MENU

Where the world comes to study the Bible

9. Kasih Tuhan yang Heran

Tuhan memiliki beragam cara untuk mendapatkan perhatian kita agar Dia bisa menunjukan betapa besar kasihNya pada kita. PerlakuanNya kepada kita didasarkan atas prinsip yang sempurna. Mungkin itu mengejutkan anda betapa indah kehendak Tuhan bagi kita saat kita mengijinkan Dia berkarya dalam hidup kita. Prinsip disiplinnya tidak pernah menyenangkan, tapi itu membawa kepada kemurnian dan kedamaian.

Banyak orang Kristen, termasuk pendeta, penulis lagu, puisi, dan lainnya, menjadi subjek “kasih Tuhan.” Saya ragu salah satu dari mereka tahu artinya kata kasih. Mereka menggunakan itu sebagai topeng untuk menutupi sakit fisik, rohani, dan moral mereka. Katakan pada orang bahwa Tuhan mengasihi mereka dan mereka akan merasa enak. Mereka akan gembira dan hatinya ringan. Seorang pengkotbah menutup kotbahnya dengan berkat seperti ini: Tuhan mengasihi anda, dan saya juga. Tidak ada yang salah dengan pernyataan itu, saya juga tidak mempertanyakan ketulusan dan kejujuran pendeta saat dia mengatakan hal itu. Tapi saat orang Kristen benar-benar terluka, sulit mendamaikan kasih Tuhan dengan penderitaan dan kesulitan manusia. Baru-baru ini seorang wanita Kristen berkata pada saya, jika Tuhan mengasihi saya, kenapa Dia membuat saya menderita? Masalahnya terletak pada kurang mengertinya dia akan kasih Tuhan.

Alkitab mengatakan pada kita kalau itu kasih yang misteri. “Lihatlah, betapa besarnya kasih yang dikaruniakan Bapa kepada kita, sehingga kita disebut anak-anak Allah (1 John 3:1). Perhatikan kata betapa besar. Kata Yunaninya potapos, suatu kata sifat yang menggambarkan sesuatu yang aneh atau asing –seperti dari luar negeri. Itu tidak hanya menunjukan kebesaran seperti beberapa terjemahan modern. Saat Tuhan kita menegur angin dan menenangkan laut. “Dan heranlah orang-orang itu, katanya: Orang apakah Dia ini, sehingga angin dan danaupun taat kepada-Nya? (Matthew 8:27, italics ditambahkan). Mereka melihat sesuatu yang terlewatkan sebelumnya. Saat mereka melihat mujizat, mereka berpikir, Orang ini pasti dari luar dunia. Apa yang kita lihat sangat aneh dan asing.

Kita melihat kasih yang “heran” ini dalam Romans 5:8: Akan tetapi Allah menunjukkan kasih-Nya kepada kita, oleh karena Kristus telah mati untuk kita, ketika kita masih berdosa. Itu kasih yang heran sehingga menyebabkan seorang bapa mengutus anaknya untuk mati bagi pendosa, terutama saat Anak adalah benar dan kudus. Kita tidak mengetahui kasih seperti itu. Itu asing bagi kita karena itu datang dari dunia yang lain. Itu tidak pernah jadi bagian dari peradaban manusia. Manusia didunia tidak pernah menyaksikan kasih seperti itu. Inilah kasih itu: Bukan kita yang telah mengasihi Allah, tetapi Allah yang telah mengasihi kita dan yang telah mengutus Anak-Nya sebagai pendamaian bagi dosa-dosa kita (1 John 4:10). Bentuk kasih yang asing itu mengganggu pikiran kita. Apakah kita bisa atau tidak mengerti hal itu, kenyataan bahwa itu heran tetap nyata –Tuhan mengutus AnakNya yang tidak berdosa untuk mati bagi kita yang berdosa. Betapa kasih yang heran!

Hal itu membuat kita memikirkan secara serius kasih yang heran dari Tuhan didalam kehidupan anakNya. Ini dijelaskan dalam salah satu bagian Alkitab. karena Tuhan menghajar orang yang dikasihi-Nya, dan Ia menyesah orang yang diakui-Nya sebagai anak (Hebrews 12:6).

Pembaca yang baik, jika anda benar adalah anak Allah sejati, sejati artinya anda sudah mengalami kelahiran baru, maka inilah kebenaran yang harus anda temukan dengan pengalaman. Anda dan saya harus belajar –dan jangan terbawa arus dari –kebenaran ini bahwa kasih Tuhan yang heran mengharuskan Dia menghajar kita sampai jera. Mari kita selidiki ayat ini dalam konteksnya.

Pertimbangan Seruan

Pemikiran bahwa kasih Tuhan menghajar anak-anakNya sampai jera tidak bisa diterima bagi sebagian besar dari kita. Saat anak bertumbuh kita semua memiliki pemikiran bahwa orangtua menunjukan kasihnya pada kita saat mereka memberikan hal yang kita suka dan nikmati. Tapi saat mereka memberi pembatasan bagi kita, kita langsung menyimpulkan kalau mereka tidak mengasihi kita. Kita bisa mengerti kasih yang mengelus dan menghibur kita, tapi kita tidak bisa mencocokan kasih dengan menghajar sampai jera atau koreksi.

Orang Kristen dimana tujuan surat Ibrani ditulis adalah Yahudi. Mereka adalah kelompok minoritas yang percaya Yesus Kristus sebagai Mesias. Saudara Yahudi mereka yang tidak percaya telah mengasingkan mereka. Orang non Yahudi yang tidak percaya memandang mereka rendah. Mereka tidak bisa mendapat pekerjaan. Penyiksaan sangat sulit ditanggung. Jika mereka membuat keputusan yang benar dengan menjadi Kristen, kenapa mereka menderita hal ini? Jika Tuhan mengasihi mereka, bukankah Dia seharusnya menyelamatkan mereka dari penderitaan dan penyiksaan ini? Mereka diajarkan bahwa Tuhan mengasihi semua orang berdosa dan karena itu Dia mengutus AnakNya yang tunggal untuk mati bagi mereka. Mereka percaya pesan itu, tapi sekarang semua yang mereka rasakan adalah pernderitaan dan kesulitan. Apakah begitu cara Tuhan menunjukan kasihNya kepada anak-anakNya? Jelas ada satu hal mengenai kasih yang mereka belum pelajari.

Roh Kudus mengarahkan penulisNya untuk menulis kata-kata yang bisa memenuhi kebutuhan hati mereka. Dia mulai dengan membawa perhatian mereka pada PL yang sudah mereka lupakan, Dan sudah lupakah kamu akan nasihat yang berbicara kepada kamu seperti kepada anak-anak (Hebrews 12:5). Dia membawa mereka kembali pada Firman Tuhan yang tertulis, sumber kebenaran bagi setiap anak Tuhan. Dia mengutip perkataan langsung Tuhan kepada mereka. Perhatikan, “sudah lupakah kamu akan nasihat yang berbicara kepada kamu (italics ditambahkan). Sebagian ekspositor mengartikan pernyataan ini seperti interogasi, Apakah kamu sudah lupa nasihat itu? Dan apakah kebenaran penting yang mereka lewatkan ? Itu adalah kasih Tuhan yang heran: Hai anakku, janganlah anggap enteng didikan Tuhan, dan janganlah putus asa apabila engkau diperingatkan-Nya; karena Tuhan menghajar orang yang dikasihi-Nya, dan Ia menyesah orang yang diakui-Nya sebagai anak (Hebrews 12:5-6).

Pelupa bisa menjadi hal berbahaya. Betapa bodohnya kita saat kita melupakan Firman Tuhan. Dan perhatikan kata yang cenderung kita lupakan, yaitu, nasihat. Kata nasihat (Yunani: parakaleo„) artinya menegur atau mendorong untuk mengejar suatu sikap tertentu. Ini merupakan kata nasihat kepada orang Yahudi yang lupa, bukan perjanjian Tuhan yang tidak bersyarat, juga bukan janji Tuhan akan hidup kekal. Alkitab yang dikutip ada dalam Proverbs 3:11-12: “Hai anakku, janganlah engkau menolak didikan TUHAN, dan janganlah engkau bosan akan peringatan-Nya. Karena TUHAN memberi ajaran kepada yang dikasihi-Nya, seperti seorang ayah kepada anak yang disayangi.”

Penyelidikan Alkitab bisa jadi menarik dan atraktif, dan tetap menarik selama itu tidak membuat tuntutan bagi mereka. Mereka bisa menikmati kotbah dibukit tentang kasih selama pengajaran itu tidak masuk kedalam gaya hidup mereka. Mereka tidak pernah lupa perkataan Tuhan dalam Jeremiah 31:3: Aku mengasihi engkau dengan kasih yang kekal atau dalam John 3:16 dimana Tuhan kita berkata, Karena begitu besar kasih Allah akan dunia ini, sehingga Ia telah mengaruniakan Anak-Nya yang tunggal, supaya setiap orang yang percaya kepada-Nya tidak binasa, melainkan beroleh hidup yang kekal. Kenapa bisa ingat ayat tertentu tentang kasih Tuhan dan melupakan ayat lainnya? Itu karena kita pemilih. Kita dengan sadar melupakan kasih Tuhan yang heran.

Sempatkan waktu duduk membaca kitab Ulangan. Disana anda akan mendengar Tuhan berkata berulang-ulang, Ingat . . . dan jangan lupa. Tandai setiap pemunculan kata ingat dan jangan lupa. Waktu 2 jam melatih kerohanian anda merupakan hal berharga.

Pertimbangan Penjelasan

Dalam pasal 11 kitab Ibrani penulis menunjuk fakta bahwa banyak orang percaya dalam PL menderita. Dia mengambil ilustrasi dari beberapa periode sejarah Alkitab dan menunjukan bahwa banyak yang menderita. Mereka menghadapi keganjilan untuk kemuliaan Tuhan. Dan Tuhan dalam sejarah PL tetap sama sampai sekarang.

Dalam pasal 12 orang Kristen ditunjukan bagaimana memandang penobaan dan ujian dalam hidup. Kata kunci dalam verses 5-11 adalah menghajar sampai jera, muncul beberapa kali dalam bentuk beragam setidaknya 7 kali. Kata Yunaninya paideia, dari pais, artinya anak. Itu istilah digunakan secara luas bagi orangtua yang mendidik anaknya. Tuhan juga memiliki cara menghajar sampai jera anak-anakNya, dan apapun cara yang Dia gunakan adalah untuk kebaikan. Hidup tanpa disiplin tidak ada nilai.

Hajaran Tuhan menunjukan kasihNya. “karena Tuhan menghajar orang yang dikasihi-Nya, dan Ia menyesah orang yang diakui-Nya sebagai anak” (Hebrews 12:6). Itu tidak mengijinkan ayah berlaku seenaknya pada anak. Disiplin Tuhan selalu dimotivasi oleh kasih. Itu meneguhkan kasih Tuhan pada kita. Ada kasih orangtua dalam disiplin Bapa disorga. Tuhan tidak bertindak seperti hakim, tapi sebagai bapa. Bahkan dalam kekecewaan, cobaan paling berat diijinkan melalui hikmat sempurna dari kasih Tuhan yang heran, asing bagi manusia yang sudah jatuh. Apapun perasaan kita, hajaran menunjukan kasih Tuhan.

Hajaran Tuhan meneguhkan kita sebagai anak. Jika kamu harus menanggung ganjaran; Allah memperlakukan kamu seperti anak. Di manakah terdapat anak yang tidak dihajar oleh ayahnya? Tetapi, jikalau kamu bebas dari ganjaran, yang harus diderita setiap orang, maka kamu bukanlah anak, tetapi anak-anak gampang (Hebrews 12:7-8). Kitab Ibrani ditujukan bagi anak Tuhan, sehingga hajaran menujukan tanda anak. Tidak diragukan ada diantara orang percaya Ibrani yang mengaku beriman tapi belum lahir baru. Mereka tidak akan pernah mengerti ada Tuhan berlaku pada anakNya untuk menyenangkanNya. Apa yang Tuhan ingin dari kita lebih tinggi dan mulia dari apa yang kita pikir orangtua dunia lakukan pada anaknya.

Tidak ada cara mendapatkan status anak tanpa hajaran. Mereka yang tidak dihajar tapi mengaku anak membuat kebohongan. Orang percaya yang hebat dimasa lalu melalui penderitaan dan kesulitan. Mereka tahu mereka memiliki hidup kekal karena mereka percaya Tuhan Yesus Kristus sebagai Juruselama pribadi mereka (John 3:16; 5:24); karena mereka mengalami Tuhan memimpin mereka (Romans 8:14); karena Roh Tuhan bersaksi dalam roh mereka (Romans 8:15-16); dan karena mereka mengalami disiplin Tuhan dalam hidup mereka. Jika mengaku Kristen tanpa dihajar, mereka tidak sah, bukan anak sejati. Demikian Firman Tuhan.

Hajaran Tuhan memperbaiki kesalahan kita. Selanjutnya: dari ayah kita yang sebenarnya kita beroleh ganjaran, dan mereka kita hormati; kalau demikian bukankah kita harus lebih taat kepada Bapa segala roh, supaya kita boleh hidup? (Hebrews 12:9). Bapa kita dibumi disebut “pengkoreksi” (Yunani: paideute„s, artinya seorang penghukum. Untuk mengkoreksi adalah mengembalikan kepada keadaan yang benar. Kesalahan harus diperbaiki, dan yang bengkok harus diluruskan. Setiap orang Kristen memiliki kesalahan dan kegagalan yang butuh dikoreksi (James 3:2). Orangtua kita mengkoreksi kita dan harus begitu dalam hubungan kita dengan mereka. Jika kita harus tunduk pada koreksi mereka, maka betapa kita harus tunduk pada Bapa kita disorga! Saat kita dilahirkan kembali, kita menerima nature baru, nature dari Tuhan, sehingga kita “mengambil bagian dari nature ilahi (2 Peter 1:4). Bagaimanapun, dalam setiap orang Kristen masih mungkin berdosa dalam pikiran, perkataan, dan tindakan. Dosa yang kita lakukan sebagai orang Kristen harus diakui dan diampuni: Kalau kita menguji diri kita sendiri, hukuman tidak menimpa kita. Tetapi kalau kita menerima hukuman dari Tuhan, kita dididik, supaya kita tidak akan dihukum bersama-sama dengan dunia (1 Corinthians 11:31-32). Paulus berkata bahwa jika orang Kristen memahami, bahwa jika kita membedakan antara apa kita dan apa yang disyaratkan Tuhan untuk menjadi, kita tidak perlu dihajar oleh Tuhan. Jika kita benar-benar mengenal diri kita dan menilai diri kita dengan benar, kita tidak perlu dihajar Tuhan. Orang Korintus dihajar, bukan karena mereka tidak percaya, tapi karena mereka milik Kristus. Saudara terkasih, mari kita menguji diri kita setiap hari dan sampai pada nilai yang benar dari diri kita (1 Corinthians 11:28). Mari kita tidak berhenti sampai setiap dosa diakui dan diampuni.

Hajaran Tuhan mengendalikan tempramen kita. Kita tidak sama. Kecenderungan pribadi berbeda. Jika kita tidak mengatur kelemahan kita, Tuhan akan menggunakan cara kebapakanNya untuk menghajar sampai jera. Amsal berkata, Siapa menyembunyikan pelanggarannya tidak akan beruntung, tetapi siapa mengakuinya dan meninggalkannya akan disayangi (Proverbs 28 :13). Kadang hajaran Tuhan, dilakukan untuk menjaga kita. Saat Tuhan menghajar Dia tidak plin-plan tapi dengan perhatian dan pertimbangan kebaikan kita. Sekali lagi, mari kita ingat bahwa hajaran Tuhan dilakukan dengan kasih. Dan kedaulatanNyalah untuk mendisiplin kita kapanpun dan bagaimanapun Dia mau.

Rasul Paulus cenderung untuk sombong. Itu dosa yang belum hilang dan perlu dikekang. Dia menulis tentang itu dalam surat keduanya pada jemaat Korintus: Dan supaya aku jangan meninggikan diri karena penyataan-penyataan yang luar biasa itu, maka aku diberi suatu duri di dalam dagingku, yaitu seorang utusan Iblis untuk menggocoh aku, supaya aku jangan meninggikan diri. (2 Corinthians 12:7). Perhatikan bahwa ayat ini tidak dimulai dengan kalimat yang sama, supaya aku jangan meninggikan diri karena penyataan-penyataan yang luar biasa itu. Kita mungkin berasumsi bahwa Paulus cenderung meninggikan diri, dosa umum “menjadi sombong (1 Timothy 3:6) atau menjadi “tinggi hati (1 Timothy 6:17). Melalui hajaran kasih Tuhan, Paulus belajar dengan baik sehingga dia bisa menulis, Berdasarkan kasih karunia yang dianugerahkan kepadaku, aku berkata kepada setiap orang di antara kamu: Janganlah kamu memikirkan hal-hal yang lebih tinggi dari pada yang patut kamu pikirkan, tetapi hendaklah kamu berpikir begitu rupa, sehingga kamu menguasai diri menurut ukuran iman, yang dikaruniakan Allah kepada kamu masing-masing (Romans 12:3).

Saat kita menemukan kelemahan dalam diri kita masing-masing, kita harus mengekangnya. Jika kita mengabaikannya dan membiarkan itu tumbuh, Tuhan akan masuk dan menghajar kita. Mencegah lebih baik dari mengobati. Hajaran merupakan salah satu berkat Tuhan. Apakah kita bersyukur atas hal ini?

Hajaran Tuhan membersihkan dosa kita. Selanjutnya: dari ayah kita yang sebenarnya kita beroleh ganjaran, dan mereka kita hormati; kalau demikian bukankah kita harus lebih taat kepada Bapa segala roh, supaya kita boleh hidup? Sebab mereka mendidik kita dalam waktu yang pendek sesuai dengan apa yang mereka anggap baik, tetapi Dia menghajar kita untuk kebaikan kita, supaya kita beroleh bagian dalam kekudusan-Nya (Hebrews 12:9-10). Kata “kekudusan” Yunaninya hagiasmos, artinya pengudusan. Artinya disini adalah dipisahkan untuk Tuhan. Ini tidak hanya pengudusan posisi, tapi pengudusan praktis, suatu tindakan yang sesuai dengan pemisahan. Paulus menggunakan kata yang sama dalam, Allah memanggil kita bukan untuk melakukan apa yang cemar, melainkan apa yang kudus (1 Thessalonians 4:7) dan Tetapi sekarang, setelah kamu dimerdekakan dari dosa dan setelah kamu menjadi hamba Allah, kamu beroleh buah yang membawa kamu kepada pengudusan dan sebagai kesudahannya ialah hidup yang kekal (Romans 6:22).

Buah kekudusan harusnya menjadi jalan hidup yang sesuai bagi semua anak Tuhan. Secara kedudukan kita dipisahkan untuk Tuhan melalui iman dalam Yesus Kristus. Roh Kudus menyucikan (memisahkan) setiap orang percaya disaat diselamatkan (1 Corinthians 6:11), dasar pengudusan posisi ada dalam kematian Kristus (Hebrews 10:10, 29; 13:12). Bagaimanapun, tujuan Tuhan dalam menyelamatkan kita melalui kematian anakNya agar kita dipisahkand dari pikiran, perkataan dan tindakan jahat: “Karena inilah kehendak Allah: pengudusanmu, yaitu supaya kamu menjauhi percabulan (1 Thessalonians 4:3). Kita semua harus mengejar kekudusan. Kita mempelajari itu saat kita membaca, mempelajari, dan mentaati Firman Tuhan (Psalm 119:9, 11; John 15:3; 17:17, 19; 1 Peter 2:2).

Jika, sebaliknya, kita mengabaikan pengejaran akan kekudusan, maka Tuhan akan masuk dan menghajar kita. Barangsiapa Kukasihi, ia Kutegor dan Kuhajar; sebab itu relakanlah hatimu dan bertobatlah! (Revelation 3:19). Dan saat Dia melakukan itu, kita harus menerima disiplin itu, bukan untuk menyakiti kita tapi mengarahkan kita pada kebaikan. Hajaran Tuhan dibuat agar kita menjadi orang Kristen yang lebih bijak dan baik. Saya meragukan ada orang Kristen yang bisa dewasa rohani tanpa dihajar Tuhan.

Pertimbangan Harapan

Ayat ini mengusulkan 3 cara reaksi kita akan disiplin dari Tuhan.

Kita bisa mengabaikannya. Hai anakku, janganlah anggap enteng didikan Tuhan (Hebrews 12:5). Kata mengabaikan (exoutheneo„) artinya mengancam dengan sengaja. Kita jangan menganggap hajaran Tuhan sebagai hal enteng. Semua itu “untuk kebaikan kita” (Hebrews 12:10) jangan dipandang rendah. Saat saya masih jadi pastor di Detroit, orang muda berumur 21 tahun terbunuh dalam kecelakaan motor di John Lodge Expressway. Walau ibunya Kristen, dia menjadi marah dan pahit terhadap Tuhan. Dia tidak menerima ujian dari Tuhan. Saya mencoba menjelaskan agar dia tidak diharapkan mengecilkan masalahnya, tapi juga tidak mengecilkan hajaran Tuhan. Tuhan yang mengatur, dan Dia selalu memiliki tujuan yang baik dan bijak dalam menghajar anakNya. Orang Kristen memang menderita. “melainkan manusia menimbulkan kesusahan bagi dirinya, seperti bunga api berjolak tinggi (Job 5:7). Dalam dunia kamu menderita penganiayaan (John 16:33). Memang setiap orang yang mau hidup beribadah di dalam Kristus Yesus akan menderita aniaya (2 Timothy 3:12). Kita pasti didisiplin dalam hidup, tapi jangan memandang rendah hal ini.

Kita bisa putus asa. janganlah anggap enteng didikan Tuhan, dan janganlah putus asa apabila engkau diperingatkan-Nya (Hebrews 12:5). Kata Yunaninya ekluo„ dan itu artinya menjadi letih, putus asa. Orang Kristen adalah pengelana, yang terus bergerak. Dia pergi kesuatu tempat. Tujuannya adalah keserupaan dengan Tuhan Yesus Kristus yang disalib dan dipermalukan. Kristus sendiri adalah teladan –Dia tidak putus asa. Ingatlah selalu akan Dia, yang tekun menanggung bantahan yang sehebat itu terhadap diri-Nya dari pihak orang-orang berdosa, supaya jangan kamu menjadi lemah dan putus asa (Hebrews 12:3). Ini ayat yang bagus dibaca saat ujian hidup membuat kita menjadi letih. Kita diperintahkan untuk berhenti dan memikirkan penderitaan Kristus. Pelajari bahwa Dia bertahan saat Dia didunia. Saat kita merenungkan Firman Tuhan setiap hari, Roh Kudus bisa mengingatkan akan Kristus dan menjelaskannya pada kita. Ini memampukan kita bertahan dengan sabar. Janganlah kita jemu-jemu berbuat baik, karena apabila sudah datang waktunya, kita akan menuai, jika kita tidak menjadi lemah (Galatians 6:9).

Kita bisa menerima itu datangnya dari Bapa yang kasih. Memang tiap-tiap ganjaran pada waktu ia diberikan tidak mendatangkan sukacita, tetapi dukacita. Tetapi kemudian ia menghasilkan buah kebenaran yang memberikan damai kepada mereka yang dilatih olehnya (Hebrews 12:11). Disiplin Tuhan tidak pernah tanpa rencana dan tujuan. Itu selalu dipikir baik-baik. Saat Tuhan menghajar kita Dia ingin mencapai sesuatu dalam kita untuk kebaikan kita dan kemuliaanNya. Jadi setiap tindakan hajaran Tuhan ada harapan yang cerah, sesuatu yang kita harapkan. Penulis menyebutnya “pada waktunya” Dan kita yakin kalau disiplin Bapa tidak pernah mengecewakan. Jangan mengabaikan hal ini. Sebagian dari mereka mengandung janji bagi masa depan kita dengan harapan dan penantian.

Tetapi kemudian ia menghasilkan buah kebenaran yang memberikan damai kepada mereka yang dilatih olehnya. (Hebrews 12:11, italics added)

Apa yang Kuperbuat, engkau tidak tahu sekarang, tetapi engkau akan mengertinya kelak. (John 13:7, italics added)

Dengan nasihat-Mu Engkau menuntun aku, dan kemudian Engkau mengangkat aku ke dalam kemuliaan. (Psalm 73:24, italics added)

Kesimpulannya, perhatikan bahwa berkat hajaran datang kepada mereka “yang dilatih olehnya. Kita dilatih melalui ujian dan pencobaan. Kata Yunaninya gumnazo„, artinya melatih tubuh atau pikiran dengan melihat kekudusan dan kebenaran. Saat kita menerima hajaran dan dilatih olehnya, kita belajar itu merupakan berkat kelimpahan dari Tuhan.

Kita menemukan bahwa terapi fisik bagi hidup saya dalam kelumpuhan Elsie merupakan sangat sulit dan menyakitkan. Itu tidak pernah jadi nyaman jika melalui pengobatan, tapi dia bertahan dengan harapan ada perkembangan.

Betapa lebih lagi kita harus melatih diri kita untuk dilatih melalui hajaran Tuhan. Penulis Ibrani menjelaskan dalam pasal 5. Dia bicara tentang kegagalan orang percaya untuk belajar kedalaman kebenaran Firman Tuhan. Semua masih bayi dan tidak berpengalaman serta tidak ahli dalam menghadapi masalah hidup: Tetapi makanan keras adalah untuk orang-orang dewasa, yang karena mempunyai pancaindera yang terlatih untuk membedakan yang baik dari pada yang jahat (Hebrews 5:14).

Bertumbuh secara rohani tidak hanya masalah waktu. Itu bukan pengalaman yang ada sejalan waktu seperti pertumbuhan fisik. Seorang muda mengundang saya untuk makan malam dirumahnya. Dia ingin saya bertemu istrinya dan anaknya perempuan berumur 6 tahun. Jika gadis kecil ini 6 dan ibunya 30 tahun, saya bisa memperkirakan apa yang dilihat melalui umur mereka.

Tapi tidak begitu dalam pengalaman rohani. Mungkin saja orang yang sudah diselamatkan 6 tahun lebih dewasa dari yang sudah 30 tahun. Dalam hal rohani orang Kristen lamban mendengar (Hebrews 5:11). Mereka mundur dalam mendengar dan melakukan Firman. Maka itu mereka tidak lagi melatihnya dan tidak bertumbuh secara rohani. Kata sifat yang digunakan adalah kata Yunani nothroi berarti kemalasan. Itu suatu kondisi seseorang kehilangan keinginan akan Firman Tuhan.

Sebagian orang Kristen terlatih melalui ujian mereka tapi sebagian lain tidak. Sebagian merasa sakit hati terhadap hajaran itu dan sakit hati pada Tuhan sementara yang lain menerima disiplin Tuhan dan berkembang karenanya. Alkitab tidak mengatakan kalau orang percaya harus menikmati hajaran, tapi kita diharapkan menghargainya dan bertindak dengan tepat. Saat kita mengerti alasan Tuhan menghajar kita, itu akan mendatangkan kebaikan. Penderitaan harus lahir dari roh yang benar jika kita ingin mendapat keuntungan darinya. Sebab aku yakin, bahwa penderitaan zaman sekarang ini tidak dapat dibandingkan dengan kemuliaan yang akan dinyatakan kepada kita (Romans 8:18).

Related Topics: Theology Proper (God)

1. Persahabatan yang Hancur

Bukankah indah jika semua orang Kristen bisa selalu damai dengan sesama? Seperti yang seharusnya. Kita memiliki banyak kesamaan—satu Tuhan, satu Firman, satu Tubuh dimana kita semua adalah anggota, satu keinginan untuk memuliakan Yesus Kristus, satu tujuan untuk membagikan Dia kepada yang lain. Tapi kita memiliki reputasi dalam hal salah pengertian, perselisihan dan perpecahan.

Kita semua mendapati banyak gesekan, gossip dan sakit hati diantara orang Kristen. Kita semua sadar adanya perpecahan gereja, pembentukan denominasi baru dan suburnya organisasi para church, sering tumpah tindih dalam sasaran dan tujuannya. Kita semua melihat pernikahan yang hancur diantara orang Kristen. Kita harus akui bahwa orang Kristen tidak selalu damai dengan sesama. Bagaimana bisa terjadi?

