MENU

Where the world comes to study the Bible

8. Apa yang Harus Diketahui Setiap Pria

Ada buku yang berjudul What Men Know About Women. Semua halamannya kosong! Kita sering mendengar pria yang frustrasi berkata, “Saya tidak bisa mengerti wanita.” Tapi Rasul Petrus berkata, “hai suami-suami, hiduplah bijaksana dengan isterimu.”1 Ini sangat paradoks. Tuhan menyuruh pria untuk hidup bijaksana dengan istrinya—suatu pengertian akan nature dasar dan kebutuhan mereka—tapi sebagian besar pria sangat sedikit tahu tentang wanita. Bisakah ini menjadi alasan kenapa banyak pernikahan yang salah?

Jika Tuhan berkata bahwa pria harus hidup bijaksana dengan istrinya, maka jelas mereka bisa tahu sesuatu tentang mereka, pendapat popular sekalipun! Hal pertama yang perlu mereka ketahui dinyatakan dalam ayat yang baru kita kutip: “Hormati istrimu, karena mereka kaum yang lebih lemah.” Wanita adalah kaum yang lebih lemah. Itu tidak berarti wanita secara mental, moral, atau rohani lebih rendah, tapi secara fisik dia lebih lemah. Dia mungkin kurang terpengaruh akan penyakit dan mungkin memiliki jangka hidup yang lebih lama dari pria, tapi kenyataan tetap wanita lebih lemah secara fisik. Tuhan menciptakannya seperti itu dengan tujuan agar yang lemah bergantung pada yang lebih kuat.

Karena istri secara fisik lemah, dia bergantung pada suaminya untuk perlindungan dan penyediaan. Tugasnya adalah menyediakan makanan, pakaian, dan perlindungan, sementara istri dibuat Tuhan untuk mengandung anak dan menyediakan mereka dengan kasih dan perawatan yang dibutuhkan. Bagaimanapun, peralatan yang diberikan Tuhan untuk menjalankan peran itu menyebabkan kelemahannya—emosinya. Seorang wanita kadang bergumul dengan perubahan mood yang tiba-tiba dan tidak bisa dijelaskan. Ini disebabkan oleh kimia hormone yang merupakan bagian darinya. Emosi yang seperti itu membuat dia bergantung pada pria yang diberikan Tuhan. Itu menekankan perkataan Tuhan pada Hawa: “engkau akan berahi kepada suamimu.”2 Dia mencarinya dengan suatu keinginan pemenuhan kebutuhan dasarnya. Dia diciptakan untuk dia, dan hidupnya berpusat padanya. Tuhan ingin para suami untuk “hidup bijaksana dengan istri,” kemudian sesuai dengan itu, “hormati istri, sebagai kaum yang lebih lemah.” Tuhan yang menciptakan kebutuhan emosi dalam wanita ini bertujuan agar dipenuhi oleh suami.

Sebagian dari anda mungkin bertanya, “Bagaimana dengan wanita yang tidak memiliki suami? Siapa yang akan memenuhi kebutuhan mereka?” Tuhan akan memberikan karunia lajang kepada wanita yang Dia inginkan tetap single. Lebih jauh, kebutuhan wanita bisa dipenuhi oleh Tuhan sendiri. Sebenarnya setiap wanita Kristen, menikah atau lajang, butuh menjaga hubungan pribadi dengan Kristus. Bagaimanapun, hal ini tidak menjadi alasan bagi suami dalam tanggung jawabnya terhadap istri. Cara Tuhan yang umum untuk memberikan keamanan dan kepuasan bagi wanita adalah melalui suaminya.

Bagaimana suami melakukan itu? Bagaimana setiap pria bisa memuaskan kebutuhan dasar wanita? Ini mungkin terdengar terlalu menyederhanakan, tapi beberapa huruf bisa menjadi jawaban lengkap dari masalah kompleks ini. Tanggung jawab utama suami dalam pernikahan Kristen adalah mengasihi istrinya. “Hai suami, kasihilah isterimu sebagaimana Kristus telah mengasihi jemaat dan telah menyerahkan diri-Nya baginya.”3 “Demikian juga suami harus mengasihi isterinya sama seperti tubuhnya sendiri: Siapa yang mengasihi isterinya mengasihi dirinya sendiri.”4 “kasihilah isterimu seperti dirimu sendiri.”5 “Hai suami-suami, kasihilah isterimu dan janganlah berlaku kasar terhadap dia.”6 Semua ayat ini membutuhkan agape, merupakan kasih tertinggi untuk terus memberi saat tidak ada balasan dan hanya untuk kebaikan orang yang dikasihi dengan pengorbanan pribadi.

Ayat ini memberikan pengertian baru dari pengajaran yang salah terhadap kepemimpinan pria. Kepemimpinan bukan pengajaran kejantanan yang dengan cerdik dibuat untuk menyombongkan ego suami. Kepemimpinan meliputi tugas suami untuk membangun suasana kasih dimana kebutuhan dasar istri bisa dipenuhi—Suatu lingkungan dimana istri bisa dengan bebas bertumbuh dan mengembangkan semua yang Tuhan harapkan. Ketaatannya adalah respon sukarela terhadap kepemimpinan kasih suami.

Kata kuncinya adalah respon. Wanita adalah responder. Ini peran seseorang yang bergantung pada orang lain. Bunga bergantung pada sinar matahari dan hujan; saat mereka mendapatkannya, mereka berespon dengan mengembang dengan indah. Inilah juga cara Tuhan membuat wanita. Dia berespon terhadap apa yang diterimanya. Jika dia menerima kritik, kekasaran, tidak peduli, kurang dihargai, atau kurang dikasihi, dia akan berespon dengan membela diri, seperti kepahitan, dingin, perlawanan atau ngomel. Sebagian wanita menjadi peminum atau membenamkan diri dalam kegiatan sosial.

Tapi jika wanita menerima kasih, dia akan berespon dengan kasih, dan akan mengembang dengan indah menjadi mahluk terindah. Saat pria menyatakan istrinya tidak mengasihinya lagi, dia menyatakan bahwa dia tidak mengasihi istrinya seperti seharusnya. Jika dia mengasihi istrinya, maka istrinya berespon dengan kasih juga. Seorang pria mendapatkan apa yang diberikan pada istri. Dia tidak bisa memaksa istri untuk mengasihi dia, tapi dia bisa menunjukan kasih pada istri dan menikmati respon kasih istrinya. Maka dari itu, tanggung jawab pernikahan yang berhasil terutama diletakan pada suami. Dia yang melakukan langkah pertama—yaitu mengasihi istrinya dengan kasih Kristus.

“Jika saja dia berhenti ngomel, saya bisa lebih mengasihinya.” Jika itu yang anda katakan, maka lakukan sebaliknya! Suami harus berinisiatif. Kasih marupakan prilaku mental yang diterima melalui tindakan kehendak manusia dari sumber segala kasih, Tuhan sendiri. Ini tidak bergantung pada kelayakan atau tindakan objek, tapi pada kasih Tuhan yang tidak berkesudahan dan tidak berubah. Seorang istri bisa menjadi manis atau masam; rumah bisa menjadi bersih atau kotor; makanan bisa jadi enak atau buruk; tapi semua itu seharusnya tidak mempengaruhi kasih suami. Dia mengasihi istrinya “seperti Kristus mengasihi gereja.” Kita mengetahui bahwa kasih Kristus bagi gereja tidak berasal dari hal indah yang dilihatNya dalam kita, tapi melalui nature kasihNya. Sekarang DIa menyediakan kasih yang sama bagi setiap suami Kristen yang ingin pernikahannya berjalan.

“Para suami, kasihi istrimu seperti Kristus mengasihi gereja, dan memberikan diriNya.” Calvary, dimana Kristus mengorbankan DiriNya, merupakan pernyataan kasih terbesar dalam sejarah manusia. Pengorbanan diri merupakan inti kasih. Sekarang Tuhan meminta setiap suami Kristen melakukan pengorbanan yang sama. Hal yang sangat penting diingat—kasih memberi. Itu meliputi memberikan hal materi yang dibutuhkan istri saat keuangan mengijinkan, dan mungkin memberikan pemberian kecil dan berkata, “Aku perduli. Aku memikirkanmu saat kita terpisah.” Itu tidak menghabiskan banyak uang, tapi meyakinkan istri tentang kasih suaminya.

Kasih juga meliputi pertolongan. Kadang suami mengembangkan pemikiran aneh bahwa rumahnya merupakan istana dan dia adalah rajanya. Tugas istrinya adalah menyediakan kenyamanannya dan melindungi dia dari semua situasi yang tidak nyaman. Dia duduk dengan agung dimeja makan, tenggelam dalam kursi, dan menghibur diri dengan suratkabar dan televise sementara istrinya membersihkan dapur, mengatur rumah, menolong pekerjaan rumah anak-anak, dan menidurkan mereka. Setiap pelanggaran akan waktu menjadi raja akan diberi protes. Sebagian besar pekerjaan istri itu berat, mungkin lebih berat dari suami mereka, dan tidak ada suami terlalu tinggi untuk menolong pekerjaan rumah dan anak-anak. Jika istri merupakan kaum yang lebih lemah, maka menyuci piring, menyapu lantai, mengawasi anak, membersihkan jendela, atau hal kecil lainnya merupakan cara lain mengatakan, “Aku cinta kamu.”

Kasih yang berkorban meliputi pemberian waktu. Sebagian suami terlalu sibuk dengan hal lain, membetulkan alat, atau memberikan malam dengan istrinya. Dengan itu mereka berkata, “Engkau tidak cukup berharga untuk pengorbanan pribadi,” dan ini menyebarkan rumput liar dibunga yang indah. Tapi saat istri mulai layu dan merefleksikan prilaku yang sama terhadap suami, dia biasanya mengeluhkan hal itu. Masalah ini bisa diselesaikan saat suami mulai menunjukan kasih Kristus.

Kasih bisa meliputi pemberian sesuatu. Sering seorang suami memiliki hobi yang tidak disukai istri. Biasanya kompromi bisa dibuat: istri bisa mengembangkan hobi tersendiri, suami bisa membatasi diri terhadap sesuatu, atau mereka merencanakan kegiatan khusus bersama. Tapi jika semua percobaan untuk menyelesaikan konflik gagal, maka Tuhan bertujuan agar istri mengetahui bahwa dia mendapat tempat penting dalam hidup suaminya, dan disamping Tuhan suaminya adalah diatas semua hal. Itu tidak memberikan istri hak untuk menuntut agar suaminya memberikan sesuatu untuk “membuktikan kasihnya,” tapi meletakan diatas setiap suami Kristen kebutuhan untuk meyakinkan istrinya kalau dia mengasihinya diatas semua hal.

Kasih seperti Kristus meliputi meyakinkan kembali dan pemberian semangat. Sebagian pria menolak mengatakan pada istri kalau mereka mengasihinya. “Saya sudah mengatakan itu saat menikahinya, dan dia mengetahui hal itu benar.” Ya, tapi wanita perlu diyakinkan kembali. Seluruh hidupnya dibungkus oleh keamanan kasih suaminya, dan Tuhan ingin dia diyakinkan dalam setiap cara yang memungkinkan. Dia butuh mengetahui kalau suami mempedulikannya—bahwa suami menghargai hal yang dia lakukan untuk menyenangkannya, seperti menjaga rumah dan memasak makanan. Dia perlu tahu bahwa suami pulang karena dia ada disana—bukan hanya makanan dan tempat tidur! Salah satu keluhat istri adalah suami mereka menganggap itu biasa saja, memperlakukan mereka seperti pembantu. Inilah apa yang wanita katakan apa yang paling dibutuhkan dari suaminya: “Saya butuh rasa dibutuhkan, bahwa apa yang saya lakukan bagi dia dan anak kita penting baginya. Kemudian, saya ingin dihargai akan apa yang saya lakukan.” Sebagian besar istri berusaha keras untuk menyenangkan, dan mereka butuh untuk mengetahui kalau suami mereka menyetujui dan menghargai usaha mereka.

Dari semua hal yang Tuhan ingin suami beri pada istrinya, seperti yang Kristus berikan—Kehadirannya. “Oh, saya mau mati demi melindungi istri,” protes seseorang. Memberikan diri mungkin tidak menuntut mati bagi istri kita, tapi jelas menuntut kehadiran diri, dan itu hal yang tidak ingin dilakukan suami. Mereka mengeluarkan istri dari kehidupan mereka. Mereka pikir kerja keras dan menyediakan materi berlimpah akan membuat istri bahagia. Dan saat mereka bekerja untuk kaya, istri mereka dirumah dengan hati yang sakit, ingin membagi hidup dengan suami seperti maksud Tuhan, memberi penghargaan, dan kasih Tuhan ingin mereka dapatkan, menginginkan tuntutan pengertian simpatik.

Seorang wanita menulis, “Suami saya perlu memberi tahu saya bahwa dia sadar akan masalah saya dan mengertinya. Saya perlu merasakan bahwa kita bekerja bersama untuk tujuan yang sama.” Satu kata yang sering muncul saat istri membahas apa yang mereka butuh dari suaminya adalah pengertian. Sebanyak apapun materi tidak bisa menggantikan suami yang mendengar istri dengan perhatian yang tidak terbagi saat dia membukan hatinya, yang mencoba mengerti perasaannya yang paling rumit, dan membiarkan istrinya tahu kalau dia mengasihinya selama saat yang paling tidak logis itu sekalipun.

Itu butuh pengorbanan. Itu menuntut pengorbanan total. Itulah yang dilakukan Kristus saat kasihNya membawa Dia keKalvari. Jika anda tidak ingin membayar hal itu, maka anda membuat kesalahan fatal ketika anda membuat janji pada seorang wanita untuk mengasihinya sampai kematian. Tuhan berkata dia merupakan bagian darimu. Anda satu daging.7 Dia butuh diperlakukan sama seperti anda memperlakukan tubuh anda. “Demikian juga suami harus mengasihi isterinya sama seperti tubuhnya sendiri: Siapa yang mengasihi isterinya mengasihi dirinya sendiri. Sebab tidak pernah orang membenci tubuhnya sendiri, tetapi mengasuhnya dan merawatinya, sama seperti Kristus terhadap jemaat.”8 Kata menjaga berarti mengusahakan tetap hangat, tapi juga berarti penuh kasih, perhatian, perawatan yang diberikan perawat terlatih pada anaknya sendiri.9 Sebagian pria seperti anak kecil; mereka ingin istri mereka menyuapinya saat lapar dan menenangkan mereka saat mereka terluka, seperti ibu mereka lakukan. Menurut Alkitab, itu lebih dekat pada peran suami terhadap istri, daripada peran istri terhadap suami.

Sebagian pria sangat menjaga tubuh mereka. Mereka mendapat makanan yang banyak, istirahat cukup, pakaian yang sesuai, istirahat dari rutinitas, hiburan yang menyenangkan, waktu untuk diri sendiri, dan beberapa kepuasan dalam hidup. Tapi apakah mereka juga ingin melihat itu dalam diri istri mereka? Seharusnya begitu, menurut Firman Tuhan, karena istri merupakan bagian dari mereka. Pemeliharaan suami bagi istri, juga merupakan pemeliharaan diri, karena mereka adalaha satu.

Itulah apa yang dikatakan Petrus dalam ayat diawal bab ini: “Demikian juga kamu, hai suami-suami, hiduplah bijaksana dengan isterimu, sebagai kaum yang lebih lemah! Hormatilah mereka sebagai teman pewaris dari kasih karunia, yaitu kehidupan, supaya doamu jangan terhalang.”10 Saat seorang pria mengambil wanita sebagai istrinya, dia menjadikannya bagian dari dirinya; dia tidak bisa mengeluarkan wanita itu dari hidupnya. Saat dia menolak mentaati Firman Tuhan tentang hal ini, roh kepahitan dan permusuhan masuk kedalam pernikahan mereka, kuasa rohani hilang dan doa yang efektif terhalang. Kerohanian yang tumpul bisa dilacak dari hal ini. Itulah saatnya bagi kita untuk kembali mentaati Firman Tuhan!

Disatu kesempatan seorang suami Kristen menceritakan masalah istrinya—suatu kegelisahan umum, cepat mengeluh dan kesal terhadap hal kecil, dan suatu terganggu dan tidak masuk akal. Dia mencoba mengembangkan diri dibeberapa sisi untuk membuat dia bahagia, tapi tidak pernah cukup. Satu hati dia marah, “wanita itu pasti bisa menemukan sesuatu yang salah dengan sorga!”

Kami membahas ketidak dewasaannya dan ketidakamananny, yang sepertinya berasal dari latar belakang keluarga. Tapi satu hari saya mengusulkan agar semua masalahnya mungkin tidak dari orangtuanya. Mungkin muncul dari kebutuhan yang diberikan Tuhan padanya untuk diyakinkan kembali akan kasih suaminya. Saya minta dia melakukan apapun yang bisa dilakukan untuk membuat istrinya merasa lebih aman dalam kasihnya. Dia menerima tantangan saya dan dengan pertolongan Tuhan mulai terlihat perubahan.

Dia mulai menunjukan kasih yang lebih pada istrinya, memeluknya saat berpapasan dirumah dan mengatakan kalau dia mengasihinya, walau dia tidak cenderung menyatakan hal itu. Dia memberi waktu berdua tanpa anak mereka, mendengarkan perkataannya dan membuat komentar yang simpatik. (Dia menemukan bahwa waktu terbaik untuk bicara adalah saat istri membersihkan dapur—anak-anak tidak ada saat itu!) Dia menolongnya saat mereka bicara. Saat dia mengalami hari buruk dan bisa marah terhadap hal kecil, dia minta Tuhan untuk menjaga agar dia tetap tenang dan menolong dia meyakinkan istri akan kasihnya disaat itu, daripada marah dan membela diri, seperti yang dilakukan sebelumnya. Perubahan mulai terjadi. Pernikahan mereka tidak sempurna seperti tulisan ini, tapi seorang wanita yang kehilangan sesuatu yang sangat penting dalam masa kecil mulai menemukan dalam suaminya kasih yang Tuhan ingin dia miliki, dan dalam suasana kasih dia bertumbuh menjadi pribadi yang indah seperti kehendak Tuhan.

