MENU

Where the world comes to study the Bible

10. Hal Mustahil Terjadi— Kisah Zakaria dan Elizabeth

Hampir disetiap budaya dalam sejarah memiliki perbedaan kelas, dan budaya Yahudi pada masa Yesus juga demikian. Kelas yang lebih tinggi terdiri dari keturunan Harun, bertugas sebagai imam. Mereka ada sekitar 20,000 orang dsekitar Yerusalem saat itu, dan sayangnya mereka sombong, fanatic, terlalu puas diri, mementingkan diri sendiri, mereka hanya rohani dalam hal eksternal untuk mengesankan orang. Imam dalam perumpamaan orang Samaria yang baik merupakan salah satu contoh. Dia menganggap dirinya terlalu tinggi untuk menolong korban perampokan.

Tapi ada beberapa orang yang berbeda diantara mereka dan diantaranya seorang imam tua bernama Zakarias, yang berarti “Tuhang mengingat” Karena Hukum Musa menuntut seorang imam hanya menikahi seorang wanita yang bereputasi baik, maka Zakarias memilih anak perempuan seorang imam menjadi istrinya. Perempuan itu tidak hanya keturunan Harun, tapi dia membawa nama istri Harun yaitu Elisheba atau Elisabet, yang berarti “janji Tuhan” Nama mereka akan nyata benar pada masa tua mereka.

Kita pertama akan melihat, teladan ketaatan mereka, “Keduanya adalah benar di hadapan Allah dan hidup menurut segala perintah dan ketetapan Tuhan dengan tidak bercacat” (Luke 1:6). Hidup Zakaria dan Elizabeth menyenangkan Tuhan. Mereka berserah pada kehendak Tuhan dan taat pada Firman Tuhan. Dan mereka melakukan itu “dihadapan Tuhan,” yaitu hanya meninggikan Tuhan saja tanpa memamerkannya dihadapan orang lain. Disitulah mereka berbeda dari sebagian besar kaum mereka. Mereka bahkan tidak peduli hal yang bisa mereka dapat dari status mereka. Mereka hidup didesa kecil diperbukitan selatan Yerusalem, sementara imam lainnya tinggal didaerah elit dikota. Kesederhanaan mereka bukanlah untuk pamer, itu hasil dari hubungan dengan Tuhan. Mereka lebih peduli terhadap apa yang dipikirkan Tuhan daripada manusia. Dan itu merupakan dasar penting untuk membangun hubungan perkawinan yang baik. Kualitas perjalanan kita dengan Tuhan menentukan kemampuan kita berjalan dalam harmoni dengan pasangan kita. Dan perjalanan dengan Dia hanya bertumbuh saat kita ingin menyenangkan Dia daripada mengesankan manusia.

Itu bukan berarti bahwa Zakarias dan Elizabeth tidak ada masalah sama sekali. Walau banyak masalah kita datang dari dosa kita, Tuhan bisa mengijinkan beberapa masalah untuk memasuki hidup kita yang bertujuan untuk menolong kita bertumbuh. Dia ingin hal itu ada, dan tidak ada ketaatan yang bisa membawa kekebalan pada mereka. Zakaria dan Elizabeth seperti itu, dan masalah yang mereka hadapi sangat besar. “Tetapi mereka tidak mempunyai anak, sebab Elisabet mandul dan keduanya telah lanjut umurnya.” (Luke 1:7). Sulit bagi kita untuk membayangkan stigma yang melekat kalau tidak mempunyai anak. Sebagian besar Imam Yahudi berpendapat bahwa hal itu merupakan bukti Tuhan tidak berkenan. Walau Zakaria dan Elizabeth bisa benar dihadapan Tuhan, sebagian teman mereka mencurigai mereka melakukan dosa tersembunyi yang serius. Dan tidak ada cara menghapus aib itu. Perkataan “lanjut umurnya” berarti umur 60 tahun, kemungkinan melahirkan sudah kecil. Situasinya tidak ada harapan.

Zacharias bisa melepaskan diri dengan menceraikan Elizabeth. Dalam masyarakat mereka, kemandulan sudah jadi alasan umum untuk perceraian. Zakaria bisa menyingkirkannya, menikahi wanita muda, mendapatkan anak dari istri barunya, dan menyingkirkan kutuk atas dirinya. Itu merupakan jalur yang biasa dilakukan banyak pria. Tapi tidak Zakaria. Sebaliknya dia berdoa (cf. Luke 1:13). Dia menyerahkan situasi itu pada seseorang yang bisa melakukan sesuatu terhadap hal ini. Dan walau saya tidak bisa membuktikannya, saya bisa membayangkan dia berdoa tentang hal itu bersama dengan Elizabeth, dan melaluinya melayani kebutuhan rohani Alizabeth. Dia juga pria yang berpegang pada Firman, seperti yang kemudian dikatakan “Benediktus” (cf. Luke 1:67-79). Jadi Zakarias mungkin berbagi dengan istrinya bagian PL yang bisa menghibur Elizabeth dan mendorongnya dalam permohonan.

Itulah tanggung jawab suami sebagai pemimpin rohani dalam pernikahannya. Waktu yang singkat pengenalannya akan Tuhan pada awalnya menghalangi dia memenuhi perannya secara efektif, tapi saat dia bertumbuh dalam pengertian Firman, dia lebih nyaman mendorong istrinya melalui Firman. Istri terlalu sering menyeret suami jadi rohani; dia merayu, memohon, dan mengganggunya setiap sang suami segan mengambil langkah pertumbuhan iman. Tuhan tidak ingin setiap kita mencoba menyeret orang lain jadi rohani, tapi dia ingin para suami ada didepan, mengambil kepemimpinan rohani dan melayani para istri dan anak tentang Kristus.

Setelah Zakaria mengakui masalahnya pada Tuhan, dia meneruskan tugas yang telah Tuhan berikan padanya. Dia tidak berhenti berdoa dan mogok karena situasinya tidak ada harapan. Dan kita juga seharusnya begitu. Tuhan kita adalah Tuhan yang bisa merubah hal itu! Dia senang melakukan hal yang tidak mungkin bagi kita saat Dia tahu kita akan memuliakanNya. Lebih mudah berhenti dan melarikan diri dari keadaan, tapi itu umumnya menumpuk masalah. Tuhan ingin kita menghadapi kesulitan kita padaNya dalam doa, cari Firmannya bersama untuk penghiburan dan arahan, dan kemudian sabar menunggu karyaNya.

Hal berikut adalah hari yang paling diingat mereka. Hari itu dimulai dengan semangat oleh Zakaria. “Pada suatu kali, waktu tiba giliran rombongannya, Zakharia melakukan tugas keimaman di hadapan Tuhan. Sebab ketika diundi, sebagaimana lazimnya, untuk menentukan imam yang bertugas, dialah yang ditunjuk untuk masuk ke dalam Bait Suci dan membakar ukupan di situ” (Luke 1:8, 9). Saat itu gilirannya melayani sebagai imam. Imam dibagi kedalam 24 bagian oleh Raja Daud, dan kaum Abijah merupakan kaum Zakaria, diurutan 8. Setiap bagian akan dipanggil untuk melayani dalam bait hanya 2 kali selama setahun, setiap kesempatan lamanya 1 minggu. Dengan hampir seribu imam setiap bagian, menjadikan tugas masuk keruang maha suci dan menyalakan ukupan suatu pengalaman seumur hidup. Hari itu merupakan giliran Zakaria.

Pertama dia akan menunjuk 2 temannya untuk membantunya. Seorang akan membersihkan abu dari korban malam sebelumnya. Kemudian orang kedua akan masuk dan meletakan bara baru dialtar. Akhirnya, Zakaria masuk ketempat kudus sendirian, mengenakan jubah emas, dan saat diberi tanda menyebarkan ukupan diatas bara. Saat ukupan terbakar dan wewangian naik dari altar, doa penyembah diluar akan menaikan pujian pada Tuhan (cf. Luke 1:10). Itu merupakan simbolik pengalaman memuji yang indah.

Ritual selesai sekarang dan sudah saatnya meninggalkan Tempat Maha Kudus. Tiba-tiba malaikan Tuhan menampakan diri pada Zakaria, berdiri disebelah kanan altar. Kunjungan pribadi malaikan Tuhan jarang sekali dialami dalam sejarah manusia. Dan seperti anda bayangkan, itu suatu pengalaman mengerikan. Tapi malaikan langsung bicara: “Tetapi malaikat itu berkata kepadanya: Jangan takut, hai Zakharia, sebab doamu telah dikabulkan dan Elisabet, isterimu, akan melahirkan seorang anak laki-laki bagimu dan haruslah engkau menamai dia Yohanes. Engkau akan bersukacita dan bergembira, bahkan banyak orang akan bersukacita atas kelahirannya itu” (Luke 1:13, 14). Tuhan bisa melakukan hal yang tidak mungkin, dan itulah yang dilakukanNya saat menjanjikan sesuatu pada Zakaria dan Elizabeth. Dia akan menjadi pendahulu Mesias yang dijanjikan oleh nabi Maleaki (Luke 1:15-17; cf. Mal. 3:1; 4:5, 6).

Semua ini terlalu besar untuk ditangkap Zakaria. Dia sudah berdoa untuk mendapatkan anak, tapi harus mengakui kalau imannya melemah. Sekarang Firman dari Tuhan—terlalu bagus untuk dipercaya. Sebelum dia mendapat kesempatan untuk menyatukan pikirannya, dia sudah menyembur, “Bagaimanakah aku tahu, bahwa hal ini akan terjadi? Sebab aku sudah tua dan isteriku sudah lanjut umurnya” (Luke 1:18). Zakaria adalah orang yang didalam Tuhan, tapi dia seorang manusia, dan dia memiliki kelemahan manusia. Tuhan mengerti kelemahan seperti ini, yaitu iman yang melemah. Dia tidak senang dengan itu, tapi Dia mengerti, dan Dia mendorong dan menguatkan iman itu. Itulah salah satu alasan dia memberikan FirmanNya, dan alasan kenapa Dia memasukan peristiwa sejarah ini dalam FirmanNya. Firman Tuhan menimbulkan iman saat kita merenungkannya dan melakukannya dalam hidup kita. “jadi, iman timbul dari pendengaran, dan pendengaran oleh firman Kristus” (Rom. 10:17).

Zakaria mengenal PL. Dia mengetahui bagaimana Tuhan telah memberikan seorang anak pada Sarah dimasa tuannya. Tapi dia tidak berpikir kalau hal itu bisa terjadi padanya. Bahkan pria yang berpegang pada Firman bisa gagal mengerti hal ini. Tapi Tuhan melakukan kemurahan pada Zakarias untuk menolong dia percaya. Dia memberikannya suatu tanda. “Sesungguhnya engkau akan menjadi bisu dan tidak dapat berkata-kata sampai kepada hari, di mana semuanya ini terjadi, karena engkau tidak percaya akan perkataanku yang akan nyata kebenarannya pada waktunya” (Luke 1:20). Tidak menyenangkan kehilangan suara, dan pendengarannya, dan dia mengalaminya (cf. Luke 1:62). Tapi menurut saya Zakarias tidak terlalu memikirkannya. Ketidakmampuannya bicara dan mendengar merupakan peneguhan Tuhan atas FirmanNya, dan itu bertujuan untuk menguatkan imannya terhadap janji Tuhan.

Saat Zakaria keluar dari tempat Maha Kudus, dia jadi orang yang berbeda. Dia sudah lama jadi manusia dalam Tuhan, tapi pertemuannya dengan malaikat Gabriel menimbulkan kesadaran baru akan kebesaran Tuhan, kepekaan baru akan ketidaklayakannya, dan iman yang kuat. Saat tugas seminggunnya selesai, dia buru-buru pulang dan membagikannya dengan Elizabeth setiap detil hari itu, dan mereka bersukacita bersama dalam anugrah Tuhan.

“Beberapa lama kemudian Elisabet, isterinya, mengandung dan selama lima bulan ia tidak menampakkan diri” (Luke 1:24). Mengandung itu sendiri suatu mujizat. Hal yang tidak mungkin terjadi! Dan Tuhan tetap sama selamanya (cf. Mal. 3:6; Josh. 1:17). Dia bisa menyelesaikan masalah kita, dan Dia menaruh kisah ini dalam Firman untuk membuktikannya dan menguatkan iman kita.

Pengatahuan akan mujizat ini menguatkan iman Maria. Tuhan mengatakan kalau dia akan mengandung seorang anak tanpa hubungan dengan seorang pria. Itu sulit dipercaya. Tapi mendengar pesan malaikat padanya: “Dan sesungguhnya, Elisabet, sanakmu itu, iapun sedang mengandung seorang anak laki-laki pada hari tuanya dan inilah bulan yang keenam bagi dia, yang disebut mandul itu. Sebab bagi Allah tidak ada yang mustahil!” (Luke 1:36, 37). Dan terhadap berita luar biasa ini, Maria menjawab, “Sesungguhnya aku ini adalah hamba Tuhan; jadilah padaku menurut perkataanmu itu” (Luke 1:38).

Sebagian orang akan protes, “Tapi anda tidak mengerti. Situasi saya benar-benar tidak memungkinkan.” “Suami saya tidak pernah berubah.” Istri saya tidak pernah belajar.” “Kita tidak pernah keluar dari hutang.” “Saya tidak akan bisa baik lagi.” “Kekasih saya yang belum percaya tidak akan mengenal Kristus.” “Pekerjaan ini tidak pernah berkembang.” Dengar Firman Tuhan: “Karena bagi Tuhan tidak ada yang mustahil.. Taati Dia. Kemudian terus berjalan..

Peristiwa besar berikutnya, dalam hidup pasanagan ini adalah mendapat kunjungan Maria, sepupu muda Elizabeth dari Nazareth, dan melalui kunjungan itu kita mendapat pengertian tentang karakter Elizabeth. Saat itu kandungannya sudah 6 bulan, dan saat Maria menyapanya, bayi dalam kandungannya melompak seperti diarahkan Roh Kudus untuk menyalami Anak Allah. Kemudian, diiluminasikan oleh Roh yang sama, dia menyatakan perkataan ini: “Diberkatilah engkau di antara semua perempuan dan diberkatilah buah rahimmu. Siapakah aku ini sampai ibu Tuhanku datang mengunjungi aku?” (Luke 1:42, 43).

