MENU

Where the world comes to study the Bible

6. Jujurlah Terhadap Saya

Sebagian besar dari orang Kristen ingin rukun dengan orang disekitar kita—keluarga kita, teman, tetangga, sesama pekerja dan sesama orang percaya. Kita ingin ada perasaan yang baik diantara kita, menikmati rasa kesatuan dan kebersamaan.

Apakah anda tahu bahwa Tuhan ingin hal sama bagi kita? Itu dinyatakan Paulus dalam suratnya ke Efesus. Dalam 3 pasal pertama dia menunjukan bagaimana Tuhan mengasihi kita dan apa yang telah Dia lakukan bagi kita, terutama bagaimana Dia menyatukan kita dalam satu Tubuh. Kemudian Paulus memulai pertengahan kitab dengan berkata, “Sebab itu aku menasihatkan kamu, aku, orang yang dipenjarakan karena Tuhan, supaya hidupmu sebagai orang-orang yang telah dipanggil berpadanan dengan panggilan itu. Hendaklah kamu selalu rendah hati, lemah lembut, dan sabar. Tunjukkanlah kasihmu dalam hal saling membantu. Dan berusahalah memelihara kesatuan Roh oleh ikatan damai sejahtera: satu tubuh, dan satu Roh, sebagaimana kamu telah dipanggil kepada satu pengharapan yang terkandung dalam panggilanmu, satu Tuhan, satu iman, satu baptisan, satu Allah dan Bapa dari semua, Allah yang di atas semua dan oleh semua dan di dalam semua” (Ephesians 4:1-6). Apakah anda menangkap maksudnya? Adanya suatu kesatuan dalam iman Kristen yang sekarang bisa dinyatakan dalam hubungan kita dengan sesama. Kita bisa rukun dengan sesama dalam kasih dan damai, dan menikmati kebersamaan karena kita satu dalam Kristus.

Aneh bukan? Kita tahu apa yang Tuhan ingin, dan kita tahu bahwa strukturnya ada. Tapi kita sulit sekali melakukannya. Sebaliknya, kita mendapat sakit hati dan perselisihan. Kita melihat suami dan istri saling berselisih, orangtua dan anak bertengkar, tetangga sesama Kristen bermusuhan, anggota gereja keluar karena yang lain. Bagaimana kita mengubah itu? Bagaimana kita belajar damai dengan sesama?

Pasal keempat surat Efesus, mungkin yang paling membantu dari seluruh PB, untuk menjawab pertanyaan ini. Disatu sisi, Tuhan memberikan kita karunia rohani yang melalui itu kita bisa saling melayani dan menolong (vv. 11-12). Itu akan membuat kita menjadi satu dan seperti Kristus (v. 13), yang bisa memampukan kita membangun dalam kasih (v. 16).

Tapi itu bukan seluruh jawaban. Saat pasal ini berlanjut, itu menjadi jelas bahwa untuk bisa rukun bersama kita perlu membuat beberapa perubahan dalam hidup kita. Kita perlu hidup berbeda dari orang tidak percaya, dari cara yang kita biasa gunakan sebelum bertemu Kristus (v. 17). Syarat sudah dibuat. Saat Kristus mati disalib Dia mengatasi nature lama yang didominasi oleh dosa dan diri sendiri. Dia menganggalkannya (v. 22), dan Dia memberikan kita nature baru yang mengikuti teladanNya (v. 24).

Dengan itu, kita sekarang memiliki potensi membuat perubahan yang bisa menolong kita rukun bersama. Tapi ada beberapa hal yang harus dilakukan untuk membuat potensi ini nyata dalam pengalaman kita sehari-hari. Satu, kita perlu memperbaharui pikiran kita (v. 23), yaitu, memberi pikiran kita cara pandang Tuhan terhadap hidup. Itu akan menguatkan control nature baru atas kita. Tapi kita juga perlu menyingkirkan tindakan nature lama secara sadar dan memilih untuk membiarkan nature yang dikuasai Roh untuk bertindak dalam setiap keadaan. Kita perlu menolak cara lama dan mengijinkan Roh Tuhan bertindak melalui kita seperti yang Dia kehendaki disetiap situasi. Kita perlu meletakan menanggalkan yang lama dan memakai yang baru dalam setiap keadaan yang kita hadapi.