Biarlah saya menambahkan beberapa kata untuk para istri. Biarlah Roh Tuhan yang ada dalam diri memotivasi suami anda dalam hal ini. Jangan mencoba melakukan tugas dari Tuhan untuk dia. Jika anda mencoba membentuk suami anda, hasilnya kurang dari harapan anda. Bahkan itu bukan tempat anda untuk mengingatkan dia akan tanggung jawabnya. Sebaliknya, serahkan dia pada Tuhan, diakan, dan menjadi pribadi yang Tuhan kehendaki.


1 1 Peter 3:7, KJV.

2 Genesis 3:16, TLB.

3 Ephesians 5:25, KJV.

4 Ephesians 5:28, TLB.

5 Ephesians 5:33, TLB.

6 Colossians 3:19, TLB.

7 Ephesians 5:31.

8 Ephesians 5:28, 29, KJV.

9 1 Thessalonians 2:7.

10 1 Peter 3:7, TLB.

Related Topics: Christian Home, Marriage

9. Apa yang Harus Diketahui Setiap Istri

Tanggung jawab utama suami dalam keluarga Kristen adalah mengasihi istrinya. Ini dinyatakan beberapa kali dalam Alkitab. Dalam satu bagian Alkitab, istri diperintahkan untuk mengasihi suaminya.1 Walau acuan ini menunjukan bahwa mereka diharapkan menciptakan suasana kasih dalam rumah, tanggung jawab utama mereka dinyatakan dalam ayat berikut, dimana mereka dinasihati untuk taat pada suami mereka.2 Ketaatan meliputi tunduk dan subordination. Kata yang digunakan untuk tanggung jawab istri tidak kurang dari 6 kali dalam PB.3

Kita telah membahas kepemimpinan dan urutan otoritas dari Tuhan dalam rumah, tapi sekarang kita ini mengaplikasikan itu pada istri, karena taat merupakan tugas utamanya. “Hai isteri, tunduklah kepada suamimu seperti kepada Tuhan.”4 Para wanita, ketaatan pada suami merupakan ketaatan pada Tuhan, karena Tuhan memerintahkan anda melakukan itu! Jika anda tidak bisa menemukan itu untuk taat pada suami, lakukan untuk Tuhan. Tuhan mengasihi anda dengan kasih yang sempurna. Responi kasihNya dengan tunduk pada suamimu.

“Karena itu sebagaimana jemaat tunduk kepada Kristus, demikian jugalah isteri kepada suami dalam segala sesuatu.”5 Ketiga kata “dalam segala sesuatu” bukankah terlalu luas? Ketaatan tidak hanya dipraktekan saat anda ingin melakukan itu, atau saat anda dengan sepenuh hati setuju dengan suami anda, atau saat dia memperlakukan anda dengan kasih Kristus, tapi dalam segala sesuatu! Alkitab tidak membatasi ketaatanmu atas kasihnya, demikian juga dengan ketaatanmu. Anda harus bertanggung jawab pada Tuhan atas tindakan anda, dan tidak ada alasan untuk ketidaktaatan atas FirmanNya yang diterima.

“Tapi suami saya tidak pernah mempertimbangkan perasaan saya. Saya harus mempertahankan hak saya.” Bukankah mempertengkarkan Firman dan hikmat Tuhan yang Maha Tahu? Apakah anda berpikir Dia tidak tahu tentang keadaanmu saat Dia menulis FirmanNya? Dia berkata bahwa anda harus tunduk pada suami dalam segala hal. Dia pasti tahu ini yang terbaik bagi anda, atau Dia tidak pernah meminta anda melakukannya. Serahkan diri anda kepadaNya; katakan padaNya bahwa anda ingin menjadi pasangan yang taat. Ketaatan pada perintahnya sangat memuliakan Tuhan.

“Tapi suami saya seperti ubur-ubur. Dia bisa membuat Charlie Brown seperti Rock of Gibraltar. Bagaimana saya bisa tunduk dan bergantung padanya?” Coba! Coba tunduk padanya seperti pada Tuhan dalam segala hal. Taat pada Firman dan percayakan akibatnya pada Tuhan! Hormati penilaian suami anda saat dia harus membuat keputusan. Nyatakan kepercayaan pada kemampuannya daripada melangkahinya, mengejek dan merendahkannya atau membandingkan dia dengan pria lain. Katakan padanya bahwa anda pikir dia yang terbaik, dan anda bersyukur pada Tuhan untuk memberikan dia dalam memimpin. Lihatlha Tuhan menggunakan prilaku anda itu untuk membuat dia jadi pria, pria yang sesuai kehendak Tuhan.

Seperti yang sudah Tuhan rencanakan bahwa kasih suami untuk memenuhi kebutuhan istri, juga dia merencanakan ketaatan istri untuk memenuhi kebutuhan suami. Walau nature seorang wanita adalah bergantung, seorang pria merasakan dorongan untuk memimpin. Tidak masalah apa yang dia katakan atau lakukan, dia marah terhadap setiap taktik yang digunakan istri untuk mendominasi atau memanipulasinya. Lebih jauh, seorang pemimpin harus memiliki respek dan diakui, dan itulah maksud Tuhan untuk disediakan oleh istri. “isteri hendaklah menghormati suaminya.”6 Tuhan membuat suami untuk memimpin; istri harus membiarkan dia memimpin, memperlakukannya seperti seorang pemimpin diperlakukan.

Mencari penghasilan bukan hal mudah dalam dunia kita yang penuh persaingan. Suami harus menghadapi frustrasi, putus asa, dan kemunduran. Sebagian orang mengambil keuntungan darinya, menipunya, dan memperlakukan dia dengan tidak adil. Orang lain mengkritiknya atau mencelanya. Dia perlu seseorang untuk menguatkan dia, menghargai dia, percaya padanya, dan menghormatinya—dan itulah alasan Tuhan memberikan dia istri! Dia mampu menanggung lebih banyak kesulitan dalam dunia kerja jika dia tahu ada seorang istri dirumah yang mengaggumi dia, percaya, dan mendukungnya, apapun yang terjadi. Jika dia mendapat perlakuan yang sama dirumah seperti ditempat kerja, dia cenderung untuk melarikan diri dan membawa ketidak bahagiaan. Tapi pemikiran adanya pasangan yang mengaggumi dan menguatkan dia akan mendekatkan dia kerumah seperti magnet.

Beberapa mungkin berpikir, “Masalah ketaatan ini bisa terjadi jika suami anda seorang Kristen, tapi saya tidak.” Pesan utama Alkitab tentang pembahasan ini ada dalam 1 Peter 3. Ini ditulis untuk semua istri, tapi ada perintah khusus bagi mereka dengan suami yang belum selamat: “Demikian juga kamu, hai isteri-isteri, tunduklah kepada suamimu, supaya jika ada di antara mereka yang tidak taat kepada Firman, mereka juga tanpa perkataan dimenangkan oleh kelakuan isterinya.”7 Pemunculan kedua dari kata dalam ayat ini tidak memiliki sesuatu mendahuluinya dalam teks Yunani. Itu tidak menunjuk pada Firman Tuhan, seperti yang pertama, tapi setiap perkataan, seperti omelan! Ini merupakan penyingkapan yang luar biasa. Tuhan berkata bahwa ketaatan istri merupakan kunci memenangkan suami yang belum percaya kepada Kristus. Dia tidak harus terus menyuruh kegereja. Dia tidak berkotbah pada suaminya. Dia tidak membacakan Alkitab padanya. Dia hanya diminta untuk tunduk pada suaminya—dengan sukarela, sukacita, dan penuh kasih. Tuhan menggunakan prilakunya, untuk memenangkan suaminya bagi Kristus.

Setelah saya membagikan konsep ini dalam kelas Alkitab pagi, saya memperhatikan satu orang wanita menghilang untuk beberapa minggu kemudian. Melalui bertanya, saya mengetahui bahwa suaminya kesal dengan aktifitas Kristennya yang terlalu banyak, yang sebenarnya ingin dia ada dirumah dan melakukan tugas rumah tangganya. Setelah mendengar apa yang diajarkan Alkitab tentang hal ini, dia memutuskan untuk tunduk padanya walau mengorbankan aktifitas kerohaniannya yang disukainya. Tidak lama kemudian suaminya yang tidak terlalu tertarik tentang Tuhan, percaya Kristus sebagai Juruselamatnya dan mulai pergi gereja dengan istrinya untuk mendengar Firman Tuhan. Suaminya juga mengijinkannya kembali kekelas Alkitab. Akibat dari tunduk kepada kehendak Tuhan selalu menguntungkan kita!

“Tapi bagaimana jiwa suami meminta saya melakukan sesuatu yang bertentangan dengan Firman Tuhan?” Ini satu-satunya pengecualian yang bisa saya temukan terhadap kata “dalam segala sesuatu” Ephesians 5:24. Petrus yang memerintahkan istri Kristen untuk tunduk pada suami yang belum percaya. Petrus juga yang memerintahkan untuk mentaati hukum pemerintahan.8 Saat Petrus ditegur karena memberitakan Kristus, dia menjawab, “Kita harus mentaati Tuhan daripada manusia!”9

Pemikiran yang sama dengan surat Paulus pada jemaat Kolose. “Hai isteri-isteri, tunduklah kepada suamimu, sebagaimana seharusnya di dalam Tuhan.”10 Maksud dasar disini adalah istri harus tunduk pada suami karena inilah yang seharusnya bagi wanita yang mengenal Tuhan. Tapi kata itu juga bisa berarti bahwa ketaatan hanya pada wilayah yang dikehendaki Tuhan. Jika ketaatan pada suami merupakan ketaatan pada Tuhan seperti dinyatakan Ephesians 5:22, maka itu diatur oleh otoritas Firman Tuhan. Sebagai contoh, jika seorang suami meminta istri Kristennya untuk ikut serta dalam pesta yang tidak baik, dia harus menolak, karena aktifitas ini jelas berlawanan dengan kehendak Tuhan. Ketaatan terhadap hal yang tidak terhormat akan menyebabkan suami yang belum selamat memandang rendah istrinya yang Kristen, dan menjauhkan dia dari Kristus.

Bagaimana dengan pergi kegereja? Alkitab memerintahkan orang percaya untuk berkumpul bersama,11 tapi tidak dikatakan berapa sering. Seorang istri Kristen mungkin memiliki keinginan kegereja yang tepat kapanpun pintu dibuka, tapi karena dia tunduk pada suaminya, dia hanya kegereja saat dia mengijinkannya, tunduk dengan sukarela kepadanya saat suaminya tidak memberikan hak istimewa itu. Dia menyatakan pada suami bahwa dia ingin menyenangkannya. Kemudian dia akan menemukan kekuatan untun menopang prilakunya melalui hubungan pribadi dengan Kristus. Dia akan memberikan hikmat untuk setiap situasi baru yang muncul.12

Dilihat dari Firman Tuhan, ketaatan bukan perbudakan yang harus dilakukan istri. Itu bukan kehilangan kepribadian dan individualitas. Ketaatan sejati merupakan suatu kreatifitas dan tantangan seorang wanita dalam menyenangkan suaminya bahwa dia menghormati, mengaggumi, dan bergantung padanya. Itu membutuhkan kematian semua kesombongan dan penghancuran semua motivasi yang egois. Itu berarti bahwa istri menjadi lebih tertarik terhadap kebutuhan suami daripada dirinya. Itu berarti dia berhenti bertanya, “berapa jauh saya bisa tunduk pada suami.” Sebaliknya mulai bertanya, “berapa jauh saya bisa terus tanpa tidak mentaati Tuhanku?” Ini mungkin membutuhkan perubahan total prilaku istri terhadap suaminya, tapi Tuhan akan menolongnya jika dia memintaNya. Doanya akan, “Tuhan, berikan aku keinginan sederhana dan tidak egois untuk dipimpin suami saya saat saya dipimpin oleh Mu, dan kemudian membawa kemuliaan bagi namaMu.”

Sekarang lihat beberapa hal yang Tuhan ingin setiap istri Kristen tahu, apakah suaminya seorang percaya atau tidak. “Perhiasanmu janganlah secara lahiriah, yaitu dengan mengepang-ngepang rambut, memakai perhiasan emas atau dengan mengenakan pakaian yang indah-indah, tetapi perhiasanmu ialah manusia batiniah yang tersembunyi dengan perhiasan yang tidak binasa yang berasal dari roh yang lemah lembut dan tenteram, yang sangat berharga di mata Allah.”13 Dari kata Yunani diterjemahkan “keindahan diluar” kita mendapat kata “cosmetic,” menandakan suatu yang indah. Firman Tuhan mengatakan wanita Kristen bagaiamana jadi cantik. Jika mereka mengikuti nasihat ini, mereka akan menyelamatkan diri dari biaya besar! Petrus berkata bahwa kecantikan tidak hanya dari luar, seperti gaya rambut, perhiasan, dan baju, tapi dari hati. Dia tidak mengatakan bahwa seorang wanita Kristen harus kotor atau tidak memperhatikan penampilan, tapi menyatakan bahwa keindahan sejati adalah sesuatu yang lebih dalam dari kulit atau perawatan kulit!

Para wanita perlu memperlajari hal ini. Sebagian mungkin berpikir Tuhan memberikan suami untuk membelikan mereka semua yang hati mereka inginkan. Mereka mendorong suami mereka untuk menghasilkan lebih banyak uang agar mereka bisa membeli pakaian dan perhiasan dan merapikan rambut mereka lebih sering, dan mengaggumkan orang dengan kecantikan dan status social mereka! Mereka menggunakan suami mereka untuk memuaskan kesombongan dan keinginan akan materi. Seorang wanita seperti ini biasanya menghancurkan suaminya atau membawa suami pada orang lain yang mengasihi dirinya sebagaimana adanya.

Sesuatu yang tidak pernah usang adalah “…roh yang lemah lembut dan tenteram, yang sangat berharga di mata Allah.” “Lemah lembut” artinya penuh kasih, pengertian, mau menyerahkan hak pribadi. “tentram” berarti tenang, damai, tidak terganggu. Suatu roh yang lemah lembut dan tentram merupakan suatu yang berharga dimata Tuhan, suatu nilai yang tinggi. Tapi jika percakapan saya dengan para suami Kristen menunjukan daya tarik ini tidak ada diantara wanita pada umumnya—bahkan wanita Kristen.

Kita sering mendapatkan omelan, keluhan, komplain, dan kemuraman—bukan daya tarik wanita Kristen! “Tapi” protes beberapa orang, “anda mengatakan diawal bab bahwa fisik kita yang menyebabkan kita secara emosi lemah dan murung.” Benar, tapi semua kemurungan bisa dihasilkan kimia. Sebenarnya, itu berasal dari penolakan dalam hidup seseorang untuk turun tahta dan membiarkan Yesus yang mengatur. Penolakan seperti ini adalah dosa. Pemarah merupakan keluhan yang paling sering diantara suami dan istri, dan biasanya dari gangguan kesenangan, kenyamanan salah satu pasangan terhadap lainnya. Pemarah merupakan nature dosa untuk memaksakan cara sendiri. Natur dosa perlu diturunkan dan dikalahkan!

Fakta ini tidak memberikan suami hak untuk tidak kasih atau tidak baik saat istri dalam mood yang buruk. Dia tetap memerlukan kata-kata simpati dan pengertian daripada kemarahan seperti “berhenti berkelakuan kekanak-kanakan.” Tapi istri juga tidak bisa menyalahkan sifat buruknya pada suami. Dia harus menerima tanggung jawab itu secara pribadi dihadapan Tuhan. Dia harus menyebut itu sebagaiaman seharusnya—dosa. Kemudian dia harus mengakui itu pada Tuhan dan meminta kuasa dan anugrah untuk mengatasinya. Tuhan Yesus Kristus akan menghasilkan didalam dirinya kasih karuniaNya dan kebaikan.

Harus diakui hidup seorang wanita bisa sulit. Beban mengurus rumah dan mengurus anak bisa menjadi rutinitas yang monoton. Dia terus melakukannya, tapi tidak merasa berkontribusi sesuatu yang penting bagi hidup. Pengurungan terus menerus dalam tembok dan celoteh anak kecil bisa mengganggunya. Tapi jika dia mengijinkan prilaku itu berkepanjangan, akan membawa kemurungan atas rumah tangga, dan setiap orang akan menderita. Suasana gembira dalam rumah sangat bergantung pada istri. Jika dia menerima tanggung jawabnya untuk menciptakan suasana yang baik dan menyerahkan dirinya pada Roh yang ada dalam diri, Dia akan menghasilkan dari dirinya BuahNya; hidup akan menjadi tantangan yang menarik daripada pekerjaan yang mengesalkan. Kadang wanita terlibat dengan begitu banyak kegiatan luar sehingga mereka kehilangan prioritas Alkitabnya. Tanggung jawab utama mereka adalah membuat suami dan rumah mereka bahagia—dan ini perlu pemikiran serius, perencanaan yang seksama, dan perhatian yagn tidak egois. Hasilnya akan berkelimpahan, dan kepuasan pribadi akan sesuai dengan usaha.

