliums erzählt, verschlägt einem die Sprache: Jesus ist Gott. Bevor er Menschengestalt annahm, existierte „das Wort“ schon von Ewigkeit her als Gott und in Gemeinschaft mit Gott dem Vater. Es ist wichtig, dass wir uns diese Tatsache wirklich bewusst machen. Johannes’ Worte können nicht auf irgendeine andere, irgendeine geringere Bedeutung als diese reduziert werden. Unser Herr ist Gott. Er ist ewig. Er existierte von Anfang an und Er hat schon immer beim Vater existiert. Das ist es, was Johannes uns mit seinen Worten zu verstehen geben will, und von dieser Wahrheit hofft er uns zu überzeugen.

Johannes stellt damit ganz offensichtlich eine wichtige Verbindung her: Der Gott, der das Universum erschuf, ist derselbe, der in Bethlehem in einer Krippe lag. Johannes lässt uns wissen, dass der „Jesus“, den er hier vorstellt, der im Alten Testament verheißene Messias ist. Und noch mehr als das: Jesus ist der Messias und Jesus ist Gott. Die Existenz unseres Herrn begann nicht in Bethlehem. Sein Ursprung liegt noch nicht einmal in Genesis 1 und 2, wo Gott das Universum erschafft. Er war dabei; er existierte bereits, als die Welt erschaffen wurde. Er war da bei Gott. Er war da als Gott.

Lesen wir da irgendetwas in die Bibel hinein, was gar nicht darin steht? Keineswegs! Diese Göttlichkeit Christi wird im Johannes-Evangelium immer wieder bestätigt. Jesus beansprucht nicht nur, Gott zu sein, sondern auch, vom Vater im Himmel herabgekommen zu sein. Das glauben die, die Ihm vertrauen. Das versuchen Seine Feinde zu leugnen:

„Ich habe es gesehen und ich habe es bezeugt, dass dieser der Sohn Gottes ist (Johannes 1:34).

Nathanael antwortete ihm: „Rabbi, du bist der Sohn Gottes, du bist der König von Israel! (Johannes 1:49)

„Niemand ist in den Himmel hinaufgestiegen außer dem, der vom Himmel herabkam – des Menschen Sohn“ (Johannes 3:13).

„Der von oben kommt, ist höher als alle. Der von der Erde ist, gehört zur Erde und spricht über irdische Dinge. Der vom Himmel kommt, ist höher als alle“ (Johannes 3:31).

Aus diesem Grunde suchten die jüdischen Würdenträger nur umso mehr, ihn zu töten; denn er brach nicht nur den Sabbat, sondern er nannte auch Gott seinen Vater und machte sich so Gott gleich (Johannes 5:18).

31 „Unsere Vorfahren aßen das Manna in der Wüste, wie geschrieben steht: Er gab ihnen Brot vom Himmel zu essen.’“26 32 Da sagte Jesus zu ihnen: „Ich sage euch die tiefe Wahrheit: Es ist nicht Moses, der euch das Brot vom Himmel gab, sondern mein Vater gibt euch das wahre Brot vom Himmel. 33 Denn das Brot Gottes ist der, der vom Himmel herabkommt und der Welt Leben schenkt“ (Johannes 6:31-33).

„Denn ich bin vom Himmel herabgekommen, nicht um meinen eigenen Willen zu tun, sondern den Willen dessen, der mich gesandt hat“ (Johannes 6:38).

47 „Ich sage euch die tiefe Wahrheit: Wer glaubt, der hat ewiges Leben. 48 Ich bin das Brot des Lebens. 49 Eure Vorfahren aßen das Manna in der Wüste und starben. 50 Dies ist das Brot, das vom Himmel herabgekommen ist, damit man davon esse und nicht sterbe. 51 Ich bin das lebendige Brot, das vom Himmel herabgekommen ist. Wenn jemand von diesem Brot isst, wird er für immer leben. Das Brot, das ich für das Leben der Welt geben werde, ist mein Fleisch. ... 58 Dies ist das Brot, das vom Himmel herabgekommen ist; nicht wie bei euren Vorfahren, die aßen und doch starben. Wer dieses Brot isst, wird für immer leben“ (Johannes 6:47-51,58).

28 Also rief Jesus aus, als er im Tempel lehrte: „Ihr kennt mich und ihr wisst, woher ich komme! Und ich bin nicht von mir aus gekommen, sondern der mich gesandt hat, ist wahrhaftig. Ihr kennt ihn nicht, 29 aber ich kenne ihn, weil ich von ihm her gekommen bin und er mich gesandt hat (Johannes 7:28-29).

Jesus antwortete: „Auch wenn ich über mich selbst Zeugnis ablege, so ist mein Zeugnis doch wahr, weil ich weiß, woher ich kam und wohin ich gehe. Ihr aber wisst nicht, woher ich gekommen bin oder wohin ich gehe“ (Johannes 8:14).

Jesus erwiderte: „Ihr seid von unten; ich bin von oben. Ihr Menschen seid von dieser Welt; ich bin nicht von dieser Welt“ (Johannes 8:23).

40 „Nun aber sucht ihr mich zu töten, einen Menschen, der euch die Wahrheit gesagt hat, die ich von Gott gehört habe. So etwas tat Abraham nicht! 41 Ihr tut die Werke eures Vaters.“ Da sagten sie zu Jesus: „Wir wurden nicht durch Hurerei geboren! Wir haben nur einen Vater, Gott selbst.“ 42 Jesus erwiderte: „Wenn Gott euer Vater wäre, würdet ihr mich lieben, denn ich bin von Gott gekommen, und nun bin ich hier. Ich bin nicht von mir aus gekommen, sondern er hat mich gesandt“ (Johannes 8:40-42).

56 Euer Vater Abraham freute sich sehr, meinen Tag zu erleben, und er sah ihn und war froh.” 57 Da erwiderten die Juden, die ihm zugehört hatten: „Du bist noch keine fünfzig Jahre alt! Hast du Abraham gesehen?“ 58 Jesus sagte zu ihnen: „Ich sage euch die tiefe Wahrheit: Ehe Abraham ins Dasein kam, bin ich!“ (Johannes 8:56-58)

Dann sagten einige von den Pharisäern: „Dieser Mann ist nicht von Gott, denn er hält den Sabbat nicht.“ Andere aber sagten: „Wie kann ein Mensch, der ein Sünder ist, solch wunderbare Zeichen vollbringen?“ Auf diese Weise gab es eine Spaltung unter ihnen (Johannes 9:16).

29 „Wir wissen, dass Gott zu Moses gesprochen hat! Aber wir wissen nicht, woher dieser Mensch kommt!“ 30 Der Mann erwiderte: „Das ist verwunderlich, dass ihr nicht wisst, woher er kommt, und doch hat er mich sehend gemacht!“ (Johannes 9:29-30)

„Wenn dieser Mensch nicht von Gott wäre, könnte er nichts tun“ (Johannes 9:33).

1 Kurz vor den Passah-Feiern erkannte Jesus, dass die Zeit für ihn gekommen war, aus dieser Welt hinweg zum Vater zu gehen. Er hatte die Seinen, die in der Welt waren, geliebt, und nun liebte er sie bis zum Ende. 2 Das Abendmahl war im Gange, und der Teufel hatte Judas Ischariot, Simons Sohn, schon ins Herz gelegt, dass er Jesus verraten sollte. 3 Jesus aber, da er wusste, dass der Vater ihm alle Dinge in die Hand gegeben hatte und dass er von Gott gekommen war und zu Gott zurückging, ... (Johannes 13:1-3).

„Lasst euer Herz nicht beunruhigt sein. Ihr glaubt an Gott; glaubt auch an Mich“ (Johannes 14:1).

„Nun wissen wir, dass du alles weißt und nicht nötig hast, dass dich irgendjemand irgendetwas frage. Deshalb glauben wir, dass du von Gott gekommen bist“ (Johannes 16:30).

7 „Jetzt haben sie erkannt, dass alles von dir ist, was du mir gegeben hast, 8 denn ich habe ihnen die Worte gegeben, die du mir gabst. Sie nahmen sie an und erkannten wirklich, dass ich von dir gekommen bin, und glaubten, dass du mich gesandt hast“ (Johannes 17:7-8).

Die religiösen Führer der Juden erwiderten: „Wir haben ein Gesetz, und nach diesem Gesetz muss er sterben, weil er behauptet hat, der Sohn Gottes zu sein!“ (Johannes 19:7)

Jesus erwiderte ihr: „Rühre mich nicht an, denn ich bin noch nicht zu meinem Vater aufgefahren. Gehe hin zu meinen Brüdern und sage ihnen: ‚Ich fahre auf zu meinem Vater und zu eurem Vater, zu meinem Gott und zu eurem Gott’“ (Johannes 20:17).

Thomas erwiderte: „Mein Herr und mein Gott!“ (Johannes 20:28)

Diese aber sind aufgeschrieben worden, damit ihr glaubet, dass Jesus der Christus ist, der Sohn Gottes, und dass ihr durch den Glauben in seinem Namen Leben habt (Johannes 20:31).

Aus der vorhergehenden Lektion (1) erinnern Sie sich vielleicht, dass ich vor Jahren bei einem Bibelstudium in unserem Haus über das Johannes-Evangelium lehrte und ein junges Ehepaar dazu kam. Als wir beim dritten Kapitel aus Johannes waren, platzte die Frau heraus: „Wenn ich es nicht besser wüsste, würde ich ja denken, dass Jesus behauptet, er wäre Gott.“ Jesus behauptet tatsächlich und ganz offensichtlich, Gott zu sein. Ebenso offensichtlich sucht Johannes uns zu überzeugen, dass Jesus Gott ist. Das ist die Wahrheit, die die Feinde unseres Herrn einfach nicht ertragen konnten.

Was Johannes uns hier über die Göttlichkeit Jesu Christi sagt, steht im Einklang mit dem, was das Alte Testament über den verheißenen Messias lehrte. Die alttestamentarischen Propheten sprachen davon, dass der künftige Erlöser ein Mann und ein Nachkomme Abrahams, Jakobs, Judas und Davids sein würde (Genesis 49:8-10, 2.Samuel 7:12-14). Und sie sprachen auch davon, dass der Erlöser der ewige Gott sein würde:

6 Denn uns ist ein Kind geboren, ein Sohn ist uns gegeben; und die Herrschaft wird auf Seiner Schulter sein. Und Sein Name wird sein Wunderbar, Ratgeber, Mächtiger Gott, Ewiger Vater, Friedefürst. 7 Ohne Ende werden Seine Herrschaft und Frieden zunehmen, auf dem Thron Davids und über Sein Königreich, es zu ordnen und mit Recht und Gerechtigkeit zu erhalten, von jener Zeit an bis sogar in Ewigkeit. Der Eifer des Herrn der Heerscharen wird dies vollbringen (Jesaja 9:6-7, NKJV).

„Du aber, Bethlehem Ephrata, obwohl du klein bist unter den Tausenden von Juda, wird doch aus dir der Eine Mir hervorgehen, der Herrscher in Israel sein soll, dessen Ausgang ist von altersher, von Ewigkeit“ (Micha 5:2, NKJV).

Die neutestamentarischen Schreiber sind offensichtlich mit Johannes einig in der Feststellung, dass der Jesus der Evangelien, der Jesus, den die Kirche als ihren Erlöser und Herrn anbetet, nicht nur ein sündenloser Mensch war, sondern auch in vollkommener und ungeschmälerter Weise ein Gott:

15 Er ist das Bild des unsichtbaren Gottes, der Erstgeborene über die ganze Schöpfung, 16 denn alle Dinge im Himmel und auf Erden wurden von ihm erschaffen – alle Dinge, ob sichtbar oder unsichtbar, seien es Throne oder Herrschaften, Regierungen oder Kräfte – alle Dinge wurden durch ihn und für ihn erschaffen. 17 Er selbst ist vor allen Dingen und alle Dinge werden in ihm zusammengehalten. 18 Er ist das Haupt des Leibes, der Kirche, und auch der Anfang, der Erstgeborene von den Toten, damit er selbst in allen Dingen der Erste werde. 19 Denn Gott hat es gefallen, seine ganze Fülle in ihm wohnen zu lassen 20 und durch ihn alle Dinge mit sich zu versöhnen, indem er Frieden schloss durch das Blut seines Kreuzes – seien es Dinge auf Erden oder im Himmel (Kolosser 1:15-20).

1 Nachdem Gott zu unseren Vorfahren vor langer Zeit in verschiedenen Teilen und verschiedenen Arten durch die Propheten sprach, 2 hat er nun zu uns in diesen letzten Tagen in einem Sohn gesprochen, den er zum Erben aller Dinge eingesetzt hat und durch den er die Welt erschaffen hat. 3 Der Sohn ist der Glanz seiner Herrlichkeit und das Abbild seines Wesens und erhält alle Dinge durch sein mächtiges Wort. Und so setzte er sich zur Rechten des Erhabenen in der Höhe, nachdem er die Reinigung von den Sünden vollbracht hatte (Hebräer 1:1-3).

8 Aber von dem Sohn: „Dein Thron, o Gott, ist für alle Zeit; ein gerechtes Szepter ist das Szepter deines Königreichs. 9 Du hast Gerechtigkeit geliebt und Gesetzlosigkeit gehasst. Darum hat dich Gott, dein Gott, mit dem Öl der Freude gesalbt über deine Gefährten.“

10 Und: „Du, Herr, hast im Anfang die Erde begründet, und die Himmel sind das Werk deiner Hände. 11 Sie werden vergehen, du aber wirst bleiben. Und sie alle werden alt werden wie ein Kleidungsstück, 12 und wie ein Kleid wirst du sie zusammenfalten, und wie ein Kleidungsstück werden sie gewechselt werden; du aber bleibst derselbe und deine Zeit wird nie ablaufen“ (Hebräer 1:8-10).

9 Ich, Johannes, euer Bruder und Mitteilhaber an der Verfolgung, dem Reich und dem Ausharren, die in Jesus sind, war auf der Insel namens Patmos um des Wortes Gottes und des Zeugnisses über Jesus willen. 10 Als ich am Tag des Herrn im Geiste war, hörte ich hinter mir eine laute Stimme wie eine Trompete, 11 die sprach: „Schreibe in ein Buch, was du siehst, und sende es an die sieben Gemeinden – nach Ephesus, Smyrna, Pergamon, Thyatira, Sardes, Philadelphia und Laodicea.“ 12 Ich wandte mich um, zu sehen, wo die Stimme herkam, die da zu mir sprach; und als ich das tat, erblickte ich sieben goldene Leuchter, 13 und inmitten dieser Leuchter war einer gleich einem Menschensohn. Er war in ein Gewand gekleidet, das bis zu seinen Füßen herabfiel, und trug einen goldenen Gürtel um seine Brust. 14 Sein Haupt und Haar waren weiß wie Wolle, ja sogar weiß wie Schnee, und seine Augen waren wie feurige Flammen. 15 Seine Füße waren wie poliertes, in einem Feuerofen geläutertes Kupfer und seine Stimme glich dem Brüllen vieler Wasser. 16 In seiner Rechten hielt er sieben Sterne und aus seinem Mund ging ein scharfes, zweischneidiges Schwert hervor. Sein Antlitz schien so hell wie die Sonne auf der Höhe ihrer Kraft. 17 Als ich ihn erblickte, fiel ich wie tot zu seinen Füßen nieder; er aber legte seine rechte Hand auf mich und sprach: „Fürchte dich nicht! Ich bin der Erste und der Letzte, nämlich der Lebende! Ich war tot, doch siehe, nun lebe ich – für immer und ewig – und ich habe die Schlüssel des Todes und des Hades!“ (Offenbarung 1:9-18)27

Das Wort und die Welt
(1:3-5)

3 Alle Dinge wurden durch ihn erschaffen, und ohne ihn wurde nicht ein Ding erschaffen, das erschaffen wurde. 4 In ihm war Leben28 und das Leben war das Licht der Menschen. 5 Und das Licht scheint weiter in der Finsternis, doch die Finsternis hat es nicht erfasst.

Die Verse 1 und 2 stellen unseren Herrn ganz an den Anfang – eigentlich sogar noch vor den Anfang. Er war schon da mit dem Vater, bevor es die Welt gab. In Vers 3 nun fährt Johannes fort, indem er zeigt, dass unser Herr nicht nur von allem Anfang an war, sondern dass Er auch der Ursprung alldessen war, was einen Anfang hat. Das „Wort“ war nicht passiv, sondern aktiv und war der Eine, durch den alle Dinge ins Dasein kamen. Er wurde nicht erschaffen; sondern Er war der Schöpfer. Er erschuf nicht einfach alle Dinge für Gott, sondern Er erschuf alle Dinge als Gott. Alle Dinge entstanden durch Ihn. Das „Wort“ sprach, und alle Dinge kamen ins Dasein. Als der Schöpfer ist Er der Ursprung und die Quelle des Lebens29.

Danach zieht Johannes das Bild des „Lichtes“ heran, das auch in Genesis 1 vorkommt, und wendet dieses Bild wiederum auf das „Wort“ an. In der Genesis erzählt uns Moses mit an erster Stelle, dass Gott das Licht ins Dasein rief (Genesis 1:3). Dann schied Gott das „Licht“ von der „Finsternis“ (1:4). Und nachdem Gott „Licht“ geschaffen hatte, schuf er „Leben“ (1:11ff.). Johannes zieht die Parallele zu der anfänglichen Schöpfung, bei der „das Wort“ anwesend und aktiv war. Fast unmerklich werden wir dann zeitlich von der anfänglichen Schöpfung (Johannes 1:3) zu der Inkarnation und Erscheinung unseres Herrn in der menschlichen Geschichte (Verse 4-5ff) versetzt. Als das „Wort“ in die Welt kam, war die Welt, geistlich gesehen, in einem chaotischen Zustand. Als das „Wort“ erschien, war Es das „Licht“, das die Dunkelheit erhellte und so die Gerechtigkeit Gottes enthüllte und die Sünden der Menschen zum Vorschein brachte. Das bewirkte, dass das „Licht“ von der „Finsternis“ geschieden wurde. Die Finsternis bemerkte das Licht, aber „erfasste“ es nicht (Vers 5).

Dieses „Licht“, das bei der Erscheinung unseres Herrn aufleuchtete, scheint noch immer. Vers 5 kann auf mehrere Arten übersetzt werden, wie im Folgenden gezeigt wird:

Das Licht scheint in der Finsternis, doch die Finsternis hat es nicht verstanden (NIV).

Das Licht scheint in der Finsternis, und die Finsternis hat es nicht überwunden (NRS).

Das Licht scheint fort in der Finsternis, und die Finsternis hat es nie ausgelöscht (NEB).

Das ausschlaggebende Wort in der NET-Übersetzung ist das Wort „erfasst“ [„mastered“; Anm. d. Ü.]30: „Und das Licht scheint weiter in der Finsternis, doch die Finsternis hat es nicht erfasst“ (Hervorhebung durch B. Deffinbaugh). Das entsprechende griechische Wort kann die Bedeutung „erfassen“ oder „verstehen“ im geistigen Sinne haben, aber auch die Bedeutung „überwältigen“ (wie in der Randnote der NASB gesagt wird) oder „überwinden“. Beide Färbungen dieses Begriffs wären im gegebenen Zusammenhang möglich31. Jesus kam in die Welt als das wahre „Licht“, aber die verlorene Menschheit war nicht in der Lage, das zu verstehen (vergleiche 1. Korinther 3:14). Oder, stärker noch: Jesus kam in die Welt und beleuchtete deren Sünde und Erlösungsbedürftigkeit, aber die Welt entschied sich dafür, in ihrer Sünde zu bleiben, versuchte also, dem Licht entgegenzuwirken oder es sogar zu überwinden, doch sie hat es nicht geschafft.

Johannes führt mit dem „Licht“ ein Thema ein, das uns überall in seinem Evangelium wieder begegnen wird (Johannes 3:18-21, 5:35, 8:12, 9:5, 12:35-36, 12:46). Es ist dies ein prophetisches Thema, das auch bei Matthäus (4:13-16, 5:14-16) und Lukas (1:76-79, 2:25-32, 16:8) hervorgehoben wird. Jesus kam als das „Licht“ und Er hinterließ Seine Jünger und Seine Kirche, um dieses „Licht“ in Seiner Abwesenheit widerzuspiegeln. Alle Bemühungen der Welt, das „Licht“ zu unterdrücken, sind bisher fehlgeschlagen, und so scheint das Licht noch immer, sogar bis zum heutigen Tag, durch das Volk Gottes:

3 Doch selbst wenn unsere gute Botschaft verhüllt ist, ist sie doch nur für die verhüllt, die dem Untergang geweiht sind, unter denen der Gott dieses Zeitalters den Sinn der Ungläubigen blind gemacht hat, dass sie das Licht des Evangeliums von der Herrlichkeit Christi, der das Bild Gottes ist, nicht sähen. 5 Denn wir verkünden nicht uns selbst, sondern Jesus Christus als den Herrn und uns als eure Leibeigenen um Jesu willen. 6 Denn Gott hat gesagt „Aus der Finsternis soll ein Licht aufleuchten“, und er selbst ist es, der in unseren Herzen aufgeleuchtet hat, um uns das Licht der herrlichen Wahrheit Gottes durch das Angesicht Jesu Christi zu schenken (2. Korinther 4:3-6).

7 Darum seid ihnen nicht Teilhaber; 8 denn ihr wart einst Finsternis, nun aber seid ihr Licht in dem Herrn. Wandelt als Kinder des Lichts – 9 denn die Frucht des Lichts ist lauter Güte, Gerechtigkeit und Wahrheit – 10 und sucht zu erfahren, was dem Herrn wohlgefällig ist. 11 Habt nicht Teil an den fruchtlosen Werken der Finsternis, sondern deckt sie vielmehr auf. 12 Denn was sie im Geheimen tun, ist schändlich auch nur auszusprechen. 13 Alles vom Licht aufgedeckte aber wird offenbar gemacht. 14 Denn alles, was offenbar gemacht wurde, ist hell, und darum heißt es: „Wach auf, du Schläfer, / steh auf von den Toten, / und Christ wird dich erleuchten!“ (Epheser 5:7-14)

14 Tut alles ohne Murren und Widerrede, 15 damit ihr rein und ohne Tadel seid, Kinder Gottes, ohne Makel selbst in einer verderbten und verkehrten Gesellschaft, in der ihr als das Licht in der Welt leuchtet, 16 indem ihr an dem Wort des Lebens festhaltet, so dass ich am Tag Christi Grund zum Feiern haben werde, weil ich nicht umsonst gelaufen bin und gearbeitet habe (Philipper 2:14-16)

Jesus und Johannes:
Das Wort und der Zeuge
(1:6-8)

6 Ein Mann kam32, von Gott gesandt, der hieß Johannes. 7 Er kam als ein Zeuge, um Zeugnis abzulegen über das Licht, damit jeder durch ihn zum Glauben käme. 8 Er selbst war nicht das Licht, sondern er kam, um über das Licht Zeugnis abzulegen.

Johannes der Täufer war ein sehr berühmter und geachteter Mensch. Viele kamen, um ihn predigen zu hören, obwohl seine Botschaft der Ruf zur Buße war. Sie waren es zufrieden, mit Johannes zu gehen, und hielten es sogar für möglich, dass er der Messias wäre.

Menschen aus ganz Judäa und Jerusalem gingen hin zu ihm und bekannten ihre Sünden und wurden von ihm im Jordan getauft (Markus 1:5).

Während die Menschen voller Erwartung waren und alle in ihrem Herzen erwogen, ob wohl Johannes der Christus sein könnte (Lukas 3:15).

33 „Ihr habt Leute zu Johannes gesandt und er hat Zeugnis für die Wahrheit abgelegt. 34 (Ich nehme nicht das Zeugnis eines Menschen an, sondern ich sage dies, damit ihr gerettet werdet.) 35 Er war eine brennende und leuchtende Lampe und ihr wolltet für eine kurze Zeit sehr fröhlich sein in seinem Licht“ (Johannes 5:33-35).

Das Erstaunliche an Johannes dem Täufer ist, dass er niemals irgendein Wunder oder Zeichen vollbracht hat; er predigte und taufte nur:

40 Jesus ging wieder fort über den Jordan, an den Ort, wo Johannes in früheren Zeiten getauft hatte, und er blieb dort. 41 Viele kamen zum ihm und sie sagten: „Johannes hat keine Wunderzeichen vollbracht, aber alles, was Johannes über diesen Mann gesagt hat, ist wahr!“ 42 Und viele glaubten dort an Jesus (Johannes 10:40-42; Hervorhebung von B. Deffinbaugh).

Der Apostel Johannes wendet seine Aufmerksamkeit in Vers 6-8 Johannes dem Täufer zu. Wenn meine Annahme stimmt, dass der Apostel Johannes der zweite der beiden Jünger von Johannes dem Täufer war, die diesen verließen, um Jesus zu folgen (Johannes 1:35-42), dann ist es wenig verwunderlich, dass der Verfasser des Evangeliums einiges über Johannes den Täufer zu sagen hat. Wie interessant, dass der Apostel Johannes hier den Täufer nicht als „Johannes der Täufer“ bezeichnet, sondern nur als „Johannes“. Die Betonung liegt in Vers 6-8 nicht auf Johannes als „Täufer“, sondern auf Johannes als „Zeugen“. Johannes kam als ein Zeuge für das „Licht“, in das alle Menschen ihr Vertrauen setzen sollten. Er war nicht selbst das Licht, sondern nur ein Zeuge für das Licht. Wenn der Apostel Johannes über Johannes den Täufer spricht, achtet er darauf, die untergeordnete Rolle des Täufers hervorzuheben – so wie auch der Täufer selbst es tat (siehe Vers 19ff.).

Johannes der Täufer hatte die Aufgabe, Zeugnis für das „Licht“ abzulegen. Seine Mission war dieselbe wie die seines Jüngers, des Apostels Johannes: seinen Dienst auf Christus zu fokussieren, damit die Menschen durch den Glauben an Ihn zur Erlösung kämen. Als Johannes der Täufer Zeugnis ablegte, war das „Licht“ noch nicht erschienen und Jesus war noch nicht als dieses „Licht“ erkannt worden. Johannes konnte nur vom „Licht“ als von Einem sprechen, der kommen würde, von Einem, der erst noch offenbart werden würde.

Das „Licht“ und die verlorenen Sünder
(1:9-13)

9 Das wahre Licht, das jedem Menschen Licht gibt, kam in die Welt. 10 Er war in der Welt, und die Welt wurde durch ihn erschaffen, aber die Welt erkannte ihn nicht. 11 Er kam zu dem, was sein Eigen war, doch sein eigenes Volk nahm ihn nicht auf. 12 Allen aber, die ihn aufnahmen, die an seinen Namen glaubten, gab er das Recht, Gottes Kinder zu werden, 13 Kinder, die nicht aus menschlicher Abstammung oder menschlichem Wunsch oder eines Ehemannes Entscheidung heraus gezeugt sind, sondern aus Gott.

Johannes selbst ist nicht das Licht, für das er Zeugnis ablegt. Das Licht, für das er Zeugnis ablegt, ist das wahre33 Licht, die Erfüllung alldessen, was „Licht“ nur vorausahnen lässt. Das „Wort“ ist die Quelle des Lichts, Der, der das Licht ins Dasein rief (Genesis 1:3). Nach dem Schöpfungsbericht in Genesis wird „Licht“ ein herausragendes Thema im Alten Testament. Denken Sie an die folgenden alttestamentarischen „Licht“-Texte, die auf das Kommen unseres Herrn hindeuten:

„’Und er wird sein wie das Morgenlicht, wenn die Sonne aufgeht, / ein Morgen ohne Wolken, / wie das zarte Gras, das aus der Erde hervorbricht / durch den hellen Glanz nach dem Regen’“ (2. Samuel 23:4, NKJV).

Denn Du wirst meine Lampe entzünden; / der Herr, mein Gott, wird meine Dunkelheit erleuchten (Psalm 18:28, NKJV).

Der Herr ist mein Licht und meine Rettung; / wen soll ich fürchten? / Der Herr ist die Stärke meines Lebens; / vor wem soll ich Angst haben? (Psalm 27:1, NKJV)

Der Du Dich mit Licht wie mit einem Kleid einhüllst, / der Du die Himmel wie einen Vorhang ausbreitest (Psalm 104:2, NKJV).

Bei den alttestamentarischen Propheten wird Gottes „Licht“ das dominierende messianische Thema:

Die Menschen, die in der Finsternis wandelten, / sahen ein großes Licht; / über denen, die im Lande des Todesschattens wohnten, / ist ein Licht aufgeleuchtet (Jesaja 9:2, NKJV).

So wird das Licht Israels zu einem Feuer werden / und sein Heiliger zu einer Flamme; / es wird brennen und sein Unkraut und Dorngestrüpp in einem einzigen Tag verzehren (Jesaja 10:17, NKJV).

Ich werde die Blinden auf einen Weg bringen, der ihnen vorher unbekannt war; / ich werde sie auf Pfaden führen, die ihnen bisher unbekannt sind. / Ich werde die Dunkelheit vor ihnen licht machen / und holpriges Gelände eben. / Das werde ich für sie tun, / und ich werde sie nicht im Stich lassen (Jesaja 42:16, NKJV).

Ja, Er spricht: „Es ist zu wenig, dass Du Mein Knecht seiest, / der die Stämme Jakobs aufrichtet / und die Bewahrten Israels zurückbringt; / Ich will Dich auch noch den Heiden als ein Licht geben, / damit Du Mein Heil seist bis an das äußerste Ende der Erde“ (Jesaja 49:6, NKJV).

Dann soll dein Licht hervorbrechen wie die Morgenröte, / deine Heilung soll schnell voranschreiten / und deine Gerechtigkeit soll vor dir hergehen; / die Herrlichkeit des Herrn soll deine Nachhut sein (Jesaja 58:8, NKJV).

1 Erhebe dich, leuchte, / denn dein Licht ist gekommen! / Und die Herrlichkeit des Herrn ist über dir aufgegangen. 2 Denn siehe, Finsternis soll die Erde bedecken / und tiefe Dunkelheit die Völker; / aber über dir wird der Herr aufgehen / und Seine Herrlichkeit wird über dir erscheinen. 3 Die Heiden sollen zu deinem Lichte ziehen / und Könige zu dem Glanz deines Erhebens (Jesaja 60:1-3, NKJV).

19 „Die Sonne soll nicht mehr dein Licht sein bei Tage, / noch soll der Mond dir zum Glanze sein Licht geben; / sondern der Herr wird dir ein immerwährendes Licht sein / und dein Gott dein Glanz. 20 Deine Sonne soll nicht mehr untergehen / und dein Mond soll nicht mehr abnehmen, / denn der Herr wird dein immerwährendes Licht werden / und die Tage deiner Trauer sollen ein Ende haben“ (Jesaja 60:19-20, NKJV).

Er offenbart, was tief und verborgen ist; / Er weiß, was in der Finsternis liegt, / und bei Ihm wohnt das Licht (Daniel 2:22, NKJV).

8 Frohlocke nicht über mich, meine Feindin. / Wenn ich falle, werde ich wieder aufstehen; / und wenn ich im Finstern sitze, / wird der Herr mir ein Licht sein. 9 Ich will den Grimm des Herrn ertragen / – denn ich habe gegen Ihn gesündigt –, / bis Er meinen Fall vertritt / und Gerechtigkeit für mich vollzieht. / Er wird mich herausführen ans Licht, / und ich werde Seine Gerechtigkeit sehen (Micha 7:8-9, NKJV).

Wenn Johannes uns sagt, dass Jesus das „Licht“ ist, so sagt er damit, dass unser Herr die Erfüllung der Hoffnungen Israels ist, der Messias, der im Alten Testament als Licht symbolisiert und beschrieben wird. Jesus ist das „wahre Licht“, das heißt, die Vollendung des „Lichtes“, auf das das Alte Testament hindeutet. Die Erscheinung des „wahren Lichts“ führte zur Festlegung eines Maßstabs für Gerechtigkeit, der die Sünden derer ans Licht bringt, die im Finstern wandeln:

19 „Dies ist nun die Grundlage für das Gericht: dass das Licht in die Welt kam und die Menschen die Dunkelheit mehr liebten als das Licht, denn ihre Werke waren böse. 20 Denn jeder, der Böses tut, hasst das Licht und kommt nicht ans Licht, damit seine Werke nicht aufgedeckt würden. 21 Wer aber die Wahrheit tut, der kommt ans Licht, damit es ganz offenbar werde, dass seine Werke in Gott getan sind“ (Johannes 3:19-21).

11 Habt nicht Teil an den fruchtlosen Werken der Finsternis, sondern deckt sie vielmehr auf. 12 Denn was sie im Geheimen tun, ist schändlich auch nur auszusprechen. 13 Alles vom Licht aufgedeckte aber wird offenbar gemacht. 14 Denn alles, was offenbar gemacht wurde, ist hell, und darum heißt es: „Wach auf, du Schläfer, / steh auf von den Toten, / und Christ wird dich erleuchten!“ (Epheser 5:7-14)

Das „wahre Licht“ kam in die Welt; doch die Welt reagierte nicht so auf dieses Licht, wie man hätte hoffen sollen. Das Wort, das schon existierte, bevor die Welt erschaffen wurde, das Wort, das die Welt ins Dasein brachte, das Wort, das das Licht hervorbrachte, kam in die Welt, die Er selbst gemacht hatte, und doch erkannte Ihn die Welt nicht. Der Eine, der sowohl das Wort als auch das Licht war, kam in die Welt, die Er erschaffen hatte, und die Welt wollte nichts von Ihm wissen.

Er kam, um das in Besitz zu nehmen, was Sein Eigen war, aber selbst Sein eigenes Volk nahm Ihn nicht auf. Vers 11 enthält eindeutig ein Wortspiel, doch manche englischen Übersetzungen geben nicht einmal einen Hinweis darauf, dass Johannes hier zwei verschiedene Ausdrücke benutzt, die eine etwas unterschiedlicher Bedeutung haben. Sie übersetzen vielmehr die beiden griechischen Ausdrücke mit denselben englischen Worten „Sein Eigen“:

Er kam zu Seinem Eigen, und Sein Eigen nahm Ihn nicht auf (Vers 11, NKJV; Hervorhebung durch B. Deffinbaugh).