Paulus mendafatar beberapa wilayah yang perlu kita lakukan melalui perbandingan—pertama yang negative, kemudian positif. buanglah dusta dan berkatalah benar (v. 25). janganlah ia mencuri lagi, tetapi baiklah ia bekerja keras (v. 28). Janganlah ada perkataan kotor keluar dari mulutmu, tetapi pakailah perkataan yang baik (v. 29). Segala kepahitan, kegeraman, kemarahan, pertikaian dan fitnah hendaklah dibuang dari antara kamu tetapi hendaklah kamu ramah seorang terhadap yang lain, penuh kasih mesra dan saling mengampuni (vv. 31-32). Sangat menarik melihat kalau hal diatas berkaitan erat dengan perkataan kita. Kunci untuk bisa rukun bersama adalah bagaimana kita menggunakan mulut kita. Dan yang teratas dari daftar adalah berkata jujur. “Karena itu buanglah dusta dan berkatalah benar seorang kepada yang lain, karena kita adalah sesama anggota” (v. 25).

Arti dari Perintah

Untuk mengesampingkan hal yang salah adalah berhenti membuat pernyataan yang tidak benar, dan berhenti bertindak yang menipu atau meninggalkan kesan yang tidak benar. Ada beberapa cara kita bisa berkecimpung dalam kesalahan. Salah satunya, kita bisa mengatakan hal yang kita sudah tahu itu salah.

Mari saya katakan pada anda tentang Henry, seorang yang bergumul dengan kepercayaan diri. Dia ingin dilihat sebagai orang yang kuat, bijak, dan mampu, tapi dia mencurigai orang-orang melihat dia sebagai seorang yang payah. Daripada melakukan apa yang dia bisa melalui kuasa Tuhan, dan puas dengan kemampuan yang ada, dia lebih mudah menyatakan diri lebih dari dirinya yang sebenarnya. Dia mengatakan pada istrinya betapa bosnya menyukai pekerjaannya, yang sebenarnya dia hampir dipecat. Saat dia dipecat, dia berkeras kalau dia berhenti, dan dia melakukannya karena kondisi pekerjaannya sangat buruk. Kemudian dia terus mengatakan pada istrinya bahwa dia sudah mendapat kesempatan pekerjaan yang baru yang bisa dipastikan minggu depan, yang sebenarnya tidak ada kesempatan sama sekali. Dia mengatakan temannya tentang bisnis yang sedang dibuatnya, tapi itu semua hanya agar dia kelihatan lebih baik dari yang sebenarnya.

Itulah cara hidup orang tidak percaya. Itu merupakan bagian dari nature dosa mereka. Mereka mewarisinya dari bapa mereka. Yeus berkata bahwa setan adalah pembohong dan bapa segala tipuan (John 8:44). Dan mereka yang hidup seperti itu menunjukan kalau mereka anaknya. Tuhan adalah Allah kebenaran, dan mereka yang memiliki naturNya bicara benar. Lidah penipu merupakan kejijikan bagiNya (Proverbs 12:22). Dia membenci lidah penipu (Proverbs 6:16-19).

Itu tidak berarti orang Kristen yang benar tidak pernah berbohong. Ananias dan Sapphira merupakan orang Kristen. Tapi mereka memiliki obsesi untuk kelihatan lebih baik dari yang sebenarnya. Mereka ingin orang lain berpikir kalau mereka memberikan kepada gereja seluruh penjualan tanah mereka. Mereka tidak mengatakan itu. Mereka membiarkan orang lain mempercayainya. Kita juga bisa berbohong dengan diam saja. Tapi itu tetap kebohongan. Petrus berkata, “Ananias, mengapa hatimu dikuasai Iblis, sehingga engkau mendustai Roh Kudus?” (Acts 5:3). Dan kita mengetahui betapa serius Tuhan melihat penipuan karena Dia mematikan baik Ananias dan istrinya.