Raja Lemuel menggambarkan seorang wanita luar biasa dalam pasal terakhir kitab Amsal. Ini sangat baik untuk dibaca setiap istri Kristen. Dia seorang wanita yang bertalenta. Sebenarnya dia bisa menolong dalam pendapatan.14 Istri tidak salah mengejar karir jika itu tidak menggangu tanggung jawab keluarga. Menilai dari semua yang dia lakukan bagi keluarganya, wanita ideal Proverbs 31 merupakan seorang wanita yang rajin, disiplin mengatur waktunya dengan baik. Tidak ada yang begitu mengganggunya. Dia bangun kalau masih malam dan menyiapkan makan pagi buat keluarganya.15 Satu perkataan yang lebih penting dari yang lainnya dalam bagian ini adalah prilakunya: “Dia senang bekerja dengan tangannya.”16 Arti literalnya “dengan sukacita.” Kesenangan dan kepuasan terdalamnya ditemukan dalam membuat keluarganya bahagia. Anda lihat, Tuhan tidak hanya tertarik pada apa yang kita lakukan, tapi juga bagaimana kita melakukannya. Prilaku kita penting bagiNya. Saat seorang istri Kristen berseru pada Kristus, dia mampu menerima peran yang diberikan Tuhan dengan sukacita, dan hati suaminya akan berseru “Amin” saat dia membaca kalimat, “Siapa mendapat isteri, mendapat sesuatu yang baik, dan ia dikenan TUHAN!”17

Perkataan peringatan harus diberikan kepada para suami. Sangat mudah bicara tentang kesalahan pasangan kita daripada mencari kasih karunia Tuhan untuk memperbaik kekurangan kita. Bab ini tidak ditulis untuk para suami untuk menyalahkan istri mereka. Ini ditulis agar Roh Kudus bisa mencerahkan istri Kristen tentang tugas mereka. Marilah setiap kita menguji hidup kita sendiri dalam terang Firman; Roh Kudus akan melakukan karyaNya dalam pasangan anda dengan caraNya!


1 Titus 2:4.

2 Titus 2:5, KJV.

3 Ephesians 5:22, 24; Colossians 3:18, Titus 2:5, 1 Peter 3:1, 5.

4 Ephesians 5:22, TLB.

5 Ephesians 5:24, TLB.

6 Ephesians 5:33, TLB.

7 1 Peter 3:1, KJV.

8 1 Peter 2:13, TLB.

9 Acts 5:29, TLB.

10 Colossians 3:18, KJV.

11 Hebrews 10:25.

12 James 1:5.

13 1 Peter 3:3, 4, TLB.

14 Proverbs 31:16.

15 Proverbs 31:15.

16 Proverbs 31:13, KJV.

17 Proverbs 18:22, TLB.

Related Topics: Christian Home, Marriage

10. Bicara Kebenaran dalam Kasih

Satu masalah umum dalam pernikahan adalah kurangnya komunikasi. Situasi ini merupakan bagian dari masyarakat, karena banyak anak dibesarkan dirumah dimana komunikasi membangun jarang terjadi. Kebersamaan keluarga diturunkan kepada hanya menonton tv bersama; siapapun yang berani berkata apapun disuruh diam karena orang lain ingin mendengar! Trend bagi setiap anggota keluarga adalah memiliki TV sendiri, jadi dia bisa menonton apa yang diinginkan tanpa gangguan atau interupsi. Semua komunikasi keluarga dihancurkan.

Faktor lain yang berkontribusi pada absennya komunikasi keluarga adalah kecenderungan kita untuk membatasi anak menyatakan perasaan mereka yang sebenarnya. Kita biasanya melihat lebih penting bertindak dan bicara dalam prilaku yang secara umum diterima daripada menyatakan pemikiran kita yang sebenarnya. Maka dari itu, setelah seorang anak melakukan sesuatu yang memalukan kita bisa mendengan ibunya berkata, “Junior, jangan pernah bilang itu lagi! Apa kata orang nanti?” Kita memang harus mempertimbangkan perasaan orang lain, tapi perhatian kita tentang pendapat orang lain mendorong Junior menyimpan pemikiran dan perasaan terdalamnya, dan menghindari sakitnya salah mengerti dan ditolak. Dia belajar menahan komunikasi.

Setelah dia masuk kedunia sekolah yang kompetitif, dan kedunia kerja. Sedikit orang yang peduli terhadap pikiran dan perasaannya; kinerjanya yang dihitung. Dia diterima oleh atasannya selama dia melakukan sesuai kualitas standar dan prosedur pekerjaan. Keamanan kerjanya terancam jika orang bisa melihat dan menemukan apa yang dipikirkannya. Jadi dia belajar menutupi apa yang ada disana, menunjukan gambaran diri yang mengesankan orang, yang menutupi kelemahan dan kesalahannya. Dibalik semua itu dia merasa seperti kartu computer. Dia ingin diterima sebagaimana dia ada, tapi tidak ada yang mau melakukannya, karena tidak ada yang tahu siapa dia sebenarnya.

Kemudian hal yang tidak terduga terjadi—dia tertarik pada lawan jenis. Dia mulai terbuka, membagikan perasaan terdalamnya. Pasangan itu juga melakukan hal yang sama, dan itu menjadi pengalaman yang mendebarkan. Setidaknya mereka menemukan seseorang yang benar-benar mengerti, yang menerima siapa dirinya sebenarnya. Mereka menemukan banyak kesamaan, kalau mereka “dibuat untuk dirinya.” Saat pastor yang akan menikahkan mereka bertanya apakah mereka bisa berkomunikasi, mereka dengan yakin menyatakan bahwa itu salah satu asset mereka yang terbesar.

Saat pernikahan berjalan, mereka semakin sedikit bicara. Apa yang dulunya mereka pikir suatu saling pengertian menjadi awal pernyelidikan mereka terhadap misteri kepribadian masing-masing. Tapi sekarang hal baru sudah berlalu. Saat tekanan rutinitas pernikahan menumpuk, komunikasi menjadi pengalaman tidak menyenangkan. Ketegangan meningkat, salah pengertian muncul, perkataan yang tidak baik diucapkan, dan perasaan terluka. Kesadaran ini menjadi tak bisa ditanggung. Makin banyak menyatakan pendapatnya makin tidak enak suasananya, sampai mereka kembali kekeadaan sebelumnya, menutupi pemikiran terdalam mereka. Daripada bertumbuh dalam pengetahuan dan saling pengertian, dengan kesatuan yang direncanakan Tuhan bagi mereka, mereka semakin hanyut menjauh.

Jadi keluhan datang: “Dia tidak pernah bicara padaku lagi.” “Dia tidak mau memberitahukan apapun tentang pekerjaannya.” “Aku tidak tahu apa yang dipikirkannya.” “Dia tidak mau berhenti bicara untuk mendengarkan aku.” Mereka terus begitu. Apakah anda tahu bahwa Alkitab bicara banyak tentang masalah komunikasi?

Pertama, Alkitab menjelaskan kenapa kita membiarkan komunikasi hancur. Setiap kita memiliki nature dosa. Disamping kelemahan dan kerapuhan, itu sangan korup dan egois. “Betapa liciknya hati, lebih licik dari pada segala sesuatu, hatinya sudah membatu: siapakah yang dapat mengetahuinya?”1 Sangat memalukan membukan hati kita yang licik, jadi kita memakai topeng yang bisa dihormati daripada menyatakan nature kita yang sebenarnay. Yesus berkata bahwa manusia lebih memilih kegelapan daripada terang karena keinginan mereka jahat.2 Kita lebih ingin menyimpan perasaan dan motif terdalam kita dalam kegelapan hati kita, daripada diterangi agar semua bisa melihat! Karena hati kita cenderung meluap kemulut,3 kita sering menjaga mulut kita. Kita menghindari terlalu dekat dengan seseorang, sehingga bisa membuka kelemahan kita, dan orang bisa melihat kita yang sebenarnya!

Ini tidak mengusulkan agar kita mengatakan semua dosa masa lalu pada pasangan kita. Mungkin itu yang Tuhan ingin kita lakukan; tapi itu juga bisa menjadi hal kejam yang pernah kita lakukan padanya. Kita seharusnya tidak mengudara saat hati kita dipenuhi dengan nafsu, sombong, kebencian, dan iri hati atau keraguan dan kekhawatiran.

Hal terbesar yang bisa terjadi bagi beberapa perkawinan adalah suami yang luar biasa atau istri yang lebih suci dari anda turun dari tahta pembenaran diri dan mengakui kelemahan dan kebutuhannya. Kerendahan hati seperti itu bisa menghilangkan permusuhan, mengobarkan kembali kasih yang melemah, dan membangun kembali komunikasi yang putus. Berpura-pura menjadi seorang yang bukan diri kita adalah munafik, dan tidak ada kelompok yang lebih dicela Tuhan daripada orang munafik.4

Sekali lagi, saya tidak mengusulkan agar kita membeberkan semua yang ada dalam pikiran kita. Itu bisa menyerang orang lain, dan Tuhan tidak dipermuliakan dalam hal ini. “Janganlah kamu menimbulkan syak dalam hati orang, baik orang Yahudi atau orang Yunani, maupun Jemaat Allah.”5 Langkah pertama mengijinkan Kristus mengubah hidup kita adalah mengakui bahwa kita seperti yang sebenarnya, sehingga kita perlu diubah. Ada beberapa situasi dalam hidup menjadi lebih sengsara daripada menikahi pribadi yang kaku dan puas pada diri, seorang yang berpikir pendapatnya tidak bisa salah dan tindakannya sempurna.

Salah satu situasi konseling yang paling menyulitkan yang pernah saya hadapi melibatkan pribadi semacam itu. Fred menderita kekurangan pendengaran yang akut dan dia tidak pernah sepenuhnya menerima atau belajar hidup dengan hal itu. Itu membuatnya tidak toleran dan tidak masuk akal terhadap istri dan anaknya. Apa yang dikatakan adalah hukum; tidak pernah bisa dipertanyakan atau diragukan. Dia membuat keputusan tergesa-gesa tanpa mengetahui semua fakta dan tidak bertoleransi pada semua permintaan. Dia tidak bisa salah dimatanya, dan tidak mau disalahkan atas apapun. Duapuluh lima tahun kekerasan kepala ini berlangsung sama sekali menjauhkan dia dari anak dan membuat istrinya menjadi orang paling pahit yang pernah saya temui. Satu-satunya komunikasi yang terjadi diantara mereka adalah teriakan dan bentakan, sebagian saya dengar selama kunjungan kerumah mereka.

Dalam sesi pribadi saya dengan cerdik menjelaskan pada Fred bahwa beberapa konflik dalam hidupnya telah meningkat melalui prilaku pribadinya. Dia bangkit dari kursi dan melangkah dengan gelisah. “Itu mungkin saja,” akhirnya dia berkata, “tapi saya tidak pernah berpikir dengan cara itu.” Tindakan berikutnya menunjukan bahwa dia telah memutuskan untuk tidak pernah memikirkan dengancara itu lagi. Suatu pengakuan sebagian penyalahan bisa meluluhkan permusuhan yang sudah bertahun-tahun terbangun, dan memulai proses penyembuhan yang sangat dibutuhkan. Tapi kesombongannya tidak membiarkan dia turun. Dia memilih menutup pernikahannya daripada mengakui kesalahan apapun. Komunikasi yang berarti terputus dari sumbernya.

Alkitab menunjukan satu lagi alasan kita menolak komunikasi: kita takut akan reaksi pasangan kita. Sebagian orang langsung hancur saat mereka diberitahu tentang kelemahan mereka. Mereka bisa jadi gunung berapi, tangisan yang memancar, atau menjadi diam dalam waktu yang lama. Sekali kita belajar apa yang menyebabkan respon pasangan kita, kita takut menghasilkan situasi ini lagi. Kita tidak melihat arti dari hal ini, jadi kita menarik diri dalam keheningan dan melindungi diri. Dikali berikut saat ditanya kenapa pasangan kita tidak bicara pada kita, mari kita tanya diri kita bagaimana kita bereaksi diwaktu lalu! Kita mungkin menemukan kesalahan ada pada kita.

Pengajaran Alkitab untuk membetulkan krisis komunikasi ini adalah, “Segala kepahitan, kegeraman, kemarahan, pertikaian dan fitnah hendaklah dibuang dari antara kamu, demikian pula segala kejahatan. Tetapi hendaklah kamu ramah seorang terhadap yang lain, penuh kasih mesra dan saling mengampuni, sebagaimana Allah di dalam Kristus telah mengampuni kamu.”6 Saat pasangan anda membuka hatinya dan anda ingin membalas dengan kutukan, berdoa sebelum membuka mulut anda! “Tuhan, jauhkan aku dari kemarahan; jauhkan aku dari mengatakan hal yang tidak baik. Tolong aku mendengar dengan baik dan simpatik bagi pasangan saya, mencoba mengerti perasaannya, melihat hal ini dari sudut pandangnya.” Kemudian komunikasikan dengan baik dan berarti, tidak dengan semburan emosi.

Buat aturan dengan tidak menaikan suara anda. Suara yang keras tidak menyenangkan, dan beberapa orang menikmati hal ini. Suara keras, pahit, marah, sarkasme hanya membawa pasangan kita semakin masuk didalam cangkangnya. Dengarkan Raja Salomo: “Jawaban yang lemah lembut meredakan kegeraman, tetapi perkataan yang pedas membangkitkan marah.”7 Hafalkan ayat ini. “lembut” tidak hanya pada volume suara, tapi juga pada tingkatan empati. Perkataan yang lembut seperti menuangkan air dingin keatas bara. Perkataan kasar hanya menambah api. Bagaimana anda seharusnya bereaksi saat pasangan anda membuka hatinya? Dengan kebaikan, ketenangan, kasih dan lembut. Itu membuat jalur komunikasi tetap terbuka.

Halangan lain adalah ketakutan kalau pasangan kita menggunakan informasi itu untuk melawan kita dikemudian hari. Saat perbedaan pendapat muncul, sebagian orang suka mengungkit kelemahan, kegagalan, dan kesalahan lalu. Kita tidak bisa mengharapkan pasangan kita membagikan beban jiwa mereka jika tahu mereka akan mendengar hal ini bulan depan atau tahun depan. Seorang yang mengungkit masalah yang sudah lalu lebih ingin memenangkan argument daripada membangun hubungan pribadi yang intim dengan pasangan mereka.

Perkataan “hendaklah kamu saling mengampuni, sebagaimana Allah di dalam Kristus telah mengampuni kamu”8 juga tepat terhadap masalah ini. Sebagian orang protes, “tapi saya telah mengampuni. Hanya saja saya tidak bisa melupakannya.” Bagaimana Tuhan mengampuni? “Aku akan mengampuni kesalahan mereka dan tidak lagi mengingat dosa mereka.”9 “sejauh timur dari barat, demikian dijauhkan-Nya dari pada kita pelanggaran kita.”10 Jika pasangan kita bisa percaya kalau kita tidak akan menggunakan rahasia ini sebagai senjata melawan mereka, mereka akan lebih terbuka pada kita. Hanya ada satu cara untuk mendapatkan kepercayaan: dengan meminta Tuhan menolong kita mengampuni dan melupakan. Dia tidak menghilangkan ingatan itu dari otak kita, tapi mengambil luka darinya, dan menghilangkan setiap alasan untuk disebutkan kembali!

Suatu pernikahan yang bahagia hanya bisa terjadi saat setiap pasangan tahu bagaimana perasaan pasangannya tentang situasi yang mereka hadapi. Empati seperti ini membutuhkan jalur komunikasi yang terbuka. Kita sering mengembangkan pemikiran bahwa alternative terbaik daripada pertengkaran adalah diam. Kita merasa menang jika kita berdiam sementara pasangan kita membentak-bentak. Tapi diam yang seperti ini membelikan kita tiket ke rumah sakit dengan berbagai macam penyakit karena stress, dan lebih membuat pasangan kita marah. Ada alternative lain daripada pertengkaran. Itu dengan berbagi dalam kasih apa yang ada dalam hati kita! Alkitab tidak hanya menyatakan halangan komunikasi, tapi jalan untuk bisa berkomunikasi! Satu kalimat pendek dalam Ephesians 4:15 menunjukan kunci komunikasi efektif dalam rumah: “berpegang kepada kebenaran di dalam kasih.”

Prinsip pertama adalah jujur: “bicara jujur.” Hubungan pernikahan yang memuaskan meliputi keterbukaan tentang ketakutan, keinginan, motivasi, seks, uang, kelemahan, kemarahan, dan salah pengertian. Banyak masalah perkawinan bisa diselesaikan jika suami dan istri jujur dengan pasangannya. Apakah anda punya masalah yang anda simpat dari pasangan anda agar dia tidak khawatir? Jika demikian, anda menutup hidup anda dari dia dengan menunjukan bahwa dia secara emosi tidak cukup kuat untuk menolong anda menyelesaikan masalah anda. Itu merupakan penghinaan yang membuat anda semakin jauh.

Apakah anda memiliki kebutuhan yang bisa dipenuhi pasangan anda, tapi tidak dinyatakan? Anda mungkin terlalu sombong atau malu untuk mengakuinya, jadi anda mencoba menjadi martir dan menyimpannya untuk diri anda. Maka ketegangan dan dendam didalam akan terbangun sampai memerlukan konseling dari professional. Ini harga yang harus dibayar ketidak jujuran.

Prinsip kedua dari komunikasi efektif adalah kasih, “bicara dengan kasih.” Kebenaran kadang bisa kejam. Itulah alasan Tuhan mengatakan itu harus dikatakan dalam kasih. Ini meliputi memikirkan orang lain. Hal kejam dikatakan atas nama kejujuran saat alasan sebenarnya adalah untuk keluar dari penyesalan rasa bersalah. Tujuan dalam pernikahan adalah keterbukaan penuh dan keintiman jiwa dan roh. Ini, tidak terjadi dalam semalam. Itu kadang membutuhkan bertahun-tahun agar terjadi, dan sebagian pasangan tidak pernah sampai kesitu. Tapi Tuhan ingin kita tetap bertumbuh, setiap hari menyatakan sedikit jiwanya dalam kasih dan santun.

Kasih juga menolong kita memilih waktu yang tepat untuk membagikan berita buruk atau menyatakan beberapa hal yang sulit. “Perkataan yang diucapkan tepat pada waktunya adalah seperti buah apel emas di pinggan perak.”11 “alangkah baiknya perkataan yang tepat pada waktunya!”12 Kedua ayat ini menunjuk pada perkataan yang diucapkan pada saat yang tepat. Biasanya bijak untuk menunggu setelah selesai makan untuk membahas hal yang tidak enak atau controversial. Kadang baik untuk menunggu sampai pagi, terutama jika pasangan kita mendapat hari yang sulit.