Perkataannya tidak umum dengan beberapa alasan. Satu, itu menunjukan dia mengerti siapa anak yang dikandung Maria. Dia menyebut Maria “ibu dari Tuhanku.” “Tuhanku” adalah sebutan mesias yang diambil dari Psalm 110:1: “Demikianlah firman TUHAN kepada tuanku ....” Dia mengakuinya melalui pernyataan ilahi bahwa Maria akan melahirkan Mesias, Anak Allah. Tapi yang lebih luar biasa lagi prilakunya terhadap Maria. Walau dia tahu dirinya juga diberi kehormatan oleh Tuhan, dia sadar kalau Maria lebih diberi kehormatan; kenyataannya, lebih diberi kehormatan dari semua wanita dibumi. Dia bahkan tidak merasa layak dikunjungi Maria. Kerendahan hati seperti itu merupakan kualitas yang jarang. Dan walau dia lebih tua dari Maria dan memiliki hak untuk bertanya, “Tuhan, kenapa tidak memilih aku?” tidak ada catatan rasa iri atau mementingkan diri sendiri dalam rohnya. Kita mengerti kenapa Tuhan memberkatinya sangat limpah.

Iri hati merupakan emosi yang merusak. Itu menggerogoti jiwa kita, menciptakan suasana bermusuhan dalam rumah kita, dan menghancurkan hubungan kita dengan teman kita. Tapi tidak ada iri hari dalam hidup orang yang percaya dan berharap pada Tuhan, seperti Elizabeth. Jika kita percaya bahwa Tuhan melakukan yang terbaik dalam hidup kita, dan jika kita berharap Dia mengatasi masalah yang tidak mungkin menurut waktu dan caraNya, bagaimana kita bisa iri pada orang lain? Kita tahu bahwa kita adalah alat yang tidak layak yang dipilih Tuhan untuk memenuhi tujuannya bagi kita. Kita tahu bahwa Dia sedang berkarya dalam hidup kita untuk mencapai tujuanNya, dan tidak ada panggilan yang lebih tinggi dari melakukan kehendakNya. Keyakinan itu memberi kita kepuasan dalam diri, dan kepuasan menghilangkan iri hati. Belajar untuk percaya kalau Tuhan akan menghilangkan iri hati dari hidup kita.

Hal terakhir yang kita lihat dari hidup Zakaria dan Elizabeth adalah anak mujizat mereka. Saya yakin mereka menuangkan PL selama bulan-bulan kehamilan Elizabeth, membaca setiap bagian yang bisa memberikan mereka hal tentang Mesias dan pendahulunya. Bangsa ini sudah menantikan hal ini selama berabad-abad, dan Tuhan telah memilih pasangan ini untuk peristiwa itu. Perasaan mereka meluap setiap hari, sampai “genaplah bulannya bagi Elisabet untuk bersalin dan iapun melahirkan seorang anak laki-laki” (Luke 1:57).

Seperti kebiasaan masa itu, saudara dan tetangga mereka berkumpul bersukacita atas peristiwa luar biasa ini, dan itu berlangsung 8 hari, sampai saat anak mereka disunat, mereka mencoba menamainya Zakaria sesuai nama ayahnya. Tapi Elizabeth protes, “Jangan, ia harus dinamai Yohanes” (Luke 1:60). Kenapa Yohanes? Ini belum pernah didengar. Tidak ada yang bernama seperti itu dalam keluarga mereka. Mungkin ini hanya canda Elizabeth. Mereka lebih baik bertanya kepada Zakaria. “Lalu mereka memberi isyarat kepada bapanya untuk bertanya nama apa yang hendak diberikannya kepada anaknya itu. Ia meminta batu tulis, lalu menuliskan kata-kata ini: Namanya adalah Yohanes. Dan merekapun heran semuanya. Dan seketika itu juga terbukalah mulutnya dan terlepaslah lidahnya, lalu ia berkata-kata dan memuji Allah” (Luke 1:62-64).

Yohanes berarti “Tuhan yang Pemurah.” Dan Dia begitu murah hati pada mereka. Mereka hanya meminta anak untuk meneruskan nama keluarga mereka serta keimaman mereka. Tuhan memberikan mereka pendahulu Mesias, anak yang atasnya tangan Tuhan nyata sejak awal hidupnya, seorang manusia yang Yesus Kristus sebut sebagai yang terbesar diantara manusia (cf. Matt. 11:11). Tuhan tidak selalu memberi sesuai permintaan kita, dan jelas tidak menurut kelayakan kita. Dia memberi menurut kekayaan kasih karuniaNya. Dia melakukannya “melakukan jauh lebih banyak dari pada yang kita doakan atau pikirkan” (Eph. 3:20). Dan dia senang melakukannya pada orang yang percaya dan taat padaNya, bahkan dalam situasi yang tidak memungkinkan.

Keagungan kasih karunia Tuhan membuat Zakaria menaikan lagu pujian pada Tuhan, Dia dipenuhi dengan Roh Kudus dan berkata, “Terpujilah Tuhan, Allah Israel, sebab Ia melawat umat-Nya dan membawa kelepasan baginya, Ia menumbuhkan sebuah tanduk keselamatan bagi kita di dalam keturunan Daud, hamba-Nya itu, --seperti yang telah difirmankan-Nya sejak purbakala oleh mulut nabi-nabi-Nya yang kudus-- untuk melepaskan kita dari musuh-musuh kita dan dari tangan semua orang yang membenci kita, untuk menunjukkan rahmat-Nya kepada nenek moyang kita dan mengingat akan perjanjian-Nya yang kudus, yaitu sumpah yang diucapkan-Nya kepada Abraham, bapa leluhur kita, bahwa Ia mengaruniai kita” (Luke 1:68-73). Sumpah yang diberikan Tuhan pada Abraham menunjuk pada Perjanjian dengan Abraham dimana Tuhan berjanji memberkati keturunan Abraham dan melalui mereka Dia memberkati seluruh bumi. Sebagian besar Yahudi mulai berpikir kalau Tuhan sudah melupakan janjiNya, dimana situasi bangsa mereka tidak ada harapan. Tapi Zakaria dan Elizabeth tidak berpikir seperti itu. Nama mereka berdua merupakan pengingat bahwa “Yehova ingat akan janjiNya.” Dan pengalaman luar biasa mereka membuktikan kebenaran itu. Tuhan tidak hanya ingat akan janjiNya, Dia memenuhinya!

Mungkin anda pikir Tuhan telah melupakan anda melihat situasi anda yang tidak ada harapan. Tidak. Dia bisa melakukan hal yang tidak mungkin setiap hari pada setiap orang, dan anda mungkin yang berikutnya. Jadi jangan marah-marah karena beban itu. Percayalah. Tetap setia hidup bagiNya dan dengan sabar menantikan karyaNya, seperti Zakaria dan Elizabeth. Walau nama mereka tidak disebut lagi setelah kelahiran Yohanes, mereka sudah meninggalkan kita warisan iman atas janji Tuhan, Tuhan atas hal-hal yang tidak mungkin.

Mari Kita Bicara

    1. Zacharias dan Elizabeth “benar dihadapan Tuhan.” Apa yang menghalangi anda mengaplikasikan pernyataan itu dalam hidup anda? Apakah anda berjanji dengan Tuhan untuk berhasil melakukannya?

    2. Menurut anda kenapa sangat sedikit suami Kristen yang mengambil kepemimpinan rohani dalam keluarga? Bagaimana seorang istri mendukung suami terhadap hal ini tanpa mengganggu?

    3. Apakah anda menemukan iri hari dalam hidup anda? Jika demikian, coba hitung hal tertentu yang Tuhan lakukan pada anda.

    4. Janji Tuhan apa yang sulit anda percaya? Ingatlah itu, renungkan, dan minta hal itu dari Tuhan.

    5. Apakah ada situasi dalam hidup anda yang kelihatannya tidak mungkin? Serahkan itu pada Tuhan dan doakan bersama serta minta kesabaran untuk menghidupinya sampai Dia mengubahnya.

Related Topics: Christian Home, Marriage

11. Apakah Engkau Mempercayaiku?— Kisah Yusuf dan Maria

Nazareth merupakan kota kecil yang indah terletak dalam lembah didataran subur Esdraelon. Kotanya terdiri dari beberapa rumah batu putih yang kecil, sebuah sinagoge dibangun dibukit tertinggi, dan sebuah pasar dijalan masuk desa. Saat era PB dimulai, populasinya lebih dari 1.000 orang, kebanyakan petani, tapi ada juga beberapa pengrajin yang tokonya bisa ditemukan dalam pasar—tukang pot, tukang anyam, tukang besi, dan tukang kayu. Peristiwa paling bersejarah dalam sejarah manusia melibatkan orang-orang yang berhubungan dengan toko kayu di Nazaret.

Tukang kayu itu sendiri, pria yang kuat bernama Yusuf, sedang bertunangan dengan gadis bernama Maria, mungkin masih remaja. Dia seorang gadis yang mendapat anugrah yang besar (“yang dikaruniai,” Luke 1:28). Dia juga orang berdosa seperti kita semua, dan dia mengakui ketidaklayakannya dan butuh keselamatan dari Tuhan (cf. Luke 1:47, 48). Tapi dia berespon secara antusias terhadap tawaran pengampunanNya dan setiap hari bertumbuh dalam anugrah. Dia dikaruniai Tuhan dengan sangat. Dan dia hidup dengan kesadaran akan kehadiran Tuhan dalam hidupnya. Tuhan bersama dengan dia (Luke 1:28). Dia menikmati waktu-waktu persekutuan dengan Tuhan.

Selain pengenalannya yang dalam dengan Tuhan, tetap pertemuan dengan malaikan merupakan pengalaman yang mengejutkan, dan Gabriel berkata: “Jangan takut, hai Maria, sebab engkau beroleh kasih karunia di hadapan Allah. Sesungguhnya engkau akan mengandung dan akan melahirkan seorang anak laki-laki dan hendaklah engkau menamai Dia Yesus. Ia akan menjadi besar dan akan disebut Anak Allah Yang Mahatinggi. Dan Tuhan Allah akan mengaruniakan kepada-Nya takhta Daud, bapa leluhur-Nya, dan Ia akan menjadi raja atas kaum keturunan Yakub sampai selama-lamanya dan Kerajaan-Nya tidak akan berkesudahan” (Luke 1:30-33). Dia bertanya pada malaikat : “Bagaimana hal itu mungkin terjadi, karena aku belum bersuami?” (Luke 1:34). Dan Gabriel menjelaskan fenomena supranatural yang akan terjadi. “Roh Kudus akan turun atasmu dan kuasa Allah Yang Mahatinggi akan menaungi engkau; sebab itu anak yang akan kaulahirkan itu akan disebut kudus, Anak Allah” (Luke 1:35). Itu suatu yang luar biasa, keajaiban yang tiada tanding dalam sejarah manusia, tapi itu hanya bisa terjadi melalui kuasa supernatural dari Tuhan, dan kehamilah Elizabeth yang ajaib dinyatakan dengan pemunculan malaikat. Sekarang keputusan ada pada Maria: keputusan untuk menolak kehendak Tuhan, atau menjadi pelayan yang menyerahkan diri sehingga melaluinya Tuhan bisa menjalankan rencanaNya. Dan keputusan ini berdasar atas kepercayaan. Seperti yang dinyatakan cerita, kita melihat kalau Maria percaya pada Tuhan.

“Betapa suatu kehormatan,” kata anda, “dipilih sebagai ibu dari Mesias. Bagaimana dia bisa menolaknya?” Tunggu sebentar. Anda mengatakan itu karena anda sudah tahu akhir ceritanya, tapi coba meletakan diri anda ditempat Maria. Apakah anda kira orang akan percaya kalau anak ini dikandung dari Roh Kudus? Tidakkah anda pikir orang bisa mengira Maria sedang menutupi petualangannya dengan seorang prajurit Roma? Tempat pemerintahan Roma hanya 4 mil keutara Nazaret di Sepphoris, dan prajurit Roma sering terlihat dijalan Nazaret. Apakah anda tidak berpikir kalau orang lain bisa mencurigai Maria dan Yusuf sudah berhubungan terlalu jauh dan tidak mentaati hukum Tuhan? Dan, apakah tidak ada kemungkinan kalau Maria akan dilempar batu sampai mati karena perzinahan?

Dan bagaimana dengan Yusuf? Dia tahu kalau dia tidak bertanggung jawab atas kondisi Maria. Apa yang harus dikatakannya? Apakah dia tetap mau menikahinya? Apakah Maria mau merelakannya jika dia melakukannya? Dan bagaimana dengan anak itu? Bukankah dia nantinya membawa stigma anak haram diseluruh hidupnya? Dalam waktu yang singkat dengan malaikat, semua mimpi Maria dimasa depan lewat dipikirannya, dan dia melihat semuanya hancur.

Sebuah pertanyaan dalam diri Maria: “Bisakah saya percaya Tuhan mengatasi setiap masalah yang saya hadapi jika saya menyerahkan diri kepada kehendakNya?” Maria telah menikmati kasih karunia Tuhan yang berlimpah. Dia telah menyatakannya dalam hubungan pribadinya dengan Tuhannya. Tapi sekarang Dia memintanya menghadapi pertanyaan terbesar dalam hidup sebagai orang percaya untuk berjalan dalam hubungan denganNya: “Maria, apakah engkau mempercayaiku?”

Maria seorang wanita yang perenung. Dua kali dikatakan dia menyimpan dan merenungkannya dalam hati (cf. Luke 2:19, 51). Tapi dia tidak butuh waktu lama untuk memutuskan hal ini. Dia langsung menjawab, “Sesungguhnya aku ini adalah hamba Tuhan; jadilah padaku menurut perkataanmu itu” (Luke 1:38). Keputusan yang diambilnya adalah tunduk pada kehendak Tuhan dan mempercayakan semua akibat padaNya. Tunduk pada kehendak Tuhan hampir selalu berisiko. Tapi Tuhan berjanji akan mengerjakan semua hal untuk kebaikan, dan kita tidak ada pilihan lain selain percaya jika kita ingin menikmati kedamaian dan kuasaNya.