Saya ingin membahas pertanyaan itu dengan menyelidiki pertentangan yang kuat antara 2 orang hebat dalam Alkitab, sahabat dekat dan teman sepelayanan. Itu merupakan perselisihan yang menghasilkan perpisahan jalur dan menghancurkan persahabatan mereka. Ini bukan cerita yang indah. Tapi menyedihkan. Itu sebenarnya tidak perlu terjadi. Tapi disatu sisi saya senang itu terjadi, dan saya senang bahwa Roh Kudus jujur mengatakan hal itu pada kita. Itu membantu kita melihat apa yang Tuhan lakukan melalui mereka dalam kelemahan, kita tahu bahwa kita punya harapan. Dan melihat kesalahan mereka, kita juga belajar bagaimana menjaga keharmonisan hubungan dengan mereka yang disekitar kita.

Persahabatan yang Sejati

Hubungan mereka dimulai saat sejumlah besar orang non-Yahudi di Syrian Antioch mengenal Kristus melalui kotbah para pengungsi dari Yerusalem (Acts 11:19-21). Itu mengganggu beberapa pemimpin gereja di Yerusalem yang tidak siap menerima non Yahudi kedalam persekutuan gereja. Mereka ingin mengirim seseorang ke Antiokia untuk menyelidiki situasinya. Barnabas merupakan pilihan mereka. Dia seorang Yahudi dari suku Lewi, jadi dia mengetahui hukum dan mengerti pikiran orang Ibrani. Dia dibesarkan dipulau Siprus, jadi dia bicara bahasa Yunani, mengerti pemikiran orang non Yahudi dan tidak akan dengan sengaja menyerang mereka. Dia sangat dihormati sebagai orang yang baik, murah hati, dan bertuhan (Acts 4:36,37).

Itu terbukti merupakan pilihan yang tepat. Barnabas tetap berada disana dan pekerjaan di Antiokia berkembang dibawah kepemimpinannya. “Setelah Barnabas datang dan melihat kasih karunia Allah, bersukacitalah ia. Ia menasihati mereka, supaya mereka semua tetap setia kepada Tuhan, karena Barnabas adalah orang baik, penuh dengan Roh Kudus dan iman. Sejumlah orang dibawa kepada Tuhan” (Acts 11:23,24). Pekerjaan itu begitu berkembang sehingga Barnabas tidak bisa lagi menanggungnya sendiri. Orang percaya dalam gereja terlalu muda dalam Tuhan untuk diangkat keposisi pimpinan, jadi satu-satunya sumber adalah meminta bantuan luar.

Dia mengenal seseorang. Sejauh yang kita ketahui, pertama kali dia bertemu Saulus adalah diYerusalem tiga tahun setelah pertobatannya di Damaskus. Setiap orang di Yerusalem takut pada Saulus karena mengira dia akan memata-matai mereka dan merencanakan serangan berikutnya pada mereka. Tapi Barnabas percaya padanya, menjangkau dia, mendorong pemimpin lain diYerusalem untuk menerima dia (Acts 9:26-29), dan suatu persahabatan sejati lahir. Setelah masa diYerusalem berlalu, Saulus kembali keTarsus, disitu dia memasuki semua wilayah non Yahudi dengan Injil. Berita terus terdengar tentang pelayanannya (Galatians 1:23). Saulus dari Tarsus merupakan orang yang Barnabas perlukan di Antiokia. “Lalu pergilah Barnabas ke Tarsus untuk mencari Saulus; dan setelah bertemu dengan dia, ia membawanya ke Antiokhia. Mereka tinggal bersama-sama dengan jemaat itu satu tahun lamanya, sambil mengajar banyak orang. Di Antiokhialah murid-murid itu untuk pertama kalinya disebut Kristen” (Acts 11:25,26). Suatu tim pelayanan yang hebat sudah lahir.

Mereka bersama-sama melayani Tuhan dengan berkat besar. Mereka sangat cocok dan saling melengkapi. Seperti seharusnya. Saat gereja di Antiokia memutuskan untuk mengirimkan uang kepada orang Kristen di Yerusalem yang tertindas, Barnabas dan Saulus mengantarnya bersama (Acts 11:30). Mereka kembali bersama ke Antiokia (12:25), disana 3 orang lagi sudah ditambahkan menjadi staff (13:1). Tapi Barnabas dan Saulus terus melayani Tuhan disana, bersama-sama.

Saat Roh Kudus memberikan arahat untuk melaksanakan misi keluar pertama kali, kita tidak heran kalau Dia berkata, “Khususkanlah Barnabas dan Saulus bagi-Ku untuk tugas yang telah Kutentukan bagi mereka” (13:2). Dan mereka memasuki perjalanan berbahaya bersama. Itu merupakan pelayanan penginjilan dan penanaman gereja yang berbuah—suatu keberhasilan rohani yang luar biasa. Suatu tim yang hebat! Mereka kembali ke Antiokia untuk melaporkan apa yang Tuhan telah lakukan, dan kemudian terus melayani disana, bersama-sama (Acts 14:26-28).

Saat doktrin keselamatan diajarkan secara salah, yaitu bisa melalui usaha manusia, mulai memasuki gereja, kedua orang ini melawannya bersama sama (Acts 15:2a). Saat diputuskan untuk mengirim perwakilan ke Yerusalem untuk meminta nasihat para rasul dan tua-tua tentang masalah ini, kedua orang ini diminta untuk pergi, bersama-sama (Acts 15:2b). Bersama sama, mereka menyatakan betapa herannya perbuatan Tuhan diantara orang non Yahudi (15:12). Dan saat keputusan diambil dan surat dikirim dari para rasul kegereja, dikatakan, “Sebab itu dengan bulat hati kami telah memutuskan untuk memilih dan mengutus beberapa orang kepada kamu bersama-sama dengan Barnabas dan Paulus yang kami kasihi, yaitu dua orang yang telah mempertaruhkan nyawanya karena nama Tuhan kita Yesus Kristus” (Acts 15:25,26). “Barnabas dan Paulus yang kami kasihi!” Itu sudah menjelaskan semuanya. Mereka merupakan sahabat sejati, merupakan tim pelayanan yang membawa berkat besar bagi gereja dan mendapat banyak kekaguman. Saat mereka menyelesaikan tugas, mereka kembali ke Antiokia dan terus mengajar dan mengabarkan Firman Tuhan, bersama-sama (Acts 15:35).

Munculnya Ketegangan

Ada dua hal yang terjadi selama tahun-tahun pelayanan sehingga menyebabkan ketegangan dalam hubungan mereka —hal yang mudah kita abaikan. Pertama, kepemimpinan tim berubah. Tidak diragukan bahwa Barnabas merupakan pemimpin pertama. Dia pastor gereja Antiokia yang pertama. Dia dihormati oleh orang-orang disana. Dia secara pribadi membawa Paulus untuk menolong pelayanan ini. Namanya terus muncul pertama kali dimasa itu, dengan alasan tepat. Saat 5 anggota staf pastoral didaftar dalam Acts 13:1, namanya muncul pertama, Saulus terakhir. Roh Kudus memanggilnya pertama kali untuk pelayanan misi (Acts 13:2), dan dia tetap didaftar pertama saat perjalanan berlangsung (Acts 13:7). Dia pemimpinnya.

Tapi sesuatu hal terjadi diperjalanan. Jauh dari lingkungan Antiokia dimana Barnabas dikenal sebagai pemimpin, Saulus (sekarang Paulus) mulai mengambil alih kepemimpinan. Kepribadiannya yang kuat dan karunia yang lebih menonjol menjadikan hal ini sesuatu yang alami. Dialah yang pertama kali berhadapan dengan penyihir bernama Elymas agar jangan menghalangi pengabaran injil (Acts 13:9-12). Saat mereka menyelesaikan pelayanan mereka dipulau Siprus, Lukas menyebut tim ini sebagai “Paulus dan kawan-kawan” (13:13). Sekarang itu telah menjadi “Paulus Evangelistic Association.” Itu perubahan besar, dan cukup tiba-tiba.

Kepemimpinan Paulus terlihat lebih nyata dalam synagogue di Pisidia (13:15,16). Kita tidak mendengar protes dari Barnabas, atau melihat indikasi kepahitan, iri hati atau sakit hati. Tapi kita harusnya bertanya apakah dalam hati Barnabas yang terdalam dia tidak merasa terluka mengenai hal ini. Apakah dia tidak berpikir kalau Paulus mengambil alih terlalu kuat, melakukan dengan cara Paulus, sehingga gagal mempertimbangkan perasaan orang lain? Apakah dia pernah menyatakan ini kepada Paulus?

Peristiwa kedua yang menegangkan hubungan mereka adalah peristiwa isolasi Antiokia tidak lama setelah pertemuan di Yerusalem. Kita tidak mengetahui ini di Kisah Para Rasul, tapi Paulus menyinggungnya dalam suratnya kepada jemaat Galatia. Petrus mengunjungi gereja Antiokia dan bersikap seperti Paulus dan Barnabas, tanpa prasangka terhadap orang Kristen non Yahudi. Dia masuk dengan bebas kedalam masyarakat, makan dan bersekutu tanpa halangan.

Tapi saat sekelompok orang Kristen Yahudi masuk ke Yerusalem dan memperingatkan prilaku Petrus, dia menjauhkan diri dan berhenti makan dengan orang non Yahudi. Walau kesamaan derajat social diakui oleh Antiokia, itu tetap tidak diterima oleh orang Yahudi ini, dan Petrus takut bisa menyebabkan masalah di Yerusalem. Paulus menyebutnya kemunafikan (Galatians 2:13). Dan dia benar. Itulah yang sebenarnya.

Tapi hal yang paling menyakitkan Paulus adalah teman dekatnya Barnabas mengijinkan dirinya terpengaruh oleh kemunafikan Petrus. Paulus kemudian menulis, “Dan orang-orang Yahudi yang lainpun turut berlaku munafik dengan dia, sehingga Barnabas sendiri turut terseret oleh kemunafikan mereka” (Galatians 2:13).

Bisakah anda merasakan emosi dalam kata-kata ini, “sehingga Barnaba?” Paulus tidak percaya hal ini. Bagaimana Barnabas bisa melakukan hal itu? Dia lebih tahu. Dia mengerti doktrin anugrah, kebebasan orang Kristen dan kesatuan diantara semua orang percaya dalam Kristus. Dia sudah memperlakukan orang percaya di Antiokia dengan sederajat selama ini. Sekarang, karena takut akan perkataan beberapa orang Yahudi kepadanya diYerusalem, dia menjadi pengecut dan meninggalkan Paulus sendiri. Apakah itu tanda Barnabas sakit hati atas perubahan kepemimpinan sehingga dia dengan mudah berbalik dari Paulus?

Barnabas jelas mengakui kesalahannya dan bertobat. Luka itu akan sembuh, tapi bekasnya tetap ada, menyebabkan ketegangan pada persahabatan mereka. Kita bertanya apakah dikedalaman hati Paulus dia sudah tidak mempercayai Barnabas, mungkin saja dia berpikir Barnabas seorang yang plin-plan, yang bisa kompromi. Dia mengatakan hal ini dalam suratnya ke jemaat Galatia bahwa dia dia tidak benar-benar melupakan hal ini. Kita bertanya apakah mereka pernah membahasnya, atau mengabaikan hal itu, dan berharap semuanya akan baik-baik saja (seperti yang sering kita lakukan).

Perselisihan Besar

Jika perasaan diatas memang ada dalam diri Paulus dan Barnabas dan mereka tidak pernah mengungkapkannya, mengakuinya dengan jujur, atau membahasnya secara terbuka, anda bisa memastikan hal ini pasti menghasilkan perselisihan besar. Dan itulah yang terjadi tidak lama kemudian. Kronologinya, peristiwa berikut dalam persahabatan mereka muncul setelah’ tindakan munafik di Antiokia’. “Tetapi beberapa waktu kemudian berkatalah Paulus kepada Barnabas: Baiklah kita kembali kepada saudara-saudara kita di setiap kota, di mana kita telah memberitakan firman Tuhan, untuk melihat, bagaimana keadaan mereka. Barnabas ingin membawa juga Yohanes yang disebut Markus; tetapi Paulus dengan tegas berkata, bahwa tidak baik membawa serta orang yang telah meninggalkan mereka di Pamfilia dan tidak mau turut bekerja bersama-sama dengan mereka.” (Acts 15:36-38). Itu masalah prosedur yang sederhana. Itu kelihatan sangat tidak beraturan, kita mungkin berpikir mereka akan duduk bersama, membahas kemungkinan dan akibat, dan mencapai persetujuan bersama. Sebagai contoh, “mungkin sekarang jangan membawanya, tapi diperjalanan kedua saja.” Atau “Mungkin kita bisa membawanya, tapi kita harus ada syarat kedepannya.” atau, “mari kita bicara dengannya tentang kesungguhannya mengenai hal ini, mengetahui apa yang ada dibelakangnya dan kita bisa menghindarinya kelak.” Jelas sekali persetujuan bersama bisa ditemukan.

Tapi persetujuan bersama biasanya tidak ditemukan saat perasaan yang dipendam sudah dalam. Kita sudah disakiti, dan sakit kita sudah tertanam dalam, sedikit kemarahan yang tidak diakui. Dan sekarang, bahkan perselisihan kecil menjadi masalah besar bagi kita. Kita berkata pada diri sendiri, “saya tidak akan membiarkannya melakukan hal itu lagi pada saya, Saya tidak ingin dia yang bicara, saya tidak akan mundur. Jika saya membiarkan dia mengambil keuntungan atas saya saat ini, pasti dia akan melakukannya lagi dikemudian hari.”

Alkitab berkata, “Hal itu menimbulkan perselisihan yang tajam, sehingga mereka berpisah dan Barnabas membawa Markus juga sertanya berlayar ke Siprus. Tetapi Paulus memilih Silas, dan sesudah diserahkan oleh saudara-saudara itu kepada kasih karunia Tuhan” (Acts 15:39,40). Kata Yunani untuk “perselisihan tajam” merupakan dasar bagi kata Inggris paroxysm, berarti, “suatu emosi atau tajam yang tiba-tiba.” Tidak ada cara menghapus perselisihan ini. Ini bukan hanya suatu perbedaan pendapat. Ini perdebatan serius. Emosi tersembur keluar. Kata-kata tajam saling dikeluarkan. Mungkin tuduhan yang tidak baik saling dilontarkan. Kata-kata berisi kejengkelan dan kemarahan.

Pertengkaran seperti ini sering muncul diantara orang Kristen—suami dan istri, orangtua dan anak-anak, orang-orang dipekerjaan, tetangga dan pemimpin gereja. Persahabatan hancur, keluarga terpecah, gereja terbagi. Apa alasannya? Kesombongan. Kita yakin pendapat kita benar dan yang lain salah. Jika pendapat kita ditolak, kita mungkin berpikir itu mencerminkan harga diri kita. Jadi kita melawan dengan segala cara untuk memenangkan pendapat dan melindungi harga diri kita.

Salah satu alasan lagi adalah informasi yang tidak memadai. Kita mungkin terlalu cepat menilai orang lain. Kita membentuk pendapat yang didasarkan atas pengalaman tertentu, atau kita mempercayai pendapat orang lain terhadap orang itu, dan langsung menyimpulkan motivasi mereka. Sekali penilaian kita terbentuk, kita cenderung melihat apapun yang mereka lakukan, katakan dengan kaca mata prasangka dan pendapat penilaian kita. Itu bisa membawa kepada kesalah pahaman yang berulang. Kita mengasumsikan hal itu karena orang itu sudah pernah salah diwaktu lalu, mereka pasti salah sekarang. Kita menolak untuk mempercayai bahwa manusia bisa bertumbuh dan berubah.

Tapi alasan paling umum atas perselisihan antar orang percaya adalah kurang komunikasi, terutama sekali kita gagal membagikan perasaan kita. Kita lebih mudah menuduh, menegur atau menghukum yang lain, bertengkar untuk hal sepele atau berkeras melakukan suatu hal dengan cara kita, daripada mengakui dengan jujur sakit hati kita, ketidakamanan kita, rendah diri, kekhawatira, keegoisan atau iri hati. Kita tidak ingin terlihat buruk, jadi kita menutupi perasaan itu.

Jika kita ingin menghindari perselisihan tajam seperti ini, ada beberapa hal yang perlu dilakukan, dan yang pertama adalah belajar mengakui perasaan kita dan membahasnya. “Saya merasa sakit hati saat kamu melakukan itu. Tapi saya ingin semuanya berjalan benar diantara kita. Bisakah kita membahasnya?” “Saya merasa direndahkan saat kamu mengatakan hal itu. Maukah kamu menjelaskan maksudnya?” Saat kita menolak untuk bicara, dan sebaliknya, membiarkan perasaan itu mendidih, ledakan pasti akan datang. Jangan biarkan itu. Bicara! Secara terbuka dan jujur bicara! Bukan tentang kesalahan orang lain, tapi tentang apa yang kamu rasakan. Tidak ada bukti bahwa Paulus dan Barnabas melakukan hal ini.

Salah Satu hal yang perlu kita lakukan adalah mengijinkan perbedaan pendapat. Tuhan tidak membuat kita sama. Kita memiliki perbedaan latar belakang dan kita berpikir berbeda tentang banyak hal. Jika Tuhan bisa menerima kita semua dengan seluruh perbedaan kita, jelas kita bisa belajar menerima satu sama lain. Untuk masalah yang sudah jelas dalam Alkitab, kita tidak bisa kompromi. Tapi kebanyakan masalah bukan tentang benar atau salah. Kita tidak bisa secara dogmatis berkata bahwa baik Paulus maupun Barnabas benar atau salah. Gereja sepertinya mempercayai Paulus (Acts 15:40). Tapi itu tidak berarti gereja menolak Barnabas. Itu hanya berarti bahwa Paulus sekarang dianggap pemimpin, bahkan di Antiokia. Cerita selanjutnya dalam Kisah Para Rasul adalah tentang Paulus, tapi ini terjadi sejak dia menjadi pemimpin dalam gereja. Roh Tuhan tidak mengatakan siapa yang salah atau benar.

Paulus punya alasan. Memang sangat mengecewakan saat seseorang yang anda percayai mengecewakan anda seperti Markus. Tapi Barnabas juga punya alasan. Tidak ada yang sempurna; juga Paulus, bahkan Petrus, Barnabas, atau Markus tidak seorangpun. Setiap orang bisa mendapat kesempatan membuktikan diri. Pertanyaannya bukan “siapa yang benar dan salah?” Tapi, “Bagaimana kita bisa bekerjasama dalam kasih untuk melaksanakan pekerjaan Tuhan yang telah dipercayakan pada kita?” Tuhan ingin kita belajar anugrah toleransi bagi sesama. Paulus dan Barnabas kehilangan hal ini.

Satu hal penting—cepat memaafkan. Kita semua manusia. Kita membiarkan nature dosa mengambil saat terbaik kita, dan kita mengatakan hal yang salah dengan cara yang salah. Kita butuh sabar dan pengertian, serta kemauan untuk memaafkan. Kita semua pernah melakukan hal bodoh. Kita ingin orang lain memaafkan kita saat kita melakukan hal itu, demikian juga kita harus berlaku sebaliknya pada mereka. Paulus dan Barnabas gagal dalam hal ini.

Akhir yang Baik

Bagian yang paling menghibur dari cerita ini adalah kepastian bahwa Tuhan kita yang mengontrol semua situasi. Setan memang bekerja, nature dosa menyala, tapi Tuhan Maha Kuasa. Dia bisa mengubah keadaan menggagalkan konflik, tapi Dia mengijinkan itu, dan Dia melakukan semua bagi mereka yang mengasihi Dia. Dia mengerjakan semua untuk kebaikan.

Disatu sisi, itu menjadi pengalaman yang mendewasakan bagi orang yang terlibat, terutama Paulus. Dia telah memberikan reaksi yang terlalu keras (lihat Acts 23:3; juga 17:16 disana bentuk kata kerjanya sama dengan dalam, “perselisihan tajam.” ). Tapi Tuhan bekerja dalam kelemahannya. Beberapa waktu kemudian dia menulis bahwa kasih “tidak pemarah” (1 Corinthians 13:5, KJV, dan sekali lagi, dia menggunakan bentuk kata kerja yang sama). Saya berpikir, saat dia menulis kata-kata itu, dia merefleksikan kembali peristiwa tidak menyenangkan itu. Perselisihan itu menolong dia melihat kelemahannya dan meminta kuasa Tuhan untuk bisa mengasihi.

Salah satu keuntungan yang Tuhan lakukan melalui konflik adalah mengirim 2 misionaris daripada hanya satu. Walau ini bukan cara terbaik mencapai tujuan, mungkin itu tidak bisa dicapai dengan cara lain. Jadi walau perselisihan itu sendiri tidak memuliakan Tuhan, hasilnya terjadi. Tuhan bisa melakukan itu pada kita juga. Dia bisa menemukan cara bahkan menggunakan kesalahan akibat kebodohan dan keegoisan kita untuk memuliakan DiriNya. Tidak ada alasan untuk dosa, tapi itu jelas mendorong kita mengingat kesalahan yang kita perbuat.

Salah satu hasil yang nyata dan penting dari perselisihan adalah suatu hidup diselamatkan untuk digunakan Tuhan. Hanya Tuhan yang tahu apa yang terjadi pada Markus jika Barnabas tidak membawa dia dibawa pengawasan dan pemeliharaan rohani dalam imannya. Bahkan Paulus kemudian mengakui bahwa Markus berguna bagi pelayanannya (2 Timothy 4:11). Itu sangat menghibur bahwa Tuhan bisa menggunakan kesalahan kita untuk mencapai sesuatu yang berguna dalam hidup kita atau dalam hidup orang lain.

Walau tidak ada bukti bahwa Paulus dan Barnabas pernah memulihkan hubungan dekat mereka, kepahitan telah dibersihkan dan mereka kembali saling menghormati. Paulus dalam suratnya yang kemudian bicara tentang kebaikan dan rasa hormatnya pada Barnabas (1 Corinthians 9:6). Dan saya percaya ada reuni besar disorga.

Tapi jangan menunggu sampai itu terjadi. Mari belajar terbuka dan jujur dengan sesama tentang perasaan kita sekarang, bicara lebih terbuka tentang mereka, menerima dan mengasihi satu sama lain saat kita berbeda, menghindari menghakimi motivasi orang lain, toleran terhadap pendapat orang lain, dan mengampuni satu sama lain dengan cepat saat nature dosa melakukan hal yang menyakitkan. Baru pernikahan bisa dipulihkan, persahabatan pulih, perselisihan didamaikan, gereja dikuatkan dan Tuhan dimuliakan.

Related Topics: Man (Anthropology), Basics for Christians, Christian Home, Forgiveness

2. Balok dan Selumbar

Kritik merupakan bagian dari hidup kita, suatu bagian dari masyarakat kita. Kita punya kritik musik, kritik seni dan kritik drama. Kita memiliki kritik pemerintahan, kritik bisnis, kritik pekerja. Saat presiden baru Amerika Serikat diangkat, bisa dimengerti dia mendapat bulan madu yang singkat, tapi kemudian kritik mulai menghantam mereka dan pola alami mulai berlangsung. Kita kelihatannya terobsesi dengan kelemahan dan kesalahan orang lain dan kita yakin kalau itu hal yang benar. Kita percaya kritik kita akan mendorong orang lain mengusahakan lebih baik lagi. Itu cara yang demokratis.

Sayangnya, kita membawa mentalitas yang sama kedalam keluarga. Kita mencoba mengubah pasangan kita dan membentuk anak kita melalui kritik. Kita sebagai orang Kristen juga membawa cara hidup yang sama kedalam gereja. Kita menegur orang Kristen yang tidak sesuai dengan harapan kita, dan kita menemukan kesalahan pemimpin kita karena tidak melakukan hal sesuai dengan cara kita. Dan kita terus berkata kalau itu hal yang benar. Itu akan membuat mereka lebih baik. Itu cara yang demokratis.

Tapi dalam pengalaman sebagai orang Kristen kita berbenturan dengan perkataan Tuhan kita Yesus Kristus di dalam kothbah dibukit tentang kritik (Matthew 7:1-5), dan kita dihadapkan dengan keputusan. Apakah kita akan meneruskan melakukannya, atau kita berubah untuk sesuai dengan kehendakNya?

Itu bisa menolong kita memutuskan jika kita mengerti apa yang sebenarnya Kristus katakan. Lihat perintah itu sendiri, peringatan yang Dia berikan dan hukuman yang diberikan jika kita tidak taat.

Perintah

Itu hanya perkataan yang singkat—“Jangan menghakimi.” Apa artinya? Kata hakim memiliki arti membedakan atau memilih. Seorang hakim mengamati bukti, menilai, kemudian memilih kesimpulan tertentu. Itu bisa positif. Itu juga bisa berarti persetujuan, pembebasan. Dan bahkan penghukuman negative juga diperlukan pada saatnya. Dalam bagian ini, Yesus menunjukan bahwa orang itu yang hidupnya murni bisa mengambil selumbar dari mata saudaranya (Matthew 7:5). Itu merupakan bentuk penghakiman yang akan kita hadapi dalma bab berikut—menolong saudara siman mengatasi kesalahannya.

Dalam ayat berikutnya (v. 6) Yesus berkata, “Jangan kamu memberikan barang yang kudus kepada anjing dan jangan kamu melemparkan mutiaramu kepada babi, supaya jangan diinjak-injaknya dengan kakinya, lalu ia berbalik mengoyak kamu.” Kristus menggunakan anjing dan babi untuk menggambarkan orang najis yang memperlakukan hal rohani dengan hina. Untuk taat pada ayat itu, kita jelas harus membuat penghakiman. Kita harus memutuskan siapa anjing dan babi itu. Kemudian Yesus berkata, “Janganlah menghakimi menurut apa yang nampak, tetapi hakimilah dengan adil” (John 7:24). Itu merupakan perintah untuk menghakimi dengan adil dan atas dasar kebenaran dan fakta daripada tampak luar, yaitu dalam hal menghakimi. Apakah Yesus berlawanan dengan dirinya? Jelas tidak. Apa maksudNya yang sebenarnya?

Kebanyakan penafsir Alkitab harus setujua bahwa Dia sedang memperingatkan kita tentang semangat mencari-cari kesalahan, prilaku negative yang menyebabkan kita menyalahkan orang lain karena hal yang kita tidak suka dalam mereka, menuduh mereka, menyalahkan mereka dan mengeluhkan mereka karena mereka tidak memenuhi harapan kita. Hal ini menunjukan dua kesalahan: Pertama, kita cenderung untuk menekankan kesalahan orang lain daripadan kekuatannya. Kedua, kita cenderung menekankan kesalahan orang lain daripada diri kita. Satu kata yang merangkum semua itu adalah kritik. Kenapa Yesus menyuruh kita untuk tidak menekankan kesalahan orang lain? Apakah dia melihat kita semua cenderung untuk melakukan hal itu?

Yesus Kristus adalah Allah yang Maha Tahu dalam daging. Dia mengetahui hati kita, dan jelas Dia tahu kalau kita membutuhkan peringatan ini dalam tingkatan tertentu. Ini merupakan salah satu dosa umum diantara orang Kristen, olahraga dalam ruangan (atau luar ruangan) yang kita senangi. Saya ingat pernah membaca suatu kisah tentang Ozark duduk ditoko melolong, seperti yang sering dilakukannya. Orang asing masuk dan bertanya pada petugas toko, “Apa yang terjadi dengan anjing itu?” “Dia sedang duduk diatas sebuah cocklebur,” jawabnya. “Kenapa dia tidak melepaskan diri?” “Karena dia lebih suka berteriak.” Saya takut ada orang Kristen seperti itu. Mereka senang berteriak satu sama lain tentang hal yang tidak mereka sukai. Kenapa kita melakukan itu?

Alasan yang paling umum adalah keegoisan. Apa yang orang lain lakukan sering tidak membuat kita nyaman, menghabiskan uang dan waktu, melakukan sesuatu berlawanan dengan keinginan kita atau tidak setuju dengan kita yang sangat menghargai waktu. Kita ingin semua lancar, menyenangkan dan sesuai bagi kita, jadi kita menemukan kesalahan mereka yang berbuat selain dari itu. Sebagai contoh, saya memiliki rencana untuk sora hari, tapi saat saya pulang kerja istri saya belum membuat makan malam. Saya mengkritik dia untuk pengaturan waktu yang tidak baik karena dengan keterlambatan ini menunda apa yang sudah saya rencanakan. Kita mungkin mengkritik teman sekamar karena kamar mandi yang kotor, karena kita harus membersihkannya. Kita mungkin mengkritik pastor karena dia tidak mengatur kothbahnya seperti yang kita inginkan, dan karena itu kita harus bekerja lebih keras untuk mengertinya.