Jika masalah yang ingin kita bahas menyangkut beberapa kesalahan pasangan kita, kasih akan membuat kita bicara pada Tuhan lebih dahulu. Dia mungkin menunjukan bahwa masalah sebenarnya ada dalam kita—sesuatu yang harus lebih dulu kita selesaikan. Kemudian, jika Tuhan memberikan kita kebebasan untuk menyatakan itu, kasih akan menolong kita untuk menandainya dengan kata-kata penghargaan dan pujian lebih dulu, dan menyatakannya dengan membangun dan secara positif. Kita akan memberi semangat daripada melukai pasangan kita. “Perkataan yang menyenangkan adalah seperti sarang madu, manis bagi hati dan obat bagi tulang-tulang.”13

Kita tidak bisa mulai bicara tentang kesalahan seseorang tanpa memperhatikan nasihat Paulus: “Saudara-saudara, kalaupun seorang kedapatan melakukan suatu pelanggaran, maka kamu yang rohani, harus memimpin orang itu ke jalan yang benar dalam roh lemah lembut, sambil menjaga dirimu sendiri, supaya kamu juga jangan kena pencobaan.”14 Sangat mudah terlihat hebat saat membicarakan kelemahan orang lain. Itu membuat kita lebih suci dari mereka! Tapi Tuhan berkata bahwa kita harus mendekati orang dengan lemah lembut, karena kita juga sama dengan mereka. Lemah lembut yang sejati merupakan buah Roh yang mengontrol dalam hidup kita; maka dari itu kita tidak bisa dengan baik membahas kesalahan pasangan kita tanpa diri dipenuhi Roh. Saat dia yang mengatur, kita akan terdengar tidak kasar, juga tidak menunjukan kalau kita tidak bersalah..

Kasih juga menjauhkan kita dari menggunakan generalisasi seperti “selalu” atau “tidak pernah.” “Kamu tidak pernah mendengarkan aku.” “Kamu selalu memotong aku.” Generalisasi seperti itu jarang benar. Kasih juga menolong kita untuk tidak bertengkar didepan orang lain, terutama anak-anak, dan bicara kelemahan pasangan kita pada orang lain. “kasih menutupi banyak sekali dosa.”15

Kasih menolong kita belajar untuk berhenti bicara. Solomon berkata bahwa ada waktu bicara dan ada waktu untuk diam.16 Tidak banyak bicara merupakan komunikasi yang berarti. Pasangan kita mungkin ingin menyatakan jiwa dan berbagi sesuatu yang sangat penting dengan kita jika kita berhenti bicara cukup lama untuk membiarkan mereka. Kasih juga menjaga kita dari memaksa pasangan untuk berbagi apa yang tidak ingin dibagikan saat itu. Kasih selalu mempertimbangkan orang lain. Itu merupakan obat rohani yang cukup kuat untuk menyembuhkan hampir semua sakit komunikasi dalam keluarga Kristen, “Bicara kebenaran dalam kasih.”

Komunikasi adalah cara kita belajar mengenal dan mengerti pasangan kita. Tuhan, sudah mengerti pasangan kita; Dia menciptakan kita. Mari kita minta Dia untuk membuka jalur komunikasi antar pribadi dan memberi kita pengertian yang dimilikiNya, sehingga hubungan pernikahan kita bertumbuh setiap hari.


1 Jeremiah 17:9, TLB.

2 John 3:19.

3 Matthew 12:34.

4 Cf. Matthew 23.

5 1 Corinthians 10:32, KJV.

6 Ephesians 4:31, 32, TLB.

7 Proverbs 15:1, TLB.

8 Ephesians 4:32, TLB.

9 Jeremiah 31:34, TLB.

10 Psalm 103:12, TLB.

11 Proverbs 25:11, TLB.

12 Proverbs 15:23, TLB.

13 Proverbs 16:24, TLB.

14 Galatians 6:1, TLB.

15 1 Peter 4:8, KJV.

16 Ecclesiastes 3:7.

Related Topics: Christian Home, Marriage, Love

12. Uang, Uang, Uang!

“Uang bukang segalanya dalam hidup, tapi ada ditempat kedua dari semua hal.” Sindiran terkenal itu salah; uang bukan hal yang paling penting dalam hidup. Tapi pentingnya uang jangan dianggap enteng. Sebagian orang Kristen berpendapat tidak rohani kalau tertarik pada yang; kebenaran sederhananya, kita tidak bisa hidup tanpa itu dan pekerjaan Tuhan tidak bisa berlanjut tanpa hal ini. Jika orang Kristen menggunakan uang mereka untuk penginjilan, injil Kristus akan memiliki dampak lebih besar dalam dunia ini. Untuk injil, juga untuk kita, kita perlu belajar bagaimana mengatur uang.

Kesaksian Kristen kita ada bagian pengaturan uang. Orang Kristen yang tidak membayar tagihan merupakan kesaksian buruk bagi kuasa penyelamatan Kristus. Orang percaya yang keuangannya gagal merupakan kesaksian buruk bagi hikmat dan bimbingan Tuhan. Suami da istri yang bertengkar tentang uang membuat kesaksian buruk bagi kasih dan damai Roh Kudus. Uang menduduki peringkat tinggi dalam daftar masalah keluarga konselor Kristen. Seseorang memperkirakan bahwa setidaknya 60 persen pasangan menikah memiliki konflik tentang uang. Karena begitu banyak masalah dalam hal ini, kita perlu belajar apa yang dikatakan Firman Tuhan tentang hal ini.

Alkitab tidak pernah mengatakan kalau kaya itu berdosa. Sebaliknya, beberapa orang beriman merupakan orang terkaya dimasa mereka—seperti Ayub, Abraham, Daud, dan Solomon. Tuhan sendiri yang memberikan mereka kekayaan, karena Dia yang memiliki semua kekayaan.1 Bagaimanapun, walau uang itu sendiri tidak berdosa, kasih akan uang merupakan akar semua kejahatan.2 Orang yang menaruh hatinya pada uang akan melakukan apa saja untuk mendapatkan lebih banyak uang.

Kasih pada uang dan hal yang bisa dibelinya yang bisa menghancurkan pernikahan. Alkitab berkata bahwa orang yang menetapkan hati menambah harta menciptakan perangkap bagi diri sendiri.3 Kepuasan mereka menyebabkan ketegangan, menyebabkan konflik disekitar mereka. Masalah yang mereka timbulkan untuk mendapat sedikit uang dengan cepat..

Masalahnya merupakan prilaku hati. Kita pernah bertemu orang yang hidup dalam kemiskinan, makan sederhana, dan mengenakan baju yang sederhana—tapi tetap bahagia! Mereka telah belajar bagaimana menemukan kebahagiaan dalam Tuhan dan dalam sesama, dan menikmatinya dengan hati yang bersyukur atas sedikit hal yang mereka miliki. Mereka menolak meletakan pikiran atas hal yang tidak mereka punyai. Mereka yakin bahwa “hidupnya tidaklah tergantung dari pada kekayaannya itu.”4

Sebaliknya, kita pernah bertemu dengan orang yang ingin lebih. Kebahagiaan kelihatannya sedikit lagi didapat. Mereka berpikir bisa bahagia jika mereka punya tempat tidur satu lagi, dapur yang lebih besar, karpet lantai, kolam renang, kapal, lebih banyak mobil, TV, atau jaket bulu! Tapi saat mereka akhirnya mendapatkan “sedikit lagi itu” mereka merasa perlu sedikit lagi untuk bisa bahagia. Sebelum mereka menyadarinya, hidup sudah berakhir dan mereka melewatkan sukacita sejati. Nikmati apa yang Tuhan telah berikan padamu! Lupakan apa yang tidak kamu punya. Kemudian anda akan belajar makna bahagia sebenarnya.5

Sangat sulit menjauhkan hati dari hal materi dalam masa ini. Barang-barang ada dimana-mana, meyakinkan kita bahwa itu bisa meningkatkan popularitas kita, menambah penerimaan social, dan masuk kedalam kegembiraan luar biasa jika kita membeli produk mereka. Tidak lama setelah mereka berhasil meyakinkan kita, produk mereka bukan lagi mewah tapi kebutuhan! Kita harus memilikinya! Dan setan berhasil membelokan kasih kita dari “hal diatas” kepada “hal dibumi”6 dan itu menambah tekanan yang sudah membebani pernikahan kita.

Hal “ingin lebih lagi” ini disebut Alkitab sebagai—dosa. Dosa ketamakan didaftar bersama dengan pencurian, dan mabuk.7 Paulus mengajar bahwa ketamakan sama dengan pemujaan berhala,8 suatu dosa yang dengan kuat dicela dalam PL dan PB. Jika kita ingin damai Tuhan dalam pernikahan kita, kita harus mengalahkan ketamakan kita. “Engkau tidak bisa melayani Tuhan dan uang.”9 Saat kita menang atas hal ini, banyak masalah keuangan dalam pernikahan bisa diselesaikan, karena sebagian besar berasal dari ketamakan pasangan. Sebagian besar masalah keuangan bisa diselesaikan dengan belajar mengatur uang dengan tepat. Untuk menambahkan apa prilaku kita seharusnya terhadap uang, Alkitab menyatakan beberapa prinsip dasar mengenai pengaturan uang.

Prinsip pertama adalah kita harus memberikan bagian pemerintah dan Tuhan lebih dulu. Kita menyebut pemerintah lebih dulu karena pajak kita biasanya diambil dari gaji sebelum kita mendapatkannya! Kita membayar mereka lebih dulu, suka atau tidak. Kristus juga menyebutkan pemerintah lebih dulu: “Berikanlah kepada Kaisar apa yang wajib kamu berikan kepada Kaisar dan kepada Allah apa yang wajib kamu berikan kepada Allah!.”10 Walau banyak dari kita mengeluh tentang pajak, Tuhan Yesus sendiri meneguhkan hak pemerintah untuk mengenakannya. Rasul Paulus menambahkan nasihat ini: “Itulah juga sebabnya maka kamu membayar pajak…. Bayarlah kepada semua orang apa yang harus kamu bayar: pajak kepada orang yang berhak menerima pajak, cukai kepada orang yang berhak menerima cukai; rasa takut kepada orang yang berhak menerima rasa takut dan hormat kepada orang yang berhak menerima hormat.11 Ini meliputi menyelesaikan form pajak sejujur seperti Tuhan sendiri ada dibelakang mengawasimu! Sebenarnya, itu memang begitu!12

Setelah tugas kita pada pemerintah terpenuhi kita masuk kebagian Tuhan. Jika anda pernah berkata, “Saat kita sudah membayar semuanya, kita bisa memberi seperti seharunya” kemudian anda tidak memberi sebagaimana seharusnya. Anda membalikan nilai anda. Hal yang paling penting dibumi adalah pekerjaan Kristus, dan itu harus yang pertama jika ingin berjalan bersamaNya. Ini artinya pekerjaannya harus ada pertama dalam pembayaran kita. Tuhan ingin bagiannya sebelum hal lain dibayar, bahkan jika kita harus mengorbankan sesuatu yang kita inginkan agar bisa memberikan bagianNya.

Sebagian orang Kristen membelanjakan lebih banyak makanan anjing, rokok, rekreasi atau hobi daripada yang mereka berikan bagi pekerjaan Tuhan. Kristus berkata, “Karena di mana hartamu berada, di situ juga hatimu berada.”13 Dia membangun fakta bahwa kita mencintai benda dimana uangmu ditaruh. Sebagai contoh, jika kita membelanjakan setiap sen untuk rumah kita, maka kita pasti sangat memperhatikan rumah itu daripada Tuhan, dan itu penyembahan berhala. Itu menjijikan bagi Tuhan seperti menyembah patung kayu atau batu. Jika kita hidup untuk meningkatkan harta, menaruh setiap uang untuk saham, kita akan mencintai itu semua daripada Kristus dan pekerjaanNya.

Sebaliknya, jika kita memberi kepada pekerjaan Tuhan, kita akan bertumbuh mengasihi pekerjaan itu. Kita akan hidup untuk melihat jiwa datang pada Kristus; kita akan tertarik pada kebutuhan missionaries; kita pasti berpartisipasi dalam pelayanan doa, dimana kuasa pelayanan mereka berasal. Dimana harta kita ada, disitu hati kita!

Mungkin anda bertanya berapa banyak yang harus diberikan. Hal ini sepenuhnya diantara anda dan Tuhan. Alkitab berkata banyak tentang 10, dan mungkin itu permulaan yang baik. Sangat sulit membayangkan sebagian orang disini tidak bisa memberi setidaknya sejumlah itu bagi pekerjaan Tuhan jika mereka merencanakan keuangan mereka dengan baik. Jika anda mencoba memberi 10 persen, anda bisa mendapat penemuan menarik. Anda akan menemukan sisanya akan lebih dari sebelumnya! Tuhan punya cara membuat pelayanan jadi menyenangkan bagi orang yang melakukannya dengan prilaku yang tepat.14 Jelas, dalam masa anugrah Tuhan kita jangan membatasi 10 persen. Banyak orang Kristen bisa melakukan lebih dari pada itu. Pemberian kita harus sesuai dengan berkat Tuhan,15 dan bagi sebagian dari kita itu lebih dari 10. Tapi angka nyatanya merupakan hasil keputusan doa anda, dan berikan itu sebagai permulaan.

Prinsip Alkitab kedua untuk pengaturan uang adalah menyisihkan sejumlah uang untuk disimpan. Ini termasuk, uang untuk membeli hal yang kita percaya Tuhan ingin kita miliki. Lebih baik uang itu diletakan dibank, dimana ada bunga, daripada membeli saat itu dan membayar bunga. Semua uang kita adalah dari Tuhan, dan kita bertanggung jawab menggunakan setiap senpun, tidak hanya jumlah yang kita beri bagi pekerjaannya. Tidak berdosa membeli saat itu. Itu penting untuk hal besar seperti rumah. Mereka yang menolak meminjam uang untuk rumah biasanya mengutip pembelaan Paulus: “Jangan berhutang pada seorangpu.” Tapi Paulus hanya berkata bahwa kita tidak boleh terus berhutang pada seseorang; yaitu kita harus membayar hutang kita. Ini tidak menghalangi membeli saat itu. Sebelum anda membeli apapun disaat itu, evaluasi seluruh situasi dihadapan Tuhan. “Apakah saya benar-benar membutuhkannya sekarang, atau lebih baik menunggu dan menyimpan uangnya dulu?” Ada banyak hal yang bisa dengan mudah kita lakukan tanpa menabung untuk bisa membelinya.

Simpanan kita bisa termasuk investasi jangka panjang. Saya mengenal orang Kristen yang tidak percaya menabung untuk masa depan. Mereka berkata bahwa Tuhan akan memeliharanya, dan kalau begitu tidak perlu menabung. Tapi Tuhan mungkin ingin menyediakan bagi kita melalui perencanaan dan investasi yang diarahkan Roh. Paulus menyebutkan orantua mengumpulkan untuk anak mereka.16 Dia juga mengingatkan kita tentang tanggung jawab untuk menyediakan kebutuhan keluarga.17 Simpanan bisa berfungsi sebagai dana darurat, menyediakan pendidikan anak, membayar kunjungan keluarga keladang misi. Tabungan yang rutin, investasi yang bijak, dan asuransi secara khusus menolong jika Tuhan mengambil suami dari keluarganya. Pengelolaan uang Tuhan dengan bijak juga termasuk mempersiapkan warisan. Tidak peduli betapa muda anda atau sedikitnya milik anda, warisan bisa menyelamatkan orang yang anda kasihi dari sakit hati dan kehilangan. Anda bisa mengingatkan pekerjaan Tuhan dalam warisan.

Perumpamaan Kristus tentang talenta jelas memperbaiki aturan investasi uang untuk mendapat bunga. “Karena itu sudahlah seharusnya uangku itu kauberikan kepada orang yang menjalankan uang, supaya sekembaliku aku menerimanya serta dengan bunganya.”18 Bunga dalam Alkitab tidak menghalangi kita mendapatkan bunga dari uang kita. Kata “bunga” menunjukan membebankan tingkat bunga berlebihan, terutama terhadap mereka yang kurang bisa membayar.19 Masuk akal meletakan uang Tuhan agar mendapat lebih banyak uang bagi kemuliaannya.

Berapa banyak yang harus disimpan? Sekali lagi ini antara anda dan Tuhan. Saya pikir ini kurang dari 10 persen pendapatan total tidak akan banyak menolong. Jika persentase terlalu tinggi, kita harus menghadapi tuduhan menahan uang yang seharusnya bisa digunakan lebih baik untuk penyebaran injil. Putuskan persentase yang masuk akal dan realistic, yang menyisakan cukup uang untuk hidup baik.

Menentukan hal ini pada tingkatan yang menengah juga bisa menghalangi anda menjadi budak account bank anda. Sebagian orang takut masa depat akan jadi sulit, mengambil setiap send an membuat diri sendiri dan orang lain disekitarnya sengsara. Seperti orang yang butuh sedikit lagi untuk bahagia, orang ini butuh sedikit uang lagi dibank untuk merasa aman. Hidup melewati mereka sebelum mereka sadar bahwa mereka tidak menikmati hidup atau hal baik yang Tuhan telah berikan.

Setelah memberikan bagian pemerintah dan Tuhan, kemudian simpan sebagian uang untuk ditabung, prinsip akhir untuk mengatur uang adalah hidup dengan sisa uang yang ada. Kita harus yakin bahwa biaya hidup kita tidak melebihi jumlah yang tersisi. Nasihat untuk tidak berhutang harus dipraktekan disini.20 Jika anda merasa bahwa Tuhan mengijinkan anda membeli saat itu, pastikan pembayaran bisa dibuat tanpa melebihi jumlah yang bisa anda dapatkan. Tolak membeli sesuatu yang menyebabkan hutang. Suatu budget akan menolong, tapi jangan terlalu ketat sehingga anda kesal setiap kali harus disesuaikan. Rencanakan menu dan beli makanan yang bisa menyisakan anda uang. Saat disana, ingat beberapa merk yang lebih murah dari yang lain. Anda tidak perlu membeli yang terbaik. Ada banyak buku yang bisa menolong anda untuk hal ini. Ambil waktu melihat semua itu sebagai bagian dari pelayanan Kristen anda.