Er kam zu Seinem Eigen, und die Sein Eigen waren, nahmen Ihn nicht auf (Vers 11, NASB; Hervorhebung durch B. Deffinbaugh).

Er kam auf sein Eigen, und sein Eigen nahm ihn nicht auf (Vers 11, KJV; Hervorhebung durch B. Deffinbaugh).

Die NET-Bibel übersetzt diesen Vers am genauesten:

Er kam zu dem, was sein Eigen war34, doch sein eigenes Volk nahm ihn nicht auf (NET-Bibel).

Welch eine Ironie, dass der Eine, der alle Dinge erschuf, von Seinem eigenen Volk abgelehnt wurde, als Er kam, um das Seine in Besitz zu nehmen. Das erinnert doch sehr an das Gleichnis unseres Herrn von den „bösen Pächtern“ in Matthäus 21:33-46. Es ist dies in der Tat ein finsteres Bild, eines, das die Bosheit der Menschen aufzeigt, die ihren Schöpfer abweisen (siehe Römer 1:18-32).

Es gibt aber auch eine gute Nachricht: Dass Sein eigenes Volk das „Licht“ abwies, vereitelte die Absichten Gottes in keiner Weise. Johannes erzählt uns nämlich nicht einfach nur die Geschichte von „Gott in der Hand der wütenden Sünder“35, sondern in den Versen 12 und 13 erzählt er uns auch von den Sündern, die in der Hand eines gnädigen Gottes sind. Nicht alle werden das Licht zurückweisen, das in die Welt gekommen ist. Die, die Ihn aufnehmen, erhalten das Recht, sich Gottes Kinder zu nennen – sie sind in zweifacher Hinsicht die Seinen: die Seinen aufgrund der Schöpfung und die Seinen aufgrund der Kindschaft. Dies trifft auf jeden zu, der sein Vertrauen in Seinen Namen setzt36.

Damit nicht jemand auf die Idee kommt, es sich selbst anzurechnen, dass er unter die Gemeinschaft der Erlösten gezählt wird, sollte man sich Johannes’ Worte in Vers 13 anhören. Sie sagen deutlich, dass die Erlösung Gottes Werk ist und nicht das unsere; Gott erwählt uns eher als dass wir Ihn erwählen37:

„Kinder, die nicht von menschlichen Eltern oder durch menschlichen Willen oder aus der Entscheidung eines Mannes heraus geboren werden38, sondern durch Gott.“

Über die Bedeutung dieser Worte gibt es beträchtliche Diskussionen. Wörtlich lautet der Text: „Die geboren wurden nicht aus dem Blut ...“. Anstatt viel Zeit darauf zu verwenden, alle vorhandenen Möglichkeiten zu erforschen, ist es hier günstiger, einen allgemeineren Standpunkt einzunehmen. Alle drei Ausdrücke, „aus dem Blut“, „Willen des Fleisches“ und „Willen des Mannes“ beschreiben einen menschlichen Ursprung aus der Sicht menschlicher Initiative und menschlicher Handlung. Johannes stellt hier wohl alle Ausdrücke zusammen, von denen er annimmt, dass seine Leser sie als Quelle menschlicher Empfängnis und Geburt ansehen. Sowohl im Hinblick auf die tatsächliche Vereinigung von Zellen als auch im Hinblick auf die Motivation und Initiative hinter dieser Vereinigung sagt uns Johannes, dass unsere geistliche Geburt nicht aus oder durch menschliche(r) Absicht und Bemühung entsteht. Vielmehr werden diejenigen, die in die Familie Gottes als Seine Kinder geboren werden, „durch Gott geboren“. Gott ist der Schöpfer; Er ist der letzte Grund, Er ist Derjenige, durch dessen Willen und Wirken Menschen zu Seinen Kindern werden. Dies wird noch weiter im Detail bei dem Gespräch unseres Herrn mit Nikodemus in Kapitel 3 ausgeführt werden. Genau und mit biblischen Worten gesagt:

„Die Rettung ist des Herrn“ (Jona 2:9, Psalm 3:8, NKJV).

„Niemand kann zu mir kommen, es sei denn, der Vater ziehe ihn, der mich gesandt hat; und ich werde ihn am jüngsten Tage auferwecken“ (Johannes 6:44, siehe auch 6:65).

Denn von ihm und durch ihn und zu ihm sind alle Dinge. Ihm sei Ehre in Ewigkeit! Amen (Römer 11:36).

Das Wort und das menschliche Fleisch
(1:14-18)

14 Nun aber wurde das Wort Fleisch und lebte39 unter uns. Wir sahen seine Herrlichkeit – die Herrlichkeit des einzigen [Gezeugten]40, voller Gnade und Wahrheit, der vom Vater herkam. 15 Johannes legte Zeugnis über ihn ab und rief aus: „Dieser war es, von dem ich sagte: ‚Der nach mir kommt, ist größer als ich es bin, denn er existierte schon vor mir.’“ 16 Denn wir alle haben aus seiner Fülle eine Gnade nach der anderen empfangen. 17 Denn das Gesetz wurde durch Moses gegeben, aber die Gnade und Wahrheit sind durch Jesus Christus geworden. 18 Niemand hat Gott je gesehen; der Einzige, Er, der selbst Gott ist, der in der Gegenwart des Vaters ist, hat über ihn Aufschluss gegeben.

Diese Verse stellen den Höhepunkt alldessen dar, worauf Johannes in seinem Prolog abzielt. Bis zu diesem Punkt wurde uns gesagt, dass „das Wort“ eine Person ist, eine ewige Person, die in der Tat Mitglied der Gottheit ist. Es gab Ihn schon bei der Schöpfung, ja, Er war der Schöpfer. Er ist verschieden von Gott dem Vater und doch in engster Gemeinschaft mit Ihm. Er ist der Ursprung von Licht und Leben. Er ist Der, den Johannes der Täufer bezeugte und dessen Erscheinen er voraussagte. Er ist Der, den Sein eigenes Volk zurückwies, aber den man annehmen muss, um ein Kind Gottes zu werden. Und die dann Gottes Kinder werden, werden es nicht aus menschlichem Willen oder Bemühen heraus; sie entstehen aus göttlicher „Empfängnis“. Bisher wurde noch nicht gesagt, wer diese Person ist. Das wird uns nun in den Versen 14-18 mitgeteilt.

Bis hierher wurde der Eine, den Johannes uns vorstellt, nur als „das Wort“ bezeichnet. Dieses „Wort“ ist gleichzeitig das „Licht“, das auf die Menschen scheint. Erleuchtung kann ja aus großer Entfernung heraus geschehen, so wie das Licht der Sonne von weit her auf uns scheint. Aber Johannes geht nun daran, uns eine ganz erstaunliche Tatsache mitzuteilen: Das „Wort“ wurde Fleisch und lebte unter den Menschen. Hier geschieht etwas absolut Einmaliges in der menschlichen Geschichte. In den heidnischen Religionen kommen die „Götter“ in verschiedenen Formen auf die Erde, doch gab es dort niemals eine Inkarnation wie die unseres Herrn. Ebenso wird den Menschen in manchen falschen Religionen versprochen,dass sie zu Göttern würden; niemals aber, dass Gott Menschlichkeit annehmen würde, wie es Johannes hier beschreibt41.

Das „Wort“ ‚tabernakelte’42 bei Seinem Volk und verband dabei vollständiges Mensch-Sein mit Seinem unverminderten Gott-Sein. So machte Er unter den Menschen Seine Herrlichkeit offenbar. Einst wurde Gottes “Herrlichkeit” durch das Tabernaculum [die Stiftshütte oder das Offenbarungszelt des Alten Testaments; Anm. d. Ü.] sichtbar gemacht:

42 „Das soll das beständige Brandopfer sein, durch eure Generationen hindurch, am Eingang des Tabernaculums der Begegnung vor dem Herrn, wo Ich euch begegnen und mit dir sprechen werde. 43 Und dort werde Ich den Kindern Israels begegnen, und das Tabernaculum soll durch Meine Herrlichkeit geheiligt werden“ (Exodus 29: 42-43, NKJV).

33 Und er richtete den Vorhof rings um das Tabernaculum auf und den Altar und hängte den Sichtschutz in das Tor des Vorhofes. So stellte Moses das Werk fertig. 34 Da bedeckte die Wolke das Tabernaculum der Begegnung und die Herrlichkeit des Herrn erfüllte das Tabernaculum. 35 Und Moses konnte nicht in das Tabernaculum der Begegnung hineingehen, weil die Wolke über ihr ruhte und die Herrlichkeit des Herrn das Tabernaculum erfüllte (Exodus 40:33-35, NKJV).

Während der Inkarnation ‚tabernakelte’ Gott durch Seinen Sohn unter Seinem Volk, und so kann Johannes sagen: „Wir sahen seine Herrlichkeit – die Herrlichkeit des einzigen [Gezeugten], voller Gnade und Wahrheit, der vom Vater herkam“ (Johannes 1:14; siehe auch 1. Johannes 1:1-4).

Johannes sagt: „Wir sahen seine Herrlichkeit.“ Das „wir“ muss sich auf jeden Fall auf die Apostel beziehen, schließt aber vielleicht auch noch andere Menschen ein. Die Verklärung unseres Herrn war sicher eine der dramatischsten Demonstrationen Seiner Herrlichkeit (siehe Lukas 9:30-32; 2.Petrus 1:16-19). Andere Gelegenheiten waren wohl die Verwandlung von Wasser in Wein (Johannes 2:11) und die Erweckung des Lazarus (Johannes 11:4,40). Die großartigste Darstellung der Herrlichkeit Gottes in Christus ist bis heute Sein Tod und Begräbnis und Seine Auferstehung (siehe Johannes 12:28, 13:31, 17:5,22,24, 1. Korinther 15:43). Die Art, wie Johannes das Wort „Herrlichkeit“ gebraucht, mag uns wohl dazu bringen, die „Herrlichkeit“ neu zu überdenken und neu zu definieren, so dass sie dann Dinge einschließt, die wir normalerweise nicht mit Herrlichkeit assoziieren würden. Von dem Einen, der „vom Vater herkam“, der „voller Gnade und Wahrheit“ war, sollte man gewiss erwarten, dass Er die Herrlichkeit Gottes offenbart.

Dieser Eine, den Johannes so weit vorgestellt hat, ist Jesus Christus. Er ist Der, von dem Johannes der Täufer Zeugnis ablegte. Er ist Der, der größer als alles ist. Er ist größer als Johannes der Täufer; Er existierte schon vor ihm. Er ist größer als das Gesetz. Er ist „voller Gnade und Wahrheit“ (Vers 14). Das Gesetz war eine Offenbarung Gottes, die in Stein geschrieben wurde. Der Herr Jesus Christus ist eine Offenbarung Gottes, die sich in menschlichem Fleisch manifestierte und unter den Menschen wohnte. Er ist die vollendete und endgültige Offenbarung Gottes:

1 Nachdem Gott zu unseren Vorfahren vor langer Zeit in verschiedenen Teilen und verschiedenen Arten durch die Propheten sprach, 2 hat er nun zu uns in diesen letzten Tagen in einem Sohn gesprochen, den er zum Erben aller Dinge eingesetzt hat und durch den er die Welt erschaffen hat. 3 Der Sohn ist der Glanz seiner Herrlichkeit und das Abbild seines Wesens und erhält alle Dinge durch sein mächtiges Wort. Und so setzte er sich zur Rechten des Erhabenen in der Höhe, nachdem er die Reinigung von den Sünden vollbracht hatte (Hebräer 1:1-3).

Jesus Christus ist größer als das Gesetz, weil Er die vollkommene Offenbarung Gottes ist (wo das Gesetz Ihn nur partiell offenbarte). Außerdem ist Seine Gnade größer als die Gnade, die das Gesetz gewährt: „Denn wir alle haben aus seiner Fülle eine Gnade nach der anderen [wörtlich: Gnade über Gnade] empfangen. 17 Denn das Gesetz wurde durch Moses gegeben, aber die Gnade und Wahrheit sind durch Jesus Christus geworden“ (Johannes 1:16-17).

Während wir in einer Hinsicht die Gnade und das Gesetz als Gegensatz betrachten können, trifft es andererseits auch zu, dass das Gesetz Gottes gnädige Gabe an die Menschen war. Dem Gesetz fehlt es nicht an Gnade. Nur erzeigt Gott durch Jesus Christus und den Neuen Bund eine noch größere Gnade43. So kann Johannes sagen, dass wir in Christus „Gnade über Gnade“ empfangen haben. Moses war das Instrument, mit dessen Hilfe „die Gnade des Gesetzes“ gegeben wurde; Jesus Christus ist das Instrument, durch das „Gnade über Gnade“ gegeben wird.

In der Person unseres Herrn Jesus Christus, des inkarnierten Gottes, ist der unsichtbare Gott nun für die Menschen sichtbar. Moses sehnte sich danach, Gott umfassender zu sehen, und es wurde ihm ein partieller Blick gewährt (Exodus 33:17-34:7). In Christus sehen wir Gott in menschlichem Fleisch unter den Menschen wohnen. Das ist mehr, als man je zu hoffen gewagt hätte. Es ist auch mehr, als wir je in der Lage sein werden zu begreifen. Es ist ein Wunder, das unsere Anbetung in alle Zeit und Ewigkeit inspirieren wird.

Schlussfolgerung

Der Sinn wird über alle Maßen strapaziert, wenn man Johannes’ Worte im Prolog zu seinem Evangelium liest. Es sind dies großartige Wahrheiten, die wir in diesem ganzen Leben weiter zu ergründen suchen und die unsere Anbetung des Herrn in alle Ewigkeit nähren sollen. Bedenken Sie am Ende dieser Botschaft einige der möglichen Bedeutungen dieses Textes für den Leser.

Erstens: Der Leser sollte Johannes’ Prolog als Einführung großartiger Wahrheiten und Themen erkennen, auf die wir im weiteren Verlauf des Evangeliums immer wieder stoßen werden.

Im Prolog werden wir mit den Schlüsselthemen bekannt gemacht, die in der folgenden Erzählung vorkommen: das Wort, Gott, Leben, Licht, Finsternis, Zeugnis, die Welt, Ablehnung/Annahme, Glaube, Erneuerung (ein Kind Gottes werden), Inkarnation (das Wort wurde Fleisch), der eine Sohn des Vaters, Herrlichkeit, Gnade, Wahrheit und Fülle – dies alles wird im restlichen Evangelium weiter ausgeführt und veranschaulicht. Und wir werden mit den Schlüsselgestalten des Evangeliums bekannt gemacht: Gott, das Wort (Jesus, der Sohn Gottes), Johannes der Täufer, Moses, der Verfasser (als Sprachrohr für die Apostel) und alle Gläubigen. 44

Vielleicht haben Sie auch schon einmal die frustrierende Erfahrung gemacht, dass Sie an die Tür oder ans Telefon gingen und es mit einem Vertreter zu tun bekamen, der dann meistens versichert, dass er uns gar nichts „verkaufen“ will. Aber wir wissen, dass er etwas verkaufen will, und in der Regel wollen wir gar nichts kaufen. (Pfadfinderinnen und ihre Pfefferminztaler sind dabei eine willkommene Ausnahme, sowohl was die Methode als auch was das Produkt betrifft.) Johannes tut das nicht. Er klärt seine Leser von vorneherein darüber auf, wo er herkommt und wo er hin will. Ob man mit ihm einig ist oder nicht – zumindest weiß man, was man zu erwarten hat. Ist Jesus Gott? Mancher stimmt dem vielleicht nicht zu, muss aber zumindest zugeben, dass Johannes daran glaubt und sich sicher ist, dass Er es sei.

Zweitens: Die Wahrheiten, die Johannes in seinem Prolog entwirft, sind nicht nur für sein Evangelium grundlegend, sondern auch grundlegend für die Gute Botschaft von unserem Herrn Jesus Christus. Während die anderen Evangelien erst allmählich die Erkenntnis aufbauen, dass Jesus von Nazareth der fleischgewordene Gott ist, platzt Johannes damit gleich zu Beginn seines Werkes heraus. Jesus ist „das Wort“, der Gott, der von Ewigkeit her existierte und der bei der Schöpfung gegenwärtig und tätig war. Und Wunder über Wunder – das Wort, das seit Ewigkeit mit dem Vater existierte, wurde bei der Inkarnation fleischlicher Mensch. Er ist die Quelle des Lichts (der Wahrheit) und des (ewigen) Lebens. Durch Ihn lässt uns der Vater Gnade und Wahrheit im Überfluss zukommen.

Diese grundlegenden Wahrheiten bilden die Angriffspunkte für diejenigen, die die Dunkelheit dem Licht vorziehen, die Den nicht annehmen wollen, der kam, um Seinen Anspruch auf Seine Schöpfung geltend zu machen. Es sind diese fundamentalen Doktrinen, über die sich Johannes hier ergeht, die die Menschen anfechten und durch falsche Lehren und Glaubensinhalte zu ersetzen bemüht sind. Das Gott-Sein Christi wurde durch den Arianismus angefochten, der behauptete, dass Jesus einfach nur ein Mensch wie alle anderen Menschen auch gewesen sei. Das Mensch-Sein Christi wurde vom Doketismus bestritten, der die Menschen davon überzeugen wollte, dass Jesus gar keinen wirklichen Körper gehabt habe, dass Er eine Art Geist oder Geistwesen gewesen sei. Genau darum legt Johannes solch starke Betonung auf die grundlegenen Wahrheiten der Göttlichkeit und der Inkarnation unseres Herrn. Das sind keine späteren Ausschmückungen, die als Wahrheiten verkauft werden; sie sind Wahrheit.

Drittens: An erster Stelle unter den Lehren in Johannes’ Prolog steht die Doktrin von der Inkarnation unseres Herrn. J.I. Packer definiert, was mit Inkarnation gemeint ist:

Das Kind, das in Bethlehem geboren wurde, war Gott, zum Menschen gemacht. Das Wort war Fleisch geworden: ein richtiger menschlicher Säugling. Er hatte damit nicht aufgehört, Gott zu sein; Er war nicht weniger Gott als zuvor, aber Er war jetzt Mensch. Er war nicht Gott minus einiger Bestandteile Seines Gott-Seins, sondern Gott plus alles, was Er Sich zu Eigen gemacht hatte, indem Er die Menschheit an Sich genommen hatte. Er, der den Menschen gemacht hatte, lernte nun, wie es war, ein Mensch zu sein. Er, der den Engel gemacht hatte, der dann zum Teufel wurde, war nun in einer Verfassung, in der Er vom Teufel versucht werden konnte – oder vielmehr nicht vermeiden konnte, dass er versucht wurde; und die Vollkommenheit Seines menschlichen Lebens wurde erst durch die Auseinandersetzung mit dem Teufel erreicht.45

Inkarnation bedeutet, dass Gott seinem unverminderten Gott-Sein ein nicht-gefallenes Mensch-Sein hinzufügte. Es bedeutet in gar keiner Weise, dass die Göttlichkeit unseres Herrn beeinträchtigt oder aufgehoben wurde. Es bedeutet aber, dass bestimmte Manifestationen Seiner Herrlichkeit verhüllt wurden und dass der Gebrauch einiger Seiner Fähigkeiten freiwillig beschränkt war. Es bedeutet nicht, dass unser Herr in Bethlehem erschaffen wurde, sondern nur, dass Er bei Seiner Inkarnation auf die Erde herabkam. Es bedeutet, dass der Säugling in der Krippe Gott war, in menschlicher Fleischlichkeit manifest.

Die Doktrin von der Inkarnation unseres Herrn ist aus verschiedenen Gründen wichtig. Sie ist wichtig, weil sie wahr ist und weil sie hier im Johannes-Evangelium, wie auch an anderen Stellen, eindeutig und nachdrücklich gelehrt wird. Außerdem ist sie wichtig, weil die Inkarnation unseres Herrn alttestamentarische Schriften erfüllte. Das Alte Testament lehrte, dass der verheißene Messias ein Mensch sein würde, ein Nachkomme Abrahams, Isaaks, Jakobs, Judas und Davids (siehe 2. Samuel 7:12-14). Das Alte Testament lehrte auch, dass der Messias Gott sein würde (siehe Jesaja 9:6, Micha 5:2). Die Inkarnation unseres Herrn war eine praktische Notwendigkeit. Für die Erlösung der Menschen war ein Opfer nötig, ein vollkommenes menschliches Opfer – ein Mensch, der nicht um seiner eigenen Sünden willen sterben musste und deshalb für die Sünden der anderen sterben konnte. Diese Person musste ein „Sohn Adams“ sein, um der „letzte Adam“ werden zu können (1. Korinther 15:45), der die Auswirkungen des ersten Adam für alle rückgängig machen konnte, die an Ihn glauben (siehe Römer 5:12-21). Die Inkarnation unseres Herrn ist auch die Grundlage dafür, dass Er mit den Menschen mitfühlen und sich mit ihnen identifizieren und so ein gnädiger und treuer Hohepriester werden konnte (Hebräer 2:14-18, 4:14-16, siehe auch 1. Timotheus 2:5).

Viertens: Wenn Johannes’ Lehren über die Inkarnation wahr sind (und das sind sie gewiss!), müssen wir auf jeden Fall beachten, was unser Herr sagte. Jesus Christus ist die vollkommene und endgültige Offenbarung Gottes (Hebräer 1:1-4). Das ist wahr, und deshalb tun wir gut daran zu beherzigen, was Er gesagt hat:

1 Darum müssen wir den Dingen, die wir gehört haben, umso mehr Aufmerksamkeit schenken, damit wir nicht abgleiten. 2 Denn wenn sich die von den Engeln gesprochene Botschaft als so unumstößlich erwies, dass jeder Verstoß oder Ungehorsam dagegen seine gerechte Strafe empfing, 3 wie wollen wir dann entrinnen, wenn wir eine solch großartige Errettung missachten? Sie wurde zuerst mitgeteilt durch den Herrn und uns dann von denen bestätigt, die ihn gehört haben, 4 wobei Gott ihr Zeugnis mit Zeichen und Wundern bestätigte und mit mancherlei Wundern und Gaben des Heiligen Geistes nach seinem Willen (Hebräer 2:1-4).

Erinnern wir uns daran, was der Vater sagte, nachdem Er Jesus als Seinen Sohn identifiziert hatte: „Während er noch redete, umgab sie eine lichte Wolke, und eine Stimme aus der Wolke sprach: ‚Dies ist mein geliebter Sohn, an dem ich große Freude habe. Hört auf ihn!’“ (Matthäus 17:5).

Fünftens: Was der Prolog des Johannes über die Inkarnation unseres Herrn lehrt, steigert unsere Wertschätzung der Weihnachtsgeschichte von der Geburt unseres Herrn, wie sie in Matthäus und Lukas berichtet wird. Das „Wunder“ von Weihnachten besteht nicht darin, dass demütigen Eltern ein Kind geboren wurde. Es beschränkt sich nicht auf die Tatsache, dass dieses Kind die Erfüllung vieler Prophezeiungen war und Gegenstand von Gottes Fürsorge und Schutz (vor Herodes, zum Beispiel). Das Wunder besteht darin, dass dieses Kind die zweite Person der Gottheit war, gekommen, um als Mensch (ein Gott-Mensch) unter Menschen zu wohnen, gekommen, um die Sünden der Welt zu tragen.

Johannes erzählt uns nicht die „alte Geschichte“ von der Geburt unseres Herrn. Statt dessen sagt er uns, dass Der, der von der Jungfrau Maria geboren wurde, jemand war, „dessen Ausgang von langer Zeit her ist, von den Tagen der Ewigkeit“ (Micha 5:2b, NASB). Was uns Johannes erzählt, wirft ein ganz neues Licht auf das, was wir in den Geburtsberichten von Matthäus und Lukas lesen. Er sagt uns, dass diese Geburt ein einmaliges Ereignis in der Geschichte darstellt, das sich nie mehr wiederholen wird und für immer die Quelle großer Verwunderung, Freude und Dankbarkeit sein soll.

Haben Sie bemerkt, wie manchmal jemand (besonders Maria) in den Evangelien sich über Dinge „verwundert“, sie „bedenkt“ oder „in ihrem Herzen bewegt“? Maria erlebte Dinge, die über ihr Fassungsvermögen hinausgingen. Johannes sagt uns in seinem Prolog auch etwas, das über unser Fassungsvermögen hinausgeht und uns dazu bewegen sollte, eine lange Zeit über diesen Text nachzudenken. Stellen Sie sich das doch nur vor: das Baby in der Krippe ist kein anderer als Gott. Der, zu dem die Weisen durch einen Stern geleitet wurden, war Der, der diesen Stern gemacht hatte.

The Maker of the universe
As Man, for man was made a curse.
The claims of Law which He had made
Unto the uttermost He paid.

His holy fingers made the bough
Which grew the thorns that crowned His brow.
The nails that pierced His hands were mined
In secret places He designed.

He made the forest whence there sprung
The tree on which His body hung.
He died upon a cross of wood
Yet made the hill on which it stood.

Der Schöpfer des Universums als Mensch,
denn der Mensch war zu einem Fluch geworden.
Die Forderungen des Gesetzes, das Er gemacht hatte,
erfüllte Er Selbst bis zum Äußersten.

Seine heiligen Finger machten den Ast,
der die Dornen trug, die Seine Stirn krönten.
Die Nägel, die Seine Hände durchbohrten, wurden in
verborgenen Minen gewonnen, die Er gestaltet hatte.

Er machte den Wald, aus dem der Baum stammte,
an dem Sein Leib hing.
Er starb an einem Kreuz aus Holz und hatte doch
den Hügel gemacht, auf dem es stand.

The sky that darkened o’er His head
By Him above the earth was spread.
The sun that hid from Him its face
By His decree was poised in space.

The spear which spilled His precious blood
Was tempered in the fires of God.
The grave in which His form was laid
Was hewn in rocks His hands had made,

The throne on which He now appears
Was His from everlasting years.
But a new glory crowns His brow
And every knee to Him shall bow.

Author Unknown

Den Himmel, der sich über Seinem Haupt verfinsterte,
hatte Er Selbst über der Erde ausgespannt.
Die Sonne, die vor Ihm ihr Angesicht verbarg,
wurde durch Seinen Befehl im Raum gehalten.

Der Speer, der Sein kostbares Blut vergoss,
wurde in Gottes Feuern geläutert.
Das Grab, in das Seine Gestalt gelegt wurde,
war in Felsen gehauen, die Seine Hände gemacht hatten.

Der Thron, auf dem Er nun erscheint,
war von Ewigkeit her der Seine.
Aber neue Herrlichkeit krönt Seine Stirne
und jedes Knie soll sich vor Ihm beugen.

Unbekannter Verfasser

Sechstens: Der Prolog des Johannes und insbesondere die Lehren darin über die Inkarnation unseres Herrn beleuchten uns den wahren „Geist von Weihnachten“. Johannes schrieb: „Niemand hat Gott je gesehen. Der Einzige [Gezeugte], Er, der selbst Gott ist, der in der Gegenwart des Vaters ist, hat über Gott Aufschluss gegeben“ (Johannes 1:18). Der Ausdruck „hat Aufschluss über Gott gegeben“ könnte von einem Seminaristen mit „hat Ihn ausgelegt“ übersetzt werden. „Auslegung“ ist die Erklärung eines Schrifttextes. Durch Seine Inkarnation hat Jesus den Vater für uns „erklärt“. Das tat er nicht nur mit Worten, sondern auch durch Seine Handlungen. Viele von uns, die zu der Auffassung neigen, dass wir unseren Herrn am besten durch das widerspiegeln, was wir sagen, sollten lieber einmal diesen Text betrachten, der uns lehrt, dass wir unseren Herrn außer durch unsere Worte auch durch unseren Wandel offenbaren.

Die Inkarnation unseres Herrn ist mehr als ein – wenn auch wichtiges – geschichtliches Ereignis. Sie beinhaltet ein Beispiel46, dem jeder von uns folgen sollte:

5 Diese Gesinnung solltet ihr gegeneinander haben, die auch Jesus Christus hatte, 6 der, obwohl er in Gottesgestalt existierte, nicht nach der Gottgleichheit zu greifen bestrebt war, 7 sondern sich entäußerte, indem er die Gestalt eines Sklaven annahm, eines Menschen, der aussah, wie andere Menschen auch, indem er die menschliche Natur mit uns teilte. 8 Er erniedrigte sich selbst und wurde gehorsam bis hin zum Tod ... ja selbst zum Tod an einem Kreuz (Philipper 2:5-8).

Der „Geist der Weihnacht“, den wir aus dem Beispiel unseres Herrn lernen können, ist das genaue Gegenteil vom „Geist von Korinth“, wie er im Paulus-Brief an die Korinther beschrieben wird. Die Korinther dachten nur an sich selbst. Kein Wunder also, dass es dort Unmoral, Maßlosigkeit, Stolz und Uneinigkeit gab. Die Korinther wollten die „Herrlichkeit“ jetzt sofort, sie wollten nicht warten. Sie wollten nicht leiden oder ihre Annehmlichkeiten aufgeben. Den wahren Geist der Weihnacht sehen wir in unserem Herrn, der Seine Herrlichkeit und Seine himmlischen Annehmlichkeiten aufgab, damit Er Sein Leben als Sühneopfer für die Sünden der Menschen hingeben konnte. Der Geist von Korinth dagegen forderte alle himmlischen Vergünstigungen sogleich und ging jedem Opfer in der gegenwärtigen Zeit aus dem Wege.

Satan hat schon immer aktive Anstrengungen unternommen, um einen Keil zwischen die Menschheit und die Gottheit zu treiben. Im Garten Eden gelang es Satan, eine Barriere zwischen Mensch und Gott zu schaffen, indem er den Menschen dazu verführte, die eine Sache aus dem Weg zu räumen, die Gott anscheinend vom Menschen unterschied – das Wissen um Gut und Böse. Indem er den Menschen zur Sünde verführte, gelang es Satan, einen Keil zwischen Mensch und Gott zu treiben. Bei der Versuchung unseres Herrn in der Wüste versuchte Satan, einen Keil zwischen unseren Herrn und Seinen Vater zu treiben, indem er Ihn dazu drängte, dass Er Sich trotz Seiner göttlichen Berufung Seine menschlichen Bedürfnisse erfüllen sollte. Aber das klappte nicht. Die Inkarnation unseres Herrn ermöglichte die Vereinigung des Menschen mit Gott in einer Weise, wie es sich niemand je hätte träumen lassen. Indem wir Gottes Geschenk der Sündenvergebung und das ewige Leben in der Person und dem Opferwerk Jesu Christi empfangen, gelangen wir in eine Vereinigung mit Christus; und unsere Fähigkeiten reichen nicht aus, um eine so unfassbare Gnade zu ergründen.

Siebtens: Die Inkarnation unseres Herrn rückt alle anderen Lehren der neutestamentarischen Evangelien ins rechte Licht. Niemand drückt das besser aus als J.I. Packer, dessen fünftes Kapitel „Der fleischgewordene Gott“ aus Knowing God [Gott erkennen] es wert ist, wieder und wieder gelesen zu werden – besonders an Weihnachten:

Kein Wunder, dass es denkenden Menschen schwer fällt, das Evangelium von Jesus Christus zu glauben, denn die Tatsachen, die darin vorkommen, gehen über das menschliche Verständnis hinaus. Aber es ist traurig, dass so viele Menschen sich mit dem Glauben noch schwerer tun als nötig, indem sie Schwierigkeiten an den falschen Stellen sehen. Nehmen Sie beispielsweise die Versöhnung. ... Oder nehmen Sie die Auferstehung. ... Oder nehmen Sie wiederum die Jungfrauengeburt, die von den Protestanten dieses Jahrhunderts weitgehend bestritten wird.

Die wirkliche Schwierigkeit aber – denn es handelt sich um das größte Geheimnis, mit dem uns das Evangelium konfrontiert – liegt eigentlich überhaupt nicht an dieser Stelle. Sie liegt nicht in der Karfreitagsbotschaft der Sühne und auch nicht in der Osterbotschaft der Auferstehung, sondern in der Weihnachtsbotschaft der Inkarnation. Die wirklich schwindelerregende Behauptung des Christentums ist die: Jesus von Nazareth war Gott, zum Menschen gemacht – die zweite Person der Gottheit wurde zum ‚zweiten Menschen’ (1.Ko 15:47), der das Schicksal der Menschheit bestimmte, zum zweiten repräsentativen Kopf der menschlichen Rasse. Und Er nahm das Mensch-Sein ohne Verlust seines Gott-Seins an, so dass Jesus von Nazareth genauso wahrhaftig und vollständig Gott war, wie er Mensch war. Hier bekommen Sie zwei Geheimnisse zum Preis von einem: die Mehrzahl der Personen innerhalb der Einzahl Gottes und die Vereinigung von Gottheit und Menschheit in der Person Jesu. Hier, in dem, was am ersten Weihnachten geschah, liegen die unergründlichsten und tiefsten Tiefen der christlichen Offenbarung. ‚Das Wort wurde Fleisch’ (Johannes 1:14), Gott wurde Mensch, der göttliche Sohn wurde ein Jude, der Allmächtige erschien auf der Erde als ein hilfloses Menschenkind, das nichts konnte als daliegen und schauen und strampeln und Laute von sich geben und das man genauso füttern und wickeln und sprechen lehren musste wie jedes andere Kind auch. Und diesbezüglich gab es keine Illusion oder Täuschung: das Baby-Dasein des Sohnes Gottes war Realität. Je mehr man darüber nachdenkt, umso erschütternder wird es. Keine Dichtung kann so phantastisch sein wie die Wahrheit der Inkarnation.