Salah satu alasan lagi untuk kritik adalah itu bisa berasal dari rendah diri kita, yang muncul dalam bentuk kesombongan. Menyerang orang lain untuk memuji diri kita; itu memberi kita rasa lebih baik. Jika kita bisa menunjukan pada yang lain kegagalan mereka, itu membuat kita merasa lebih pintar dari mereka dalam hal itu. Saat kita mengkritik pasangan kita, kita sebenarnya berkata, “Aku tidak seburuk yang kamu pikir, Aku mungkin lebih baik dari kamu.”

Dalam penyelidikannya tentang arti kasih, Dr. Ed Wheat menulis, “Ingat, anda tidak akan pernah bisa meningkatkan atau menyalakan kembali emosi kasih melalui menimbun rasa kegagalan atas diri pasangan anda. Saya tidak melebih-lebihkan hal ini. Jangan pernah meletakan rasa bersalah atas pasangan anda..”1 Dan sekali lagi, “… mengerti kesalahan dan jangan pernah mengkritik.”2 Itu nasihat yang baik. Itulah makna perkataan Yesus—“Jangan menghakimi.”

Pernakah anda bertanya kenapa kritik merupakan kebiasaan bodoh? Disatu sisi, pengenalan kita terhadap orang lain hanya sebagian. Kita tidak tahu semua fakta. Kita mungkin tidak tahu kenapa mereka mengatakan atau melakukan hal yang kita kritik. Kita tidak tahu tekanan apa yang mereka hadapi, pengaruh yang membentuk mereka, kekuatan cobaan yang ditempatkan dijalan mereka, motivasi yang menyebabkan tindakan mereka. Hanya Tuhan yang mengetahui semua fakta dan bisa menilai dengan akurat, jadi Dialah satu-satunya yang berhak untuk mengkritik. Saat kita melakukan itu, kita berperan sebagai Tuhan.

Disisi yang lain, penghakiman kita bisa salah. Bahkan sekalipun kita mengetahui semua fakta, kita bisa menafsirkannya secara salah. Kita sebagai manusia bisa salah. Anggota juri, bisa mendengar fakta yang sama disidang, tapi bisa menghasilkan kesimpulan yang berbeda. Hanya Tuhan yang bisa melihat semua fakta dengan benar. Jadi Dialah satu-satunya yang memiliki hak untuk mengkritik. Saat kita melakukannya, kita berperan sebagai Tuhan.

Alasan ketiga kritik merupakan kebodohan adalah kita tidak bertanggung jawab atas apa yang orang lain lakukan. Kita bukan tuan mereka. Paulus menulis “Siapakah kamu, sehingga kamu menghakimi hamba orang lain? Entahkah ia berdiri, entahkah ia jatuh, itu adalah urusan tuannya sendiri” (Romans 14:4). Kita hanya bertanggung jawab atas tindakan kita sendiri. “Demikianlah setiap orang di antara kita akan memberi pertanggungan jawab tentang dirinya sendiri kepada Allah. Karena itu janganlah kita saling menghakimi lagi!” (Romans 14:12,13). Saat kita melakukannya kita berperan sebagai Tuhan.

Alasan keempat kritik merupakan kebodohan adalah itu menghancurkan daripada membangun. Saat itu diarahkan kekita, itu tidak membuat kita berubah lebih baik, tapi memberi dampak berlawanan. Itu menyebabkan kita mempertahankan diri, membenarkan tindakan kita, mencoba membuktikan bahwa kita tidak seburuk tuduhan itu. Itu mensabotase pertumbuhan rohani kita. Kritik membawa keputusasaan dan mengasihani diri. Kita merasa bersalah karena kita pikir kita tidak akan bisa memuaskan kritik kita dan karena kita harus menderita tuduhan tidak adil dari dia. Kita jarang bertumbuh saat kita sedang merajuk. Kritik juga menghancurkan hubungan. Itu memisahkan dan membangun tembok diantara mereka. Saya merasa kritik itu tidak menyenangkan, jadi kecenderungan kita adalah menghindari orang yang melakukannya. Beberapa suami dan istri saling menjauhkan diri karena alasan itu dan pernikahan mereka akhirnya gagal. Mereka mengembangkan kebiasaan saling mengkritik tindakan dan ucapan pasangannya. Sebagai hasilnya, suami terlambat kerja, kemudian kabur ketempat lain untuk menghindari rumah. Istri lebih banyak menghabiskan waktu dengan teman dan tetangga atau mencari kesenangan lain diluar untuk memenuhi pikirannya. Mereka berdua menginginkan kedekatan dan intimasi, tapi semangan kritik mereka membuat tembok diantara mereka.

Saya bisa mengatakan satuh hal terakhir alasan kita harus menghindari kritik. Itu memusnahkan energi yang seharusnya digunakan untuk kemuliaan Tuhan. Kita semua tahu bahwa kita harus percaya Tuhan saat kita dikritik, tapi kita juga manusia. Kita menghabiskan banyak waktu memikirkan dan mengkhawatirkan tentang perkataan tidak enak dari orang lain terhadap kita, dan itu mengeringkan kita secara emosi. Itu mungkin membuat kita terjaga dimalam hari dan sangat mempengaruhi kerja kita besok harinya. Seperti yang sudah kita ketahui, kritik sering diarahkan pada pemimpin Kristen—pastor, tua-tua, majelis dalam gereja. Sedewasa apapun mereka, itu tetap menyakitkan dan menghalangi kemampuan mereka untuk melayani secara efektif. Mereka perlu belajar bagaimana menerima kritik, tapi itu tidak menghilangkan tanggung jawab orang yang melontarkannya. Mereka akan bertanggung jawab pada Tuhan untuk kerusakan yang mereka lakukan terhadap pekerjaan Tuhan.

Kritik negative merupakan racun yang membunuh semangat pemimpin Kristen dan menghalangi mereka mengembangkan pekerjaan Tuhan. Itu merupakan penyakit yang menular yang menyebar diantara umat Tuhan, dan bisa mengubah komunitas kasih orang percaya menjadi ladang pertempuran. Itu merupakan martil yang menghancurkan pernikahan, dan kehidupan. Itulah alasan Yesus berkata, “Jangan menghakimi.” Berhenti berdiam atas kelemahan orang lain.

Peringatan

Perhatikan apa yang Yesus tambahkan atas seruan untuk tidak menghakimi—“supaya kamu tidak dihakimi” (Matthew 7:1). Dia terus menjelaskan peringatan ini dalam ayat berikutnya, “Karena dengan penghakiman yang kamu pakai untuk menghakimi, kamu akan dihakimi dan ukuran yang kamu pakai untuk mengukur, akan diukurkan kepadamu.” Ini yang kita sebut sebagai prinsip boomerang. Kita mendapat apa yang kita lakukan pada orang lain. Jika kita memberi mereka kritik negative, menuduh mereka, memarahi mereka, dan menghakimi motivasi mereka, kita tidak akan menikmati hasilnya. Disatu sisi, mereka akan menghakimi kita terlalu kritis dan mulai menjauhi kita, kebalikan dari harapan kita.

Mari saya ilustrasikan apa maksud saya. Mitos Yunani menceritakan seorang dewa bernama Momus yang merupakan dewa yang suka mengejek. Tidak peduli semua dewa lain digunung Olimpus memuji seseorang, Momus mengkritiknya. Satu kali Jupiter, Minerva dan Neptune mengadakan suatu kontes untuk melihat siapa yang bisa membuat hal yang paling sempurna. Cerita berlangsung, Jupiter membuat manusia, Neptune banteng dan Minerva kuda. Momus menemukan kesalahan dalam manusia karena dia tidak memiliki jendela didadanya dimana pikiran jiwanya bisa terbaca. Dia mengkritik banteng karena tanduknya tidak dibawah mata agar bisa melihat apa yang diterjangnya, dan kuda karena tidak ada kendali sehingga bisa disingkirkan dari tetangga yang buruk. Momus menjadi tidak popular diatara dewa lain sehingga akhirnya mereka membuangnya dari gunung.

Sebagian dari kita bertanya kenapa orang menghindari kita dan kenapa lingkaran teman kita menghilang. Bisakah itu karena kita mendorong mereka melalui kesalahan mereka? Mereka mungkin memperlakukan kita seperti itu juga, mengkritik kita karena kita mengkritik mereka, menjauhkan kita, “Jangan menghakimi supaya kamu tidak dihakimi.”

Saat kita menghakimi seseorang, kita biasanya memberikan standar yang tinggi padanya. Dia akan menggunakan standar yang sama untuk menghakimi kita. Dan Tuhan bisa berlaku sama seperti itu. Ukuran yang kita gunakan bagi yang lain bisa menjadi ukuran Tuhan bagi kita. Apakah anda mengertai kenapa? Karena kita umumnya melakukan hal yang sama seperti orang lain lakukan.

Paulus menyatakan prinsip ini: “Karena itu, hai manusia, siapapun juga engkau, yang menghakimi orang lain, engkau sendiri tidak bebas dari salah. Sebab, dalam menghakimi orang lain, engkau menghakimi dirimu sendiri, karena engkau yang menghakimi orang lain, melakukan hal-hal yang sama” (Romans 2:1). Dia mengatakan hal ini pada orang Yahudi yang menghakimi non Yahudi karena dalam hal yang sama mereka juga bersalah, tapi pernyataan ini merupakan pengertian mendalam terhadap nature manusia. Hal yang paling kita kritik dalam diri orang lain biasanya merupakan hal yang kita sendiri juga kurang. Kita tidak menyukai hal itu, tapi kita cenderung mengabaikannya. Melihan hal itu dalam diri orang lain mengingatkan kita, tapi daripada menghadapinya dalam hidup kita, kita menfokuskan perhatian pada orang lain. Selama kita melakukan ini, kita tidak bisa mengabaikan untuk merubah diri kita. Dan jika kita bisa memperhatikan itu, itu tidak akan memberi tekanan pada kita untuk berubah.

Tapi itu tidak akan berhasil. Prinsip boomerang kembali kekita. Saat kita menyatakan kekurangan mereka, yang lain bisa berkata pada kita, “Oh, jadi itu masalahmu?” Mungkin anda pernah mendengar seseorang berkata, “Anda seorang penggosip yang kejam.” Dalam segala hal dia merupakan orang yang terus menjelekan orang lain. Orang yang sangat keras pada orang lain biasanya memiliki banyak hal yang disembunyikan. Sebagai contoh, atasan yang paling keras terhadap bawahan yang kemudian menjadi pencuri, biasanya seorang yang menyembunyikan kesalahan besar dalam bisnis. Pemimpin gereja yang paling menghakimi orang percaya yang terlibat dosa mungkin menyembunyikan dosanya sendiri.

Tapi itu tidak bisa terus disembunyikan. Jika kita tidak mengatasinya, Tuhan pasti. “Jangan kamu menghakimi, supaya kamu tidak dihakimi. Karena dengan penghakiman yang kamu pakai untuk menghakimi, kamu akan dihakimi dan ukuran yang kamu pakai untuk mengukur, akan diukurkan kepadamu” (Matthew 7:1,2).

Kontradiksi

Kristus menambahkan satu hal lagi mengenai kritik, yaitu orang yang tidak sempurna menunjuk ketidaksempurnaan orang lain. Kristus menekankan kekonyolan itu saat Dia berkata, “Mengapakah engkau melihat selumbar di mata saudaramu, sedangkan balok di dalam matamu tidak engkau ketahui? Bagaimanakah engkau dapat berkata kepada saudaramu: Biarlah aku mengeluarkan selumbar itu dari matamu, padahal ada balok di dalam matamu?” (Matthew 7:3,4). Kata butir datang dari kata kerja yang artinya “mengeringkan” Itu menunjuk pada materi kecil yang bisa masuk pada mata, seperti debu, kapur, jerami, atau wol. Itu bisa menunjuk pada hampir semua hal yang kecil. Balok sangat tepat, suatu papan berat yang biasa digunakan untuk palang dalam bangunan. Ada pelajaran bagi kita dari balok dan selumbar.

Bisakah anda membayangkan seseorang dengan balok menyangkut dimatanya—suatu potongan kayu, batang pohon, atau kayu bangunan? Dan dia sedang mencoba mengeluarkan debu dari mata temanya. Itu suatu pemandangan yang lucu. Dan itulah maksud Tuhan. Orang yang malang dengan butiran debu dimatanya bisa berakhir tidak ada mata, dan benjol dikepalanya, dan kehilangan gigi, dan mungkin yang lebih besar lagi. Maksudnya adalah kita biasanya menyalahkan sesuatu yang kita sendiri melakukannya, dan orang lain terlukan saat kita mencoba memperbaiki mereka sebelum kita memperbaiki diri kita dulu.

Seseorang yang menyalahkan orang lain tapi sebenarnya lebih salah dari orang itu disebut munafik. Kata Yesus, “Hai orang munafik, keluarkanlah dahulu balok dari matamu, maka engkau akan melihat dengan jelas untuk mengeluarkan selumbar itu dari mata saudaramu” (Matthew 7:5). Seorang munafik adalah wanita yang berkata, “Jika suami saya lebih bertanggung jawab, pernikahan kita akan meningkat,” dimana dia sendiri tidak memenuhi tanggung jawabnya. Atau seorang pria yang berkata, “Kita bisa lebih bahagia jiwa istri saya belajar menghargai uang,” disaat dia baru membeli senapan baru, atau satu set peralatan golf. Seorang munafik adalah seorang yang berkata,”Gereja tidak memikirkan memenangkan jiwa,” dimana dia sendiri tidak membawa orang kepada Kristus. Atau “Gereja itu tidak peduli pada manusia,” dimana dia sendiri hampir tidak mungkin disuruh menolong orang lain. Seorang munafik adalah pastor yang menulis keluhan pada dewan misi tentang seorang misionaris yang sering mendengar pertandingan sepak bola melalui radio, dimana dia sendiri penggemar olahraga terbesar digerejanya.

Biarlah Tuhan membuat kita melihat hidup kita sendiri dan membuat kita terlibat dalam kritik diri yang jujur. Kapanpun anda menyalahkan orang lain, minta Tuhan menunjukan kesalahan anda sendiri. Kemudian minta Dia menolong anda bertumbuh dalam wilayah itu. Berdoalah seperti Daud, “Selidikilah aku, ya Allah, dan kenallah hatiku, ujilah aku dan kenallah pikiran-pikiranku; lihatlah, apakah jalanku serong, dan tuntunlah aku di jalan yang kekal!” (Psalm 139:23,24, KJV). Doa itu akan menjaga kita tidak terlalu kritis pada orang lain. Dan itu membawa kesembuhan dalam hidup kita dan hubungan kita.


1 Ed Wheat, Love Life for Every Married Couple (Grand Rapids: Zondervan Publishing Company, 1980), p. 126.

2 Ibid., p. 141

Related Topics: Man (Anthropology), Basics for Christians, Christian Home

3. Memperbaiki Jaring

Saya tidak suka mengakuinya, tapi memang saya tidak selalu senang dengan istri saya. Dan dia juga berkata hal yang sama “Amin” Tapi, mungkin anda memang sudah mengetahuinya. Saya dan dia manusia, dan 2 manusia tidak selalu bisa menyenangkan satu sama lain. Tapi Tuhan ingin saya menyenangkan istri. Ada beberapa hal yang harus saya lakukan tapi tidak saya lakukan. Apa yang bisa dia lakukan untuk membantu saya bertumbuh? Bagaimanapun, Yesus berkata dia tidak seharusnya mengkritik saya.

Setiap hari, konselor Kristen mendengar begitu banyak keluhan istri terhadap suaminya: “Dia tidak mengasihi saya. Dia tidak mau bicara. Dia bukan pemimpin rohani dirumah. Dia tidak memberi cukup waktu dengan anak-anak. Dia tidak memperbaiki hal-hal dirumah. Dia tidak memberi tahu saya saat dia terlambat. Dia membelanjakan uang untuk hal yang tidak penting.”

Suami punya daftar keluhan juga: “Dia merengek-rengek pada saya. Dia berteriak pada anak. Dia tidak menjaga rumah tetap bersih. Dia terganggu untuk hal kecil. Dia tidak menjaga penampilan pribadinya. Dia menjelekan saya dihadapan temannya. Dia tidak tertarik pada saya secara fisik.”

Apa yang harus kita lakukan terhadap hal ini? Ada 2 hal umum yang sangat merusak. Pertama, menekan perasaan kita dan menderita diam-diam. Kita semua tahu, seorang istri yang kelihatan memberikan diri pada suaminya sepanjang waktu. Tapi biasanya menemukan cara halus dalam membalas, sehingga suami tidak bisa mendapat keinginannya (seperti sakit kepala saat tidur), dan dia memiliki rencana cerdik (seperti menangis) untuk memanipulasi suami melakukan apa yang diinginkannya. Kita mungkin juga mengenal seorang suami yang mengurung diri. Tapi dia juga, punya cara untuk menyamakan kedudukan (seperti mendiamkan istrinya), atau mendapat bisul, atau keluar dan melakukan affair. Menekan pikiran, perasaan, keinginan kita bukanlah jawaban.

Disisi lain adalah seorang yang dengan bebas menyatakan semua ketidaksenangannya. Dia sering menyatakan apa yang dia pikir mengenai seseorang. Dia membanggakan kejujurannya. Dia mengatakan seperti adanya! Dia bisa menyatakan dengan baik kesalahan orang lain. Tapi yang sebenarnya ialah dia hanya peduli pada dirinya sendiri, dan keterbukaannya adalah cara untuk membuat orang melakukan apa yang dikehendakinya. Dia yang sepertinya terbuka sebenarnya berselubung kemarahan. Itu mungkin berhasil membuat orang lain melakukan permintaannya, tapi umumnya harganya menyakitkan mereka atau menghancurkan harga diri mereka. Itu bukan kasih yang membangun yang seharunya kita nyatakan dalam Alkitab.

Jika tidak satupun pilihan diterima, maka apa yang harus kita lakukan terhadap kesalahan orang lain? Ada beberapa bagian Alkitab yang bisa menolong kita menjawabnya, tapi tidak ada yang lebih menolong daripada Galatians 6:1: “Saudara-saudara, kalaupun seorang kedapatan melakukan suatu pelanggaran, maka kamu yang rohani, harus memimpin orang itu ke jalan yang benar dalam roh lemah lembut, sambil menjaga dirimu sendiri, supaya kamu juga jangan kena pencobaan.” Ayat ini mengandung setidaknya 5 prinsip untuk menghadapi kesalahan orang lain.

Jujur Terhadap Kesalahan

Kesalahan pasti ada. Dalam konteksnya, Paulus mungkin menghadapi seseorang yang jatuh dan membawa aib bagi nama Kristus serta kesaksian gereja. Orang percaya lain dalam jemaat tidak boleh mengabaikannya dan berharap semua itu akan hilang. Mereka mengakui apa kesalahannya. Kata itu berarti “salah langkah, kesalahan, eror.” Itu mungkin tidak disengaja atau sudah direncanakan sebelumnya, tapi itu sesuatu yang harus diwaspadai. Itulah implikasi dari kata “kedapatan.”

Walau tujuan utama Paulus mungkin pada dosa, kata yang dia pilih bisa dimasukan juga pada semua kesalahan dalam diri kita semua. Teman kita dan pasangan kita biasanya tidak mencoba merendahkan, menyakiti, mengganggu, mempermalukan kita atau membuat kita marah untuk suatu tujuan. Mereka mungkin tidak sadar apa yang mereka lakukan. Mereka mungkin tidak tahu harus berlaku seperti apa atau apa yang Tuhan harapkan atas mereka. Mereka mungkin tidak mengerti kalau Dia ingin mereka lebih bijak dan memperhatikan kepentingan orang lain daripada diri sendiri. Tapi mereka tetap bisa salah. Mereka gagal memenuhi standar Tuhan dalam hidup mereka.

Penting untuk memperhatikan bahwa kita tidak bicara tentang kebiasaan kita, hal yang tidak menyenangkan kita atau menyulitkan kita. Kita menunjuk pada suatu kesalahan, sesuatu yang Tuhan ingin kita ubah. Jujurlah dengan hal itu. Akui sejujurnya.

Sebagian dari kita berpikir mungkin lebih rohani untuk mengabaikannya dan diam-diam membiarkan hal itu. Kenyataannya, kita mungkin takut kalau berkata sesuatu akan membawa pada suatu perdebatan dan membuat kita merasa tidak dikasihi dan tertolak, yang lebih buruk dari kesalahan itu sendiri. Atau kita meyakinkan diri kita bahwa orang lain tidak mengerti apa yang akan kita katakan. Kita pikir hubungan akan lebih baik jika kita mengabaikan itu. Itu mungkin benar jika kita benar-benar bisa mengabaikannya, jika kita bisa melupakan selamanya apa yang pernah terjadi. Tapi umumnya tidak. Kita membiarkan hal itu menggerogoti kita. Dan tubuh kita terus sakit dan menderita, dan membuat kita secara fisik sakit. Atau kita membiarkan kemarahan menumpuk dan keluar dalam cara yang tak terduga, menghancurkan hubungan kita. Atau itu meledak dalam kemarahan dan kata-kata yang tidak baik yang menjauhkan orang dari kita. Mengabaikan hal itu bukan jawaban.

Lebih jauh, mengijinkan kita dipermainkan atau menjadi korban kesalahan orang lain adalah membiarkan prilaku berdosa dan egois mereka, yang akan melibatkan orang lain juga (atau memang sudah melibatkan orang lain). Jadi untuk kebaikan orang lain dan hubungan kita dengannya, juga agar orang lain tidak terluka, kita harus berhenti membuat alasan bagi dia dan berjalan dengan dia, berharap semua hal jadi baik. Kita perlu jujur akan kesalahannya dan menghadapinya. Tapi tunggu beberapa menit sebelum membuka mulutmu. Ada syarat yang harus dipenuhi dulu.

Persiapkan Hatimu

Paulus menyebut orang yang layak berurusan dengan kesalahan orang lain, “kamu yang rohani” (Galatians 6:1). Itu tidak berarti kita harus sempurna sebelum kita bisa berurusan dengan kesalahan mereka. Jika begitu maka tidak ada yang bisa melakukannya. Itu berarti hidup kita dipimpin oleh Roh Kudus. Kita berjalan dengan Roh. Kita harus yakin kalau Roh Tuhan memenuhi dan mengatur hidup kita. Orang yang rohani peka terhadap kehendak Tuhan, taat pada FirmanNya, dimotivasi oleh keinginan untuk menyenangkanNya daripada diri sendiri, dan mengijinkan Roh Kudus menghasilkan buahNya dalam hidup.

Mengijinkan Roh Tuhan mengatur hidup kita adalah menolong kita mendekati orang itu dengan cara yang bisa membawa kesembuhan daripada sakit hati dan konflik. Jika kita jujur, kita mungkin mau mengakui kalau kita sering dimotivasi untuk berurusan dengan kesalahan orang lain agar bisa menyamakan kedudukan, menyingkirkan ketidaknyamanan pribadi, membuat diri sendiri lebih baik dari mereka, atau membela diri. Semua motivasi itu bukan dari Roh Kudus dan akan membawa perselisihan. Orang yang rohani dimotivasi oleh kasih. Dia ingin membangun orang lain daripada menghancurkannya. Dia ingin menguatkan hubungan daripada membuat orang lain bermusuhan atau menjauhinya; kalau begitu, keduanya kalah. Tapi saat kita menghadapinya dalam kasih untuk membangun orang lain, mereka merasakan kasih itu, dan itu menjadi sedok yang mempermudah masuknya obat.

Lebih jauh, orang yang rohani juga harus memiliki telinga untuk mendengar. Catatan pribadinya menunjukan walau dia tidak sempurna, dia sedang bertumbuh. Dia mengijinkan Roh Tuhan membentuknya. Dia tidak mencoba mengambil debu dimata orang lain tapi dimatanya ada balok. Dia berurusan dengan baloknya. Jika kita mau bicara dengan siapapun tentang kesalahan mereka, kita perlu membereskan kita punya dulu. Kita perlu menyiapkan hati dan hidup kita. Tapi saat kita siap menghadapinya, kita harus tahu apa tujuannya.

Tujuannya Pemulihan

“Saudara-saudara, kalaupun seorang kedapatan melakukan suatu pelanggaran, maka kamu yang rohani, harus memimpin orang itu ke jalan yang benar …” (Galatians 6:1). Kata memulihkan memiliki arti “meletakan pada kondisi yang tepat.” Diluar PB, memulihkan berarti meletakan tulang ditempatnya. Dalam injil itu digunakan untuk memperbaiki jaring (Matthew 4:21; Mark 1:19). Tujuan jaring ikan adalah untuk menjaring ikan. Jika jaringnya rusak, mereka tidak bisa menangkap banyak ikan. Ikan akan keluar melalui lubang. Jaring yang robek perlu diperbaiki.

Salah satu tujuan Tuhan untuk hidup saya adalah membawa orang kepada Kristus dan melayani kebutuhan orang lain—istri saya, anak saya dan anggota Tubuh yang lain. Saat hidup saya robek oleh kesalahan, saya tidak bisa melayani banyak kebutuhan. Saya harus diperbaiki. Dan perbaikan itu tidak bisa terjadi kecuali saya mengakui kesalahan saya.

PB menggunakan 2 kata utama untuk menggambarkan konfrontasi itu. Salah satunya adalah admonish. Itu secara literal berarti “meletakan dalam pikiran,” tapi itu memiliki ide menghadapi kesalahan seseorang dan memperingatkan dia tentang akibat jika terus melakukannya. Alkitab berkata kita harus saling menegur (Romans 15:14; Colossians 3:16). Tujuannya jelas bukan untuk memenangkan sesuatu, menyalahkan orang lain, membuktikan kita benar dan dia salah. Tujuannya adalah membawa pemuliha bagi yang bersalah, dan menyembuhkan hubungan kita. Itu untuk memperbaiki jaring. “Nasihati yang hidup tidak tertib,” Paulus berkata pada jemaat Tesalonika (1 Thessalonians 5:14). Itu untuk memulihkan harmoni persekutuan.

Kata kedua dalam PB untuk konfrontasi adalah rebuke, sering diterjemahkan “menegur” Itu artinya “menerangi, menelanjangi, menampakan; meyakinkan.” Itu artinya mengatakan kesalahannya sehingga dia yakin dan ingin memperbaikinya. Itulah kata yang digunakan Yesus dalam suatu bagian tentang menghadapi saudara yang bersalah: “tegorlah dia di bawah empat mata” (Matthew 18:15).3 Sekali lagi, tujuannya bukan membuat kita terlihat baik dan dia terlihat buruk, tapi memulihkan hubungan yang benar diantara kita—memperbaiki jaring. “Jika dia mendengarkanmu,” tambah Yesus, “Kamus sudah memenangkan saudaramu.”

Umpamakan anda istri Kristen marah-marah pada suamimu saat pulang dari pesta. Suasana dimobil begitu pekat sehingga anda bisa memotongnya. Dia terbang dari satu orang keorang lain sepanjang malam, kebanyakan wanita, dan meninggalkan anda sendiri. Dia tidak bicara banyak dengan anda sepanjang malam. Anda sedang berpikir apa yang akan anda katakan. “Wow, kamu benar-benar terlihat bodoh malam ini. Setiap orang melihat penggoda besar malam ini—Mr. Casanova. Menggoda semua wanita! Kamu sama sekali tidak mempedulikan aku kan?” Itukah yang ingin anda katakan? Apakah kata-kata itu bisa memulihkan? Sulit! Itu hanya menyatakan pikiran anda. Tapi itu semua tuduhan dan menyalahkan. Dan itu akan menjadi peperangan dan tangisan dimalam peperangan. Itu akan menggagalkan prinsip berikut.

Menjaga Sikap yang Tepat

Paulus menjelaskan bagaimana memulihkan orang percaya yang bersalah. Harus “dalam roh yang lemah lembut” (Galatians 6:1). Lemah lembut harus diperlakukan pada orang lain walau mereka salah. Itu memampukan kita untuk menjaga diri saat nature manusia menyuruh kita membalas mereka, menyakiti mereka sama seperti yang sudah mereka lakukan pada kita. Itu menjauhkan kita dari penyerangan bahwa saat kita memiliki senjata untuk menang. Itu kuat mengontrol, seperti kuda dalam kekang. Itulah prilaku yang memulihkan.