Juga sangat disarankan agar catatan tetap akurat, agar anda bisa tahu kemana uang anda. Baik suami atau istri yang menulis cek tidak terlalu penting karena sudah disetujui kemana uang akan diberikan dan tahu kemana itu pergi. Satu-satunya pengecualian bagi aturan ini adalah sejumlah kecil yang bisa dinikmati baik suami atau istri secara bebas bersama. Kadang suami merasa bebas membelanjakan uang untuk kesenangan pribadi tapi tidak memberikan hak yang sama pada istri. Harus adil.

Jika anda mengikuti prinsip keuangan sederhana ini, tagihan anda pasti terbayar, kesaksian anda terlindungi, pernikahan anda bertumbuh, dan Juruselamat anda dimuliakan!


1 Deuteronomy 8:18.

2 1 Timothy 6:10.

3 l Timothy 6:9.

4 Luke 12:15, TLB.

5 Philippians 4:11; 1 Timothy 6:6; Hebrews 13:5.

6 Colossians 3:2, KJV.

7 1 Corinthians 6:9, 10.

8 Colossians 3:5.

9 Matthew 6:24b.

10 Mark 12:17, KJV.

11 Romans 12:17, KJV.

12 Hebrews 13:5.

13 Matthew 6:21, KJV.

14 2 Corinthians 9:6-8.

15 1 Corinthians 16:2.

16 2 Corinthians 12:14.

17 1 Timothy 5:8.

18 Matthew 25:27, TLB.

19 Exodus 22:25; Leviticus 25:35-37; Deuteronomy 23:19, 20.

20 Romans 13:8.

Related Topics: Christian Home, Marriage, Finance

13. Indahnya KasihMu!

Banyak orang Kristen yang terkejut, seks adalah ide Tuhan! “laki-laki dan perempuan diciptakan-Nya mereka… Maka Allah melihat segala yang dijadikan-Nya itu, sungguh amat baik.… Sebab itu seorang laki-laki akan meninggalkan ayahnya dan ibunya dan bersatu dengan isterinya, sehingga keduanya menjadi satu daging.”1 Tuhan menciptakan pria dan wanita dengan perbedaan fisik yang saling melengkapi, dan dia menyatakan itu baik. Dia menyatakan bahwa suami dan istri menjadi “satu daging,” menunjuk pada persatuan seks.2 Seks bagian dari rencana Tuhan dalam ras manusia.

Tuhan membuat seks suami dan istri murni dan menyenangkan; kudus dan memuaskan. Penulis Ibrani menyatakan kekudusannya dengan menyatakan tempat tidur pernikahan tidak kotor.3 Bagian lain, seperti dalam Amsal, menyatakan sukacita: “Diberkatilah kiranya sendangmu, bersukacitalah dengan isteri masa mudamu: rusa yang manis, kijang yang jelita; biarlah buah dadanya selalu memuaskan engkau, dan engkau senantiasa berahi karena cintanya.”4 Walau banyak aplikasi rohani bisa dibuat dari Kidung Agung, sangat sulit disangkal bahwa kitab itu merujuk pada pengalaman seksual suami dan istri. Dalam kesenangan dan penghargaan, kasih penganting dinyatakan kepada pasangannya, “Betapa indah kasihmu!”5

Sayangnya, kehidupan seks banyak pasangan Kristen tidak indah. Sebaliknya sumber ketidakpuasan dan pertengkaran. Selama pertunangan pasangan sangat menantikan pernikahan, berpikir mereka akan melegakan frustrasi seksual mereka dan hasilnya didalam surga. Bulan madu menghancurkan ilusi itu. Minggu pertama krisis diikuti oleh lebih banyak lagi. Akhirnya mereka memutuskan bahwa penyesuaian seksual yang baik tidak datang secara alami—itu perlu waktu dan usaha dan tidak egois.

Begitu banyaknya masalah penyesuaian seks dalam pernikahan sehingga konselor pernikahan mendudukannya sepagai sebab utama perselisihan perkawinan. Tuhan berkata seks itu baik. Banyak orang mengatakan itu masalah perkawinan. Kenapa ada perbedaan pendapat? Kenapa banyak pasangan Kristen memiliki masalah seperti itu dalam hubungan seks mereka?

Satu kejatuhan adalah praktek seks sebelum dan diluar pernikahan. Hampir semua hal yang baik bisa disalah gunakan. Makanan baik, tapi terlalu banyak atau salah makan bisa menyebabkan penyakit. Api itu berguna, tapi saat disalahgunakan akan membawa kehancuran dan kematian. Tuhan berkata bahwa seks dalam ikatan perkawinan itu indah dan diberkati, tapi diluar batasan ini adalah kotor, jijik, buruk, dan berdosa. Seks sebelum dan diluar nikah bisa menjadi penghalang besar bagi kepuasan kehidupan seks dalam pernikahan.

Kita hidup dalam masa yang longgar. Walau seks seperti binatang ditolak oleh sebagian besar orang Kristen, seks sebelum nikah menjadi sangat ditoleransi. Pemikirannya adalah jika 2 orang saling mencintai, maka mereka bisa menikmati ekspresi cinta sepenuhnya sekarang. Satu-satunya jawaban memuaskan yang bisa saya dapatkan ada dalam hubungan pribadi dengan Tuhan mereka. Jika mereka memikirkan Dia, maka mereka mendengar perkataanNya, dan Dia banyak membahas tentang hal ini baik dalam PL dan PB.

Rasul Paulus menulis, “Karena inilah kehendak Allah: pengudusanmu, yaitu supaya kamu menjauhi percabulan.”6 Kata “percabulan” menunjuk pada semua hubungan seks diluar ikatan pernikahan, baik sebelum atau diluar nikah. Tidak peduli betapa dalam pria dan wanita rasakan, Tuhan berkata kehendakNya bagi mereka agar menjauhi semua itu. Jika Dia memerintahkan mereka untuk menjauhinya, Ia akan memberi mereka anugrah untuk taat.

Paulus meneruskan dengan memberi keterangan lebih detil tentang konsep ini: “supaya dalam hal-hal ini orang jangan memperlakukan saudaranya dengan tidak baik atau memperdayakannya.”7 Percabulan menipu orang lain; itu merampas kasih sayang mereka yang benar. Itu juga merampas keperawanan mereka, yang harusnya diberikan pada pasangannya nanti. Itu juga merampas harga diri—kesadaran yang jelas. Jikalau hal itu tidak menghalangi anda darinya, baca terus: “…Karena Tuhan adalah pembalas dari semuanya ini.” Dia bisa membalas ketidaktaatan anda dengan berbagai cara—penyakit, kehamilan yang tidak direncanakan, perasaan bersalah, atau kecurigaan. Sebagian berkata, “tapi ilmu kedokteran dan prilaku yang berkembang menghilangkan bahaya ini.” Tidak ada dari hal itu yang menghalangi pembalasan Tuhan; Dia lebih besar dari antibiotic, kontrasepsi, atau prilaku komunitas terkini. Jika anda sekarang berpacaran, Tuhan ingin anda merencanakan dengan baik sehingga bisa saling mengenal tanpa terlibat dalam aktifitas seks.

Mungkin beberapa orang berkata, “Kita sudah menikah sekarang, tapi luka masa lalu dan benih kecurigaan masa lalu mensabotase kehidupan seks kami. Apa yang bisa kami lakukan?” Setiap pihak bisa mengakui kesalahannya, minta maaf atas kesalahannya. Semua mengakui dosannya dihadapan Tuhan. Dia Bapa yang berbelas kasih, siap mengampuni. Kepastian pengampunan dari kedua pasangan dan Tuhan menolong anda memulai awal yang baru dalam wilayah penting hidup anda ini.

Halangan kedua bagi kehidupan seks yang memuaskan adalah prilaku yang tidak tepat terhadap seks. Sebagian orang Kristen berpikir seks itu kotor dan berdosa, tindakan yang dibutuhkan tapi tidak layak dinikmati. Mereka tidak mau menyebut hal ini dan menjadi malu walaupun membaca literature yang kudus tentang hal ini. Mereka lupa bahwa Buku terbesar dari semuanya, Firman Tuhan, banyak bicara tentang seks! Jika Tuhan berpikir seks penting untuk dibahas, kita harus menyelidiki perkataanNya. Paulus, diinspirasi oleh Roh Kudus, menasihati orang Kristen di Korintus tentang seks, dan Tuhan melihat itu sesuai untuk ada dalam FirmanNya. Dia tahu kalau kita membutuhkan nasihat yang sama.

“tetapi mengingat bahaya percabulan, baiklah setiap laki-laki mempunyai isterinya sendiri dan setiap perempuan mempunyai suaminya sendiri.”8 Tujuan seks tidak hanya untuk membuat anak, tapi juga memuaskan kebutuhan biologis yang akan berdosa jika dilakukan tanpa nikah. Paulus mengetahui bahwa dorongan ini ada baik pada pria dan wanita. Seorang wanita harus memiliki suami untuk menolongnya menghindari percabulan, seperti juga pria harus punya istri untuk menolong dia dari percabulan. Walau beberapa orang berpikir sebaliknya, normal jika seorang istri memiliki keinginan seksual, seperti suaminya. Walau hasrat wanita biasanya kurang dari pria, menarik untuk diperhatikan bahwa Tuhan menempatkan organ dalam tubuh wanita, clitoris, yang hanya berfungsi untuk menyediakan rasa nikmat. Tuhan pasti ingin wanita menikmati hubungan fisik yang baik dengan suaminya!

Satu tujuan bagi seks, adalah memenuhi hasrat fisik yang benar. Keinginan ini kadang dibelokan dan dilepaskan dengan cara lain, seperti dalam kasus orang yang tidak menikah atau pasangan yang sakit. Tidak seperti makanan, kebutuhan seks bisa diubah melalui aktifitas yang tepat. Melalui anugrah Tuhan yang lajang bisa hidup seimbang tanpa terlibat dalam dosa. Bagaimanapun,rencana normal Tuhan adalah menikah dan menikmati kepuasan kebutuhan seks masing-masing.

Bagian ini meneruskan, “Hendaklah suami memenuhi kewajibannya terhadap isterinya, demikian pula isteri terhadap suaminya.”9 Disini kita dengan jelas dikatakan bahwa suami dan istri bertanggung jawab memenuhi kebutuhan seksual pasangannya. Tapi lebih dari tanggung jawab yang memberatkan; bagi pria dan wanita yang saling mengasihi ini suatu keistimewaan yang dinikmati. Tuhan telah membentuk tubuh mereka sehingga mereka bisa saling memenuhi kebutuhan seks menjadi ungkapan kasih, mendatangkan kenikmatan baik bagi suami maupun istri.

Seks seperti rencana Tuhan tidak hanya ekspresi kebutuhan. Itu merupakan pemberian tubuh kita untuk menyatakan perasaan terdalam kasih yang ada didalam kita, dan itu dihasilkan dalam orang yang kita kasihi. Tuhan berkata bahwa tubuh saya milik istri untuk kesenangannya, dan tubuhnya milik saya untuk kesenangan saya. Walau kesopanan merupakan aturan umum, kenikmatan masing-masing menyehatkan dan hak istimewa dari Tuhan dibelakang pintu tempat tidur.

Paulu mengajar dalam 1 Corinthians 7:3 dan 4 bahwa suami dan istri berbagi hak yang sama dalam pemilikan tubuh masing-masing. Bagi suami tidak berdosa menginginkan tubuh istrinya. Suami yang dikuasai Roh mengasihi istrinya akan mengagumi, mencium, memeluk dan membelai tubuh istrinya sebagai ekspresi kasih baginya, dan memenuhi kebutuhan istrinya dan dirinya. Istri yang dipenuhi Roh mengasihi suaminya akan menunjukan suaminya bahwa dia menginginkannya dan menikmatinya. Bahkan pembacaan biasa dari Kidung Agung menunjukan bahwa tubuh istri menyukakan suaminya10 dan tubuh suami menyenangkan istrinya.11 Alkitab tidak membatasi cara suami dan istri menyenangkan pasangannya, berasumsi bahwa masing-masing menikmati dan tidak menolak. Satu-satunya batasan adalah kasih, yang menempatkan perasaan pasangan kita diatas hasrat kita.

Ada pemikiran Paulu bagi jemaat Korintus mengenai seks. “Janganlah kamu saling menjauhi, kecuali dengan persetujuan bersama untuk sementara waktu, supaya kamu mendapat kesempatan untuk berdoa. Sesudah itu hendaklah kamu kembali hidup bersama-sama, supaya Iblis jangan menggodai kamu, karena kamu tidak tahan bertarak.”12 Sebagian orang Kristen kelihatannya memiliki pemikiran bahwa menjauhkan diri dari seks merupakan kerohanian yang tinggi, bahwa orang percaya yang dipenuhi Roh tidak tertarik dalam hal ini. Kadang istri menolak hak seks suaminya karena prilaku seks mereka yang tidak Alkitabiah mengenai seks, atau sebagai pembalasan atas ketidakadilan, atau mungkin menganggap diri terlalu rohani. Tapi Tuhan menganggap itu sebagai pencurian—menghalangi kenikmatan yang sah. Sebaliknya, bukanya rohani, penolakan menyediakan hubungan intim merupakan ketidak taatan pada Tuhan dalam hal ini.

Mungkin ada pantangan selama masa menstruasi istri. Mungkin ada periode waktu dengan kesadaran bersama, pasangan tidak melakukannya untuk mendoakan masalah tertentu. Mungkin ada saat dimana satu orang tidak ingin melakukannya. Pasangannya tidak memaksakan itu tapi mengusahakan yang terbaik bagi yang dikasihi. Tapi mereka akan kembali kepada hubungan normal dengan frekwensi yang sesuai dengan mereka, kalau tidak setan akan menggoda mereka dalam perzinahan.

Kita telah menyebutkan orang percaya yang dipenuhi Roh. Daripada menghindari kehidupan seks yang memuaskan, mereka akan melakukannya. Saat Tuhan Yesus Kristus mengontrol hidup kita sepenuhnya, kita tidak akan egois, dan tidak egois merupakan kunci kehidupan seks yang memuaskan. Tidak egois menyebabkan seseorang mengenali perbedaan antara pria dan wanita secara seks, kemudia memperlakukan pasangannya sesuai dengan itu. Sebagai contoh, sudah umum bahwa melihat tubuh wanita sudah bisa membangkitkan keinginan seks pria.

Wanita, sebaliknya, umumnya berespon lebih lambat, dan lama dengan belaian. Seorang istri janganlah terganggu dengan suaminya yang lebih cepat, dan juga suami jangan marah karena istrinya kelihatannya tidak tertarik. Istri akan berespon dengan baik; suami lebih sabar dalam memenuhi kebutuhan istri. Keduanya akan menyadari bahwa ada saat dimana hasrat istri yag membawa kepuasan suami.

Membiarkan Roh Kudus mengontrol hidup kita. Pengalaman seks yang paling berhasil berasal dari hubungan yang hangat dan bertumbuh dihari-hari dan waktu sebelum seks. Roh Kudus merupakan Pribadi yang bisa menolong kita mengembangkan keintiman ini. Kasih yang memberi diri yang dihasilkanNya dalam hidup pasangan akan mendekatkan mereka secara seksual, jadi mereka bisa menikmati hubungan yang baik selama hari itu, daripada hanya egois ditempat tidur. Seks yang bertumbuh alami dari kehangatan kasih hubungan ini merupakan seks terbaik. Kasih dari Roh bisa memenuhi dan menyelesaikan masalah dalam kehidupan seks pasangan.

Bab ini jelas tidak bertujuan menyediakan detil gambaran teknik seks. Ini hanya bertujuan mendirikan prilaku yang benar terhadap seks dengan melihat apa yang dikatakan Tuhan tentang hal ini. Prilaku yang tepat sebelum kita mulai menggunakan teknik apapun dengan berhasil.

Jika kita telah belajar dari Alkitab, kita melihat seks bukan hal memalukan, tapi kudus. Alkitab bicara tentang itu dengan jelas dan jujur, dan demikian juga kita. Cara terbaik menyelesaikan masalah ini adalah tetap membuka jalur komunikasi. Suami dan istri perlu saling mengatakan dengan terus terang apa yang mereka sukai, dan bagaimana perasaan mereka agar kehidupan seks mereka bisa meningkat. Bicarakan hal ini dengan tenang dan saling mendoakan sehingga meluluhkan halangan dan membuat seks menjadi pengalaman indah seperti maksud Tuhan.


1 Genesis 1:27, 31; 2:24, KJV.

2 1 Corinthians 6:16.

3 Hebrews 13:4.

4 Proverbs 5:18,19, TLB.

5 Song of Solomon 4:10, KJV.

6 1 Thessalonians 4:3, KJV.

7 1 Thessalonians 4:6, KJV.

8 1 Corinthians 7:2, KJV.

9 1 Corinthians 7:3, TLB.

10 Song of Solomon 4:1-7; 6:4-9; 7:1-9.

11 Song of Solomon 5:10-16.

12 1 Corinthians 7:5, KJV.

Related Topics: Christian Home, Marriage, Love

11. Menyelesaikan Konflik Penikahan

Tidak peduli seberapa baik kita berkomunikasi dengan pasangan pernikahan kita, pasti ada perbedaan. Saya pernah mendengar beberapa pasangan menyatakan bahwa mereka tidak pernah memiliki perbedaan pendapat selama kehidupan pernikahan mereka. Pasti mereka memiliki keberadaan yang menjemukan dan tidak berwarna! Pasangan yang memiliki sedikit kepribadian takut menyatakan perasaan terdalam mereka. Sangat sulit percaya bahwa Tuhan pernah menciptakan 2 orang yang begitu serupa dalam segala hal sehingga pendapat mereka sama dalam semua hal!