Das ist der eigentliche Stolperstein im Christentum. Und daran sind Juden, Moslems, Unitarier, Jehovas Zeugen und viele andere, die die oben erwähnten Schwierigkeiten (über die Jungfrauengeburt, die Wundertaten, die Versöhnung und die Auferstehung) empfinden, gescheitert. Gewöhnlich liegt es am Irrglauben – oder zumindest unzulänglichen Glauben – über die Inkarnation, wenn man Schwierigkeiten mit anderen Gebieten der Evangeliums-Erzählungen hat. Wenn man aber einmal die Inkarnation als Wirklichkeit begriffen hat, lösen sich diese anderen Schwierigkeiten rasch auf.47

Jetzt, am Beginn der Weihnachtszeit und der Feierlichkeiten für Weihnachten, muss ich Ihnen die einfache Frage stellen: „Haben Sie schon Gottes Geschenk empfangen, das er Ihnen in der Person Seines Sohnes macht?“ Gott sandte Seinen Sohn in die Welt, damit die verlorenen Sünder nicht die Ewigkeit in der Hölle verbringen müssen. Gott sandte Seinen Sohn als den vollkommenen Gott-Menschen, damit die Menschen von ihren Sünden errettet werden konnten. Haben Sie das Geschenk der Sündenvergebung und des ewigen Lebens empfangen? Bekenne deine Sünden und dass deine Sünde dich zu ewiger Qual verdammt. Empfange Christi Tod, Begräbnis und Auferstehung als Sein Werk zu deinen Gunsten, als Tilgung für deine Sünden und als Quelle einer Gerechtigkeit, die Gott als ausreichende Voraussetzung für das ewige Leben akzeptiert. Ich wünsche dir, dass du erfährst, wie es ist, wenn Gott in dir wohnt, zu Seinem Ruhm und zu deinem ewigen Besten.


21 Joyful Noise Music Company, Logos Hymnal (Fort Worth, TX: Joyful Noise Music Company, 1994).

22 J.I. Packer, Knowing God [Gott erkennen], (Downers Grove: Inter-Varsity Press, 1973), S. 48.

23 In der Septuaginta, der griechischen Übersetzung des Alten Testaments, ist der Ausdruck in Genesis 1:1 der selbe wie der in dem griechischen Text von Johannes 1:1.

24 „Den Begriff ‚Sohn’ bringt er überhaupt nicht in seinem Eröffnungssatz; stattdessen spricht er zunächst vom Wort. Es bestand keinerlei Gefahr, dass man ihn missverstehen würde; denn die Leser des Alten Testaments würden den Bezug sofort erkennen. Gottes Wort im Alten Testament ist Seine schöpferische Äußerung, Seine Macht, die am Werk ist, um Seine Absichten zu verwirklichen. Das Alte Testament stellte die Äußerungen Gottes, das Aussprechen Seiner Absichten, so dar, dass sie an sich die Macht hatten, die beabsichtigten Dinge zu bewirken. Genesis 1 erzählt uns, wie bei der Schöpfung ‘Gott sagte, Es werde ..., und es ward ...’ (Gen 1:3). ‘Durch das Wort des Herrn wurden die Himmel gemacht ... Er sprach, und es wurde gemacht’ (Ps 33:6,9). Das Wort Gottes ist also Gott am Werk.“ J.I. Packer, S. 48.

25 Es stimmt natürlich, dass man in einem prophetischen Sinne auch vor der Inkarnation vom „Messias“ oder „Sohn Gottes“ sprechen könnte.

26 In der NET-Bibel werden neutestamentarische Zitate aus dem Alten Testament durch eine Kombination aus Fett- und Kursivdruck wiedergegeben. Weniger direkte Bezüge auf das Alte Testament werden durch Kursivdruck wiedergegeben.

27 Siehe auch 1. Korinther 8:4-6; Titus 2:11-14; 1. Johannes 5:20.

28 Siehe oben, Fußnote 7. Diese Worte sind eine Anspielung auf Psalm 36:9.

29 Siehe Kolosser 1:15-20, wie oben zitiert.

30 „Erfasst“ [„mastered“] scheint die beiden möglichen Bedeutungen des hier benutzten griechischen Wortes am besten wiederzugeben bzw. zuzulassen.

31 Die Verse 9 and 10 vereinen offenbar die beiden Färbungen des Worte, indem die Welt weder Ihn, der das Licht war, erkannte, noch Ihn als das Licht aufnahm.

32 Es gibt hier einen klaren Gegensatz zwischen dem Wort und Johannes. Das Wort war, Johannes kam. Der Begriff, der in Vers 6 mit „kam“ übersetzt wird, kommt in Johannes 1:3 dreimal vor und bezieht sich dort in jedem Fall auf Dinge, die erschaffen wurden, Dinge, die durch den Willen Gottes entstanden. Johannes kam (ins Dasein, könnte man sagen); das Wort dagegen war. Morris schreibt: „Jesus ‚war’ am Anfang. Johannes ‚kam ins Dasein’. Der Gegensatz wird weiter verfolgt, indem Johannes als ‚ein Mann’ bezeichnet wird, während von Jesus zuvor als von dem ‚Wort’ gesprochen wurde.“ Morris, S. 88.

33 Von allen 27 Gelegenheiten, bei denen dieses Wort vorkommt – das (in der KJV) immer mit „wahr“ [„true“, Anm. d. Ü.] übersetzt wird –, sind es nur fünf Mal andere Verfasser, die diesen Begriff benutzen; alle übrigen Erwähnungen stammen aus den Schriften des Johannes. Das Wort „wahr“ kann „wahr im Gegensatz zu falsch“ bedeuten (siehe Lukas 16:11). Es kann aber auch (wie hier) „wahr“ in dem Sinne bedeuten, dass es die ultimative und endgültige Verwirklichung früherer Prototypen bezeichnet. In diesem Sinne ist unser Herr das wahre Licht (Johannes 1:9, 1. Johannes 2:8), das wahre Brot (Johannes 6:32), der wahre Weinstock und der wahre Zeuge (Offenbarung 3:14).

34 Ich neige hier zu der Übertragung von Leon Morris, „er kam in sein Zuhause“; diesen Punkt werde ich aber noch einmal aufnehmen, wenn wir uns mit der „Reinigung des Tempels“ beschäftigen (Johannes 2:12-22). Leon Morris, The Gospel According to John [Das Evangelium nach Johannes], (Grand Rapids: Wm. B. Eerdmans Publishing Co., 1971), S. 96.

35 Dies ist R.C. Sprouls Titel für ein ganz hervorragendes Kapitel in seinem Buch: R.C. Sproul, The Holiness of God [Die Heiligkeit Gottes], (Wheaton: Tyndale House Publishers, Inc., 1985), Kapitel 9, S. 221-234.

36 „Für die Menschen des Altertums hatte der ‚Name’ eine viel größere Bedeutung als für uns. ... Auf Menschen bezogen stand er also für die gesamte Persönlichkeit. Wenn der Psalmist beispielsweise von der Liebe für den Namen Gottes spricht (Ps. 5:11) oder wenn er betet ‚Der Name des Gottes Jakobs schütze dich’ (Ps. 20:1), dachte er dabei nicht nur an das Aussprechen des Namens, sondern an all das, was ‚Gott’ bedeutet. In gewisser Weise drückte der Name die gesamte Person aus.“ Morris, S. 99.

37 Siehe auch Johannes 15:16. Das soll nicht heißen, dass wir keine Wahl zu treffen hätten; es soll nur heißen, dass Seine Wahl der unseren vorausgeht.

38 Ich umschreibe die Worte „Entscheidung eines Mannes“ mit „das Augenzwinkern eines Mannes“.

39 Das griechische Wort, das hier mit „lebte“ übersetzt wird, lautet buchstäblich „tabernakeln“. Das kann wohl kein Zufall sein. Johannes spielt hier wieder auf alttestamentarische Geschichte und Symbolik an. Das Tabernaculum war Gottes Mittel, um inmitten Seines Volkes zu wohnen. Wieviel besser ist doch die Inkarnation unseres Herrn als das Tabernaculum des Alten Testaments.

40 Das Wort „Gezeugter“ wird in der NET-Bibel weggelassen, aber ich glaube, es sollte doch dort stehen. Es steckt in der tiefsten Bedeutung des griechischen Begriffs und ist ein Schlüsselelement für die Darstellung des Messias in der Bibel. „Zeugen“ kann sich auf die leibliche Geburt (Hebräer 11:17) und auf die geistliche Geburt (1. Korinther 4:5, Philemon 1:10) beziehen. Auf den Messias bezogen bedeutet „gezeugt sein“ nicht „eingeboren“ sein, sondern als Gottes König ernannt und inthronisiert zu sein (siehe Psalm 2:7). Bei der Geburt unseres Herrn zitierte Gott der Vater Psalm 2:7 nicht, aber dafür später (siehe Apostelgeschichte 13:33, Hebräer 1:5, 5:5).

41 Es ist interessant, Satans Strategien in dieser Hinsicht zu betrachten. Beim Sündenfall des Menschen, der in Genesis 3 beschrieben wird, verspricht Satan dem Menschen (technisch versprach er es Eva), dass er Gott gleich werden kann (siehe Genesis 3:5). In Genesis 6:1-4 scheint es, dass Satan eine Art „Inkarnation“ zu erreichen versucht, indem er gefallene Engel sich mit den „Töchtern der Menschen“ vereinigen lässt.

42 Siehe oben, Fußnote 38.

43 Der Verfasser des Hebräer-Briefes würde den Ausdruck „besser“ vorziehen.

44 Philip Wesley Comfort, I Am the Way: A Spiritual Journey Through the Gospel of John [Ich bin der Weg: Eine spirituelle Reise durch das Johannes-Evangelium], (Grand Rapids: Baker Books, 1997), S. 33-34.

45 Packer, S. 50.

46 Die liberale Wissenschaft will das Leben und den Dienst unseres Herrn ganz auf die Kategorie des Beispielhaften beschränken. Die biblische Sicht betrachtet unseren Herrn zuvorderst als den Sohn Gottes und das Lamm Gottes, der durch Seinen Sühnetod und die Auferstehung die Errettung aller erreicht hat, die daran glauben. Dann und nur dann geht es über das wundervolle Beispiel unseres Herrn hinaus. Diese beiden Aspekte (der Sühne und des Beispiels) sind untrennbar miteinander verbunden, wie Philipper 2 zeigt.

47 J.I. Packer, Knowing God [Gott erkennen], S. 45-46 aus dem Kapitel 5, „God Incarnate“ [„Der fleischgewordene Gott“]

Related Topics: Incarnation

3. Das Zeugnis des Johannes (Johannes 1:19-37)

Einleitung

Vor nunmehr dreißig Jahren kamen meine Frau Jeannette und ich zu dem Schluss, dass Gottes Führung uns zum Dallas Theological Seminary [Priesterseminar und theologische Hochschule in Dallas; Anm. d. Ü.] wies. Nach dem College war ich Lehrer in Gig Harbor geworden, einer Kleinstadt, die nur durch die Narrows Bridge vom gegenüber gelegenen Tacoma/Washington getrennt wird. Gott führte uns einer wunderbaren kleinen Gemeinde zu und einem frommen Pastor, der eine Leidenschaft für die Darlegung von Gottes Wort hegte. Als wir von dort fortgingen, hatten wir ein einjähriges Kind und ein weiteres war unterwegs. Mit einem tränenreichen Abschied von Familie und Freunden machten wir uns auf in ein Abenteuer, von dem wir annahmen, dass es vier Jahre dauern würde. Am Ende wurden es viel mehr als nur vier Jahre. In Dallas erwartete uns ein Teilzeitjob als Verwalter eines Apartment-Komplexes, wodurch zumindest für unsere Unterkunft gesorgt war. Ob wir noch irgendeine weitere Arbeitsstelle finden würden, wussten wir nicht sicher; und selbst als sich herausstellte, dass Gott noch eine andere Stelle für mich bereitet hatte, reichte unser Einkommen gerade einmal für die Hälfte unserer monatlichen Ausgaben. Ich bin mir sicher, dass mancher der Meinung war, wir hätten mit dem Umzug nach Dallas lieber warten sollen, bis wir die Mittel sicher hatten, um das auszuführen, von dem wir meinten, dass Gott uns dazu berufen hatte – nämlich die Ausbildung am Seminar in Dallas48. Die Seminarjahre waren dann mit die spannendste und reizvollste Zeit in unserem Leben, denn wir erfuhren bei vielerlei Gelegenheiten Gottes Fürsorge und Vorsorge für uns.

Wir sind nicht die einzigen, die eine solche Erfahrung machten. Denken Sie daran, wie Abraham seine Familie und seine Heimat verließ, um sich an einen unbekannten Ort weit weg von zuhause aufzumachen. Oder stellen Sie sich vor, was Moses empfand, als er die Herden seines Schwiegervaters in der Wildnis zurückließ und nach Ägypten ging, um Pharao mit der Forderung gegenüberzutreten, dass er Gottes Volk ziehen lassen solle. Bedenken Sie, was es für die israelitischen Priester bedeutet haben mag, in das Rote Meer hineinzutreten und dabei darauf zu vertrauen, dass Gott ihnen irgendwie einen Weg durch das Meer bis hin zum anderen Ufer bereiten würde. Oder stellen Sie sich vor, Sie würden sich mit Ihrer Familie und mit all Ihrer Habe auf den Weg in die Wüste machen und dabei darauf vertrauen, dass Gott Sie mit allem Nötigen versorgt, bis Sie das verheißene Land Kanaan erreicht haben.

Und nun versetzen Sie sich in die Lage von Johannes dem Täufer; ziehen Sie seine Sandalen an und sein Kleid aus Kamelhaar. Gott befiehlt Ihnen hinauszugehen, das Volk Israel zur Buße zu rufen und anzukündigen, dass der Messias in Kürze offenbart werden wird. Zu diesem Zeitpunkt sind Sie sich nicht einmal im Klaren darüber, wer denn der Messias ist – oder auf welche Weise er offenbart werden soll. In der Wildnis sollen Sie predigen, so dass alle, die Sie hören wollen, aus den Städten in die Wildnis kommen müssen. Sie haben noch nie auch nur ein einziges Wunder vollbracht. Können Sie sich vorstellen, die Botschaft von der Umkehr und Vorbereitung auf den Messias so getreulich zu verkünden, wie Johannes der Täufer es tat, ohne auch nur den Namen dessen zu kennen, über den Sie predigen?

Johannes der Täufer ist wahrhaftig ein bemerkenswerter Mann, und Jesus wusste nur Gutes über ihn zu sagen:

7 Während sie49 fortgingen, hob Jesus an, zu der Menge über Johannes zu sprechen: „Was zu sehen, seid ihr hinaus in die Wildnis gegangen? Ein Rohr, das vom Wind hin und her bewegt wird? 8 Was zu sehen, seid ihr denn hinausgegangen? Einen Mann, der in weiche Stoffe gekleidet ist? Die weiche Gewänder tragen, befinden sich doch in den Häusern der Könige. 9 Aber was zu sehen, seid ihr hinausgegangen? Einen Propheten? Ja, weit mehr als einen Propheten, sage ich euch. 10 Dieser ist es, über den geschrieben steht: ‚Siehe, ich sende meinen Boten vor dir her, der dir den Weg bereiten wird.’
11 Nun sage ich euch wahrlich: Unter allen, die von Frauen geboren wurden, ist keiner größer erstanden als Johannes der Täufer; doch im Königreich des Himmels ist der Geringste größer als er. 12 Von den Tagen Johannes’ des Täufers bis jetzt hat das Königreich des Himmels Gewalt erlitten und ungestüme Menschen ergreifen es. 13 Denn all die Propheten und das Gesetz prophezeiten bis zum Erscheinen des Johannes. 14 Und wenn ihr willens seid, es zu akzeptieren: Er ist Elia, der kommen soll. 15 Wer Ohren hat, der höre!“ (Matthäus 11:7-15, NET)50

Nicht nur unser Herr hatte eine hohe Meinung von Johannes dem Täufer. Auch Herodes hatte großen Respekt vor Johannes und seiner Predigt, obwohl Johannes die Hochzeit des Herodes mit der Frau seines Bruders verurteilt hatte. Er beschützte ihn sogar:

17 Denn Herodes selbst hatte Männer ausgesandt, um Johannes ergreifen und ihn im Gefängnis binden zu lassen, wegen Herodias, der Frau seines Bruders Philippus, weil er sie geheiratet hatte. 18 Denn Johannes sagte zu Herodes: „Es ist gegen das Gesetz, dass du die Frau deines Bruders hast.“ 19 Deshalb hegte Herodias einen Groll gegen ihn und wollte ihn töten, aber sie konnte es nicht tun, 20 denn Herodes fürchtete Johannes, weil er ihn als einen gerechten und heiligen Mann kannte, und er beschützte ihn. Als er ihn hörte, war er sehr verwirrt, und doch hörte er ihm gerne zu (Markus 6:17-20).

Welchen Maßstab man auch anlegt: man wird wohl immer zugeben müssen, dass Johannes „einmalig“ ist. Er kleidete sich eigenartig, trug ein Gewand aus Kamelhaar und einen Ledergürtel. Seine Nahrung bestand aus Heuschrecken und wildem Honig (Markus 1:6). Er hielt das Gelübde der Nasiräer ein und entsagte dem Wein und starken Getränken (Lukas 1:15, 7:33-34). Von Mutterleib an vom Heiligen Geist erfüllt (Lukas 1:15,40-41), war er ein Mann des Gebets, der auch seine Jünger beten lehrte (Lukas 5:33, 11:1).

Johannes war von seiner Geburt an „das Stadtgespräch“. Sein Vater Zacharias (ein Priester) und seine Mutter konnten keine Kinder bekommen, schon gar nicht, als sie alt geworden waren (Lukas 1:5-25,59-66). Johannes’ Geburt war etwas Übernatürliches. Als er zu predigen begann, kamen die Menschen in großer Zahl, um ihn zu hören:

Menschen aus ganz Judäa und Jerusalem gingen hin zu ihm und bekannten ihre Sünden und wurden von ihm im Jordan getauft (Markus 1:5).

„Er war eine brennende und leuchtende Lampe und ihr wolltet für eine kurze Zeit sehr fröhlich sein in seinem Licht“ (Johannes 5:35).

Johannes’ Popularität setzte sich selbst nach seinem Tode fort. Johannes’ Dienst und Botschaft waren weit reichend und weit verbreitet. Petrus gebrauchte ein Wort von Johannes, um zu rechtfertigen, was er im Haus des Cornelius tat (Apostelgeschichte 10-11, siehe insbesondere 11:15-18). Botschaft und Amt des Johannes waren Teil des Evangeliums, das Paulus predigte (Apostelgeschichte 13:23-25). Apollos war ein „in den Schriften gut bewanderter“ Mann, aber bis er Aquila und Priscilla begegnete, wusste er nur von der Taufe des Johannes (Apostelgeschichte 19:1-7). Als Paulus in Ephesus eintraf, begegnete er dort Jüngern, die nur die Taufe des Johannes kannten (Apostelgeschichte 19:1-7).

Johannes gewann seine Popularität nicht dadurch, dass er seinen Zuhörern etwas bot. Seine Zentrale war kein entzückendes Kirchengebäude in Jerusalem mit vollem Serviceprogramm; er bot weder Kinderbetreuung noch Gratismahlzeiten an. Tatsächlich zog Johannes die Massen auch niemals durch Wundertaten an (Johannes 10:41-42). Aus dem, was Lukas schreibt, entnehmen wir, dass die Botschaft von Johannes nicht an fleischliche Bedürfnisse appellierte:

7 Daher sagte Johannes zu der Menge, die herausgekommen war, um von ihm getauft zu werden: „Ihr Natternbrut! Wer hat euch gewarnt, vor dem kommenden Zorn zu fliehen? 8 Bringt also Früchte hervor, die Ausdruck eurer Reue sind, und hebt nicht an zu sagen: ‚Wir haben Abraham zum Vater.’ Denn ich sage euch: Gott kann Abraham aus diesen Steinen hier Kinder erwecken. 9 Schon ist die Axt auf die Wurzel der Bäume ausgerichtet51; und so wird jeder Baum, der keine guten Früchte hervorbringt, umgehauen und ins Feuer geworfen werden.“ 10 Da fragte ihn die Menge: „Was also sollten wir tun?“ 11 Johannes antwortete ihnen: „Wer zwei Kittel hat, muss sie mit dem teilen, der keinen hat, und wer etwas zu essen hat, muss entsprechend handeln.“ 12 Auch Steuereinnehmer kamen, um von ihm getauft zu werden, und sie sagten zu ihm: „Lehrer, was sollten wir tun?“ 13 Er sagte zu ihnen: „Nehmt nicht mehr ein, als ihr müsst.“ 14 Dann fragten ihn auch einige Soldaten: „Und wir – was sollten wir tun?“ Er sagte ihnen: „Nehmt von niemandem Geld mit Gewalt oder durch falsche Anschuldigungen und seid zufrieden mit eurem Lohn.“ 15 Während die Menschen nun voller Erwartung waren und alle in ihrem Herzen erwogen, ob wohl Johannes der Christus sein könnte, 16 gab Johannes ihnen allen zur Antwort: „Ich taufe euch mit Wasser; es kommt aber einer, der mächtiger ist als ich es bin und dem die Riemen seiner Sandalen zu lösen ich nicht wert bin. Er wird euch mit dem Heiligen Geist und mit Feuer taufen. 17 Er hat die Schaufel zum Worfeln schon in der Hand, um seine Tenne zu säubern und den Weizen in seinem Vorratshaus zu sammeln; die Spreu aber wird er verbrennen mit unauslöschlichem Feuer.“ 18 So verkündete Johannes mit vielen weiteren Ermahnungen dem Volk die gute Botschaft (Lukas 3:7-18).

Der Apostel Johannes, der Verfasser des Johannes-Evangeliums, scheint zuvor ein Jünger von Johannes dem Täufer gewesen zu sein. Es muss aus großer Zuneigung und großem Respekt heraus geschehen sein, was der Apostel im ersten Kapitel seines Evangeliums über den Täufer schreibt. Wir finden in diesem ersten Kapitel Dienst und Botschaft von Johannes dem Täufer und von Jesus im Wechsel und miteinander verwoben vor. Johannes war bestrebt, sich mit Jesus zu identifizieren, und Jesus war sicher bestrebt, sich mit Johannes und seiner Botschaft zu identifizieren. Wie der Apostel Johannes in diesem Kapitel deutlich macht, gab es aber einen großen Unterschied zwischen den beiden Individuen. William Hendriksen52 lenkt die Aufmerksamkeit auf die folgenden Gegensätze:

Christus

Johannes

a. war von aller Ewigkeit her

a. kam

b. ist das Wort

b. ist ausschließlich Mensch

c. ist selbst Gott

c. wurde von Gott beauftragt

d. ist das wahre Licht

d. kam, um über das wahre Licht Zeugnis abzulegen

e. ist Gegenstand des Glaubens

e. ist das Mittel, durch das die Menschen zum Glauben an das wahre Licht kamen, selbst Christus

Wenn ich hier diesen Text über Johannes den Täufer darzulegen versuche, fühle ich mich fast so, wie ich mich wohl auch fühlen werde, wenn ich in einiger Zukunft beim Begräbnis meiner Großmutter predigen muss. Vor fast 20 Jahren schrieb mir Oma Deffinbaugh und bat mich, bei ihrem Begräbnis die Grabrede zu halten. Inzwischen ist sie fast 99 Jahre alt und immer noch recht gut beieinander für ihr Alter, und sie hat mir jetzt die Texte gegeben, die in der Rede vorkommen sollen. Im Wesentlichen hat sie mich angewiesen, das Evangelium zu predigen und nicht allzu viele Worte über sie selbst zu verlieren. Ein edles Ansinnen – nur ist dem schwer nachzukommen, vor allem bei ihrem eigenen Begräbnis!

Ganz offensichtlich bemüht sich der Apostel Johannes, die Leitlinie des Täufers zu respektieren, der Christus erhöhen will und nicht sich selbst. Dennoch werden wir weder unserem Text noch Johannes dem Täufer gerecht, wenn wir nicht über die Dinge sprechen, die diesen Mann von anderen abheben. Schließlich sprach unser Herr Selbst von dem Täufer als von dem größten alttestamentarischen Heiligen (Matthäus 11:11). Es empfiehlt sich also, die Größe von Johannes dem Täufer, dem letzten alttestamentarischen Propheten, näher zu betrachten.

Unser Text beginnt zwar bei Vers 19 von Johannes 1; aber wir müssen noch einmal dahin zurückgehen, wo Johannes der Täufer zum ersten Mal erwähnt wird, um etwas über und von diesem großartigen Propheten zu lernen.

Vers 6-8

6 Ein Mann kam, von Gott gesandt, der hieß Johannes. 7 Er kam als ein Zeuge, um Zeugnis abzulegen über das Licht, damit jeder durch ihn zum Glauben käme. 8 Er selbst war nicht das Licht, sondern er kam, um über das Licht Zeugnis abzulegen.

Das Wort war; Johannes kam. Das Wort war das Licht; Johannes kam, von Gott gesandt, um über dieses Licht Zeugnis abzulegen. Johannes war der Zeuge; und der Herr Jesus war Der, über den Johannes Zeugnis ablegte. Johannes war nicht das Licht, sondern ein Zeuge, der aussagen sollte, dass das Licht kommen würde. Uns mögen diese Worte als überflüssige Wiederholung erscheinen – altbekannte Sachen. Sie waren und sind aber revolutionär. So etwas wie die Herabkunft unseres Herrn in menschlichem Fleisch war nie zuvor geschehen – und wird auch nie wieder geschehen. Johannes spielt dabei eine wichtige und doch untergeordnete Rolle. Niemand weiß das besser als Johannes. Was der Apostel Johannes in Vers 6-8 schreibt, wiederholt und unterstreicht der Täufer53 in seinem eigenen Zeugnis.

Vers 15

Johannes legte Zeugnis über ihn ab und rief aus: „Dieser war es, von dem ich sagte: ‚Der nach mir kommt, ist größer als ich es bin54, denn er existierte schon vor mir.’“

Die ersten Worte des Täufers, die der Apostel Johannes in Vers 15 aufgezeichnet hat, betreffen gleich seinen untergeordneten Status gegenüber dem Wort, gegenüber Dem, über den er Zeugnis ablegt. Beachten Sie, dass der Täufer Jesus nicht mit Namen nennt. Wie könnte er das auch? Er weiß ja noch gar nicht sicher, wer „Der, der kommt“ ist. Unter anderem daran liegt es, dass Er das „Wort“ (Vers 1) und „Der nach mir kommt“ (Vers 15) genannt wird. Die Identität des Messias wird Johannes erst noch offenbart werden. Was er aber schon weiß, sagt er uns: „Der, der kommt“ steht höher als er selbst, weil Er schon vor ihm existierte (Vers 15).

Vers 19-28

19 Dies war nun das Zeugnis des Johannes, als die Anführer der Juden Priester und Leviten von Jerusalem aus zu ihm sandten und ihn fragten: „Wer bist du?“ 20 Er bekannte – ja, er leugnete nicht, sondern bekannte –: „Ich bin nicht der Christus.“ 21 Also fragten sie ihn: „Wer bist du dann? Bist du Elia?“ Er sagte: „Ich bin es nicht.“ „Bist du der Prophet?“ Er antwortete: “Nein.” 22 Da sagten sie zu ihm: „Wer bist du? Sage es uns, damit wir denen Antwort geben können, die uns ausgesandt haben. Was sagst du von dir selbst?“ 23 Johannes sagte: „Ich bin die Stimme von einem, der in der Wüste ruft: ‚Richtet den Weg des Herrn’, wie es der Prophet Jesaja gesagt hat.“ 24 (Nun waren sie von den Pharisäern ausgesandt worden.) 25 So fragten sie Johannes: „Warum taufst du dann, wenn du nicht der Christus bist und auch nicht Elia oder der Prophet?“ 26 Johannes antwortete ihnen: „Ich taufe mit Wasser. Unter euch steht Einer, den ihr nicht erkennt, 27 der nach mir kommt. Ich bin nicht würdig, ihm den Riemen seiner Sandale zu lösen!“ 28 Dies geschah in Bethanien, jenseits des Jordan, wo Johannes taufte.

Wir sahen bereits, dass Johannes ausgesprochen populär ist. Die ungewöhnlichen Umstände seiner Geburt erweckten Interesse und Neugier, wenn nicht sogar Hoffnung (Lukas 1:65-66), und sein öffentlicher Dienst nährte die Flamme der messianischen Hoffnungen Israels: „Während die Menschen nun voller Erwartung waren und alle in ihrem Herzen erwogen, ob wohl Johannes der Christus sein könnte“ (Lukas 3:15).

Johannes zieht große Volksmassen an und viele gehen zu ihm, um sich taufen zu lassen. Johannes erkennt, dass einige dieser Taufkandidaten nicht aufrichtig sind, und weigert sich anscheinend, sie zu taufen (Lukas 3:7-9). Johannes kommt aus einem Priestergeschlecht; dennoch ist sein Dienst sicherlich unabhängig von der offiziellen Hauptströmung des Judaismus. Früh in der Jugend zieht er sich in die Wüste zurück und lebt dort, bis die Zeit für ihn gekommen ist, sein öffentliches Dienstamt aufzunehmen (Lukas 1:80). Selbst diesen Dienst aber führt er in der Wildnis durch und nicht in Jerusalem oder irgendeiner anderen Stadt (Lukas 3:1-3). Während wohl nahezu alle gesellschaftlichen Gruppen in der Menge vertreten sind, die Johannes hören und sich von ihm taufen lassen will (siehe Lukas 3:10-14), fehlt doch eine Gruppe unübersehbar: „Die Pharisäer jedoch und die Gelehrten des religiösen Rechts verschmähten, was Gott ihnen zugedacht hatte, denn sie waren von Johannes nicht getauft worden“ (Lukas 7:30).

Gehören diese Pharisäer zu den Menschen, die zu taufen er sich weigerte? Das ist wenig wahrscheinlich. Lukas sagt nicht, dass Johannes sich weigerte, sie zu taufen, sondern dass sie die Taufe des Johannes verweigerten. Ich neige daher zu der Auffassung, dass diese Pharisäer und Rechtsgelehrten gar nicht erst in die Wildnis hinausgingen, um Johannes zu hören. Ja, ich neige zu der Auffassung, eben diese Pharisäer und Rechtsgelehrten waren es, die die Delegation zu Johannes sandten, um zu erfragen, wer er zu sein behauptete und worum sein Dienst sich eigentlich drehte.

Aus den späteren Aussagen unseres Herrn wissen wir, dass es den Schriftgelehrten und Pharisäer gefiel, eine eigene Anhängerschaft zu haben: „Wehe euch, ihr Gelehrten des religiösen Rechts und ihr Pharisäer, ihr Heuchler! Ihr durchquert Land und Meer, um einen einzigen Proselyten zu machen, und wenn ihr einen bekommt, so macht ihr ihn doppelt so sehr zu einem Kind der Hölle wie ihr selbst es seid!“ (Matthäus 23:15).

Nach den Aussagen des Evangeliums zu schließen waren die Pharisäer wohl auch nicht geneigt, die Stellung aufzugeben, die sie sich selbst geschaffen hatten: „47 Dann riefen die Oberpriester und die Pharisäer den Rat zusammen und sagten: ‚Was sollen wir tun? Denn dieser Mann vollbringt viele Wunderzeichen. 48 Wenn wir ihn weiter gewähren lassen, wird jeder an ihn glauben und die Römer werden kommen und unser Heiligtum und unsere Nation wegnehmen’“(Johannes 11:47-48). Es ist weder Orthodoxie noch die Liebe zur Wahrheit, die diese religiösen Führer bewegt, sondern ganz gewöhnliche Eifersucht (siehe Matthäus 27:18).

„Die Juden“, die die Delegation zur Befragung von Johannes dem Täufer aussenden, stellen die religiöse Elite jener Tage dar, Juden in Machtpositionen, die nicht gewillt sind, irgendetwas aufzugeben – weder für Johannes noch für Jesus. Diese Männer kommen nicht selbst zu Johannes, denn damit würden sie ja seine Bedeutung anerkennen. Statt dessen schicken sie eine untergeordnete Delegation aus „Priestern und Leviten“55 zu Johannes, tragen diesen genau auf, was sie fragen sollen, und geben Johannes auf diese Weise zu verstehen, dass sie diejenigen an der Macht sind: Sie sind es, die das Amt anderer akkreditieren, sie haben ihrer Ansicht nach an Menschen wie Johannes religiöse Lizenzen zu vergeben, und er darf nur mit ihrer Zustimmung und unter ihrer Autorität handeln. Johannes wird befragt wie einer, der gerade das Priesterseminar beendet hat und nun die Prüfung für die Ordination ablegt.

Die erste Frage der Delegation lautet: „Wer bist du?“ (Vers 19). Keinem in der Delegation scheint das Wort „Messias“ über die Lippen kommen zu wollen. Sie fragen nicht direkt: „Bist du der Messias?“ Aber Johannes weiß, dass das der eigentliche Kern ihrer Frage ist56, und so antwortet er: „Ich bin nicht der Christus“ (Vers 20) und löst damit eine ganze Kette von Nachfragen aus. Wenn Johannes nicht der Christus ist – ist er dann Elias (Vers 21)? Diese Frage ergibt sich aus der Prophezeiung des Maleachi:

4 „Gedenket des Gesetzes, das Ich Moses, Meinem Knecht, / am Horeb für ganz Israel gegeben habe, / mit seinen Bestimmungen und Rechten. 5 Siehe, Ich will euch Elia senden, den Propheten, / ehe der große und schreckliche Tag des Herrn kommt. 6 Und er wird die Herzen der Väter den Kindern zuwenden / und die Herzen der Kinder ihren Vätern, / damit ich nicht komme und die Erde mit dem Bann schlage“ (Maleachi 4:4-6, NKJV).

Johannes’ Antwort auf die Frage nach Elia mag für manche Menschen problematisch sein im Hinblick auf das, was Lukas und unser Herr über Johannes sagen:

15 „denn er wird groß sein vor dem Herrn. Wein oder starke Getränke darf er niemals zu sich nehmen, und er wird selbst vor seiner Geburt schon vom Heiligen Geist erfüllt sein. 16 Er wird viele vom Volk Israel zum Herrn, ihrem Gott, bekehren. 17 Und er wird vor dem Herrn hergehen in Geist und Kraft des Elia, um die Herzen der Väter wieder ihren Kindern zuzuwenden und die Ungehorsamen der Weisheit der Gerechten, um dem Herrn ein Volk bereit zu machen, das für ihn vorbereitet ist“ (Lukas 1:15-17).