Ada cara lain kita mengacaukan kebenaran. Salah satunya adalah dengan melebih-lebihkan. Penjala ikan bukan satu-satunya yang melakukan itu. Sebagian besar dari kita pernah melakukannya. Jika kita mendapat bagian dalam merencanakan atau menjalankan suatu pertemuan, kita kadang sedikit melebihkan fakta. Itu membuat kita lebih baik. Kita mungkin melebihkan kontribusi kita dalam kerjasama yang berhasil karena kita ingin orang lain berpikir kita ini penting. Untuk itu, kita berkata, “Banyak orang mengatakan pada saya …” padahal sebenarnya, hanya satu orang yang mengatakan itu, dan mungkin itu juga istri atau suami kita.

Cara lain kita menutupi kebenaran adalah hanya mengatakan apa yang sesuai dengan tujuan kita. Jika kita terlibat pertengkaran dengan seseorang, kita melihat itu sebagai kesempatan untuk mengurangi sedikit fakta yang ada menurut cara pandang kita, atau hanya memberitahu sebagian dari cerita. Seorang istri berkata kepada suaminya,“konselor berkata ini tidak akan bisa terjadi jika kamu melakukan apa yang seharusnya.” Tapi dia dengan nyaman tidak menyebutkan apa yang dikatakan konselor tentang dia.

Salah satu bentuk kebohongan yang paling umum orang percaya adalah menutupi kelemahan hidup kita dan bersikap seolah-olah semuanya baik-baik saja tapi sebenarnya tidak, dan cara kita menyembunyikan perasaan kita yang sebenarnya agar terlihat lebih rohani. Tolong jangan salah mengerti apa yang saya katakan. Saya tidak berpikir Alkitab menyuruh kita menyatakan semua kesalahan masa lalu kita dan dosa kita pada setiap orang Kristen yang kita temui, atau menyatakan emosi tanpa kendali. Itu hanya akan menjauhkan kita. Tapi tuluslah terhadap hal itu, kebanyakan dari kita hidup dibelakang topeng.

Kita tidak ingin orang mengetahui apa yang terjadi didalam kita karena, seperti kata John Powell, kita takut mereka tidak menyukai apa yang mereka lihat dan mungkin mereka akan menolak kita.6 Kita menyembunyikan diri kita yang sebenarnya, dan hanya mengatakan hal yang bisa menciptakan image yang sesuai harapan kita. Kita menghindar membagikan perasaan sakit, marah, iri, rendah diri, frustrasi atau depresi, meyakinkan diri kita bahwa lebih baik jika kita menyimpannya untuk diri sendiri. Tapi itu akan mempengaruhi cara kita memperlakukan satu sama lain dan itu akan menghalangi kemampuan kita untuk rukun bersama.

Kita melakukan percakapan ditingkatan basa basi: “Hi, apa kabar?” atau tingkatan fakta: berita, olahraga, dan sayangnya orang lain. Kadang kita masuk kedalam tingkatan pemikiran dan pendapat, sepanjang kita melihat pendapat kita tidak menjauhkan kita dari orang lain. Tapi jarang sekali kita membagikan perasaan kita, dan jarang membangun hubungan dengan orang lain dimana kita membuka apa yang terjadi dalam hidup kita. Resikonya terlalu besar.