Pertentangan pahan pasti ada. Sebab apapun bisa menghasilkannya. Sebab pertama yang mudah adalah kenyataan bahwa pasangan kita tidak memiliki semua kualitas yang kita bayangkan ada dalam mereka sebelum upacara! Karena kita ingin melihat daya tariknya dan menghilangkan yang tidak menarik, secara menta kita mendaftarkan pasangan kita dalam sekolah perbaikan pernikahan! Kemudian kita melanjutkannya dengan tugas penting mengubah mereka menjadi pasangan ideal kita.

Metode pengajaran yang disukai istri kelihatannya menjadi omelan, disertai oleh sedikit ejekan, melalui tangisan yang tetap. Metode pengajaran suami sepertinya menusuk, yaitu memotong komentar atau pernyataan yang sarkasme. Dia juga menggunakan kuliah kemarahan, diselingi dengan periode diam yang lama. Dua kehendak diri yang berdosa, terkoyak antara kasih diri dan kasih kepada pasangan, sekarang saling menguji, dan mencari siapa yang tertinggi dalam hubungan. Hasilnya adalah konflik.

Inti setiap konflik adalah diri. Kebanyakan orang menyalahkan konflik yang terjadi karena situasi: pekerjaan yang tidak diterima, rumah yang kecil, anak yang rewel, tetangga yang buruk, kurang uang, mertua yang turut campur. Tapi masalah sebenarnya adalah ego manusia ingin kebebasan yang tak terkendali untuk melakukan apa yang diinginkan, pada saat yang sama mengharapkan persetujuan tak bersyarat dari pasangannya. Dengan kata lain, ingin matahari berputar diorbit pasangan seperti planet. Jika Jika kedua bintang bersaing menjadi pusat tata surya, hasilnya akan kacau balau—tapi itu yang terjadi dalam kebanyakan perkawinan!

Kadang orangmuda ingin cepat menikah, ingin melarikan diri dari situasi rumah yang tidak menyenangkan. Masalah sebenarnya bukan rumah atau orangtua mereka. Itu ego berdosa mereka, dan beserta mereka saat mereka menikah! Ego ini mulai berinteraksi dengan ego yang lain, dan masalah keluarga sebelumnya hulang dengan pernikahan baru! Pertama, Tuhan ingin kita belajar bagaimana menghadapi nature berdosa kita. Kemudian kita bisa siap berinteraksi dengan bahagia bersama pasangan pernikahan kita.

Saat komunikasi berarti rusak dalam pernikahan, perselisihan bisa terjadi atas hal yang remah, kadang menjadi begitu sering dan sangat panas sehingga pasangan merasa mereka tidak sesuai. Saya sangat meragukan adanya ketidaksesuaian dalam pandangan Tuhan—hanya dua kehendak yang perlu ditaklukan oleh Yesus Kristus. Saat Dia menjadi pusat pernikahan, dengan setiap pasangan hidup untuk kemuliaanNya, harmoni dan kebahagiaan akan terjadi.

Misalkan konflik memang terjadi, dan pasangan mau membuat penyesuaian rohani yang memang harus dibuat. Kemudian, bagaimana kita menyelesaikan perselisihan dalam pernikahan kita? Kita perlu menyadari, pertama, argumentasi tidak selalu kekuatan yang menghancurkan. Itu bisa menjadi hal yang diperlukan untuk membuka jalur komunikasi dan membuka luka jiwa yang melebarkan jarak diantara kita. Mngkin ada beberapa perubahan yang harus dibuat, tapi omelan dan memotong pembicaraan tidak menghasilkan hal ini. Itu hanya memperkuat ketegangan dan membuat kita lebih jauh. Diskusi yang baik mungkin satu-satunya hal yang bisa membuka perasaan kita. Jika demikian, maka kita perlu melakukannya, memulai argument. Tapi kita memerlukan aturan dasar sebelum mulai. Disini ada beberapa petunjuk bagi argument yang menguntungkan.

Pertaman, kita harus membangun tujuan kita untuk pengenalan masing-masing lebih dalam. Jika kita bisa mencapai ini, kita bersyukur pada Tuhan untuk perbedaan ini. Tujuan argument bukan untuk memutuskan siapa pemenang dan yang kalang. Juga bukan untuk mengubah pasangan kita. Tapi memberikan pengertian baru bagaimana pasangan kita berpikir tentang masalah yang mempengaruhi kita. Mungkin baik bagi setiap pasangan untuk menyatakan kembali pandangan lainnya untuk kepuasan dia. Itu bisa menjamin tercapainya tujuan ini, setidaknya pada tingkatan tertentu.

Kedua, kita harus minta Tuhan menolong kita mengatur emosi kita. Kita sering berkata dibawa tekanan emosi hal yang tidak kita maksudkan, hal yang menyakiti dan menghancurkan. Hal ini tidak cepat dilupakan. Buah Roh adalah pengendalian diri, dan kita butuh membiarkan Dia menyatakan ketenangan dan kontrolNya bahkan disaat tuduhan yang tidak benar atau provokasi serius. Ini tidak berarti emosi harus dikeluarkan. Kita mungkin tidak pernah menyatakan apa yang kita rasakan dalam hati jika emosi tidak ada. Tapi walau emosi kita benar bisa dinyatakan, itu harus dijaga oleh Roh Kudus dalam diri kita. Seorang istri mengatakan pada saya bahwa kapanpun diskusi mulai memanas, suaminya berkata, “Mari kita berdoa untuk hal ini,” dan dia mulai berdoa, dengan bersuara. Itu merupakan efek menenangkan yang luar biasa atas pernikahan mereka!

Ketiga, kita harus menyerang masalah itu—bukan pribadi atau motifnya. Mudah sekali menjadi terlalu kritis dalam setiap argument, dan membuat penilaian yang tidak akurat terhadap karakter lawan kita atau salah menuduhnya melakukan motif jahat. Saat istri gagal membersihkan rumah atau suami menunda beberapa pekerjaan, pasangan yang tidak sabar mungkin meningkatkan tuduhan seperti, “Kamu jelas malas.” Itu mungkin bukan masalahnya sama sekali, dan tuduhan semacam itu bisa menyebabkan ketidak bahagiaan besar untuk waktu yang lama. “Kamu melakukan itu untuk menjauh dari aku,” merupakan pernyataan yang disenangi saat pasangan anda melukai anda. Tapi siapa yang membuat anda jadi pembaca pikiran atau kemampuan untuk membedakan motif? Rasul Paulus membuat penyelidikan tentang orang yang menilai orang lain. “Karena itu, hai manusia, siapapun juga engkau, yang menghakimi orang lain, engkau sendiri tidak bebas dari salah. Sebab, dalam menghakimi orang lain, engkau menghakimi dirimu sendiri, karena engkau yang menghakimi orang lain, melakukan hal-hal yang sama.”[1] Kita punya kecenderungan memproyeksikan motif kita pada orang lain; tuduhan marah kita terhadap pasangan kita menunjukan hati kita sendiri daripada dia. Kristus berkata kita akan dihakimi dengan standar yang sama yang kita beri pada mereka, “kamu akan dihakimi dan ukuran yang kamu pakai untuk mengukur, akan diukurkan kepadamu.”[2]

Keempat, kita harus ingat bahwa penyerangan dengan kemarahan terhadap kita kadang disebabkan oleh kejadian yang sama sekali tidak berhubungan dengan kita. Sering saat suami atau istri marah, pasangan mereka kelihatannya menjadi target yang paling empuk bagi kemarahan mereka. Singkatnya, tekanan keluarga dan anak tertumpuk kepada seorang istri selama sehari penuh. Dia tegang dan hampir meledak saat suaminya masuk pintu, gembira seperti burung. Dia menggantung jaketnya seperti suami yang baik, tapi lupa menutup pintu closet—dan istrinya meledak! Seorang suami yang dipenuhi oleh kasih Tuhan dan pengertian menyadari bahwa ada sesuatu dibalik semua ini, dan dia berespon dengan lembut. Mungkin suami yang pulang rumah berakting seperti beruang marah. Dia memarahi anak dan mengkritik makanan. Istri yang dipenuhi Roh mengerti bahwa tindakannya itu merupakan hasil dari tekanan kerja dan bukan permusuhan terhadap keluarga. Jika kita mau mendengar pasangan kita dengan tenang dan sabar daripada bertindak marah disaat pertama, masalah sebenarnya akan terlihat. Kemudian, daripada ngomel, kita bisa menawarkan pengertian yang simpatik, dan menggelakan trauma pertikaian.

Akhirnya, kita perlu belajar kapan dan bagaimana membawa argument sampai kekonklusi. Sebagian pertengkaran tidak pernah berakhir; itu terus berlangsung selama bertahun-tahun! Orang lain kelihatannya mati tanpa sampai kekonklusi, dan memperdalam dendam. “Mari kita lupakan saja” biasanya berarti, “Jika kita membahas ini lebih lama lagi, Saya mungkin menyerah!” Jika kita salah, kita harus mengakuinya. Jika kita butuh waktu memikirkannya, kita harus mengatakannya. “Saya mulai mengerti pandanganmu, tapi perlu waktu untuk memikirkannya.” Kemudian lakukan itu—pikirkan lagi dihadapan Tuhan.

Sekarang masalah terbuka. Kita harus saling berkomunikasi dan membagi pengertian yang lebih dalam. Sekarang kemana kita pergi? Bagaimana kita menyelesaikan konflik? Ada beberapa prinsip Alkitab yang bisa menolong kita.

Pertama, kita harus mengkonsentrasikan perhatian kita pada kesalahan kita, pikirkan lebih dulu wilayah dimana kita bisa memperbaiki dan mengembangkan diri. Cobaan saat konflik muncul dari kesalahan yang dibuat terhadap kita, mengulangi kesalahan dan ketidakadilan yang lalu. Kemudian kita mulai membangun masalah untuk konfontasi berikut! Lupakan itu! Pikirkan bagian kesalahanmu, sekecil apapun itu. Kehendak diri kita dan kesombongan bertanggung jawab dalam sebagian konflik. Itu mungkin tuntutan kecil yang kita buat untuk pasangan kita bagi kesenangan sendiri. Itu mungkin ketidakpedulian yang kita tunjukan terhadap kebutuhan pasangan kita. Itu mungkin kedinginan yang kita nyatakan karena perasaan kita terluka. Semuanya adalah kesombongan egois, dan semuanya membantu menambah konflik. Kapanpun ada konflik kesombongan terlibat,[3] dan setiap kita biasanya bersalah dalam hal ini. Kita perlu mengakuinya.

Sangat mudah menyalahkan pasangan kita. Kita cenderung berpikir kalau kita bertindak karena apa yang dikatakan pasangan kita. Kita pikir mereka yang bersalah. Tapi ini cara setan. Dia ingin kita berpikir tentang kesalahan pasangan kita daripada kesalahan kita untuk menghasilkan perselisihan. Yesus menyebutnya munafik. “Hai orang munafik, keluarkanlah dahulu balok dari matamu, maka engkau akan melihat dengan jelas untuk mengeluarkan selumbar itu dari mata saudaramu.”[4] Mari kita minta Tuhan menolong menyadarkan bagian kesalahan kita. Kita jangan berbelas kasihan pada diri. Sangat mudah kejam terhadap orang lain dan lunak pada diri sendiri. Ini egois. Kerendahan hati yang sejati adalah toleran terhadap yang lain dan menuntut diri. Sekali kita mengetahui dosa kesombongan kita, Tuhan memberikan pengampunan dan memperbaharui kerukuran keluarga kita.

Sekarang setelah kita mengakui bagian kesalahan dan menerima anugrah pengampunan Tuhan, kita bisa meminta Dia untuk memberikan kita kemenangan atas dosa kita, sehingga kita melepaskan hasrat untuk mendapatkan segalanya dengan cara kita. Kita harus meminta Dia menolong kita mengubah apa yang perlu diubah dalam hidup kita. Saat kita ditengah krisis pernikahan, kita biasanya merasa bahwa masalah kita bisa diselesaikan jika pasangan kita mengubah jalan mereka. Itu jarang terjadi! Melalu anugrah Tuhan kita menjadi pasangan baru. Kita tidak benar-benar mengubah orang lain menjadi lebih baik melalui kritik dan komplain. Kita hanya memperdalam batas yang ada diantara kita. Kita harus memberikan perhatian kita pada hal yang bisa kita ubah melalui kuasa dan anugrah Tuhan—diri sendiri! Tuhan tidak mengharapkan kita mengembangkan pasangan kita; Dia berharap kita menyediakan kebutuhannya. Saat kita mengembangkan diri, pernikahan kita juga akan mulai berkembang.

Saat suami atau istri kita menyadari bahwa kita berhenti mengganggu mereka dan sebaliknya membuat perubahan berarti dalam hidup kita sendiri, mereka akan mulai berespon dengan baik. Mereka butuh hati yang sangat dingin untuk tetap tidak berubah. Suatu balasan yang memuaskan bagi prilaku egois kita!

Setelah berurusan dengan jelas terhadap kelemahan kita, sekarang kita kelangkah berikut.

Prinsip Alkitab kedua untuk menyelesaikan konflik adalah sepenuhnya mengampuni kesalahan pasangan kita. Sangat sulit mengampuni saat pasangan kita tidak minta maaf. Tapi lihat seperti ini. Jika kita benar-benar mengakui bagian kesalahan kita, kita harus mengakui bahwa serangan mereka terhadap kita, setidaknya sebagian merupakan hasil dari cara kita memperlakukan mereka. Kita tidak punya pilihan selain mengampuni, bahkan jika mereka tidak mengakui kalau mereka salah. Bahkan kita akan meminta maaf untuk bagian kesalahan kita jika kita ingin hamoni diperbaharui kembali, dan kita tidak bisa minta maaf dengan cara yang tepat jika kita terus memupuk perasaan sakit. Satu-satunya cara menyingkirkan perasaan itu dari kita adalah mengampuni pasangan kita sepenuhnya atas semua serangan yang mereka lakukan terhadap kita. Tidak ada indikasi kalau orang yang salah terhadap Petrus pernah minta maaf padanya, tapi Kristus mengatakan dia harus mengampuni sebanyak 490 kali.[5] Dia mengajarkan bahwa tidak ada akhirnya untuk mengampuni.

“Tapi sakitnya terlalu dalam. Saya tidak bisa mengampuni.” Itu pernyataan yang menarik. Dengar Kristus sekali lagi: “Karena jikalau kamu mengampuni kesalahan orang, Bapamu yang di sorga akan mengampuni kamu juga. Tetapi jikalau kamu tidak mengampuni orang, Bapamu juga tidak akan mengampuni kesalahanmu.”[6] Pada mulanya ini kelihatannya mengajar bahwa pengampunan kita didasarkan atas pengampunan kita terhadap orang lain, sebaliknya anugrah Tuhan dalam Kristus. Bagaimanapunm, ini berlawanan dengan pengajaran Kristus yang lain. Saya percaya Dia berkata, sebagai gantinya, bahwa jika kita menolak mengampuni orang yang bersalah pada kita, Tuhan tahu bahwa pengakuan dosa kita kepadaNya kurang tulus, dan karena itu kita tidak menerima pengampunan yang disediakanNya bagi kita. Saat seseorang mengakui dosanya dan mengalami berkat pengampunan Tuhan, dia tidak bisa tidak mengampuni yang lain. Jika kita menolak, kita mengakui bahwa kita tidak mengetahui arti diampuni oleh Tuhan. Tidak ada orang yang jujur bisa menerima pengampunan Tuhan tapi menolak mengampuni orang lain.

Tidak mungkin melebihkan pentingnya pengampunan. Saat kita mendapat pengampunan, permusuhan dan kepahitan hilang dan prilaku kasar dan tidak toleran digantikan dengan kasih dan perhatian terhadap pasangan kita.

Sekarang kita siap untuk langkah terakhir. Kita telah mengakui kesalahan kita dan mengampuni semua kesalahan pasangan kita. Sekarang kita harus dengan jujur dan terbuka minta maaf pada mereka terhadap bagian kesalahan kita. Suatu kesalahn mencoba minta maaf sebelum kita mengakui kesalahan kita dan mengampuni kesalahan mereka. Permintaan maaf kita akan kurang dari yang diinginkan Tuhan. Itu akan semakin memperburuk daripada memperbaiki. “Saya salah, tapi kamu juga.” “Saya minta maaf telah melakukan itu, tapi itu bukan seluruhnya kesalahan saya.” “Saya minta maaf berkata demikian, tapi apalagi yang bisa saya katakan setelah kamu berkata demikian?” “Saya minta maaf jika ada sesuatu yang menyinggung kamu.” Tidak satupun dari pernyataan ini bisa mengakui apapun. Itu semua bukan permintaan maaf yang sejati dan tidak mengecoh siapapun—apalagi pasangan kita!

Hanya setelah hati kita telah benar dihadapan Tuhan baru kita bisa menawarkan permintaan maaf yang benar. “Sayang, Saya minta maaf Saya …” (dan kita mendaftar hal spesifik yang kita lakukan dan katakan untuk menyerang yang berkontribusi dalam konflik)—titik! Tidak ada “jika” “dan” atau “tapi”. Kata “sayang, saya minta maaf” dikatakan dari hati yang hancur merupakan suara terindah dibumi, dan menyembuhkan pernikahan kita. Inilah maksud Yakobus saat dia menulis, “Karena itu hendaklah kamu saling mengaku dosamu dan saling mendoakan, supaya kamu sembuh.”[7] Walau dia terutama menunjuk pada kesembuhan fisik, kebenaran yang sama bisa diaplikasikan pada penyembuhan hubungan pernikahan. Pengakuan tulus dan terbuka terhadap kesalahan merupakan kekuatan menyembuhkan.

Kenapa orang sangat sulit minta maaf? Mungkin mereka pernah mencoba minta maaf sebelumnya tapi ditolak. Sekarang mereka takut mencobanya lagi. Tapi alasan penolakan mungkin berasal dari prilaku mereka yang kurang tepat saat menawarkan permintaan maaf. Sebagian pria berpikir bahwa mengakui kesalahan adalah tanda kelemahan. Sebenarnya, itu tanda kekuatan rohani dan emosi—suatu tanda kesehatan, kepribadian yang seimbang. Sebagian orang takut kehilangan muka didepan orang yang mereka kasihi jika mereka mengakui kesalahan mereka. Tapi sebaliknya yang benar; dengan jujur pada diri sendiri, mereka bisa memberikan rasa hormat lebih dari sebelumnya. Sebagian berkeras bahwa munafik kalau minta maaf, karena mereka mungkin akan melakukan hal yang sama lagi. Penolakan merupakan ketidaktaatan terhadap Dia. Kita harus mengatasi masalah seperti arahanNya, mempercayakan Dia menolong kita dalam situasi kedepan.