Keinginan untuk taat pada Tuhan dan percaya padaNya dengan semua akibatnya merupakan betu dasar pernikahan. Setiap pria yang mengabaikan istrinya dan berkumpul dengan temannya, mengejar gaya terbaru, atau memainkan akusisinya yang terbaru. Tapi Tuhan menghendaki suami Kristen untuk meletakan istri diatas semuanya kecuali Kristus dan mengasihinya seperti kasih Kristus pada gererja, mempercayakanNya untuk membuat konsekuansinya lebih memuaskan daripada hobi atau rekreasi apapun. Suasana hati wanita bisa terasa seharian, tapi Tuhan menginginkan istri Kristen untuk tunduk pada suaminya, percaya kalau Tuhan akan memperkaya pernikahannya dan memenuhi hidupnya melaluinya. Tuhan mungkin menanyakan hal yang sama seperti Maria: “Apakah engkau mempercayaiku?”

Percaya pada Tuhan hanyalah permulaan dari pernikahan yang baik. Harus ada kepercayaan diantara mereka, dan tidak ada pria yang diminta mempercayai gadis yang dinikahinya lebih daripada pria dalam kisah ini. Kita kemudian melihat, kepercayaan Yusuf pada Maria. Urutannya disini tidak jelas. Apakah Yusuf sudah tahu atau tidak kehamilan Maria sebelum Maria pergi ke Elizabeth diYudea, tidak terlalu jelas. Tapi setelah Maria kembali 3 bulan kemudia, rahasia ini tidak bisa disembunyikan lagi (cf. Luke 1:56 and Matt. 1:18). Apakah Maria mengatakan pada Yusuf tentang kehamilan ajaib ini? Apakah Yusuf sulit mempercayai cerita Maria walau dia mengasihinya ? atau apakah dia sudah menerimanya? Apakah keputusannya untuk memutuskan pertunangan karena meragukan perkataan Maria, atau apakah karena dia melihat dirinya tidak layak menikahi ibu dari Mesias, atau apakah karena dia pikir Maria harus membesarkan anak dalam Bait? Motivasinya tidak pasti.

Tapi ada satu hal yang pasti. Ada konflik yang berkecamuk dalam jiwa Yusuf, apakah dia mempercayai cerita Maria atau tidak, orang lain dipastikan tidak percaya, dan dia akan hidup dengan gossip tentang istrinya yang tidak setia seumur hidup. Tapi Yusuf pria yang ada dalam Tuhan dan murah hati. Apapun yang diputuskannya akan mencerminkan hikmat dari Tuhan dan pertimbangan atas diri Maria. Dan walau hatinya pecah, dia diam-diam ingin memutuskan hubungan dan menghindarkan Maria dari dipermalukan masyarakat (Matt. 1:19). Setidaknya dia terbuka terhadap arahan Tuhan, dan saat malaikan muncul dia masih sedang memikirkan arah tindakannya, “Yusuf, anak Daud, janganlah engkau takut mengambil Maria sebagai isterimu, sebab anak yang di dalam kandungannya adalah dari Roh Kudus. Ia akan melahirkan anak laki-laki dan engkau akan menamakan Dia Yesus, karena Dialah yang akan menyelamatkan umat-Nya dari dosa mereka” (Matt. 1:20, 21). Ingat malaikat ini lain dari yang muncul didepan Maria, muncul dalam mimpi. Apakah itu suatu mimpi yang didapat dari harapan atau itu benar-benar pesan dari Tuhan? Bagi kita jelas pesan dari Tuhan, karena Alkitab mengatakan itu. Tapi Yusuf tidak mengetahui hal itu. Pertama kali mungkin dia meragukannya. Tapi kepastian yang berkembang mulai menyadarkan dirinya dan kepercayaan memperkukuh pencarian jiwanya. Masalahnya selesai—tidak penting apa kata lidah; Yusuf percaya! “Sesudah bangun dari tidurnya, Yusuf berbuat seperti yang diperintahkan malaikat Tuhan itu kepadanya. Ia mengambil Maria sebagai isterinya, tetapi tidak bersetubuh dengan dia sampai ia melahirkan anaknya laki-laki dan Yusuf menamakan Dia Yesus” (Matt. 1:24, 25). Itu mungkin suatu tindakan percaya terbesar antara pria dan wanita.

Kenyataannya memang, setiap pernikahan adalah hubungan saling percaya. Saat kita berdiri dialtar dan mendengar pasangan kita berjanji setia, kita percaya, Saat kita mendengar janji pasangan kita untuk mengasihi kita disaat baik maupun buruk sampai kematian memisahkan kita, kita percaya. Dan karena kita percaya, kita membuat janji yang sama sebagai balasannya dan menyerahkan diri kita untuk hubungan seumur hidup. Saling percaya merupakan batu dasar lainnya dalam pernikahan, dan itu harus bertumbuh dalam waktu.

Percaya berarti mampu menyatakan pada pasangan kita pemikiran dan perasaan kita terdalam, percaya mereka tidak akan berkhianat, percaya mereka akan mengasihi dan menerimanya, karena kejujuran kita. Percaya adalah perasaan tanpa marah atau iri hati saat kita melihat pasangan kita bicara dengan orang lain yang berlawanan jenis. Percaya berarti mempercayai pasangan kita saat mereka mengatakan dari mana atau saat mereka menjelaskan maksud dari perkataan mereka sebelumnya.

Percaya meletakan kita diatas belas kasihan suami atau istri. Itu benar-benar membuat kita rentan, dan kita bisa disakiti dalam keadaan ini! Saat kita benar-benar percaya pada seseorang dan kemudian mengetahui sudah dicurangi, itu membuat kita merasa bodoh dan dipermalukan. Tapi pilihan apa lagi yang kita miliki? Tanpa kepercayaan kita tidak punya hubungan. Jadi minta Tuhan anugrah untuk tetap saling percaya, dan kita percaya Tuhan akan menggunakan kepercayaan kita untuk membuat pasangan kita lebih bisa dipercaya jika diperlukan. Anda bisa lihat, tidak hanya Tuhan yang menanyakan itu, tapi juga pasangan kita, “Apakah engkau mempercayaiku?”

Malaikat Tuhan muncul dihadapan Yusuf dua kali lagi, dan pemunculan itu menunjukan elemen percaya dalam kisah kelahiran ini—Kepercayaan Maria terhadap Yusuf. Yusuf dan Maria telah menyelesaikan perjalanan keBetlehem, dan ujian melahirkan dikandang sekaran sudah sejarah. Hari kedelapan setelah kelahiran Yesus, mereka menyunatNya sesuai hukum. Empat puluh hari setelah kelahiranNya, Maria memberi korban penyucian diBait. Setelah itu kelihatannya mereka menetap di Betlehem, mungkin merencanakan rumah baru mereka. Beberapa waktu sebelum kedatangan orang majus dari Persia untuk menyembah raja yang baru lahir; dan mereka menemukannya dalam rumah, bukan dipalungan seperti kebanyakan cerita kelahiran Yesus dimainkan (Matt. 2:11).

Orang Majus berhenti diYeursalem dan untuk mencari dimana Mesias sudah dilahirkan, dan itu membuat Raja Herodes waspada akan potensi ancaman terhadap tahtanya. Atas kejadian itulah pesan dari malaikat Tuhan datang keYusuf dalam mimpi: “Bangunlah, ambillah Anak itu serta ibu-Nya, larilah ke Mesir dan tinggallah di sana sampai Aku berfirman kepadamu, karena Herodes akan mencari Anak itu untuk membunuh Dia” (Matt. 2:13). Walau saat itu masih malam, Yusuf mengumpulkan barang milik mereka, mengantar Maria dan Yesus pergi keMesir, dan menetap disana sampai kematian Herodes. Ini tidak ada artinya. Maria merupakan figure utama dalam kisah Natal, tapi Yusuf yang mendapat perintah Tuhan. Yusuf adalah kepala keluarga, dan dia diperintahkan untuk melindungi Yesus dari kemarahan Herodes. Maria mempercayai keputusannya.

Tolong, ini bukan liburan kedaerah selatan. Ini merupakan perjalanan sejauh 200 mil dengan kaki atau keledai, melewati gunung, belantara, dan padang dengan seorang bayi dibawa 2 tahun. Kebanyakan ibu bisa menerima ketidaknyamanan yang ada. Saya ragu apakah Maria benar-benar ingin pergi. Jika mereka pergi dari Betlehem, kenapa tidak keNazaret? Bukankah mereka aman disana? Tapi tidak ada indikasi dalam Alkitab kalau Maria meragukan keputusan Yusuf. Dan itu terjadi lagi. Setelah Herodes meninggal, malaikat bicara pada Yusuf diMesir: “Bangunlah, ambillah Anak itu serta ibu-Nya dan berangkatlah ke tanah Israel, karena mereka yang hendak membunuh Anak itu, sudah mati.” (Matt. 2:20). Sekali lagi, Yusuf langsung taat; dan sekali lagi, Maria percaya kalau Yusuf melakukan hal yang benar.

Seperti yang telah kita lihat dalam hidup Abraham dan Sarah, ketaatan istri berarti percaya Tuhan bekerja melalui suaminya melakukan apa yang terbaik baginya. Dan itu termasuk percaya pada keputusannya. Tapi itu tidak begitu sulit kalau istri mengetahui suaminya bertindak untuk kebaikannya dan mentaati arahan Tuhan, seperti Yusuf. Terlihat bahwa Yusuf ingin kembali keBetlehem, tapi takut karena mendengar anak Herodes memerintah menggantikannya. Sekali lagi Tuhan memberikannya arahan, dan dia kembali keNazaret dimana orangtua Maria tinggal (Matt. 2:22, 23). Yusuf membuat keputusannya selaras dengan kehendak Tuhan.

Para pria, kita tidak punya hak meminta istri kita untuk tunduk saat kita semaunya menyatakan pendapat sendiri, menyatakan keinginan egois kita, atau melakukan apa yang baik untuk kita sendiri. Tapi saat kita memiliki kejelasan arah dari Tuhan kalau itu terbaik untuk semua maka kita bisa membagikan semuanya pada istri kita, dan mereka akan tunduk tanpa keraguan. Kita memiliki tanggung jawab mengarahkan mereka kejalur yang Tuhan pilih, bukan kita. Kita harus belajar bertanya pada Tuhan tentang setiap keputusan kita, memberi waktu dalam doa meminta hikmatNya, mencari dalam FirmanNya, prinsip yang bisa membimbing kita, dan menanti kepastian kedamaianNya. Dan jika ada keraguan melakukan kehendak Tuhan, lebih memilih keinginan kita, Dia akan melindungi kita agar tidak membuat keputusan menyakitkan yang akan membawa ketidakbahagiaan dalam keluarga. Kalau itu terjadi maka istri akan dengan bebas mengikuti kepemimpinan kita dengan kepercayaan. Percaya bukan respon yang mudah dan otomatis. Itu butuh dikembangkan, terutama dengan mereka yang dilukai sangat dalam. Kita bisa menolong orang lain membangun kepercayaan yang kuat dalam kita melalui komitmen kita pada kehendak Tuhan. Saat mereka melihat kita berserah padaNya, mereka bisa mempercayai kita.

Mari kita bicara

    1. Coba letakan diri anda ditempat Maria, menghadapi kehamilah ajaib dengan semua akibatnya. Apa yang anda rasakan?

    2. Apakah dalam hidup anda sudah memberikan masa depan dan mimpi anda untuk digunakan sesukaNya? Apakah anda perlu meneguhkan kembali keputusan itu?

    3. Apakah ada bagian dalam hidup anda yang tidak diserahkan pada Tuhan karena takut akan akibatnya? Maukah anda menyerahkan itu padaNya dan minta Dia menolong anda percaya padaNya?

    4. Coba letakan diri anda ditempat Yusuf, menghadapi pernikahan dengan gadis yang mengandung bayi yang katanya dikandung oleh Roh Kudus. Apa perasaan anda?

    5. Biasakah anda memikirkan bagian yang tidak saling percaya dalam hubungan anda dengan orang lain? Bagikan itu dengan mereka secara jujur,tapi baik. Apakah anda merasa bersalah menghianati kepercayaan pasangan anda? Apa yang bisa anda lakukan untuk meningkatkan saling percaya?

    6. Bagi suami: apakah anda pernah merasa bersalah menyatakan pendapat sendiri dan berharap istri tunduk? Apakah anda sudah belajar bertanya pada Tuhan tentang semua keputusan anda?

    7. Apakah anda membantu yang lain membangun kepercayaan yang lebih kuat terhadap anda melalui penyerahan yang lebih kuat pada kehendak Tuhan? Bagaimana anda meningkatkan hal itu?

Related Topics: Christian Home, Marriage

12. Jujurlah— Kisah Ananias dan Safira

“Kami saling mencintai, dan itulah yang penting,” kata pasangan yang sedang jatuh cinta setelah kawin. Tapi mereka menemukan kalau hal itu tidak pernah seperti itu. Tidak ada pasangan Kristen yang berdiri sendiri. Mereka bagian dari unit yang lebih besar disebut Tubuh Kristus (Eph. 1:22, 23), pemilik rumah yang beriman (Gal. 6:10), Rumah Tuhan (Eph. 2:19). Keluarga Tuhan lebih luas dari satu keluarga, dan kita akan belajar kalau hubungan kita terhadap keluarga rohani yang lebih besar ini mempengaruhi hubungan kita dengan suami atau istri. Hal ini tidak pernah lebih jelas dari kisah Ananias dan Saphira.

Mereka hidup dimasa gereja mengalami kemurnian dan kuasa terbesarnya. Pertama, kita melihat keadaaan gereja dalam era kerasulan, “Adapun kumpulan orang yang telah percaya itu, mereka sehati dan sejiwa, dan tidak seorangpun yang berkata, bahwa sesuatu dari kepunyaannya adalah miliknya sendiri, tetapi segala sesuatu adalah kepunyaan mereka bersama” (Acts 4:32). Ini sangat luar biasa. Jumlah orang percaya mungkin sudah 5.000 saat itu, dan mereka satu hati dan jiwa. Hati sering digunakan dalam Alkitab untuk menunjuk bagian manusia yang tidak materi, termasuk roh dan jiwa. Tapi berbeda dari jiwa, mungkin hanya menunjuk pada roh, bagian paling dalam manusia, pusat keberadaannya dimana Tuhan menyatakan diriNya dan tempat dimana Tuhan berdiam. Orang Kristen mula-mula ini saling terikat satu sama lain. Roh mereka bersatu dalam kehidupan Kristus dan kasih Kristus. Mereka tahu kalau mereka semua bersaudara dalam Kristus.