Ahli komunikasi konsisten dengan Firman Tuhan tentang hal ini. Mereka mengatakan bahwa kita jangan menuduh saat kita berhadapan dengan orang alin. Itulah yang dilakukan kelemah lembutan. Salah satu cara adalah berfokus pada apa yang kita rasakan dan apa yang kita inginkan daripada apakah orang itu sudah melakukan kesalahan. Kita melakukan ini dengan pernyataan “Saya” daripada “Kamu”. Mari coba satu contoh. Bagaimana rasanya pernyataan ini? “Kamu sangat tidak bijak”. “Kamu tidak mencintai aku kan?” “Kamu tidak pernah bicara dengan aku” “Kamu terdengar seperti ibumu” “Kamu tidak memasak dengan baik selama 6 bulan.” “Kamu pikir kamu sudah melakukan semuanya.” Pernyataan “Kamu” umumnya mengandung serangan pada harga diri seseorang. Serangan menimbulkan pertahanan, dan pertahanan menimbulkan pertengkaran.

Tapi tidak ada yang membantah pernyataan “Saya”. Dari pada “Kamu tidak memikirkan aku saat terlambat,” cobalah katakan seperti ini “Saya merasa sendiri dan tertolak saat kamu terlambat. Saya sangat ingin kamu dirumah.” Itu menjelaskan perasaanmu dan apa yang anda inginkan. Itu bukannya meremehkan. Itu bukan untuk menghakimi. Tidak ada orang yang memperdebatkan perasaan anda atau keinginan anda, jadi tidak ada yang dipertengkarkan. Kita menghadapi semua kesalahan, tapi kita melakukannya tanpa menimbulkan serangan atau tuduhan. Kita melakukan itu dengan lemah lembut.

Baik untuk diingat bahwa sekali kita menyatakan keinginan kita pada orang lain, kita menyerahkan keputusannya pada mereka. Daripada mengurung mereka dalam harapan kita, dan mencoba memaksa mereka memenuhi keinginan kita melalui manipulasi atau tekanan, kita percayakan pada Tuhan untuk bekerja dalam hati mereka sekehendakNya. Kita berusaha berfokus memenuhi kebutuhan mereka bukan kita.

Roh kelemah lembutan akan menolong kita menghindari pertanyaan menipu yang meletakan orang kedalam perangkap, terutama pertanyaan yang dimulai dengan “kenapa” “Kenapa kamu begitu malas?” “Kenapa kamu mau menolong saya?” Kenapa kamu tidak membersihkan ruanganmu?” “Kenapa kamu tidak mengurusi bagianmu sendiri?” Tidak ada orang yang ingin menjawab pertanyaan itu. Menjawabnya berarti mengakui kesalahan, dan mereka tidak siap untuk itu. Selain itu, tidak peduli apa yang mereka katakan, kita mungkin membantahnya dan mengatakan bahwa alasannya tidak cukup. Mereka tidak bisa menang dan mereka tahu itu. Pertanyaan seperti itu egois dan tidak kasih dan bijak terhadap orang lain. Itu tidak mencerminkan lemah lembut. Pertanyaan bisa tepat saat motivasi kita dimengerti orang lain dengan benar, tapi tidak saat kita menggunakannya sebagai perangkap.

Kelemah lembutan akan menolong kita menjaga nada yang benar. Nada bicara kita bisa sangat menuduh. Beberapa ahli komunikasi memperkirakan bahwa 90 persen perselisihan dalam kehidupan sehari-hari disebabkan nada suara yang tidak tepat. Seorang manejer personalia yang memimpin suatu pemilihan suara menemukan bahwa mereka tidak sakit hati terhadap kritik atasan tapi terhadap caranya—sering secara sarkasme, atau kasar. Kita lebih baik bicara secara baik dan bijak.

Bahkan anak kita menghargai cara bicara yang ramah. Anda bisa berkata pada anak anda, “Papa suka kamu mematikan lampu kalau sudah selesai menggunakannya.” Atau, anda bisa bicara dengan kasar, “Papa ingin kamu mematikan lampu kalau sudah seleasi!” Tidak sulit menentukan yang mana yang mempertimbangkan perasaan anak dan yang untuk mencurahkan frustrasi anda, yang mana yang membangun tanggung jawab dan yang membangun kemarahan. Siapapun yang kita ajak bicara, bijaklah memperhatikan respon orang itu. Jika kita melihat kebencian, lebih baik mengulangi perkataan kita dalam pikiran dengan nada yang sama. Kita mungkin mendeteksi kurangnya lemah lembut. Itu saatnya meminta maaf, dan berkata kembali, dengan lemah lembut.

Kelemah lembutan juga mendorong kita melihat apa yang kita sebut “prinsip sandwich,” yaitu, menyisipkan usulan diantara pujian. Yesus melakukan itu saat dia menghadapi gereja Efesus. Pertama, Dia berkata kalau Dia mengetahui usaha keras dan ketekunan mereka (Revelation 2:2,3). Itu suatu pujian. Kemudian dia menghadapkan mereka dengan hal meninggalkan kasih mereka mula-mula (Revelation 2:4,5). Itulah konfrontasinya. Diakhir Dia mengakui bahwa mereka membenci Nicolaitans (Revelation 2:6). Itu pujian lagi.

Itu merupakan teladan yang baik untuk diikuti. Saat kita membangun hubungan yang positif, saling menerima dengan orang lain, salah satunya bungkus dengan pujian, mereka bisa berespon lebih mudah atas konfrontasi anda tanpa merasa terancam atau ditolak. Itu hal yang bijak. Itu roh lemah lembut, dan itu memperbaiki jaring daripada merobeknya. Tapi Paulus harus menambahkan satu pemikiran lagi tentang hal ini.

Akui Kelemahan Anda Sendiri

Anda bisa mendekati mereka “sambil menjaga diri sendiri, supaya kamu sendiri tidak dicobai” (Galatians 6:1). Kita tidak bisa menegur orang lain dengan suasana superior. Teguran Alkitab seperti seorang pendosa berbagi sesuatu yang bisa membuat mereka berdua lebih baik dan membuat hubungan mereka lebih kuat dan memuaskan. Usulan lebih bisa diteriman dari seseorang yang membiarkan anda tahu kalau dia memiliki kelemahan yang sama.

Tapi demi kasih karunia Tuhan, kita harus melakukan apa yang dia lakukan. Mengingatnya bisa menjauhkan kita dari prilaku menuduh, mendendam, dan lebih suci dari anda, dan menolong kita menjaga sikap lemah lembut, baik dan nada yang tenang. Maka jaring bisa diperbaiki, dan kita juga bisa memenuhi tujuan Tuhan bagi hidup kita—saling memenuhi kebutuhan, berkontribusi dalam kehidupan orang lain dan saling membangun untuk kemuliaan Tuhan.


3 See also 1 Timothy 5:20; 2 Timothy 4:2; Titus 1:9, 13; Titus 2:15; and Revelation 3:19.

Related Topics: Man (Anthropology), Basics for Christians, Christian Home, Forgiveness

4. Hal Terpenting

Apakah tidak indah jika tidak ada yang mengkritik anda, tidak pernah menyalahkan anda, memojokan kelemahan kita, atau mengingatkan kesalahan kita? Sebagian besar dari kita akan sangat senang hidup tanpa kritik negative. Tapi kita tidak mungkin begitu! Kita tidak sempurna, dan disuatu saat, seseorang pasti akan menyalahkan kita. Saya tahu kalau Tuhan berkata bahwa mereka sebenarnya tidak bisa menghakimi kita, tapi mereka mungkin tidak peduli apa kata Tuhan. Mereka akan melakukannya juga. Kamudian, mungkin ada wilayah dimana kita perlu dinasehati. Pertanyaannya, bagaimana kita meresponnya?

Musa adalah seorang manusia yang mendapat kritik. Dia baru ingin melakukan apa yang Tuhan inginkan, tapi orang-orang terus cerewet padanya. Saya menghitung 6 peristiwa terpisah yang ditulis dalam Alkitab saat Israel mengeluh terhadapnya. Kata mengeluh berarti “menyatakan kemarahan, tidak puas, dan keluhan melalui nada yang tidak enak …”4 Dengan kata lain, itu artinya kritik. Saya tidak mengetahui ada orang selain Yesus Kristus yang merasakan kritik yang lebih tajam daripada Musa. Dia tidak sempurna dalam menanganinya, tapi dia jelas lebih baik dari kita, dan kita bisa belajar dari teladannya.

Apa yang kita perlukan adalah suatu rencana, suatu prosedur yang dengan seksama dipikirkan sebelumnya dimana kita bisa ingat dan menjalankannya saat kritik menyerang. Mungkin kata PLAN sendiri bisa menjadi kunci mengingat prinsip yang dinyatakan dalam hidup Musa:

P—Pray (Doa)
L—Listen and learn (Mendengar dan Belajar)
A—Answer positively (Menjawab Secara Positif)
N—Note the critic’s needs (Perhatikan kebutuhan yang mengkritik)

Pray (Doa)

Apa reaksi pertama anda saat orang yang bicara dengan anda sebenarnya mencari-cari kesalahan? Jika anda manusia normal, reaksi anda sama dengan saya—membela diri. Itu sealami menutup mata saat seseorang tak sengaja mencolokan jarinya, atau menjauh saat seseorang memegang pisau dan membahayakan anda. Kritik itu sakit; itu mengiris roh kita dan kita otomatis tersentak mundur darinya.

Musa juga sama tidak sukanya dengan kita, tapi dia kelihatannya belajar bereaksi dengan berbeda. Daripada membela diri, dia mengembangkan kebiasaan menghadap Tuhan dalam doa. Itu kelihatan sudah menjadi respon otomatis. Kita melihat hal ini pertama kali di Marah. Umat Israel telah menyebrangi Laut Merah dan menyanyikan lagu keselamatan. Kemudian kita membaca, “Sampailah mereka ke Mara, tetapi mereka tidak dapat meminum air yang di Mara itu, karena pahit rasanya. Itulah sebabnya dinamai orang tempat itu Mara. Lalu bersungut-sungutlah bangsa itu kepada Musa, kata mereka: "Apakah yang akan kami minum?” (Exodus 15:23,24). Saya mungkin menjawab, “Hey, jangan salahkan saya. Bukan saya yang membuat air itu pahit. Setidaknya kamu sudah tidak lagi dipecut oleh Mesir. Hitung berkatmu.” Musa tidak melakukan itu. Sebaliknya kita membaca, “Musa berseru-seru kepada TUHAN …” (Exodus 15:25a). Pikirannya ada pada Tuhan, jadi respon pertamanya adalah berdoa.

Kita melihat pola yang sama terus berulang dalam kehidupan Musa. Dikejadian berikut dia bersujud dihadapan Tuhan dalam doa (cf. Numbers 14:5; 16:4). Dia dengan rendah hati menyerahkan diri kepada Tuhan. Dia menyadari bahwa ketika dia berusaha melakukan kehendak Tuhan, dan orang-orang mengkritik dia karena itu, itu masalah Tuhan, bukan dia. Jadi dia menghadap Tuhan untuk hikmat.

Dia bahkan mengatakan jika dia dikritik dikemudian hari itu masalah Tuhan. Tempatnya disebutkan dengan tepat yaitu belantara Dosa. Kali ini mereka memarahi dia karena tidak ada makanan: “…Sebab kamu membawa kami keluar ke padang gurun ini untuk membunuh seluruh jemaah ini dengan kelaparan” (Exodus 16:3). Ouch! Itu sakit. Betapa sengit dan menyayat hal itu, dan mereka jelas mengetahui kalau itu tidak benar. Kita mungkin akan mengatakan pada mereka betapa bodoh tuduhan mereka. Tapi Musa menyerahkannya pada Tuhan. “…karena TUHAN telah mendengar sungut-sungutmu yang kamu sungut-sungutkan kepada-Nya--apalah kami ini? Bukan kepada kami sungut-sungutmu itu, tetapi kepada TUHAN!” (Exodus 16:8b). Pada dasarnya dia berkata, “Kita bukan siapa-siapa. Keluhanmu itu bukan pada kita. Tapi Tuhan. Dia yang mengatur keadaannya.”

Baiklah kita menyerahkan situasinya pada Tuhan dan secara langsung menghadapNya dalam doa saat kritik menghantam kita, seperti yang Musa lakukan. Kita bisa percaya bahwa Dia yang mengatur apa yang akan terjadi, bahkan penghinaan yang akan kita alami saat itu, dan kita bisa menyerahkannya dalam doa. Kita bisa meminta Dia menolong kita dengan mendengarkan, untuk bisa peka terhadap keinginanNya, untuk mengatur kemarahan kita, untuk berespon secara positif dan sensitive terhadap kebutuhan yang mengkritik. Kita bahkan bisa berdoa agar Tuhan memberkati orang yang mengkritik. Yesus menyuruh kita melakukan itu. “Tetapi Aku berkata kepadamu: Kasihilah musuhmu dan berdoalah bagi mereka yang menganiaya kamu” (Matthew 5:44).

Musa melakukan itu! Di Kadesh Barnea setelah 10 mata-mata kembali membawa berita putus asa, kritik datang lagi. “Bersungut-sungutlah semua orang Israel kepada Musa dan Harun; dan segenap umat itu berkata kepada mereka: "Ah, sekiranya kami mati di tanah Mesir, atau di padang gurun ini!” (Numbers 14:2). Mereka bahkan mengancam membakar Musa, memilih kapten baru dan kembali ke Mesir. Kali ini Tuhan sangat marah kepada mereka. Dia ingin memusnahkan semuanya dan menjadikan Musa bangsa yang terbesar dan hebat. Tapi Musa berdoa, “Ampunilah kiranya kesalahan bangsa ini sesuai dengan kebesaran kasih setia-Mu, seperti Engkau telah mengampuni bangsa ini mulai dari Mesir sampai ke mari” (Numbers 14:19). Dan Tuhan mengampuni. Suatu teladan bagi kita!

Ada satu kejadian dimana Musa berdoa untuk orang yang mengkritik dia, dan kali ini mereka anggota keluarganya sendiri. Harun dan Miriam mengkritik Musa karena dia mengambil seorang Cushite menjadi istri dank arena merasa berlebihan merasa berkuasa. Tuhan menghajar Miriam dengan kusta karena roh tidak taatnya. Seseorang bisa berkata, “Itu bagus. Sekarang kita tahu siapa yang berkuasa disini.” Tapi Musa tidak begitu. Dia menghadap Tuhan dan berdoa untuk kesembuhannya (Numbers 12). Prilaku seperti itu bisa membawa harmoni dan menguatkan hubungan kita, bahkan dengan orang yang mengkritik kita.

Kita perlu belajar menjaga pikiran kita pada Tuhan. Kemudian saat kritik mencoba menggunakan hal itu pada kita. Reaksi pertama kita adalah bicara padaNya daripada membela diri. Dan itu akan meredakan situasi yang bisa meledak. Hal pertama yang perlu kita lakukan, dan yang paling penting adalah berdoa!

Listen and Learn (Dengar dan Belajar)

Tidak mudah mendengar saat seseorang memotong kita dengan kata-kata pedas, atau saat mereka memberikan kita teguran yang pedas. Sebelum kalimat pertama mereka selesai, sebagian besar dari kita sudah berpikir betapa salah mereka tentang kita, dan alasan yang baik melakukannya. Kita sudah membuat jawaban sebelum mereka selesai berkata-kata, dan kita mungkin memotong mereka untuk membela diri, yang kenyataannya bukan ide yang baik. Salomo berkata, “Jikalau seseorang memberi jawab sebelum mendengar, itulah kebodohan dan kecelaannya” (Proverbs 18:13).

Orang yang mengkritik mungkin sudah memikirkan masalah itu. Dia tahu tidak akan enak mengatakannya pada kita, tapi dia peduli pada kita untuk menahan ketidak enakan itu agar kita tertolong. Dia tahu itu bisa menimbulkan permusuhan, tapi dia perduli sehingga mengambil kesempatan itu. Itu sebenarnya suatu kehormatan. Walau dia bersalah karena emosinya, dia mungkin sudah menetapkan dalampikiran sebelum melakukannya. Jadi dengar dan belajar! Seperti Salomo peringatkan pada kita, “Seorang kawan memukul dengan maksud baik” (Proverbs 27:6).

Musa mendengar dan belajar. Saat mertuanya mengkritik cara dia menghakimi orang-orang dan menyarankan cara lain, kita membaca, “Musa mendengarkan perkataan mertuanya itu dan dilakukannyalah segala yang dikatakannya” (Exodus 18:24). Kita bisa melakukan hal yang sama. Biarkan mereka selesai bicara. Memotongnya hanya menghalangi kita mendengar apa kata hatinya. Perhatikan apa yang dia katakan. Saat sudah selesai, pastikan apakah dia sudah mengatakan semuanya sebelum menjawab. Anda bisa berkata, “Apakah ada hal lain yang ingin dibagikan pada saya?” atau, “Saya tidak sadari itu. Bisakah anda mengatakan kenapa anda merasa seperti itu?” Komunikasikan dengan lembut dan jujur bahwa anda tertarik mendengar perkataannya.

Penting menyadari bahwa pengalaman ini bukan kebetulan, apapun itu. Bahkan saat kritik tidak dibenarkan pun, Tuhan tetap mengatur keadaan kita. Dia tahu apa yang akan terjadi, dan dia bisa menghentikannya jika itu kehendakNya. Tapi Dia mengijinkannya, dan Dia berjanji mendatangkan tujuan yang baik melaluinya (cf. Romans 8:28). Jadi lihat itu sebagai kesempatan belajar. Itu mungkin cara Tuhan mendapat perhatian kita dan menunjukan kita sesuatu yang kita tidak ingin akui—suatu kebiasaan membela diri atau kebiasaan yang bisa menyebabkan orang lain tersandung.

Orang lain bisa melihat hal yang kita tidak bisa lihat. Anggota keluarga kita secara khusus ahli dalam melihat kesalahan. Dan sesulit apapun kita mendengarnya dari mereka, dengar dan belajar. Penghargaan membuat kita bahagia, tapi kritik menolong kita bertumbuh. Sayangnya, beberapa dari kita memilih dihancurkan oleh pujian daripada dikuatkan melalui kritik. Tapi jika orang sehebat Musa bisa belajar dan bertumbuh melalui kritik, kita juga pasti bisa.

Answer Positively (Menjawab secara Positif)

Sampai sekarang kita bicara tentang apa yang terjadi dalam jiwa kita, pikiran dan prilaku kita—doa, suatu keinginan untuk mendengar dan belajar. Tapi sekarang saatnya berespon, dan Tuhan ingin kita menjawab secara positif. Artinya, yang terutama, kita menjawab dengan lembut dan tenang. Seperti kata Amsal, “Jawaban yang lemah lembut meredakan kegeraman” (Proverbs 15:1). Jika yang mengkritik marah dan bermusuhan, roh yang lemah lembut bisa digunakan Tuhan untuk menenangkan dia dan membuat seluruh diskusi lebih menguntungkan. Jawaban yang marah dan menghina sangat negative; itu menyulut api dan membuat komunikasi yang menguntungkan tidak mungkin terjadi. Jawaban yang lemah lembut merupakan respon yang positif.

Kita mengingat roh lemah lembut Musa dalam salah satu serangan yang dialaminya, yaitu dari saudaranya, Harun dan Miriam. Setelah kemarahan dan tuduhan mereka dan sebelum kita belajar disiplin Tuhan, Roh Kudus memasukan kata-kata ini: “Adapun Musa ialah seorang yang sangat lembut hatinya, lebih dari setiap manusia yang di atas muka bumi” (Numbers 12:3). Jadi ikuti teladan Musa. Jaga kelemah lembutan dan roh rendah hati.

Elemen kedua dalam respon secara positif adalah pastikan anda mengerti apa yang dia katakan. Banyak sakit hati dirasakan orang percaya karena orang lain berasumsi mereka mengerti apa yang dikatakan padahal sebenarnya tidak. Kadang kata-katanya kurang dipilih, atau dalam kemarahan terlalu ditekankan dan berlebihan. Lebih baik berkata seperti ini, “Apakah yang anda katakan adalah ________. Apakah saya sudah menangkapnya dengan tepat?” Berikan dia kesempatan mengklarifikasi. Ulangi kedua kali untuk menolong dia menyatakannya lebih lembut dan kurang marah. Orang yang menghadapi keluhan lewat telepon diajarkan untuk secara sopan meminta pelanggan mengulangi keluhannya. Hal itu bisa lebih jelas dan lembut untuk kedua kalinya. Dengan tulus minta klarifikasi merupakan cara positif dalam menjawab.

Sekarang kita mengerti apa yang tidak disukain pengkritik dari kita, dan kita harus melakukan evaluasi diri yang jujur dan objektif. Allah yang Maha Kuasa mengijinkan manusia menyatakan apa yang ditangkap sebagai kesalahan. Kita tidak bisa menganggap remah hal itu. Faktor ketiga dalam menjawab secara positif adalah menemukan kebenaran dalam apa yang telah dikatakan dan menyetujui semua yang bisa kita setujui. Yesus berkata, “Segeralah berdamai dengan lawanmu selama engkau bersama-sama dengan dia di tengah jalan” (Matthew 5:25, KJV). Setuju dengan pengkritik bisa menumpulkan ketajaman semangatnya.

Kebanyakan dari kita tidak ingin mengakui kesalahan. Kita berpikir begitu rupa sehingga kita mengakui kalau kita salah jika menyerahkan harga diri kita. Kita percaya orang akan merendahkan kita. Kita ingin menyapunya kebawah lantai dan melupakannya. Sangat menyakitkan untuk mengakui kesalahan. Tapi akibat kalau mengakuinya adalah menyegarkan, kita tidak bisa tidak. Tidak ada yang bisa lebih mengembalikan harmoni dan menyembukan hubungan secara efektif daripada mengakui kesalahan dan memperbaikinya. Jika ada kebenaran didalamnya, akui itu. Pengkritik berkata, “Kerjamu jelek sekali!” Anda bisa menjawab, “Saya tahu bisa melakukannya lebih baik.” Pengkritik berkata, “Kamu hanya memikirkan diri sendiri.” Anda bisa menjawab, “Saya akui memiliki keegoisan.” Itu semua merupakan jawaban positif yang menjinakan ledakan serangan.

Kadang secara jujur kita tidak bisa melihat bahwa kritik cukup disitu. Daripada membela diri, lebih baik berkata, “Saya menghargai peringatan anda. Saya memerlukan waktu untuk berpikir.” Kemudian lakukan itu. Pikirkan itu. Minta Tuhan menunjukan kebenaran didalamnya. Kemudian kembali dan akui itu kepada orang yang menyatakan kritik. Jarang sekali kita bisa begitu sempurna sehingga tidak bisa menemukan kebenaran dalam setiap kritik yang dilontarkan kepada kita. Itu pasti ada! Temukan, dan akui.

Respin positif keempat adalah meminta pertolongan orang yang mengkritik untuk mencari solusi masalah atau cara mengkoreksi kelemahan. Tanyakan, “Menurut anda apa yang harus saya lakukan?” Itu bisa menghancurkan batasan dan mendekatkan kita, daripada saling berdebat dan membela diri. Menemukan jalur tindakan yang disetujui bersama bisa menjadi tujuan yang menolong kita mengatasi perbedaan kita.

Ada saatnya dimana kritik sama sekali salah. Itu didasarkan atas kabar angina, pendapat kedua, dugaan. Kita harus memikirkan itu, mengaplikasikan Firman Tuhan kedalam hidup kita, dan minta Tuhan menunjukan kita kebenaran didalamnya. Tapi kita tetap menganggap itu salah. Kita sekarang memiliki 2 pilihan. Kita kembali dan berkata seperti ini, “ Anda salah, dan biar saya katakan sesuatu tentang anda, anda tidak sehebat itu.” Tapi membalas seperti itu hanya akan menambah permusuhan. Akan lebih positif dan menolong jika dengan kasih dan baik menjelaskan tanpa permusuhan atau menuduh kalau kita sudah menyelidiki hati dihadapan Tuhan dan tidak bisa mengakuinya. Kita bisa menambahkan, “Saya menyesal anda merasa demikian, tapi saya harap itu tidak mempengaruhi hubungan kita.” Kemudian kita bisa berdoa agar Tuhan menolong mereka melihat kebenaran dan menyatukan kita.

Perhatikan Kebutuhan Orang yang Mengkritik

Kadang orang yang mengkritik kita memiliki masalah yang lebih dalam dari yang dia tuduhkan. Permusuhan mereka bisa merupakan topeng untuk menyembunyikan kesalahan mereka, atau tangisan terselubung minta pertolongan. Itu bisa keluar dari ketidakamanan mereka, atau kenyataan bahwa mereka tidak menyukai diri mereka sendiri. Melalui kasih karuni Tuhan, kita bisa melihat hal itu. Itu tidak mendatangkan keuntungan sedikitpun bagi mereka dalam membuktikan kalau kita benar dan mereka salah. Hal yang terbesar adalah menunjukan pengampunan, kesabaran, pengertian dan penerimaan. Tuhan ingin kita menjangkau dengan kasih kedalam kebutuhan mereka.

Ada contoh yang indah dalam pengalaman Musa. Saat Korah dan sekitar 250 lebih pangeran di Israel mengkritik Musa terlalu berotoritas, Tuhan mengambil hidup mereka dalam peristiwa disiplin ilahi yang luar biasa (Numbers 16:1-40). Tapi kemudian bangsa itu mengkritik dia lagi. “Tetapi pada keesokan harinya bersungut-sungutlah segenap umat Israel kepada Musa dan Harun, kata mereka: "Kamu telah membunuh umat TUHAN."” (Numbers 16:41). Tuhan sudah cukup dengan itu. “Maka berfirmanlah TUHAN kepada Musa: "Pergilah dari tengah-tengah umat ini, supaya Kuhancurkan mereka dalam sekejap mata." Lalu sujudlah mereka’” (Numbers 16:44,45). Saya pikir Musa akan berkata, “Lakukan saja Tuhan.” Itu mungkin yang kita lakukan. Sebaliknya dia meminta Harun ke Tabernakel dan mengorbankan korban penebusan dosa bagi mereka, dan Alkitab mencatat tulah itu berhenti (Numbers 16:48). Inilah manusia yang melihat kritik dan kebutuhan yang mengkritik, kemudian menjangkau dengan aksih untuk melayani kebutuhan mereka.

Saat seseorang mengkritik kita, itu saat yang baik bertanya pada diri sendiri, “Apa yang terjadi dalam hidupnya sehingga dia melontarkan kritik ini? Sakit hati apa yang dirasakannya? Apa kebutuhan yang belum terpenuhi? Bagaimana saya bisa menunjukan bahwa saya peduli terhadapnya?” Itu tidak mudah dilakukan saat seseorang mengiris kita dengan perkataannya. Itu butuh kasih karunia. Tapi bukankah itu yang dijanjikan Tuhan? Dia Allah sumber segala kasih karunia (1 Peter 5:10). Kasih karuniaNya cukup untuk seluruh kebutuhan kita (2 Corinthians 12:9). Jika kita menjadi saluran kasih karunia Tuhan, Dia bisa menggunakan kita untuk membuat hidup orang lain lebih efektif dalam melayaniNya.

Setan bisa menggunakan kritik untuk mematahkan semangat kita dan mengganggu kita dalam melakukan kehendak Tuhan. Jika setiap kali kita mencoba melakukan sesuatu, seseorang menembak kita, kita cenderung berkata, “Cukup sudah, saya berhenti.” Jangan lakukan itu. Nilai kembali arahmu. Jika Tuhan membimbing anda, tetap maju. Jangan biarkan kritik dari orang kecil menghalangi anda dari komitmen anda.

Saya membaca cerita seorang hakim dikota kecil yang sering diejek pengacara egois. Saat ditanya kenapa dia tidak menegurnya, hakim berkata, “Dalam kota kami ada jendela yang memiliki seekor anjing. Kapanpun bulan bersinar, anjing keluar dan menggonggong sepanjang malam.” Kemudian dia mulai bicara hal lain. Seseorang berkata, “Tapi, hakim, apa maksud anjing dan bulan?” “Oh, jawabnya, “bulan terus bersinar.”

Jika kita salah, kita tidak boleh membela diri. Tuhan menyuruh kita terbuka terhadap koreksi. Tapi jika kita benar, kita juga tidak perlu membela diri. Kita terus saja bersinar, terus melakukan kehendak Tuhan dengan ketergantungan yang lebih besar terhadapNya. Kritik tidak menyakiti kita saat kita membiarkan hal itu membawa kita lebih bergantung pada Tuhan. Sebaliknya, itu akan membuat kita melayani Dia dengan semangat yang diperbaharui, determinasi yang diperbaharui dan kuasa dari atas. Maukah anda mengingat PLAN yang sudah kita bahas? Kemudian waspada atas kritik yang ditujukan pada anda dan aplikasikan prinsip yang sudah anda pelajari?