11 „Nun sage ich euch wahrlich: Unter allen, die von Frauen geboren wurden, ist keiner größer erstanden als Johannes der Täufer; doch im Königreich des Himmels ist der Geringste größer als er. 12 Von den Tagen Johannes’ des Täufers bis jetzt hat das Königreich des Himmels Gewalt erlitten und ungestüme Menschen ergreifen es. 13 Denn all die Propheten und das Gesetz prophezeiten bis zum Erscheinen des Johannes. 14 Und wenn ihr willens seid, es zu akzeptieren: Er ist Elia, der kommen soll“ (Matthäus 11:11-14).

Wie kann Johannes der Täufer sagen, er sei nicht Elia, wenn Jesus sagt, dass er es ist? Die Antwort ist möglicherweise ganz einfach. Sie erinnern sich vielleicht, dass Elia nicht starb, sondern in einem Feuerwagen in den Himmel hinweggenommen wurde und sein Leichnam nirgendwo aufzufinden war (siehe 2. Könige 2:1-17).Manche Menschen scheinen erwartet zu haben, dass Elia persönlich wiederkommen würde. Johannes bestreitet zu Recht, dass er Elia in Person sei. Doch wir lesen im Lukas-Evangelium, dass Johannes der Täufer dem Messias „in Geist und Kraft des Elia“ vorangehen wird (Lukas 1:17). Jesus sagt Seinen Jüngern dann, dass Johannes „Elia, der kommen soll“ ist (Matthäus 11:14) und leitet seine Aussage ein mit „wenn ihr willens seid, es zu akzeptieren“. Also ist Johannes ein Elia, der in Geist und Kraft des Elia kommt und damit die Prophezeiung aus Maleachi 4 erfüllt (oder teilweise erfüllt). Johannes ist Elia und er ist es nicht. Er ist Elia im Geiste, und er ist nicht buchstäblich Elia im Fleische57.

Wenn Johannes nicht Elia ist, ist er dann „der Prophet“58? „Der Prophet“ muss sich hier auf den „Propheten wie Moses“ beziehen, der im alttestamentarischen Buch Deuteronomium prophezeit wird:

15 „Einen Propheten wie mich wird dir der Herr, dein Gott, erwecken aus deiner Mitte, aus deinen Brüdern – und auf Ihn sollt ihr hören –, 16 so wie du es erbeten hast vom Herrn, deinem Gott, am Horeb am Tage der Versammlung, wo du sagtest: ‚Lass mich nie wieder die Stimme des Herrn, meines Gottes, hören noch dieses große Feuer sehen, damit ich nicht sterbe.’ 17 Und der Herr sprach zu mir: ‚Sie haben gut daran getan, so zu reden. 18 Einen Propheten gleich dir will Ich aus ihren Brüdern erwecken, und Ich werde Meine Worte in Seinen Mund legen, und Er soll zu ihnen alles reden, was Ich Ihm gebiete. 19 Und es soll geschehen, dass Ich es von einem jeden einfordern werde, der nicht auf Mein Wort hören wird, das Er in Meinem Namen spricht’“ (Deuteronomium 18:15-19, NKJV).

Dieser Prophet wie Moses ist nicht Johannes der Täufer, sondern Er ist Der, dem Johannes vorangeht, der Messias. Und so antwortet Johannes rasch „Nein“ auf die Frage, ob er dieser Prophet sei (Johannes 1:21). Wir sehen hier einen Mann vor uns, der gar nicht viele Worte macht. Seine Antworten werden immer kürzer. Die längere Antwort in Vers 23 ist ein Schriftzitat aus Jesaja 40, Vers 3.

Die Delegation aus nicht ganz so wichtigen jüdischen Amtspersonen wird allmählich unruhig. Sie sind ausgesandt worden, damit sie Johannes mit der Forderung nach Zeugnissen und einem Lebenslauf in Verlegenheit bringen. Aber als sie ihn mit allen möglichen Optionen bedrängen, sind seine Antworten durchweg negativ. Er ist nicht der Messias, nicht Elia, nicht der Prophet. Wer ist er dann? Diese Leute müssen in Jerusalem Bericht erstatten, wenn sie zurückkommen, und bisher können sie dem jüdischen Sanhedrin noch fast gar nichts berichten. Sie müssen ihre „Formulare ausfüllen“, und Johannes ist ihnen dabei überhaupt keine Hilfe. Also bedrängen sie Johannes, ihnen endlich zu sagen, wer er denn sei. Seine Antwort ist nicht wirklich das, was sie hören wollen, denn es ist nur das Zitat eines Textes aus dem Propheten Jesaja: „Ich bin ‚Die Stimme von einem, der in der Wüste ruft: „Richtet den Weg des Herrn“’, wie es der Prophet Jesaja gesagt hat“ (Jesaja 40:3, NKJV).

Johannes’ Antwort ist noch immer nicht zufriedenstellend. Hier ist ein Mann, der sich buchstäblich weigert, etwas über sich selbst zu sagen. Vers 24 bereitet den Bibelwissenschaftlern dann einige Schwierigkeiten, denn es ist nicht ganz klar, ob Johannes uns hier sagt,

  • dass eine zweite Delegation anwesend ist, die von den Pharisäern geschickt wurde, oder
  • dass einige aus der ersten Delegation von den Pharisäern geschickt wurden oder
  • dass die ganze Delegation, von der bisher die Rede war, von den Pharisäern geschickt wurde.

Es macht eigentlich keinen großen Unterschied. Wir wissen, dass die Frage, die dann gestellt wird, die Sorge der Pharisäer ausdrückt: Wenn Johannes nicht der Messias, nicht Elia und nicht der Prophet ist – warum, um alles in der Welt, führt er dann Taufen durch (Vers 24)?

Die Taufe war kein neues oder neuartiges Ritual für die Israeliten. Die Taufe war eines der Rituale59, durch die Heiden als Proselyten zum Judentum gebracht wurden60. Im Hinblick auf die Bedeutung und den Einsatz der Taufe im Judaismus hatte die Taufe des Johannes etwas Beunruhigendes. Nicht Heiden wurden hier getauft, sondern Juden. Nicht Heiden wurden für ihre Sünden angeklagt und vor Gottes kommendem Zorn gewarnt, sondern Juden. Johannes behandelte die Juden so, als wären sie verlorene, erlösungsbedürftige Sünder. Und das Irritierendste daran war, dass viele Juden Johannes glaubten und zu ihm kamen, um sich taufen zu lassen. Die religiösen Führer der Juden hatten ihre jüdischen Anhänger davon überzeugt, dass Jude-Sein und die Einhaltung des Gesetzes (in der Form, wie sie es interpretierten) schon allein ausreichten, um gerettet zu werden. Dienst und Botschaft von Johannes sagten aber etwas ganz anderes. Das Glaubenssystem der Juden befand sich im Belagerungszustand, und im Moment sah es so aus, als hätte Johannes die Oberhand. Und Johannes nahm sich bevorzugt für seine Drohungen die legalistischen Pharisäer (geminsam mit den ihnen ähnlichen Sadduzäern) heraus (siehe Matthäus 3:7-9).

Die von den Pharisäern Ausgesandten fordern eine Rechtfertigung von Johannes darüber, dass er seine Anhänger tauft. Wenn er nicht der Messias ist und auch nicht Elia oder der Prophet – warum tauft er dann? Der Täufer beantwortet diese Frage eigentlich nicht, zumindest nicht in seiner unmittelbaren Erwiderung61. Wir neigen leicht dazu, das Ende seiner Antwort vorwegzunehmen. Nach der Art, wie er beginnt: „Ich taufe mit Wasser, aber ...“ ergänzen wir sofort das, was wir anderswo gelesen haben: „... Er wird euch mit dem Heiligen Geist und mit Feuer taufen“ (siehe Matthäus 3:11-12, Lukas 3:15-16). Der Apostel Johannes aber schließt diese Worte nicht an. Der Täufer will sich nicht auf eine Diskussion über das Taufen einlassen, weder über seines noch über das des kommenden Messias. Der Täufer kommt immer wieder auf den Punkt zurück, den der Apostel Johannes im ersten Kapitel seines Evangeliums hervorhebt: die Überlegenheit Christi und die Unterordnung von Johannes, Seinem Vorläufer.

Die Delegation will, dass Johannes über sich selbst und sein Amt spricht. Johannes’ Amt aber besteht darin, den Christus zu rühmen und Israels Aufmerksamkeit auf Ihn zu lenken. Das kann er nicht, indem er über sich selbst spricht, und deshalb beantwortet er die Frage nach der Taufe, indem er noch einmal die Überlegenheit des Kommenden betont, der höher stehen wird als er selbst es tut. Dieser Kommende ist dort irgendwo unter ihnen, aber noch nicht benannt worden. Und sie haben Ihn auch noch nicht erkannt (Vers 26).

Dieser Eine steht höher als Johannes der Täufer, weil Er schon vor ihm existierte62. Johannes beginnt sein Evangelium mit der Erklärung, dass das Wort Gott ist und schon existierte, bevor Zeit und Schöpfung begannen. Ebendiese Tatsache will nun der Täufer in seiner Antwort auf die Befragung deutlich machen. Der, der am Anfang „war“, ist Der, der unter ihnen ist und bald als der Messias bekanntgegeben werden wird. Dieser Eine „war“, während Johannes „kam“. Dieser Eine ist Gott, während Johannes von sich sagt, dass er nur ein Mann sei, der von Gott ausgesandt wurde. Dieser Eine ist so viel größer als der Täufer, dass Johannes sagt, er sei unwürdig auch nur die Riemen Seiner Sandalen aufzubinden (Vers 27)63.

Wir erfahren, dass „dies“ in Bethanien (NIV, NAV, NAB) oder Betharaba (KJV, NKJV) geschah. Wo dieser Ort ist – oder war –, weiß aber niemand genau. Es kann sich nicht um das Bethanien bei Jerusalem gehandelt haben, wo Martha, Maria und Lazarus lebten (Johannes 11:1,18, 12:1). Das „Bethanien“, über das Johannes schreibt, liegt nämlich „jenseits des Jordan“. Es könnte sein, dass mehrere Städte in Israel den gleichen Namen trugen; also ist es eigentlich kein Problem, wenn es auch zwei Bethanien gab. Selbst die Tatsache, dass die Lage dieses Ortes nicht bekannt ist, sollte nicht weiter überraschen. Als die Juden Jesus steinigen wollten, ging Er, so wird gesagt, „über den Jordan an den Ort, wo Johannes der Täufer zuerst getauft hatte“ (Johannes 10:39-40). Sicher darf man annehmen, dass Jesus zu einem ganz abgelegenen Ort aufbrach, wo Er nicht so leicht aufgespürt werden konnte. Wenn das das „Bethanien“ aus unserem Text war, sollte man wohl erwarten, dass es damals nur wenige kannten und heute niemand mehr weiß, wo es einst lag.

Vers 29-34

29 Am nächsten Tag sah Johannes Jesus kommen und er sagte: „Siehe, das Lamm Gottes, das die Sünde der Welt hinweg nimmt! 30 Dieser ist es, von dem ich sagte: ‚Hinter mir her kommt ein Mann, der größer ist als ich es bin, weil er vor mir existierte.’ 31 Ich kannte ihn nicht, sondern damit er Israel offenbart werden könne, kam ich, um mit Wasser zu taufen.“ 32 Dann bezeugte Johannes: „Ich sah den Geist als eine Taube vom Himmel herabkommen, und er blieb auf ihm. 33 Und ich kannte ihn nicht; aber der mich gesandt hat, mit Wasser zu taufen, sprach zu mir: ‚Der, auf den du den Geist herabkommen und auf ihm bleiben siehst, ist es, der mit dem Heiligen Geist tauft.’ 34 Ich habe es gesehen und ich habe es bezeugt, dass dieser der Sohn Gottes ist.“

Wenn das Johannes-Evangelium einerseits einen großen Teil neuen Materials umfasst, gibt es andererseits doch auch eine Menge Material in den synoptischen Evangelien, das bei Johannes nicht enthalten ist. Die synoptischen Evangelien berichten über die Taufe unseres Herrn durch Johannes den Täufer:

13 Dann kam Jesus von Galiläa her zu Johannes, um sich von ihm im Jordan taufen zu lassen. 14 Johannes aber versuchte ihn davon abzuhalten und sagte: „Ich habe es nötig, von dir getauft zu werden, und stattdessen kommst du zu mir?“ 15 Da erwiderte ihm Jesus: „Lass es diesmal geschehen, denn es ist recht für uns, alle Gerechtigkeit zu erfüllen.“ Da gab Johannes nach. 16 Als Jesus, nachdem er getauft worden war, aus dem Wasser heraufkam, öffneten sich die Himmel und er sah den Geist Gottes als eine Taube herabfahren und über sich kommen. 17 Und eine Stimme vom Himmel sprach: „Dies ist der Sohn, der geliebte, an dem ich große Freude habe“ (Matthäus 3:13-17).

9 In diesen Tagen kam nun Jesus von Nazareth in Galiläa her und wurde von Johannes im Jordan getauft. 10 In dem Moment, wo er aus dem Wasser heraufkam, sah er die Himmel sich auftun und den Geist gleich einer Taube auf sich herabkommen. 11 Und eine Stimme kam vom Himmel: „Du bist mein Sohn, den ich liebe. Ich habe großen Gefallen an dir“ (Markus 1:9-11).

21 Als nun alle Menschen getauft waren und Jesus auch getauft worden war und betete, öffnete sich der Himmel 22 und der Heilige Geist kam in leiblicher Gestalt auf ihn herab, wie eine Taube. Und eine Stimme kam vom Himmel: „Du bist mein geliebter Sohn, an dir habe ich Wohlgefallen“ (Lukas 3:21-22).

Matthäus hebt in seinem Evangelium hervor, welche Bescheidenheit Johannes an den Tag legte, als er unseren Herrn taufte. Wenn, wie Johannes immer wieder gesagt hat, unser Herr ihm doch so weit überlegen ist – warum sollte Johannes dann Jesus taufen? Sollte nicht vielmehr Jesus ihn taufen? Matthäus’ Worte beinhalten aber noch mehr als das; sie sagen uns, dass Johannes schon vor dieser Taufe ahnte, dass Jesus der Messias sei. Johannes wehrt sich dagegen, Jesus zu taufen, weil Jesus der Größere ist. Jesus überzeugt Johannes davon, dass er Ihn taufen solle, um „alle Gerechtigkeit zu erfüllen“ (Matthäus 3:15). Dadurch, dass er Sich taufen lässt, identifiziert Sich Jesus mit Johannes und damit auch mit dessen Amt und Botschaft.

Wichtiger als das ist aber für Johannes, dass Gott Jesus im Verlaufe dieser Taufe als den verheißenen Messias bezeugt. Alle synoptischen Evangelien sprechen davon, dass der Heilige Geist wie eine Taube herabkommt und auf Jesus bleibt. Alle Evangelien erzählen vom Zeugnis Gottes des Vaters, der aus dem Himmel herab Jesus als Seinen geliebten Sohn bezeichnet, an dem Er Wohlgefallen hat.

Allein das Evangelium des Johannes aber erläutert, welche Bedeutung die Taufe unseres Herrn für Johannes den Täufer hat. Die ganze Zeit hat Johannes gepredigt und den Israeliten erzählt, dass der Messias kommen werde, ohne dass der Täufer selbst die Identität des Messias sicher kannte. Wie erwähnt hatte Johannes vielleicht bei sich einen Verdacht, aber er hatte keinen eindeutigen Beweis. Dieser Beweis kommt nun mit der Taufe Jesu. Einen Tag verkündet Johannes der Täufer dem Volk Israel, dass der Messias unter ihnen weile – aber noch nicht bezeichnet worden sei. Und am anderen Tag zeigt Johannes auf Jesus und bezeugt, dass Er der Messias sei – Der, von dem er immer gesprochen hat – und ruft aus: „Siehe, das Lamm Gottes, das die Sünde der Welt hinweg nimmt“ (Johannes 1:29)64.

Was bewirkt den dramatischen Unterschied, der in der Predigt des Täufers von einem Tag auf den nächsten eintritt? Es ist das, was Johannes der Täufer bei der Taufe unseres Herrn sieht und hört. Als Johannes Jesus – unter Protest – tauft, sieht er den Geist auf Ihn herabkommen und auf Ihm verbleiben. Er hört die Stimme des Vaters vom Himmel, der Jesus als Seinen geliebten Sohn bezeichnet, an dem Er Wohlgefallen habe. Jetzt weiß er gewiss, wer der Messias ist, und von diesem Zeitpunkt an spricht er von Jesus als von Gottes Messias, dem Sohn Gottes (Vers 34).

Vers 35-37

35 Am nächsten Tag stand Johannes wieder da mit zweien seiner Jünger. 36 Er sah auf Jesus, der vorbeiging, und sagte: „Siehe, das Lamm Gottes!“ 37 Als seine zwei Jünger ihn das sagen hörten, folgten sie Jesus.

Technisch gesehen, gehören diese drei Verse zu dem Text, den wir erst in unserer nächsten Lektion betrachten werden, aber sie sagen eine ganze Menge über Johannes’ Charakter aus. Johannes hat keinen anderen Ehrgeiz als den, den Messias zu verherrlichen und die Menschen dazu zu bringen, dass sie sich auf Seine Ankunft vorbereiten. Er lehnt es ab, viele Worte über sich selbst zu machen, und spricht immer wieder über Den, der größer ist, der nach ihm kommt. Er weist die Männer und Frauen andauernd auf Christus hin statt auf sich selbst.

Man sagt oft, dass „Worte nichts kosten“, und das mag wohl auch so sein. Die Worte Johannes’ des Täufers aber sind kraftvoll, so dass sie selbst die Aufmerksamkeit des mächtigen heidnischen Herrschers Herodes fesseln. Wann immer Johannes spricht, verherrlicht er Christus und nicht sich selbst. Ein Beweis für Johannes’ Größe findet sich in der Art, wie er auf das Erscheinen Christi reagiert: Johannes spielt seine Botschaft daraufhin nicht herunter, um seine Anhänger bei sich zu halten, nein, er macht geradezu Werbung für Jesus als den verheißenen Messias. Johannes nennt Ihn das „Lamm Gottes“ (Vers 29, 35), und als solches wird Er sich auch erweisen.

Am großartigsten zeigt sich Johannes’ Charakter vielleicht darin, wie er seine Jünger ermutigt, nicht länger ihm zu folgen, sondern stattdessen Jesus als dem Messias zu folgen. Als Johannes der Täufer Jesus sieht, bezeichnet er Ihn seinen zwei Jüngern gegenüber als das „Lamm Gottes“. Die zwei Jünger, die zu diesem Zeitpunkt zu Johannes gehören, verlassen Johannes und laufen hinter Jesus her. Und genau das hatte Johannes beabsichtigt. Es könnte ihm nichts Besseres passieren, als dass Jesus einige „seiner“ Jünger übernimmt. Er weiß, dass er genau dazu aufgerufen wurde – die Menschen darauf vorzubereiten, dass sie von ihm weggehen und dem Messias nachfolgen. Johannes hat seine Aufgabe nahezu vollendet. Nur wenig später wird Gott ihn nach Hause holen durch die unfreiwillige Hand eines Herodes.

Schlussfolgerung

Wir können dem nur zustimmen, was unser Herr über die Größe dieses Mannes, die Größe von Johannes dem Täufer, sagt. Lassen Sie uns innehalten, um einige der Dinge zu resümieren, die Johannes’ Größe ausmachen:

Johannes gibt ein Vorbild für Demut und treue Diensterfüllung ab. Johannes ist ein großartiger Mensch, und doch ein Mann der Demut. Er erfasst, was seine Lebensaufgabe, seine Berufung und sein Dienstamt sind, und gibt sich ganz ihrer Ausführung hin. Er zermartert sich nicht den Kopf darüber, warum er nicht berühmter ist. Er freut sich daran, den Erlöser zu verherrlichen, und versucht nicht, seine eigenen Interessen zu verfolgen.

Als der Apostel Paulus an die Philipper schreibt, spricht er davon, dass er vor seinem eigenen Besuch seinen „Sohn“ Timotheus zu ihnen schicken wolle. Leider trifft es zu, dass es damals wie heute nur wenige Menschen wie Timotheus oder Johannes gibt:

19 Nun hoffe ich im Herrn Jesus, in Kürze Timotheus zu euch zu senden, damit auch ich erquickt werde, wenn ich Nachricht über euch bekomme. 20 Denn es gibt hier eigentlich niemanden wie ihn, der sich so aufrichtig um euch sorgt. 21 Andere verfolgen ihre eigenen Angelegenheiten und nicht die des Herrn. 22 Ihr aber wisst, dass er sich bewährt hat, dass er so, wie ein Sohn mit seinem Vater zusammenarbeitet, mit mir zusammen für die Verbreitung des Evangeliums gedient hat (Philipper 2:19-22).

Menschen „verfolgen“ normalerweise „ihre eigenen Angelegenheiten“ statt diejenigen Gottes oder anderer Menschen. In dieser Hinsicht stellen Timotheus und auch Johannes Ausnahmen dar. Johannes lehnt es ab, sein eigenes Nest auf Kosten des Evangeliums auszupolstern. Selbst als er nicht sicher weiß, wer der „Kommende“ ist, erhebt er Ihn doch über sich selbst.

Viele verfolgen ihre eigenen Vorteile; und es ist nicht schwer, dafür Beispiele zu finden. Der Haupt-Vorteilssucher ist Satan (siehe Jesaja 14:12-14, Hesekiel 28:11-17). Wann immer er die Menschen versucht, will er sie dazu bringen, ihre eigenen Interessen zu verfolgen, wie wir schon im Garten Eden (Genesis 3) sehen. Selbst bei unserem Herrn in der Wildnis versucht er die gleiche Strategie (Matthäus 4:1-11, Lukas 4:1-12). Die Schriftgelehrten und Pharisäer waren gegen Jesus, weil sie ihre eigenen Interessen wahren wollten. Und in den Evangelien wird man ohne weiteres feststellen, dass die Jünger ihre eigenen, individuellen Interessen verfolgten und den Entschluss unseres Herrn gar nicht wahrnahmen, der am Kreuz von Golgatha für die Sünder sterben wollte. Später warnte Paulus vor Kirchenführern, die sich in dem Bestreben verfangen, eine persönliche Anhängerschaft zu gewinnen:

28 Gebt acht auf euch selbst und auf die ganze Herde, zu deren Aufsehern euch der Heilige Geist gemacht hat, damit ihr die Kirche Gottes weidet, die er mit dem Blut seines eigenen Sohnes erkauft hat. 29 Ich weiß, dass, wenn ich einmal nicht mehr bin, wilde Wölfe zu euch hereinkommen werden, die die Herde nicht verschonen. 30 Selbst aus eurer eigenen Mitte werden Männer aufstehen und die Wahrheit in verdrehter Form lehren, um die Jünger fort- und an sich selbst zu ziehen. 31 Darum seid wachsam und denkt daran, dass ich drei Jahre lang, Tag und Nacht, nicht aufgehört habe, einen jeden von euch unter Tränen zu ermahnen (Apostelgeschichte 20:28-31; Hervorhebung von B. Deffinbaugh).

Johannes der Täufer ist in diesem Evangelium das für Jesus, was Barnabas in der Apostelgeschichte für Paulus ist65. Beide Männer haben ihre Zeit, in der sie sichtbar hervorragen. Beide bereiten den Weg für den, der nach ihnen kommt und der sie selbst übertrifft. Am besten lässt es sich vielleicht so ausdrücken, dass Johannes seinem Herrn, dem Herrn Jesus Christus am allernächsten kommt, der das Vorbild für jeden ist, der anderen in Demut dienen möchte:

1 Wenn es irgendeinen Trost in eurer Beziehung zu Christus gibt, irgendeine Tröstung in der Liebe, irgendeine Gemeinschaft im Geist und irgendeine Zuneigung und Barmherzigkeit, 2 so macht meine Freude vollkommen, indem ihr eines Sinnes seid und die selbe Liebe habt, indem ihr im Einklang und – jeder seinerseits – der Einheit verpflichtet seid. 3 Statt Dinge aus selbstsüchtigem Ehrgeiz oder persönlicher Eitelkeit heraus zu tun, sollte sich jeder von euch durch Demut auszeichnen und den anderen als wichtiger denn sich selbst behandeln. 4 Sorgt nicht nur für euch selbst, sondern achtet vielmehr auch auf das Wohlergehen anderer. 5 Diese Gesinnung solltet ihr gegeneinander haben, die auch Jesus Christus hatte, 6 der, obwohl er in Gottesgestalt existierte, nicht nach der Gottgleichheit zu greifen bestrebt war, 7 sondern sich entäußerte, indem er die Gestalt eines Sklaven annahm, eines Menschen, der aussah, wie andere Menschen auch, indem er die menschliche Natur mit uns teilte. 8 Er erniedrigte sich selbst und wurde gehorsam bis hin zum Tod – ja selbst zum Tod an einem Kreuz Philipper 2:1-8).

In einer Zeit, in der Individualität, Konkurrenz und Erfolg unsere Leitlinien im Leben, bei der Arbeit und selbst im christlichen Dienst sind, täten wir gut daran, einmal über den Geist der Demut nachzudenken, der im Leben Johannes’ des Täufers so offensichtlich wird.

Johannes der Täufer verkündet mutig die Wahrheit des Evangeliums. Johannes zeichnet sich durch Demut aus, aber das hindert ihn nicht daran, mit Kühnheit zu predigen. Johannes verwässert seine Botschaft nicht, um seiner Zuhörerschaft zu gefallen. Er redet gegen die Sünde, sei es die der Steuereinnehmer, der Soldaten oder selbst die von Herodes. Er nennt die Sünde eindeutig beim Namen, verurteilt sie und ruft zur Buße auf. Sein Mut steht nicht im Widerspruch zu seiner Demut, sondern ist Ausdruck seiner Demut. Er ist seinem Herrn, dem Messias, unterlegen und untergeordnet. Er wurde von Gott gerufen und ihm wurde eine Botschaft übergeben, die er verkünden soll. Und er wird diese Botschaft ohne Abstriche mutig und klar verkünden. Ohne Zweifel spielte das eine Rolle für die machtvolle Wirkung dieser Botschaft auf alle diejenigen, die sie hörten. Heutzutage – wie auch schon immer – gibt es Menschen, die das Evangelium verwässern. Sie lassen die harten Worte lieber weg, mit denen die Sünde beim Namen genannt und verurteilt wird und mit denen zur Buße aufgerufen wird. Diese Menschen glauben, dass sie dem Evangelium damit einen Gefallen täten, weil sie seine Botschaft ansprechender gestalteten. In Wirklichkeit aber verweichlichen sie es nur. Trachten wir also niemals danach, die Wahrheit von Gottes Wort zu verwässern, wenn wir es den Menschen verkünden.

1 Als ich zu euch kam, Brüder und Schwestern, kam ich nicht mit überlegener Redekunst oder Weisheit bei der Verkündigung des Zeugnisses von Gott. 2 Denn ich hatte beschlossen, mich bei euch um nichts zu bekümmern als um Jesus Christus als den, der gekreuzigt worden ist. 3 Und ich war bei euch in Schwäche und Angst und mit viel Zittern. 4 Meine Rede und meine Predigt geschahen nicht mit überredenden Worten der Weisheit, sondern in Erweisung von Geist und Kraft, 5 damit euer Glaube nicht auf menschliche Weisheit gegründet sei, sondern auf die Kraft Gottes (1. Korinther 2:1-5).

Denn wir sind nicht, wie so viele andere, Hausierer, die mit dem Wort Gottes Geschäfte machen; sondern wir sprechen in Christus vor Gott, als aufrichtige Menschen, als von Gott ausgesandte Menschen (2. Korinther 2:17).

1 Darum dass wir dieses Dienstamt innehaben, weil Gott uns Barmherzigkeit erwiesen hat, lassen wir uns nicht entmutigen. 2 Vielmehr haben wir uns von den schändlichen, heimlichen Taten losgesagt und verhalten uns nicht mit List oder indem wir Gottes Wort verfälschen, sondern wir empfehlen uns jedermanns Gewissen vor Gott an, indem wir offen die Wahrheit verkünden. 3 Doch selbst wenn unsere gute Botschaft verhüllt ist, ist sie doch nur für die verhüllt, die dem Untergang geweiht sind, 4 unter denen der Gott dieses Zeitalters den Sinn der Ungläubigen blind gemacht hat, dass sie das Licht des Evangeliums von der Herrlichkeit Christi, der das Bild Gottes ist, nicht sähen. 5 Denn wir verkünden nicht uns selbst, sondern Jesus Christus als den Herrn und uns als eure Leibeigenen um Jesu willen. 6 Denn Gott hat gesagt „Aus der Finsternis soll ein Licht aufleuchten“, und er selbst ist es, der in unseren Herzen aufgeleuchtet hat, um uns das Licht der herrlichen Wahrheit Gottes durch das Angesicht Jesu Christi zu schenken (2. Korinther 4:1-6).

1 Ich beauftrage dich feierlich vor Gott und Christus Jesus, der über die Lebenden und die Toten richten wird, und bei seinem Erscheinen und seinem Reich: 2 Predige die Botschaft, sei ausdauernd – ob es gelegen oder ungelegen kommt –, weise zurecht, tadele, ermahne mit vollkommener Geduld und Belehrung. 3 Denn es wird eine Zeit kommen, wo die Menschen die gesunde Lehre nicht ertragen werden. Stattdessen werden sie ihren eigenen Bedürfnissen nachgehen und sich eigene Lehrer versammeln, weil sie eine erbärmliche Begierde danach haben, neue Dinge zu hören. 4 Und sie werden sich abwenden und nicht mehr auf die Wahrheit hören, aber andererseits werden sie sich Mythen zuwenden. 5 Du aber sei bei allem voller Selbstbeherrschung, ertrage Ungemach, tu das Werk eines Evangeliumsverkünders und erfülle dein Dienstamt (2. Timotheus 4:1-5).

Johannes der Täufer geht nicht davon aus, dass ein Mensch gerecht sei, nur weil er religiös (selbst ein religiöser Führer) ist. Johannes geht nicht davon aus, dass ein hingebungsvoll religiöser Mensch ausgenommen sei von der Botschaft des Evangeliums und der Notwendigkeit zur Buße und Sündenvergebung. Seine heftigsten Worte richtet Johannes unter anderem an diejenigen, die davon überzeugt sind, dass sie im Reich Gottes an der 50-Yard-Linie sitzen werden [wo nämlich die begehrtesten Sitzplätze bei einem Football-Spiel sind; Anm. d. Ü.] (siehe Lukas 3:7ff.). Weder die liberalen (aber mächtigen) Sadduzäer noch die konservativen und strengen Pharisäer waren von Johannes’ Kritik ausgenommen (Matthäus 3:7). Wie der Herr Jesus, dem er diente, erkannte Johannes einen Heuchler, wenn er ihn sah. Beide fanden äußerst harte Worte für „religiöse“ Heuchelei. Religiös sein allein bringt niemanden in den Himmel. Und sich religiös vorkommen, ist genau dass, was Satan von dir will, damit du in dein Verderben rennst, während du die ganze Zeit annimmst, dass Gott doch zufrieden sein müsste mit dir und deiner Religion. Wie Johannes zu ihnen sagte: Der Tag des Gerichts rückt rasch näher (siehe Matthäus 3:7-12).

Von Johannes können wir viel über das Zeugnis-Geben lernen. Das Johannes-Evangelium spricht von Johannes dem Täufer nicht als von einem Taufenden, sondern als von einem Zeugen. Er ist ein Zeuge, desses Zeugnis getreu und kraftvoll ist. Wir können sowohl aus seiner Botschaft als auch aus seiner Methode etwas lernen. Johannes verherrlicht immer den Messias und hält den Scheinwerfer auf Ihn gerichtet. Er vermeidet es, die Aufmerksamkeit auf sich selbst zu lenken oder auch nur über sich selbst zu sprechen. Ständig bringt er die Sprache wieder auf Jesus und darauf, was die Menschen tun müssen, um gerettet zu werden. Ich möchte den Wert eines persönlichen Zeugnisses keineswegs herabsetzen (schließlich wird das persönliche Zeugnis des Paulus dreimal in der Apostelgeschichte wiedergegeben), aber Johannes’ Dienst mahnt uns, nicht selbst zu sehr in den Vordergrund zu treten, so dass am Ende der Herr Jesus nur eine „ehrenvolle Erwähnung“ bekommt, während wir selbst den „ersten Preis“ erhalten. Johannes hält Christus immer im Brennpunkt.

Johannes ist ein beispielhafter Mann des Glaubens; er ist ein Mensch, wie jeder Christ es sein sollte. Der Glaube vertraut dem, was Gott verheißen hat, statt dem, was wir momentan vor uns sehen. Der Glaube lebt in der Gegenwart, im Lichte der Zukunft, die nach Gottes eigener Aussage sicher kommt. Der Glaube ist bereit, im Jetzt zu leiden, damit er für alle Ewigkeit in Gottes Herrlichkeit eingehen kann. Johannes verwendet einen großen Teil seiner Zeit in seinem öffentlichen Dienstamt darauf, über jemanden zu sprechen, dessen Identität er nicht sicher kennt. Er spricht viel über Einen, der kommen wird, der zu diesem Zeitpunkt sogar schon da ist, aber noch nicht benannt wurde, und vertraut darauf, dass Gott Ihn offenbaren wird. Das ist Glaube. Und es ist genau der Glaube, zu dem jeder von uns aufgerufen ist. Glaube ist es, worum sich alles in Hebräer 11 dreht – und Glaube ist auch das, worum sich das ganze christliche Leben dreht.