Jadi istri saya dan saya bisa terbawa keluar. Tapi saya tidak akan menceritakan hal ini. Itu akan mengganggu image saya dihadapan anda. Saya bisa kehilangan kesabaran terhadap anak saya, tapi saya tidak akan mengatakan apapun tentang itu. Anda mungkin merendahkan saya. Saya mungkin bergumul dengan alcohol, atau nafsu seks yang tidak baik, tapi saya tidak mungkin membiarkan siapapun tahu. Itu bisa menyebabkan saya ditolak oleh orang yang saya ingin menghormati saya. Saya mungkin merasa tertekan dan putus asa. Tapi saya tidak mau mengakuinya karena itu tidak kedengaran rohani.

Kita tidak perlu mengatakan setiap orang tentang perasaan kita, masalah atau kesalahan kita.Itu akan membosankan. Tapi kita bisa berhenti hidup dalam kebohongan. Kita bisa berbagi dengan mereka yang dengan tulus peduli akan masalah dan kita membutuhkan doa mereka. Kita bisa jujur setidaknya dengan satu teman baik yang mau mendorong kita, menasihati kita, berdoa untuk kita dan bersama kita dalam perubahan yang harus dibuat.

Bertanggung jawab mungkin merupakan satu alasan utama menyembunyikan kebenaran. Untuk membagikan masalah yang seharusnya kita ubah, hal yang kita tolak selama ini. Tapi Tuhan berkata kita harus bicara benar karena kita adalah sesama anggota (Ephesians 4:25). Itu mungkin alasan yang aneh. Dia tidak mengingatkan tentang nature Tuhan, walau mengenal Allah kebenaran merupakan alasan kuat untuk jujur. Dia tidak menunjuk tentang akibat dari kebohongan kita terhadap kesaksian Kristus bagi yang terhilang, walau itu juga merupakan alasan kuat. Dia menggunakan kebenaran kesatuan kita dalam satu Tubuh.

Karena kita semua anggota satu Tubuh, kita sesama anggota. Jari saya merupakan anggota tangan, dan tangan anggota lengan, dan lengan saya anggota badan, dimana baik kepala dan kaki juga tersambung. Hal terutama, setiap anggota tubuh merupakan sesama anggota. Tuhan meletakan mereka bersama untuk berfungsi secara harmonis dan berhasil.

Jika anggota tubuh saya mulai berbohong satu sama lain, mereka tidak bisa bersama maka seluruh tubuh akan menderita. Jika mata saya melihat bekas roda dijalan, tapi mengatakan pada kaki kalau jalannya halus, salah satu kaki bisa terluka. Atau jika tangan mengatakan pada anggota tubuh lain bahwa dia baik-baik saja namun kenyataannya sarafnya terputus, itu akan menghancurkan seluruh tubuh. Anggota tubuh saling membutuhkan, tapi itu sedikit artinya jika mereka tidak jujur.

Paulus berkata bahwa kita semua sesama anggota. Tuhan telah meletakan kita bersama untuk berfungsi dengan harmonis dan efektif, dan untuk alasan itu kita saling membutuhkan. Tapi itu tidak berarti jika kita tidak jujur.

Mari kita kembali keteman saya Henry yang mengalami kesulitan mengatakan kebenaran. Dia dan istrinya orang percaya. Mereka satu dalam Kristus. Mereka saling memiliki. Mereka satu daging. Mereka saling membutuhkan. Tapi mereka tidak saling menghargai. Untuk bisa saling melayani kita harus bisa dipercaya dan istri Henry tidak mempercayainya sama sekali. Dia telah sering membohonginya, sehingga istrinya tidak tahu apakah dia sedang bicara benar atau bohong. Dia berjanji akan berhenti bohong, tapi kemudian istrinya menemukan dia berbohong lagi, jadi bahkan janjinyapun suatu kebohongan.

Jika dia mencoba meyakinkan istrinya akan kasihnya, atau menghibur istrinya mengenai masa depan, istrinya tidak terhibur dengan perkataannya. Bagaimana istrinya bisa tahu dia sedang berkata benar atau bohong? Usahanya untuk melayani istrinya ditolak. Harapan istrinya hanya dibawa tinggi dan kemudian dihempaskan. Kemarahannya tertumpuk. Perselisihan menjadi sering. Hubungan mereka tidak akan bisa meningkat sampai Henry berhenti berbohong dan membangun kebiasaan bicara benar.

