MENU

Where the world comes to study the Bible

11. Menyelesaikan Konflik Penikahan

Tidak peduli seberapa baik kita berkomunikasi dengan pasangan pernikahan kita, pasti ada perbedaan. Saya pernah mendengar beberapa pasangan menyatakan bahwa mereka tidak pernah memiliki perbedaan pendapat selama kehidupan pernikahan mereka. Pasti mereka memiliki keberadaan yang menjemukan dan tidak berwarna! Pasangan yang memiliki sedikit kepribadian takut menyatakan perasaan terdalam mereka. Sangat sulit percaya bahwa Tuhan pernah menciptakan 2 orang yang begitu serupa dalam segala hal sehingga pendapat mereka sama dalam semua hal!

Pertentangan pahan pasti ada. Sebab apapun bisa menghasilkannya. Sebab pertama yang mudah adalah kenyataan bahwa pasangan kita tidak memiliki semua kualitas yang kita bayangkan ada dalam mereka sebelum upacara! Karena kita ingin melihat daya tariknya dan menghilangkan yang tidak menarik, secara menta kita mendaftarkan pasangan kita dalam sekolah perbaikan pernikahan! Kemudian kita melanjutkannya dengan tugas penting mengubah mereka menjadi pasangan ideal kita.

Metode pengajaran yang disukai istri kelihatannya menjadi omelan, disertai oleh sedikit ejekan, melalui tangisan yang tetap. Metode pengajaran suami sepertinya menusuk, yaitu memotong komentar atau pernyataan yang sarkasme. Dia juga menggunakan kuliah kemarahan, diselingi dengan periode diam yang lama. Dua kehendak diri yang berdosa, terkoyak antara kasih diri dan kasih kepada pasangan, sekarang saling menguji, dan mencari siapa yang tertinggi dalam hubungan. Hasilnya adalah konflik.

Inti setiap konflik adalah diri. Kebanyakan orang menyalahkan konflik yang terjadi karena situasi: pekerjaan yang tidak diterima, rumah yang kecil, anak yang rewel, tetangga yang buruk, kurang uang, mertua yang turut campur. Tapi masalah sebenarnya adalah ego manusia ingin kebebasan yang tak terkendali untuk melakukan apa yang diinginkan, pada saat yang sama mengharapkan persetujuan tak bersyarat dari pasangannya. Dengan kata lain, ingin matahari berputar diorbit pasangan seperti planet. Jika Jika kedua bintang bersaing menjadi pusat tata surya, hasilnya akan kacau balau—tapi itu yang terjadi dalam kebanyakan perkawinan!

Kadang orangmuda ingin cepat menikah, ingin melarikan diri dari situasi rumah yang tidak menyenangkan. Masalah sebenarnya bukan rumah atau orangtua mereka. Itu ego berdosa mereka, dan beserta mereka saat mereka menikah! Ego ini mulai berinteraksi dengan ego yang lain, dan masalah keluarga sebelumnya hulang dengan pernikahan baru! Pertama, Tuhan ingin kita belajar bagaimana menghadapi nature berdosa kita. Kemudian kita bisa siap berinteraksi dengan bahagia bersama pasangan pernikahan kita.

Saat komunikasi berarti rusak dalam pernikahan, perselisihan bisa terjadi atas hal yang remah, kadang menjadi begitu sering dan sangat panas sehingga pasangan merasa mereka tidak sesuai. Saya sangat meragukan adanya ketidaksesuaian dalam pandangan Tuhan—hanya dua kehendak yang perlu ditaklukan oleh Yesus Kristus. Saat Dia menjadi pusat pernikahan, dengan setiap pasangan hidup untuk kemuliaanNya, harmoni dan kebahagiaan akan terjadi.