4 From Theological Wordbook of the Old Testament by Laird R. Harris, Gleason Archer and Bruce Waitke. Copyright 1980-81. Moody Press. Moody Bible Institute of Chicago. p. 2.475. Used by permission.

Related Topics: Man (Anthropology), Basics for Christians, Christian Home

5. Masalah Hidup Mati

Apakah anda tahu kalau anda membawa senjata mematikan kemanapun anda pergi? Dan tidak mungkin setiap orang memeriksanya setiap kali anda masuk pintu, karena itu merupakan bagian dari tubuh anda. Roh Tuhan membimbing Salomo untuk menulis, “Hidup dan mati dikuasai lidah” (Proverbs 18:21). Itu merupakan pernyataan yang luar biasa! Dan sangat penting untuk kita pikirkan. Yakobus berpikir lidah penuh dengan racun mematikan (James 3:8). Suatu pemikiran yang menakutkan!

Cerita yang terjadi pada suatu keluarga dikomunitas kecil North Dakota community menggambarkan dengan tepat kebenaran ini. Sang ibu kesehatannya tidak baik sejak kelahiran bayi kedua, tapi setiap orang tahu dia telah berusaha semampunya untuk menciptakan suasana kasih dalam rumah. Tetangga bisa melihat sang bapak disambut setiap sore dengan pelukan dan ciuman dari istri dan kedua anak kecilnya. Dimusim panas saat jendela sedang terbuka, mereka bisa mendengar tawa dan sukacita datang dari dalam rumah.

Kemudian satu hari suatu gossip menyebar didaerah itu bahwa sang bapak tidak setia terhadap istrinya, suatu cerita yang tak berdasar sama sekali. Itu disebarkan dari orang ke orang, dan akhirnya sampai ke telinga istrinya. Hal itu lebih dari yang bisa ditanggungnya. Satu sore saat suaminya datang kerumah, tidak ada yang menyambutnya dipintu. Ada keheningan mencekam. Istrinya telah membunuh diri dan kedua anaknya. Dia tenggelam dalam kepedihan. Ketidakbersalahannya terbukti pada setiap orang, tapi lidah gossip sudah melaksanakan tugasnya. Kematian dan hidup dikuasai oleh lidah. Itu penuh dengan racun mematikan.5

Sebagian besar dari kita yang mengenal Tuhan ingin percakapan kita bisa memuliakan Dia. Kita ingin komunikasi kita untuk menyatakan kasih dan kesatuan dalam Tubuh Kristus. Tapi sering kita menggunakan system senjata yang sudah ada untuk mencapai hasil yang berlawanan. Kemudian kita heran kenapa ada banyak konflik diantara umat Tuhan. Suatu penyelidikan Alkitab bisa menolong kita menemukan penangkal bagi racun gosip.

Penyebab Gosip

Walau kata ini tidak menonjol dalam Alkitab, tapi ide gossip nyata diseluruh Alkitab. Hal ini terdapat talebearers, orang yang membisikan informasi merugikan tentang orang lain. Ini juga termasuk, backbiters, orang yang bicara tentang kesalahan orang lain dibelakang orang itu. Ini juga berbicara tentang tukang fitnah, orang yang bicara melawan orang lain, sering dengan keinginan untuk menyakiti mereka. Ini bicara tentang orang yang jahat atau penfitnah. Kita bisa menyimpulkan semua ini dengan satu kata, gossip. Ini suatu kata yang jelek. Anda bisa mendengar hal ini dibisikan saat anda mengatakannya. Ini sangat buruk, setiap orang jarang ada yang mau mengakui pernah melakukannya. Mereka punya perhatian yang benar. Mereka ingin berbagi hal untuk didoakan. Tapi mereka tidak pernah sama sekali bergosip!

Kita mempelajari roh yang kritis, yaitu yang disibukan dengan kesalahan orang lain. Gosip membicarakan kesalahan orang lain dimana mereka tidak bisa melakukan apapun terhadap orang itu, orang yang bukan bagian dari masalah ataupun bagian dari solusi. Dan bicara tentang mereka kepada yang lain adalah gossip, apakah itu rumor atau fakta, benar atau salah. Tuhan berkata, “Saudara-saudaraku, janganlah kamu saling memfitnah” (James 4:11). Perintah ini tidak mengatakan apapun tentang benar atau salah. Ini berarti sama sekali tidak bisa diterima bicara melawan orang lain walaupun ceritannya benar.

Bahkan hal ini juga salah walaupun dalam bentuk permintaan doa: “Beroda untuk John. Dia sedang dengan wanita lain.” Atau bicara dihadapan Tuhan dimuka umum, kita berkata, “Tuhan, tolong John. Engkau tahu dia sedang menyeleweng.” Tidak dibenarkan menyebarkan dosa orang lain, membuat mereka jadi buruk, menyatakan hal yang menyebabkan orang lain tidak menyukai mereka, tidak hormat dan tidak percaya lagi. Gosip didaftar bersamaan dengan dosa terkeji yang pernah ada. Dengarkan Paulus mengurutkan dosa yang memuakan:

“penuh dengan rupa-rupa kelaliman, kejahatan, keserakahan dan kebusukan, penuh dengan dengki, pembunuhan, perselisihan, tipu muslihat dan kefasikan. Mereka adalah pengumpat, pemfitnah, pembenci Allah, kurang ajar, congkak, sombong, pandai dalam kejahatan, tidak taat kepada orang tua,” (Romans 1:29,30). Tapi gossip tetap menjadi salah satu favorit orang Kriten dari dulu. Kenapa?

Kita semua ingin orang lain berpikir hal yang baik tentang kita. Jika kita jujur, kita mau mengakui bahwa pengakuan itu berkaitan dengan tingkat penerimaan kita: “Apakah mereka mengetahui siapa saya? Apakah mereka menyukai saya? Apakah mereka menghormati saya? Apakah mereka menganggap saya menarik? Apakah mereka suka apa yang saya pakai? Apakah mereka ingin bersama dengan saya?” Semakin rendah harga diri kita, semakin khawatir kita terhadap hal seperti itu, tapi kita semua pernah memikirkannya.

Dan itulah alasan kita bergosip. Kita ingin membuat diri kita lebih baik dan mendapat penerimaan yang lebih besar. Jika kita mendapat informasi penting yang orang lain tidak dapatkan, itu membuat kita lebih penting, lebih berpengetahuan dan superior. Orang akan mendengarkan kita. Jika kita takut seseorang akan melebihi kita, menggagalkannya menolong kita beralasan bahwa kegagalan kita untuk mencapai apa yang telah mereka capai. Jika kita iri terhadap perhatian atau pengakuan yang mereka dapatkan, menunjukan kesalahan mereka membuat kita terlihat lebih baik melalui perbandingan. Jika seseorang melukai kita, membuat mereka jadi buruk bagi kita merupakan cara adil untuk membalas, menyeimbangkan skor dan memperbaiki harga diri. Itu juga bisa menjadi cara efektif untuk memenangkan orang kesisi kita dalam konflik. Kita berpikir bahwa lebih banyak orang berpihak pada kita menjadikan kita lebih berharga. Hal yang membuat anda lebih kuat, jika anda menyadari bahwa Tuhan mengasihi kita dalam Kristus dan melihat kita sebagai bagian penting dari timNya dengan peran yang penting untuk dipenuhi. Kita tidak perlu membuat orang lain jadi buruk untuk membentuk rasa penting kita.

Ada alasan lain kita bergosip. Disatu sisi, kita mungkin memiliki teladan yang buruk. Kita tumbuh mendengar orangtua kita bergosip dan kita menjadi percaya bahwa hal itu merupakan hal yang diterima jadi bagian hidup. Kemungkinan lain lagi adalah kita tidak mengembangkan pemikiran kita sehingga tidak ada hal lain yang bisa dibicarakan selain orang lain. Seseorang pernah menyarankan agar orang yang punya pikiran yang hebat bicara tentang ide, yang sedang saja bicara tentang peristiwa, dan yang kurang bicara tentang orang lain. Itu akan menolong mengembangkan pikiran kita.

Paulu mengatakan bahwa kita bergosip karena kita tidak punya hal lain untuk dilakukan. Dia bicara tentang janda muda yang “membiasakan diri bermalas-malas dan bukan hanya bermalas-malas saja, tetapi juga meleter dan mencampuri soal orang lain dan mengatakan hal-hal yang tidak pantas” (1 Timothy 5:13). Gosip adalah percakapan yang bodoh, terutama menjelekan orang lain. Gosip mereka berkaitan dengan kemalasan dan kecenderungan mereka mencampuri urusan orang lain. Jika mereka menginvestasikan waktu dan tenaga mereka kedalam kegiatan rohani seperti mengunjungi panti, melayani anak, mereka tidak punya waktu untuk membicarakan orang lain. Tapi penyebab gossip tidak sepenting kerusakan yang diakibatkannya.

Akibat Gosip

Kitab Amsal seperti teks book mengenai lidah, dan didalamnya terdapat beberapa akibat menghancurkan dari gossip. Pertama hal ini memisahkan teman. “Orang yang curang menimbulkan pertengkaran, dan seorang pemfitnah menceraikan sahabat yang karib” (Proverbs 16:28). “Siapa menutupi pelanggaran, mengejar kasih, tetapi siapa membangkit-bangki perkara, menceraikan sahabat yang karib” (Proverbs 17:9). Kadang gossip dilakukan dengan sengaja dan jahat oleh seseorang yang iri yang sakit hati terhadap teman yang dimiliki orang lain. Jika dia bisa menggali informasi hina apapun, dia bisa menggunakannya untuk memisahkan mereka dan masuk kedalam cela. Dia melihat lebih mudah memenangkan teman dengan menunjukan kebaikan dan ketidakegoisan kepada yang lain. “Saya tidak bermaksud bicara tentang dia, tapi …” “Saya tidak ingin kamu berpikir saya bergosip, tapi …” Dan itulah pisaunya!

Sebaliknya, mungkin tidak ada maksud jahat. Itu hanya bicara biasa, atau usaha menyatakan “hal didalam” Tapi hasilnya tetap sama. Anda mungkin mendengar tentang percakapan dimana Ellen berkata, “Suzie mengatakan pada saya rahasia kamu dimana saya disuruh tidak mengatakannya padamu.” Jane menjawab, “Mulut payah! Saya menyuruhnya untuk tidak mengatakannya padamu.” Ellen menjawab, “Saya mengatakan padanya kalau saya tidak akan mengatakan ini padamu.” Persahabatan ini sudah hancur. Mereka tidak bisa saling percaya lagi. “Siapa mengumpat, membuka rahasia, tetapi siapa yang setia, menutupi perkara” (Proverbs 11:13).

Kita menghilangkan teman dekat kita melalui gosip. Mereka mulai mencurigai bahwa jika kita membicarakan orang lain pada pada mereka, kita juga bisa membicarakan mereka pada orang lain, jadi mereka tidak mau membagikan isi hati mereka pada kita. Dan jika kita memang membicarakan mereka, anda bisa yakin itu akan terdengar oleh mereka, biasanya dilebih-lebihkan. Dan tidak peduli betapa besar kita memprotesnya, persahabatan itu sudah mengalami kerusakan yang tidak bisa diperbaiki. “Hidup dan mati dikuasai lidah, siapa suka menggemakannya, akan memakan buahnya” (Proverbs 18:21). Jika kita menggunakan lidah kita untuk kebaikan, kita akan menuai kebaikan juga. Jika kita menggunakannya untuk menangkap bayangan, bayangan itu akan menimpa kita.

Akibat lain adalah gossip melukai orang. “Perkataan pemfitnah seperti sedap-sedapan, yang masuk ke lubuk hati” (Proverbs 18:8). Apa yang anda rasakan saat menemukan orang lain sedang membicarakan hal yang tidak baik tentang anda? Mereka mungkin menikmatinya seperti sedap-sedapan, tapi itu melukai anda bukan? Dan sakitnya mencapai kelubuk hati. Walau kita tahu Tuhan ingin kita mengampuni mereka, kita biasanya bimbang, khawatir, jengkel karena itu, merasa bersalah dan marah terhadap mereka. Kadang itu mulai mempengaruhi kemampuan anda berfungsi secara baik. Dan itu memerlukan waktu lama untuk sembuh. Pikir lagi jika disaat berikut anda merasa ingin membagikan sesuatu tentang orang lain. Apakah hal itu juga kalau dikatakan tentang anda bisa anda terima, walaupun itu benar sekalipun?

Gosip tidak hanya melukai, tapi juga menghancurkan. Saya memiliki teman seorang pastor, diakhir 60 tahunnya, dia meletakan tangannya diatas pundak misionaris wanita yang masih single yang baru pulang dari ladang. Beberapa teman lama dalam gereja melihatnya dan hampir mengakhiri pelayanannya. Satu lagi teman pastor saya yang begitu dalam persekutuannya dengan Tuhan dipaksa mengundurkan diri karena adanya kecurigaan dan keraguan akan kemampuannya, bahkan sampai meragukan kewarasannya. Pelayanan telah dihancurkan oleh orang lain dalam pelayanan yang mengira mengenal temannya, tapi salah mengartikannya secara umum dan menyerang secara pribadi. Betapa hal itu mendukakan hati Tuhan!

Gosip menghasut kemarahan. “Angin utara membawa hujan, bicara secara rahasia muka marah” (Proverbs 25:23). Beberapa orang yang paling pemarah yang pernah saya ajak bicara menjadi korban gossip. Mereka jadi murka. Hasil dari kemarahan mereka adalah dosa, dan mereka perlu menyelesaikannya. Tapi orang yang mengatakannya harus tetap mempertanggung jawabkan ketidaktaatannya terhadap Firman Tuhan.

Apakah anda pernah melihat selang air yang tak terkendali? Itu terlempar-lempar, menabrak benda-benda dan membasahi orang didekatnya. Orang-orang itu kemudian tidak begitu senang dengan anda bukankah begitu? Lidah yang terlempar-lempar, menyemburkan gossip, memiliki akibat yang lebih buruk. Suami dan istri telah membuat keluarga dan teman marah terhadap saudaranya melalui pembicaraan tentang kesalahan. Seseorang yang sudah mendengar kekotoran itu tidak bisa melupakannya dan menerima gossip yang dinyatakan. Kemarahan hidup terus.

Itu membawa pada akibat gossip yang terakhir. Itu menyebabkan perselisihan. “Bila kayu habis, padamlah api; bila pemfitnah tak ada, redalah pertengkaran” (Proverbs 26:20). Kita semua mengetahui banyak gereja yang hancur karena perselisihan. Tapi ada satu hal dimana perselisihan bisa tidak muncul jika orang berhenti bergosip. “Apakah kamu tahu apa katanya? Sini saya katakan apa pendapat saya tentangnya. Jika saja dia menyelesaikan tugas itu, semua akan baik-baik saja. Apakah kamu tahu apa yang dikejar dewan sekarang?” Blah, blah, blah! Pembicaraan yang bodoh. Tapi ini seperti kayu yang sedang terbakar. Itu membuat orang tergerak, dan mereka membuat orang lain juga tergerak, dan yang mulanya hanya api kecil menjadi amukan api.

Yakobus memberitahu kita dimana api kecil itu datang. Dia berkata, “Itu dinyalakan oleh api neraka” (James 3:6). Dan setan pasti tertawa melihatnya. Gosip adalah permainannya. Iblis menamakannya “fitnah”. Dan dia disebut “pendakwa saudara-saudara kita” (Revelation 12:10). Tapi Tuhan membenci hal ini. Dia mengatakan bahwa orang yang menyebarkan perselisihan diantara saudara merupakan kejijikan bagiNya (Proverbs 6:16-19). Jadi apa yang harus kita lakukan?

Penyembuh Gosip

Usulan pertama untuk menghilangkan gossip dari pembicaraan kita adalah mentaati perintah Kristus dan berhadapan langsung dengan orang itu. “Apabila saudaramu berbuat dosa, tegorlah dia di bawah empat mata. Jika ia mendengarkan nasihatmu engkau telah mendapatnya kembali” (Matthew 18:15). Tuhan ingin kita menegur mereka yang bersalah. Jika seseorang melakukan sesuatu yang menyerang kita, bersalah, mengambil kesempatan atau mengagalkan kita dengan cara apapun, atau jika kita mengetahui ada dosa yang serius yang telah dilakukan, kita harus bicara langsung pada orang itu. Jangan kepada orang lain! Hanya kepada dia. Jika hal itu kecil, mungkin kita langsung mengampuninya dan melupakannya. Tapi jika itu penting, kita harus bicara langsung padanya lebih dulu. Dan jika tidak begitu penting sampai harus bicara langsung padanya, maka jelas hal ini tidak bisa dikatakan pada orang lain.

Saya pernah bertanya pada beberapa orang apakah mereka pernah menegur orang yang menyerang mereka, “Ya, dan tidak ada bedanya.” Jadi mereka merasa dibenarkan untuk mengatakan pada orang lain. Tapi ada langkah kedua yang Tuhan berikan, dan bukannya menyebarkan hal itu diantara teman kita. “Jika ia tidak mendengarkan engkau, bawalah seorang atau dua orang lagi, supaya atas keterangan dua atau tiga orang saksi, perkara itu tidak disangsikan” (v. 16). Apakah anda melakukan itu?

Kemudian ada langkah berikutnya lagi. “Jika ia tidak mau mendengarkan mereka, sampaikanlah soalnya kepada jemaat. Dan jika ia tidak mau juga mendengarkan jemaat, pandanglah dia sebagai seorang yang tidak mengenal Allah atau seorang pemungut cukai.” (v. 17). Apakah anda sudah melakukannya? Dalam prosedur ini tidak pernah dikatakan, “OK, sekarang kamu bisa menyebarkannya kesemua temanmu.” Itu bukan pilihan yang Alkitabiah! Dan hal yang konsisten dengan Alkitab dalam menyelesaikan masalah.

Usulan kedua dalam menghilangkan gossip adalah menolak mendengarnya. “Siapa mengumpat, membuka rahasia, sebab itu janganlah engkau bergaul dengan orang yang bocor mulut” (Proverbs 20:19). Jika kita semua mau mengikuti saran ini, gossip tidak bisa menancapkan racunnya. Saat Mrs. Motormouth memanggil temannya dan mulai mengeluarkan kekotoran tentang Gracie Gadabout, temannya sebaiknya berkata, “Itu akan lebih baik jika kamu bicarakan langsung dengan Gracie. Saya tidak nyaman dengan informasi itu.” Dia akan memanggil temannya dan mencoba lagi. Tapi jika dia mendapat respon yang sama sampai 4-5 kali, dia bisa menghilangkan kebiasaan ini atau mencari gereja baru. Demikian juga, gereja itu bisa terhindar kalau melakukan hal yang sama.

Sangat sulit untuk tidak mendengar saat seseorang memberikan kita informasi kelas tinggi dan sangat rahasia. Itu membuat kita merasa penting karena mereka memilih mengatakannya pada kita. Natur dosa kita yang lama mendorong kita untuk melakukannya dan menyimpannya agar suatu hari bisa digunakan untuk meningkatkan derajat kita. Tapi baik pendengar maupun yang mengatakan sama bersalahnya. Orang bicara karena ada yang mendengar. Jika tidak ada yang mendengar, gossip akan hilang.

Usulan ketiga untuk mengatasi gossip adalah lebih terbuka terhadap kelemahan anda. Kita senang menyimpan kelemahan kita untuk menjaga image. Jika kita tidak sedang rukun dengan pasangan, atau salah satu anak lari dari rumah, atau kita kesulitan dalam pekerjaan, kita tidak ingin orang lain mengetahuinya karena itu bisa menghancurkan reputasi kita sebagai orang Kristen yang baik. Tapi rahasia kita tidak hanya menghalangi penyembuhan yang bisa dilakukan anggota Tubuh yang lain, tapi juga menyediakan tempat bagi rumor. Jika kita secara terbuka membagikan masalah dan secara pribadi meminta dukungan doa dari orang percaya lainnya, kita akan sangat tertolong, dan misteri yang merupakan makanan gossip akan lenyap. Tidak ada alasan untuk gossip jika semua orang sudah mengetahuinya.

Tuhan ingin saya terbuka terhadap kelemahan, dan anda juga terbuka terhadap kelemahan anda. Tapi itu berhenti disana. Dia tidak ingin saya terbuka terhadap kelemahan anda, dan anda terbuka terhadap kelemahan saya. Keterbukaan itu sendiri bisa menjadi gossip saat kita salah menggunakannya. Anda sudah mendengar tentang 3 pengkhotbah diperahu mincing. Mereka memutuskan untuk jujur satu sama lain tentang dosa rahasia mereka. Pendeta pertama berkata dia suka berjudi saat pergi dari rumah. Orang kedua berkata dia suka meneguk minuman keras saat orang lain tidak melihat. “Kamu sendiri apa?” mereka bertanya pada orang ketiga. “Saya suka bergosip” jawabnya, “dan saya sudah tidak sabar untuk pergi dari sini.” Itu bukan jenis keterbukaan yang kita bicarakan. Mari kita terbuka terhadap kelemahan kita sendiri.

Usulan keempat adalah belajar mengasihi. Kita belajar hal itu dari kasih Tuhan kepada kita (cf. 1 John 4:19). Dan saat kita sudah belajar, kita tidak akan bergosip lagi. “Kebencian menimbulkan pertengkaran, tetapi kasih menutupi segala pelanggaran” (Proverbs 10:12). Hal ini dipinjam Petrus saat berkata, “Tetapi yang terutama: kasihilah sungguh-sungguh seorang akan yang lain, sebab kasih menutupi banyak sekali dosa.” (1 Peter 4:8). Hal terburuk dari gossip adalah itu sama sekali tidak mengasihi. Kita tidak menunjukan kasih pada orang yang kita bicarakan. Kita menghancurkannya dihadapan orang lain, dimana kasih seharunya membangun (cf. 1 Corinthians 8:1).

Sebelum kita membuka mulut kita lebih dulu bertanya, “Apakah ini akan membangun orang lain? Apakah ini akan membangun kepercayaan? Apakah ini akan membangun kasih?” Jika tidak, lebih baik tidak dikatakan. Ada banyak hal yang sudah saya katakan, yang saya harap bisa saya tarik kembali. Tapi sudah terlambat! Perkataan yang tidak dipikir, tidak kasih tidak bisa ditarik kembali. Belajarlah mengasihi!

Ada satu usulan lagi, yang paling jelas dan penting, tapi kurang digunakan. Minta Tuhan menolong menjaga lidah anda. Pemazmur berkata. “Mudah-mudahan Engkau berkenan akan ucapan mulutku dan renungan hatiku, ya TUHAN, gunung batuku dan penebusku” (Psalm 19:14). “Awasilah mulutku, ya TUHAN, berjagalah pada pintu bibirku!” (Psalm 141:3). Tuhan senang menolong orang yang dengan rendah hati mengakui kebutuhan mereka dan meminta pertolonganNya. Maukah anda mencobanya? Dia akan menolong anda menaklukan kebiasaan gossip anda.


5 Our Daily Bread, October 18, 1980.

Related Topics: Man (Anthropology), Basics for Christians, Christian Home

6. Jujurlah Terhadap Saya

Sebagian besar dari orang Kristen ingin rukun dengan orang disekitar kita—keluarga kita, teman, tetangga, sesama pekerja dan sesama orang percaya. Kita ingin ada perasaan yang baik diantara kita, menikmati rasa kesatuan dan kebersamaan.

Apakah anda tahu bahwa Tuhan ingin hal sama bagi kita? Itu dinyatakan Paulus dalam suratnya ke Efesus. Dalam 3 pasal pertama dia menunjukan bagaimana Tuhan mengasihi kita dan apa yang telah Dia lakukan bagi kita, terutama bagaimana Dia menyatukan kita dalam satu Tubuh. Kemudian Paulus memulai pertengahan kitab dengan berkata, “Sebab itu aku menasihatkan kamu, aku, orang yang dipenjarakan karena Tuhan, supaya hidupmu sebagai orang-orang yang telah dipanggil berpadanan dengan panggilan itu. Hendaklah kamu selalu rendah hati, lemah lembut, dan sabar. Tunjukkanlah kasihmu dalam hal saling membantu. Dan berusahalah memelihara kesatuan Roh oleh ikatan damai sejahtera: satu tubuh, dan satu Roh, sebagaimana kamu telah dipanggil kepada satu pengharapan yang terkandung dalam panggilanmu, satu Tuhan, satu iman, satu baptisan, satu Allah dan Bapa dari semua, Allah yang di atas semua dan oleh semua dan di dalam semua” (Ephesians 4:1-6). Apakah anda menangkap maksudnya? Adanya suatu kesatuan dalam iman Kristen yang sekarang bisa dinyatakan dalam hubungan kita dengan sesama. Kita bisa rukun dengan sesama dalam kasih dan damai, dan menikmati kebersamaan karena kita satu dalam Kristus.

Aneh bukan? Kita tahu apa yang Tuhan ingin, dan kita tahu bahwa strukturnya ada. Tapi kita sulit sekali melakukannya. Sebaliknya, kita mendapat sakit hati dan perselisihan. Kita melihat suami dan istri saling berselisih, orangtua dan anak bertengkar, tetangga sesama Kristen bermusuhan, anggota gereja keluar karena yang lain. Bagaimana kita mengubah itu? Bagaimana kita belajar damai dengan sesama?

Pasal keempat surat Efesus, mungkin yang paling membantu dari seluruh PB, untuk menjawab pertanyaan ini. Disatu sisi, Tuhan memberikan kita karunia rohani yang melalui itu kita bisa saling melayani dan menolong (vv. 11-12). Itu akan membuat kita menjadi satu dan seperti Kristus (v. 13), yang bisa memampukan kita membangun dalam kasih (v. 16).

Tapi itu bukan seluruh jawaban. Saat pasal ini berlanjut, itu menjadi jelas bahwa untuk bisa rukun bersama kita perlu membuat beberapa perubahan dalam hidup kita. Kita perlu hidup berbeda dari orang tidak percaya, dari cara yang kita biasa gunakan sebelum bertemu Kristus (v. 17). Syarat sudah dibuat. Saat Kristus mati disalib Dia mengatasi nature lama yang didominasi oleh dosa dan diri sendiri. Dia menganggalkannya (v. 22), dan Dia memberikan kita nature baru yang mengikuti teladanNya (v. 24).

Dengan itu, kita sekarang memiliki potensi membuat perubahan yang bisa menolong kita rukun bersama. Tapi ada beberapa hal yang harus dilakukan untuk membuat potensi ini nyata dalam pengalaman kita sehari-hari. Satu, kita perlu memperbaharui pikiran kita (v. 23), yaitu, memberi pikiran kita cara pandang Tuhan terhadap hidup. Itu akan menguatkan control nature baru atas kita. Tapi kita juga perlu menyingkirkan tindakan nature lama secara sadar dan memilih untuk membiarkan nature yang dikuasai Roh untuk bertindak dalam setiap keadaan. Kita perlu menolak cara lama dan mengijinkan Roh Tuhan bertindak melalui kita seperti yang Dia kehendaki disetiap situasi. Kita perlu meletakan menanggalkan yang lama dan memakai yang baru dalam setiap keadaan yang kita hadapi.

Paulus mendafatar beberapa wilayah yang perlu kita lakukan melalui perbandingan—pertama yang negative, kemudian positif. buanglah dusta dan berkatalah benar (v. 25). janganlah ia mencuri lagi, tetapi baiklah ia bekerja keras (v. 28). Janganlah ada perkataan kotor keluar dari mulutmu, tetapi pakailah perkataan yang baik (v. 29). Segala kepahitan, kegeraman, kemarahan, pertikaian dan fitnah hendaklah dibuang dari antara kamu tetapi hendaklah kamu ramah seorang terhadap yang lain, penuh kasih mesra dan saling mengampuni (vv. 31-32). Sangat menarik melihat kalau hal diatas berkaitan erat dengan perkataan kita. Kunci untuk bisa rukun bersama adalah bagaimana kita menggunakan mulut kita. Dan yang teratas dari daftar adalah berkata jujur. “Karena itu buanglah dusta dan berkatalah benar seorang kepada yang lain, karena kita adalah sesama anggota” (v. 25).

Arti dari Perintah

Untuk mengesampingkan hal yang salah adalah berhenti membuat pernyataan yang tidak benar, dan berhenti bertindak yang menipu atau meninggalkan kesan yang tidak benar. Ada beberapa cara kita bisa berkecimpung dalam kesalahan. Salah satunya, kita bisa mengatakan hal yang kita sudah tahu itu salah.