Dia juga memiliki masalah dengan temannya digereja. Mereka juga tidak mempercayainya dan meragukan semua perkataannya. Bisakah anda bayangkan saat dia mengajar kelas sekolah minggu? Atau mengkonseling orang percaya yang bermasalah? Mereka tidak tahu mana yang harus dipercaya. Dia tidak bisa melayani hidup mereka.

Dia juga memiliki masalah dengan mereka. Karena dia membelokan kebenaran, dia curiga orang lain juga begitu. Jadi dia tidak percaya sepenuhnya perkataan mereka. Dia juga bermasalah dalam menerima perkataan pastor padanya saat menyatakan Firman Tuhan. Jika ada banyak orang seperti dia dalam gereja, itu pasti jemaat yang sakit, dan sangat menular, karena kecurigaan dan tidak percaya merupakan benih konflik. Mari kita mendengar Firman Tuhan: “Karena itu buanglah dusta dan berkatalah benar seorang kepada yang lain, karena kita adalah sesama anggota” (Ephesians 4:25).

Bagaimana dengan sisi lain dari ketidakjujuran—hidup dalam kebohongan, bersembunyi, berpura-pura semuanya baik-baik saja padahal tidak, menyebunyikan perasaan kita? Bagaimana itu mempengaruhi Tubuh? Disatu sisi, itu membuat orang putus asa terhadap kita. Mereka tahu hidup mereka tidak sempurna, dan jika mereka pikira hidup kita sempurna, mereka biasanya menyimpulkan bahwa kita berbeda, dalam kategori super rohani yang tidak pernah bisa mereka capai. Mereka mengatakan pada diri sendiri kalau mereka tidak akan bisa seperti kita maka tidak ada gunanya mencoba. Itu menjauhkan mereka dari kita dan menghalangi mereka datang kepada kita untuk pertolongan. Jika kita jujur, mereka tidak akan menolak kita, tapi lebih menghormati ktia, dan memberi penghiburan karena mengetahui kita juga menggumulkan hal yang sama dengan kelemahan yang sama dengan mereka. Dan mereka bisa meminta nasihat dari kita saat mereka tahu kita pernah mengalaminya. Mereka tahu bahwa kita sadar tentang itu. Kejujuran menolong kita melayani sesama lebih efektif.

Dalam tahun belakangan ini Mary dan saya mendapat keistimewaan melayani missionaries dari berbagai ladang. Dalam setiap pertemuan kita membawakan sesi untuk membagikan platform dan dengan singkat mengingat kisah hidup kita. Kita menceritakan pergumulan yang kita hadapi untuk belajar rukum bersama yang lain, perselisihan dan konflik yang kita atasi, dan kegagalan memenuhi kebutuhan satu sama lain. Dalam setiap kasus, kejujuran kita menolong misionaris berhubungan lebih efektif dengan kita dan membuka kesempatan untuk konseling. Beberapa dari mereka berkata, “Kita juga memiliki masalah yang sama, tapi kami tidak pernah mengatakannya pada siapapun. Apa kata pendukung kami saat pulang nanti? Terima kasih untuk kejujuran anda.”

Tidak hanya ketidakjujuran kita yang membuat kita tidak mungkin melayani orang lain, tapi itu membuat mereka tidak mungkin melayani kita. Mari saya ilustrasikan. Kita jarang pergi kedokter keculai kita sakit. Dia tidak bisa menolong kita kecuali kita mengakui sakit kita. Hal yang sama terjadi dalam kerohanian. Tuhan meletakan Tubuh berasama agar setiap anggota bisa melayani sesama anggota. Tapi jika kita menolak mengakui kebutuhan kita, kita menghilangkan semua pertolongan yang bisa diberikan anggota lain. Mereka tidak bisa melayani sesuatu yang tidak mereka ketahui.