Misalkan konflik memang terjadi, dan pasangan mau membuat penyesuaian rohani yang memang harus dibuat. Kemudian, bagaimana kita menyelesaikan perselisihan dalam pernikahan kita? Kita perlu menyadari, pertama, argumentasi tidak selalu kekuatan yang menghancurkan. Itu bisa menjadi hal yang diperlukan untuk membuka jalur komunikasi dan membuka luka jiwa yang melebarkan jarak diantara kita. Mngkin ada beberapa perubahan yang harus dibuat, tapi omelan dan memotong pembicaraan tidak menghasilkan hal ini. Itu hanya memperkuat ketegangan dan membuat kita lebih jauh. Diskusi yang baik mungkin satu-satunya hal yang bisa membuka perasaan kita. Jika demikian, maka kita perlu melakukannya, memulai argument. Tapi kita memerlukan aturan dasar sebelum mulai. Disini ada beberapa petunjuk bagi argument yang menguntungkan.

Pertaman, kita harus membangun tujuan kita untuk pengenalan masing-masing lebih dalam. Jika kita bisa mencapai ini, kita bersyukur pada Tuhan untuk perbedaan ini. Tujuan argument bukan untuk memutuskan siapa pemenang dan yang kalang. Juga bukan untuk mengubah pasangan kita. Tapi memberikan pengertian baru bagaimana pasangan kita berpikir tentang masalah yang mempengaruhi kita. Mungkin baik bagi setiap pasangan untuk menyatakan kembali pandangan lainnya untuk kepuasan dia. Itu bisa menjamin tercapainya tujuan ini, setidaknya pada tingkatan tertentu.

Kedua, kita harus minta Tuhan menolong kita mengatur emosi kita. Kita sering berkata dibawa tekanan emosi hal yang tidak kita maksudkan, hal yang menyakiti dan menghancurkan. Hal ini tidak cepat dilupakan. Buah Roh adalah pengendalian diri, dan kita butuh membiarkan Dia menyatakan ketenangan dan kontrolNya bahkan disaat tuduhan yang tidak benar atau provokasi serius. Ini tidak berarti emosi harus dikeluarkan. Kita mungkin tidak pernah menyatakan apa yang kita rasakan dalam hati jika emosi tidak ada. Tapi walau emosi kita benar bisa dinyatakan, itu harus dijaga oleh Roh Kudus dalam diri kita. Seorang istri mengatakan pada saya bahwa kapanpun diskusi mulai memanas, suaminya berkata, “Mari kita berdoa untuk hal ini,” dan dia mulai berdoa, dengan bersuara. Itu merupakan efek menenangkan yang luar biasa atas pernikahan mereka!

Ketiga, kita harus menyerang masalah itu—bukan pribadi atau motifnya. Mudah sekali menjadi terlalu kritis dalam setiap argument, dan membuat penilaian yang tidak akurat terhadap karakter lawan kita atau salah menuduhnya melakukan motif jahat. Saat istri gagal membersihkan rumah atau suami menunda beberapa pekerjaan, pasangan yang tidak sabar mungkin meningkatkan tuduhan seperti, “Kamu jelas malas.” Itu mungkin bukan masalahnya sama sekali, dan tuduhan semacam itu bisa menyebabkan ketidak bahagiaan besar untuk waktu yang lama. “Kamu melakukan itu untuk menjauh dari aku,” merupakan pernyataan yang disenangi saat pasangan anda melukai anda. Tapi siapa yang membuat anda jadi pembaca pikiran atau kemampuan untuk membedakan motif? Rasul Paulus membuat penyelidikan tentang orang yang menilai orang lain. “Karena itu, hai manusia, siapapun juga engkau, yang menghakimi orang lain, engkau sendiri tidak bebas dari salah. Sebab, dalam menghakimi orang lain, engkau menghakimi dirimu sendiri, karena engkau yang menghakimi orang lain, melakukan hal-hal yang sama.”[1] Kita punya kecenderungan memproyeksikan motif kita pada orang lain; tuduhan marah kita terhadap pasangan kita menunjukan hati kita sendiri daripada dia. Kristus berkata kita akan dihakimi dengan standar yang sama yang kita beri pada mereka, “kamu akan dihakimi dan ukuran yang kamu pakai untuk mengukur, akan diukurkan kepadamu.”[2]