16 Daher verzweifeln wir nicht; denn selbst wenn unser äußerlicher Leib verfällt, wird unser innerer Mensch doch von Tag zu Tag erneuert. 17 Denn unser gegenwärtiges leichtes Leiden schafft uns ein ewiges Gewicht der Herrlichkeit, die alles übertrifft, 18 weil wir unseren Blick nicht auf das richten, was sichtbar ist, sondern auf das, was unsichtbar ist; denn was sichtbar ist, ist zeitlich, aber was unsichtbar ist, ist ewig. ... 5:7 denn wir leben durch Glauben und nicht durch Schauen (2. Korinther 4:16-18, 5:7)

Johannes ist ein Beispiel für wahre Spiritualität. Ich möchte dies nur sehr vorsichtig sagen, aber ich glaube, der Apostel Johannes stellt Johannes den Täufer als einen geistlichen (oder sagen wir „geisterfüllten“) Mann Gottes dar. Wir wissen, dass der Heilige Geist über ihn kam, während er noch im Mutterleib war. Wir können in seinem Leben zahlreiche Hinweise auf die Frucht des Geistes sehen. Aber er ist auch der Mann, der niemals irgendein Wunder vollbracht hat. Seine Spiritualität erwies sich nicht durch ungewöhnliche Erscheinungen, durch Zeichen und Wunder oder Heilungen, denn davon gab es keine (siehe Johannes 10:41). Seine Spiritualität erwies sich durch seinen Glauben, seine Integrität, seine Demut und seine Botschaft. Seien wir also vorsichtig im Hinblick auf das, was wir als Beweise für Frömmigkeit ansehen.

Durch sein Beispiel erteilt uns Johannes eine Lektion darüber, wie man den Willen Gottes erkennt. Insbesondere meine ich damit den „Willen Gottes“ bei der Identifizierung des Messias. Johannes war von Gott angewiesen worden, die Botschaft vom Kommen des Messias zu verkünden. Johannes erhielt das Privileg kundzutun, wer der Messias war. Einen großen Teil seines Dienstes hindurch aber wusste Johannes noch nicht, wer dieser Mensch war. Er erfuhr die Identität des Messias, indem er getreulich seiner „Arbeit“ (seinem Werk) nachging; und während er seiner Arbeit nachging, offenbarte ihm Gott, dass Jesus der verheißene Messias war. Mancher ist vielleicht versucht, die täglichen Routinen und Pflichten des Lebens aufzugeben, um Gottes Willen zu finden. Nicht so Johannes. Er erlernte den Willen Gottes, indem er den Willen Gottes tat, den er schon kannte – die Botschaft vom Kommen des Messias und vom göttlichen Gericht zu predigen, die Menschen in Vorbereitung auf Sein Kommen zur Buße aufzurufen, und zu taufen.

Möge uns Gott gewähren, dass wir Johannes dem Täufer ähnlicher werden, dass wir gehorsam und erwartungsvoll leben, dass wir den Menschen das Kommen des Erlösers verkünden und sie in dem Wissen, dass der Tag des Gerichts kommen wird, dazu aufrufen, ihre Sünden zu bereuen. Von der Identifizierung Jesu als des verheißenen Messias an konzentrierte sich Johannes’ Botschaft auf Jesus als das „Lamm Gottes, das die Sünden der Welt hinweg nimmt“. Hast du schon dein Vertrauen in Gottes Lamm gesetzt? Jesus war Gottes vollständiges und endgültiges Sündopfer. Auf Seinen Opfertod für deine Sünden zu vertrauen bedeutet, in das ewige Leben einzugehen. Ich bete dafür, dass du, wenn du es noch nicht getan hast, heute noch dein Vertrauen in das setzt, was Jesus Christus für dich getan hat.


48 Bei einigen wenigen Gelegenheiten in meinem Leben bin ich Verpflichtungen eingegangen, obwohl ich in dem Moment noch nicht wusste, auf welche Weise Gott dafür Sorge tragen würde – aber ich war überzeugt davon, dass Er es tun würde. Durch meinen Bericht möchte ich Sie nicht dazu anhalten, „Gott auf die Probe zu stellen“, indem Sie irgendeine gewagte Handlung unternehmen und davon ausgehen, dass Gott Ihnen schon aus der Klemme helfen wird. Andererseits mag es sehr wohl sein, dass Gott Ihnen Gelegenheit gibt, Ihren Glauben zu beweisen, indem Sie handeln, ohne zu wissen, wie Gott es einrichten wird, wenn Sie nur davon überzeugt sind, dass Gott Sie zu diesem Handeln hingeführt hat.

49 Das heißt, die Delegation, die Johannes zu Jesus gesandt hatte (siehe 11:2ff.).

50 Wenn nicht anders vermerkt, stammen alle Schriftzitate aus der NET-Bibel.

51 Als alter Landmensch würde ich nicht „ausgerichtet“ sagen, sondern „einsatzbereit“.

52 William Hendriksen, Exposition of the Gospel According to John [Darstellung des Evangeliums nach Johannes], 2 Bd., (Grand Rapids: Baker Book House, 1953-1954), S. 76. Ich habe die Worte etwas modifiziert, aber im Wesentlichen entstammt die Tabelle der Gegensätze seinem Werk.

53 Ich bezeichne Johannes den Täufer als den „Täufer“, um eindeutig zwischen dem Apostel Johannes und Johannes dem Täufer zu unterscheiden. Ich weiß wohl, dass der Titel „Johannes der Täufer“ im Evangelium des Johannes gar nicht vorkommt, sondern nur in den synoptischen Evangelien.

54 Ich finde den Ausdruck „steht höher als ich“ besser, dem die Übersetzungen der NAS, NAB und NRS sehr nahe kommen.

55 Dass die Priester kamen, ist nur folgerichtig, denn Johannes der Täufer kam aus einer Priesterfamilie (Lukas 1:5). Die Leviten waren fast so etwas wie der Sicherheitsdienst für den Tempel. Von den hochrangigen jüdischen Autoritäten scheint niemand anwesend gewesen zu sein. Sie blieben in Jerusalem, denn von dort aus hatten sie die Delegation losgeschickt, die den Dienst von Johannes erkunden sollte.

56 Wenn ich über die Ankunft dieser Delegation und ihre Fragen an Johannes lese, habe ich deutlich den Eindruck, dass sie Johannes niemals persönlich sprechen gehört haben. Wie könnten sie ihm sonst solche Fragen stellen?

57 Ein anderes Beispiel für das, was ich meine, könnte man in Brot und Wein sehen, die wir bei der Kommunion essen und trinken. Symbolisch ist das Brot der Leib unseres Herrn und der Wein Sein Blut; in Wirklichkeit sind sie es nicht, sondern sie sind nur Symbole (siehe Lukas 22:17-20, Johannes 6:51-66).

58 Es ist wohl offensichtlich, dass damals – wie heute – die verschiedenen Elemente der Prophezeiung miteinander vermischt wurden. Der Prophet und der Messias waren ein und dieselbe Person, „Elia“ aber nicht. Im Rückblick auf die erfüllte Prophezeiung ist das leicht einzusehen, in der Vorausschau war es das allerdings gar nicht.

59 Die Beschneidung war ein weiteres erforderliches Ritual für jüdische (oder zum Judentum konvertierte) Männer (siehe Apostelgeschichte 15:1, 16:3).

60 Hierbei mag es sich um Selbsttaufe gehandelt haben, dennoch aber war es eine Taufe.

61 Die Verse 29-34 nennen uns dann natürlich einen der Gründe, warum Johannes taufte – um Gott zu gehorchen und so erkennbar zu machen, wer der Messias ist.

62 Sie erinnern sich wohl, dass Johannes der Täufer vor unserem Herrn geboren wurde (siehe Lukas 1&2). Insofern kann die Aussage, dass Er vor ihm existierte, nicht so verstanden werden, dass Jesus älter (früher geboren) wäre als Johannes. Zudem weiß Johannes noch nicht, dass Jesus dieser Kommende ist. Es muss daher so sein, dass er über die Präexistenz (d.h. die Existenz vor der Inkarnation) unseres Herrn als Gott spricht.

63 „Die Sandalen aufzubinden war Sklavenarbeit; von einem Jünger konnte man nicht erwarten, dass er eine solche Aufgabe übernahm. Um die volle Tragweite dessen zu erfassen, müssen wir berücksichtigen, dass es durchaus etliche Dienstleistungen gab, die ein Jünger für seinen Lehrer ausführte. Im alten Palästina wurde ein Lehrer nicht bezahlt (es wäre schrecklich unanständig gewesen, für das Lehren Geld zu fordern!) Statt dessen erfolgte das Entgelt teilweise dadurch, dass Jünger kleinere Dienstleistungen für ihre Rabbis übernahmen. Aber alles hat seine Grenzen, und darunter fielen niedrige Aufgaben wie das Lösen der Sandalenriemen. Es gibt einen rabbinischen Spruch (der in seiner heutigen Form auf das Jahr 250 v.Chr. zurückgeht, wahrscheinlich aber noch viel älter ist): ,Ein Jünger soll jeden Dienst für seinen Lehrer tun, den ein Sklave für seinen Herrn tut, außer ihm die Sandalenriemen aufzubinden’ (SBk, I, S. 121). Genau diese Aufgabe, die der Rabbinerspruch ausdrücklich als zu niedrig für einen Jünger ansieht, nimmt Johannes heraus und erklärt sich für unwürdig, sie durchzuführen.“ Leon Morris, The Gospel According to John [Das Evangelium nach Johannes], (Grand Rapids: Wm. B. Eerdmans Publishing Co., 1971), S. 141.

64 Über diesen Vers ist viel geschrieben worden. Es ist richtig, dass Johannes’ Worte wohl mit keinem Vers oder Abschnitt der Schrift eindeutig in Verbindung gebracht werden können (z.B. mit dem Passah-Lamm in Exodus oder mit dem „Lamm, das zur Schlachtung geführt wird“ in Jesaja 53), aber sie fassen doch die alttestamentarischen Hinweise auf das Opfer des Messias gut zusammen. Die Worte Johannes’ des Täufers sind bedeutungsschwer in einem Ausmaß, wie er es selbst zu diesem Zeitpunkt noch nicht wusste (siehe Lukas 7:18-19ff., 1. Petrus 1:10-12).

65 Zu Beginn der Apostelgeschichte (siehe Apostelgeschichte 4:36-37, 9:26-29) ist Barnabas die herausragende Person und der Anführer, wenn er und Paulus zusammen predigen (Apostelgeschichte 11:19-30, 13:1). Dann aber tritt plötzlich Paulus als der Führende hervor und überflügelt Barnabas von diesem Zeitpunkt an (Apostelgeschichte 13:9ff, siehe insb. Vers 13). Barnabas nimmt das nicht nur großzügig hin, sondern man hat den Eindruck, dass er es sogar von Anfang an darauf angelegt hatte.

Related Topics: Christology, Revelation

4. Die ersten Jünger (Johannes 1:35-51)

Einleitung

Wie so viele andere auch wurden meine Frau und ich ursprünglich durch einen Verwandten zusammengebracht. Meine spätere Frau Jeannette war College-Studentin in Seattle, während ich noch bei meinen Eltern lebte. Meine Schwester Ruth wohnte im Studentenwohnheim auf dem gleichen Flur wie Jeannette, und sie wurden Freundinnen. Als meine Schwester David Harrison heiratete (den ich versucht hatte mit Jeannette zusammenzubringen), fand die Hochzeit in Shelton statt, wo ich lebte, und Jeannette übernahm eine Rolle im Rahmen der Hochzeitszeremonie. Ein oder zwei Jahre später wurde Jeannette und ich dann gute Freunde, als wir beide eine leitende Position innerhalb unserer jeweiligen College-Klasse in der Kirche innehatten. Ich lieh mir sogar einmal Jeannettes Auto aus, um „Nancy“ bei einer Verabredung auszuführen. Schließlich wurde es für Jeannette und mich offensichtlich, dass wir viel mehr – aber auch niemals weniger – als „befreundet“ sein sollten. Dank meiner Schwester Ruth begann für Jeannette und mich eine lebenslange Beziehung.

Beziehungen kommen oft mithilfe eines Freundes oder Verwandten zustande; und wenn eine solche Beziehung beginnt, hat man noch keine Ahnung, wohin sie führen könnte. Ganz sicher traf das für meine Beziehung mit Jeannette zu. Ich erhielt viel mehr als ich erwartet hatte, ja sogar das allerbeste! Und dasselbe traf auf die Jünger Jesu zu, von denen die ersten auch durch einen Freund oder Verwandten zu Ihm gebracht wurden.

Die Jünger unseres Herrn spielen im Neuen Testament eine sehr wichtige Rolle. Jedes der drei synoptischen Evangelien (Matthäus, Markus und Lukas)66 beinhaltet zwei „Rufe“. Der erste „Ruf“67 ist vorläufig, geschieht sehr früh im Verlauf des Dienstes unseres Herrn und scheint nicht für die Dauer gewesen zu sein. Zu diesem Zeitpunkt werden erst einmal zwei Bruderpaare gerufen: Jakobus und Johannes, die Söhne des Zebedäus, und Simon und Andreas. Im Matthäus- und im Markus-Evangelium wird der Ruf an die vier Fischer jeweils nur recht kurz beschrieben.

Einen ausführlicheren Bericht über diesen ersten Ruf finden wir im Kapitel 5 des Lukas-Evangeliums. Lukas holt weit aus und erläutert näher, was bei Matthäus und Markus nur knapp berichtet wird: Jesus kam zum See Genezareth68 und begann vor der Menge zu lehren, die sich dort versammelt hatte, um Ihn zu hören. In der Nähe lagen zwei Boote; eines davon gehörte Jakobus und Johannes und das andere Petrus und Andreas. Jesus kam in Petrus’ Boot und bat ihn vom Ufer abzulegen, damit Er leichter zu den Menschen am Ufer sprechen konnte. Als Jesus seine Lehren beendet hatte, wies er Petrus an, in tieferes Wasser hinauszufahren und die Netze zum Fang herabzulassen. Nicht dass Er ihnen vorschlug, dass sie versuchen sollten, Fische zu fangen – nein, Er sprach davon als von einer Gewissheit. Petrus und sein Partner waren die ganze Nacht erfolglos zum Fischen unterwegs gewesen und wenn es etwas gab, worin Petrus sich kompetent fühlte, dann war es das Fischen. Er brachte also Jesus gegenüber zum Ausdruck, dass er dessen Plan für nicht sehr gelungen hielt, tat aber dann doch, was Jesus ihm aufgetragen hatte. Als sie tieferes Wasser erreichten und dort das Netz einholten, war es so voll, dass Petrus Jakobus und Johannes zuhilfe rufen musste. Diese brachten ihr Boot längsseits und beide Boote waren anschließend so voller Fische, dass sie unterzugehen drohten. Da erkannte Petrus plötzlich, dass Jesus viel größer war, als er angenommen hatte, und fiel vor Ihm nieder. Petrus forderte Jesus auf, von ihm, dem sündigen Menschen, fortzugehen. Und Jesus ruft daraufhin die Männer dazu auf, Ihm zu nachfolgen, weil sie von nun an „Menschen fischen“ werden (Lukas 5:10). Lukas erzählt uns weiter, dass sie ihre Boote auf das Ufer zogen und alles verließen, um Jesus zu folgen. Dieser erste „Ruf“ wird bei Johannes überhaupt nicht erwähnt.

Wie wir wissen, geschah es erst beim zweiten „Ruf“, dass Jesus die Zwölf zu Seinen Jüngern ernannte. Dieser spätere Ruf ist in den synoptischen Evangelien aufgezeichnet69, aber im Johannes-Evangelium ist er wiederum nicht zu finden. Tatsächlich gibt es bei Johannes gar keinen „Ruf“ an die Jünger, außer dem „Ruf“ an Philippus70 in unserem heutigen Text. Es gibt im Johannes-Evangelium noch nicht einmal eine Aufzählung der Namen der zwölf Apostel. Nur viermal werden „die Zwölf“ erwähnt, dreimal davon im selben Kapitel (Johannes 6:67,70,71) und das letzte Mal in Kapitel 20, Vers 24. Die ausführlichste Aufzählung von Jüngern unseres Herrn finden wir bei Johannes im allerletzten Kapitel: „Danach offenbarte sich Jesus den Jüngern noch einmal am See von Tiberius. Und so offenbarte er sich ihnen: Simon Petrus, Thomas (genannt Didymos), Nathanael (aus Kana in Galiläa), die Söhne des Zebedäus und zwei andere von seinen Jüngern waren beisammen“ (Johannes 21:1-2).

Drei Jünger werden hier namentlich genannt: Simon Petrus, Thomas und Nathanael. Jakobus und Johannes werden indirekt als die „Söhne des Zebedäus“ angeführt, und zwei andere Jünger werden als anwesend erwähnt, aber nicht näher bezeichnet. Im gesamten Johannes-Evangelium wird Jakobus nicht mit Namen genannt, und auch die inneren Drei (Petrus, Jakobus und Johannes) werden nicht erwähnt. In den Schlussversen von Kapitel 1 findet sich die einzige Beschreibung davon, wie Jesus Jünger gewann. Von Kapitel 2 an lesen wir nur noch von „Jesus und Seinen Jüngern“ (2:2) oder schlicht von „Seinen Jüngern“. Lassen Sie uns also einen Blick auf diese Verse werfen, die beschreiben, wie Jesus einen Seiner Jünger gewann.

Jesus und die zwei Jünger des Johannes
(1:35-39)

35 Am nächsten Tag stand Johannes wieder da mit zweien seiner Jünger. 36 Er sah auf Jesus, der vorbeiging, und sagte: „Siehe, das Lamm Gottes!“ 37 Als seine zwei Jünger ihn das sagen hörten, folgten sie Jesus. 38 Jesus wandte sich um und sah, dass sie ihm folgten, und sprach zu ihnen: „Was wollt ihr?“ Da sagten sie zu ihm: „Rabbi“ (das bedeutet übersetzt: Lehrer), „wo hältst du dich auf?“ 39 Jesus sprach zu ihnen: „Kommt, und ihr werdet sehen.“ So kamen sie und sahen, wo er sich aufhielt, und blieben an diesem Tag bei ihm; es war etwa vier Uhr am Nachmittag (Johannes 1:35-39).

Einen Tag hören wir Johannes vom Messias sprechen als von Einem, der irgendwo in Israel unter Seinem Volk weilt, aber noch nicht erkannt worden ist (1:26-27, 30-31), und am folgenden Tag schon verkündet er Jesus als den verheißenen Messias (1:29-30). Die Identität Jesu als der Messias wird Johannes bei der Taufe des Herrn offenbart (1:31-34), und sofort beginnt Johannes kundzutun, dass Jesus Der ist, von dem er die ganze Zeit gesprochen hat. Kurz darauf geht der Herr an Johannes und zweien von dessen Jüngern vorüber. Während Er sich entfernt, sagt Johannes zu seinen zwei Jüngern, dass Jesus das „Lamm Gottes“ sei (Vers 35). Die Jünger verlassen Johannes und laufen hinter Jesus her. Als sie näher kommen, dreht Er sich um, sieht, dass sie Ihm folgen, und fragt sie: „Was sucht ihr?“

Jesus fragt sie nicht „Wen sucht ihr?“, sondern Was sucht ihr?“ Diese Frage ist nicht unfreundlich gemeint, um die Jünger abzuweisen. Vielmehr soll die Frage sie offenbar dazu ermutigen, in Worte zu fassen, was sie von Ihm wollen, und auf den Punkt zu bringen, was sie da eigentlich tun. Die zwei Männer werden vielleicht auf dem falschen Fuß erwischt, denn sie antworten: „Rabbi, wo hältst du dich auf?“ Ich muss zugeben, dass ich das anfangs für eine ziemlich dämliche Antwort hielt, von der Art, wie ich sie selbst schon gegeben habe, wenn ich auf dem falschen Fuß erwischt wurde und nicht wusste, was ich sagen sollte. Diese Antwort könnte aber mehr enthalten, als ich zunächst dachte. Es ist möglicherweise eine höfliche Anfrage an Jesus, ob sie Seine Jünger werden könnten.

Die Antwort unseres Herrn ist ermutigend: „Kommt, und ihr werdet sehen“ (Vers 39). Das ist eine ganz andere Antwort als die, die Jesus bei anderer Gelegenheit jemandem gab, der sich Ihm antrug: „Als sie die Straße entlang gingen, sagte jemand zu ihm: ‚Ich will dir folgen, wo immer du auch hingehst.’ Jesus aber sprach zu ihm: ‚Füchse haben ihren Bau und die Vögel der Lüfte haben ihre Nester, aber der Menschensohn hat nichts, um sein Haupt niederzulegen’“ (Lukas 9:57-58).

Wenn Jünger-Sein buchstäblich bedeutete, seinem Meister zu folgen, dann musste man auch mit diesem Meister zusammenwohnen. Wenn Jesus also diesem „Möchtegern“-Jünger sagt, dass er nirgendwo wohnen könne, war das möglicherweise eine höfliche Absage unseres Herrn an das Angebot, dass der andere Sein Jünger werden wollte. Wenn Jesus andererseits die Jünger des Johannes einlädt zu sehen, wo Er wohnt, lädt Er sie wohl ein, Ihm als Seine Jünger zu folgen. Manche Bibelstudierende fassen das so auf, dass die zwei Männer, die Jesus ja um 4:00 nachmittags begegnen, die Nacht in Seinem Haus verbringen71.

Andreas bringt Simon zu Jesus
(1:40-42)

40 Einer der beiden Jüngern, die Johannes’ Worte gehört hatten und Jesus nachfolgten, war Andreas, der Bruder des Simon Petrus. 41 Er suchte zuerst72 seinen Bruder Simon auf und sagte zu ihm: „Wir haben den Messias gefunden“ (was übersetzt ‚Christus’, der Gesalbte, bedeutet). 42 Andreas brachte Simon zu Jesus. Jesus schaute ihn an und sprach: „Du bist Simon, der Sohn des Johannes. Du wirst Kephas genannt werden“ (was übersetzt ‚Petrus’, der Fels, bedeutet).

Aus Vers 40 erfahren wir, dass Simons Bruder Andreas einer der beiden Jünger war, die Jesus nach Hause folgten. Wie viele andere auch gehe ich davon aus, dass der andere Mann, der Johannes den Täufer verließ, um Jesus zu folgen, der Apostel Johannes war. Andreas suchte unverzüglich seinen Bruder Simon auf und erzählte ihm: „Wir haben den Messias gefunden“ (Vers 41). Der Ausdruck „Messias“ ist die Wiedergabe eines hebräischen Wortes mit der Bedeutung „gesalbt“. Dieses hebräische Wort wird in der griechischen Übersetzung des Alten Testaments (der Septuaginta) sonst immer mit Cristo („Christos“) übersetzt. Priester (Exodus 28:41, 40:15 etc.), Propheten (1. Könige 19:16) und Könige (1. Samuel 9:16, 16:3; 2. Samuel 12:7) wurden mit Öl gesalbt, um sie so für ihr Amt und ihre Verpflichtung zu weihen. Von all den „Gesalbten“ des Alten Testaments hebt sich eine Gestalt ab, die über allen anderen steht: „Du liebst die Gerechtigkeit und hasst das Böse; / daher hat Dich Gott, Dein Gott, / mit dem Öl der Freude gesalbt über alle Deine Gefährten“ (Psalm 45:7; siehe auch Psalm 2:2, NKJV).

Im Alten Testament wurde dieser Begriff („Christos“, „der Christus“) zu einem der Namen, mit denen der verheißene Erlöser (Daniel 9:25-26) bezeichnet wurde. Nur zweimal kommt das Wort „Messias“ im Neuen Testament vor, und zwar beide Male im Johannes-Evangelium:

Er suchte zuerst seinen Bruder Simon auf und sagte zu ihm: „Wir haben den Messias gefunden“ (was übersetzt ‚Christus’, der Gesalbte, bedeutet) (Johannes 1:41).

Die Frau sagte zu ihm: „Ich weiß, dass der Messias kommt (der da Christus genannt wird). Und wenn er kommt, wird er uns alles kundtun“ (Johannes 4:25).

Meistens wird der erwartete Messias (um hier den hebräischen Begriff für „der Gesalbte“ zu gebrauchen) als „der Christus“ bezeichnet. Dieser Ausdruck erscheint 56 Mal im Neuen Testament, davon 17 Mal im Johannes-Evangelium73. Seine Leser davon zu überzeugen, dass Jesus von Nazareth „der Christus“ ist – das ist die Absicht, die Johannes bei der Abfassung seines Evangeliums verfolgt: „Diese aber sind aufgeschrieben worden, auf dass ihr glaubet, dass Jesus der Christus ist, der Sohn Gottes, und dass ihr durch den Glauben in Seinem Namen Leben haben möget“ (Johannes 20:31; Hervorhebung durch B. Deffinbaugh).

Als nun Andreas zu seinem Bruder Petrus kommt, teilt er ihm mit, dass sie „den Messias“, „den Christus“ gefunden haben. Mit dem, was er sagt, hat Andreas natürlich Recht – aber er sagt viel mehr, als er selbst an diesem Punkt im Leben zu erfassen in der Lage ist. Er hat Recht mit seiner Interpretation, dass Jesus „der Messias“ ist. Was es aber bedeutet, „der Messias“ zu sein, müssen er und die anderen Jünger erst noch lernen. Ihre Auffassung ist diesbezüglich begrenzt und gelegentlich auch verzerrt. So kann es geschehen, dass Petrus einerseits sein „großes Bekenntnis“ über Jesus als „den Christus“ ablegt (Matthäus 16:16), und andererseits unmittelbar anschließend „den Christus“ zurechtweist, weil Er von Seinem bevorstehenden Leiden und Tod am Kreuz von Golgatha spricht (Matthäus 16:21-23).

Petrus geht mit Andreas, und sie machen sich auf den Weg zu Jesus. Unser Herr sieht Petrus an und gibt ihm einen neuen Namen: „Kephas“, das aramäische Äquivalent von „Petros“ (Petrus) mit der Bedeutung „Fels“. Interessanterweise „ruft“ Jesus Petrus an dieser Stelle nicht, und Petrus bietet sich ihm auch nicht an (allerdings könnte Johannes solche Einzelheiten schlicht weggelassen haben). Statt dessen gibt Jesus Simon einen neuen Namen und nennt ihn Petrus, „der Fels“. Jemandem einen Namen zu geben, hat in der Bibel weitreichende Bedeutung. Adam gab den Tieren, die Gott geschaffen hatte, ihre Namen: darin drückt sich die Tatsache aus, dass Gott ihn dazu ernannt hatte, über Seine Schöpfung zu „herrschen“. Gott gab einer Reihe von Menschen neue Namen, unter anderem wurde Abram zu Abraham, Sarai zu Sarah und Jakob zu Israel. Darin spiegelt sich Gottes Souveränität wider, denn mit dem Namen wird Er auch das Schicksal dessen ändern, dessen Namen Er geändert hat74. Simon ist alles andere als ein „Fels“, als Jesus ihm zum ersten Mal begegnet. Bei seinem „großen Bekenntnis“ (Matthäus 16:15-19) beginnt er felsenhafte Eigenschaften an den Tag zu legen, aber erst nach der Auferstehung unseres Herrn und nach Pfingsten wird Petrus wirklich zu einem „Fels“. Ich glaube nicht, dass unser Herr „felsenhafte“ Neigungen oder ein entsprechendes Potenzial in Simon sah. Vielmehr glaube ich, dass unser Herr beabsichtigte aus Simon einen Fels zu machen und dass Er Seine Absicht dann auch ausführte. Dieser Grünschnabel hat nichts Felsenhaftes; erst unser Herr macht einen Fels aus dem Mann. Simons Umbenennung ist damit prophetisch75.

In den synoptischen Evangelien erfahren wir nie, wie oder wann Simon den Namen „Petrus“ erhielt. Wir erfahren nur, dass sein Name Petrus war. Überall in diesen Evangelien wird er entweder „Simon“ oder „Petrus“ oder „Simon Petrus“ genannt. Allein unser Text versieht uns mit Informationen darüber, wie Petrus zu seinem Namen kam. Wieder einmal sehen wir hier den einmaligen Beitrag, den das Johannes-Evangelium zum Schriftenkanon leistet.

Der Ruf an Philippus
und das Bekenntnis des Nathanael
(1:43-51)

43 Am folgenden Tag wollte Jesus76 nach Galiläa aufbrechen. Er77 fand Philippus und sagte zu ihm: „Folge mir nach.“ 44 Philippus aber kam aus Bethsaida78, der Stadt des Andreas und des Petrus. 45 Philippus fand Nathanael und sagte zu ihm: „Wir haben den gefunden, über den Moses im Gesetz schrieb und über den auch die Propheten schrieben – Jesus von Nazareth, den Sohn Josephs79.“ 46 Nathanael sagte zu ihm: „Was kann aus Nazareth denn Gutes kommen?” Philippus erwiderte: „Komm und sieh.“ 47 Jesus sah Nathanael herankommen und sagte über ihn: „Siehe, ein wahrer Israelit, in dem kein Falsch ist!“ 48 Nathanael fragte ihn: „Woher kennst du mich?“ Jesus erwiderte: „Bevor Philippus dich rief, sah ich dich, als du unter dem Feigenbaum warst.“ 49 Nathanael antwortete ihm: „Rabbi, du bist der Sohn Gottes; du bist der König von Israel!“ 50 Jesus sprach zu ihm: „Weil ich dir sagte, dass ich dich unter dem Feigenbaum sah, glaubst du? Du wirst noch größere Dinge sehen als das.“ 51 Und er fuhr fort: „Ich sage euch die tiefe Wahrheit: Ihr werdet den Himmel geöffnet und die Engel Gottes zu des Menschen Sohn auf- und niederfahren sehen80.“

Als Jesus nach Galiläa kommt, begegnet Er zunächst Philippus und ruft ihn als Jünger zu sich81. Interessanterweise ist es in diesem Evangelium nur Philippus, den unser Herr so einlädt. In den synoptischen Evangelien gibt es, wie erwähnt, noch andere Rufe zur Jüngerschaft. Aber im Johannes-Evangelium wird nur Philippus eingeladen, Jesus „nachzufolgen“, und zwar an dieser Stelle in unserem Text. Das ist ausgesprochen interessant, denn Philippus scheint gar nicht die Art Mensch zu sein, von dem man erwarten würde, dass er so durch unseren Herrn herausgehoben wird.

In den synoptischen Evangelien kommt Philippus einmal pro Evangelium vor, und zwar dort, wo die zwölf Männer namentlich aufgezählt werden, die Jesus zu Seinen Jüngern ernannt hatte. Ansonsten wird über ihn selbst als Individuum bei den Synoptikern nichts gesagt. Auf die Frage, was Philippus denn für ein Mensch war, wüssten wir allein aus den synoptischen Evangelien nichts zu sagen. Im Johannes-Evangelium erscheint Philippus’ Name 12 Mal, und es werden verschiedene Ereignisse beschrieben, die etwas über ihn aussagen:

4 (Das jüdische Passahfest war aber nahe.) 5 Als Jesus dann den Blick erhob und sah, dass eine große Volksmenge zu ihm kam, sagte er zu Philippus: „Wo können wir Brot kaufen, damit diese Menschen essen können?“ 6 (Jesus sagte dies aber, um ihn zu prüfen, denn er wusste wohl, was er tun wollte.) 7 Philippus erwiderte: „Für zweihundert Silbermünzen Brot wäre nicht genug für sie, dass jeder ein wenig bekomme“ (Johannes 6:4-7).

20 Es waren aber einige Griechen unter denen, die heraufgekommen waren, um auf dem Fest anzubeten. 21 Die traten dann an Philippus heran, der von Bethsaida in Galiläa war, und baten: „Mein Herr, wir möchten gerne Jesus sehen.“ 22 Philippus ging hin und sagte es Andreas, und sie beide gingen hin und sagten es Jesus. 23 Jesus erwiderte: „Die Zeit ist gekommen, dass der Menschensohn verherrlicht werde“ (Johannes 12:20-23).

6 Jesus erwiderte: „Ich bin der Weg und die Wahrheit und das Leben. Niemand kommt zum Vater außer durch mich. 7 Wenn ihr mich erkannt habt, werdet ihr auch meinen Vater erkennen. Und von nun an kennt ihr ihn und habt ihn gesehen.“ 8 Philippus sagte: „Herr, zeige uns den Vater und wir werden es zufrieden sein.“ 9 Jesus erwiderte: „So lange bin ich bei euch gewesen und du hast mich nicht erkannt, Philippus? Wer mich gesehen hat, hat den Vater gesehen! Wie kannst du sagen ‚Zeige uns den Vater’? 10 Glaubst du nicht, dass ich im Vater bin und der Vater in mir ist? Die Worte, die ich zu euch spreche, sage ich nicht aus eigener Autorität heraus, sondern der Vater, der in mir wohnt, tut seine wunderbaren Werke. 11 Glaubt mir, dass ich im Vater bin und der Vater in mir ist; wenn ihr aber mir nicht glaubt, so glaubt es um der wunderbaren Werke selbst willen“ (Johannes 14:6-11).

Ich muss immer lachen, wenn ich Leon Morris’ ironischen Kommetar lese, dass Philippus in diesen Texten „etwas unsicheren Boden unter den Füßen“ zu haben scheint82. Philippus scheint nicht gerade der Typ zu sein, der in der Schule aus seinem Abschlussjahrgang zum „Most likely to succeed“ gewählt worden wäre. Ihm fehlten vielleicht das Selbstvertrauen und die Eigeninitiative, um sich selbst zu behaupten und Christus ohne entsprechende Einladung zu folgen. Der Ruf an Philippus illustriert also ein Prinzip, das in der Bibel oftmals zutage tritt, am deutlichsten aber von dem Apostel Paulus ausgesprochen wurde:

26 Bedenkt die Umstände eurer Berufung, Brüder und Schwestern. Nur wenige waren weise nach menschlichen Maßstäben, nur wenige waren mächtig, nur wenige gehörten zur Oberschicht. 27 Aber Gott erwählte, was die Welt für töricht hält, um die Weisen zu beschämen, und Gott erwählte, was die Welt für schwach hält, um die Starken zu beschämen. 28 Gott erwählte, was niedrig und verachtet ist in der Welt, was als Nichts erachtet wird, und ließ außer Acht, was als Etwas erachtet wird, 29 damit sich niemand in seiner Gegenwart rühmen kann. 30 Er allein ist der Grund dafür, dass ihr Gemeinschaft habt mit Christus Jesus, der für uns zur Weisheit von Gott geworden ist, und zur Gerechtigkeit und Heiligung und Erlösung, 31 damit es so sei, wie es geschrieben steht: „Wer sich rühmt, der rühme sich im Herrn“ (1. Korinther 1:26-31).