Tapi Alkitab berkata kalau mereka juga satu jiwa, dan itu sesuatu yang berbeda. Jiwa adalah kekeuatan kesadaran hidup dalam manusia, kepribadiannya, terdiri dari pikiran, emosi, dan kehendak. Inilah tingkatan dimana manusia berpikir, merasa, dan membuat pilihan. Ini wilayah pengalaman. Orang Kristen mula-mula tidak hanya satu karena kedudukan mereka dalam Kristus, tapi mereka juga satu dalam pengalaman. Mereka sehati, mereka saling memperhatikan, dan keputusan mereka mencerminkan perhatian mereka. Mereka tidak hanya duduk bersama selama kebaktian, kemudian pulang rumah dan melupakan saudara mereka. Karena jemaat mereka sangat besar, saat mereka bertemu ditempat ibadah, mereka juga berkumpul dalam unit yang lebih kecil dalam rumah untuk lebih saling mengenal, untuk bertumbuh dalam kasih, untuk saling memperhatikan masalah dan melayani kebutuhan (cf. Acts 2:46).

Perhatian kasih mereka begitu dalam sehingga melibatkan dompet mereka, dan itu baru perhatian! Mereka sadar bahwa apapun yang mereka dapat dari Tuhan, diberikan pada mereka bukan untuk digunakan sendiri tapi untuk dibagikan dengan orang percaya lainnya. Tidak ada paksaan. Setiap orang percaya bebesa memiliki harta dan tidak ada yang memandang rendah hal itu. Tapi sebagian besar dari mereka menjual miliknya dan memberikan uang itu pada para rasul untuk dibagikan pada mereka yang, dari semua kemungkinan, kehilangan pekerjaan karena iman mereka. Mereka mengorbankan kenyamanan untuk kebaikan semuanya.

Hasil dari ketidakeogisan ini adalah kuasa dan berkat yang besar diseluruh gereja. “Dan dengan kuasa yang besar rasul-rasul memberi kesaksian tentang kebangkitan Tuhan Yesus dan mereka semua hidup dalam kasih karunia yang melimpah-limpah” (Acts 4:33). Jemaat yang saling memperhatikan merupakan jemaat yang kuat, karena energi dinamis ini merupakan pernyataan kasih Tuhan yang asli. Yesus mengatakan kalau hal ini menjadi tanda muridnya yang sejati (John 13:35), dan dimanapun itu ada, akan menarik orang seperti mata air dipadang gurun.

Itu menarik pasangan bernama Ananias dan Safira. Mereka terhitung diantara yang orang percaya yang kuat. Nama Safira berarti “indah” atau “menyenangkan” nama yang sama diberikan kebatu mulia, Safir. Ananias berarti “Yehova murah hati,” dan Tuhan jelas murah hati padanya. Dia memberikannya istri yang cantik, memberkatinya dengan harta, mengampuni dosanya, dan membawa dia kedalam persekutuan dengan orang yang benar-benar peduli padanya. Seorang pria tidak bisa minta lebih dari itu.

Tapi Ananias ingin lebih, demikian juga Safira. Mereka ingin lebih dari penerimaan; mereka ingin pengakuan. Mereka ingin lebih dari sekedar anggota Tubuh; mereka ingin menjadi anggota Tubuh yang penting. Mereka ingin dipuji manusia. Dan itu membawa kita kepada dosa Ananias dan Safira. Orang percaya yang berdedikasi dan tidak egois sering mendapat pujian dan penghormatan dari orang Kristen yang lain. Jika mereka orang yang benar-benar rohani, tidak akan termotivasi oleh keinginan dipuji manusia, tapi mungkin mereka tetap mendapatkannya. Orang-orang digereja mula-mula yang menjual harta mereka dan memberikan uang kegereja mungkin diterima dengan sangat baik diseluruh jemaat. Barnabas merupakan salah satu yang menyumbangkan semuanya (Acts 4:36, 37). Itu pasti disambut sangat baik. Tidak ada petunjuk kesombongan didadalamnya. Pikirannya hanyalah kebutuhan orang Kristen yang lain dan kemuliaan Tuhan. Tapi pengakuan atasnya ada. Ananias dan Safira melihat hal itu dan menginginkannya, dan disitulah masalah mereka berawal.

Menginginkan pujian manusia sudah merupakan bukti yang cukup kalau motivasi mereka dari kedagingan bukan dari Roh. Tapi itu menjadi lebih jelas bagi kita saat kita belajar bahwa kepastian masa depan mereka ada pada jumlah uang dibank daripada dalam Tuhan. Mereka tidak bisa menanggung apa yang dilakukan orang lain—memberikan seluruhnya pada Tuhan dan sepenuhnya percaya pada kesetiaanNya memenuhi kebutuhan mereka. Mereka harus memiliki uang itu. Dan pernyataan kedagingan yaitu, keinginan dipuji, dan pengangan mereka pada harta, meletakan mereka dalam dilemma. Bagaimana mereka bisa dipuji atas apa yang mereka beri pada jemaat tanpa meletakan semuanya dialtar korban? Mereka akhirnya mendapat solusi. Menipu!

“Ada seorang lain yang bernama Ananias. Ia beserta isterinya Safira menjual sebidang tanah. Dengan setahu isterinya ia menahan sebagian dari hasil penjualan itu dan sebagian lain dibawa dan diletakkannya di depan kaki rasul-rasul” (Acts 5:1, 2). Mereka bekerjasama merencanakan untuk menyimpan sebagian uang dari penjualan milik mereka dalam kotak deposit dan sisanya diberikan pada para rasul. Mereka tidak akan mengatakan kalau mereka memberikan semua uang dari penjualan; mereka membiarkan orang mengira seperti itu. Dan, mereka pasti langsung dikenal sebagai orang percaya yang rohani, mengorbankan diri yang sudah menyerahkan semuanya pada Yesus Kristus.

Apa yang salah dengan rencana mereka? Mereka tidak benar-benar berbohong kan? Mereka hanya memberikan uang dan tidak berkata apa-apa tentang persentase yang diberikan. Bukankah mereka tidak tahan dengan apa kata orang? Tapi mereka bisa. Petrus, melalui pengertian dari Tuhan, membuka rencana mereka sebagai rencana dari Setan dan menyebutnya berbohong pada Roh (Acts 5:3). Dia menjelaskan bahwa mereka tidak diharuskan menjual milik mereka. Dan bahkan setelah mereka menjualnya, mereka tidak diharuskan memberikan seluruhnya kegereja. Tapi mereka diharuskan untuk jujur (Acts 5:4). Dosa utama dari Ananias dan Safira adalah ketidak jujuran, penipuan, berpura-pura, memberikan kesan yang salah tentang diri mereka, menunjukan kerohanian yang lebih besar dari sebenarnya, membiarkan orang lain berpikir lebih dari yang sebenarnya. Mereka lebih tertarik dalam apa yang kelihatan dari pada yang sebenarnya. Petrus berkata, “Engkau bukan mendustai manusia, tetapi mendustai Allah” (Acts 5:4).

Pernakah anda bertanya hubungan seperti apa yang terjadi antara Ananias dan Safira? Walau mereka menunjukan kebersamaan yang hebat dalam perencanaan penipuan mereka, kebohongan mereka pasti mempengaruhi perkawinan mereka. Saat bagi kita penampakan luar lebih penting dari kenyataan, orang-orang yang hidup dengan kita biasanya menderita karena itu. Kita dengan cermat menutupi kebanyakan kedagingan kita dihadapan yang lain, tapi menyimpannya dibelakang keluarga kita, kita cenderung menggantung semua itu—semua kemarahan, sifat, ketidakbaikan dan tidak peka, tuntutan egois, kesombongan, dan kekanakan. Dan sebagai hasilnya, banyak keluarga Kristen diwarnai dengan perselisihan dan pertengkaran. Tapi saat orang Kristen lain yang mungkin bisa menolong kita bertanya tentang keluarga, kita langsung menjawab, “Oh, baik-baik saja. Kita semakin baik dari sebelumnya.” Dan kita menutupi kebohongan kita dengan alasan semua yang terjadi dalam keluarga merupakan hal pribadi. Tapi kebohongan meningkatkan beban rasa bersalah, dan rasa bersalah membawa kita lebih mempertahankan diri dan terganggu, dan rasa terganggu menghasilkan lebih banyak ketidakcocokan dalam keluarga. Itu merupakan salah satu jebakan favorit setan.

Keinginan daging untuk dipuji dan jadi yang utama seperti ditunjukan Ananias dan Safira bisa mempengaruhi hubungan pernikahan. Itu menyebabkan setiap pasangan mencari kepentingannya sendiri dalam hubungan itu. Dia memberi untuk mendapat balasan, dan dia biasanya menghitung apa yang sudah didapatnya. Jika dia pikir bertemu dengan jalan buntu, dia akan bertengkar dan mengeluh sampai mendapat apa yang menurutnya dia layak dapatkan. Setiap pasangan terus menghitung siapa yang memberi paling banyak, mendapat perhatian paling banyak, yang paling banyak mendapat pujian, yang paling banyak salah, atau hal-hal lainnya. Kebutuhan setiap pasangan untuk lebih baik dari pasangannya menyebakan mereka menyembunyikan kepribadian mereka yang sebenarnya, dan itu membawa dia lebih kedalam kemunafikan.

Marilah kita jujur. Marilah kita menyerahkan diri kita sepenuhnya kepada kejujuran dan transparansi. Itulah satu-satunya cara menghancurkan jebakan iblis. Saat kita mengakui perasaan dan motivasi kita yang sebenarnya pada orang lain, saat kita mengakui kesalahan yang sebenarnya dan minta orang lain mendoakan kita, itu menyediakan pertolongan untuk meminta kuasa Tuhan mengubahnya. Kita tahu bahwa suatu hari orang itu akan bertanya apa yang terjadi dan kita harus mengatakan dengan jujur. Kita ingin siap ketika waktu itu datang, karena dengan kejujuran, kita akan lebih memperhatikan kehormatan Tuhan dan kesaksian atas gereja Kristus. Jadi kita harus mengijinkan Roh Yesus Kristus untuk membawa kita lebih serupa denganNya. Maka kita mampu berhenti bermain-main dengan kebohongan. Kita akan jadi yang sebenarnya!

Para suami dan istri bisa mulai jujur. Mereka bisa mengakui satu sama lain apa yang ada didalam mereka, kemudian saling menguatkan dan mendoakan kelemahan masing-masing. Mereka juga perlu jujur dengan Tuhan. Jika prilaku mereka salah, mereka harus mengakuinya secara terbuka pada Tuhan dan menolak untuk beralasan. Hanya dengan itu mereka mampu bertumbuh secara rohani. Ananias dan Safira bekerjasama menyetujui rencana jahat itu, tapi mereka tidak pernah mengakui dosanya kepada yang lain dan Tuhan. Saat seorang suami dan istri bekerjasama dalam menipu, itu akan menghancurkan mereka.

Akhirnya kita melihat pada, pentingnya pendisiplinan mereka. Petrus tidak meminta penghukuman dari surga. Dia hanya membuka kebohongan Ananias melalui pengertian dari Tuhan. “Ketika mendengar perkataan itu rebahlah Ananias dan putuslah nyawanya” (Acts 5:5). Itu merupakan tangan disiplin Tuhan. “Lalu datanglah beberapa orang muda; mereka mengapani mayat itu, mengusungnya ke luar dan pergi menguburnya” (Acts 5:6). Kita tidak tahu bagaimana mereka bisa mengubur Ananias tanpa diketahui Safira, tapi tubuh orang mati harus dikubur secepatnya pada masa itu dan mungkin itulah sebabnya mereka tidak bisa menemukan Safira saat itu. Dia mungkin sedang keluar belanja, menghabiskan uang yang sudah disalahgunakan.

Tiga jam kemudian dia datang mencari suaminya, tidak sadar apa yang terjadi. Petrus memberikannya kesempatan untuk jujur. “Katakanlah kepadaku, dengan harga sekiankah tanah itu kamu jual? Jawab perempuan itu: Betul sekian” (Acts 5:8). Dan Petrus menyatakan bahwa dia akan mengalami hal yang sama seperti Ananias.

Kita ciut melihat gambaran pendisiplinan ilahi ini. Kita mungkin merasa Tuhan berlebihan terhadap hal ini. Kenapa Dia melakukannya? Dia kelihatan tidak berlaku seperti itu sekarang. Dan kita bisa bersyukur untuk itu! Tapi masa itu berbeda. Itu adalah masa pembentukan gereja. Sampai masa itu tidak ada hal yang berlebihan, dan Tuhan melakukan itu agar dilihat gereja. Dari kejadian itu, Tuhan ingin semua mengetahui betapa Dia membenci kebohongan, dan Dia ingin semua mengetahuinya sepanjang masa. Itulah alasan Dia meletakan kisah ini dalam FirmanNya.

Kerohanian yang palsu sangat menular. Itu menyebar. Saat seorang Kristen meliha orang Kristen lain terbawa, dia menemukan lebih mudah mencobanya sendiri. Dan setiap anggota yang berada dibawa kuasa kedagingan daripada Roh, dan setiap orang yang hidup untuk dipuji manusia daripada kemuliaan Tuhan, maka efektifitas gereja sangat dikurangi. Jika Tuhan mengijinkan Ananias dan Safira melanjutkan kebohongan mereka, itu akan menghancurkan kesaksian gereja mula-mula. Dia harus bertindak tegas.