Keempat, kita harus ingat bahwa penyerangan dengan kemarahan terhadap kita kadang disebabkan oleh kejadian yang sama sekali tidak berhubungan dengan kita. Sering saat suami atau istri marah, pasangan mereka kelihatannya menjadi target yang paling empuk bagi kemarahan mereka. Singkatnya, tekanan keluarga dan anak tertumpuk kepada seorang istri selama sehari penuh. Dia tegang dan hampir meledak saat suaminya masuk pintu, gembira seperti burung. Dia menggantung jaketnya seperti suami yang baik, tapi lupa menutup pintu closet—dan istrinya meledak! Seorang suami yang dipenuhi oleh kasih Tuhan dan pengertian menyadari bahwa ada sesuatu dibalik semua ini, dan dia berespon dengan lembut. Mungkin suami yang pulang rumah berakting seperti beruang marah. Dia memarahi anak dan mengkritik makanan. Istri yang dipenuhi Roh mengerti bahwa tindakannya itu merupakan hasil dari tekanan kerja dan bukan permusuhan terhadap keluarga. Jika kita mau mendengar pasangan kita dengan tenang dan sabar daripada bertindak marah disaat pertama, masalah sebenarnya akan terlihat. Kemudian, daripada ngomel, kita bisa menawarkan pengertian yang simpatik, dan menggelakan trauma pertikaian.

Akhirnya, kita perlu belajar kapan dan bagaimana membawa argument sampai kekonklusi. Sebagian pertengkaran tidak pernah berakhir; itu terus berlangsung selama bertahun-tahun! Orang lain kelihatannya mati tanpa sampai kekonklusi, dan memperdalam dendam. “Mari kita lupakan saja” biasanya berarti, “Jika kita membahas ini lebih lama lagi, Saya mungkin menyerah!” Jika kita salah, kita harus mengakuinya. Jika kita butuh waktu memikirkannya, kita harus mengatakannya. “Saya mulai mengerti pandanganmu, tapi perlu waktu untuk memikirkannya.” Kemudian lakukan itu—pikirkan lagi dihadapan Tuhan.

Sekarang masalah terbuka. Kita harus saling berkomunikasi dan membagi pengertian yang lebih dalam. Sekarang kemana kita pergi? Bagaimana kita menyelesaikan konflik? Ada beberapa prinsip Alkitab yang bisa menolong kita.

Pertama, kita harus mengkonsentrasikan perhatian kita pada kesalahan kita, pikirkan lebih dulu wilayah dimana kita bisa memperbaiki dan mengembangkan diri. Cobaan saat konflik muncul dari kesalahan yang dibuat terhadap kita, mengulangi kesalahan dan ketidakadilan yang lalu. Kemudian kita mulai membangun masalah untuk konfontasi berikut! Lupakan itu! Pikirkan bagian kesalahanmu, sekecil apapun itu. Kehendak diri kita dan kesombongan bertanggung jawab dalam sebagian konflik. Itu mungkin tuntutan kecil yang kita buat untuk pasangan kita bagi kesenangan sendiri. Itu mungkin ketidakpedulian yang kita tunjukan terhadap kebutuhan pasangan kita. Itu mungkin kedinginan yang kita nyatakan karena perasaan kita terluka. Semuanya adalah kesombongan egois, dan semuanya membantu menambah konflik. Kapanpun ada konflik kesombongan terlibat,[3] dan setiap kita biasanya bersalah dalam hal ini. Kita perlu mengakuinya.

Sangat mudah menyalahkan pasangan kita. Kita cenderung berpikir kalau kita bertindak karena apa yang dikatakan pasangan kita. Kita pikir mereka yang bersalah. Tapi ini cara setan. Dia ingin kita berpikir tentang kesalahan pasangan kita daripada kesalahan kita untuk menghasilkan perselisihan. Yesus menyebutnya munafik. “Hai orang munafik, keluarkanlah dahulu balok dari matamu, maka engkau akan melihat dengan jelas untuk mengeluarkan selumbar itu dari mata saudaramu.”[4] Mari kita minta Tuhan menolong menyadarkan bagian kesalahan kita. Kita jangan berbelas kasihan pada diri. Sangat mudah kejam terhadap orang lain dan lunak pada diri sendiri. Ini egois. Kerendahan hati yang sejati adalah toleran terhadap yang lain dan menuntut diri. Sekali kita mengetahui dosa kesombongan kita, Tuhan memberikan pengampunan dan memperbaharui kerukuran keluarga kita.