Jika saya memiliki masalah perkawinan, anda tidak bisa menolong saya kecuali anda mengetahuinya. Menutupinya sama seperti jempol hancur berkata, “saya tidak ingin anggota tubuh lain tahu saya hancur. Saya akan meluruskannya tanpa pertolongan.” Itu mustahil. Jempol yang rusak tidak bisa memperbaiki diri sendiri tanpa bantuan bagian tubuh lain. Dan kita juga tidak bisa menyelesaikan masalah kita tanpa pertolongan anggota tubuh Kristus lainnya. Masalah tetap ada, membuat kita makin tumpul dan terganggu dan semakin tidak bisa rukun bersama yang lain. Kejujuran menolong kita melayani sesama lebih efektif, dan meningkatkan kesehatan rohani seluruh Tubuh.

Efek merusak lain dari ketidakjujuran perasaan dan kesalahan anda adalah itu menjauhkan kita dari pengenalan diri sendiri. Psikolog mengatakan pada kita bahwa kita hanya mengerti sebanyak apa yang kita bagikan pada orang lain, dan saya merasakan hal itu. Semakin banyak hal dalam diri saya bagikan pada istri, semakin saya mengenal diri saya. Jika kita tidak terbuka terhadap orang lain—tidak pernah menyatakan kegagalan dan putus asa, sukacita dan dukacita, kebutuhan dan keinginan, perasaan dan frustrasi—kita mungkin tidak bisa mengerti diri kita sepenuhnya, dan karena itu kita tidak bertumbuh.

Mengakui apa yang terjadi dalam diri kita bisa menolong kita bertumbuh. Jika saya terus berkata, “Saya marah terhadap kamu,” akhirnya saya mungkin harus mengakui kalau terlalu berharap banyak dan tidak pernah menyerahkan harapan saya kepada Tuhan. Jika saya terus berkata, “Saya terluka saat kamu berkata demikian,” Saya mungkin akan mengakui kalau saya terlalu sensitive terhadap hal yang remeh. Saat saya mengakui itu, saya mulai berubah. Dan saat saya bertumbuh, saya bisa lebih baik lagi menolong anggota tubuh lain, dan seluruh tubuh akan berfungsi lebih harmonis.

Mungkin anda mulai menangkap pentingnya kejujuran. Itu bisa membawa kebahagiaan dan harmoni bagi hubungan anda. Kita perlu meletakan cara hidup lama dan memakai cara hidup baru, mengesampingkan kebohongan dan bicara benar, karena kita sesama anggota.


6 John Powell, Why Am I Afraid to Tell You Who I Am? (Niles, Illinois: Argus Communications, 1969).

Related Topics: Man (Anthropology), Ecclesiology (The Church), Basics for Christians, Christian Home

7. Perkataan Menguatkan

Saat anak kita bertumbuh, satu hal yang Mary dan saya coba ajarkan adalah tidak egois terhadap orang lain. Tapi harus saya akui, saya tidak terlalu memperhatikan betapa perbincangan kita egois dan tidak pengertian. Hal ini tidak muncul dalam pikiran kalau saya harus mengajar mereka bagaimana mengkomunikasikannya dengan cara yang tidak egois dan memberi teladan pada mereka, mungkin saya sendiri tidak belajar banyak tentang itu.

Menilai dari apa yang saya dengar, saya curiga bahwa ada orang yang tidak belajar tentang komunikasi yang tepat dengan yang lain. Sebagian dari kita memiliki kecenderungan untuk memotong saat orang lain sedang bicara, mendominasi percakapan dengan cerita tentang diri sendiri, menunjukan sedikit ketertarikan terhadap perkataan orang lain, tidak sabar dan terganggu saat mereka tidak setuju dengan kita, mengatakan hal yang kasar untuk menyerang dan menghina, atau melakukan kesalahan dalam percakapan yang menunjukan pertimbangan yang kurang.