Mari saya katakan pada anda tentang Henry, seorang yang bergumul dengan kepercayaan diri. Dia ingin dilihat sebagai orang yang kuat, bijak, dan mampu, tapi dia mencurigai orang-orang melihat dia sebagai seorang yang payah. Daripada melakukan apa yang dia bisa melalui kuasa Tuhan, dan puas dengan kemampuan yang ada, dia lebih mudah menyatakan diri lebih dari dirinya yang sebenarnya. Dia mengatakan pada istrinya betapa bosnya menyukai pekerjaannya, yang sebenarnya dia hampir dipecat. Saat dia dipecat, dia berkeras kalau dia berhenti, dan dia melakukannya karena kondisi pekerjaannya sangat buruk. Kemudian dia terus mengatakan pada istrinya bahwa dia sudah mendapat kesempatan pekerjaan yang baru yang bisa dipastikan minggu depan, yang sebenarnya tidak ada kesempatan sama sekali. Dia mengatakan temannya tentang bisnis yang sedang dibuatnya, tapi itu semua hanya agar dia kelihatan lebih baik dari yang sebenarnya.

Itulah cara hidup orang tidak percaya. Itu merupakan bagian dari nature dosa mereka. Mereka mewarisinya dari bapa mereka. Yeus berkata bahwa setan adalah pembohong dan bapa segala tipuan (John 8:44). Dan mereka yang hidup seperti itu menunjukan kalau mereka anaknya. Tuhan adalah Allah kebenaran, dan mereka yang memiliki naturNya bicara benar. Lidah penipu merupakan kejijikan bagiNya (Proverbs 12:22). Dia membenci lidah penipu (Proverbs 6:16-19).

Itu tidak berarti orang Kristen yang benar tidak pernah berbohong. Ananias dan Sapphira merupakan orang Kristen. Tapi mereka memiliki obsesi untuk kelihatan lebih baik dari yang sebenarnya. Mereka ingin orang lain berpikir kalau mereka memberikan kepada gereja seluruh penjualan tanah mereka. Mereka tidak mengatakan itu. Mereka membiarkan orang lain mempercayainya. Kita juga bisa berbohong dengan diam saja. Tapi itu tetap kebohongan. Petrus berkata, “Ananias, mengapa hatimu dikuasai Iblis, sehingga engkau mendustai Roh Kudus?” (Acts 5:3). Dan kita mengetahui betapa serius Tuhan melihat penipuan karena Dia mematikan baik Ananias dan istrinya.

Ada cara lain kita mengacaukan kebenaran. Salah satunya adalah dengan melebih-lebihkan. Penjala ikan bukan satu-satunya yang melakukan itu. Sebagian besar dari kita pernah melakukannya. Jika kita mendapat bagian dalam merencanakan atau menjalankan suatu pertemuan, kita kadang sedikit melebihkan fakta. Itu membuat kita lebih baik. Kita mungkin melebihkan kontribusi kita dalam kerjasama yang berhasil karena kita ingin orang lain berpikir kita ini penting. Untuk itu, kita berkata, “Banyak orang mengatakan pada saya …” padahal sebenarnya, hanya satu orang yang mengatakan itu, dan mungkin itu juga istri atau suami kita.

Cara lain kita menutupi kebenaran adalah hanya mengatakan apa yang sesuai dengan tujuan kita. Jika kita terlibat pertengkaran dengan seseorang, kita melihat itu sebagai kesempatan untuk mengurangi sedikit fakta yang ada menurut cara pandang kita, atau hanya memberitahu sebagian dari cerita. Seorang istri berkata kepada suaminya,“konselor berkata ini tidak akan bisa terjadi jika kamu melakukan apa yang seharusnya.” Tapi dia dengan nyaman tidak menyebutkan apa yang dikatakan konselor tentang dia.

Salah satu bentuk kebohongan yang paling umum orang percaya adalah menutupi kelemahan hidup kita dan bersikap seolah-olah semuanya baik-baik saja tapi sebenarnya tidak, dan cara kita menyembunyikan perasaan kita yang sebenarnya agar terlihat lebih rohani. Tolong jangan salah mengerti apa yang saya katakan. Saya tidak berpikir Alkitab menyuruh kita menyatakan semua kesalahan masa lalu kita dan dosa kita pada setiap orang Kristen yang kita temui, atau menyatakan emosi tanpa kendali. Itu hanya akan menjauhkan kita. Tapi tuluslah terhadap hal itu, kebanyakan dari kita hidup dibelakang topeng.

Kita tidak ingin orang mengetahui apa yang terjadi didalam kita karena, seperti kata John Powell, kita takut mereka tidak menyukai apa yang mereka lihat dan mungkin mereka akan menolak kita.6 Kita menyembunyikan diri kita yang sebenarnya, dan hanya mengatakan hal yang bisa menciptakan image yang sesuai harapan kita. Kita menghindar membagikan perasaan sakit, marah, iri, rendah diri, frustrasi atau depresi, meyakinkan diri kita bahwa lebih baik jika kita menyimpannya untuk diri sendiri. Tapi itu akan mempengaruhi cara kita memperlakukan satu sama lain dan itu akan menghalangi kemampuan kita untuk rukun bersama.

Kita melakukan percakapan ditingkatan basa basi: “Hi, apa kabar?” atau tingkatan fakta: berita, olahraga, dan sayangnya orang lain. Kadang kita masuk kedalam tingkatan pemikiran dan pendapat, sepanjang kita melihat pendapat kita tidak menjauhkan kita dari orang lain. Tapi jarang sekali kita membagikan perasaan kita, dan jarang membangun hubungan dengan orang lain dimana kita membuka apa yang terjadi dalam hidup kita. Resikonya terlalu besar.

Jadi istri saya dan saya bisa terbawa keluar. Tapi saya tidak akan menceritakan hal ini. Itu akan mengganggu image saya dihadapan anda. Saya bisa kehilangan kesabaran terhadap anak saya, tapi saya tidak akan mengatakan apapun tentang itu. Anda mungkin merendahkan saya. Saya mungkin bergumul dengan alcohol, atau nafsu seks yang tidak baik, tapi saya tidak mungkin membiarkan siapapun tahu. Itu bisa menyebabkan saya ditolak oleh orang yang saya ingin menghormati saya. Saya mungkin merasa tertekan dan putus asa. Tapi saya tidak mau mengakuinya karena itu tidak kedengaran rohani.

Kita tidak perlu mengatakan setiap orang tentang perasaan kita, masalah atau kesalahan kita.Itu akan membosankan. Tapi kita bisa berhenti hidup dalam kebohongan. Kita bisa berbagi dengan mereka yang dengan tulus peduli akan masalah dan kita membutuhkan doa mereka. Kita bisa jujur setidaknya dengan satu teman baik yang mau mendorong kita, menasihati kita, berdoa untuk kita dan bersama kita dalam perubahan yang harus dibuat.

Bertanggung jawab mungkin merupakan satu alasan utama menyembunyikan kebenaran. Untuk membagikan masalah yang seharusnya kita ubah, hal yang kita tolak selama ini. Tapi Tuhan berkata kita harus bicara benar karena kita adalah sesama anggota (Ephesians 4:25). Itu mungkin alasan yang aneh. Dia tidak mengingatkan tentang nature Tuhan, walau mengenal Allah kebenaran merupakan alasan kuat untuk jujur. Dia tidak menunjuk tentang akibat dari kebohongan kita terhadap kesaksian Kristus bagi yang terhilang, walau itu juga merupakan alasan kuat. Dia menggunakan kebenaran kesatuan kita dalam satu Tubuh.

Karena kita semua anggota satu Tubuh, kita sesama anggota. Jari saya merupakan anggota tangan, dan tangan anggota lengan, dan lengan saya anggota badan, dimana baik kepala dan kaki juga tersambung. Hal terutama, setiap anggota tubuh merupakan sesama anggota. Tuhan meletakan mereka bersama untuk berfungsi secara harmonis dan berhasil.

Jika anggota tubuh saya mulai berbohong satu sama lain, mereka tidak bisa bersama maka seluruh tubuh akan menderita. Jika mata saya melihat bekas roda dijalan, tapi mengatakan pada kaki kalau jalannya halus, salah satu kaki bisa terluka. Atau jika tangan mengatakan pada anggota tubuh lain bahwa dia baik-baik saja namun kenyataannya sarafnya terputus, itu akan menghancurkan seluruh tubuh. Anggota tubuh saling membutuhkan, tapi itu sedikit artinya jika mereka tidak jujur.

Paulus berkata bahwa kita semua sesama anggota. Tuhan telah meletakan kita bersama untuk berfungsi dengan harmonis dan efektif, dan untuk alasan itu kita saling membutuhkan. Tapi itu tidak berarti jika kita tidak jujur.

Mari kita kembali keteman saya Henry yang mengalami kesulitan mengatakan kebenaran. Dia dan istrinya orang percaya. Mereka satu dalam Kristus. Mereka saling memiliki. Mereka satu daging. Mereka saling membutuhkan. Tapi mereka tidak saling menghargai. Untuk bisa saling melayani kita harus bisa dipercaya dan istri Henry tidak mempercayainya sama sekali. Dia telah sering membohonginya, sehingga istrinya tidak tahu apakah dia sedang bicara benar atau bohong. Dia berjanji akan berhenti bohong, tapi kemudian istrinya menemukan dia berbohong lagi, jadi bahkan janjinyapun suatu kebohongan.

Jika dia mencoba meyakinkan istrinya akan kasihnya, atau menghibur istrinya mengenai masa depan, istrinya tidak terhibur dengan perkataannya. Bagaimana istrinya bisa tahu dia sedang berkata benar atau bohong? Usahanya untuk melayani istrinya ditolak. Harapan istrinya hanya dibawa tinggi dan kemudian dihempaskan. Kemarahannya tertumpuk. Perselisihan menjadi sering. Hubungan mereka tidak akan bisa meningkat sampai Henry berhenti berbohong dan membangun kebiasaan bicara benar.

Dia juga memiliki masalah dengan temannya digereja. Mereka juga tidak mempercayainya dan meragukan semua perkataannya. Bisakah anda bayangkan saat dia mengajar kelas sekolah minggu? Atau mengkonseling orang percaya yang bermasalah? Mereka tidak tahu mana yang harus dipercaya. Dia tidak bisa melayani hidup mereka.

Dia juga memiliki masalah dengan mereka. Karena dia membelokan kebenaran, dia curiga orang lain juga begitu. Jadi dia tidak percaya sepenuhnya perkataan mereka. Dia juga bermasalah dalam menerima perkataan pastor padanya saat menyatakan Firman Tuhan. Jika ada banyak orang seperti dia dalam gereja, itu pasti jemaat yang sakit, dan sangat menular, karena kecurigaan dan tidak percaya merupakan benih konflik. Mari kita mendengar Firman Tuhan: “Karena itu buanglah dusta dan berkatalah benar seorang kepada yang lain, karena kita adalah sesama anggota” (Ephesians 4:25).

Bagaimana dengan sisi lain dari ketidakjujuran—hidup dalam kebohongan, bersembunyi, berpura-pura semuanya baik-baik saja padahal tidak, menyebunyikan perasaan kita? Bagaimana itu mempengaruhi Tubuh? Disatu sisi, itu membuat orang putus asa terhadap kita. Mereka tahu hidup mereka tidak sempurna, dan jika mereka pikira hidup kita sempurna, mereka biasanya menyimpulkan bahwa kita berbeda, dalam kategori super rohani yang tidak pernah bisa mereka capai. Mereka mengatakan pada diri sendiri kalau mereka tidak akan bisa seperti kita maka tidak ada gunanya mencoba. Itu menjauhkan mereka dari kita dan menghalangi mereka datang kepada kita untuk pertolongan. Jika kita jujur, mereka tidak akan menolak kita, tapi lebih menghormati ktia, dan memberi penghiburan karena mengetahui kita juga menggumulkan hal yang sama dengan kelemahan yang sama dengan mereka. Dan mereka bisa meminta nasihat dari kita saat mereka tahu kita pernah mengalaminya. Mereka tahu bahwa kita sadar tentang itu. Kejujuran menolong kita melayani sesama lebih efektif.

Dalam tahun belakangan ini Mary dan saya mendapat keistimewaan melayani missionaries dari berbagai ladang. Dalam setiap pertemuan kita membawakan sesi untuk membagikan platform dan dengan singkat mengingat kisah hidup kita. Kita menceritakan pergumulan yang kita hadapi untuk belajar rukum bersama yang lain, perselisihan dan konflik yang kita atasi, dan kegagalan memenuhi kebutuhan satu sama lain. Dalam setiap kasus, kejujuran kita menolong misionaris berhubungan lebih efektif dengan kita dan membuka kesempatan untuk konseling. Beberapa dari mereka berkata, “Kita juga memiliki masalah yang sama, tapi kami tidak pernah mengatakannya pada siapapun. Apa kata pendukung kami saat pulang nanti? Terima kasih untuk kejujuran anda.”

Tidak hanya ketidakjujuran kita yang membuat kita tidak mungkin melayani orang lain, tapi itu membuat mereka tidak mungkin melayani kita. Mari saya ilustrasikan. Kita jarang pergi kedokter keculai kita sakit. Dia tidak bisa menolong kita kecuali kita mengakui sakit kita. Hal yang sama terjadi dalam kerohanian. Tuhan meletakan Tubuh berasama agar setiap anggota bisa melayani sesama anggota. Tapi jika kita menolak mengakui kebutuhan kita, kita menghilangkan semua pertolongan yang bisa diberikan anggota lain. Mereka tidak bisa melayani sesuatu yang tidak mereka ketahui.

Jika saya memiliki masalah perkawinan, anda tidak bisa menolong saya kecuali anda mengetahuinya. Menutupinya sama seperti jempol hancur berkata, “saya tidak ingin anggota tubuh lain tahu saya hancur. Saya akan meluruskannya tanpa pertolongan.” Itu mustahil. Jempol yang rusak tidak bisa memperbaiki diri sendiri tanpa bantuan bagian tubuh lain. Dan kita juga tidak bisa menyelesaikan masalah kita tanpa pertolongan anggota tubuh Kristus lainnya. Masalah tetap ada, membuat kita makin tumpul dan terganggu dan semakin tidak bisa rukun bersama yang lain. Kejujuran menolong kita melayani sesama lebih efektif, dan meningkatkan kesehatan rohani seluruh Tubuh.

Efek merusak lain dari ketidakjujuran perasaan dan kesalahan anda adalah itu menjauhkan kita dari pengenalan diri sendiri. Psikolog mengatakan pada kita bahwa kita hanya mengerti sebanyak apa yang kita bagikan pada orang lain, dan saya merasakan hal itu. Semakin banyak hal dalam diri saya bagikan pada istri, semakin saya mengenal diri saya. Jika kita tidak terbuka terhadap orang lain—tidak pernah menyatakan kegagalan dan putus asa, sukacita dan dukacita, kebutuhan dan keinginan, perasaan dan frustrasi—kita mungkin tidak bisa mengerti diri kita sepenuhnya, dan karena itu kita tidak bertumbuh.

Mengakui apa yang terjadi dalam diri kita bisa menolong kita bertumbuh. Jika saya terus berkata, “Saya marah terhadap kamu,” akhirnya saya mungkin harus mengakui kalau terlalu berharap banyak dan tidak pernah menyerahkan harapan saya kepada Tuhan. Jika saya terus berkata, “Saya terluka saat kamu berkata demikian,” Saya mungkin akan mengakui kalau saya terlalu sensitive terhadap hal yang remeh. Saat saya mengakui itu, saya mulai berubah. Dan saat saya bertumbuh, saya bisa lebih baik lagi menolong anggota tubuh lain, dan seluruh tubuh akan berfungsi lebih harmonis.

Mungkin anda mulai menangkap pentingnya kejujuran. Itu bisa membawa kebahagiaan dan harmoni bagi hubungan anda. Kita perlu meletakan cara hidup lama dan memakai cara hidup baru, mengesampingkan kebohongan dan bicara benar, karena kita sesama anggota.


6 John Powell, Why Am I Afraid to Tell You Who I Am? (Niles, Illinois: Argus Communications, 1969).

Related Topics: Man (Anthropology), Ecclesiology (The Church), Basics for Christians, Christian Home

7. Perkataan Menguatkan

Saat anak kita bertumbuh, satu hal yang Mary dan saya coba ajarkan adalah tidak egois terhadap orang lain. Tapi harus saya akui, saya tidak terlalu memperhatikan betapa perbincangan kita egois dan tidak pengertian. Hal ini tidak muncul dalam pikiran kalau saya harus mengajar mereka bagaimana mengkomunikasikannya dengan cara yang tidak egois dan memberi teladan pada mereka, mungkin saya sendiri tidak belajar banyak tentang itu.

Menilai dari apa yang saya dengar, saya curiga bahwa ada orang yang tidak belajar tentang komunikasi yang tepat dengan yang lain. Sebagian dari kita memiliki kecenderungan untuk memotong saat orang lain sedang bicara, mendominasi percakapan dengan cerita tentang diri sendiri, menunjukan sedikit ketertarikan terhadap perkataan orang lain, tidak sabar dan terganggu saat mereka tidak setuju dengan kita, mengatakan hal yang kasar untuk menyerang dan menghina, atau melakukan kesalahan dalam percakapan yang menunjukan pertimbangan yang kurang.

Kita mungkin sedikit menghargai kekuatan perkataan kita “siapa kita?” kita bertanya. “bukan siapa-siapa. Tidak ada artinya apa yang saya katakan. Perkataan saya tidak mempengaruhi orang lain.” Tapi mereka terpengaruh! Kata-kata mempengaruhi setiap orang yang kita ajak bicara—semuanya. Itu punya kekuatan untuk menolong dan menyembuhkan, atau kekuatan untuk merusak dan melukai. “Ada orang yang lancang mulutnya seperti tikaman pedang, tetapi lidah orang bijak mendatangkan kesembuhan,” tulisa Raja Salomo (Proverbs 12:18). Sebagian orang Kristen kata-katanya menikam seperti pedang kedalam jiwa seseorang, menyebabkan luka batin pasangan mereka, anak, tetangga, pelayan, operator telepon, atau orang lain yang menghalangi mereka.

Seperti yang kita lihat, Paulus dalam suatu bagian menggunakan kata itu (Ephesians 4:25-32). Dan dalam salah satu ayat dia menringkas beberapa prinsip komunikasi yang baik: “Janganlah ada perkataan kotor keluar dari mulutmu, tetapi pakailah perkataan yang baik untuk membangun, di mana perlu, supaya mereka yang mendengarnya, beroleh kasih karunia” (Ephesians 4:29). Paulus menegakan 2 kategori komunikasi dalam ayat itu: perkataan yang tidak baik dan perkataan yang membangun. Hal yang pertama, harus sama sekali dihilangkan dari mulut kita. Tidak ada tempat sedikitpun untuk hal ini. Kita harus mengeluarkannya dan menggantinya dengan yang kedua. Mentaati perintah ini bisa sangat mengembangkan kemampuan kita rukun bersama yang lain. Tapi kita perlu tahu perkataan apa saja yang termasuk dalam kategori ini. Mari kita melihatnya—pertama perkataan yang tidak sehat atau merusak, kemudian perkataan yang membangun atau memperbaiki.

Perkataan yang Merusak

Kata ini artinya “membusuk, memburuk atau hancur.” Itu biasa digunakan untuk buah yang busuk atau hancur (Matthew 7:17-18), dan ikan yang busuk atau rusak (Matthew 13:48). Hal yang tidak sehat biasanya bau, tidak berguna, tidak bernilai atau tidak menguntungkan—hanya cocok untuk jadi sampah. Tapi lebih buruk lagi, saat kita meletakan apel busuk kedalam tong bersama dengan apel baik, itu akan menghancurkan yang lainnya juga. Itu tidak hanya jadi sampah, tapi berbahaya. Itu sangat berdampak bagi yang lain.

Paulus menggunakan kata itu dalam pengertian menghancurkan yang lain, karena dia membandingkan perkataan yang merusak dan yang membangun—perkataan yang membangun, menguatkan dan menyehatkan. Perkataan yang tidak sehat sebaliknya. Itu akan menghancurkan, dan menyakitkan. Kata-kata apa saja yang Paulus masukan kedalam kategori ini? Konteks ini menunjukan beberapa kata. Berbohong bisa melukai (v. 25). Kata-kata pahit bisa melukai (v. 31). Perkataan yang marah bisa melukai (v. 31). Kata-kata pertikaian dan gossip bisa melukai (v. 31). Semuanya dibahas dalam bab berikut. Perkataan apa lagi yang bisa melukai orang dan hubungan? Kita lihat beberapa diantaranya.

Kata-kata yang Tajam. Salomo bicara tentang perkataan yang menusuk seperti sebuah pedang (Proverbs 12:18). Itu terdengar seperti perkataan yang tajam. Daud berurusan dengan orang yang lidahnya tajam. Dia beberapa kali menyebutnya dalam Mazmur. Sebagai contoh, dia berkata tentang mantan temanya Ahithophel, yang berbalik melawan dia, mengatakan kata-kata seperti pedang terhunus (Psalm 55:21). Dia bicara tentang orang yang lidahnya seperti pedang (Psalm 57:4, 59:7, 64:3). Kita mengenal orang yang memiliki lidah yang tajam. Mereka berbakat dalam sarkasme. Mereka ahli dalam memotong, membelah, mematahkan. Mereka memiliki pikiran tajam yang melempar perkataan yang tajam sehingga orang tidak bisa mengikutinya. Mereka melakukan itu untuk kesenangan, tapi tidak memikirkan bagaimana hal itu menyakiti korban. Serangan mulut mereka merupakan hal yang Paulus kutuk dalam Ephesians 5:4.

Sebagian suami dan istri menjadikan acara perkumpulan sebagai ajang saling menjatuhkan. Daripada mengatasinya secara pribadi sehingga mereka bisa mengetahui perasaan dan pemikiran masing-masing, mereka lebih mudah menjatuhkan pisau kedalam pembicaraan mereka saat pasangan mereka tidak bisa membalas. Seorang suami yang berlidah tajam berkata, “Dottie tidak tidur telalu malam. Dia bangun tepat waktu untuk menonton opera sabun disiang hari.” Tapi Dottie tidak mau kalah: “Max selalu ingat ulang tahun saya—tiga bulan kemudian.” Dan beberapa luka yang diderita akan menimbulkan permusuhan, mengarah pada pembalasan, dan kemudian menghancurkan hubungan. Perkataan yang Merusak! “Jangalah perkataan yang tidak sehat keluar dari mulutmu.”

Kata-kata Omelan. Kitab Amsal bicara sedikit banyak tentang pertengkaran dan akibatnya. “Lebih baik tinggal pada sudut sotoh rumah dari pada diam serumah dengan perempuan yang suka bertengkar.” (Proverbs 21:9). “Lebih baik tinggal di padang gurun dari pada tinggal dengan perempuan yang suka bertengkar dan pemarah.” (Proverbs 21:19). “Seorang isteri yang suka bertengkar serupa dengan tiris yang tidak henti-hentinya menitik pada waktu hujan.” (Proverbs 27:15).

Ada perbedaan antara mengomel dengan mengingatkan. Suatu peringatan sangat bersahabat dan bebas dari ketidak sabaran dan gangguan. Tapi omelan merupakan pengulangan, permintaan yang ditandai dengan kemarahan. Inilah istilah Salomo “suka bertengkar” Suatu omelan cenderung memarahi, menyalahkan, membuat tuduhan yang menyerang harga diri seseorang. “Kapan kamu mau mencat rumah? Apakah kamu tidak peduli apa kata orang?” Itu suatu percobaan menciptakan rasa bersalah. “Apakah kamu tidak tahu cara lain selain menghisap supmu? Kamu makan seperti binatang.” Itu percobaan untuk mempermalukan.

Saya tidak tahu kenapa Salomo hanya mencari-cari kesalahan istri. Mungkin itu karena dia memiliki banyak. Tapi pria juga sama salahnya. “Saya harap kamu kehilangan beberapa kilo. Saya malu bersama kamu didepan umum.” Kata-kata itu sangat merendahkan dan menghina. Itu menyakiti dan menghancurkan. “Sudah saya katakan ratusan kali kalau saya tidak suka kopi sekeras ini.” Itu sekali lagi merendahkan. Maksudnya, “apa yang terjadi dengan kamu? Tidak mengerti bahasa ? Atau kamu tidak bisa mengingat permintaan yang sederhana? Atau kamu memang tidak bisa melakukan apapun dengan benar ?”

Perkataan omelan seperti itu sangat merusak. Itu mengganggu, seperti tetes air dari keran bocor. Itu menyakiti dengan membuat orang lain merasa tidak enak. Perkataan seperti itu membangun rasa bersalah, menyebabkan mereka merendahkan diri, membuang harga diri mereka. Hasilnya semakin merusak hubungan. Tidak baik membuat orang lain merasa buruk. Saat kita meminta seseorang melakukan sesuatu, dan jika mereka setuju tapi gagal, kita bisa mengingatkan mereka dengan kasih dan baik tanpa menyatakan kemarahan atau merendahkan. “Janganlah perkataan tidak sehat keluar dari mulut anda.”

Kata-kata yang Berlebihan. Ada jaring kesalahan yang sudah kita bahas dalam bab sebelumnya yang akan diingatkan kembali karena berhubungan dengan perkataan yang menghancurkan hubungan, dan itu adalah pernyataan yang dilebih-lebihkan. Perkataan yang biasanya menggunakan kata selalu dan tidak pernah. “Kamu tidak pernah mengajakku makan.” “Kamu selalu memberi saya anggur saat pulang kerja …” “Semua yang bisa kamu pikir hanyalah ________” (isi tempat kosong dengan, makan, seks, pakaian baru, dll.). Pernyataan yang Absolute biasanya tidak benar dan cenderung menimbulkan permusuhan. Itu menyakiti kita, sebenarnya kita mencoba menyatakan hal yang benar tapi akhirnya pernyataan itu jadi salah, untuk memperbaiki harga diri kita yang terluka.

Saat seorang istri berkata, “Kamu tidak pernah mengajak saya keluar makan,” suaminya mungkin menjawab, “Tentu saya pernah. Saya ingat pernah mengajak kamu 6 minggu lalu. Kamu tidak mengingat apapun. Dan selain itu kamu tidak menghargai apapun yang saya berikan.” Dan dimulailah perkelahian. Hal yang bodoh adalah mereka mempertengkarkan masalah yang salah. Masalahnya bukan kapan mereka keluar makan terakhir kali. Tapi mungkin istrinya merasa diabaikan atau bekerja terlalu keras. Dia perlu peka terhadap kebutuhan istri. Tapi jika istri mencoba menyatakan keinginan atau perasaannya, maka nyatakan secara langsung dengan kasih dan baik daripada membuat pernyataan absolute yang menuduh, dari situ ada kemungkinan hubungan bisa dikuatkan bukannya jadi tegang. “Janganlah perkataan yang tidak sehat keluar dari mulutmu.”

Kata-kata Dendam. Petrus mengidentifikasi beberapa perkataan yang tidak sehat yang bisa melukai hubungan. “Dan akhirnya, hendaklah kamu semua seia sekata, seperasaan, mengasihi saudara-saudara, penyayang dan rendah hati, dan janganlah membalas kejahatan dengan kejahatan, atau caci maki dengan caci maki, tetapi sebaliknya, hendaklah kamu memberkati, karena untuk itulah kamu dipanggil, yaitu untuk memperoleh berkat.” (1 Peter 3:8-9). Kita biasanya merespon dengan marah terhadap tuduhan. Kita menjawab kemarahan dengan kemarahan, sarkasme dengan sarkasme. Itulah nature manusia kita.

“Kamu tidak pernah mendengar saya,” tuduhnya.

“Itu karena kamu tidak pernah mengatakan apapun yang bisa didengar,” jawabnya.

Kita biasanya hidup seperti pepatah, “Saat terluka, balas dan lukai kembali.” Dan itu hanya meningkatkan konflik kita, sampai itu mencapai perceraian.

“Bisakah anda mengatakan pada pengadilan sekarang apa yang terjadi antara anda dan istri anda sampai masuk kepersidangan ini?”

“Baik,” kata sang suami. “Itu seperti pring dan panic melayang.”