Nachdem wir alle Fakten berücksichtigt haben, wollen wir uns aber auch daran erinnern, dass Philippus auf die Einladung unseres Herrn hin zu einem der wenigen Privilegierten wurde, die Jesus als die Zwölfe folgen durften. Dieser Mann brachte außerdem, trotz seiner Begrenztheit, andere Menschen zum Erlöser, wie wir in Kürze für uns selbst sehen werden.

Als Nächster kommt Nathanael, ein ausgesprochen interessanter Charakter. Sein Name wird nur im Johannes-Evangelium genannt, fünf Mal in Kapitel 1 und einmal in Kapitel 21. Weder in den anderen Evangelien noch im restlichen Neuen Testament wird er je erwähnt. Es gibt gute Gründe anzunehmen, dass Nathanael der „Bartholomäus“ der synoptischen Evangelien ist83. Nathanael kommt im Johannes-Evangelium ganz anders daher als Philippus. Wo Philippus ein Mann mit offenbar „unsicherem Grund unter den Füßen“ ist, scheint Nathanael, mehr als die anderen, ein Mann von tief gründender Spiritualität zu sein.

Es ist Philippus, der Nathanael Jesus vorstellt: „Wir haben den gefunden, über den Moses im Gesetz schrieb und über den auch die Propheten schrieben – Jesus von Nazareth, den Sohn Josephs“ (Vers 45). Philippus stellt Jesus dar als die Erfüllung sämtlicher Prophezeiungen, die sich auf den Messias beziehen – von Moses angefangen bis hin zu den Propheten. Damit hat er natürlich vollkommen recht. Das erinnert mich an die folgenden Worte am Ende des Lukas-Evangeliums:

25 Also sprach er zu ihnen: „Ihr törichten Leute, die ihr trägen Herzens seid, an all die Dinge zu glauben, die die Propheten geredet haben! 26 Musste nicht der Christus alle diese Dinge erleiden und zu seiner Herrlichkeit eingehen?“ 27 Und ausgehend von Moses und all den Propheten legte er ihnen aus allen Schriften die Dinge aus, die über ihn geschrieben waren (Lukas 24:25-27).

Etwas von dem, was Nathanael hört, macht ihm sehr zu schaffen. Es ist nicht, dass Jesus „der Sohn Josephs“ ist, sondern dass Er „Jesus von Nazareth“ ist. Wir erkennen an dieser Stelle, dass es zu Jesu – geradeso wie in unserer eigenen – Zeit Vorurteile über bestimmte Orte gab. In den Vereinigten Staaten gibt es zum Beispiel noch immer Ressentiments zwischen den Nord- und den Südstaatenbewohnern. Es gibt bestimmte Vorurteile Menschen gegenüber, die in den Ozarks oder den Appalachen leben. Man geht davon aus, dass große Persönlichkeiten aus bestimmten Gegenden kommen müssen, während Menschen aus anderen Gebieten eher irgendwie zurückgeblieben sind. Solche „geographischen“ Vorurteile existieren, wenn auch vielleicht nur unterschwellig.

Galiläa scheint zu Jesu Zeiten so etwas wie „die Ozarks“ gewesen zu sein, und als Galiläer charakterisiert zu werden scheint kein Kompliment gewesen zu sein (siehe Markus 14:69-70). Auch für unseren Herrn scheint es kein Kompliment gewesen zu sein, dass Er als Nazarener (einer aus Nazareth, einer Stadt in Galiläa) bekannt war. Zumindest in Nathanaels Augen spricht es – was den Anspruch betrifft, der Messias zu sein – nicht für Jesus, dass Er aus Nazareth kommt. Der Apostel Johannes hat diese Worte aus gutem Grund eingefügt, und zwar um zu zeigen, wie skeptisch Nathanael Jesus gegenübersteht. Von dem Wenigen her, was er über Ihn weiß, ist Nathanael nicht geneigt zu akzeptieren, dass Jesus der Messias sein könnte. Die radikale Sinneswandlung, die wir dann innerhalb weniger Verse sehen, ist also ein Hinweis darauf, wie zwingend und gewichtig die Beweise sein müssen, die Nathanael dazu bringen, Jesus als den Messias zu bekennen. Johannes spart hier offensichtlich das Beste bis zum Schluss auf, denn Nathanaels Bekenntnis ist das tiefste und umfassendste: „Rabbi, du bist der Sohn Gottes, du bist der König von Israel!“ (Vers 49). Lassen Sie uns nun betrachten, wodurch Nathanaels Meinung so rasch und so durchgreifend verändert wurde.

Um die Ausgangssituation klar zu machen, müssen wir ganz bis zum Buch Genesis im Alten Testament zurückgehen und das folgende Ereignis im Leben Jakobs nachlesen, dessen Namen Gott in „Israel“ umbenannte:

10 Und Jakob zog von Beerscheba fort und machte sich auf den Weg nach Haran. 11 So kam er an eine Stätte und blieb dort über Nacht, denn die Sonne war untergegangen. Und er nahm einen von den Steinen an diesem Ort und setzte ihn als Kopfstütze hin und legte sich dort zum Schlafen nieder. 12 Da träumte ihm, und siehe, da wurde eine Leiter auf die Erde gestellt und ihre Spitze reichte bis zum Himmel, und die Engel Gottes stiegen daran auf und nieder. 13 Und siehe, der Herr stand oben und sprach: „Ich bin der Herr, der Gott deines Vaters Abraham und der Gott Isaaks; das Land, auf dem du liegst, will ich dir und deinen Nachkommen geben. 14 Auch sollen deine Nachkommen wie die Staubkörner auf der Erde sein; du sollst dich ausbreiten zum Westen und zum Osten, zum Norden und zum Süden; und in dir und deinem Samen sollen alle Geschlechter der Erde gesegnet werden. 15 Siehe, ich bin bei dir, und ich will dich behüten, wo immer du hingehst, und ich will dich zurück in dieses Land bringen; denn ich werde dich nicht verlassen, bis ich getan habe, was ich zu dir geredet habe.“ 16 Da erwachte Jakob aus dem Schlaf und sagte: „Wirklich, der Herr ist an diesem Ort, und ich wusste es nicht.“ 17 Und er fürchtete sich und sprach: „Wie Ehrfurcht gebietend ist dieser Ort! Dies ist nichts anderes als das Haus Gottes und es ist das Tor zum Himmel!“ (Genesis 28:10-17, NKJV).

Jakob war ein Intrigant und Betrüger. Es war ihm gelungen, seinen älteren Bruder und seinen Vater zu hintergehen, indem er Esau um sein Erstgeburtsrecht brachte (Genesis 25) und von Isaak und Esau einen Segen ergaunerte (Genesis 27). Er floh aus Kanaan, und insbesondere vor Esau, unter dem (teilweise zutreffenden) Vorwand, dass er eine Frau unter seinen Verwandten in Paddan-Aram suchen wolle. Auf seinem Weg nach Paddan-Aram verbrachte Jakob die Nacht unter freiem Himmel. In dieser Nacht hatte er einen Traum, in dem er eine Leiter sah, die sich von der Erde bis in den Himmel erstreckte. Auf dieser Leiter stiegen Engel auf und nieder. Dann sprach Gott zu Jakob und erneuerte den Bund, den Er mit Jakobs Vorfahren Abraham und Isaak geschlossen hatte. Gott verhieß Jakob, dass Er ein großes Volk aus ihm machen werde, und auch, dass Er ihn sicher in das Land zurückbringen werde, das er im Begriff war zu verlassen.

Als Jakob am Morgen erwachte, erinnerte er sich noch lebhaft an den Traum, den er in der Nacht geträumt hatte. Interessant an seiner Reaktion ist es, welche Aspekte dieses Traumes er als wichtig und eindrucksvoll empfand: Jakob war ganz auf den Ort fixiert, an dem ihm der Traum geschenkt worden war (Genesis 28:16-17). Er war vollkommen überwältigt von der Tatsache, dass Gott an diesem Ort gegenwärtig war und dass er das (bis zu seinem Traum) gar nicht erkannt hatte. Sein Sinn fixierte sich auf diesen Ort als einen Ort der Gegenwart und Wohnung Gottes, einen Ort, wo Himmel und Erde, Gott und Mensch zusammenkamen. Mit Jakobs Worten gesagt, war dieser Ort das Tor zum Himmel.

Der Traum hatte ganz unmittelbare Auswirkungen für Jakob, weil er die Wiederholung des Abrahamischen Bundes war – nur dass es dieses Mal Jakob war, durch den die Segnungen verliehen werden würden. Was aber vielleicht (zu diesem Zeitpunkt) noch wichtiger für Jakob war: der Traum stellte für ihn einen ganz realistischen Anreiz dar, nach Israel zurückzukehren. Wie leicht wäre es für Jakob gewesen, nach Paddan-Aram zu fliehen und niemals wieder in das verheißene Land zurückzukehren. Nun erkannte Jakob nicht nur, dass Gott ihm seinen Segen verheißen hatte, sondern auch, dass Er ihn letztendlich an diesem Ort segnen würde. Das Land Israel war, in gewisser Hinsicht, das Tor zum Himmel, ein besonderer Ort, wo Gott und die Menschen sich begegnen konnten, wo auch Himmel und Erde sich begegneten. Er konnte diesen heiligen Ort eine Zeit lang verlassen, aber er musste zurückkehren. So geschah es, dass Jakob schwor zurückzukehren und Gott den Zehnten zu geben, solange Gott ihm Schutz und Gedeihen gewährte.

Was hat all das mit unserem Text im Johannes-Evangelium zu tun und damit, dass Nathanael an Jesus als den verheißenen Messias glaubte? Eine ganze Menge! Ich beziehe mich dabei auf die Worte, die unser Herr in den Versen 47-51, insbesondere in Vers 51, zu Nathanael spricht: „Ich sage euch die tiefe Wahrheit: Ihr werdet den Himmel geöffnet und die Engel Gottes zu des Menschen Sohn auf- und niederfahren sehen.“ Diese Worte können nichts anderes sein als eine Anspielung auf die Episode aus Genesis 28, die wir gerade gelesen haben. Ich möchte Ihnen also einen Vorschlag machen, wie sich die Dinge zugetragen haben mögen. Es kann natürlich sein, dass sie sich nicht genau so zugetragen haben – aber sie könnten sich doch so ähnlich zugetragen haben.

Wir wissen mit Sicherheit, dass Nathanael, als (oder unmittelbar bevor) Philippus ihn aufsuchte, „unter dem Feigenbaum“ war (Vers 48). Manche meinen, dass dies ein Ort war, den Nathanael, wie andere Israeliten auch, aufsuchte, um zu meditieren und zu beten:

Der Feigenbaum war fast so etwas wie ein Symbol für zuhause (vgl. Jes 36:16, Mi 4:4, Sach 3:10). Für spätere Zeiten steht fest, dass sein Schatten als Ort für Gebet und Meditation und Studium genutzt wurde; und es gibt keinen Grund anzunehmen, dass solche Gewohnheiten nicht auch bis in diese Zeit zurückreichten. Wahrscheinlich hatte Nathanael in der Abgeschiedenheit seines Zuhause irgendeine außerordentliche Erfahrung der Gemeinschaft mit Gott gemacht, und dies war es, worauf Jesus sich bezog. Was immer es war: Nathanael erkannte die Anspielung.84

Ich neige zu der Ansicht, dass Nathanael unter dem Feigenbaum über Jakob, und insbesondere über den Text im Buch Genesis, gelesen und meditiert hatte (ähnlich wie der äthiopische Eunuch gerade im Buch Jesaja gelesen hatte, bevor Philippus zu ihm kam – Apostelgeschichte 8:26-40). Jakob war ein Mensch voller Falschheit. Die meiste Zeit seines Lebens intrigierte und manipulierte er, um auf Kosten anderer voranzukommen. Jakob war auch der erste „Israelit“, insofern als Gott ihn in Kürze in „Israel“ umbenennen würde (Genesis 32:28). Er war der erste „Israelit und voller Hinterlist“.

Nachdem Philippus auf Nathanael getroffen ist und ihm erzählt hat, dass sie den Messias gefunden haben, Den, der im Gesetz des Moses und der Propheten verheißen wurde, macht sich Nathanael auf den Weg, um diesen Jesus selbst in Augenschein zu nehmen. Als Nathanael näher kommt, spricht Jesus zu anderen Menschen über ihn, und er überhört die Worte: „Siehe, ein wahrer Israelit, in dem kein Falsch ist!“ Diese Worte lassen Nathanael auf dem Fleck stehenbleiben. Er hat noch nicht Jesu Bekanntschaft gemacht, noch nicht einmal mit ihm gesprochen, und doch beschreibt Jesus sein Herz und seinen Charakter ganz genau. Wenn Jesus so etwas von mir gesagt hätte, hätte ich geantwortet: „Wer? Ich?“ Nathanael aber akzeptiert die Worte unseres Herrn als die Wahrheit und daher antwortet er: „Woher kennst du mich?“ Anders ausgedrückt: „Woher weißt du, dass ich ein Israelit ohne Falsch bin?“

An dieser Stelle sollten verschiedene Dinge festgestellt werden. Erstens: Jesus sagt nicht: „Siehe, ein Israelit, in dem keine Sünde ist.“ Nathanael ist ein Sünder, wie jeder andere Mensch auch (mit Ausnahme unseres Herrn). Zweitens: Wenn die Worte unseres Herrn auch zutreffend und ein Lob für Nathanael sind, so sind sie doch nicht unbedingt ein Lob für die Juden im allgemeinen. Bestimmte Rassen haben bestimmte sündige Neigungen (siehe Titus 1:12-13), und Jesus spielt darauf an, dass Betrug bei den Israeliten vielleicht allzuoft anzutreffen ist. Drittens: Die Worte unseres Herrn schätzen Nathanaels Charakter in gewisser Weise so zutreffend ein, als könne unser Herr in seine Seele hineinschauen und ihn beurteilen, ohne ihn auch nur persönlich zu kennen. Das ist es, was Nathanael offensichtlich beeindruckt.

Und noch ein vierter Faktor sollte beachtet werden: Unser Herr gibt mit seinen Worten nicht nur eine zutreffende Beurteilung von Nathanaels Charakter ab, sondern er spricht wohl zudem genau das an, worüber Nathanael unter dem Feigenbaum meditiert hatte, als er Jesus noch gar nicht begegnet war. Jesus „sah“ Nathanael kommen (Vers 47), aber schon davor „sah“ Er Nathanael unter dem Feigenbaum, wo dieser dachte, dass niemand ihn sehen könne (Vers 48). Und um der Sache die Krone aufzusetzen, spricht Jesus Nathanael auch noch mit genau dem Text und Thema an, worüber dieser zuvor meditiert hatte. War Jakob, der erste Israelit, ein Intrigant, ein Mann voller Falschheit? Nathanael ist ein wahrer Israelit ohne Falsch. Er ist ein Mensch, der geradezu handelt und nicht unter der Hand taktiert.

Ich glaube, Johannes sagt hier sogar noch mehr. Nathanaels erster Eindruck von Jesus ist falsch. Er bezweifelt, dass aus Nazareth irgendetwas Gutes kommen könnte. Nathanael stellte Philippus’ Empfehlung allein aufgrund von Jesu Geburtsort infrage. Ist es nicht bemerkenswert, dass der „Ort“ auch das war, was Jakob in seinem Traum über die Leiter am meisten beeindruckt hatte? Jakob stellte fest, dass dieser „Ort“ heilig war, dass dort Gott den Menschen begegnete; er war das Tor zum Himmel. Das stimmte natürlich, aber es war doch nur ein Teil der Botschaft, die Gott Jakob vermitteln wollte.

Um Nathanael an Jesus glauben zu lassen, braucht es nicht mehr als dass unser Herr in seine Seele hineinsieht, seinen wahren Charakter ermisst, ihm sagt, dass Er ihn gesehen hat, wo ihn seines Wissens niemand gesehen hat, und ihm genau das Thema und den Text offenbart, über die er zuvor meditiert hat. Nathanael erwidert enthusiastisch: „Du bist der Sohn Gottes; Du bist der König von Israel.“ Als wäre das nicht genug, fährt Jesus fort: Davon ist Nathanael beeindruckt? Es ist dies nur die Spitze des Eisbergs, der Vorbote größerer Dinge, die erst noch bevorstehen. Nathanael wird noch viel größere Dinge erleben als dies.

Jesu nächste Aussage stellt den Höhepunkt seiner Rede an Nathanael dar und Er leitet sie ein mit den Worten: „Ich sage euch die tiefe Wahrheit…“ (wörtlich: „wahrlich, wahrlich,“; Vers 51). Was darauf folgt, sind Worte von großer Wichtigkeit, die mit Sorgfalt und Aufmerksamkeit gehört werden sollten. Der Ausdruck „wahrlich“ entspricht wörtlich der griechischen Übersetzung des hebräischen „Amen“. Faszinierend ist hierbei, dass Jesus diesen Ausdruck nimmt und ihm eine einmalige und besondere Bedeutung verleiht. Er modifiziert die übliche Bedeutung. Morris hat das am besten ausgedrückt:

‚Wahrlich’ ist nicht die Übersetzung eines griechischen Wortes, sondern die Übertragung eines aramäischen (oder hebräischen) Wortes, nämlich Amen. Es ist dies das Partizip eines Verbs mit der Bedeutung ‚bestätigen’, und es wurde benutzt, um Zustimmung auszudrücken. Beispielsweise war (und ist) es die Antwort der Gemeinde auf das Gebet dessen, der den Gottesdienst anführt; und sie macht es auf diese Weise zu ihrem eigenen Gebet (1. Ko 14:16). Nur sehr selten ist es auch der Abschluss des eigenen Gebets (z.B. Tobit 8:7f.), wenn dieses den Charakter eines Wunsches hat. In dieser Form wird es aber wirklich selten gebraucht; üblicherweise ist es die Zustimmung zu etwas, was ein anderer gesagt hat. In den Evangelien wird es nur von Jesus alleine benutzt, und zwar immer als Vorsatz zu einer wichtigen Äußerung. Vermutlich geschieht dies, um eine solche Äußerung als tiefgründig und wahr und wichtig zu kennzeichnen. Dieser Gebrauch von Amen als Einleitung seiner eigenen Worte scheint nur Jesu eigen zu sein; es kann keine wirkliche jüdische Parallele dazu angeführt werden.85

Hat Nathanael, in ähnlicher Weise wie Jakob, eine Affinität zu bestimmten Orten? Glaubt Nathanael, dass Gott den Menschen nur an einem bestimmten Ort begegnen will? Das stimmt ja in gewisser Weise, insbesondere in der Vergangenheit Israels. Von nun an aber geht es nicht mehr um den Ort, sondern um die Person86. Fixiert Jakob seine Aufmerksamkeit auf das Land, auf das die Himmelsleiter gestellt wurde? Nun gut. Jesus aber gibt Nathanael zu verstehen, dass er mit der Zeit erkennen wird, dass Jesus Selbst die Leiter ist. Den Zugang von der Erde zum Himmel gibt es durch Jesus Christus, Israels Messias. Durch Jesus Christus, Gottes einzigen Mittler, können Menschen in eine Beziehung zu Gott treten und den Weg in den Himmel finden. Es ist, als wolle unser Herr sagen: „Sieh nicht auf den Boden, auf den die Leiter gestellt ist; sieh auf die Leiter. Ich bin diese Leiter. Ich bin der Weg, die Wahrheit und das Leben. Kein Mensch kommt zum Vater außer durch Mich.“

Schlussfolgerung

Unser Text lehrt uns viel über das Thema der Jüngerschaft. Als unser Herr auf die Erde kam, kam Er als Mensch dorthin. Er kam, um unter den Menschen zu leben und insbesondere um mit einigen Menschen enge Gemeinschaft zu pflegen. Die Marines hätten es sicher gerne, wenn wir sagen würden: „Er pflegte Gemeinschaft mit ‚einigen guten Menschen’.“ Das trifft aber eigentlich nicht zu. Es waren zwar einige Menschen, aber sie waren überhaupt nicht das, was man gute Menschen nennen würde. Sie waren nicht alle Spitzenklasse, nicht die Art von Menschen, denen alles gelingt, was sie in die Hand nehmen. Die ersten vier Männer, die Jesus in den synoptischen Evangelien zu sich ruft, sind Fischer, und der Apostel Johannes ist einer von diesen Männern. Simon ist dazu bestimmt, „der Fels“ zu werden; das liegt aber nicht in irgendwelchen Eigenschaften begründet, die schlafend und unberührt in ihm liegen und durch die Verbindung zu unserem Herrn beschleunigt entwickelt werden. Petrus wird zwar zum „Fels“ – dies aber größtenteils trotz seiner Anlagen. Es ist das Resultat dessen, was Gott in ihm und durch ihn wirkt.

Auch Philippus scheint nach dem, was wir im Johannes-Evangelium über ihn erfahren, nicht gerade ein „Schnäppchen“ gewesen zu sein. Vielleicht hatte er „keinen festen Boden unter den Füßen“. Verlieren Sie aber nicht den Boden unter den Füßen, wenn sie versuchen Zeugnis abzulegen, wenn Sie versuchen die Befehle Christi auszuführen, wenn sie sich darum bemühen, Ihre Feinde zu lieben? Unser Herr erwählte die „Schwachen“ dieser Welt zu Seinen Jüngern, damit es ganz klar würde, dass Er die Grundlage ihres späteren Erfolges ist (siehe Apostelgeschichte 4:13, 1. Korinther 1:26-31). Aber auch in einem anderen Sinne erwählte Er Menschen, einfach und souverän, trotz ihrer Schwächen und ihrer Fehler, um ihnen Seine Liebe und Gnade zuteil werden zu lassen.

Dieser und andere Texte, die vom „Ruf“ an die Zwölf sprechen, sollten unseren Glauben infrage stellen, dass Jesus diese Männer auf der Grundlage dessen zu Seinen Jüngern erwählte, was sie für Sein Königreich tun könnten und würden. Ich höre viel zu oft sagen: „Wenn der und der gerettet werden sollte – denk doch nur, was er (oder sie) für die Sache Christi tun könnte.“ Drei von den zwölf Männern, die Jesus erwählte, waren Petrus, Jakobus und Johannes. Diese Männer gehörten alle zu dem „inneren Kreis“ aus dreien der Jünger unseres Herrn. Jakobus und Johannes waren Brüder. Sie hatten denselben Background, dieselben Erfahrungen in der Nachfolge unseres Herrn. Und doch war Jakobus der erste und Johannes der letzte, der starb. Erwählte Jesus Jakobus zu den Zwölfen und zu den Dreien wegen des Beitrags, den er leisten würde? Wohl kaum87. Jesus erwählte Jakobus vielleicht allein deswegen zu den Inneren Drei, um ihm so das Privileg engster Gemeinschaft mit Ihm Selbst zu gewähren. Wenn Jesus die Zwölf danach aussuchte, was sie für das Königreich tun würden – warum sehen wir dann im Buch der Apostelgeschichte so wenig von den meisten von ihnen? Warum spielen Männer wie Stephanus und Philippus (und andere, die noch nicht einmal namentlich genannt werden; vgl. Apostelgeschichte 11:20-21) eine solch herausragende Rolle bei der Ausbreitung der Kirche? Gottes Erwählung der Zwölf war Seine souveräne Wahl, so wie Er immer diejenigen souverän erwählt, die mit Ihm in Gemeinschaft treten sollen. Es gibt also keinerlei Grund, sich dessen zu rühmen.

Ich hätte gedacht, dass Jesus Nathanael und nicht Petrus dazu erwählt hätte, „der Fels“ zu werden. Nathanael scheint der „geistlichste“ all derer zu sein, die Jesus in diesem Kapitel des Johannes-Evangeliums nachfolgen, und doch hören wir im restlichen Neuen Testament nirgendwo von irgendeinem wesentlichen Dienst oder Beitrag, den er (oder Bartholomäus, der wohl dieselbe Person war) geleistet hätte. Wir sind, glaube ich, gezwungen, unsere vorgefassten Meinungen über die zwölf Jünger unseres Herrn – vielleicht sogar die über die Inneren Drei (Petrus, Jakobus, Johannes) – teilweise zu überdenken. Meiner Erfahrung nach gibt es überall in der Gemeindeführung ein verbreitetes Missverständnis darüber, dass Führerschaft auf der Basis der Spiritualität verteilt würde – je höher jemand in der christlichen Leitung aufsteigt, umso spiritueller muss er wohl sein88.

Aber wenn man so in den Evangelien liest, erscheint es recht eindeutig, dass einige Frauen, die in Verbindung mit Jesus standen, ein wesentlich größeres spirituelles Verständnis für unseren Herrn und Seinen Dienst hatten als die Männer, die ihm nachfolgten. Es gibt zwar bestimmte spirituelle Qualifikationen, die jeder Älteste erfüllen sollte, aber ich möchte trotzdem nicht sagen, dass die Ältesten (allein aufgrund der Tatsache, dass sie Älteste sind) die spirituellsten Menschen in der Gemeinde sind. Um dieses Argument noch auf ein wichtiges Gebiet innerhalb der heutigen Kirche auszuweiten: einer der Irrtümer, die in der frühen Kirche (besonders in der Gemeinde von Korinth) vorherrschten, war das Missverständnis, dass der Besitz bestimmter geistlicher Gaben Beweis für eine besonders tiefe Spiritualität wäre. Man kann aber, glaube ich, nicht sagen, dass die Jünger deswegen ausgewählt wurden, weil sie spiritueller als andere gewesen wären.

Statt an ihre Qualitäten sollten wir vielleicht lieber an die Mängel denken, die die Jünger aufwiesen. Ein Gesichtspunkt bei ihrer Berufung war vielleicht reines Erbarmen. Haben Sie je einen Wurf junger Hunde betrachtet und versucht, einen davon für Sie selbst herauszusuchen? Erinnern Sie sich an den „Zwerg“ in diesem Wurf, wie klein er war, wie er vielleicht von den anderen herumgeschubst wurde, sich ängstlich duckte? Hatten Sie den Wunsch, genau diesen kleinen Welpen herauszugreifen und ihm ganz besonders viel Liebe und Zuneigung zukommen zu lassen um alldessen willen, was ihm fehlte? Ich glaube, etwas davon findet sich auch darin, wie unser Herr die Menschen erwählt; nicht nur die, die Seine Jünger werden sollen, sondern auch die, die Er Sich zu retten entschließt.

Als unser Herr diese Männer zu Sich holte, gab es keine Überraschungen. Er wusste genau, wen Er sich erwählte. An Simon Petrus’ Stelle wäre ich ausgesprochen erleichtert gewesen, dass Jesus sich entschieden hatte, den innersten Kern von Nathanael zu enthüllen und nicht meinen eigenen. Er hätte von mir wohl nicht gesagt: „Siehe, ein Mann, in dem kein Falsch ist.“ Ich glaube, ich möchte lieber nicht hören, was Er über mein Inneres sagen würde. Und ganz sicher würde ich nicht wollen, dass Sie hören, was Er über meinen Charakter und meine Eigenschaften sagt. Andererseits wollen Sie, glaube ich, auch nicht, dass ich höre, was Er über Sie zu sagen hätte.

Über die Jahre habe ich viele junge Paare sich verlieben und heiraten sehen. Manche schaffen es nicht, ihre „Liebe“ so zu sehen, wie er/sie wirklich ist. Andere scheinen ihren Geliebten oder ihre Geliebte gut zu kennen. Manchmal geht alles gut, wenn sie heiraten – zumindest eine Zeit lang. Ich weiß nicht, wie oft ich erlebt habe, dass ein oder beide Ehepartner irgendwann einmal eine radikale Wesensänderung durchmachten und scheinbar zu einem vollkommen anderen Menschen wurden. Manchmal ist das die Folge einer Belastung oder eines tragischen Erlebnisses, manchmal aber auch nicht. Ganz plötzlich fühlt sich einer der Ehepartner, als wäre er mit einem Fremden verheiratet, den er gar nicht mehr als den Menschen erkennt, den er einmal kennengelernt und zu heiraten beschlossen hat. Das ist tragisch, und es geschieht öfter, als wir das wahrhaben wollen.

Jesus ist niemals überrascht über die, die Er für die Erlösung und Nachfolge ausgewählt hat. Er wusste, was Er mit Simon (Petrus) bekam, weil Er wusste, was Simon war, und weil Er wusste, was Er in und durch Simon vollbringen würde. Er wusste, was in Philippus und Nathanael war, in Jakobus und Johannes. Er weiß, was in uns ist, wenn Er uns errettet. Er weiß auch, was Er in und durch uns tun wird, durch Seine Gnade und Macht. Gott wird niemals überrascht, weil Er alles weiß. Er kennt unseren Charakter und unsere Schwächen und Stärken. Vor allem aber weiß Er, was Er in uns zu vollbringen beabsichtigt, und Er wird es auch vollbringen. „Denn darüber bin ich voll Zuversicht, dass der, der ein gutes Werk in euch begonnen hat, es auch zur Vollendung bringen wird bis an den Tag Christi Jesu“ (Philipper 1:6).

Wie leicht könnten uns einreden, dass die Aufnahme dieser Jünger unter die Nachfolger Jesu in unserem Text wenig oder gar nichts mit uns selbst zu tun hat. Schließlich waren das Jünger. Elf von ihnen würden zu den Aposteln unseres Herrn werden, zur Grundlage der Kirche. Das stimmt wohl. Zuerst und vor allem wurden sie aber ausgewählt, um an Jesus als den Messias zu glauben, dann, um Ihm nachzufolgen und bei Ihm zu sein. Am Ende würden einige von ihnen dann auch große Dinge für Ihn vollbringen. Vor allem aber sollten sie Ihm einfach nachfolgen.

Für die Menschen heute ist es nicht anders. Jesus ruft uns zuerst, damit wir an Ihn als den Sohn Gottes glauben, als das Lamm, das die Sünde der Welt hinwegnimmt. Aber Er ruft uns auch, damit wir Ihm nachfolgen, damit wir bei Ihm sind, in Seiner Gesellschaft und Gemeinschaft. Johannes scheint die Gesellschaft unseres Herrn am meisten genossen zu haben. Er ist wohl derjenige gewesen, der beim Abendmahl „an Jesu Brust lag“. Er ist wohl derjenige, der in der Nähe bleibt, selbst als unser Herr festgenommen, vor Gericht gestellt und ans Kreuz gehängt wird. Das ist es, was unser Herr uns alle einlädt zu tun: näher zu kommen und in enge Gemeinschaft mit Ihm einzutreten. Was für ein Privileg wir doch darin haben, Seine Jünger zu sein! Um Sein Jünger zu sein, musst du zuallererst an Ihn als den Messias glauben, als Gottes einziges Mittel zur Errettung der verlorenen Sünder. Er ist das „Lamm Gottes, das die Sünde der Welt hinwegnimmt“. Er ist es, der anstelle des Sünders am Kreuz von Golgatha starb und der von den Toten auferweckt wurde. Er trug die Strafe für all unsere Sünden und Er versieht uns mit der Gerechtigkeit, die wir selbst nicht haben und die Gott von jedem fordert, der in Sein Himmelreich eintreten will. Wir müssen an Ihn glauben, um Seine Kinder zu werden und in Sein Reich einzugehen. Wir haben nicht nur das Privileg, an Ihn zu glauben, sondern auch das Privileg, Ihm als Seine Jünger zu folgen und jeden Tag in Seiner Gesellschaft zu gehen. Ich bete darum, dass du deinen Glauben in Ihn gesetzt hast und nun Sein Jünger bist und in Seiner Gesellschaft wandelst.


66 Die „synoptischen Evangelien“ betrachten das Leben Christi alle mehr oder weniger aus derselben Perspektive. Johannes dagegen hat einen ganz anderen Ansatz. Dies wurde im Detail in der Einleitung zu dieser Reihe dargelegt.

67 Matthäus 4:18-21; Markus 1:16-20; Lukas 5:1-10.

68 Auch als das „Galiläische Meer“ (Markus 1:16) oder der „See von Tiberias“ (Johannes 5:1) bezeichnet.

69 Matthäus 10:1-4; Markus 3:13-19; Lukas 6:12-16.

70 Bei Johannes geschieht es allein Philippus gegenüber, dass unser Herr die Worte spricht „Folge Mir nach“ (Johannes 1:43). Die anderen werden sicherlich dazu ermutigt, Jesus zu folgen, aber sie werden nicht in der technischen Bedeutung des Wortes „gerufen“.

71 Ich sehe keinen Widerspruch zwischen unserem Text in Johannes 1:39 und dem in Lukas 9:57-58. In der ersten Zeit Seines Dienstes hatte Jesus eine Wohnung (siehe Johannes 2:12); als aber Sein Dienst sich ausweitete und an mehreren verschiedenen Orten stattfand, hatte Er keinen ständigen Wohnsitz mehr. Das erschwerte es übrigens auch den Gegnern unseres Herrn, Ihn „bevor Seine Zeit gekommen war“ gefangen zu nehmen oder zu töten, denn sie wussten nie, wo sie Ihn am nächsten Tag finden würden. Als er dem „Möchtegern“-Jünger in Lukas 9 sagte, dass Er keinen Ort habe, den er Sein Zuhause nennen könne, entsprach das nicht nur der Wahrheit, sondern es war auch alles, was es brauchte, um den Burschen abzuschrecken.

72 Da der Begriff, der hier mit „zuerst“ übersetzt wird, in den griechischen Manuskripten nicht einheitlich steht, gibt es Diskussionen darüber, welches Wort eigentlich benutzt wurde und wie es übersetzt werden sollte. Falls Sie es lohnend finden, diesen Punkt weiter zu verfolgen, möchte ich Sie an die exegetischen Kommentare verweisen. Aber ehrlich gesagt ändert es nicht viel an Sinn und Bedeutung des Textes.

73 1:20,25,41, 3:28, 4:29,42, 6:69, 7:26,27,31,41(2x),42, 10:24, 11:27, 12:34, 20:31.