Kita mungkin sedikit menghargai kekuatan perkataan kita “siapa kita?” kita bertanya. “bukan siapa-siapa. Tidak ada artinya apa yang saya katakan. Perkataan saya tidak mempengaruhi orang lain.” Tapi mereka terpengaruh! Kata-kata mempengaruhi setiap orang yang kita ajak bicara—semuanya. Itu punya kekuatan untuk menolong dan menyembuhkan, atau kekuatan untuk merusak dan melukai. “Ada orang yang lancang mulutnya seperti tikaman pedang, tetapi lidah orang bijak mendatangkan kesembuhan,” tulisa Raja Salomo (Proverbs 12:18). Sebagian orang Kristen kata-katanya menikam seperti pedang kedalam jiwa seseorang, menyebabkan luka batin pasangan mereka, anak, tetangga, pelayan, operator telepon, atau orang lain yang menghalangi mereka.

Seperti yang kita lihat, Paulus dalam suatu bagian menggunakan kata itu (Ephesians 4:25-32). Dan dalam salah satu ayat dia menringkas beberapa prinsip komunikasi yang baik: “Janganlah ada perkataan kotor keluar dari mulutmu, tetapi pakailah perkataan yang baik untuk membangun, di mana perlu, supaya mereka yang mendengarnya, beroleh kasih karunia” (Ephesians 4:29). Paulus menegakan 2 kategori komunikasi dalam ayat itu: perkataan yang tidak baik dan perkataan yang membangun. Hal yang pertama, harus sama sekali dihilangkan dari mulut kita. Tidak ada tempat sedikitpun untuk hal ini. Kita harus mengeluarkannya dan menggantinya dengan yang kedua. Mentaati perintah ini bisa sangat mengembangkan kemampuan kita rukun bersama yang lain. Tapi kita perlu tahu perkataan apa saja yang termasuk dalam kategori ini. Mari kita melihatnya—pertama perkataan yang tidak sehat atau merusak, kemudian perkataan yang membangun atau memperbaiki.

Perkataan yang Merusak

Kata ini artinya “membusuk, memburuk atau hancur.” Itu biasa digunakan untuk buah yang busuk atau hancur (Matthew 7:17-18), dan ikan yang busuk atau rusak (Matthew 13:48). Hal yang tidak sehat biasanya bau, tidak berguna, tidak bernilai atau tidak menguntungkan—hanya cocok untuk jadi sampah. Tapi lebih buruk lagi, saat kita meletakan apel busuk kedalam tong bersama dengan apel baik, itu akan menghancurkan yang lainnya juga. Itu tidak hanya jadi sampah, tapi berbahaya. Itu sangat berdampak bagi yang lain.

Paulus menggunakan kata itu dalam pengertian menghancurkan yang lain, karena dia membandingkan perkataan yang merusak dan yang membangun—perkataan yang membangun, menguatkan dan menyehatkan. Perkataan yang tidak sehat sebaliknya. Itu akan menghancurkan, dan menyakitkan. Kata-kata apa saja yang Paulus masukan kedalam kategori ini? Konteks ini menunjukan beberapa kata. Berbohong bisa melukai (v. 25). Kata-kata pahit bisa melukai (v. 31). Perkataan yang marah bisa melukai (v. 31). Kata-kata pertikaian dan gossip bisa melukai (v. 31). Semuanya dibahas dalam bab berikut. Perkataan apa lagi yang bisa melukai orang dan hubungan? Kita lihat beberapa diantaranya.