Sekarang setelah kita mengakui bagian kesalahan dan menerima anugrah pengampunan Tuhan, kita bisa meminta Dia untuk memberikan kita kemenangan atas dosa kita, sehingga kita melepaskan hasrat untuk mendapatkan segalanya dengan cara kita. Kita harus meminta Dia menolong kita mengubah apa yang perlu diubah dalam hidup kita. Saat kita ditengah krisis pernikahan, kita biasanya merasa bahwa masalah kita bisa diselesaikan jika pasangan kita mengubah jalan mereka. Itu jarang terjadi! Melalu anugrah Tuhan kita menjadi pasangan baru. Kita tidak benar-benar mengubah orang lain menjadi lebih baik melalui kritik dan komplain. Kita hanya memperdalam batas yang ada diantara kita. Kita harus memberikan perhatian kita pada hal yang bisa kita ubah melalui kuasa dan anugrah Tuhan—diri sendiri! Tuhan tidak mengharapkan kita mengembangkan pasangan kita; Dia berharap kita menyediakan kebutuhannya. Saat kita mengembangkan diri, pernikahan kita juga akan mulai berkembang.

Saat suami atau istri kita menyadari bahwa kita berhenti mengganggu mereka dan sebaliknya membuat perubahan berarti dalam hidup kita sendiri, mereka akan mulai berespon dengan baik. Mereka butuh hati yang sangat dingin untuk tetap tidak berubah. Suatu balasan yang memuaskan bagi prilaku egois kita!

Setelah berurusan dengan jelas terhadap kelemahan kita, sekarang kita kelangkah berikut.

Prinsip Alkitab kedua untuk menyelesaikan konflik adalah sepenuhnya mengampuni kesalahan pasangan kita. Sangat sulit mengampuni saat pasangan kita tidak minta maaf. Tapi lihat seperti ini. Jika kita benar-benar mengakui bagian kesalahan kita, kita harus mengakui bahwa serangan mereka terhadap kita, setidaknya sebagian merupakan hasil dari cara kita memperlakukan mereka. Kita tidak punya pilihan selain mengampuni, bahkan jika mereka tidak mengakui kalau mereka salah. Bahkan kita akan meminta maaf untuk bagian kesalahan kita jika kita ingin hamoni diperbaharui kembali, dan kita tidak bisa minta maaf dengan cara yang tepat jika kita terus memupuk perasaan sakit. Satu-satunya cara menyingkirkan perasaan itu dari kita adalah mengampuni pasangan kita sepenuhnya atas semua serangan yang mereka lakukan terhadap kita. Tidak ada indikasi kalau orang yang salah terhadap Petrus pernah minta maaf padanya, tapi Kristus mengatakan dia harus mengampuni sebanyak 490 kali.[5] Dia mengajarkan bahwa tidak ada akhirnya untuk mengampuni.

“Tapi sakitnya terlalu dalam. Saya tidak bisa mengampuni.” Itu pernyataan yang menarik. Dengar Kristus sekali lagi: “Karena jikalau kamu mengampuni kesalahan orang, Bapamu yang di sorga akan mengampuni kamu juga. Tetapi jikalau kamu tidak mengampuni orang, Bapamu juga tidak akan mengampuni kesalahanmu.”[6] Pada mulanya ini kelihatannya mengajar bahwa pengampunan kita didasarkan atas pengampunan kita terhadap orang lain, sebaliknya anugrah Tuhan dalam Kristus. Bagaimanapunm, ini berlawanan dengan pengajaran Kristus yang lain. Saya percaya Dia berkata, sebagai gantinya, bahwa jika kita menolak mengampuni orang yang bersalah pada kita, Tuhan tahu bahwa pengakuan dosa kita kepadaNya kurang tulus, dan karena itu kita tidak menerima pengampunan yang disediakanNya bagi kita. Saat seseorang mengakui dosanya dan mengalami berkat pengampunan Tuhan, dia tidak bisa tidak mengampuni yang lain. Jika kita menolak, kita mengakui bahwa kita tidak mengetahui arti diampuni oleh Tuhan. Tidak ada orang yang jujur bisa menerima pengampunan Tuhan tapi menolak mengampuni orang lain.