74 „Die Verleihung eines neuen Namens durch einen Menschen ist Ausdruck der Autorität des Verleihenden (z.B. II. Könige 23:34, 24:17). Wo sie durch Gott geschieht, kündigt sie einen neuen Charakter an, in dem der entsprechende Mensch fortan erscheinen wird (z.B. Gen. 32:28).“ Leon Morris, The Gospel According to John [Das Evangelium nach Johannes], (Grand Rapids: Wm. B. Eerdmans Publishing Co., 1971), S.160.

75 Das trifft auch für andere Umbenennungen in der Bibel zu. Gott änderte den Namen einer Person nicht, nachdem Veränderungen stattgefunden hatten, sondern bevor diese eintraten. Abram (was „erhabener Vater“ bedeutet) wurde vor der Geburt von Isaak in „Abraham“ („Vater einer großen Menge“) umbenannt (Genesis 17:5).

76 Wörtlich: „er“. „Jesus“ wird hier in der NET-Bibel aus Gründen der Klarheit ergänzt (siehe die Anmerkung zur Übersetzung). Es herrscht Uneinigkeit darüber, ob dieses „er“ sich tatsächlich auf Jesus bezieht. D.A. Carson (The Gospel According to John [Das Evangelium nach Johannes], S. 157-158) vertritt die Meinung, dass das „er“ („Jesus“ in der NET-Bibel) sich nicht auf Jesus, sondern auf Andreas bezieht. Wenn man diese Ansicht akzeptiert, ist es Andreas, der nun Nathanael aufsucht.

77 Die Anmerkung des Übersetzers in der NET-Bibel weist darauf hin, dass der Text wörtlich lautet: „und Jesus sprach zu ihm: ‚Folge mir nach.’

78 Wissenschaftler streiten darüber, ob es zwei Bethsaidas gab oder nicht. Ich glaube nicht, dass das Thema es wert ist, in dieser Lektion vertieft zu werden, wenngleich dieser Punkt in den Kommentaren recht ausführlich diskutiert wird. Die Anmerkung des Übersetzers in der NET-Bibel schlägt vor, dass die griechische Präposition, die an dieser Stelle mit „aus“ übersetzt wird, im Sinne von „herstammend aus“ verstanden werden sollte.

79 Mir gefällt Carsons Kommentar hierzu: „Philippus macht hier genau die Angaben, die im Palästina des ersten Jahrhunderts einen Mann eindeutig identifizierten: der Name seines Heimatortes und der Name seines (als solcher angesehenen) Vaters.“ Carson, S. 159. Manche haben Probleme damit, dass Philippus von Joseph als dem Vater Jesu spricht. Diesbezüglich gibt es hauptsächlich zwei Möglichkeiten: Erstens könnte Philippus tatsächlich angenommen haben, dass Joseph im biologischen Sinne der Vater unseres Herrn war. In diesem Falle würde er sich zwar irren, aber nicht deswegen, weil er die Jungfrauengeburt unseres Herrn bestritt, sondern weil er sie noch gar nicht in Betracht gezogen hatte. Wie alle seine Mitapostel hatte er am Anfang viele falsche Vorstellungen über Jesus. Zweitens könnte es sein, dass er Jesus einfach so definiert, wie man es eben normalerweise tut. Dann würde er Joseph im Hinblick darauf als den Vater Jesu bezeichnen, wie er allgemein wahrgenommen wurde. So würde er Jesus von anderen unterscheiden, die denselben Namen, aber nicht denselben (als solchen angesehenen) Vater haben.

80 Dies ist vermutlich nicht der richtige Ort und Zeitpunkt, um sich näher über Engel auszulassen. Ich möchte Ihnen aber einfach einmal einen Gedanken für die weitere Betrachtung nahelegen: Wir leben in einer Zeit, in der das Thema „Engel“ sehr populär ist. Dabei sollten wir aber daran denken, dass Engel nicht nur niedriger stehen als unser Herr Jesus Christus (Hebräer 1), sondern dass auch ihr Dienst eng mit dem unseres Herrn verbunden und ihm untergeordnet ist. Engel fahren auf und nieder zu Jesus: Wenn wir anfangen, die Engel unabhängig von unserem Herrn zu sehen, entfernen wir uns von dem Bild, das unser Herr hier zeichnet, und von dem, was die Bibel an anderen Stellen lehrt.

81 Carson (S. 154) weist darauf hin, dass „nachfolgen“ üblicherweise mehr bedeutet als nur jemandem „hinterherzulaufen“. Unser Herr bezeichnet damit die Jüngerschaft. Das trifft nicht immer zu, aber gewöhnlich schon. An dieser Stelle ist möglicherweise etwas von Beidem gemeint. Jesus lädt Philippus ein „mitzukommen“ und „sich Ihm als Sein Jünger anzuschließen“.

82 Leon Morris, The Gospel According to John [Das Evangelium nach Johannes], S. 162.

83 „Andere … schlagen vor, dass Nathanael mit Bartholomäus identisch ist, einem Apostel, der bei Johannes nie erwähnt wird – wie auch Nathanael nirgendwo bei den Synoptikern erwähnt wird. Bartholomäus hat in allen drei synoptischen Evangelien eine Verbindung zu Philippus (Mat 10:3, Mar 3:18, Luk 6:14). Eine andere Entsprechung besteht darin, dass er in Apostelgeschichte 1:13 unmittelbar nach Thomas aufgeführt wird und sich Nathanael in Johannes 21:2 in derselben Position findet. Zudem ist ‚Bartholomäus’ eigentlich kein Eigenname, sondern ein Patronym mit der Bedeutung ‚Sohn des Tolmai’ (vgl. Barjona = ‚Sohn des Jona’). Der Mann, der diesen Namen trug, hatte mit großer Sicherheit noch einen anderen Namen. Alle anderen Jünger, die in diesem Kapitel erwähnt werden, wurden zu Aposteln, und das legt die Vermutung nahe, dass entsprechend auch Nathanael wahrscheinlich einer geworden ist. Wenn er aber identisch mit einem der Apostel ist, dann ist wahrscheinlich Bartholomäus unser Mann.“ Morris, S. 164.
Ich sollte wohl noch darauf hinweisen, dass Morris diese Auffassung nicht vorbehaltlos teilt. Carson scheint da überzeugter zu sein: „Die wahrscheinlichste Interpretation ist die, dass Nathanael der Eigenname von Bartholomäus ist, was dann als aramäisches Patronym aufgefasst werden muss (d.h. als ein Name, der die Person als den Sohn von jemandem identifiziert: ‚der Sohn des Tholomäus’ oder so ähnlich).“ Carson, S. 159.

84 Morris, S. 167.

85 Morris, S. 169.

86 Diese Tatsache wird in Johannes 4 mit Nachdruck gelehrt.

87 Durch seinen Tod leistete Jakobus natürlich einen großartigen Beitrag.

88 Die Pharisäer verfielen eben diesem Irrtum in Bezug auf den Reichtum. Sie dachten wohl, dass jemand umso geistlicher sein musste, je reicher er war. Umgekehrt war ein Armer für sie ungeistlich. Diese Auffassung griff Jesus mit Seinen Worten über den Reichen und Lazarus in Lukas 16 an. Siehe auch die Seligpreisungen, in denen die gesegnet werden, die „verflucht“ erscheinen. Auch Psalm 73 befasst sich mit diesem Thema.

Related Topics: Miracles

5. Das erste Wunderzeichen: Jesus verwandelt Wasser in Wein (Johannes 2:1-11)

Einleitung

Meine Frau und ich wissen, wie es ist, wenn man mit wenig Geld heiratet. Als wir uns verlobten, legten Jeannette und ich zusammen, um ihren Verlobungsring kaufen zu können. Als wir heirateten, mussten wir einen der Schecks, die wir als Hochzeitsgeschenk erhielten, gleich einlösen, um unser Zimmer für die Nacht zu bezahlen. Die zweite Nacht unserer Flitterwochen verbrachten wir auf dem Wohnzimmersofa im Haus der Eltern meines früheren Zimmergenossen in Eastern Washington. Falls Sie das schon schrecklich finden: unsere dritte Nacht verbrachten wir auf einem öffentlichen Parkgelände: Jeannette schlief auf auf dem einen Sitz im Auto und ich auf dem anderen. Die folgende Nacht war dann etwas besser: wir übernachteten bei Karl und Martha Lind, unseren Freunden in Portland/Oregon.

Dort übernachteten wir – einige von Ihnen erinnern sich vielleicht an die Geschichte – im Zimmer ihres Sohnes David, der schon von zuhause ausgezogen war. Sein älterer Bruder John wohnte noch zuhause. Am Morgen wurden wir vom Klang einer dröhnenden Stimme geweckt, die aus der Sprechanlage verkündete: „Das Frühstück wird in zehn Minuten im Esszimmer serviert!“ Die Stimme klang sehr würdig und formell, aber ich hörte, dass es John war. Bevor er auch nur den Finger vom Knopf der Sprechanlage genommen hatte, hörten wir dann ein gewaltiges Krachen und Scheppern von Glas. Es klang, als wäre buchstäblich das gesamte Geschirr aus dem Schrank auf den Boden gefallen und zerbrochen. Und gleich nach diesem donnernden Krach bellte eine Stimme – von der ich wusste, dass sie zu Karl gehörte –: „John!“

Mit wenig Geld zu heiraten, ist gar nicht so leicht. Jeannette und ich hatten es nicht leicht, als wir heirateten, einige von Ihnen hatten es vielleicht auch nicht leicht, und genauso scheint es das namenlose Paar nicht leicht gehabt zu haben, an dessen Hochzeitsfeier Jesus, Seine Mutter und die Jünger in Kana in Galiläa teilnahmen. Die Geschichte von dieser Hochzeit in Kana in Galiläa findet sich nur im Johannes-Evangelium. Es ist dies der erste Anlass, bei dem unser Herr eine Demonstration Seiner Macht gibt. Dabei handelt es sich nicht um ein bloßes Wunder, nein, es ist ein Zeichen, ein Wunder, das eine Botschaft beinhaltet. Hören wir sorgfältig auf die Worte dieses Textes, um zu erfahren, was der Geist Gottes uns mit diesem Hochzeitswunder lehren will.

Die Situation
(2:1-5)

1 Am dritten Tage nun fand eine Hochzeit in Kana in Galiläa89 statt. Die Mutter Jesu90 war dort, 2 und Jesus und seine Jünger waren ebenfalls zu der Hochzeitsfeier eingeladen. 3 Als der Wein zur Neige ging, sagte Jesu Mutter zu ihm: „Sie haben keinen Wein mehr.“ 4 Jesus erwiderte: „Frau, warum sagst du mir das? Meine Zeit ist noch nicht gekommen.“ 5 Seine Mutter wies die Diener an: „Was immer er zu euch sagt, das tut.“

In der Welt des Alten und des Neuen Testaments war eine Hochzeit – geradeso wie heutzutage – ein froher und festlicher Anlass. Die Hochzeitsfeierlichkeiten dauerten erheblich länger als heute, und während dieser Zeit wurde getafelt und gefeiert. Zwei Stellen aus der Bibel geben einen Hinweis darauf, wie diese Feier im zweiten Kapitel des Johannes-Evangeliums abgelaufen sein mag. Die erste davon ist die Hochzeit von Jakob und Lea in Genesis 29. Jakob dachte eigentlich, dass er mit der jüngeren Schwester Rahel verheiratet würde, um die er sieben Jahre lang gedient hatte. Aber Laban täuscht und übervorteilt Jakob, indem er ihm die Bräute vertauscht. Die langen Feierlichkeiten, eine ganze Menge Wein und ein sehr dunkles Zelt erklären vielleicht, wie es geschehen konnte, dass Jakob mit Lea statt mit Rahel die Nacht verbrachte und die Ehe vollzog.

Die zweite und noch aufschlussreichere Hochzeitsfeier ist die von Samson in Richter 14. Diese Ehe wird niemals wirklich vollzogen werden, und am Ende wird die Braut aus dem Stamm der Philister Samsons Freund (und vielleicht sogar Trauzeugen; 14:20) gegeben. Samson findet diese Frau in Timna und fordert von seinen Eltern, dass sie die Hochzeit mit ihr arrangieren. Auf dem Weg dorthin wird Samson von einem jungen Löwen angegriffen und er zerreißt ihn mit seinen bloßen Händen. Samson erzählt niemandem etwas davon. Später kommt er auf dem Weg nach Timna zu seiner Hochzeit wieder an dem Kadaver des Löwen vorbei, in dem inzwischen ein Bienenschwarm seine Honigwaben gebaut hat. Samson schöpft etwas von dem Honig heraus, isst davon und gibt auch seinen Eltern etwas ab, ohne ihnen zu erzählen, wo der Honig herkommt. Während der einwöchigen Hochzeitsfeierlichkeiten gibt Samson den jungen Philistern, die bei dem Fest zu Gast sind, ein Rätsel auf. Er verspricht ihnen 30 Leinenkleider und 30 Obergewänder, wenn sie dieses Rätsel innerhalb der sieben Tage des Festes lösen können. Die Philister kriegen die Lösung des Rätsels nicht heraus und zwingen daher Samsons zukünftige Frau, die Antwort aus ihm herauszulocken. Als Samson erfährt, wie die jungen Männer des Rätsel Lösung zustande gebracht haben, geht er hinab in die Philisterstadt Askalon, tötet dort 30 Philister, nimmt ihre Kleidung und gibt sie den jungen Männern aus Timna. Infolge von Samsons Rache wird seine Ehe niemals vollzogen und die Frau wird einem anderen Mann gegeben. Durch diese Geschichten können wir Einblicke in die Dinge gewinnen, die sich vielleicht während der einwöchigen Hochzeitsfeier in unserem Text zugetragen haben.

Von Leon Morris erhalten wir zusätzliche Hintergrundinformationen aus den jüdischen Schriften:

Gemäß der Mischna sollte die Hochzeit an einem Mittwoch stattfinden, wenn die Braut eine Jungfrau war, und an einem Donnerstag, wenn sie eine Witwe war (Ket. 1:1). Der Bräutigam legte den Weg zum Haus der Braut in einer Prozession mit seinen Freunde zurück. Dies geschah oft bei Nacht, so dass man eine spektakuläre Fackelprozession abhalten konnte. Zweifellos gab es Ansprachen und gute Absichten wurden erklärt, bevor die Braut und der Bräutigam in einer Prozession zum Haus des Bräutigams gingen, wo das Hochzeitsbankett abgehalten wurde. Wahrscheinlich gab es auch eine religiöse Zeremonie, aber darüber wissen wir keine Details. Hauptsächlich sind es die Prozessionen und das Festmahl, worüber wir Informationen haben. Das Fest dauerte lange, bis zu einer Woche.91

Maria, die Mutter Jesu, ist bei der Hochzeit anwesend, und ihre Rolle scheint über die eines Gastes hinauszugehen. Man hat den Eindruck, dass es sich bei dem Hochzeitspaar um Freunde oder möglicherweise auch Verwandte von Maria handelt und dass sie bei der Organisation, besonders beim Anrichten von Essen und Wein, mithilft. Sie scheint eine der ersten zu sein, die bemerken, dass der Wein zur Neige geht. Sie weist die Diener an, alles zu tun, was Jesus ihnen sagt; und die Diener scheinen auch gewillt zu sein, ihre Anweisung zu akzeptieren.

Jesus und Seine Jünger sind als geladene Gäste ebenfalls bei der Hochzeit. Es scheint zu diesem Zeitpunkt erst fünf Jünger zu geben: Andreas, Simon Petrus, Philippus, Nathanael und Johannes (wenn der tatsächlich der andere Jünger des Johannes ist, der Jesus nachfolgt). Die Tatsache, dass Maria, Jesus und die Jünger alle zu dieser Hochzeitsfeier eingeladen sind, spricht dafür, dass es sich um die Hochzeit von jemandem handelt, der ihnen allen bekannt ist, vielleicht um einen Freund oder Verwandten. Als die Feierlichkeiten schon eine ganze Weile andauern, wird Jesu Mutter einer ganz peinlichen Lage gewahr, für die es keine Lösung zu geben scheint – der Wein ist zu Ende. Entweder ist kein anderer Wein mehr verfügbar oder es ist kein Geld da, um noch mehr Wein zu kaufen. Die Gäste scheinen noch nicht bemerkt zu haben, was los ist. Aber wenn nichts geschieht, werden alle beschämt werden. Manche Kommentatoren sagen sogar, dass es in solchen Fällen zu einem Rechtsstreit kommen konnte92. (Können Sie sich vorstellen, vor Gericht gestellt zu werden, weil Sie nicht genug Speisen und Getränke bei einer Hochzeitsfeier angeboten haben?)

Jesu Mutter scheint einzugreifen und die Verantwortung zu übernehmen, wenn sie zu Jesus sagt „Sie haben keinen Wein mehr“. Das ist keine bloße Feststellung – unser Herr weiß das, und Johannes erwartet auch von uns, dass wir es wissen. Nicht jeder fasst das so auf93, aber ich glaube doch, dass Maria Jesus in der Hoffnung informiert, dass Er etwas an der Situation ändern könnte. Von allen Anwesenden kennt die Mutter unseres Herrn Jesus am besten. Sie weiß besser als jeder andere um die wunderbaren Ereignisse im Zusammenhang mit Seiner Geburt. Sie weiß auch von der wunderbaren Geburt Johannes’ des Täufers und von dessen Dienst, bei dem er Jesus als den verheißenen Messias offenbart hat. Anscheinend hat Jesus bisher noch keine Wunder vollbracht, und wir wissen nicht mit Sicherheit, ob sie jetzt eines erwartet. Aber nach allem, was sie weiß, ist es sicher möglich, dass sie von Jesus eine über das Normale hinausgehende Handlung erwartet.

Maria mag diese Notlage als eine schicksalshafte Fügung empfunden haben. Vielleicht denkt sie, dass es an der Zeit für Jesus wäre, Sich der Welt als der Messias zu präsentieren94. Johannes der Täufer hat Ihn bereits als den Messias bezeichnet, und Er hat schon eine Gefolgschaft von Jüngern. Ein gut platziertes Wunder könnte das Mittel sein, um dem Volk Seine Identität zu offenbaren. Gleichzeitig wären die Jungvermählten höchst dankbar, wenn Er eine Lösung für ihr Problem bieten würde! Maria achtet sehr darauf, Jesus nicht vorzuschreiben, was Er tun soll, aber sie hofft doch offensichtlich darauf, dass Er etwas tun wird.

Jesus weiß, dass Seine Mutter irgendeine Reaktion von Ihm erwartet, und Er gibt ihr eine Antwort, die wohl kaum dem entspricht, was sie von Ihm erwartet hätte. Es ist keine unfreundliche Antwort – sie dient schlicht dazu, die Situation richtig zu stellen und Sein Verhältnis zu Maria, Seiner irdischen Mutter, neu zu definieren. Jesus nennt sie nicht „Maria“ oder „Mutter“, sondern „Frau“. Den gleichen Begriff wird Jesus gebrauchen, wenn Er zu ihr vom Kreuz herab spricht (Johannes 19:26). Hier, bei der Hochzeitsfeier, fragt Jesus Maria: „Warum sagst du Mir das?“95

Jesus gebraucht keinen neuartigen oder einmaligen Ausdruck, wenn Er Seine Mutter als „Frau“ anspricht. Dieser Ausdruck findet sich mehrere Male im Alten (Richter 11:12, 18:24; 2. Samuel 16:10, 19:23; 2. Könige 3:13; 2. Chronik 35:21) und einige Male im Neuen Testament (siehe auch Markus 5:7; Lukas 8:28). Der Ausdruck schafft gewissermaßen eine Distanz zwischen zwei Parteien. Beispielsweise wird Jephtha zum Führer Israels berufen, als die Ammoniten in die Schlacht gegen Israel ziehen wollen, und sendet eine Botschaft an den König von Ammon: „Was hast du gegen mich [wörtlich: ‚Was mit dir und mir ...’], dass du gekommen bist, um in meinem Land gegen mich zu kämpfen?“ (Richter 11:12b, NKJV).

Jephthas Frage „Was mit dir und mir?“ ist von der Bedeutung her identisch (im hebräischen Text und in Form und Bedeutung der griechischen Übersetzung der Septuaginta) mit der Redewendung, die unser Herr hier in unserem Text im Johannes-Evangelium benutzt. Jephtha fragt den König der Ammoniter, was es zwischen ihnen für ein Problem gibt. Was für ein Problem lässt uns gegeneinander antreten? Jephtha distanziert sich in jeder Hinsicht vom König der Ammoniter, die Anlass zu einem Krieg bieten könnte. Er erreicht das, indem er den König darauf hinweist, dass es zwischen ihnen gar nicht genügend Gründe gibt, um derentwegen man kämpfen müsste.

Im Neuen Testament, im Markus-Evangelium spricht der von den Dämonen Besessene zu Jesus über die Dämonen, die von ihm Besitz ergriffen haben: „Was gibt es zwischen dir und mir, Jesus, Sohn des Höchsten Gottes? Schwöre bei Gott, mich nicht zu quälen!“ (Markus 5:7). Das ist derselbe griechische Ausdruck wie oben, durch den sich der Dämon von Jesus zu distanzieren versucht. Er fleht Jesus an, ihm keine Schwierigkeiten zu bereiten und seine dämonische Existenz nicht noch erbärmlicher zu machen. Was haben sie denn zu diesem Zeitpunkt schon für Zwistigkeiten miteinander?

Denselben Ausdruck gebraucht nun auch Jesus, um Maria zu fragen, wie sie denn darauf komme, dass dieses Problem, das sie da erkannt hat, nicht nur ihr, sondern auch Sein Problem sei. Als Seine Mutter könnte sie ja auf die Idee kommen, sie habe eine gewisse elterliche Autorität über Ihn. Über Ihn als ihren souveränen Gott hat sie aber keinerlei Autorität! Das ist es, was Jesus mit Seinen Worten ausdrücken will. Es ist fast so, als habe Maria gesagt „Jesus, sie haben keinen Wein mehr. Wir müssen dringend etwas unternehmen“ und Jesus habe darauf geantwortet „Gnädige Frau, was meinen Sie mit ‚wir’?“

Diese Antwort erinnert mich an den abgedroschenen Witz über Lone Ranger und seinen getreuen indianischen Gefährten Tonto. Lone Ranger und Tonto sind von einen Indianerstamm mit großer Übermacht umzingelt. Lone Ranger wendet sich an seinen Gefährten und sagt: „Tonto, ich glaube, wir haben ein Problem.“ Tonto sieht Lone Ranger an und antwortet: „Was meinst du mit ‚wir’, weißer Mann?“

Lukas sagt in seinem Evangelium ausdrücklich, dass Jesus als Kind im Gehorsam Seinen Eltern gegenüber lebte (2:51). Wir wissen nicht, wann genau Joseph starb, aber anscheinend geschah das, noch bevor unser Herr erwachsen war, denn Joseph wird nach den ersten Jahren unseres Herrn überhaupt nicht mehr erwähnt. Jesus hat Seine Mutter immer geehrt und Sich ihrer Autorität untergeordnet; nun aber ist es an der Zeit, dass unser Herr Seiner Mutter gegenüber zum Ausdruck bringt, dass sich die Dinge ändern werden. Er ist nicht nur ein erwachsener Mann geworden, der Sein eigenes Leben leben wird, sondern Er ist auch der Messias, der eines Tages Sein Reich auf der Erde errichten wird. Er kann mit Maria nicht mehr so wie früher umgehen. Er kann nicht zulassen, dass der Gehorsam gegenüber Seinem Vater von den Anforderungen Seiner irdischen Mutter „überstimmt“ wird.

Die Notlage bei der Hochzeit gibt Jesus die Gelegenheit, einen Präzedenzfall zu schaffen, der Seiner Mutter eindeutig zeigt, dass Er Sich durch sie als Seine Mutter nicht mehr anleiten oder beeinflussen lassen wird. Bei der Hochzeit in Kana beginnt ein neues Verhältnis zwischen Jesus und Seiner Mutter. In diesem Punkt sind Katholiken und Protestanten sehr unterschiedlicher Meinung. Katholische Wissenschaftler sind – im Einklang mit ihrer übertriebenen Einschätzung der Bedeutung Marias – davon überzeugt, dass sie hier ihren Einfluss auf Jesus dazu benutzt, um Ihn dazu zu bringen, etwas zu tun, was Er sonst nicht getan hätte.96 Der Text scheint uns aber gerade das Gegenteil zu sagen. Jesus erinnert sie daran, dass sie nur eine Frau ist und dass Er, als Gott, ihren Wünschen nicht nachkommen kann, wenn es nicht „Seine Zeit“ ist.

Unser Herr weist Seine Mutter weder abrupt noch willkürlich ab. Er sagt nicht „Nein“ und er sagt auch nicht „Ja“. Er erinnert sie lediglich an die Veränderung, die in ihren Rollen und in ihrem Verhältnis stattgefunden hat. Er ist nicht mehr ihr „Kleiner“, der alles tun muss, worum sie ihn bittet. Er ist der Messias, der Seinem wahren Vater gehorsam sein muss. So reagiert er empfindlich im Hinblick auf das Timing Seines „Debüts“. Jesus informiert Seine Mutter, dass es noch nicht „Seine Zeit“ ist97. Er meint hier mit „Seiner Zeit“ den Zeitpunkt Seines öffentlichen Debüts als der verheißene Messias – nicht Seinen Tod am Kreuz von Golgatha98.

Nachdem sie in angemessener Form informiert wurde, ist Maria gewiss weder gekränkt, noch hat Jesus sie mit Seinen Worten ganz und gar abgewiesen. Sie wendet sich einfach an die Diener und weist sie an: „Was immer Er euch sagt, das tut.“ Sie streitet nicht mit Ihm, denn Er hat Seinen Standpunkt klar ausgedrückt. Sie verhandelt nicht mit Ihm. Aus ihren Worten kann man schließen, dass sie ihre Aufforderung in Seine Hände gelegt hat und Er damit tun soll, was Ihm passend erscheint. Vielleicht wird Er den Dienern überhaupt nichts sagen. Aber wenn Er ihnen etwas – irgend etwas – sagt, sollten sie seine Worte befolgen, denn dann wird es zu Seinem Wohlgefallen und zu Seiner guten Zeit getan sein.

Wasser zu Wein
(2:6-11)

6 Nun gab es dort sechs steinerne Wasserkrüge für die zeremonielle Waschung der Juden, und jeder von ihnen fasste zwei bis drei Maß. 7 Jesus sagte zu den Dienern: „Füllt die Wasserkrüge mit Wasser.“ Und sie füllten sie bis an den Rand. 8 Dann forderte er sie auf: „Schöpft nun etwas davon heraus und bringt es zum Festleiter“, und sie taten es. 9 Der Festleiter kostete das Wasser, das in Wein verwandelt worden war, aber er wusste nicht, woher es kam (nur die Diener, die das Wasser geschöpft hatten, wussten es); da rief er den Bräutigam 10 und sagte zu ihm: „Jeder reicht den guten Wein zuerst und dann den billigeren Wein, wenn die Gäste trunken geworden sind. Du hast den guten Wein bis jetzt aufgehoben!“ 11 So tat Jesus das erste seiner Wunderzeichen, in Kana in Galiläa. Auf diese Weise offenbarte er seine Herrlichkeit, und seine Jünger glaubten an ihn.

Das alttestamentarische Gesetz forderte verschiedene Waschungen; für die Pharisäer und andere war das aber noch nicht genug:

1 Es versammelten sich nun bei ihm die Pharisäer und einige der Schriftgelehrten, die von Jerusalem gekommen waren. 2 Und sie sahen, dass einige der Jünger Jesu ihr Brot mit unreinen Händen – das heißt, ohne Waschung der Hände – aßen. 3 (Denn die Pharisäer und alle Juden essen nicht, bevor sie nicht eine rituelle Waschung vorgenommen haben; so halten sie an der Tradition der Alten fest. 4 Und wenn sie vom Markt kommen, essen sie nicht, bevor sie sich nicht gewaschen haben. Sie halten noch an vielen weiteren Traditionen fest, wie an der Waschung von Bechern, Töpfen, Kesseln und Esszimmerliegen.) 5 Die Pharisäer und die Schriftgelehrten fragten ihn: „Warum leben deine Jünger nicht nach der Tradition der Alten, sondern essen ihr Brot mit ungewaschenen Händen?“ (Markus 7:1-5)

Dementsprechend könnte eine Hochzeit zwischen überzeugten Juden vielerlei Reinigungszeremonien erfordert haben. Um diese Waschungen zu ermöglichen, wurde eine erhebliche Menge Wasser bereitgehalten. In der Nähe – es könnte sein, im Blickfeld unseres Herrn (aber vielleicht außer Sicht für die tafelnden Gäste) – sind sechs große steinerne Wasserkrüge. Jeder Krug hat ein Fassungsvermögen von 75 bis 100 Litern, insgesamt also rund 500 Liter.

Jesus weist die Diener an, jeden dieser sechs Wasserkrüge bis zum Rand zu füllen. Man kann wohl sagen, dass ein steinerner Wasserkrug schon ohne Inhalt schwer ist, und noch schwerer dann, wenn er voll ist (das Wasser in einem vollen Krug wiegt allein schon 75 bis 100 Kilogramm). Anscheinend wollte Jesus nicht, dass die Diener diese Krüge forttragen, ausleeren, wieder auffüllen und dann zurückbringen. Dafür sind sie viel zu schwer, insbesondere wenn sie mit Wasser gefüllt sind. Ich denke, dass zumindest einige der Krüge zu diesem Zeitpunkt teilweise voll waren – schließlich ging der Wein zur Neige und nicht das Wasser für die Reinigungszeremonien. Die Diener müssen Wasser in kleineren Gefäßen geholt und auf diese Weise nach und nach die großen Steinbehälter aufgefüllt haben.

Ich bezweifle, dass bis zu diesem Zeitpunkt irgendjemand – weder die Diener noch Maria noch die neuerworbenen Jünger unseres Herrn – eine Ahnung hat, was Jesus zu tun vorhat. Als die sechs Steinkrüge gefüllt sind, weist Jesus die Diener an, etwas „Wasser“ aus einem der Krüge zu schöpfen und es dem Festleiter vorzusetzen. An dieser Stelle werden die Diener durch Marias Worte auf eine harte Probe gestellt.

Ich weiß nicht, ob wir wirklich ermessen können, wie schwierig dieser Auftrag für die Diener eigentlich auszuführen war. Die Wasserkrüge aufzufüllen war eine Sache und gehörte wahrscheinlich in ihren üblichen Verantwortungsbereich. Aber wer würde je auf die Idee kommen, dieses „Wasser“ zu trinken? Stellen Sie sich vor, Sie arbeiten für einen Caterer, der bei einem Bankett eine große Gesellschaft bedienen muss. In der Küche fällt eine der großen Kasserollen (Kochtöpfe) herunter und die Hälfte der Soße fließt auf den Boden. Einem der Angestellten gelingt es, den größten Teil der Soße vom Boden aufzunehmen, und er füllt damit die Saucieren. Würden Sie zulassen, dass ein Kellner diese „Soße“ über Ihre Kartoffeln gießt, wenn Sie wüssten, woher sie kommt? Wohl kaum.

Die Camper unter Ihnen waren vielleicht schon einmal auf einem abgelegenen Campingplatz, wo es Wasser aus einem Brunnen gibt, das aber nicht unbedingt sauber genug zum Trinken ist. Man sucht dann nach Hinweisen, um eindeutig trinkbares Wasser herauszufinden. Sie würden nicht auf die Idee kommen, Wasser zu trinken, das nicht vollkommen sauber ist. Damit kann sich die Hände waschen, aber Sie würden es bestimmt nicht trinken. Das „Wasser“ zur zeremoniellen Reinigung wurde wahrscheinlich nicht als trinkbar angesehen. Bei diesen Gelegenheiten hatte man Wein zu trinken. Ich bezweifle, dass ein überzeugter Jude auf die Idee gekommen wäre, Wasser aus einem dieser sechs Steinkrüge zu trinken.

Wenn man das bedenkt, kann man sich besser vorstellen, wie sich die Diener gefühlt haben müssen, als sie die steinernen Wassergefäße fertig gefüllt hatten und für weitere Anweisungen zu Jesus zurückkamen. Keiner von ihnen wäre je auf die Idee gekommen, dass Jesus daraufhin sagen würde: „Schöpft nun etwas davon heraus und bringt es zum Festleiter.“ Sie müssen ihren Ohren nicht geglaubt und gedacht haben: „Ich weiß ja, dass Maria gesagt hat, wir sollten alles tun, was Jesus sagt – aber das kann Er doch nicht ernst meinen! Wir sollen dieses „Wasser“ dem Festleiter vorsetzen? Wenn der merkt, dass es nur Wasser ist und kein Wein, wird er uns feuern. Und wenn er herauskriegt, woher das Wasser kommt, kriegen wir erst recht Probleme.“

Niemand konnte sich im Entferntesten vorstellen, was geschehen würde. Jesus schwenkt nicht die Arme über den Wasserkrügen und befiehlt dem Wasser, zu Wein zu werden. Anscheinend hat Er das Wasser oder die Krüge nicht einmal berührt. Jesus erzählt ihnen noch nicht einmal, dass das Wasser zu Wein geworden ist oder dass es zu Wein werden wird. Nach allem, was die Diener wissen, trägt Jesus ihnen nicht weniger auf, als dass sie dem Festleiter Wasser, zeremonielles Waschwasser vorsetzen sollen! Das ist entsetzlich! Ihnen noch mehr zu sagen, hätte die Grenzen ihres Fassungsvermögens überschritten.

So weit wir wissen, gehorchen die Diener unserem Herrn sofort. Wir lesen nichts von einem Zögern, kein Wort des Widerspruchs. Die Diener schöpfen aus den Krügen und beginnen den Wein zu servieren, zuerst dem Festleiter. Ich frage mich, zu welchem Zeitpunkt das Wasser wohl zu Wein wurde und die Farbe wechselte. (Oder was wäre, wenn es Weißwein wurde und die Farbe sich überhaupt nicht änderte? Dann hätte es keinerlei sichtbaren Hinweis darauf gegeben, dass das Wasser in Wein verwandelt worden war.) Der Festleiter hat keine Ahnung, woher sein Getränk kommt, aber die Diener wissen es. Die Spannung dieser Momente, zwischen dem Trinken des Festleiters und dem Zeitpunkt seiner Reaktion, muss für die Diener eine reine Qual gewesen sein. Der Festleiter schnuppert an dem Becher, dann nimmt er einen Schluck. Dann ruft er nach dem Bräutigam – was will er ihm sagen? Was den Dienern in diesem Moment an Möglichkeiten im Kopf herumgeht, wäre schon eine Geschichte für sich.