Yesus mengajarkan bahwa kita harus berdamai dengan yang lain sebelum kita bisa bersekutu dengan benar bersama Tuhan. “Sebab itu, jika engkau mempersembahkan persembahanmu di atas mezbah dan engkau teringat akan sesuatu yang ada dalam hati saudaramu terhadap engkau, tinggalkanlah persembahanmu di depan mezbah itu dan pergilah berdamai dahulu dengan saudaramu, lalu kembali untuk mempersembahkan persembahanmu itu.”[8] Jika seseorang berbuat sesuatu terhadap kita, itu mungkin kita telah melukai dia. Maka tanggung jawab kita adalah pergi kepadanya dan mengakui kesalahan kita, dan berdamai dengannya. Ibadah kita akan kurang sampai kita melakukannya. “Tapi bukankah dia seharunya mengampuni saya jika saya menolak minta maaf?” Ya, benar. Tapi setiap orang harus bertanggung jawab pribadi pada Tuhan untuk dirinya sendiri. Kita harus melakukan apa yang Tuhan ingin kita lakukan, biarlah kesalahan orang lain Tuhan yang urus.

Pertanyaannya “Siapa yang memulainya?” atau “Siapa yang membuat langkah pertama?” tidak penting. Tidak ada bedanya siapa yang mulai duluan. Kita harus mengambil inisiatif dalam pengakuan apapun situasinya. Bahkan jika kita sangat terluka, mengakui bagian kesalahan kita dalam kasih akan mempermudah pasangan kita mengakui bagian mereka. Tidak peduli sedikitnya kesalahan kita, kita harus menfokuskan perhatian pada hal ini dan dengan jujur meminta maaf. Tuhan akan menggunakan itu untuk mengatasi konflik pernikahan kita.

Saya membagikan beberapa konsep ini dengan istri dan ibu muda bernama Lynn. Suaminya memiliki pekerjaan yang menuntut waktu yang lama dan tidak terduga. Dia merasa tidak perlu memberitahu istri saat kerja larut, dan banyak makanan jadi percuma karena kurangnya pertimbangan. Saat dia pulang, dia langsung makan, kadang tanpa berkata apapun kepadanya, dan keluar rumah untuk menikmati hobinya sampai larut malam. Dia tidak memberi waktu kepada 3 anaknya, dan mereka kurang mengenalnya.

Setelah berdiskusi Lynn setuju bahwa, dengan pertolongan Tuhan, dia akan berkonsentrasi pada hal yang bisa dikembangkan dalam hidupnya, memberi perhatian khusus pada pemenuhan kebutuhan Jack. Dia menyerahkan kurangnya pertimbangan Jack kepada Tuhan dalam iman. Saya mengetahui kemudian bahwa pekerjaan Jack berjarak 500 mil jauhnya. Sekitar setahun kemudian saya menerima surat ini dari Lynn:

Dear Dr. Strauss,

Saya ingin menulis dan berterima kasih pada anda untuk nasihatnya. Itu berhasil. Perkawinan kita dan hubungan pribadi kami sangat berubah. Saya mulai melupakan diri dan hal yang saya rasa layak dan perlukan, dan mencoba memikirkan Jack dan kebutuhannya. Awalnya sangat sulit, tapi saat saya menyerahkan diri pada Tuhan, itu menjadi lebih mudah setiap hari. Setelah itu—sepertinya datang secara otomatis.

Kemudian hal-hal mulai berubah. Jack mulai menelepon saya dari tempat kerja saat terlambat pulang kerja dari rencananya. Dia tidak pernah melakukan itu sebelumnya. Dia mulai memberi waktu duduk dan bermain dengan anak-anak daripada langsung keluar setelah makan malam. Lebih mudah bicara dengannya sekarang tentang perbedaan yang kita hadapi. Dia tidak cepat marah seperti dulu. Keluarga kami lebih bahagia dari sebelumnya, dan itu tidak sulit sekali mengikuti saran anda. Terima kasih banyak.

Sincerely, Lynn

Tidak, itu tidak sangat sulit melakukan apa yang diminta Tuhan dalam FirmanNya! Jika kita dengan jujur ingin melihat pernikahan kita berubah, kita perlu percaya Dia menolong kita membuat langkah pertama.


[1] Romans 2:1, KJV.

[2] Matthew 7:2, KJV.

[3] Proverbs 13:10.

[4] Matthew 7:5, TLB.

[5] Matthew 18:21, 22.

[6] Matthew 6:14, 15, TLB.

[7] James 5:16, TLB.

[8] Matthew 5:23, 24, TLB.

Related Topics: Christian Home, Marriage

1. Expanding Your Concept of Ministry

Most of us think of ministry as the work done by pastors, missionaries, Christian conference speakers, or evangelists. We rarely think of work done by bankers, lawyers, engineers, or homemakers. We typically believe that those who get their paychecks from a church or other Christian organization are the ones who “do” ministry, while the rest of us are those to whom ministry is “done.” In this session and throughout this study, we hope to change this common but faulty way of thinking. We want to expand your vision of ministry so that you come to view all you do, regardless of your occupation, as what it can and ought to be—ministry that glorifies God and influences other people.

Session Aims

Individual Aim: To consider a more holistic concept of ministry and how it relates to your everyday life.

Group Aim: To think together about ways in which group members’ lives can become more ministry focused.

Preparation

Read Session 1: Expanding Your Concept of Ministry.

Complete the Life Vision: Personal Inventory, Part I exercise beginning on page 77.

Complete Biblical Exercise: 1 Peter 4 beginning on page 25.

Introduction

The idea that service to God should have only to do with a church altar, singing, reading, sacrifice, and the like is without doubt but the worst trick of the devil. How could the devil have led us more effectively astray than by the narrow conception that the service of God takes place only in the church and by works done therein. The whole world could abound with services to the Lord not only in churches but also in the home, kitchen, workshop, and field.
––Martin Luther

Content

The great reformer Martin Luther understood that ministry is more than just work done by pastors. Throughout this study, we will be using the term ministry in a way that is much broader than the way the term is usually used. Our definition of ministry is “the faithful service of God’s people rendered unto God and others on His behalf to bring Him glory, build up His church, and reach out to His world.” Let’s look at this definition in more detail.

The Faithful Service of God’s People

The Greek word in the New Testament that is often translated as “ministry” is diakonia. The basic meaning of this word is “service.” It can refer to tasks as basic as waiting tables (see Acts 6:1), caring for the poor through monetary gifts (see 2 Corinthians 9:12), or proclaiming the gospel (see Acts 20:24). The term is not limited to the service of a select few appointed to particular offices within the church. In fact, the exact opposite is the case. Paul said that those who hold offices in the church are given gifts for the purpose of enabling all of God’s people to do ministry:

It was he who gave some to be apostles, some to be prophets, some to be evangelists, and some to be pastors and teachers, to prepare God's people for works of service [diakonia], so that the body of Christ may be built up. (Ephesians 4:11-12)

The leaders of the church are not the only ones doing the work of service or ministry. The leaders are given to the church for the purpose of preparing every member to do the ministry––to render service to the Lord, to the church, and to the world.

Rendered unto God

In our fast-paced, high-tech world, we often fail to recognize that God is intricately involved in the details of our lives. Yet not only is God involved in our humdrum routines, but He also wants us to be aware of and responsive to His presence:

So whether you eat or drink or whatever you do, do it all for the glory of God. (1 Corinthians 10:31, emphasis added)

And whatever you do, whether in word or deed, do it all in the name of the Lord Jesus, giving thanks to God the Father through him. (Colossians 3:17, emphasis added)

Whatever you do, work at it with all your heart, as working for the Lord, not for men, since you know that you will receive an inheritance from the Lord as a reward. It is the Lord Christ you are serving. (Colossians 3:23-24, emphasis added)

Each of these exhortations from Paul’s letters uses the phrase “whatever you do.” This all-inclusive phrase points out that God wants to be prominent in our lives, in both the so-called “significant” things we do as well as the mundane things. We rarely think God is terribly concerned with our day-to-day activities in the boardroom, the classroom, or the laundry room, yet when our work is done “for the glory of God” (1 Corinthians 10:31), “in the name of the Lord Jesus” (Colossians 3:17), and “as working for the Lord” (Colossians 3:23), our work becomes an act of worship. Our work, however grand or trivial, becomes ministry.

And Others on His Behalf

The ultimate example of ministry is Jesus Christ Himself. In Paul’s letter to the Philippians, he told his readers that their attitude toward each other “should be the same as that of Christ Jesus” (Philippians 2:5). Paul went on to describe the kind of attitude he was referring to:

[Christ Jesus], being in very nature God,
did not consider equality with God something to be grasped,
but made himself nothing,
taking the very nature of a servant,
being made in human likeness.
And being found in appearance as a man,
he humbled himself
and became obedient to death––even death on a cross! (Philippians 2:6-8)

Jesus set aside the glory due Him and took on the form of a slave. His entire life on earth, and ultimately His death on the cross, was others-oriented. Paul’s admonition to the Philippians and to all of us as Christians is to imitate this others-orientation. This is particularly challenging in our culture, which is consumed with self.

For example, this cultural preoccupation often dominates our view of the way we make a living. We often think of our jobs in terms of the financial benefits they provide for us and our families. This isn’t necessarily wrong, but we also ought to consider how our work can benefit others—either customers who benefit from our goods or services, or perhaps our coworkers, whose lives we can affect by serving them in times of need. If we are to imitate Jesus and thereby do the work of ministry to which we have all been called, we must learn to look at life with an others-orientation in our workplaces, our homes, our churches, and every other arena.

To Bring Him Glory

The Westminster Shorter Catechism begins, “Man’s chief end is to glorify God and to enjoy Him forever.” If this confession is true of all of humanity collectively and of each human being individually, then it should also be true of the pieces that make up the whole of our lives—from the way we parent to the way we play, from the time we spend “on the clock” to the time we spend at the dinner table.

In the passage from 1 Corinthians quoted earlier, Paul said that activities as simple as eating and drinking can and should be done “for the glory of God” (10:31). God is glorified when we do anything with thankfulness, integrity, and our whole hearts. Thankfulness comes from a recognition that all we have and all we are able to accomplish comes from God. We fail to be thankful and to glorify God when we act and think as though we are self-sufficient rather than utterly dependent on Him.

Likewise, we live with integrity when our thoughts and actions are consistent with God’s ethical intentions for His people. We compromise our integrity when our desires conflict with God’s intentions.

Wholeheartedness means focusing on giving our best in all we do, not for the accolades we might receive but out of a desire to do what we do as unto Christ (see Colossians 3:23). As we go about our daily tasks with thankfulness, integrity, and wholeheartedness, God sees and is pleased. Others see and His reputation is enhanced—He is glorified. When we seek to glorify God in all we do, all we do becomes ministry.

Build Up His Church

Each of us has a special responsibility and has been uniquely gifted to minister to others. In his book Redeeming the Routines, theologian Robert Banks likens the coming together of believers in a local church to the gathering of children for a birthday party. Everyone brings a gift; the only difference is that in the church, the gifts aren’t for one person but for everyone.

The New Testament makes it clear that all who have been born of the Spirit have been endowed with a spiritual gift (or perhaps multiple gifts). The main point of the New Testament discussion of spiritual gifts is that each of us, as individual members of the body, needs the contribution of the entire body and conversely the entire body needs the contribution of each individual member. Each of us in the body of Christ has needs, and each has something to contribute to others’ needs.

As we come to see that as Christians we are all called to do ministry, we ought to reflect upon how God has designed and gifted us to build up His church. We will visit this issue of design and giftedness again in later sessions.

And Reach Out to His World

In the book of Genesis, God gave a set of covenant promises to Abraham and his descendants. He promised that He would bless them and that through them He would bless “all peoples on earth” (Genesis 12:3; 28:14). Throughout Old Testament times, God wanted His people to be a missionary people who would visibly demonstrate to the pagan world around them that the Lord alone was the one true God. As God’s beloved people, Israel had both a blessing and a purpose––to make God known to the world. Psalm 67 captures these two themes of blessing and purpose:

May God be gracious to us and bless us

and make his face shine upon us,

that your ways may be known on earth,

your salvation among all nations.

May the peoples praise you, O God;

may all the peoples praise you.

May the nations be glad and sing for joy,

for you rule the peoples justly

and guide the nations of the earth.

May the peoples praise you, O God;

may all the peoples praise you.

Then the land will yield its harvest,

and God, our God, will bless us.

God will bless us,

and all the ends of the earth will fear him.

These same themes of blessing and purpose apply to Christians as well. We have been richly blessed through Christ and have been given a responsibility to spread the good news of His life, death, and resurrection. This is not a job reserved for a select few; it is God’s purpose for every Christian. Certainly God has uniquely designed some to take the message of Christ to people in the far reaches of the world, but all of us have our own “mission fields” in our homes, neighborhoods, places of employment, and the like. It is our responsibility to spread the gospel with our words and live out the gospel with our lives.

Conclusion

In his book The Other Six Days, R. Paul Stevens writes,

Throughout most of its history the church has been composed of two categories of people, those who are ministers and those who are not. Ministry has been defined as what the pastor does, not in terms of being servants of God and God’s purposes in the marketplace, the church, the home, the school or professional office. Going into “the Lord’s work” means becoming a pastor or a missionary, not being coworkers with God in his creating, sustaining, redeeming and consummating work both in the church and in the world.

Our goal in this session and throughout this study is to present a different view of ministry, one more consistent with the teaching of Scripture. We do “the Lord’s work” when we do whatever we do for the glory of God and the good of others.

Biblical Exercise: 1 Peter 4

Read 1 Peter 4:1-11. Also, review “A Method for the Biblical Exercises” beginning on page 17.

Observation—“What Do I See?”

1. Who are the persons (including God) in the passage? What is the condition of those persons?

2. What subjects did Peter discuss in the passage? What did he assert?

3. Note the sequence in which Peter made these assertions. (You might number them in order.)

4. What did Peter emphasize? Are there repeated ideas and themes? How are the various parts related?

5. Why did Peter write this passage? (Did he say anything about ways he expected the reader to change after reading it?)

Interpretation Phase 1—“What Did It Mean Then?”

1. Coming to Terms—Are there any words in the passage that you don’t understand? Write down anything you found confusing about the passage.

2. Finding Where It Fits—What clues does the Bible give about the meaning of this passage?

  •  Immediate Context (the passage being studied)
  •  Remote Context (passages that come before and after the one being studied)

3. Getting into Their Sandals—An Exercise in Imagination

  •  What are the main points of this passage? Summarize or write an outline of it.
  •  What do you think the recipients of the letter were supposed to take from this passage? How did God, inspiring Peter to write this letter, want this passage to impact readers?

Interpretation Phase 2—“What Does It Mean Now?”

1. What is the timeless truth in the passage? In one or two sentences, write down what you learned about God from 1 Peter 4.

2. How does that truth work today?

Application—“What Can I Do to Make This Truth Real?”

1. What can I do to make it real for myself?

2. For my family?

3. For my friends?

4. For the people who live near me?

5. For the rest of the world?

Assignment

Read Session 2: Ours for Others.

Complete the Life Vision: Personal Inventory, Part II exercise beginning on page 83.

Related Topics: Basics for Christians, Issues in Church Leadership/Ministry

2. Ours for Others

In session 1, we saw that all Christians ought to be ministers and that all we do, when done in a certain way, can qualify as ministry. In this session, we will explore the New Testament concept of calling. We will discover that God, in His sovereign authorship of our lives, has been molding and shaping us from birth to be effective ministers. God has uniquely crafted and gifted us and brought us through a specific set of experiences and relationships. He wants us to draw on all of these to make a distinct impact on the world around us.

Session Aims

Individual Aim: To understand what a personal calling is.

Group Aim: To discuss the concept of calling and its implications for us.

Preparation

Read Session 2: Ours for Others.

Complete the Life Vision: Personal Inventory, Part II exercise beginning on page 83.

Introduction

Many people say that they aren’t exactly sure what a calling from God is but that they’re pretty sure they haven’t received one: “Aren’t there some people who are ‘called’ to ministry and others who aren’t? Don’t those who become pastors and missionaries go into those ministries because they have received some kind of divine calling?” To answer these questions, we need to carefully examine the way the language of calling is used in the New Testament. When we do so, we discover that all Christians are called.

Content

Although New Testament writers occasionally used the word calling to refer to the selection of certain individuals for special service to the Lord (“Set apart for me Barnabas and Saul for the work to which I have called them” Acts 13:2), this is not the primary way calling is used. The fact that the term is used in this way so infrequently should teach us that we shouldn’t focus on who has or hasn’t received this kind of divine calling. Instead we should be concerned with the way calling applies to all of us as Christians. The primary way New Testament writers speak of calling is to refer to a person’s salvation. In this sense, every true Christian has responded positively to the divine call to become children of God through Christ. Consider these verses:

God, who has called you into fellowship with his Son Jesus Christ our Lord, is faithful. (1 Corinthians 1:9, emphasis added)

He called you to this salvation through our gospel, so that you may possess the glory of our Lord Jesus Christ. (2 Thessalonians 2:14, net, emphasis added)

And the God of all grace, who called you to his eternal glory in Christ, after you have suffered a little while, will himself restore you and make you strong, firm and steadfast. (1 Peter 5:10, emphasis added)

These are just a few of the many verses that speak of our salvation in terms of calling; therefore, we shouldn’t think that some Christians are called and others aren’t.