Tidak mungkin melebihkan pentingnya pengampunan. Saat kita mendapat pengampunan, permusuhan dan kepahitan hilang dan prilaku kasar dan tidak toleran digantikan dengan kasih dan perhatian terhadap pasangan kita.

Sekarang kita siap untuk langkah terakhir. Kita telah mengakui kesalahan kita dan mengampuni semua kesalahan pasangan kita. Sekarang kita harus dengan jujur dan terbuka minta maaf pada mereka terhadap bagian kesalahan kita. Suatu kesalahn mencoba minta maaf sebelum kita mengakui kesalahan kita dan mengampuni kesalahan mereka. Permintaan maaf kita akan kurang dari yang diinginkan Tuhan. Itu akan semakin memperburuk daripada memperbaiki. “Saya salah, tapi kamu juga.” “Saya minta maaf telah melakukan itu, tapi itu bukan seluruhnya kesalahan saya.” “Saya minta maaf berkata demikian, tapi apalagi yang bisa saya katakan setelah kamu berkata demikian?” “Saya minta maaf jika ada sesuatu yang menyinggung kamu.” Tidak satupun dari pernyataan ini bisa mengakui apapun. Itu semua bukan permintaan maaf yang sejati dan tidak mengecoh siapapun—apalagi pasangan kita!

Hanya setelah hati kita telah benar dihadapan Tuhan baru kita bisa menawarkan permintaan maaf yang benar. “Sayang, Saya minta maaf Saya …” (dan kita mendaftar hal spesifik yang kita lakukan dan katakan untuk menyerang yang berkontribusi dalam konflik)—titik! Tidak ada “jika” “dan” atau “tapi”. Kata “sayang, saya minta maaf” dikatakan dari hati yang hancur merupakan suara terindah dibumi, dan menyembuhkan pernikahan kita. Inilah maksud Yakobus saat dia menulis, “Karena itu hendaklah kamu saling mengaku dosamu dan saling mendoakan, supaya kamu sembuh.”[7] Walau dia terutama menunjuk pada kesembuhan fisik, kebenaran yang sama bisa diaplikasikan pada penyembuhan hubungan pernikahan. Pengakuan tulus dan terbuka terhadap kesalahan merupakan kekuatan menyembuhkan.

Kenapa orang sangat sulit minta maaf? Mungkin mereka pernah mencoba minta maaf sebelumnya tapi ditolak. Sekarang mereka takut mencobanya lagi. Tapi alasan penolakan mungkin berasal dari prilaku mereka yang kurang tepat saat menawarkan permintaan maaf. Sebagian pria berpikir bahwa mengakui kesalahan adalah tanda kelemahan. Sebenarnya, itu tanda kekuatan rohani dan emosi—suatu tanda kesehatan, kepribadian yang seimbang. Sebagian orang takut kehilangan muka didepan orang yang mereka kasihi jika mereka mengakui kesalahan mereka. Tapi sebaliknya yang benar; dengan jujur pada diri sendiri, mereka bisa memberikan rasa hormat lebih dari sebelumnya. Sebagian berkeras bahwa munafik kalau minta maaf, karena mereka mungkin akan melakukan hal yang sama lagi. Penolakan merupakan ketidaktaatan terhadap Dia. Kita harus mengatasi masalah seperti arahanNya, mempercayakan Dia menolong kita dalam situasi kedepan.