Sayangnya, waktu telah melemahkan kemurnian gereja, dan kita semakin jauh dari keunikan masa kerasulan, kita bahkan sulit mengenali kepura-puraan kita. Kita mengerti kemunafikan adalah usaha untuk menipu seperti Ananias dan Safira, dan kita mungkin tidak secara sadar melakukannya. Kita mungkin hanya jatuh pada kebiasaan melindungi nama baik, menutupi kedagingan kita, menjaga agar orang lain tidak mengetahui apa yang terjadi dalam hati dan keluarga kita. Itu lebih mudah daripada menyerahkan diri kita sepenuhnya pada Kristus dan membiarkan Dia hidup melalui kita dan membuat perubahan yang diinginkanNya. Bentuk kemunafikan seperti ini menjadi cara hidup gereja Yesus Kristus masa kita, dan mungkin itulah alasan kita tidak bisa memberi dampak bagi masyarakat kita yang sudah tidak dalam Tuhan.

Suatu pertanyaan berkepanjangan dalam pikiran kita setelah melihat hidup Ananias dan Safira. Apa yang lebih penting bagi kita—menjaga agar terlihat rohani, atau dengan murni ingin menjadi seperti apa yang Tuhan kehendaki? Membangung penampakan luar saja membawa kematian—kematian pertumbuhan rohani, kematian dalam keluarga Tuhan, dan kematian pertumbuhan hubungan dengan pasangan hidup, sebagai suami atau istri. Tapi Roh Tuhan bisa menggunakan keterbukaan, untuk menghasilkan kita hidup Kristus, dan itu berarti hidup berkelimpahan, sukacita, dan berkat yang berlimpah.

Mari kita bicara

    1. Bagaimana Ananias dan Safira bisa menghindari perangkap penipuan, agar tidak jatuh??

    2. Apa yang paling sering disembunyikan orang Kristen dari orang percaya lain?

    3. Apakah ada hal yang anda setujui bersama tapi tidak benar dihadapan Tuhan? Apa yang Tuhan inginkah anda perbuat terhadap hal itu?

    4. Hal apa yang paling sering disembunyikan istri dan suami dari pasangannya?

    5. Apa resiko suami dan istri saling terbuka?

    6. Seberapa baik anda bisa didekati? Tanyakan pasangan anda, mudah atau tidak jujur pada anda. Kenapa atau kenapa tidak ??

    7. Apakah ada tanda anda berusaha bersaing untuk lebih tinggi dalam hubungan anda? Bagaimana anda menghindari kecenderungan ini?

Related Topics: Christian Home, Marriage, Finance

13. Saling Membantu— Kisah Aquila dan Priskila

Dalam tahun 52 A.D. Kaisar Roma Claudius mengeluarkan perintah mengeluarkan semua orang Yahudi dari kota Roma. Kelihatannya, dari sejarawan Roma, mereka menyiksa orang Kristen dan menyebabkan kekacauan dalam kota. Claudius hanya sedikit perhatian pada alasan masalah itu, dan lebih lagi pada siapa yang salah. Dia tahu mereka Yahudi, dan itu sudah cukup; jadi semua orang Yahudi dikeluarkan dari Roma, baik yang bersalah dan yang benar.

Pada saat itulah seorang Yahudi bernama Aquila, yang dulu pindah keRoma dari Pontus melalui laut hitam, mengepak barangnya, mengucapkan selamat tinggal pada teman-temannya, dan pergi keKorintus. Bersama dengan istrinya yang setia, Priskila. Kita tidak bisa memastikan apakah istrinya Yahudi atau Roma, demikian juga apakah mereka sudah Kristen atau belum saat itu. Tapi satu hal kita tahu—mereka bersama-sama. Kenyataannya, mereka selalu bersama-sama. Nama mereka selalu disebutkan bersamaan.

Satu sisi, mereka melakukan pekerjaan bersama-sama. “mereka sama-sama tukang kemah” (Acts 18:3). Setiap anak Yahudi dalam PB diajarkan satu jenis perdagangan. Karena tenda merupakan bagian penting dalam hidup orang Ibrani, orangtua Akuila memilih mengajarkan anak mereka cara membuat tenda sebagai cara menghidupi dirinya. Tenda mereka dibuat dari kulit kambing yang harus dipotong seorang ahli dan dijahit dengan tepat. Akuila mendapatkan keahlian itu dan kemudian mengajarkan itu pada istrinya, dan dia dengan senang membantu suaminya dalam pekerjaan itu.

Tidak setiap suami dan istri bisa bekerja sama seperti ini. Itu membutuhkan hubungan yang dewasa agar bisa bekerja sama dibawah tekanan pekerjaan. Tapi itulah hubungan yang terdapat pada Akuila dan Priskuila. Mereka tidak hanya pasangan yang saling mengasihi tapi teman baik dan rekan bisnis. Mereka bersedia saling memberi lebih dari yang mereka dapat. Mereka harus mampu menerima usulan yang diberikan. Mereka menikmati kebersamaan dan bekerja bersama. Mereka tidak terpisahkan, dan mereka setara.

Jadi, saat mereka tiba diKorintus, mereka mencari pasaran untuk membuka toko tenda, dan kemudian membuka usaha pembuatan tenda. Waktunya jelas dari Tuhan, karena tidak lama setelah mereka menetap sebagai toko tenda, orang Yahudi lain yang juga pembuat tenda baru datang dari perjalanan penginjilannya diAtena, yaitu Rasul Paulus. Kapanpun dia masuk kekota yang baru, dia akan mencari pasar untuk kesempatan bicara tentang Yesus, mencari petunjuk arahan Tuhan untuk pelayanan berikut, dan tentu bekerja untuk menunjang pelayanannya. Merupakan hal yang tidak bisa dihindari kalau dia ikut toko tenda milik Akuila dan Priskuila. Alkitab mengisahkan seperti ini: “Kemudian Paulus meninggalkan Atena, lalu pergi ke Korintus. Di Korintus ia berjumpa dengan seorang Yahudi bernama Akwila, yang berasal dari Pontus. Ia baru datang dari Italia dengan Priskila, isterinya, karena kaisar Klaudius telah memerintahkan, supaya semua orang Yahudi meninggalkan Roma. Paulus singgah ke rumah mereka. Dan karena mereka melakukan pekerjaan yang sama, ia tinggal bersama-sama dengan mereka. Mereka bekerja bersama-sama, karena mereka sama-sama tukang kemah” (Acts 18:1-3).

Keakraban mereka sangat dekat, dan persahabatan yang dalam dan berlangsung lama dimulai hari itu. Paulus bekerja ditoko mereka, dan hidup bersama mereka selama dia tinggal diKorintus. Jika mereka belum mengenal Kristus sebelum ini, mereka pasti mengenalnya sekarang, karena tidak ada yang tinggal dengan Paulus tanpa tertular kasihnya pada Juruselamatnya. Mereka hidup bersama-sama, bekerja bersama-sama, dan menderita pengusiran bersama-sama, dan juga mengenal Kristus bersama-sama, dan itulah yang membuat pernikahan mereka lengkap. Sekarang mereka satu dalam Kristus, dan kasihNya membuat pernikahan mereka lebih baik lagi. Itulah yang dibutuhkan pernikahan anda. Jika anda berdua belum meletakan iman anda pada Kristus yang berkorban bagi dosa anda, pernikahan anda tidak bisa jadi lengkap. Kesatuan sejati hanya ditemukan dalam Kristus.

Sejak Akuila dan Priskuila bertemu Juruselamat, mereka bertumbuh dalam Firman bersama. Jelas mereka pergi dengan Paulus ke sinagoge setiap hari Sabat ketika dia berkotbah pada orang Yahudi dan Yunani agar mereka percaya pada Kristus untuk selamat (Acts 18:4). Tidak setiap orang menerima kesaksian ini. Sebagian menolak dan menghujat. Jadi, dia mengundurkan diri dari sinagoge dan mulai mengajar dalam rumah Titus Yustus dirumah sebelah. Dan Tuhan memberkati pelayanannya. Bahkan kepala sinagoge jadi mengenal Kristus. “Maka tinggallah Paulus di situ selama satu tahun enam bulan dan ia mengajarkan firman Allah di tengah-tengah mereka” (Acts 18:11). Pikirkan ini, 18 bulan belajar Alkitab secara intensif oleh pengajar Alkitab terbesar dimasa gereja mula-mula. Betapa pesat pertumbuhan Akuila dan Priskila!

Dan setelah pelajaran berakhir, mereka pulang kerumah dan duduk membicarakan tentang Tuhan dan FirmanNya.

Mereka bertumbuh mengasihi Firman Tuhan. Dan walau mereka bekerja keras ditoko, membuat dan memperbaiki tenda, memelihara keluarga dan memperhatikan tamunya, mereka selalu meluangkan waktu untuk mempelajari Alkitab secara serius. Membagikan Firman untuk memperkuat kasih mereka dan kebersamaan mereka.

Inilah hal yang kurang dalam pernikahan Kristen. Para suami dan istri perlu mempelajari Firman bersama-sama. Itu tidak sulit dilakukan dalam keluarga pendeta. Saat saya menyiapkan kothbah, saya sering membicarakannya dengan istri saya tentang hal itu dan mendapatkan pendapatnya tentang penyelidikan saya. Jika dia menyiapkan suatu pelajaran, dia akan meminta pertolongan untuk mengerti ayat tertentu, dan kita melakukannya bersama. Mengajar sekolah Minggu dan berbagi persiapan masing-masing merupakan cara yang abik untuk memulainya. Membaca dan mendiskusikan Alkitab bersama akan mengijinkan Tuhan berbicara dalam hidup kita. Bagaimanapun kita menggunakannya, Firman Tuhan merupakan hal yang diperlukan untuk memperkaya hubungan kita masing-masing.

Peristiwa selanjutnya menyatakan betapa Akuila dan priskila telah belajar Firman Tuhan. Saat Paulus meninggalkan Korintus ke Efesus, mereka menemaninya, dan Paulus meninggalkan mereka menuju keAntiokia (Acts 18:18-22). Perpindahan merupakan suatu yang penting, karena saat Paulus sedang tidak ada “Sementara itu datanglah ke Efesus seorang Yahudi bernama Apolos, yang berasal dari Aleksandria. Ia seorang yang fasih berbicara dan sangat mahir dalam soal-soal Kitab Suci. Ia telah menerima pengajaran dalam Jalan Tuhan. Dengan bersemangat ia berbicara dan dengan teliti ia mengajar tentang Yesus, tetapi ia hanya mengetahui baptisan Yohanes. Ia mulai mengajar dengan berani di rumah ibadat” (Acts 18:24-26).

Akuila dan Priskila mendengar dia dan terkesan dengan ketulusannya, kasihnya pada Tuhan, pengetahuannya tentang PL, dan kemampuan bicaranya. Dia bisa digunakan untuk melayani Kristus, tapi pesannya kurang. Semua yang diketahui selain PL adalah tentang pesan Yohanes Pembaptis, yang hanyalah penantian Mesias. “Tetapi setelah Priskila dan Akwila mendengarnya, mereka membawa dia ke rumah mereka dan dengan teliti menjelaskan kepadanya Jalan Allah” (Acts 18:26). Mereka mengajar dengan kasih tentang hidup dan pelayanan Yesus Kristus dibumi, kematiannya sebagai pengganti dosa kita di Kalvary, kebangkitannya dan kenaikannya kesurga, perlunya percaya secara pribadi pada karya keselamatanNya, kedatangan Roh Kudus dihari Pentakosta, dan kelahiran baru, dan pengajaran PB lainnya.

Akuila dan Priskila mungkin bukan pembicara umu, tapi mereka pelajar Firman yang tekun, dan mereka senang membagikannya dengan yang lain. Mereka bahkan mau memberikan waktu yang dibutuhkan oleh orang muda ini, untuk diperhatikan kerohanian dan menuangkan hal tentang Kristus dalam hidupnya. Apollos memiliki pemikiran yang tajam dan cepat mengerti. Dia menyerap kebenaran yang mereka ajarkan dan membuat itu jadi bagian dalam pelayanannya. Dan sebagai hasil pertemuannya dengan Akuila dan Priskuila, dia menjadi pelayan Tuhan yang efektif dan bagi beberapa orang di Korintus menempatkannya setara dengan Petrus dan Paulus (1 Cor. 1:12).

Sebagian dari kita tidak akan pernah jadi pengkhotbah yang hebat, tapi kita bisa jari pelajar Firman yang setia, dan keluarga kita bisa terbukan bagi hati yang lapar akan Firman. Kita bisa mendapat keistimewaan membesarkan orang muda seperti Apollos yang kemudian hari berdampak besar bagi pelayanan Yesus Kristus.

Akuila dan Priskila tidak hanya melakukan pekerjaan bersama-sama dan bertumbuh dalam Firman bersama, tapi mereka juga melayani Tuhan bersama-sama. Kita mengetahui itu dari apa yang kita bacam tapi ada satu tingkatan pelayanan Kristen yang butuh diperhatikan. Saat Paulus meninggalkan Antiokia dalam perjalanan misinya yang ketiga, dia menjelajah Asia Kecil melalui darat dan kembali ke Efesus, diaman dia tinggal memberitakan Firman Tuhan sekitar 3 tahun (cf. Acts 26:31). Selama masa itu, dia menulis surat pertamanya kepada jemaat Korintus dan berkata, “Salam kepadamu dari Jemaat-jemaat di Asia Kecil. Akwila, Priskila dan Jemaat di rumah mereka menyampaikan berlimpah-limpah salam kepadamu” (1 Cor. 16:19).

Saat mereka baru memulai usaha diKorintus, rumah mereka mungkin tidak cukup besar untuk menampung semua orang Kristen, jadi digunakan rumah Titus Yustus. Tapi kelihatannya Tuhan memberkati mereka secara materi, dan mereka menggunakan keuangan mereka diEfesus untuk kemulaiaanNya. Rumah mereka menjadi tempat pertemua bagi gereja Efesus.