Petrus mengusulkan agar kita tidak membalas kejahatan dengan kejahatan atau penghinaan dengan penghinaan. Kita telah memiliki nature baru, nature supernatural yang mampu berespon seperti Tuhan Yesus sendiri. “Ketika Ia dicaci maki, Ia tidak membalas dengan mencaci maki; ketika Ia menderita, Ia tidak mengancam, tetapi Ia menyerahkannya kepada Dia, yang menghakimi dengan adil.” (1 Peter 2:23). Secara sadar bersandar pada kuasaNya, kita tidak hanya bisa menahan kata-kata dendam, tapi kita bisa bicara hal yang bisa menenangkan orang yang menuduh, menyembuhkan luka yang dialami dan menguatkan hubungan.

Perkataan yang Membangun

Kita sudah melihat beberapa perkataan yang menghancurkan hubungan; sekarang kita melihat beberapa perkataan yang menyembuhkan dan menguatkan—perkataan yang membangun. “Janganlah ada perkataan kotor keluar dari mulutmu, tetapi pakailah perkataan yang baik untuk membangun, di mana perlu, supaya mereka yang mendengarnya, beroleh kasih karunia” (Ephesians 4:29). Disini adalah beberapa prinsip Alkitab yang bisa mengatasi banyak masalah komunikasi kita. Jika kita menggunakannya untuk mengatur kata-kata kita, kita akan melihat hubungan kita akan meningkat. Tanyakan pada diri anda, “Apakah kata-kata saya membangun—apakah kata-kata itu membangun orang dalam hidup saya atau sebaliknya?” “Apakah perkataan ini yang mereka perlukan disaat ini?” “Apakah perkataan ini mendatangkan kasih karunia pada mereka—apakah itu akan menguntungkan mereka?”

Jika seorang istri berkata pada suaminya, “kamu tidak pernah mendengar aku,” dia pasti tidak ingin mendengar jawaban, “Kamu tidak pernah mengatakan sesuatu yang pantas didengar.” Pernyataan pertama sudah salah, tapi 2 kesalahan tidak akan menghasilkan kebenaran. Kesalahan kedua lebih melukai dan menghancurkan daripada yang pertama. Apa yang istri butuhkan saat itu? Perkataan yang membangun! Ini ada beberapa.

Kata-kata yang Lemah Lembut. Kita sudah menyebut perkataan yang lembut saat kita membahas kesalahan orang lain (bab 3). Tapi hal ini penting untuk ditekankan lebih lanjut. Salomo menulis, “Jawaban yang lemah lembut meredakan kegeraman” (Proverbs 15:1). Kata lembut berarti penuh kasih, halus dan nyaman. Paulus mengatakan hal yang sama: “Tetapi hendaklah kamu ramah seorang terhadap yang lain, penuh kasih mesra dan saling mengampuni, sebagaimana Allah di dalam Kristus telah mengampuni kamu” (Ephesians 4:32). Lidah yang menggerakan perselisihan juga bisa mengkomunikasikan kebaikan, kasih dan pengampunan saat dikontrol oleh Roh Kudus. Perkataan yang lemah lembut bisa menenangkan suasana setelah perkataan bodoh dinyatakan. Saat nafsu membara, tuduhan dibuat atau kejahatan dilontarkan, cobalah perkataan yang lembut. Usahakan bicara dalam kelembutan, tenang, nada yang baik, dan pilihan kata yang tidak mengancam atau bermusuhan. Itu seperti menuangkan air dingin di batubara yang menyala. Membutuhkan dua orang untuk bertengkar. Jika salah satu memutuskan ada cara yang lebih baik dan menolak bermusuhan, tidak akan ada perkelahian.

Kata-kata yang Pengertian. Jika kita hanya mau bicara hal yang membangun orang lain sesuai kebutuhan mereka, maka kita harus mengerti kebutuhannya. Itu membutuhkan pemikiran sebelum kita membuka mulut kita. Sebagian besar dari kita langsung melakukan hal pertama yang ada dalam pikiran saat kita diundang berkelahi. Salomo memiliki pengamatan tentang itu:

“Kaulihat orang yang cepat dengan kata-katanya; harapan lebih banyak bagi orang bebal dari pada bagi orang itu.” (Proverbs 29:20). “Hati orang benar menimbang-nimbang jawabannya, tetapi mulut orang fasik mencurahkan hal-hal yang jahat.” (Proverbs 15:28).

Sebagian dari pemikiran itu merupakan usaha mengerti apa perasaan orang lain yang ingin dikomunikasikan pada kita. Mereka mungkin kurang baik mengatakannya, tapi mungkin ada kebutuhan dibalik itu. “Kamu tidak pernah mendengar aku” terjemahannya “Saya tidak merasa kamu mendengar saya dengan baik sehingga saya tidak merasa dikasihi dan dimengerti. Dan saya terluka karena itu.”

Sangat disayangkan kita tidak bisa secara langsung menyatakan hal secara sederhana dan baik tentang apa yang kita inginkan dan rasakan, tapi sebaliknya kita menuduh, mengkritik, memanipulasi, membesar-besarkan, bertengkar atau menghakimi motivasi. Tapi kita semua memiliki masalah, dan itu bisa menolong kita mencoba untuk lebih sabar terhadap orang lain saat mereka tidak mengkomunikasikannya dengan baik, dan menolong kita menangkap apa yang ada dibelakan perkataan mereka. Kemudian kita bisa berespon dengan perkataan yang pengertian daripada pembalasan. Respon yang pengertian bisa seperti, “Anda mungkin benar. Saya mungkin tidak mendengar dengan baik seperti seharusnya. Dan saya bisa mengerti kenapa itu mengganggu anda. Itu juga mengganggu saya. Saya ingin melakukan lebih baik. Bisakah anda mengusulkan beberapa ide sehingga saya bisa berkembang dalam hal ini.”

Apakah anda lihat apa yang anda lakukan? Anda meyakinkan dia bahwa anda mengerti kenapa dia terganggu. Anda memberikan dia kesempatan bicara lebih banyak tentang itu, yang mungkin itulah apa yang dia inginkan. Anda membiarkan dia tahu anda tertarik membuat perubahan dalam hidup anda dan itu membuat dia lebih bahagia. Dan anda telah berfokus pada solusi, membuat pembahasan jadi berbuah daripada saling menyalahkan. Jawaban seperti itu bisa membangun dia, memenuhi kebutuhannya dan menguntungkannya. Itu baik dan mengampuni. Dan apa harganya bagi anda selain menyerahkan pendapat yang pintar yang sudah dari awal tidak benar? Kata-kata pengertian membangun dan mendorong.

Kata-kata Penghargaan. Rasul Paulus sendiri memberikan kita teladan dari kata-kata yang membangun. Dalam banyak suratnya dia memasukan kata-kata penghargaan dan apresiasi. Sebagai contoh, kepada jemaat Filipi dia menulis, “Aku mengucap syukur kepada Allahku setiap kali aku mengingat kamu. Dan setiap kali aku berdoa untuk kamu semua, aku selalu berdoa dengan sukacita. Aku mengucap syukur kepada Allahku karena persekutuanmu dalam Berita Injil mulai dari hari pertama sampai sekarang ini” (Philippians 1:3-5). Kepada jemaat Tesalonika dia menulis, “Kami selalu mengucap syukur kepada Allah karena kamu semua dan menyebut kamu dalam doa kami. Sebab kami selalu mengingat pekerjaan imanmu, usaha kasihmu dan ketekunan pengharapanmu kepada Tuhan kita Yesus Kristus di hadapan Allah dan Bapa kita.” (1 Thessalonians 1:2-3). Baik Paulus maupun jemaat Tesalonika tidak sempurna, tapi Paulus memuji mereka sebelum berhadapan dengan masalah mereka. Tidak ada satupun dari kita yang tidak memerlukan kata pujian. Tanpa itu, kita menjadi ragu dan tidak mampu berfungsi sepenuhnya.

Sebagian dari kita sepertinya berpikir bahwa orang akan jadi sombong jika kita memuji mereka terlalu sering. Sebaliknya! Orang sering menjadi sombong saat mereka kelaparan akan penghargaan. Suatu penghargaan yang tulus akan mendorong mereka untuk melakukan lebih baik.

Alan McGinnis menghubungkan pelajaran ini dalam kelas 2 di Wisconsin. Anak-anak semakin tidak bisa diatur, berdiri dan berjalan kesana-kemari daripada melakukan pekerjaan mereka. Dua psikolog menghabiskan waktu beberapa hari diruangan itu untuk mengamati. Mereka menemukan bahwa 7 kali dalam setiap 20 menit gurunya berkata, “duduk!” Tapi hal itu tetap berlangsung. Mereka mengusulkan dia meningkatkan perintah, dan itu dilakukannya, 27.5 kali dalam setiap 20 menit. Jalan-jalan dikelas meningkat 50 persen. Kemudian mereka menyarankan dia menghilangkan perintah sama sekali dan memberi pujian pada anak-anak yang duduk dikursi mereka dan melakukan pekerjaan mereka. Jalan-jalan dikelas berkurang 33 persen dari situasi awal.7

Psychologists yang mengatakan hal itu, artinya kita perlu 4 pernyataan positif untuk mengimbangi 2 perkataan kritik. Anak yang nakal setidaknya satu – satu. Sebagian dari kita juga sama. Kita menikmati kerjasama dengan mereka yang menunjukan rasa penghargaan pada kita dan kita menolak mereka yang mengkritik kita. Itu akan membuat perubahan yang berarti dalam cara kita rukun bersama yang lain jika kita melihat hal positif dalam hidup mereka dan menyatakan penghargaan kita. Seorang suami bisa berkata, “Ini makanan yang enak. Terima kasih untuk waktu dan usahanya.” Pimpinan sekolah minggu bisa berkata pada seorang guru, “Terima kasih untuk kesetiaan bagi kelas. Saya yakin anda pasti ada kecuali diberitahu lebih dulu.” Pernyataan seperti itu menyatakan pesan penting. Mereka berkata, “Saya peduli terhadap kamu. Kamu penting bagi saya. Saya menghargai kamu.” Itu semua pernyataan yang membangun.

Ini bukan pujian yang salah dimana orang sering menggunakannya untuk keuntungan diri. Alkitab memperingatkan hal itu: “Lidah dusta membenci korbannya, dan mulut licin mendatangkan kehancuran” (Proverbs 26:28). Tapi itu mendorong orang saat kita dengan tulus memuji hal yang terpuji dalam diri mereka. Latih diri anda untuk melihat mereka yang disekitar anda—pelayan ditoko, tetangga yang sulit, usher digereja, pasangan anda, anak anda, orangtua anda, karyawan anda, bos anda—setiap orang!

Mari kita memandang Firman Tuhan dengan serius dan mulai memperhatikan kata-kata kita. Buang semua yang bisa merusak orang lain dan menyebabkan hubungan anda membusuk. Gantikan dengan kata-kata yang membangun, memenuhi kebutuhan, dan melayani hidup orang lain. Kita akan mendapat keuntungan saat kita mengalami hubungan yang harmonis.


7 Reprinted by permission from The Friendship Factor by Alan Loy McGinnis, copyright 1979, Augsburg Publishing House, pp. 93-94.

Related Topics: Man (Anthropology), Basics for Christians

8. Kamu Membuat Saya Sangat Marah

Saat ini Sabtu siang. Seharian anda membersihkan rumah untuk kedatangan tamu dihari minggu—menghisap debu karpet, menyikat lantai, menggosok piring, menggosok peralatan lainnya. Sekarang sudah siap untuk diperiksa—tapi yang terjadi tidak seperti itu. Sebaliknya, anak perempuan anda masuk kedalam dari pantai dan berkata “Hi, ma,” dan terus berjalan sepanjang rumah meninggalkan jalur pasir dibelakangnya.

Sebelum anda mendapat kesempatan buka mulut, suami anda masuk dari garasi dimana dia sedang membetulkan transmisi mobil, dan dengan tangan kotor dia mendekorasi ulang tempat cuci, lemari es dan 2 gagang pintu, dan susunannya. Seperti sudah direncanakan dengan sempurna oleh seseorang yang membenci anda, Johnny 10 tahun, disaat yang sama, tidak bisa mengendalikan kodok besarnya yang dari lumpur dipekarangan. Itu membuat tanda diatas sofa ruang tamu yang sudah putih bersih.

Ledakannya pasti luar biasa—yang terburuk dalam sebulan. Anda berteriak, memanggil nama mereka, menuduh mereka melakukan hal yang tidak bertanggung jawab, mengeluhkan status anda sebagai budak dan mengancam untuk keluar. Mereka membuat anda sangat marah!

Ledakannya sudah lewat sekarang. Suasana tenang dan diam, tapi tegang. Semua orang kelihatannya menghindari anda. Anda merasa sepi dan tertolak, dan sangat bersalah. Anda melakukannya lagi; anda membiarkan kemarahan anda tidak terkontrol, dan itu menjauhkan anda dari orang yang anda kasihi.

Kemarahan! Beberapa orang menyebutnya kututkan terbesar dalam hubungan antar pribadi. Ayah mungkin marah, yang paling dalam keluarga. Dia membesar-besarkan jika seseorang mengganggu acara nonton TV atau membaca Koran, atau meninggalkan peralatannya berkarat. Mungkin salah satu anaknya memutuskan sekringnya jika dia tidak mendapatkan keinginannya.

Rumah bukan satu-satunya tempat mempertunjukan kemarahan. Kita melihatnya ditempat kerja, tetangga, dilapangan pertandingan, bahkan dalam pertemuan dewan gereja dan pertemuan bisnis jemaat.

Apa pandangan Tuhan tentang kemarahan? Mari kita lihat FirmanNya, menemukan apa itu kemarahan, apa yang dilakukan dan bagaimana seharusnya kita menghadapinya.

Apa Itu Kemarahan

Dictionary mendefinisikan kemarahan sebagai “perasaan ketidaksenangan yang kuat dan biasanya bermusuhan.” Sebagian kata PL ini sama dengan kata yang digunakan untuk lubang hidung, atau nafas yang berat. Ada 2 kata utama dalam PB, satu menunjuk pada nafsu yang tersebur keluar, dan yang lain rangkaian pikiran yang tetap. Tuhan tidak senang dengan keduanya. Dia menyuruh kita untuk menyingkirkan keduanya. “Segala……, kegeraman, kemarahan, …….hendaklah dibuang dari antara kamu,…….” (Ephesians 4:31; see also Colossians 3:8).

Tapi yang aneh adalah Tuhan menyuruh kita dalam konteks yang sama untuk marah. “Apabila kamu menjadi marah, janganlah kamu berbuat dosa: janganlah matahari terbenam, sebelum padam amarahmu” (Ephesians 4:26). Kata ini dalam Yunaninya harus ditaati, bukannya “Dalam kemarahanmu jangan berdosa” atau “saat marah jangan berdosa” seperti kebanyakan diterjemahkan, tapi secara literal “Marahlah” Tuhan marah tentang beberapa hal, dan orang Kristen juga harus begitu.

Yesus memberikan teladan. Ada seorang yang membutuhkan disinagoge. Dia memiliki tangan yang lumpuh yang Yesus bisa sembuhkan. Orang Farisi mengawasi Yesus, berharap Dia akan menyembuhkan orang itu agar mereka bisa menuduh Dia melanggar hari Sabat. “Ia berdukacita karena kedegilan mereka dan dengan marah Ia memandang sekeliling-Nya kepada mereka lalu Ia berkata kepada orang itu: Ulurkanlah tanganmu! Dan ia mengulurkannya, maka sembuhlah tangannya itu” (Mark 3:5). Yesus marah terhadap kemunafikan yang membuat aturan agama lebih penting daripada menunjukan belas kasih kepada orang yang membutuhkan. Jadi Dia melakukan hal kasih, peduli dan menyembuhkan orang itu, walau itu bertentangan dengan aturan mereka. Ketidakpedulian, tidak peka seperti itu yang menyamar jadi rohani seharusnya membuat kita marah, seperti kejahatan dan ketidakadilan. Itu kemarahan Tuhan yang baik dan benar.

Apa perbedaannya, antara kemarahan yang benar dan berdosa? Kita mengusulkan beberapa perbedaan. Disatu sisi, kemarahan yang benar pasti tidak egois sementara kemarahan yang berdosa itu egois. Itu muncul saat keinginan, kebutuhan atau ambisi kita tidak berjalan, saat permintaan kita tidak dipenuhi, saat harapan kita tidak tercapai, saat keberadaan kita terancam, saat harga diri kita diserang, atau saat kita malu, diremehkan atau tidak nyaman. “Kenapa dia tidak melakukan apa yang saya perintahkan?” “Kenapa dia tidak membersihkan kekotoran yang dia lakukan saat selesai?” Itu semua tidak menyenangkan bagi kita.

Perbedaan kedua adalah kemaraha yang benar selalu terkontrol sedangkan kemarahan berdosa sering tidak terkontrol. Itu menyebabkan kita mengatakan dan melakukan hal yang akan kita sesali kemudian, hal yang seharusnya tidak dikatakan atau lakukan saat terkontrol.

Perbedaan ketiga adalah kemarahan yang benar terarah pada tindakan berdosa atau keadaan yang tidak adil sementara kemarahan berdosa sering terarah pada orang. Tuhan ingin kita membenci dosa tapi mengasihi orang berdosa, seperti yang dilakukanNya. Dan itu berarti memperlakukan orang berdosa dengan cara yang baik dan peduli. Kemarahan berdosa memukul orang.

Perbedaan terakhir adalah kemarahan yang benar tidak dendam atau bermusuhan, dan tidak membalas. Kenyataannya, perlu tindakan positif untuk memperbaiki kesalahan dan menyembuhkan perbedaan dan perselisihan. Kemarahan berdosa, sebaliknya menabur kepedihan dan mencari permusuhan. “Dia tidak akan lolos dari hal ini.” Jadi kita membuat dia membayar. Kemarahan itu mengharuskan dia menghukum orang, dan memberi bekas luka, atau dengan diam, atau dengan gossip jahat yang kita sebarkan, atau kita mencoba memisahkan dia dengan temannya. Kemarahan berdosa ingin menyakiti, bahkan menghancurkan.

Tuhan ingin kita marah, tapi atas masalah yang tepat, diwaktu dan cara yang benar. Dia ingin kita menyingkirkan semua kemarahan yang berdosa. Jika kita jujur, kita mau mengakui setidaknya kurang dari 2 persen dari kemarahan kita adalah kemarahan yang benar, sementara yang 98 persen adalah kemarahan yang berdosa. Itu adalah kemarahan berdosa yang akan kita bahas dalam bab ini … perasaan berdosa, egois, benci terhadap orang yang tidak menyenangkan bagi kita.

Apa yang Dilakukan Kemarahan

Jika seseorang memegang anda dan mulai berteriak pada anda dengan marah karena anda tidak sengaja menginjak jempol kakinya, beberapa perubahan psikologis akan terjadi dalam tubuh anda. Adrenaline akan terpompa kedalam aliran darah. Tekanan darah dan denyut jantung akan meningkat. Mata akan membesar dan otot menegang. Itulah cara tubuh mempersiapkan diri untuk keadaan krisis tiba-tiba. Respon itu langsung terjadi. Itu terjadi apakah anda mau atau tidak. Itu bisa berupa campuran keterkejutan, takut, khawatir dan marah, tapi kemarahan yang ini tidak berdosa. Tuhan membangun kemampuan berespon seperti itu kedalam diri anda. Pertanyaannya adalah, apa yang akan anda lakukan dengan gelombang kemarahan pertama anda? Pilihannya harus anda tentukan. Anda memiliki beberapa saat untuk menilai keadaan, proses dan data dan membuat respon anda. Apa yang akan terjadi?

Jika anda memutuskan bahwa keadaannya pantas mencurahkan kemarahan anda, bahwa anda pasti dibenarkan kalau menyatakan itu, mungkin anda akan berteriak juga, berkeras kalau itu tidak disengaja, atau itu salahnya sendiri. Beberapa psikolog berkata bahwa kemaraha itu baik bagi kita, keluarkanlah dan bebaskan tekanan itu. Masalahnya adalah dengan mengeluarkan kemarahan membuat tubuh harus menjaga keadaan darurat, jadi itu membuat kemarahan semakin mengalir. Lebih jauh, itu membentuk kebiasaan dalam otak anda untuk bereaksi dengan kemarahan, dan itu menyulitkan usaha menyingkirkan kemarahan yang berdosa, seperti yang dikatakan Alkitab.

Lebih jauh, jika kita mengijinkan keadaan darurat itu terus berlanjut, itu mengurangi kemampuan kita untuk berpikir sehat dengan jelas, dan akhirnya menghancurkan keseimbangan kimia dalam tubuh kita dan membuat kita sakit. Dokter mengusulkan agar hal seperti migraine, thyroid malfunction, ulcerative colitis, toxic goiters, tekanan darah tinggi, ulcers, serangan jantung, sakit punggung, rematik, arthritis, allergies, indigestion, asthma dan banyak penyakit lain bisa disebabkan secara emosi.

Tapi hal yang sama seriusnya adalah fakta bahwa kita akan menjauhkan orang dari kita, seringkali orang yang paling kita kasihi. Mereka yang paling kita tuntut, dimana harapan kita pada mereka paling tinggi. Akibatnya, mereka menjadi objek kemarahan kita. Sangat tidak masuk akal kita membanjiri mereka dengan kemarahan dan meminta mereka membanjiri kita dengan kasih. Mereka juga manusia. Dan prinsip dasar manusia yang dinyatakan Alkitab adalah kemarahan mengakibatkan kemarahan. “Jawaban yang lemah lembut meredakan kegeraman, tetapi perkataan yang pedas membangkitkan marah” (Proverbs 15:1). “Si pemarah membangkitkan pertengkaran, tetapi orang yang sabar memadamkan perbantahan” (Proverbs 15:18). “Si pemarah menimbulkan pertengkaran, dan orang yang lekas gusar, banyak pelanggarannya.” (Proverbs 29:22).

Ada banyak pertengkaran dan perselisihan dalam gereja dan keluarga Kristen sekarang ini karena umat Tuhan tidak mengatasi kemarahan mereka. Kita mendengar orang berkata, “Tapi dengan marah baru saya bisa mendapat jawaban.” Jadi mereka saling berteriak dan menjadikan itu alasan. Tapi Firman Tuhan berkata “…sebab amarah manusia tidak mengerjakan kebenaran di hadapan Allah” (James 1:20). Kita tidak mengerjakan apapun dari kemarahan kecuali teladan yang menyedihkan bagi generasi berikut.

Bagaimana Mengatasi Kemarahan

Ada beberapa cara berbahaya dalam mengatasi kemarahan. Kita sudah menyebut ekspresi yang tak terkendali dan kehancurannya. Tapi ada yang lain. Salah satu yang paling umum adalah dengan menyangkalinya. Kita mengatakan pada diri kita bahwa orang Kristen tidak seharusnya marah. Saya seorang Kristen, jadi sudah alami kalau saya tidak marah. Saya prihatin, kecewa, terluka, tapi tidak marah.

Bayangan saya bahwa sebagai orang Kristen tidak boleh marah, jadi saya menyangkalinya, atau menekannya didalam sehingga itu memakan bagian tubuh saya, membuat saya secara fisik sakit atau membuat saya tertekan. Saya menyimpannya sampai tekanan begitu besat sehingga meledak keluar dengna tidak pada tempatnya sehingga mengakitbatkan hal serius, atau saya menahannya sampai saya bisa mengarahkan itu pada objek yang tidak berbahaya. Bos bisa memecat saya, jadi saya tidak melawannya. Saya pulang rumah dan berteriak pada istri. Dan istri saya berteriak pada anak-anak. Dan mereka menendang kucing kami. Dan kucing mencakar bayi, yang sedang mengembangkan paru-parunya sehingga bisa membuat hidup lebih sengsara bagi semua orang.

Jika kita tidak membiarkan kemarahan kita meledak, kita bisa membiarkannya mengalir dengan cara yang tidak disadari, seperti sering terlambat, atau membakar makanan, atau menghindari orang, atau mencibir, atau menggoda, menjadi sarkastik, lupa mengingatkan atau kebiasaan lain yang membuat orang lain tahu kalau kita sedang marah pada mereka. Hal itu tidak bisa membangun. Ada cara yang lebih baik untuk mengatur kemarahan kita. Paulus menyuruh untuk membuangnya. Tapi bagaimana? Itulah pertanyaan yang perlu dijawab. Marilah saya berikan beberapa usulan.

Hal pertama yang bisa kita lakukan adalah mengakui kemarahan kita dengan jujur dan menerima tanggung jawabnya. Itu mungkin sulit dilakukan jika kita sudah menekannya atau menolaknya dalam hidup kita. Tapi ini penting. Belajar bertanya pada diri sendiri “Apa yang saya rasakan saat ini? Apakah saya marah pada orang itu atas perlakuannya? Kemudian akui itu. Bukannya “kamu membuat saya marah.” Itu merupakan percobaan menyalahkan orang lain, dan itu tidak adil bagi mereka. Tidak ada yang bisa membuat kita seperti itu! Mereka bertanggung jawab atas tindakan mereka sendiri, tapi kita bertanggung jawab atas perasaan kita. Kita memilih untuk marah. Kita memilih untuk mengampuni, bertindak baik, bicara halus atau berkelakar. Tapi jika kita memilih untuk marah, kita harus mau mengatakannya: “Saya merasa marah karena kamu bicara seperti itu pada saya.” Kita tidak memberi sarkasme, merendahkan, tuduhan, hanya pernyataan yang jujur. Kita merasa marah.

Sungguh menakjubkan tekanan bisa dilegakan oleh pengakuan seperti itu. Tapi banyak orang tidak pernah berpikir untuk sejujur itu. Mereka tidak pernah melihat teladan selain dari kemaraan yang tak terkendali, sehingga mereka tidak tahu bagaimana menjadi jujur terhadap hal itu. Paulus berkata kalau kita harus bicara kebenaran (Ephesians 4:25). Yakobus berkata kita harus mengakui kesalahan kita kepada sesama (James 5:16). Cobalah. Dan saat anda melakukannya, baik untuk menyatakan keinginan anda juga untuk mengatasi kemarahan. Katakan seperti ini, “Saya tidak ingin marah dengan anda. Saya tidak suka diri saya saat marah seperti ini. Saya ingin merasa dekat dengan anda dan mengasihi anda.” Ini bisa memperlancar proses penyembuhan.

Usulan kedua untuk menghilangkan kemarahan itu adalah dengan melihat sebabnya. Tuhan ingin kita berpikir dengan baik dan seksama sebelum kita bicara. Banyak bagian Alkitab meneguhkan hal ini (bandingkan James 1:19; Proverbs 12:16; 14:29; 16:32; 19:11; 29:11). Jawabannya tidak menghitung sampai sepuluh, tapi dipikir. Hal terbaik yang bisa terpikir mungkin alasan dari kemarahan kita. Sebagian besar kemarahan bisa dilihat dari kebutuhan dan keinginan kita. Dua orang psikiatris Kristen mengusulkan beberapa sebab umum: (1) Keegoisan: tuntutan egois kita tidak terpenuhi; (2) perfectionism: harapan kita yang perfecsionis tidak terpenuhi yang membuat kita marah pada diri sendiri dan orang lain; (3) Kecurigaan: kita salah mengartikan motivasi atau maksud orang lain. Kita pikir mereka mengabaikan kita, merendahkan atau melawan kita.8 Kita ingin orang memperlakukan kita dengan tepat dan kita marah saat mereka tidak melakukannya, jadi langkah penting untuk mengatasi kemarahan kita adalah mengidentifikasi apa yang kita inginkan darinya.

Apakah perhatian, rasa hormat, pengakuan, penghargaan, pertimbangan atau kasih yang ingin aku dapatkan? Apakah saya ingin didengar, pendapat saya dihargai, permintaan saya dianggap penting? Apakah saya ingin dilihat sebagai orang yang bertanggung jawab? Apakah saya ingin milik saya ditangani dengan baik? Apakah saya ingin orang lebih memperhatikan perasaan saya, atau kenyamanan saya? Kita semua menjadi marah karena kita mengharapkan seseorang memenuhi keinginan kita, dan mereka gagal. Jadi identifikasi keinginan itu.

Itu membawa kepada langkah ketiga dalam mengatasi kemarahan. Ampuni kesalahan mereka dalam memenuhi harapan kita. Kita harus mengampuni mereka saat kita menyadari betapa Tuhan telah mengampuni kita. Dan pengampunan bisa menghapuskan kemarahan keluar dari hidup kita. Kemarahan sering membalas kesalahan orang lain terhadap kita. Tapi jika kita mengampuni, kita membayarnya sendiri. Dan karena mereka dibayar, maka tidak ada alasan untuk marah lagi.