Yesus mengajarkan bahwa kita harus berdamai dengan yang lain sebelum kita bisa bersekutu dengan benar bersama Tuhan. “Sebab itu, jika engkau mempersembahkan persembahanmu di atas mezbah dan engkau teringat akan sesuatu yang ada dalam hati saudaramu terhadap engkau, tinggalkanlah persembahanmu di depan mezbah itu dan pergilah berdamai dahulu dengan saudaramu, lalu kembali untuk mempersembahkan persembahanmu itu.”[8] Jika seseorang berbuat sesuatu terhadap kita, itu mungkin kita telah melukai dia. Maka tanggung jawab kita adalah pergi kepadanya dan mengakui kesalahan kita, dan berdamai dengannya. Ibadah kita akan kurang sampai kita melakukannya. “Tapi bukankah dia seharunya mengampuni saya jika saya menolak minta maaf?” Ya, benar. Tapi setiap orang harus bertanggung jawab pribadi pada Tuhan untuk dirinya sendiri. Kita harus melakukan apa yang Tuhan ingin kita lakukan, biarlah kesalahan orang lain Tuhan yang urus.

Pertanyaannya “Siapa yang memulainya?” atau “Siapa yang membuat langkah pertama?” tidak penting. Tidak ada bedanya siapa yang mulai duluan. Kita harus mengambil inisiatif dalam pengakuan apapun situasinya. Bahkan jika kita sangat terluka, mengakui bagian kesalahan kita dalam kasih akan mempermudah pasangan kita mengakui bagian mereka. Tidak peduli sedikitnya kesalahan kita, kita harus menfokuskan perhatian pada hal ini dan dengan jujur meminta maaf. Tuhan akan menggunakan itu untuk mengatasi konflik pernikahan kita.

Saya membagikan beberapa konsep ini dengan istri dan ibu muda bernama Lynn. Suaminya memiliki pekerjaan yang menuntut waktu yang lama dan tidak terduga. Dia merasa tidak perlu memberitahu istri saat kerja larut, dan banyak makanan jadi percuma karena kurangnya pertimbangan. Saat dia pulang, dia langsung makan, kadang tanpa berkata apapun kepadanya, dan keluar rumah untuk menikmati hobinya sampai larut malam. Dia tidak memberi waktu kepada 3 anaknya, dan mereka kurang mengenalnya.

Setelah berdiskusi Lynn setuju bahwa, dengan pertolongan Tuhan, dia akan berkonsentrasi pada hal yang bisa dikembangkan dalam hidupnya, memberi perhatian khusus pada pemenuhan kebutuhan Jack. Dia menyerahkan kurangnya pertimbangan Jack kepada Tuhan dalam iman. Saya mengetahui kemudian bahwa pekerjaan Jack berjarak 500 mil jauhnya. Sekitar setahun kemudian saya menerima surat ini dari Lynn:

Dear Dr. Strauss,

Saya ingin menulis dan berterima kasih pada anda untuk nasihatnya. Itu berhasil. Perkawinan kita dan hubungan pribadi kami sangat berubah. Saya mulai melupakan diri dan hal yang saya rasa layak dan perlukan, dan mencoba memikirkan Jack dan kebutuhannya. Awalnya sangat sulit, tapi saat saya menyerahkan diri pada Tuhan, itu menjadi lebih mudah setiap hari. Setelah itu—sepertinya datang secara otomatis.

Kemudian hal-hal mulai berubah. Jack mulai menelepon saya dari tempat kerja saat terlambat pulang kerja dari rencananya. Dia tidak pernah melakukan itu sebelumnya. Dia mulai memberi waktu duduk dan bermain dengan anak-anak daripada langsung keluar setelah makan malam. Lebih mudah bicara dengannya sekarang tentang perbedaan yang kita hadapi. Dia tidak cepat marah seperti dulu. Keluarga kami lebih bahagia dari sebelumnya, dan itu tidak sulit sekali mengikuti saran anda. Terima kasih banyak.

Sincerely, Lynn

Tidak, itu tidak sangat sulit melakukan apa yang diminta Tuhan dalam FirmanNya! Jika kita dengan jujur ingin melihat pernikahan kita berubah, kita perlu percaya Dia menolong kita membuat langkah pertama.


[1] Romans 2:1, KJV.

[2] Matthew 7:2, KJV.

[3] Proverbs 13:10.

[4] Matthew 7:5, TLB.

[5] Matthew 18:21, 22.

[6] Matthew 6:14, 15, TLB.

[7] James 5:16, TLB.

[8] Matthew 5:23, 24, TLB.

Related Topics: Christian Home, Marriage

Report Inappropriate Ad