Dan itu bukan terakhir kali rumah mereka digunakan untuk itu. Saat Paulus meninggalkan Efesus ke Yunani, rupanya mereka percaya Tuhan menuntun mereka untuk kembali ke Roma. Claudius sekarang sudah mati, jadi perpindahan itu aman, dan Roma jelas membutuhkan kesaksian Injil. Jadi mereka langsung berangkat! Paulus menulis surat Romanya dari Yunani diperjalanan misi ketiga, dan dia berkata, “Sampaikan salam kepada Priskila dan Akwila, teman-teman sekerjaku dalam Kristus Yesus. Mereka telah mempertaruhkan nyawanya untuk hidupku. Kepada mereka bukan aku saja yang berterima kasih, tetapi juga semua jemaat bukan Yahudi. Salam juga kepada jemaat di rumah mereka. Salam kepada Epenetus, saudara yang kukasihi, yang adalah buah pertama dari daerah Asia untuk Kristus” (Rom. 16:3-5). Mereka belum lama diRoma, sudah mengadakan pertemuan gereja dirumah mereka. Gereja dalam PB tidak mampu membeli tanah dan bangunan, juga tidak bijak kalaupun mereka mampu, melihat tekanan dan penyiksaan terhadap mereka. Mereka berkumpul dirumah. Dan rumah Akuila dan Priskuila selalu terbuka bagi orang yang ingin belajar lebih banyak tentang Kristus, dan bagi orang Kristen yang ingin bertumbuh dalam Firman.

Walau kita memiliki gedung gereja, rumah tidak bisa digantikan sebagai pusat penginjilan dan pemupukan rohani dalam komunitas. Sebagian orang Kristen melakukan makan malam penginjilan, dimana mereka mengundang teman yang belum percaya untuk mendengar kesaksian pribadi. Sebagian wanita menggunakan saat minum kopi sebagai kesempatan menginjili, membangun persahabatan dengan tetangga dan membagikan Kristus dengan mereka dimeja makan. Kelas Alkitab rumah bisa menjadi alat yang baik untuk menjangkau yang hilang atau membuat orang percaya lebih bertumbuh dalam Firman. Orang muda sangat diuntungkan oleh orang dewasa yang membuka rumahnya untuk kelompok pemuda. Kemungkinan menggunakan rumah kita untuk melayani Tuhan tidak terbatas. Ini bisa menjadi hal baik untuk dibicarakan oleh suami dan istri dan mendoakannya bersama.

Ada pernyataan singkat dalam sala diKitab Roma yang tidak bisa kita lewatkan: “Mereka telah mempertaruhkan nyawanya untuk hidupku. Kepada mereka bukan aku saja yang berterima kasih, tetapi juga semua jemaat bukan Yahudi.” Kita tidak tahu siapa yang Paulus maksudkan, atau kapan itu terjadi, tapi kemungkinan Akuila dan Priskuila yang mempertaruhkan nyawa mereka untuk menyelamatkan Paulus. Dan untuk itu kita bersyukur pada Tuhan. Pengetahuan kita akan kebenaran ilahi tidak akan lengkap tanpa surat yang diinspirasi Tuhan padanya. Kedua temannya mau memberikan segalanya untuk melayani Tuhan, bahkan nyawa mereka.

Akuila dan Priskuila disebutkan lebih dari satu kali dalam PB, dalam pasal terakhir surat Paulus. Sudah 16 tahun sejak pertemuan pertama mereka di Korintus, dan sekarang dia tawanan di Roma untuk kedua kalinya. Kematiannya ditangan Kaisar Nero sudah pasti, dan dia menulis paragraph terakhir dari hidupnya. “Salam kepada Priska dan Akwila dan kepada keluarga Onesiforus” (2 Tim. 4:19). Dia memikirkan temannya yang sudah kembali ke Efesus dimana Timotius melayani, mungkin meninggalkan Roma untuk melarikan diri dari Nero. Itu hanya salam yang singkat, menggunakan bentuk nama pendek Priskila yang juga kita lihat dibagian lain. Tapi Paulus ingin mengingat mereka dalam waktu-waktu terakhir hidupnya.

Ada pengamatan yang menarik dari ayat pendek itu. Nama Priskila disebut sebelum Akuila. Kenyataannya, namanya diletakan pertama dalam 4 dari 6 ayat dalam Alkitab. Dan itu tidak biasa! Kebanyakan menyebut pasangan dalam Alkitab selalu meletakan suami didepan. Kenapa tertukar? Beberapa penjelasan dikemukankan, tapi yang paling masuk akal adalah, kelihatannya Priskila lebih terampil daripada keduanya dan mengambil peranan yang lebih penting. Tapi itu tidak pernah mempengaruhi kasih keduanya, saling pengertian, juga kemampuan mereka dalam bekerja sama.

Itu tidak selalu terjadi demikian. Sebagian suami merasa terancam karena istri mereka lebih pintas dari mereka, dan untuk menghindari dipermalukan dan menyelamatkan muka mereka, mereka kadang turun kerohaniannya. Bagi mereka lebih mudah tidak menunjukan sama sekali daripada istri mereka lebih dari mereka. Sebagian lain menjadi sombong dan bermusuhan dalam menjaga kedudukan mereka.

Dalam beberapa kasus, istri yang salah. Mereka kelihatan ingin membuktikan sesuatu, bersaing dengan suami didepan umum, mencari otoritas dan yang utama. Tidak heran suami mereka terancam. Tingkatan otoritas dari Tuhan dalam pernikahan tidak pernah berubah. Walau istri lebih pintar dari suami, Tuhan tetap ingin istri melihat suami sebagai pemimpin. Itu tidak selalu mudah bagi wanita yang sangat berkemampuan, tapi Priskila bisa. Dia tidak berkompetisi dengan Akuila. Dia hanya menggunakan kemampuan yang diberikan Tuhan, sebagai penolong bagi suaminya untuk kemuliaan Tuhan. Saya yakin Akuila bersyukur pada Tuhan atas Priskila dan menerima pendapatnya diberbagai kejadian. Priskila merupakan salah satu wanita yang dimerdekakan, karena tidak ada sukacita dan kepuasan daripada kebebasan mentaati Firman Tuhan.

Mari kita bicara

    1. Apakah anda mencari kesempatan membagikan Kristus dimanapun anda pergi, seperti Paulus? Apakah mereka yang bersama anda menjadi tertular kasih Kristus yang anda miliki? Bagaimana anda meningkatkan hal ini?

    2. Kontribusi rohani apa yang anda buat bagi hidup orang lain? Apa lagi yang bisa anda perbuat untuk membagikan Firman Tuhan kepada orang lain?

    3. Bagaimana anda menggunakan rumah anda lebih efektif melayani Tuhan?

    4. Apakah anda saling membagikan Firman Tuhan ? Diskusikan penyelidikan Alkitab bersama yang anda pikir bisa berjalan, kemudian berjanji melakukannya bersama.

    5. Untuk suami: apakah anda risih kalau istri anda melebihi anda? Apa yang Tuhan ingin anda berlaku terhadap hal itu?

    6. Untuk istri: apakah anda mengancam suami anda melalui usaha membuktikan superioritas anda dibagian tertentu? Bagaimana anda menghindari hal ini?

    7. Apakah ada saat dimana anda merasa pasangan anda meremehkan anda didepan umum? Bagikan hal ini dengannya dan bicarakan bagaimana menghindarinya.

    8. Jika anda dan pasangan anda mempertimbangkan melakukan usaha bersama, maslaah apa yang bisa muncul? Apa yang bisa anda lakukan untuk menghindarinya?

    9. Bagaimana anda bisa menunjukan kualitas dalam Kristus pada suami atau istri anda?

Living In Love was originally published by Tyndale House in 1978, and has also been published under the title, Famous Couples In the Bible. This book is used by permission.

Related Topics: Christian Home, Issues in Church Leadership/Ministry, Marriage, Leadership

1. Human Nature

What makes someone human? This question starts us on the journey toward understanding our identity in Christ. We are called to Christ as human beings, so we must understand the fundamental purpose of human beings. This session explores God’s purpose in creating humankind. What binds us all together?

In future sessions, we’ll discuss aspects of our identity that are “earthly.” Our earthly identity includes those traits that all of humankind—both believers and nonbelievers—possess. After that, we’ll examine aspects of our identity that are entirely “heavenly” —characteristics we have because we’ve trusted in Christ.

For now, though, what do we share in common as human beings?

Session Aims

  • Individual Aim: To identify universal characteristics of human nature from chapters 1–2 of the book of Genesis.
  • Group Aim: To gain a greater understanding of human nature and its effects on human experiences.

Preparation

Complete Biblical Exercise: Genesis 1–2 beginning on page 20.

Read Session 1: Human Nature.

Biblical Exercise: Genesis 1–2

Read the first two chapters of Genesis. Also, read “A Method for the Biblical Exercises” beginning on page 17.

Observation — “What Do I See?”

1. Who are the persons (including God) in the passage? What is the condition of those persons?

2. What are they saying or doing? (Look especially for statements or actions that are emphasized, repeated, related, alike, unalike, or true to life.)

3. When did this take place?

4. Where did this take place?

5. Why did it happen?

  •  What changed between the beginning and the end of chapter 1?
  •  What changed between the beginning and the end of chapter 2?

Interpretation Phase 1 — “What Did It Mean Then?”

1. Coming to Terms —Are there any words in the passage that youdon’t understand? Write down anything you found confusing about the passage.

2. Finding Where It Fits—What clues does the Bible give about the meaning of this passage?

  •  Immediate Context (the passage being studied)
  •  Remote Context (passages that come before and after the one being studied)

3. Getting into Their Sandals—An Exercise in Imagination (Focus on Genesis 2 for this exercise.)

  •  How did it look?
  •  How did it sound?
  •  How did it smell?
  •  How did it feel?
  •  How did it taste?

Interpretation Phase 2 — “What Does It Mean Now?”

1. What is the timeless truth in the passage? In one or two sentences, write down what you learned about God from Genesis 1–2.

2. How does that truth work today?

Application — “What Can I Do to Make This Truth Real?”

1. What can I do to make this truth real for myself?

2. For my family?

3. For my friends?

4. For the people who live near me?

5. For the rest of the world?

Introduction

“What am I doing here?” For those who believe in the one God of the Bible, the answer is found in the book of Genesis. Its first two chapters describe how God made humans and their world. Debates about the process by which God made the universe can become heated. However, the main topic of the chapters is God’s purpose in creating the world. The central figures are God and the human species. What we want to focus on in this session is the fundamental purpose of human beings. This session is not intended to address evolutionism and creationism. Rather, it centers on identifying God’s purpose for creating humankind.

Content

Genesis 1 describes creation in a pattern involving two purposes: ruling and multiplying. God created the sun, moon, and stars to rule impersonally over the earth. He created the animals to multiply on the earth. Humans, however, were created to both multiply and rule over creation. Obviously, our form of ruling over the earth is different from that of the sun, moon, and stars. Genesis 2 further explains that distinction by narrowing the lens to the creation of Adam and Eve.

This chapter adds a new element to the creation of humans: relationship. The heavenly bodies rule over the earth without personal relationships.

They have no sense of personhood. However, God gives to humankind the capacity of relationship, both with the Creator and with one another. Relationship involves the abilities to reason and to communicate through language.

After making these observations, we must interpret the passage’s meaning. First, from God’s actions in these chapters, what do we learn about Him?

  •  God is a God of order. (Creation is a process.)
  •  God is eternal. (As Creator He preexists all that is created.)
  •  God is omnipotent (all-powerful).
  •  God is sovereign. (He holds absolute authority.)
  •  God is relational. (He created humans to be in relationship with Him and with each other.)
  •  God creates with purpose (sun and moon to rule, birds and fish to multiply, mankind to multiply and rule).
  •  God alone is God—there is no other. (He is the Creator; no other god precedes Him.)
  •  Next, what do we learn about ourselves?
  •  We are significant (made by God, made in His image, highest of earthly creatures).
  •  We are created to rule the earth, not to be ruled by it. (We have work to do; we have purpose; we have responsibility.)
  •  We were created to be dependent upon the earth (given plants to eat).
  •  We are dependent upon God. (He gave us life; He gives us food to stay alive.)

What are the implications for us? First, every human has a broad purpose from the Creator God. We all share this universal aspect of our identity: We are to multiply and rule relationally. God intentionally created Adam with a relational nature. God saw Adam alone and said, “It is not good” (Genesis 2:18). Because we all share this relational nature, we must be designed to work together. Each person was not given his or her own “earth” to govern. Instead, we are all designed to rule, but to rule together as peers. No human has a right to rule in an absolute manner over any other. Hierarchy among human beings may be necessary for a purpose and even ordained by God in a particular context (such as parental authority over children and governing officials over citizens), but there is no indication in Genesis or elsewhere that one person has absolute authority over another. There is no class of humans that is above or below the others.

Second, God is in the business of bringing order out of chaos. From the formless mass He created an ordered universe. Likewise, part of the image of God in us is to bring order out of chaos. Rulers make judgments about what should be done. They choose between options on moral bases. The heavenly bodies are animated by fixed laws of nature. But humans are able to make choices based on moral judgment. They are not completely at the mercy of their environment but can order and change their environment.

Third, God made “male” and “female” in His own image. Humans were created to be an image or visible expression of God’s nature. Obviously, God’s image in humankind is limited. It’s not a replication of Him, like some sort of clone. Rather, men and women were created to display on earth a physically present image of its Creator. And because both Adam and Eve were created with this image, it’s clear that men and women both were designed to glorify their Creator.

So we see three aspects of human nature:

  •  Humankind was created to have a shared purpose of ruling over the earth in cooperation with one another and mutual submission to God’s authority (see Genesis 1:26-28).
  •  Humankind was created to order our own lives and the earth in accordance with moral imperatives (see Genesis 2:15-17). God designed humans to live in obedience to His commands.
  •  Humankind was created to reflect the Creator’s nature and glory (see Genesis 1:27; Exodus 34:29-35).

Conclusion

Human identity is grounded in God’s design: We are to be mutually submissive to God’s authority, rule over our lives and the earth with moral judgment, and display His image to the physical world. This insight gives Christians a distinctive view of the dignity of all human beings. Regardless of our circumstances, our lives have purpose. Our purpose depends not on what we do (for instance, our jobs) but on how we do what we do, as we will see in “Session 2: Roles.”

Assignment

Read Session 2: Roles.

Read Life Inventory: Introduction on page 89.

Complete the Life Inventory: Roles exercise beginning on page 91.