Sebagian dari orang Kristen bergumul dengan kemarahan karena kita memiliki pengertian yang lemah akan anugrah Tuhan. Kita hidup dalam dunia hukum, dan kita pikir kita harus melakukan sesuatu untuk bisa mendapat kelayakan oleh Tuhan. Jadi kita mengharapkan yang lain untuk melakukan tuntutan perfeksionis kita sebelum mereka mendapat penerimaan kita. Jika mereka gagal, kita pikir kita punya hak menghukum mereka dengan kemarahan. Tuhan telah menerima dan mengampuni kita, bukan atas dasar performance kita tapi atas dasar anugrahNya.

Saat kita mengerti betapa besar dosa kita, dan betapa hebat kasih karuniaNya, kita akan berhenti meminta bayaran dari orang lain saat mereka gagal memenuhi harapan kita. Kita akan mampu mengampuni, dan kemarahan kita akan terselesaikan. Kita akan membahas pengampunan dan tempatnya dalam hubungan kita dengan yang lain dalam bab berikut. Tapi dengan kata-kata singkat ini, kita sudah siap dengan obat pencegahan.

Langkah keempat dalam mengatasi kemarahan kita adalah menyatakan keinginan kita secara terbuka. Jika kita ingin sesuatu dari mereka yang dekat dengan kita, atau merasa kita membutuhkan sesuatu dari mereka, kita seharusnya mengatakannya. Jangan memainkan main petak umpet: “Jika kamu mengasihi aku, kamu pasti tahu keinginanku.” Katakan dengan jelas, apapun itu. “Sayang, saya ingin pergi makan malam ...” “Sangat penting bagi saya jika kamu meletakan baju kotor di keranjang.” “Saya suka jika kamu menyambut saya dengan gembira saat pulang rumah. Itu membuat hidup satu hari saya ...” “Saya ingin kamu mengatakan “Aku cinta kamu,” atau “Aku minta maaf, aku salah,” atau “terima kasih.”

Kadang orang gagal memenuhi keinginan kita karena mereka benar-benar tidak tahu apa itu. Beberapa protes karena saya memberikan usulan ini pada mereka: “Tapi saya sudah memberitahu padanya ribuan kali. Itu tidak berarti apa-apa.” Kita mungkin telah merengek, mengeluh, dan menuduh ratusan kali. Tapi itu hanya membangkitkan permusuhan dan penolakan. Kita perlu menjelaskan secara langsung, tenang, baik dan kasih apa yang kita inginkan. Dan itulah perbedaannya! Coba bicarakan itu, bagikan apa yang anda inginkan dan kenapa itu penting bagi anda.

Dan baik bagi kita jika menjalani keseluruhan proses ini sebelum tidur—akui kemarahanmu, lihat alasannya, ampuni kesalahan orang lain dan nyatakan keinginanmu. Lihatlah kembali. “Apabila kamu menjadi marah, janganlah kamu berbuat dosa: janganlah matahari terbenam, sebelum padam amarahmu” (Ephesians 4:26). Jangan membangun permusuhan. Bicarakan hal yang membuat anda marah, dan lakukan itu sebelum hari berakhir jika mungkin. Saat kita membiarkan itu terus ada, itu akan tertimbun tanggung jawab sehari-hari dan menjadi cacing yang membusukan hubungan.

Mungkin kita harus mengingatkan anda sekali lagi bahwa saat anda mengatakan keinginan anda, anda harus memberikan orang lain kebebasan untuk memenuhinya atau tidak. Anda ingin kebebasa dari mereka kan? Jadi berlakukan kebebasan yang sama kepada mereka. Tolak untuk mengurung mereka dalam harapan dan tuntutan anda, memanipulasi mereka untuk sesuai dengan kehendak anda, atau membuat mereka merasa bersalah jika mereka gagal. Serahkan semua harapan anda kepada Tuhan dan biarkan Dia memberikan itu melalui mereka hal yang Dia ingin anda dapatkan. Roh Tuhan akan menggunakan sikap itu untuk menghilangkan kemarahan dari kehidupan anda.

Usulan terakhir untuk mengatasi kemarahan adalah mencari pertolongan Tuhan dan orang lain. Ini mungkin langkah terpenting dari semuanya. Bicarakan pada Tuhan tentang kemarahan anda. Minta Dia memberikan anda kejelasan pengertian tentang alasannya, keinginan untuk mengatasinya, kemauan untuk mengampuni orang lain dan menyerahkan harapan anda kepadaNya. Kemudian undang orang lain untuk mengatasinya dengan meminta mereka memberitahu anda kalau mereka merasa anda marah. Saya minta istri saya melakukan itu, dan saya suka terkejut, dia cukup sering melakukannya. Itu menghentikan saya. Tapi biasanya saya harus mengakui, “Ya, saya merasa marah sekarang.” Kemudian saya minta Tuhan menolong saya mengatasi itu, sekarang juga. Itu sangat luar biasa, saat saya ingat melakukannya!

Kemarahan adalah karya daging, nature dosa (lihat Galatians 5:19-20). Itu datang secara alami. Tapi Tuhan ingin kita untuk berubah, dan Dia bisa menolong kita. “hiduplah oleh Roh, maka kamu tidak akan menuruti keinginan daging” (Galatians 5:16). Hidup dihadapan Tuhan, bergantung pada kuasaNya. Minta Dia membuat anda peka terhadap kemarahan dan menolong anda mengatasinya. Minta pasangan anda, anak anda dan teman anda saat mereka merasakan kemarahan ada dalam anda, kemudian berbalik pada Tuhan untuk kuasa kemenanganNya agar kemarahan dihilangkan dari anda, seperti perintah Tuhan.


8 Frank B. Minirth and Paul D. Meier, Happiness Is A Choice (Grand Rapids, Michigan: Baker Book House, 1978), p. 150.

Related Topics: Man (Anthropology), Basics for Christians, Forgiveness

9. Seperti Tuhan Telah Mengampuni

Bayangkan anda sedang terluka, lebih dari yang anda pikir. Seorang teman mengkhianati anda dengan menceritakan rahasia anda kepada orang lain. Sekarang setiap orang mengetahuinya, dan anda malu menunjukan muka anda. Bagaimana anda bisa mengampuni mulut seperti itu?

Atau mungkin teman kerja mencuri ide anda. Dia yang mendapat keuntungan darinya dan menerima semua pujian, termasuk promosi dan kenaikan gaji. Sekarang dia sulit melihat mata anda. Tapi anda tidak peduli. Kenyataannya, anda tidak peduli jika melihat dia lagi. Bagaimana anda bisa memaafkan dia?

Kemungkinan untuk terluka sangat banyak. Seseorang membohongi anda, atau menyebarkan berita buruk tentang anda, atau menghancurkan barang anda, atau menolak untuk percaya dan mendengar anda. Orangtua anda terus mencoba mengatur hidup anda. Anak anda yang tidak tahu berterima kasih mempermalukan anda dengan menyangkal semua yang anda pertahankan. Saudara laki-laki anda menipu anda dalam warisan keluarga. Pasangan anda memperlakukan anda dengan kasar sehingga tidak ada harga diri yang tersisa. Orang yang dipanggil “teman” merenggangkan hubungan anda dengan pasangan anda. Bekas pacar mencoba mensabotase kehidupan anda. Seorang pastor gagal berdiri bersama anda saat anda membutuhkannya. Bagaimana anda bisa memaafkan?

Sedikit sekali yang bisa mempengaruhi hubungan anda begitu besar selain roh tidak mau mengampuni. Menahan sesuatu terhadap orang lain punya kecenderungan akan mendominasi hidup kita. Kita bahkan mungkin tidak menyadarinya. Kita pikir sudah menyelesaikan dalam pikiran. Tapi setiap waktu itu memakan kita, mempengaruhi sifat kita, kesehatan kita, dan jelas mempengaruhi cara kita memperlakukan orang yang menyakiti kita. Itu mungkin dengan cara yang kecil—melihat kearah lain saat mereka lewat, menolak untuk tersenyum, menjaga ketenangan suara anda. Itu bisa juga dengan cara yang lebih ekstrem seperti kemarahan atau gossip yang jahat. Tapi itu pasti ada, menghilangkan kehangantan dan kedekatana yang kita ingin nikmati dengan orang disekitar kita.

Rasul Paulus membuat pernyataan yang menarik tentang pengampunan dalam pesan utamanya dalam hubungan manusia. “Segala kepahitan, kegeraman, kemarahan, pertikaian dan fitnah hendaklah dibuang dari antara kamu, demikian pula segala kejahatan. Tetapi hendaklah kamu ramah seorang terhadap yang lain, penuh kasih mesra dan saling mengampuni, sebagaimana Allah di dalam Kristus telah mengampuni kamu” (Ephesians 4:31-32). Apakah anda memperhatikan dia membedakan prilaku yang menghancurkan seperti kepahitan, kemarahan, kegeraman, pertikaian, dan fitnah disatu sisi dan kasih mesra, saling mengampuni disisi lainnya? Maukan anda menyingkirkan rantai penghancur yang mengikat kebebasan anda untuk damai bersama orang lain? Satu kunci untuk membuka rantai itu adalah pengampunan.

Tapi mengampuni tidak mudah bukan? “Bagaimana saya bisa melakukannya?” anda bertanya. Rahasianya terletak didalam ayat ini: “saling mengampuni, sebagaimana Allah di dalam Kristus telah mengampuni kamu.” Kita mengampuni sebagaimana Allah telah mengampuni. Bagaimana itu? Jika kita bisa belajar beberapa elemen dalam pengampunan Allah, kita bisa tahu bagaimana kita bisa mengampuni.

Dia Mengerti Kelemahan Kita

Pengampunan merupakan tema dominant dalam Maz 103 (terutama perhatiakn ayat 3 dan 10-13). Tapi lihat alasan Allah begitu murah hati dan belas kasih mengampuni kesalahan dan menyingkirkan pelanggaran kita sejauh timur dari barat: “Sebab Dia sendiri tahu apa kita, Dia ingat, bahwa kita ini debu” (Psalm 103:14). Dia tahu seperti apa kita, bagaimana kita itu lemah. Sebenarnya saat Dia menjadi manusia Dia berbagi kelemahan yang sama. “Sebab Imam Besar yang kita punya, bukanlah imam besar yang tidak dapat turut merasakan kelemahan-kelemahan kita, sebaliknya sama dengan kita, Ia telah dicobai, hanya tidak berbuat dosa” (Hebrews 4:15). Dia pernah disini. Dia mengerti.

Pengampunan mulai dengan belajar mengerti orang lain. Itu terdengar tidak sulit. Kita tahu apa yang kita sukai. Setidaknya jika kita jujur pada diri sendiri. Kita sebesar apa kita bisa sombong, egois, membenci, iri hati, tidak perhatian dan aneh. Kenapa kita tidak menunjukan sedikit toleransi dalam kesalahan yang sama dengan orang lain? Orang yang menolak mengampuni mungkin merasa diri sempurna.

Seperti kata McGinnis, “Jika kita ingin mengampuni dengan bebas, kita perlu memberi toleransi kepada orang lain sebesar toleransi yang kita tunjukan pada kesalahan kita sendiri. Sangat luar biasa bagaimana kita bisa mengerti kesalahan kita dalam hubungan antarpribadi—kita tidak sengaja salah, atau terjadi disaat stress, atau kita tidak merasa enak hari itu, atau kita akan lebih baik kali berikutnya. Kita cenderung melihat diri kita bukan dari apa kita tapi dari apa yang kita usahakan, tapi kita melihat orang dari apa mereka.”9

Mengerti orang lain tidak selalu berarti bahwa kita setuju dengan mereka. Mary dan saya sering berkata begini, “Kamu tidak mengerti saya,” katanya. “Tentu saya mengerti,” saya berkeras. “Tapi jika kamu mengerti saya kamu akan setuju dengan saya,” balas istri saya. Saya tidak berpikir bahwa itu benar dan saya akan mengatakan pada istri saya demikian. Tapi sejak itu saya mengetahui masalah kita. Saya mengerti dia, tapi saya tidak mengerti betul. Dan itu ada perbedaannya.

Untuk pengertian lebih merupakan mengerti kata-kata. Itu mencoba melihat hal-hal dari cara pandang orang lain, baik kita setuju atau tidak. Itu mencoba merasakan apa yang mereka rasakan, dan menerima perasaan mereka baik kita merasa perasaan itu berdasar atau tidak. Mereka biasanya bisa merasakan hal ini dalam kita—atau kekurangan hal ini. Dan mengembangkan prilaku itu bisa menolong kita mengampuni saat kebutuhan mengharuskannya.

Seorang istri muda yang berpikiran rohani membagikan kita bagaimana dia mengampuni suaminya saat dia mengganggunya. Dia berkata, “Saya tahu itu bukan cara yang diinginkannya. Dia ingin menjadi pria yang menyenangkan Tuhan, dan biasanya begitu. Beberapa keadaan sulitlah yang membuat dia seperti sekarang.” Itulah artinya mengerti, dan prilaku itu menolongnya untuk mengampuni.

Tapi pengertian sendiri bukan pengampunan. Itu hanya langkah penting yang perlu diambil. Kita melihat hati yang mengampuni dalam hal berikut.

Dia Membayar Kesalahan Kita

Apakah anda pernah mendapatkan seseorang meminta maaf pada anda, dan anda membalas seperti ini, “Oh, jangan kuatir. Tidak apa-apa. Itu tidak mengganggu sama sekali”? Anda mungkin berpikir kalau prilaku anda mencerminkan penampunan yang murni. Tapi sebenarnya tidak. Kenyataannya, anda mungkin sudah mengeluh pada beberapa orang tentang orang itu, tapi menyatakan kalau itu tidak mengganggu sama sekali. Dan itu mungkin mempengaruhi cara anda bertindak terhadap orang itu. Pengampunan lebih dari berpura-pura kesalahan tidak terjadi, atau berpura-pura itu tidak menyakitkan. Pengampunan adalah mengahadapi kenyataan bahwa itu terjadi dan mengakui kalau itu sakit, tapi memutuskan untuk membayar kesalahan itu sendiri.

Itulah yang Tuhan lakukan. Dalam surat Paulus yang kedua pada jemaat Korintus dia meyakinkan mereka bahwa Tuhan tidak menghitung kesalahan mereka (2 Corinthians 5:19). Bagaimana bisa Allah yang Kudus tidak memperhitungkan pelanggaran kita? Paulus menjelaskannya. “Dia yang tidak mengenal dosa telah dibuat-Nya menjadi dosa karena kita, supaya dalam Dia kita dibenarkan oleh Allah.” (5:21). Dia bisa mengampuni kita karena Dia mau menanggung hukuman dosa kita dalam pribadi AnakNya. Atau seperti kata Petrus, Dia sendiri menanggung dosa kita dalam TubuhNya diatas salib (1 Peter 2:24). Saat kesalahan dibuat, seseorang harus membayar. Saat keadilan sukses, yang berbuat kesalahan membayar. Tapi saat pengampunan diberikan, yang terkena membayarnya sendiri.

Dosa kita menyalahkan kekudusan Allah, tapi Dia sendiri yang membayar hutang yang muncul. Saat Yesus Kristus merendah dalam kematian, Dia berteriak, “Sudah selesai.” Kata itu dalam teks Yunani digunakan dalam transaksi bisnis saat itu. Saat itu ditulis dalam tagihan artinya, “Lunas Terbayar.” Tidak ada yang bisa kita tambahkan atau lakukan untuk mendapat pengampunanNya dan tidak ada yang bisa kita bayar untuk mendapatkannya. Tuhan dalam anugrahNya telah membayar lunas dan membebaskan kita dari kesalahan selamanya. Anugrah itu adalah inti dari pengampunan.

Kegagalan kita menghargai kebenaran ini merupakan salah satu alasan utama kita sulit mengampuni orang lain. Inilah maksud perumpamaan Yesus tentang pelayan yang tidak mengampuni (Matthew 18:23-35), yang diceritakan untuk menjawab pertanyaan Petrus tentang berapa kali dia harus mengampuni saudaranya yang berdosa terhadap dia. Ini adalah cerita tentang seorang raja yang ingin membebaskan hutang budaknya. Salah satu dari mereka berhutang sebesar $10,000,000. Tidak mungkin dia bisa mengembalikannya, jadi sang raja memerintahkan agar dia dan seluruh keluarganya dijual untuk mengurangi sedikit kerugian.

“Maka sujudlah hamba itu menyembah dia, katanya: Sabarlah dahulu, segala hutangku akan kulunaskan’” (Matthew 18:26). Dia ingin perpanjangan waktu. Dia pikir dengan waktu itu dia bisa melunasinya. “Lalu tergeraklah hati raja itu oleh belas kasihan akan hamba itu, sehingga ia membebaskannya dan menghapuskan hutangnya” (v. 27). Dia mendapat lebih dari sekedar perpanjangan waktu. Dalam tindakan belas kasih dan kasih karunia yang tiada banding, sang raja menghapus semua hutangnya, dan mengampuni dia. Dia sendiri yang membayar hutang budaknya.

Raja itu menggambarkan Tuhan, dan apa yang dia lakukan menyatakan harga yang Tuhan bayar bagi pengampunan kekal kita. Tapi dalam cerita ini, budak itu tidak pernah menangkap penuh apa yang telah dilakukan raja. Dia tidak pernah menerima pengampunan raja. Dia tetap berpikir dia harus membayar, dan bagaimana dia bisa membayarnya. Inilah maksud dari kisah ini. Dia keluar dan menemukan temannya yang berhutang sekitar $20, mencekiknya dan menuntut uangnya. Tapi temannya tidak bisa. Dia membuang temannya kepenjara sampai dia bisa membayar hutangnya. Seorang yang munafik—diampuni begitu besar tapi menolak mengampuni hal yang begitu kecil!

Itulah yang dilakukan oleh beberapa orang Kristen. Kita sedikit sekali mengerti kenyataan dan kebesaran anugrah pengampunan Tuhan. Dan karena kita salah mengerti anugrah Tuhan dan berpikir kita harus membayarNya dengan performance atas pengampunanNya, kita pikir kita punya hak untuk meminta bayaran dari orang lain sebelum kita mengampuni mereka. Mereka telah berbuat salah terhadap kita, jadi mereka berhutang dan sekarang mereka harus membayar. Dan kita akan mengawasi apa yang mereka lakukan. Jadi kita mulai membuat tuntutan. Kita mungkin menuntut permintaan maaf, berkerah mereka harus merangkak kepada kita dan mengakui kesalahan mereka. “Itu semua salahmu,” kita berkeras, “Akui itu.” Kita mungkin menuntut mereka untuk memperbaiki kesalahannya, mengubah masa lalu yang tidak bisa diubah. Kita mungkin menuntut jaminan kalau mereka tidak akan melakukannya lagi.

Jika mereka tidak mau membayar hutang mereka, kita akan menghukum mereka. Kita bisa melakukan itu dengan kemarahan, atau kita bisa mengubah taktik dan mendiamkan mereka, berlaku seolah-olah mereka tidak ada. Sebagai tambahan, kita mungkin mengatakan pada orang lain hal buruk tentang mereka kepada kita agar mereka buruh dihadapan temannya. Itu akan membetulkan mereka. Kita bahkan mungkin membawa mereka kepengadilan. Tapi dengan cara apapun, kita berusaha membuat mereka membayar.

Itulah masalah di Korintus. Orang percaya saling menuntut dipengadilan atas masalah yang remeh. Mereka tidak menangkap maksud anugrah Tuhan dan realitas betapa Tuhan telah mengampuni mereka. Kata Paulus “Mengapa kamu tidak lebih suka menderita ketidakadilan? Mengapakah kamu tidak lebih suka dirugikan?” (1 Corinthians 6:7). Jauh lebih baik menderita penghinaan, sakit, kehilangan atau kerusakan daripada resiko kemungkinan menyebabkan penderitaan orang percaya lain. Itu inti pengampunan—kita yang membayarnya, membatalkan semua tuntutan, menyerahkan hak untuk membalas dengan cara apapun. Memberikan hak kita untuk menyakiti orang lain hanya karena mereka telah menyakiti kita. Itulah apa yang Tuhan lakukan pada kita, dan itulah yang Dia ingin kita lakukan bagi orang lain.

Apakah anda ingat apa yang terjadi pada budak yang menolak mengampuni dalam perumpamaan Yesus? Saat teman budaknya yang lain melihat perbuatannya, mereka sedih dan melaporkannya pada sang raja. Dia memanggil budak itu dan berkata, “Hai hamba yang jahat, seluruh hutangmu telah kuhapuskan karena engkau memohonkannya kepadaku. Bukankah engkaupun harus mengasihani kawanmu seperti aku telah mengasihani engkau? Maka marahlah tuannya itu dan menyerahkannya kepada algojo-algojo, sampai ia melunaskan seluruh hutangnya. Yesus menyimpulkan ceritanya, “Maka Bapa-Ku yang di sorga akan berbuat demikian juga terhadap kamu, apabila kamu masing-masing tidak mengampuni saudaramu dengan segenap hatimu” (Matthew 18:35). Itu pemikiran yang menakutkan. Kita tidak yakin siapa algojonya, tapi beberapa berpendapat itu adalah siksaan batin yang menimpa orang yang menolak untuk mengampuni—kemarahan, permusuhan, kepahitan, dendam, depresi dan putus asa memakan kita dan menghancurkan kita. Suatu keadaan yang mengerikan!

Dr. S. I. McMillen menceritakan pada kita tentang pelajar yang datang kekantornya menderita rasa terbakar diperut atas dan gangguan pencernaan. Medis tidak menolong, dan dokter bingung dengan kasus ini. Satu hari seorang pelajar lain melaporkan pada dia bahwa pernah mendengar pelajar itu mencaci maki dengan marah beberapa orang yang telah menipu kakeknya, dan dia ingin membalasnya dengan cara apapun. Dokter menasihati pelajar itu dan mendorong dia untuk mengampuni, tapi dia menolak. Kondisinya jadi semakin buruk sehingga harus keluar dari sekolah.10 Begitu besar harga dari hal ini, terutama dalam hal siksaan batin.

Dia Melupakan Kesalahan Kita

Tuhan mengasihi kita, dan kasih “tidak menyimpan kesalahan orang lain.” (1 Corinthians 13:5). Kata yang Paulus gunakan dalam gambaran kasih merupakan istilah akuntansi dalam memasukan item kebuku besar agar tidak lupa. Saat seseorang menghitung kesalahan yang dilakukan terhadap dia, dia menandainya dalam kalkulator mental sehingga dia bisa mengingatnya saat dibutuhkan. Tuhan tidak melakukan hal itu. Dia memilih tombol clear pada kalkulatorNya dan melupakan informasi itu. Beberapa kali Alkitab meneguhkan kita bahwa Dia tidak akan mengingat dosa kita lagi (Jeremiah 31:34; Hebrews 10:17; Isaiah 43:25). Bagaimana Tuhan mengampuni? Saat Dia mengampuni, Dia melupakan, dan kita perlu melakukan hal yang sama.

Tapi sekarang kita punya masalah karena kelihatannya kalkulator mental kita tidak memiliki tombol clear. Kita sebenarnya tidak bisa menghilangkan peristiwa dalam ingatan kita. Ilmu kedokteran mengatakan hal ini tidak bisa hilang, bisa dipanggil kembali, kecuali kita mengalami operasi otak, ini semua tidak bisa menolong kita mengampuni dengant tepat. Kemudian apa artinya kita melupakan?

Pertama, saat kita benar-benar mengapuni, keinginan yang salah tidak lagi mendominasi pikiran kita. Saat itu kembali kepikiran kita, kita mampu menghentikannya langsung. Kita tidak mau menghidupkannya lagi dan membicarakan hal itu dengan orang lain. Beberapa orang berkata kalau mereka telah mengampuni, tapi mereka bisa bicara hal itu lagi. Mereka ingin tetap mengulangi hal buruk yang telah dilakukan pada mereka. Ketidakmampuan mereka untuk berhenti berpikir tentang hal itu dan membicarakannya menunjukan kurangnya mereka mengampuni.

Kedua, kesalahan itu tidak lagi menyakitkan. Fakta tetap ada, tapi emosi mendalam tidak ada lagi. Kita bisa memikirkan itu tanpa kepahitan dan permusuhan, tanpa perasaan sakit seperti yang lalu.

Dan ketiga, kita mampu memperlakukan orang itu seperti kesalahannya tidak pernah ada. Tidak berpura-pura tak pernah terjadi. Itu pernah terjadi, dan kita perlu jujur tentang hal itu. Tapi memperlakukan dia seperti tidak terjadi. Jika kita mengampuni seperti Tuhan mengampuni dan tidak mengingat kesalahan, maka itu tidak bisa mempengaruhi tindakan kita. Kita bisa bebas menjangkau dengan ramah, baik, terbuka dan percaya untuk bisa memperbaharui hubungan. Dan itu membawa kita pada elemen terakhir dari pengampunan Tuhan yang perlu kita mengerti.

Dia Mencari Persekutuan dengan Kita

Tujuan dari pengampunan adalah rekonsiliasi. Tidak ada pengampunan yang berkata seperti ini, “Baik, saya mengampuni dia, tapi saya tidak ingin dekat dengan dia lagi. Biarlah kita menjalani hidup kita masing-masing saja.” Itu bukan cara Tuhan mengampuni. Dia mencari pendosa seperti kita (lihat Luke 19:10). Dia menjangkau musuhNya dan berusaha mendamaikan mereka dengan diriNya (Romans 5:10).

Tapi seperti perkiraan anda, rekonsiliasi punya jalan berjalur dua. Agar pendosa berdamai dengan Tuhan dia harus mengakui dosanya dan bertobat. Dan itu pelajaran bagi kita. Pengampunan satu sisi melegakan kepahitan dalam kita dan menghilangkan tekanan dalam hubungan kita. Tapi tidak akan ada rekonsiliasi yang sejati sampai kesalahan dibahas bersama dan keduanya mengakui kesalahan mereka dan saling percaya kembali. Kita tidak bisa menuntut orang lain untuk bertobat. Kita tidak bisa memaksa mereka mengakui kesalahan. Tapi kita bisa mengakui bagian kita, menjangkau mereka dan memberitahu mereka kita ingin berdamai. Itulah yang Tuhan minta pada kita.

Jika anda yang diperlakukan salah, tanggung jawab anda adalah mengambil langkah pertama. “Apabila saudaramu berbuat dosa, tegorlah dia di bawah empat mata. Jika ia mendengarkan nasihatmu engkau telah mendapatnya kembali” (Matthew 18:15). Anda harus melakukannya dalam kasih dan lembut.

Jika anda yang melakukan kesalahan, sekali lagi tanggung jawab anda untuk mengambil inisiatif. “Sebab itu, jika engkau mempersembahkan persembahanmu di atas mezbah dan engkau teringat akan sesuatu yang ada dalam hati saudaramu terhadap engkau, tinggalkanlah persembahanmu di depan mezbah itu dan pergilah berdamai dahulu dengan saudaramu, lalu kembali untuk mempersembahkan persembahanmu itu” (Matthew 5:23-24).

Jika saudaramu bersalah padamu, dan anda yang disalahkan, anda harus melangkah lebih dulu. Alkitab tidak mengenal hal seperti ini, “Baik, itu kesalahannya. Dia yang harus datang pada saya.” Tuhan ingin saudara saudari dalam Kristus untuk berdamai. Dan apapun peran anda, diperlakukan salah atau yang bersalah, jika anda ingin taat pada Firman Tuhan anda harus menjangkau. Secara Alkitabiah, selalu anda yang bergerak.

Apakah ada tembok antara anda dan beberapa saudara seiman? Anda telah dilukai, lebih dari yang anda pikir. Tuhan ingin anda mengampuni seperti Dia mengampuni anda dalam Kristus. Mengertilah mereka dalam kelemahan mereka. Mau membayar kesalahan mereka sepenuhnya. Melupakan kesalahan, dan menjangkau dengan kasih untuk berdamai. Anda akan berkontribusi untuk harmonisnya Tubuh Kristus. Anda akan merasa lebih baik secara emosi dan fisik. Anda akan menikmati hidup lebih baik. Anda akan menemukan realitas berjalan dengan Tuhan lebih besar lagi. Anda akan mengalami pelayanan rohani anda lebih efektif. Dan Tuhan dimuliakan!


9 Alan Loy McGinnis, The Friendship Factor (Minneapolis: Augsburg Publishing House, 1979), pp. 159160.

10 S. I. McMillen, None of These Diseases (Old Tappan, New Jersey: Fleming H. Revell, 1967), pp. 70-71.

Related Topics: Man (Anthropology), Soteriology (Salvation), Theology Proper (God), Basics for Christians, Christian Home, Finance

Pages