But it’s true that we’re called to more than salvation alone. We are also all called to be a part of a community. In our individualistic North American context, we often interpret the Bible in individualistic ways, but at the heart of the New Testament understanding of Christianity is community. In fact, each of the verses quoted above is addressed not to individuals but to a group. Our call to salvation is a call to identify with and to share in the eternal destiny of the community of those who place their faith in Jesus Christ.

A third way we’re called is to a life of obedience and service that is “worthy of the calling you have received” (Ephesians 4:1; 2 Thessalonians 1:11).

R. Paul Stevens sums up the ways the New Testament speaks of calling as belonging, being, and doing. He writes,

The call of God is threefold. First there is the call to belong to God. Thus persons without identities or “names,” who are homeless waifs in the universe, become children of God and members of the family of God. . . . This is the call to discipleship. Second, there is the call to be God’s people in life, a holy people that exists for the praise of his glory in all aspects of life in the church and in the world. This is expressed in sanctification; it is the call to holiness. Third, there is the call to do God’s work, to enter into God’s service to fulfill his purposes in both the church and in the world. This involves gifts, talents, ministries, occupations, roles, work and mission—the call to service.

This third aspect of God’s call is our focus in this study, but we need to understand that all three aspects are inseparably bound up in God’s one call for us. He has called all of us to belong to Him, be His people in life, and do His work.

In his description of the call to do God’s work, Stevens mentions things such as gifts, talents, ministries, occupations, roles, work, and mission. God wants us to see all of these as resources for serving Him. He has given us our gifts and talents in order for us to use them for His purposes. He has placed us in our occupations so we can minister for Him there. He has also brought us through experiences and relationships to shape us into the kind of people He can use to meet others’ needs.

On this aspect of calling, Os Guinness writes, “Calling is the truth that God has called us to himself so decisively that everything we are, everything we do, and everything we have is invested with a special devotion, dynamism, and direction lived out as a response to his summons and service.” He goes on to say, “We have nothing that was not given to us. Our gifts are ultimately God’s, and we are only ‘stewards’—responsible for prudent management of property that is not our own. This is why our gifts are always ours for others, whether in the community of Christ or the broader society outside, especially the neighbor in need.”

We often hear sermons on being “good stewards” by giving our financial resources to God. But as Guinness points out, good stewardship involves much more than that. It involves using “everything we are, everything we do, and everything we have” for God’s work. As an example, consider Paul’s words to the Corinthians:

Praise be to the God and Father of our Lord Jesus Christ, the Father of compassion and the God of all comfort, who comforts us in all our troubles, so that we can comfort those in any trouble with the comfort we ourselves have received from God. (2 Corinthians 1:3-4, emphasis added)

Here Paul told the Corinthians that part of God’s purpose in comforting them in their difficulties was to equip them to be His instruments to do the same for others. Sometimes our deepest sources of pain can become our deepest resources for ministry if we make those experiences available to others. Again, all we are and have is “ours for others.” Gifts and talents, joys and sorrows, strengths and weaknesses, successes and failures, time and money—God has sovereignly allowed all of these into our lives and wants us to use them as resources for ministry.

For example, Jack’s tragic loss of his mother when he was a little boy and his wife when he was an old man gave him an acute ability to speak about pain. His years as a hardened atheist and his keen God-given intellect made him one of Christianity’s great intellectual defenders. His vivid imagination, years of literary study, and gift for telling stories enabled him to write wonderful children’s books such as The Horse and His Boy, The Voyage of the Dawn Treader, and The Lion, the Witch and the Wardrobe. God’s authorship of the life of C. S. (“Jack”) Lewis made Lewis one of the most influential Christian writers of the twentieth century.

Lewis’s temperament and gifting, along with his unique set of formative experiences and relationships, enabled him to leave his mark on the world. He was never “called” to become a pastor, never trained at a seminary, and never left the security of home to become a missionary, yet his ministry has affected hundreds of thousands of people around the world because what he had he made available to God. And God used him mightily.

Conclusion

We may never have the same fame or influence that C. S. Lewis had, but each of us can and should make a mark on the world around us. God has called us to Himself, called us into community, and called us to do His work in the world. Each of us has a unique contribution to make that is shaped by God’s sovereign design and providential guidance.

Assignment

Read Session 3: Contexts of Ministry.

Complete the Life Vision: Roles and Needs exercise beginning on page 89.

Related Topics: Basics for Christians, Issues in Church Leadership/Ministry

3. Contexts of Ministry

Having established that we should use all we have in serving others, we will now turn our attention to where this ministry will occur.

Throughout your day, you live in various contexts. Perhaps you begin your day talking with your husband and children over breakfast. Then you head to the office, where you interact with coworkers and fulfill your tasks. Over lunch you meet an old friend from college. After work you stop by the high school to pick up your son from band practice and have a conversation on the way home about his day. Maybe you see a friend at the grocery store or stop to greet your neighbor. After dinner you attend a meeting held by the city to discuss zoning for a new neighborhood school. Each day, you encounter a variety of contexts, or settings, in which you can have a ministry mindset when interacting with others.

In this session, you will be introduced to three broad categories of contexts in which you can minister: the world, the church, and the home.

Session Aims

Individual Aim: To identify the needs of others and the contexts in which you can serve others.

Group Aim: To consider the particular contexts in which each group member can minister.

Preparation

Read Session 3: Contexts of Ministry.

Complete the Life Vision: Roles and Needs exercise beginning on page 89.

Introduction

How often do you lie in bed at night and think, What did I accomplish today? Some people ask themselves this question at the end of each day. Others may ask themselves, What do I need to get done tomorrow? Still others reach the end of the day so exhausted that they don’t have the energy to ask themselves anything.

Perhaps a better question to ask at the end of the day is, How well did I depend on God in my ministry to others today? As we move through our typical daily routines, we interact with our brothers and sisters in Christ and with those who aren’t Christians. In all of these interactions, we should seek to have an others-oriented, ministry mindset.

Peter urged his readers to lay down their lives for the sake of others, for those both in the church and in the larger world:

Now that you have purified yourselves by obeying the truth so that you have sincere love for your brothers, love one another deeply, from the heart. (1 Peter 1:22)

Maintain good conduct among the non-Christians, so that though they now malign you as wrongdoers, they may see your good deeds and glorify God when he appears. (1 Peter 2:12, net)

Notice that Peter emphasized both loving fellow Christians and behaving excellently among those outside the church. Later in Peter’s letter, he again implored his audience to live out their faith both in the public arena and in the community of faith:

Honor all people, love the family of believers, fear God, honor the king. (1 Peter 2:17, net)

Peter said, “Honor all people,” whether they are coworkers, employers, family members, or perfect strangers. Jesus’ story of the good Samaritan (see Luke 10:25-37) may have been ringing in Peter’s ears as he wrote the phrase “Honor all people.” Jesus told that story in response to the question “Who is my neighbor?” His story makes it clear that our neighbor is anyone whom God brings across our path. We need to show honor to everyone God brings into our lives, whether they are in authority over us, serving us, or simply someone we randomly encounter.

The broad scope of Peter’s instructions has significant implications for all of our interactions with other people, regardless of the context. In this session, we will focus on three common contexts.

Content

The three main contexts for ministry are the world, the church, and the home. The world, as we will use the term, refers to the work we do and the interactions we have outside an explicitly Christian context and with people other than our families. This includes our jobs, our neighborhoods, our favorite restaurant, and our children’s PTA meetings. The church represents not only things done at a church but also those things we do specifically with and for other believers (the term church in the New Testament is never used of a building but always of a gathering of believers). The home will refer to what we do with our families. These are all contexts in which we should fulfill our calling to minister.

In each context, we have multiple roles. For example, in the world, you might be an electrician, a neighbor, and a Little League baseball coach. In the church, you might be a deacon, an accountability partner, and a financial supporter. In the home, you might be a wife, a mother, and a daughter. Reflecting on the roles you play in each context will help you understand that everything you do can be an act of ministry.

The World

Our roles in the world provide many opportunities for ministry. The role in which most of us spend the majority of our waking hours is our occupation, our job. In our job, we typically interact with both believers and unbelievers. In this role, we aren’t financially compensated to be Christian witnesses (unless, for example, we work on a church staff). We are compensated to do a task or manage people. Even full-time parents or homemakers, who don’t have paying jobs, interact with store clerks, school employees, and other children’s families. The way we fulfill our responsibilities in our job is part of the ministry to which we have been called. Consider the following Scripture:

For we are to God the aroma of Christ among those who are being saved and those who are perishing. To the one we are the smell of death; to the other, the fragrance of life. And who is equal to such a task? . . . Not that we are competent in ourselves to claim anything for ourselves, but our competence comes from God. He has made us competent as ministers of a new covenant—not of the letter but of the Spirit; for the letter kills, but the Spirit gives life. (2 Corinthians 2:15-16; 3:5-6)

An attitude of service and a willingness to lay aside our own interests for the interests of others should pervade our entire life. In this way, our jobs will be contexts for ministry. Ministry in that context involves both the way we interact with others and the way we accomplish our tasks.

We should do our work with a commitment to excellence. Adam and Eve were created to labor in Eden. While it was an entirely pleasant labor before their fall, God intended them to do their work with excellence. Likewise, God gives each of us labor to perform with excellence. Whether that involves changing diapers, writing computer software, plowing a field, managing a marketing team, or framing a house, all of our responsibilities ought to be performed with our utmost effort and concentration.

The manner in which we accomplish tasks is not our only concern if we want to have an attitude of ministry at the workplace. The Christian worker shouldn’t have an “accomplish at all costs” attitude. The way we interact with others also counts. After all, our witness to those who don’t share our beliefs and work ethic––and our example to fellow believers who do––is related to how we love more than to anything else. Love should be our chief characteristic (see 1 John 4:8). Our ministry at work involves both working as if we were working for the Lord and relating well with others.

The Church

While many of us spend most of our waking hours doing our job, our workplace is not the only arena for ministry. Just as every believer should live a life of ministry in the world, every believer should also serve others in the church. While there is no sharp distinction between these two, it’s important to keep in mind that we have a responsibility to give of ourselves in both contexts.

What does ministry in the church mean? It is ministry performed explicitly as a representative of Christ with and for other believers. It includes such things as leading a small group, being an usher, working at a Christian homeless shelter, doing evangelism on a short-term mission trip in Asia, providing refreshments for a small group, serving on a cleanup committee for the youth group gatherings, and organizing a Christian businessperson’s luncheon.

Almost every church leader needs more laborers. There are more great ideas for how believers can serve each other and their communities than there are laborers to implement them. If you have been ministered to but have not yet ministered in the church, now is the time to jump in and begin. This study will help you think about where to start. If you have been ministering in the church, it will help you explore how you serve so that your service will fit your giftedness. The body of Christ needs each believer to serve in just the way God has gifted him or her––and to do so with excellence.

The Home

The most important context of ministry is with one’s own family members. There is no higher calling to other people than to one’s own family. While your roles in your job and church are important, your role as a member of your family takes precedence. Ministry in a job or church should never make you neglect the calling to minister to your own family. Jesus demonstrated this principle when He provided for His mother by charging John with her care—even while He hung on the cross (see John 19:25-27).

Conclusion

The purpose of this study is to help you see your entire life—your job, roles in the church, relationships within your family, and every other area of daily life—as ministry. We have been called to love just as Christ loved. That doesn’t necessarily mean we are to begin a traveling ministry like Jesus. Rather, we are to love others in all the contexts in which God has placed us. We are ministers of new life in Christ. Let us walk by the Spirit in an all-pervasive life of ministry.

Assignment

Read Session 4: Spirit-Directed Ministry.

Complete the Life Vision: Ministry Vision Statement exercise beginning on page 97.

Complete Biblical Exercise: John 15 beginning on page 46.

Related Topics: Issues in Church Leadership/Ministry, Missions

4. Spirit-Directed Ministry

In session 3, we saw that ministry should be an all-pervasive attitude in the world, the church, and the home. This session will focus on the power that enables us to live out an attitude of ministry in all areas of our lives. That power is the Holy Spirit of God. We must seek God’s wisdom and strength through His Spirit in order to develop a vision for ministry and live it out in every context.

Session Aims

Individual Aim: To establish a ministry vision for each context in dependence upon the Spirit.

Group Aim: To encourage one another by listening to each group member’s ministry vision and offering feedback.

Preparation

Read Session 4: Spirit-Directed Ministry.

Complete the Life Vision: Ministry Vision Statement exercise beginning on page 97.

Complete the Biblical Exercise: John 15 exercise on page 46.

Introduction

Have you ever found yourself in a situation at work that made you completely confused about how to respond? You may have asked yourself, What does it look like to love my boss? or How do I make an ethical choice when all I seem to have available are unethical alternatives? You may face similar challenges at church. A kid in the youth group shares something with you in confidence, and you aren’t sure whether you need to address it with one of the pastors. The church leadership makes a decision that you think adversely affects your ministry as a Sunday school teacher. Should you respond? If so, how?

If you have a relationship with God through faith in Christ, you have without a doubt experienced the guidance of the Spirit of God. Even the moment in which you placed your faith in Christ for the forgiveness of sin was a moment of responding to wisdom revealed by the Holy Spirit. You have probably also experienced many moments since then in which you have been led by the Spirit, whether you knew it at the time or only upon later reflection. It’s helpful to reflect on those times in order to remind yourself of God’s faithfulness. If you seek His guidance, wisdom, and strength, He will provide.

Content

Jesus compared the Spirit’s regenerating work to the wind. “The wind blows wherever it pleases. You hear its sound, but you cannot tell where it comes from or where it is going. So it is with everyone born of the Spirit” (John 3:8). The Holy Spirit works in individuals, drawing them to the Father. Every believer is indwelled, baptized, and sealed by the Spirit. As Jesus pointed out, this work is beyond human control. Those of us who are God’s children must humbly recognize His work in our lives. Our salvation depends on the Spirit’s work.

And we are still in a state of dependence: “Those who are led by the Spirit of God are sons of God” (Romans 8:14). We no longer walk according to the flesh but should make all of our decisions under the leadership of the Spirit. Sometimes the Spirit moves in direct ways. He makes abundantly clear the course we are to take. The most common way He does this is through the Word. Have you ever been going through your day and suddenly a Bible passage comes to mind that relates to the circumstances of that moment and tells you how to respond?

Consider an example of a father who takes his little boy to the beach. The son says, “How many grains of sand do you think there are?” The father is spontaneously reminded by the Spirit of Psalm 139:17-18. He responds, “There sure are more than we can count, aren’t there? Did you know that God has more thoughts about us than there are grains of sand?” The boy learns about God’s great love in a way that is relevant to his experience. That is a simple example of how the Spirit of God uses the Word of God.

The Spirit also uses the counsel of others in guiding us. Have you ever been discouraged and experienced the power of encouraging words from a fellow believer who motivated you to persevere in godliness?

Consider two coworkers who go out to lunch together. One is a longtime employee of the company and the other just joined the staff. Over their meal, the longtime employee discovers that the newcomer is also a believer. The newcomer shares about her struggle as a Christian in the company. The veteran tells about her early struggles at the company and how she has come to be respected for her faith and her contribution as a dependable worker. The newcomer leaves lunch with a renewed sense of dependence upon Christ at her job and a sense of hope that she can persevere through the present trials. That’s how the Spirit can provide strength and wisdom through the counsel of others. The Spirit of God indwells fellow believers and ministers through them.

At other times, the Spirit causes our hearts to burn with passion for a cause in God’s kingdom. We can think of nothing else and experience restlessness until we can pursue the course He laid before us. Sometimes the Spirit inspires us to the core of our being with a passion for serving others who have some particular need.

Consider the example of a stay-at-home mom who meets a single, teenage mom at the park. After the interaction, the older mom becomes burdened for teen mothers. She decides to start a ministry of support and encouragement for teen mothers.

The Spirit is not bound to work in one way or another and may use a combination of the Word, counsel, and the desires of our heart to guide us in ministry.

Conclusion

The Spirit’s guidance leads us into ministry and gives us strength and wisdom in ministry. Because each person’s life is unique, including the roles held and circumstances present, individuals need a great deal of wisdom to discern how to live with a ministry attitude. The changing life circumstances that we all face give us the opportunity to depend on the Spirit afresh every day.

In addition to giving support for daily decisions, the Spirit can also help us establish a vision for ministry that can broaden our sense of purpose and direction. In the next three sessions, you will refine your ministry vision and develop a plan for ministry in the world, the church, and the home. Seek the Spirit’s wisdom in this process.

Biblical Exercise: John 15

Read John 15:1-17. Also, review “A Method for the Biblical Exercises” beginning on page 17.

Observation—“What Do I See?”

1. Who are the persons (including God) in the passage? What is the condition of those persons?

2. What subjects did Jesus discuss in the passage? What did He assert?

3. Note the sequence in which Jesus made these assertions. (You might number them in order.)

4. What did Jesus emphasize? Are there repeated ideas and themes? How are the various parts related?

5. Why did Jesus say what He said? (Did He say anything about ways He expected people to change as a result of hearing that?)

Interpretation Phase 1—“What Did It Mean Then?”

1. Coming to Terms—Are there any words in the passage that you don’t understand? Write down anything you found confusing about the passage.

2. Finding Where It Fits—What clues does the Bible give about the meaning of this passage?

• Immediate Context (the passage being studied)

• Remote Context (passages that come before and after the one being studied)

3. Getting into Their Sandals—An Exercise in Imagination

• What are the main points of this passage? Summarize or write an outline of the passage.

      • What do you think the readers of this passage were supposed to take from it? How did God, inspiring John to write this passage, want it to impact those who read it?

Interpretation Phase 2—“What Does It Mean Now?”

1. What is the timeless truth in the passage? In one or two sentences, write down what you learned about God from John 15.

    2. How does that truth work today?

Application—“What Can I Do to Make This Truth Real?”

1. What can I do to make this truth real for myself?

2. For my family?

3. For my friends?

4. For the people who live near me?

5. For the rest of the world?

Assignment

Read Session 5: Ministry in the World.

Complete the Life Vision: Action Steps, The World exercise beginning on page 113.

Related Topics: Pneumatology (The Holy Spirit), Issues in Church Leadership/Ministry

Pages