Mit einem Lächeln – vielleicht klopft er dabei dem Bräutigam auf den Rücken – erklärt der Festleiter, dass dieser Wein fabelhaft ist – der beste überhaupt bisher. Das Timing ist etwas unorthodox, sagt er zum Bräutigam, aber der Wein ist ausgezeichnet. Der übliche Trick ist, so bemerkt er, den schlechteren Wein bis zuletzt aufzuheben. Wenn alle schon ihr Quantum Wein – oder mehr – innehaben (wörtlich: „wenn sie betrunken sind“)99, ist ihr Geschmackssinn nicht mehr so fein und sie merken den schlechteren Wein vielleicht gar nicht. Dieser Wein aber ist der beste bisher! Der Bräutigam hat sich selbst übertroffen und das Allerbeste bis zum Schluss aufgehoben. Was nach einer sicheren Schande aussah, ist plötzlich zu einem Triumph für den Bräutigam und den Festleiter geworden.

Schlussfolgerung

Das Wunder von Kana in Galiläa kann uns heutigen Menschen vieles sagen. Erlauben Sie mir, einige Anmerkungen zu machen und Folgen und Anwendungsmöglichkeiten daraus für uns heutige Menschen vorzuschlagen.

Zuallererst: Dies ist das erste der Wunder unseres Herrn. Johannes nennt es in Vers 11 den „Anfang der Zeichen“. Liberale Wissenschaftler wollen die Worte der Schrift nicht gern für bare Münze nehmen. Sie glauben nicht, dass es sich überhaupt um ein Wunder handelte, und erklären die Geschichte so: Eine Hochzeit fand statt, und der Wein ging zur Neige. Jesus sagte den Dienern, dass sie Wasser auftragen sollten, als der Wein ausging. Es war so, wie wenn ein Kind Kaffeekränzchen spielt. In dem Versuch, die peinliche Situation herunterzuspielen, kostet der Festleiter von dem Wasser, das ihm anstelle von Wein vorgesetzt wird, und sagt (humorvoll): „Guter Wein!“ Dann erfasst ein anderer bei der Feier den Geist des Augenblicks und fügt hinzu: „Ja, das ist ja der beste Wein überhaupt bisher!“ Ich nehme Johannes’ Bericht lieber wörtlich. Es war ein Wunder. Jesus verwandelte Wasser – Waschwasser für religiöse Zeremonien – in den besten Wein, den Menschen je getrunken haben.

Zweitens: Jesus scheint bei diesem Wunder Seine übernatürlichen Kräfte widerwillig und nur aufgrund der Beharrlichkeit Seiner Mutter einzusetzen – das trifft aber nicht zu. Ich glaube, man darf zurecht bemerken, dass unser Herr in den Evangelien oft Selbst weniger erpicht darauf ist, Wunder zu tun, als es die anderen sind, die Ihn Wunder vollbringen sehen wollen. Er kennt die Grenzen solcher Machtäußerungen, wie wir am Ende des Kapitels sehen werden. Jesu Zögern bedeutet nicht, dass er dem Brautpaar in seiner Notlage nicht helfen wollte. Vielmehr legt Er Wert darauf, dass Seine Mutter versteht, dass sich ihr Verhältnis endgültig verändert hat und dass Seine Berufung nicht darin besteht, auf ihr Geheiß hin zu handeln, so als hätte sie einen direkten Draht zu Gott. Außerdem ist es Ihm wichtig, den Plan Seines Vaters zu der von Gott festgesetzten Zeit zu erfüllen, und nicht nach dem Zeitplan Seiner Mutter. Er weiß, dass es für Ihn noch nicht an der Zeit ist, Seine Macht öffentlich zu demonstrieren und Sich so öffentlich als der verheißene Messias darzustellen. Wer heutzutage übermäßig erpicht darauf ist, Gott Wunder vollbringen zu sehen (manche bestehen ja regelrecht darauf), sollte über diese Tatsache gründlich nachdenken: Jesus ist Selbst weniger erpicht darauf, Wunder zu tun, als es die anderen sind, die Ihn Wunder vollbringen sehen wollen.

Drittens: Dieses Wunder war keine „Notwendigkeit“, sondern eher „Luxus“. Halten Sie einen Moment inne und denken Sie darüber nach. Dieses Wunder ist nicht wie manches andere, das Jesus vollbrachte, wenn jemand jahrelang gelitten hatte oder das Leben eines Kindes in der Waagschale lag. Es handelt sich nicht um einen Notfall, der sofortiges und dramatisches Eingreifen vonseiten unseres Herrn erfordern würde.

Als ich vor Jahren mit meiner Familie auf Besuch bei guten Freunden in Kanada war, kam ein Telefonanruf für uns, als wir gerade nicht da waren. Man sagte uns, dass jemand mit einem starken Akzent angerufen hätte. Ich sehe keine Möglichkeit, Laute (insbesondere einen Akzent) in gedruckten Worten wiederzugeben; also schalten Sie ihre Vorstellungskraft, wenn Sie können, auf „Schwedisch“ um – dann können Sie das Gespräch vielleicht so „hören“, wie es sich für mich damals anhörte. Als ich zuhause anrief, wo in unserer Abwesenheit ein schwedisches Ehepaar wohnte, kam von Schel zurück: „Bob, es hat eine Tragödie gegeben ... Carmen ist tot.“ Carmen war unser kleiner Pudel, den wir sehr mochten. Sie war nach draußen gelaufen und von einem vorbeifahrenden Auto überrollt worden. Wir waren sehr traurig, aber eine Tragödie war das nicht. Wir fühlten uns keineswegs verpflichtet, unsere Reise abzubrechen und überstürzt für eine „Beerdigung“ nach Hause zu fahren. In ähnlicher Weise war es wohl ein Problem, dass der Wein zur Neige ging, aber es war keine Tragödie. Das erste Wunder Jesu diente der Lösung eines nicht-kritischen Problems – allerdings bin ich mir sicher, dass sich das Problem in den Augen des neuvermählten Paares, und vielleicht auch in Marias Augen, schon etwas kritischer darstellte, als ich die Situation von hier aus einschätze. Ein Notfall war es jedoch nicht.

Aus diesem Wunder kann man etwas lernen: Gott nimmt unsere „nicht-kritischen“ Probleme ernst. Ein Gebet ist kein Anruf auf 110. Manche Menschen haben vielleicht die Vorstellung, dass Gott so etwas wäre wie der Präsident der Vereinigten Staaten – eine Person, deren Zeit viele (zu viele) Menschen mit ihren Forderungen beanspruchen, so dass Er unmöglich auf jeden einzelnen eingehen kann. Sie stellen sich Gott dann vielleicht so vor, als säße Er an einem großen himmlischen Tisch, mit einer ganzen Reihe von Telefonen vor Sich, die alle wegen „Anforderungsgebeten“ läuten; und Er ist damit beschäftigt, die Anrufe anzunehmen. Wer sind wir, dass wir Gott mit unseren Problemen „belästigen“? Wenn das unsere Vorstellung von Gott ist, dann ist sie falsch. Gott ist allmächtig und allwissend. Er ist niemals überlastet, wenn wir Ihn um Hilfe anrufen.

Zudem ist Er ein mitleidiger und barmherziger Vater, der für Seine Kinder sorgt. Gott ist niemals verärgert, wenn wir mit unseren kleinen Problemen zu Ihm kommen. Um die Analogie zur „Belästigung“ eines vielbeschäftigten Präsidenten fortzusetzen: Gott sieht unsere „Anrufe“ (Gebete) an Ihn nicht als Störungen an, als riefe jemand den Präsidenten an, um die Uhrzeit oder die Temperatur zu erfragen. Wir sind Gottes Kinder. Ich sage Ihnen: ein Präsident, der seine Kinder liebt, wird (oder sollte) gerne eine Störung durch etwas hinnehmen, was seine Kinder sehr betrifft, wenn sie ihn damit als ihren Vater unterbrechen.

Ich finde es sehr ermutigend, dass das erste Wunder unseres Herrn eines ist, das viele Menschen als nicht-essenziell ansehen würden. Im weiteren Verlauf des Dienstes unseres Herrn fingen die Jünger an, sich wie der „Geheimdienst“ unseres Herrn aufzuführen; sie scheuchten kleine Kinder und Leute weg, die sie als eine Belästigung für den Erlöser ansahen – und Jesus tadelte sie dafür. Gott sorgt auch für die Kleinigkeiten in unserem Leben. Das erinnert mich an die Geschichte von dem „verlorenen Axteisen“ in 2. Könige 6, wo Elisa ein Axteisen für einen der Söhne des Propheten zurückholt. Es ist oft versucht worden, diesen Text spirituell zu deuten, um ihm Wichtigkeit zu verleihen. Ich glaube, er ist aber auch so sehr wichtig: Gott sorgt für verlorene Axteisen und verlorene Autoschlüssel und platte Reifen ... Gott sorgt sich um die Kleinigkeiten, die Seine Kinder betreffen.100

Viertens: Dieses Wunder ist wie manche meiner Witze – die meisten Zuschauer haben es gar nicht „mitgekriegt“. Man sollte meinen, dass Jesus alle wissen lassen wollte, was Er tat. Er hätte um allgemeine Aufmerksamkeit bitten und ansagen können, dass er jetzt Wasser in Wein verwandeln werde. Er hätte sich viel dramatischer gebärden können, Er hätte mit den Händen über den Wasserkrügen herumwedeln und den „guten Wein“ dann persönlich dem Festleiter kredenzen können. Tatsächlich aber scheint Jesus die Wasserkrüge oder den Wein noch nicht einmal berührt zu haben. Er gibt einfach die Anweisung an die Diener, die Krüge zu füllen und den Inhalt auszuschenken. Wenn Sie den Festleiter oder irgendeinen Gast darüber befragt hätten, was er denn so von der Feier hielt, hätte der vermutlich gesagt: „Oh, es war eine wirklich schöne Feier, und der Wein zuletzt war ja wirklich Klasse.“ Die meisten Leute erfuhren gar nie, dass ein Wunder geschehen war. Anscheinend waren sich nur Maria, die Diener und die Jünger dessen bewusst, was geschah. Johannes erzählt, dass die Jünger wegen dieses Wunders an Ihn glaubten (Vers 11). Die Diener, habe ich den Eindruck, wussten, „was“ geschehen war, waren sich aber nicht sicher, „wie“ es genau geschehen war; also hielten sie einfach den Mund und kratzten sich verwundert am Kopf.

Dass die erste Darstellung der Macht unseres Herrn so wenig sichtbar wie möglich geschah, war Absicht. Alles, was unser Herr bei der Verwandlung des Wassers in Wein tat, geschah in der Absicht, Sich so wenig wie möglich zu exponieren. So durchgeführt, konnte unser Herr das Wunder vollbringen, ohne gegen den Willen Seines Vaters bezüglich „Seiner Zeit“ zu verstoßen. Es war noch nicht der Augenblick, da unser Herr Seine Macht und Herrlichkeit öffentlich sichtbar machen sollte. Deshalb vollbrachte Er das Wunder nicht-öffentlich, auf eine Art, die mit Gottes Zeitplan im Einklang stand. In gewisser Hinsicht gibt es hier in den ersten Versen von Johannes 2 zwei Wunder. Das erste ist die Verwandlung von Wasser in Wein. Das zweite ist, dieses Wunder so zu vollbringen, dass es nicht für jeden offensichtlich ist.

Sehr wahrscheinlich ist das die Art, in der heutzutage viele Wunder geschehen. Sie geschehen auf eine Art, die so normal erscheint, dass viele sie gar nicht als etwas Übernatürliches erkennen. Dazu ist vielleicht ein Beispiel hilfreich: Kurz vor dem Abschluss des Priesterseminars kam für mich vor etlichen Jahren der Zeitpunkt, wo ich entscheiden musste, in welcher Gemeinde ich meinen Dienst antreten wollte. Ich hatte mehrere Möglichkeiten, aber eine davon wollte ich eigentlich am liebsten überhaupt nicht in Betracht ziehen – hauptsächlich des Ortes wegen, wo die Dienststelle sein würde. Das war nämlich genau der Ort in der ganzen Welt, an dem ich nicht leben wollte. Aber Gott bewirkte so viel in meinem Herzen, dass ich mich erweichen ließ und Ihm gegenüber meine Bereitschaft zum Ausdruck brachte, Ihm selbst an diesem Ort zu dienen. Eine Gemeinde in dieser Stadt hatte mit mir Kontakt aufgenommen und den Wunsch geäußert, mit mir über die Möglichkeit eines Pfarrdienstes bei ihnen in dieser Stadt zu sprechen. Gleichzeitig musste ich mich auch entscheiden, ob ich meinen gegenwärtigen Dienst fortsetzen wollte – und der war in dem Ort, in dem ich leben wollte. Da ich mich innerhalb einer bestimmten Frist festlegen musste, setzte ich eine Art Stichtag. Wenn Gott wollte, dass ich in die andere Stadt ziehen sollte – die, wo ich lieber nicht hinwollte –, sollte diese Gemeinde vor dem Stichtag wieder mit mir Kontakt aufnehmen müssen. Das taten sie nicht, und ich sagte dort zu, wo ich war. Nur wenige Tage später war ein Brief von der anderen Gemeinde in der Post. Interessanterweise war dieser Brief schon einen Monat zuvor aufgegeben worden, und aus den Stempeln auf dem Umschlag konnte ich ersehen, dass er überall gewesen war – nur nicht in unserem Briefkasten. Aus irgendwelchen Gründen war der Brief nicht pünktlich ausgeliefert worden, obwohl er korrekt adressiert war. Mancher mag vielleicht leichthin sagen, dass das nichts als ein Fehler bei der Post war. Ich aber glaube, dass es schicksalhaft war – ein Wunder – oder, wie einer meiner Freunde immer sagte, „wieder einer von diesen merkwürdigen Zufällen“.

Fünftens: Achten Sie insbesondere darauf, wie dieses Wunder „die Herrlichkeit unseres Herrn offenbarte“. So sagt Johannes: „Den Anfang der Zeichen machte Jesus in Kana in Galiläa und offenbarte Seine Herrlichkeit, und Seine Jünger glaubten an Ihn“ (Johannes 2:11, Hervorhebung durch B. Deffinbaugh).

Diese Aussage ist sehr interessant, weil sie nicht mit dem im Einklang zu stehen scheint, was wir gerade festgestellt haben. Wie konnte die Herrlichkeit unseres Herrn manifestiert werden, wenn so wenige erfuhren, dass ein Wunder vollbracht worden war? Die Antwort auf diese Frage finden wir wohl in Kapitel 1:

10 Er war in der Welt, und die Welt wurde durch ihn erschaffen, aber die Welt erkannte ihn nicht. 11 Er kam zu dem, was sein Eigen war, doch sein eigenes Volk nahm ihn nicht auf. 12 Allen aber, die ihn aufnahmen – die an seinen Namen glaubten – gab er das Recht, Gottes Kinder zu werden 13 – Kinder, die nicht von menschlichen Eltern oder durch menschlichen Willen oder aus der Entscheidung eines Ehemannes heraus geboren werden sind, sondern aus Gott. 14 Nun aber wurde das Wort Fleisch und lebte unter uns. Wir sahen seine Herrlichkeit – die Herrlichkeit des Einzigen, voller Gnade und Wahrheit, der vom Vater herkam (Johannes 1:10-14, Hervorhebungen durch B. Deffinbaugh).

Die Worte des Paulus an die Philipper tragen vielleicht zur Erklärung dessen bei, was Johannes uns sagt:

5 Diese Gesinnung lasst in euch sein, die auch in Christus Jesus war, 6 der in Gottesgestalt existierte und es nicht als Raub ansah, Gott gleich zu sein, 7 sondern Sich Seines Ansehens entäußerte, indem er die Gestalt eines Sklaven annahm und im Bild eines Menschen kam. 8 Und nach der Erscheinung einem Menschen gleich, erniedrigte Er Sich Selbst und wurde gehorsam bis hin zum Tod, selbst zum Tod am Kreuz (Philipper 2:5-8).

Jesus war Gott. Er war am Anfang bei Gott. Er nahm aktiv an der Erschaffung dieser Welt teil (Johannes 1:1-5). Er war das wahre Licht, das Licht der Welt, aber die Welt erkannte Ihn nicht (Johannes 1:6-11). Die Jünger erblickten Seine Herrlichkeit, aber die ganz große Mehrheit derer, die Ihn sahen und hörten, sahen in Ihm nicht das, was Er war; sie erblickten Seine Herrlichkeit nicht.

Dieses Thema wird weiter hinten im Johannes-Evangelium noch einmal aufgenommen. Ich möchte jetzt aber nur kurz Ihre Aufmerksamkeit auf eine dieser wichtigen Textstellen des Johannes-Evangeliums lenken: „Ich habe dich auf der Erde verherrlicht, indem ich das Werk vollendet habe, was du mir zu tun gabst. Und nun, Vater, verherrliche mich an deiner Seite mit der Herrlichkeit, die ich bei dir hatte, bevor die Welt erschaffen wurde“ (Johannes 17:4-5). Unser Herr hatte im Himmel große Herrlichkeit, und diese sichtbare Herrlichkeit legte er ab, um in menschlichem Fleisch auf die Erde zu kommen. Er verherrlichte Gott durch Seine Demut und Seinen Gehorsam, die in Seinem (demütigenden) Opfertod gipfelten101. Deswegen hat Ihm der Vater noch größere Herrlichkeit gegeben. Diese Herrlichkeit wird öffentlich und sichtbar bei Seiner Wiederkunft und im Himmel manifest werden.

Was ich damit sagen will, ist Folgendes: Ich fürchte, wir haben eine verzerrte Definition von „Herrlichkeit“, ganz ähnlich wie die Jünger in den Evangelien. Wir denken fälschlicherweise, dass Gottes Herrlichkeit sich in einer dramatischen Machtdemonstration äußert, einer Machtdemonstration, die offensichtlich und spektakulär ist, die von allen wahrgenommen und gewürdigt wird102. Ich möchte Sie aber noch einmal daran erinnern, dass die Herrlichkeit Gottes sich in diesem Wunder manifestierte, auch wenn es nur wenige als solches erkannten. Wir suchen vielleicht nach der falschen Art von „Herrlichkeit“. Nur allzu oft suchen wir im „Triumphalismus“ der neutestamentarischen Kirche (z.B. in der Gemeinde von Korinth) und in der heutigen Kirche nach der falschen Art von Herrlichkeit. Die Herrlichkeit Gottes, so wie ich sie verstehe, wird in den und durch die Heiligen manifestiert, indem sie – wie ihr Erlöser – demütig leben und geduldig leiden um Christi und des Evangeliums willen (siehe 1. Petrus 2, auch 2. Korinther 3 und 4).

Sechstens: Dieses Wunder wird ein „Zeichen“ genannt. Im Neuen Testament werden verschiedene Begriffe zur Bezeichnung von Wundern benutzt. Über den Begriff „Zeichen“ sagt D.A. Carson:

Das Neue Testament gebraucht verschiedene Worte, um das zu bezeichnen, was wir ‚Wunder’ nennen. Einer der gebräuchlichsten, dynameis (‚mächtige Werke’), kommt bei Johannes nicht vor; ein anderes, terata (‚Wunderdinge’, ‚Wunderzeichen’, ‚Wundertaten’) findet man nur in der Verbindung mit semeia (‚Zeichen’), beispielsweise in ‚Zeichen und Wunder’, aber diese Kombination kommt nur ein einziges Mal im Vierten Evangelium vor (4:48). Johannes zieht das einfache Wort ‚Zeichen’ vor: Jesu Wundertaten sind niemals nackte Machtäußerungen und noch viel weniger Zaubertricks, mit denen er die Massen beeindrucken will, sondern sie sind Zeichen, bedeutungsvolle Machtäußerungen, die über sich selbst hinaus auf die tieferen Wirklichkeiten weisen, die mit den Augen des Glaubens wahrgenommen werden könnten. Jesus selbst bezeichnet seine Wunder und seine sonstige Tätigkeit in diesem Evangelium als „Werk“ oder „Werke“ (z.B. 5:36; NIV ‚Wunder’ in 7:21, 10:25).103

Die Verwandlung von Wasser in Wein steht in enger Beziehung zu Kapitel 1. Gleich in den ersten Versen des Evangeliums teilt Johannes uns mit, dass Jesus von Nazareth der Logos ist, der nicht nur am Anfang bei Gott war, sondern der am Anfang Gott war. Er ist der Schöpfer, der alles, was existiert, ins Dasein brachte. Ist es also ein großes Wunder, wenn wir Jesus Wein aus Wasser „erschaffen“ sehen, gerade so, wie Er einst den Kosmos aus dem Chaos erschuf? Erstaunt es uns, dass die Jünger Seine Herrlichkeit in diesem Wunder erblickten, wenn der Apostel Johannes im ersten Kapitel schreibt „Und das Wort wurde Fleisch und lebte unter uns, und wir erblickten Seine Herrlichkeit, die Herrlichkeit des einzigen Gezeugten vom Vater, voller Gnade und Wahrheit“ (Johannes 1:14)?

Dieses Wunder lehrt uns, wie auch die anderen Zeichen des Johannes-Evangeliums, etwas über die Person unseres Herrn Jesus Christus. Die Absicht ist einfach: Auf dass ihr glaubet, dass Jesus der Christus ist, der Sohn Gottes, und dass ihr durch den Glauben ewiges Leben haben möget (Johannes 20:31). Glaubst Du? Es gibt keine wichtigere Entscheidung im Leben als die, was man über Person und Werk Jesu Christi glaubt. Er allein ist Gott, manifestiert in menschlichem Fleisch. Er allein ist das Lamm Gottes, das die Sünde der Welt hinwegnimmt, das allein deine Sünden vergeben kann.

Siebtens: In diesem ersten Wunder unseres Herrn nimmt Jesus etwas nicht so Großartiges und verwandelt es in etwas ganz Wunderbares. Er nimmt das, was Quälerei verursacht, und macht es zu einem Quell großer Freude. Das alttestamentarische Gesetz forderte verschiedene Arten von Waschungen. Sie alle sollten den Israeliten zeigen, wie zutiefst sündig und unrein sie waren, wie untauglich also für die Gegenwart Gottes. Diese Waschungen waren eine Quälerei, und doch mussten die Israeliten sie durchführen, um Gottes Gesetz zu gehorchen. Als die legalistischen Juden immer noch mehr Waschungen hinzufügten, wurde der Judaismus zu einer richtig anstrengenden Religion. Jesus nahm dieses zeremonielle Waschwasser und machte es zu Wein. Jesus nahm, was eine Qual war, und machte es zu einem Vergnügen. Jesus nahm, was die Juden als ungeeignet zum Trinken empfunden hätten, und Er machte daraus den besten Wein, der je einem Menschen über die Lippen gegangen ist.

Was für ein Bild der Überlegenheit des Neuen Bundes über den Alten, der Gnade über das Gesetz. Weil Er das Gesetz vollkommen erfüllte und allen seinen Forderungen gerecht wurde, war unser Herr als Einziger qualifiziert dafür, am Kreuz von Golgatha für die Sünder zu sterben. Die Erlösung, die Er durch Sein Opfer am Kreuz von Golgatha herbeiführte, ermöglicht es den Menschen, die Quälerei hinter sich zu lassen und in das Glück Seiner Erlösung einzutreten.

Unser Herr ist in der Lage, das zu nehmen, was (zumindest zum Trinken) nicht ganz annehmbar ist, und es zu einem erlesenen Wein zu machen, zu dem besten Wein, den je ein Mensch getrunken hat. Er ist in der Lage, fehlbare Menschen wie Petrus, Jakobus, Johannes, Andreas, Philippus und Nathanael zu nehmen und aus ihnen Apostel zu machen. Er ist in der Lage, das „Schwache und Törichte dieser Welt“Menschen wie dich und mich – zu nehmen und uns so zu verwandeln, dass die Menschen Gottes Gnade und Macht bewundern. Was für ein wunderbarer Erlöser!

Achtens: Jesus erzeugt bei diesem Wunder nicht nur etwas Schönes und Gesegnetes, sondern Er tut das auch noch reichlich. Der Wein, den Jesus erschuf, war der beste überhaupt, aber Er erschuf nicht nur eine kleine Menge davon. Er machte viel mehr als gebraucht wurde. Können Sie sich die Freude dieses vielleicht armen Brautpaares vorstellen, als sie jetzt an die 400 Liter des allerbesten Weines übrig hatten? Als Jesus die Fünftausend (Matthäus 14:13-21) und dann noch einmal die Viertausend (Matthäus 15:32-39) speiste, war nachher jeweils noch eine Menge übrig (14:20, 15:37). Gottes Segnungen sind stets reichlich. „Gebt, und euch wird gegeben werden: ein gutes Maß, vollgedrückt, zusammengerüttelt und überfließend, wird euch in den Schoß gelegt werden. Denn mit demselben Maß, das ihr benutzt, wird euch wiederum gemessen werden“ (Lukas 6:38).

Gottes hat für Seine Kinder Güte und Gnade in Hülle und Fülle; sie sind ohne Maß. Was für ein wunderbarer Erlöser!

Heal then these waters, Lord; or bring thy flock, / since these are troubled, to the springing rock.
Look down, great Master of the Feasts! O shine, / and turn once more our water into wine!

[Heile also dieses Wasser, Herr; oder bringe deine Herde, / die so geplagt ist, zu der Felsenquelle.
Schau herab, großer Festmeister! O, leuchte / und verwandle noch einmal unser Wasser in Wein!]

Henry Vaughan (1622-1695), “RELIGION”104


89 In der ganzen Bibel wird Kana nirgendwo als im Johannes-Evangelium erwähnt (2:1,11, 4:46, 21:2). Es gibt eine Reihe von Theorien über die Lokalisation dieses Ortes, aber niemand kann mit Sicherheit sagen, wo er gelegen war. In Kapitel 21:2 werden wir erfahren, dass Nathanael aus Kana war; also kannte er wahrscheinlich das Paar, das hier heiratet.

90 Maria wird im Johannes-Evangelium nie „Maria“ genannt, sondern nur – wie hier in unserem Text – als die Mutter Jesu bezeichnet.

91 Leon Morris, The Gospel According to John [Das Evangelium nach Johannes], (Grand Rapids: Wm. B. Eerdmans Publishing Co., 1971), S. 178-179.

92 „Wenn die Vorräte ausgingen, wäre das in einer Kultur der Schande eine furchtbare Beschämung; es gibt sogar Hinweise darauf, dass so etwas den Bräutigam rechtlich angreifbar machte, wenn die gekränkte Familie der Braut einen Rechtsstreit anstrengte.“ D.A. Carson, The Gospel According to John [Das Evangelium nach Johannes], (Grand Rapids: William B. Eerdmans Publishing Company, 1991), S. 169. Morris führt das sogar noch detaillierter aus. Leon Morris, The Gospel According to John [Das Evangelium nach Johannes], S. 177, siehe auch Fußnote 7.

93 Calvin schreibt: Man darf bezweifeln, dass sie irgendetwas von ihrem Sohn erwartete oder erbat, da er bisher noch keinerlei Wunder vollbracht hatte; und es ist gut möglich, dass sie ihn, ohne irgendeine Lösung dieser Art zu erwarten, anwies, einige fromme Ermahnungen zu geben, die den Gästen das unbehagliche Gefühl nehmen und den Bräutigam von der Schande befreien würden.“ Johann Calvin, Calvin’s Commentaries [Calvins biblische Kommentare], Band 7: The Gospels [Die Evangelien](Grand Rapids: Associated Publishers and Authors Inc., n.d.), S. 622. Für mich ist Calvins Erläuterung schwer einzusehen. Es scheint doch naheliegender zu sein, dass Maria hoffte, Jesus würde irgendetwas unternehmen, wenn sie auch nicht wusste, was das wohl sein könnte.

94 Die zynischen Halbbrüder Jesu schlagen das in Johannes 7:1-5 vor; also wäre es nicht überraschend, wenn Maria es schon vorher – ernst gemeint – zur Sprache bringen würde.

95 Wörtlich fragte Jesus: „Was mit Mir und mit dir, Frau?“ Die verschiedenen Übersetzungen geben diesen Ausdruck mit etwas unterschiedlichen Nuancen wieder: „Frau, was habe ich mit dir zu schaffen?“ (KJV), „Gute Frau, warum sprichst du mich deswegen an?“ (NIV), „Frau, was hat das mit uns beiden zu tun?“ (NAB), „Frau, was betrifft das dich und mich?“ (NRS).

96 Morris schreibt: „Manche römisch-katholischen Wissenschaftler sehen es so, dass Maria hier um ein Wunder bittet. Beispielsweise versteht J. Cortes die Worte Jesu in der Bedeutung: ‚Was hat sich zwischen uns verändert? Warum zögerst du, mich um ein Wunder zu bitten? Die Stunde meiner Passion, da du mich nicht mehr um Wunder bitten können wirst und ich keine mehr tun werde, ist noch nicht gekommen. Du bist immer meine Mutter und ich bin dein Sohn. Daher werde ich deiner Bitte gerne nachkommen’ (New Testament Abstracts, III, 1958-1959, S. 247). Die Schwierigkeit bei dieser Sichtweise liegt darin, dass es eine Veränderung gab. Jesus hatte niemals zuvor ein Wunder vollbracht (Vers 11), und so könnte Maria sehr wohl zögern, ihn um eines zu bitten.“ Morris, S. 180-181, Fußnote 20.

97 Jesus spricht an mehreren Stellen im Johannes-Evangelium von „Seiner Zeit“. In Kapitel 7 steht das jüdische Laubhüttenfest bevor, und die Brüder unseres Herrn drängen Ihn, mit Seinen Jüngern hinauf nach Jerusalem zu gehen und „sich der Welt zu zeigen“, Wunder zu vollbringen, damit Er als Der erkannt würde, der Er war. Sie sagten das nicht im Ernst, sondern meinten es ironisch, denn sie glaubten noch nicht an Ihn (7:1-5). Jesus lehnte es ab, mit ihnen hinauf nach Judäa zu gehen, weil Er dazu noch nicht bereit war, und Er hielt sie an, ohne Ihn zu gehen. Später ging Er dann heimlich zum Fest, weil Er keine Aufmerksamkeit erregen, sondern sie vielmehr vermeiden wollte (7:6-13). Weiter hinten in diesem Kapitel erfahren wir, dass die Juden Jesus ergreifen wollten, aber nicht dazu in der Lage waren, weil „Seine Zeit“ noch nicht gekommen war (Vers 30). Etwas Ähnliches geschieht in Kapitel 8, Vers 20. Bei anderen Gelegenheiten sprach Jesus davon, dass „Seine Zeit“ gekommen sei (12:23,27, 13:1, 16:32, 17:1).

98 Morris (S. 181) sagt, dass Jesus damit meint: „Es ist noch nicht Zeit für Mich zu handeln.“

99 Leider benutzen viele diesen Text primär, um ihren Standpunkt über das Trinken oder Nicht-Trinken alkoholischer Getränke zu untermauern; und dabei verfehlen sie den eigentlichen Kern der Geschichte. Man muss sich schon sehr anstrengen, um zu der Meinung zu gelangen, dass dieser „Wein“ nur Traubensaft war. Allerdings war der „Wein“ jener Tage wahrscheinlich schon etwas anderes als unser heutiger Wein. Die Bibel verbietet das Trinken alkoholischer Getränke nicht generell, aber sie verurteilt das Trinken „starker Getränke“ und die Trunkenheit (Sprüche 20:1; Jesaja 5:11,22, 28:1,7, 56:12; Epheser 5:18). Man sollte bedenken, dass Johannes der Täufer kritisiert wurde, weil er Abstinenzler war, und Jesus als „Trinker“ verunglimpft wurde, weil er keiner war (Lukas 7:33-34). Über den Alkoholmissbrauch heutzutage wie auch in früheren Zeiten lässt sich sicher vieles sagen; aber es geht zu weit, wenn man sagt, dass Alkohol generell verurteilt wird, oder wenn man zu behaupten versucht, dass der Wein, den unser Herr schuf, ganz und gar alkoholfrei war.

100 Ich sollte besser noch ein Caveat anfügen: Gott sorgt zwar für die Kleinigkeiten, die uns Schwierigkeiten bereiten, aber Er ist nicht erfreut über unsere eitlen, egoistischen Anliegen. Jakobus sagt uns, dass unsere Gebete unter Umständen nicht erhört werden, wenn sie selbstsüchtig sind - Jakobus 4:3. Viele unserer Gebete sind selbstsüchtig, und dann kann es geschehen, dass Gott nicht darauf antwortet.

101 Morris zitiert Richardson mit seiner Zusammenfassung dessen, was ‚Herrlichkeit’ in unserem Text bedeutet: „Richardson weist darauf hin, dass Johannes ‚keine Episode der Verklärung aufzeichnet, wie es die drei Synoptiker tun; er betrachtet das gesamte inkarnierte Leben Christi als Verkörperung der [Herrlichkeit] Gottes, wenngleich diese Herrlichkeit nur glaubenden Jüngern und nicht ‚der Welt’ offenbart wird’“ (An Introduction to the Theology of the New Testament [Einführung in die Theologie des Neuen Testaments], London, 1958, S. 65), wie bei Morris, S. 186, Fn. 38, zitiert.

102 Satan dachte ebenfalls in solchen Kategorien, wie wir aus Lukas 4:9-11 ersehen können.

103 Carson, S. 175.

104 Dieses Zitat fand ich auf einer der Vorsatzseiten von Michael Hortons Buch “In the Face of God: The Dangers & Delights of Spiritual Intimacy” [Im Angesicht Gottes: Die Freuden und Gefahren geistlicher Vertrautheit], (Dallas: Word Publishing, 1996).

Related Topics: Finance

Pages