Related Topics: Man (Anthropology)

2. Roles

“Who am I?” This question goes beyond the question asked at the beginning of session 1. It doesn’t ask who human beings are corporately but rather who each of us is as an individual. Though a simple question, it often leads to myriad complex answers. And despite its importance, many of us have never taken the time to answer it.

Many people assume that we know who we are. Some may have the attitude that life is better spent in action than in reflection. After all, if I’m a salesperson, I need to focus primarily on making sales. If I’m an avid mountain biker, I will make time to go on as many rides as I can. However, such descriptions miss the mark. Understanding your identity in such terms can blind you to God’s design in your life.

The assumption that most people have a handle on who they are currently and how they need to grow and change in the future is incorrect. “Who am I?” We begin to answer this question by exploring the relationship between our identity and our roles.

Session Aims

  • Individual Aim: To identify individual roles and their relationship to your identity.
  • Group Aim: To discuss the relationship between identity and roles and to begin to distinguish between the two.

Preparation

Read Session 2: Roles.

Read Life Inventory: Introduction on page 89.

Complete the Life Inventory: Roles exercise beginning on page 91.

Introduction

The wisdom of the prudent is to give thought to their ways, but the folly of fools is deception. (Proverbs 14:8)

Content

Life in twenty-first-century America is transient. Job changes and relocations uproot people from home, church, and even family and friends. Changes of this magnitude disrupt and change one’s sense of identity.

It’s challenging enough to find our way around a new town—locating grocery stores, figuring out what auto mechanic we can trust, and discovering the fun recreation spots. But the real challenge of moving is establishing an entirely new set of relationships. For some period of time, we lack community. We neither know nor are known by others.

We may begin to question who we are and how others perceive us. We may feel destabilized and vulnerable. But even an identity crisis can be a blessing. There’s no better time to evaluate our identity than when we are forced to see ourselves in a new light.

Consider some times of transition from your own life, such as moving to a new city. Did you wrestle with your identity? How often during that time were you asked questions such as “Where do you work?” or “Where are you from?” These questions are often attempts to ask the fundamental question “Who are you?”

Often, our first response to such questions is to list our various roles. Depending upon how the questions are asked, we might describe the roles we have at our workplace (“I’m an accountant”), in our home (“I have three kids”), or in our hobbies (“I play on a softball team”).

On the surface we may feel we fully understand our identity when we list all of our roles. Though we may find great significance and even stability in the roles we fulfill, can we say they completely encompass our identity? For example, can someone describe who he or she truly is by stating, “I’m a buyer for a retail company, I’m the mother of two teenage daughters, and I am an active member of the PTA”? If that were the case, our identity would undergo a major transition every time we made a life change.

While describing roles may be how we attempt to reveal our identity, those roles don’t truly encompass who we are. It’s better to seek our identity in how we perform our roles.

For instance, the following are statements of roles (what a person does):

  •  I am an engineer.
  •  I am a hospital volunteer.
  •  I am a mother of three.

By contrast, the following statements tell how a person lives out his or her roles:

  •  I am trustworthy.
  •  I am reserved.
  •  I am ambitious.

These statements are much more useful indicators of identity. They remain more stable when the person leaves his or her engineering job or when his or her children grow up and leave home.

Your roles are the interface between you and the world around you. The way a man fathers his kids demonstrates core aspects of his identity. Is he gentle, or harsh? Is he actively involved, or distant? How a waitress performs her responsibilities reveals a part of who she is. Is she courteous, or rude? Is she hardworking, or lazy? Observing patterns in the way people live out their roles gives insight into their identity.

You are not what you do,
but how you do what you do reveals who you are.

Thinking of your roles like this may be a new concept for you. When you begin to view your identity in these terms, it can be difficult to get a handle on it. The rest of this study will help you gain clarity.

Conclusion

Evaluating our identity is a difficult and sometimes confusing process. Though our identity affects the way we live out our roles, our identity and our roles are not one and the same. Roles are based on our present circumstances. Certain aspects of our identity develop over time, whereas others are “given” as part of God’s design. Gender is one of those aspects. We will discuss that issue in session 3.

Assignment

Read Session 3: Gender.

Complete the Life Inventory: Gender exercise beginning on page 94.

Related Topics: Man (Anthropology), Spiritual Life

3. Gender

Session 2 introduced the distinction between role and identity. We usually express roles in statements about what we do (“I am an engineer”), while identity statements express who we are, regardless of what we do (“I am trustworthy”). The attributes of identity, what sort of person we are, will go with each of us into whatever roles we fill and will transform the ways we carry out any given role.

We must grasp this distinction as we move into the discussion of gender. Gender is one key component of identity. Being a man or being a woman affects our outlook on life in ways we may be unaware of. In this session we will ask, “What kind of man or woman am I?” and “Where and from whom did I learn to be that kind of man or woman?”

Session Aims

  • Individual Aim: To explore past influences and present views regarding gender.
  • Group Aim: To gain greater understanding of the influence of gender on how people think and act.

Preparation

Read Session 3: Gender.

Complete the Life Inventory: Gender exercise beginning on page 94.

Introduction

While our biological sex traits (anatomy and physiology) are determined at birth, our sense of what it means to be male or female, masculine or feminine, develops through our family, culture, and experiences. One striking example in Scripture that points to the difference between men and women is when God gives distinct curses to Adam and Eve after they eat the forbidden fruit:

To the woman he said,

“I will greatly increase your pains in childbearing; with pain you will give birth to children. Your desire will be for your husband, and he will rule over you.”

To Adam he said, “Because you listened to your wife and ate from the tree about which I commanded you, ‘You must not eat of it,’

“Cursed is the ground because of you;
through painful toil you will eat of it
all the days of your life.

It will produce thorns and thistles for you, and you will eat the plants of the field. By the sweat of your brow you will eat your food until you return to the ground, since from it you were taken; for dust you are and to dust you will return.” (Genesis 3:16-19)

Content

A proper understanding of sexuality and gender must be based on Scripture. While it’s not within the scope of this study to give a complete overview, we’ll flesh out a few fundamental ideas.

First, men and women are equal as God’s representatives:

In the Lord, however, woman is not independent of man, nor is man independent of woman. For as woman came from man, so also man is born of woman. But everything comes from God. (1 Corinthians 11:11-12)

Scripture never portrays either men or women as superior to the other in foundational issues, such as one’s potential to glorify God.

The Creation account provides the bedrock for understanding gender issues throughout Scripture:

So God created man in his own image,
in the image of God he created him;
male and female He created them. (Genesis 1:27)

Raymond Ortlund Jr., pastor and former professor at Trinity Evangelical Divinity School, notes the distinct emphasis in each line:

Line one asserts the divine creation of man. We came from God. Line two overlaps with line one, except that it highlights the divine image in man. We bear a resemblance to God. Line three boldly affirms the dual sexuality of man. We are male and female.

This passage in Genesis demonstrates that each human being reflects God’s image. Humankind is the image bearer, and humankind is male and female. As the Creation account continues, both man and woman are commissioned to rule and fill the earth. The command in 1:28 is for humans to “be fruitful and increase in number; fill the earth and subdue it.” Humanity has the responsibility to produce life, both spiritual and physical.

Likewise, God commissioned humanity to rule over His creation. Ortlund continues, “Man was created as royalty in God’s world, male and female alike bearing the divine glory equally.”

But the equality of men and women does not diminish the differences between them. The Creation account of Genesis 2 provides insight into these differences. “Then the LORD God said, ‘It is not good for the man to be alone. I will make him a helper suitable for him’” (verse 18). The only part of Creation that God judged as not good was that the first man was alone. But God did not simply create another male human. Adam, representing all maleness, was insufficient to carry out the mandate to fill and subdue the earth apart from the creation of femaleness found in Eve.

Old Testament scholar Allen Ross points out that “helper” (Hebrew: ezer) is not a demeaning term:

God is usually the one described as the “helper” (Exod. 18:4; Deut. 33:7; 1 Sam. 7:12; Ps. 20:2; 46:1). The word essentially describes one who provides what is lacking in the man, who can do what the man alone cannot do.... The man was thus created in such a way that he needs the help of a partner. Or we may say that human beings cannot fulfill their destiny except in mutual assistance.

Ross continues by explaining the concept of a “suitable” helper:

The man and the woman thus correspond physically, socially, and spiritually . . . the woman by relative difference but essential equality would be man’s fitting complement. What he lacked (“not good”) she supplied; and it would be safe to say that what she lacked, he supplied, for life in common requires mutual help.

We can’t overlook the male/female equality before God. Both in personal relationship with God as our Father and in our ability to fulfill the divine mandate for humanity, men and women are equal. But as Ortlund notes, this equality “does not constitute an undifferentiated sameness.” He expands:

The very fact that God created human beings in the dual modality of male and female cautions us against an unqualified equation of the two sexes. This profound and beautiful distinction, which some belittle as “a matter of mere anatomy,” is not a biological triviality or accident. It is God who wants men to be men and women to be women.

What does it mean for men to be men and women to be women? If God made us with differences that are complementary to fulfill the divine commission, how should those differences be expressed?

We would have no problem understanding and living in a truly complementary manner if sin had not entered the world. Sin has devastated interpersonal relationships. God’s judgments in Genesis 3 show how sin has affected the male/female relationship.

In the judgment on Eve in verse 16, God says, “Your desire will be for your husband, and he will rule over you.” The term desire in this verse is similar to the usage in Genesis 4:7, where sin desires Cain. It means a prompting for evil. Likewise, the term rule in this verse refers to dominion or mastery. The punishment would fit the crime. As the woman will desire to usurp, rather than complement, male authority, the man will seek to dominate, rather than honor and respect, his “helper.” Ross notes,

If Eve is an archetype, that is, if she represents every woman as Adam represents every man, then the story portrays a characteristic of human nature—the woman at her worst would be a nemesis to the man, and the man at his worst would dominate the woman.

However, with salvation comes a restoration of all aspects of creation. The restoration of true equality can only be found in Christ.

There is neither Jew nor Greek, slave nor free, male nor female, for you are all one in Christ Jesus. If you belong to Christ, then you are Abraham's seed, and heirs according to the promise. (Galatians 3:28-29)

Likewise, the restoration of the male/female complementary relationship is found in Christ. As believers who desire to reflect God’s image and promote God’s glory, we must seek to understand what it means to be a Christian man or woman.

Conclusion

Scripture does not clearly define every aspect of gender issues. Even so, we must continue to explore what it means to be a man or woman in Christ. This topic is much debated, but it’s worthwhile for each believer to personally seek wisdom about how gender influences the way roles are performed.

Assignment

Read Session 4: Temperament.

Complete the Life Inventory: Temperament exercise beginning on page 98.

Related Topics: Man (Anthropology), Spiritual Life, Christian Home

4. Temperament

Like gender, temperament is a component of our “earthly identity.” It’s part of every person’s life. Each of us tends to respond to certain situations in similar ways. We also tend to relate to certain kinds of people in similar ways. These tendencies are at the core of temperament. While temperament is hard to define and assess, it’s still valuable to explore because it’s shaped by God’s sovereign design of our lives.

Session Aims

  • Individual Aim: To explore your temperament and its impact on your identity.
  • Group Aim: To better understand group members’ temperaments in order to appreciate the impact on their lives.

Preparation

Read Session 4: Temperament.

Complete the Life Inventory: Temperament exercise beginning on page 98.

Introduction

One way we can get to know God better is to gain a greater appreciation for how He has sovereignly designed us and equipped us to function in His world. The self-assessment you’ll do in “Life Inventory” will help you gain greater self-awareness and understand the impact of temperament on your life.

Content

Standardized personal assessments (profiles, tests, and inventories) of temperament are all based on observations found to be generally true about people who have similar attributes. Their strength is that they can provide quick access to helpful (if general) self-knowledge. Their weakness is that while people with similar personality traits have much in common, every person is unique by God’s design.

One of the most popular personal assessment tests is the Myers-Briggs Type Indicator. The most helpful way to profit from standardized assessments is to confirm their results with what you know about yourself and with feedback from those who know you well. Thus, while the tests may be useful tools, they don’t supersede the Holy Spirit’s illumination through God’s Word, prayer, and people.

Temperament describes tendencies (patterns in your behavior) that are similar to patterns in the behavior of others. For instance, some people prefer to think out loud when trying to solve a problem. They expect that the solution will become evident through discussion. Other people consider solutions in their own minds, and when they speak, they voice their conclusions. If both kinds of people are working on a project and they are unaware of their different approaches, they often experience conflict. For example, Susan, who thinks out loud, becomes annoyed when Jason criticizes her ideas prematurely. While she’s simply trying to work out a solution, he assumes that her comments represent a final proposal for the solution. In contrast, he needs time to work out a solution in his head. Susan becomes frustrated because Jason isn’t participating with her in working out a solution.

Consider another example. One company’s employees all receive gift certificates at the end of the year. They receive their gifts without any notification or acknowledgment by the administration. In another company, no gift is given, but the president personally goes around to each employee and gives specific examples of why he appreciates his or her work. One person may feel fully appreciated by receiving a gift certificate but wouldn’t feel valued by verbal acknowledgment; words without some tangible gift may seem empty. For another person, the gift certificate without any verbal appreciation might raise feelings of disappointment: “They’re just trying to buy my loyalty.”

Conclusion

Understanding your temperament can make you aware of which of your tendencies to encourage and which ones to avoid. If you know your own preference is gifts over appreciative words, you may need to remind yourself to be grateful when a friend expresses appreciation to you through verbal compliments. Awareness of your own and others’ temperaments can greatly enhance your ability to love others well.

Assignment

Read Session 5: Heritage.

Complete the Life Inventory: Heritage exercise beginning on page 109.

Complete the Life Inventory: Values I exercise beginning on page 112.

Related Topics: Bibliology (The Written Word), Spiritual Life

5. Heritage

In session 4, we examined how temperament influences our identity. In this session, we’ll look at the final component of earthly identity: heritage. We each have a unique personal history that affects how we answer the question “Who am I?” Such factors as when, where, and to whom we were born all affect our answer. Some additional factors include where we grew up, what schools we attended, what traditions we engaged in, and any major transitions we went through. These are all aspects of our heritage that we carry with us today.

Enjoy this opportunity to trace the foundational roots of your life.

Session Aims

  • Individual Aim: To explore your personal heritage and its impact upon your identity.
  • Group Aim: To better understand group members’ heritages in order to appreciate the impact on their lives.

Preparation

Read Session 5: Heritage.

Complete the Life Inventory: Heritage exercise beginning on page 109.

Complete the Life Inventory: Values I exercise beginning on page 112.

Introduction

heritage: that which comes or belongs to one by reason of birth; an inherited lot or portion

Heritage is the environment into which someone is born and raised. We might think that because we are redeemed in Christ, our heritage shouldn’t matter. We might reason that if we are mature in Christ, our heritage should affect our identity very little. There are valid biblical truths behind such thoughts. We are now free from the bondage imposed on us by certain aspects of our heritage. For example, someone raised in a family in which fear was the motive for obedience is now free to respond to God in obedience rather than respond to the fear of men, even though the believer may pay a price for following Christ. Or when loving an enemy results in personal pain or loss, the believer is free to pursue a godly life in spite of what his or her heritage may have taught him or her.

Still, sometimes a person’s heritage contains elements that contribute to godly character. For instance, someone raised in a mainstream culture that valued relationships will tend to prioritize people over tasks. In that kind of culture, tasks don’t get in the way of valuing people and relationships.

The purpose of this session is not to judge the value of one’s heritage but rather to take inventory of it. We take this inventory keeping in mind that our heritage does influence the way we live. Ultimately, we want to explore how to respond to what our heritage has taught us—whether to embrace a given inherited trait as godly or to reject it. However, the first step is to identify characteristics from our heritage so that we can later make accurate judgments.

Content

He himself gives all men life and breath and everything else. From one man he made every nation of men, that they should inhabit the whole earth; and he determined the times set for them and the exact places where they should live. (Acts 17:25-26)

Although we are citizens of a heavenly culture that has its own heavenly identity, we are still living as citizens of this earth. Missiology scholar David Hesselgrave writes, “Though Christianity is supracultural in its origin and truth, it is cultural in its application.” We apply Christianity in the midst of identities that have been greatly shaped by our heritage.

This truth affects our ability to communicate the Christian message from one culture to another. When sharing the gospel cross-culturally, we must try to make the message clear and accurate in that particular cultural setting. The same principle applies when we try to live out our faith. Our unique heritage affects the way we try to live out our identity in Christ within our communities.

God’s providential hand developed a particular heritage for each person. The story of Joseph illustrates the blessing of seeing God’s purpose through the good and the bad of our backgrounds:

Then Joseph said to his brothers, “Come close to me.” When they had done so, he said, “I am your brother Joseph, the one you sold into Egypt! And now, do not be distressed and do not be angry with yourselves for selling me here, because it was to save lives that God sent me ahead of you. For two years now there has been famine in the land, and for the next five years there will not be plowing and reaping. But God sent me ahead of you to preserve for you a remnant on earth and to save your lives by a great deliverance.

“So then, it was not you who sent me here, but God. He made me father to Pharaoh, lord of his entire household and ruler of all Egypt.” (Genesis 45:4-8)

For a special purpose, God used Joseph’s unique heritage as a son of Jacob who became an Egyptian civil servant. Although some aspects of our heritage are ungodly and some are godly, God has superintended the entire process and desires to use it uniquely for His glory and our good.

Heritage begins with birth and develops through life circumstances. Although you can state in a few words when, where, and to whom you were born, those facts are more than just data on a page: They have had far-reaching implications in your life.

We’ll focus on three cultural categories from which heritage develops: mainstream culture, family culture, and subcultures.

Mainstream Culture

On the broadest level, mainstream culture involves the historical time period in which we’ve lived. Mainstream culture consists of those characteristics that were realities within the local community where you were born and raised. It might include characteristics of religion (Christian, religious, nonreligious, pluralistic), ethnic environment (homogeneous, multicultural, minority in majority culture), political environment (democracy, socialism, conservative, liberal), media (sources of news and entertainment; exposure to radio, TV, and printed materials), traditions (holidays, historical events, dietary habits, fashion), and art (purpose, emphasis on freedom of expression). While the mainstream culture is the larger environment that influenced you, your family culture reveals more specific expressions of each of these categories.

Family Culture

Family culture is the pattern of behaviors and values that individuals learn because of the way their family related and lived out roles. This culture is the one that influences most people to the greatest degree. It’s the environment in which most people have spent the most time, especially in their early childhood years. Louis Luzbetak, another missiology scholar, writes,

An individual to a large extent reflects the values that he or she has learned (either through intended education, conscious imitation, or unconscious absorption) from those with whom he or she is in contact. In fact, the closer and the earlier the contact, especially if it is continuous, the greater the impact.

Families develop certain patterns of thinking and behavior. For example, one person’s tendency to be aggressive in conflict may stem from the way his or her family typically dealt with it.

Family culture influences some people less than others. As the family unit breaks down, children can become more influenced by the mainstream culture or subcultures.

Subcultures

These are the various environments outside the family culture but distinct from the mainstream culture. An example is the Boy Scouts. For a certain boy, his Boy Scout experience might have provided a subculture that significantly affected his life. This category also includes particular church or parachurch cultures. For people who strongly identify with a particular subculture, its effect on their heritage may be great.

A person’s heritage is both concrete and developing. Looking back at our past, we can see an unchangeable history of experiences in various environments. At the same time, our current experiences and environment are shaping our heritage of tomorrow.

Heritage affects the way people relate with others and fulfill their roles. For instance, people who have been in environments where emotions are expressed through physical contact will likely respond differently than those whose backgrounds are primarily verbal. It’s helpful, then, to understand other people’s heritages as well as our own. In order to grow in our ability to love others, we must understand the “heritage lens” through which we view life as well as the “lenses” through which others see life.

Conclusion

This session neither exalts nor condemns someone’s heritage. The primary objectives are to acknowledge our heritage and learn how it affects our identity. God has sovereignly placed us where He desires us to be. It is only appropriate that we thank Him for our lives and what He plans to do in, through, and with them.

Assignment

Read Session 6: Values.

Complete the Life Inventory: Values II exercise beginning on page 114.

Time Alone with God

Our next session will tackle values and get to the core of why we do what we do. Therefore, now would be a great time for you to be alone with God and reflect on your values. A time of solitude is ideal for doing the “Life Inventory: Values II” exercise, which asks you to be honest with yourself about your real values in your daily living. Here is a suggested plan for using this time alone with God.

Pray

Spend time in silence, prayer, and worship. Focus on God and enjoy His presence. Consider the profound reality that God, who is above and beyond all earthly things, has touched our lives as believers through the work of Christ. Enter into God’s presence, reflect on His glory, and communicate your praise to Him. You may choose to spend some time reading and thinking over some passages from Scripture, or you may just spend some quiet time in worship or prayer.

Reflect on “Values II”

In your “Values I” exercise, you’ve already written your twelve most deeply held values. Use the “Values II” exercise beginning on page 121 to validate your values with specific actions from your life. Think through your life (weekly schedule, relationships, work, ministry, studies) and consider how your life “proves” each value you hold. Write down actions you consistently do that reflect each of your twelve values from the “Values I” section.

Do this with complete honesty before God. You may not be able to substantiate some values. Those are values that you wish were priorities but that you don’t practice as much as you’d like.

Next, go back through your list of values and mark each value as real (values consistent with the way you live) or ideal (values you hold in an idealistic way but can’t validate from patterns in your behavior).

Finally, meditate on what you’ve discovered and ask God these questions:

  •  Are the values I listed godly values?
  •  How do You want me to change my ideal values into real values? How can I trust You to help me?
  •  What other values do You want me to have?

Review

Close with some time in prayer and journal writing. Reflect on what you’ve learned about your identity, and write down any insight from God that your time alone has revealed.

Related Topics: Man (Anthropology), Spiritual Life

6. Values

Enquiring within, and boldly searching into one’s own Bosom, must be the most shocking Employment, that a Man can give his Mind to, whose greatest Pleasure consists in secretly admiring himself.

—Bernard Mandeville, “Second Dialogue,” The Fable of the Bees

Having examined various aspects of our earthly identity (roles, gender, temperament, and heritage), now we will look at our values. Our values are near the core of our identity. They are the things we judge to be good for us and others.

Our earthly identity has shaped much of what we value. Later in this study we’ll ask, “Because my earthly identity has embedded many of my values deep within me, how do I discern which values need to change now that I’m a follower of Christ?” We’ll address this question when we investigate our heavenly identity. The Spirit of God, who resides in your life, will illuminate for you how your values need to change. For now, we will simply ask what personal values are and what part they play in our identity.

Session Aims

  • Individual Aim: To gain a greater understanding of your own values, the implications of such values, and the necessity of prioritizing them wisely before God.
  • Group Aim: To begin fostering trust through honest sharing of personal values and their implications in group members’ lives.

Preparation

Read Session 6: Values.

Complete the Life Inventory: Values II exercise beginning on page 114.

Introduction

In Psalm 19, David declares the greatness of God’s law. As he describes the law’s nature, benefits, and effects, he makes a value statement about these ordinances. David says,

The fear of the LORD is pure, enduring forever. The ordinances of the LORD are sure and altogether righteous. They are more precious than gold, than much pure gold; they are sweeter than honey, than honey from the comb. (verses 9-10)

This statement expresses David’s values, as well as those of his culture. Gold and honey were of great value. To own gold, build with gold, or craft things in gold was valued. The sweetness of honey was also highly valued. But although David valued these things as anyone else would, he valued something else far more: the law of the Lord. Because this value was greater, he would prefer the law and its benefits to the benefits of gold and honey.

In the same way, we must prioritize our values because the way that we rank our values will determine how we live.

Content

The apostle Paul says we are both God’s building and God’s builder. First, the whole community of God’s people is the temple or holy house where God dwells (see Ephesians 2:19-22). And each individual believer is God’s temple too: “Don’t you know that you yourselves are God’s temple and that God’s Spirit lives in you?” (1 Corinthians 3:16).

At the same time, each of us is also a builder of God’s temple: “If any man builds on this foundation [that is, Christ as proclaimed in the apostle’s teaching] using gold, silver, costly stones, wood, hay or straw, his work will be shown for what it is, because the Day will bring it to light” (1 Corinthians 3:12-13). We each must choose how we will build our own lives. Each day we can build upon the foundation of Christ that has already been laid. As we build, we choose what materials to build with.

Verses 12-13 imply that we should value certain materials over others. Depending upon what we value, we will find reward or loss (see verses 14-15). For example, if a man values social status, he will build his life in a certain way. He will pursue a certain level of income to afford a certain type of car and a home in a certain kind of neighborhood. If he is in jeopardy of not attaining those things or of losing them once attained, his value of them may cause him to practice questionable business ethics in order to protect his status and possessions. He may do whatever it takes to obtain and retain his status. Secret, unethical behavior that bolsters his status seems okay. Someone who lives like this has built his life, so to speak, with stubble. In the end, it counts for nothing before God and in the scheme of eternity.

The previous work we did on gender, temperament, and heritage sheds light on our values. For instance, the man who values social status may have carried this value with him from his family culture. It may have been his parents’ normal mode of operation. In fact, he may not even know how influential this value is to him until someone points it out or until he spends time reflecting on his life. Or maybe status is part of his understanding of manhood. Perhaps his dad modeled to him that being a man entails building and protecting a certain respectability in the community. (Maybe his sister doesn’t hold this value because their family didn’t value status for a daughter.)

Finally, this value could stem from his temperament. He may have an inborn inclination to be driven toward success. If the only way success has been defined in his life is in terms of social status, he will tend to pursue that with all the diligence he can muster.

You may know someone who resembles this man, or you may be like him yourself. But we’ve portrayed him in a one-dimensional perspective. A second look at this example surfaces a crucial characteristic of personal values. In the example, we assumed that this man would place a greater priority of value on his social status than on his integrity in business. In reality, many competing values often influence our decisions. It’s not evil to have some degree of concern with how you fit in socially. For instance, dressing according to last decade’s fashions may place unnecessary barriers between you and others (even though dressing according to two decades previous may make you fashionable!). So our real challenge is to decide what we hold at various degrees of importance according to the standard of Christ.

A simple but helpful definition of a value is: “something (as a principle or quality) intrinsically valuable or desirable.” At one level, values are the ideals, customs, and institutions of a society. When judged by a biblical standard, these values may be positive (education, freedom), neutral (cleanliness), or negative (cruelty, crime, blasphemy). We can also think of values as objects or qualities that are desirable as ends in themselves. Every person holds a unique set of values.

People often express their values in a word or phrase. (All politicians say they value “the family.”) But if we want to adequately evaluate our lives, it’s better to express values in a phrase or sentence. (A politician would be clearer by saying, “A family led by two moms or two dads is no family at all.”)

When someone uses a single word to tell us what they value, we can interpret it in a variety of ways. That’s why it’s often hard to understand what people mean when they say they value something. The goal in this session is to understand your own and others’ values accurately. For instance, the man discussed previously may say he values “respectability.” However, if we spell out his value in a sentence, based on his behavior, it might be, “I will do whatever it takes at work to obtain and retain social respectability in my community.”

So do your best to consider not just what you value but exactly how you express those values in your life. Clarifying your values in your own mind will help you put into words how and why a particular value is expressed in your life.

Conclusion

What we value is of utmost significance to how we live. We need to be honest with ourselves about our real values. Identifying them helps us evaluate whether we’re living out our values in godly ways. For example, someone may say he values punctuality. But if what he means is that if anyone is late to meet him, he won’t meet with that person again, he may not be expressing a value of punctuality in a godly way. Our heavenly identity needs to influence our values. We need to see how our earthly identity may be influencing our values in ways that are inconsistent with our identity in Christ.

The good man brings good things out of the good stored up in his heart, and the evil man brings evil things out of the evil stored up in his heart. For out of the overflow of his heart his mouth speaks. (Luke 6:45)

Remember that our hearts will follow what we value!

Assignment

Read Session 7: Identity in Christ.

Complete the Life Inventory: Identity in Christ exercise beginning on page 116.

Complete Biblical Exercise: Ephesians 1–2 beginning on page 61.

Related Topics: Man (Anthropology), Spiritual Life

Pages