Kata-kata yang Tajam. Salomo bicara tentang perkataan yang menusuk seperti sebuah pedang (Proverbs 12:18). Itu terdengar seperti perkataan yang tajam. Daud berurusan dengan orang yang lidahnya tajam. Dia beberapa kali menyebutnya dalam Mazmur. Sebagai contoh, dia berkata tentang mantan temanya Ahithophel, yang berbalik melawan dia, mengatakan kata-kata seperti pedang terhunus (Psalm 55:21). Dia bicara tentang orang yang lidahnya seperti pedang (Psalm 57:4, 59:7, 64:3). Kita mengenal orang yang memiliki lidah yang tajam. Mereka berbakat dalam sarkasme. Mereka ahli dalam memotong, membelah, mematahkan. Mereka memiliki pikiran tajam yang melempar perkataan yang tajam sehingga orang tidak bisa mengikutinya. Mereka melakukan itu untuk kesenangan, tapi tidak memikirkan bagaimana hal itu menyakiti korban. Serangan mulut mereka merupakan hal yang Paulus kutuk dalam Ephesians 5:4.

Sebagian suami dan istri menjadikan acara perkumpulan sebagai ajang saling menjatuhkan. Daripada mengatasinya secara pribadi sehingga mereka bisa mengetahui perasaan dan pemikiran masing-masing, mereka lebih mudah menjatuhkan pisau kedalam pembicaraan mereka saat pasangan mereka tidak bisa membalas. Seorang suami yang berlidah tajam berkata, “Dottie tidak tidur telalu malam. Dia bangun tepat waktu untuk menonton opera sabun disiang hari.” Tapi Dottie tidak mau kalah: “Max selalu ingat ulang tahun saya—tiga bulan kemudian.” Dan beberapa luka yang diderita akan menimbulkan permusuhan, mengarah pada pembalasan, dan kemudian menghancurkan hubungan. Perkataan yang Merusak! “Jangalah perkataan yang tidak sehat keluar dari mulutmu.”

Kata-kata Omelan. Kitab Amsal bicara sedikit banyak tentang pertengkaran dan akibatnya. “Lebih baik tinggal pada sudut sotoh rumah dari pada diam serumah dengan perempuan yang suka bertengkar.” (Proverbs 21:9). “Lebih baik tinggal di padang gurun dari pada tinggal dengan perempuan yang suka bertengkar dan pemarah.” (Proverbs 21:19). “Seorang isteri yang suka bertengkar serupa dengan tiris yang tidak henti-hentinya menitik pada waktu hujan.” (Proverbs 27:15).

Ada perbedaan antara mengomel dengan mengingatkan. Suatu peringatan sangat bersahabat dan bebas dari ketidak sabaran dan gangguan. Tapi omelan merupakan pengulangan, permintaan yang ditandai dengan kemarahan. Inilah istilah Salomo “suka bertengkar” Suatu omelan cenderung memarahi, menyalahkan, membuat tuduhan yang menyerang harga diri seseorang. “Kapan kamu mau mencat rumah? Apakah kamu tidak peduli apa kata orang?” Itu suatu percobaan menciptakan rasa bersalah. “Apakah kamu tidak tahu cara lain selain menghisap supmu? Kamu makan seperti binatang.” Itu percobaan untuk mempermalukan.

Saya tidak tahu kenapa Salomo hanya mencari-cari kesalahan istri. Mungkin itu karena dia memiliki banyak. Tapi pria juga sama salahnya. “Saya harap kamu kehilangan beberapa kilo. Saya malu bersama kamu didepan umum.” Kata-kata itu sangat merendahkan dan menghina. Itu menyakiti dan menghancurkan. “Sudah saya katakan ratusan kali kalau saya tidak suka kopi sekeras ini.” Itu sekali lagi merendahkan. Maksudnya, “apa yang terjadi dengan kamu? Tidak mengerti bahasa ? Atau kamu tidak bisa mengingat permintaan yang sederhana? Atau kamu memang tidak bisa melakukan apapun dengan benar ?”

Perkataan omelan seperti itu sangat merusak. Itu mengganggu, seperti tetes air dari keran bocor. Itu menyakiti dengan membuat orang lain merasa tidak enak. Perkataan seperti itu membangun rasa bersalah, menyebabkan mereka merendahkan diri, membuang harga diri mereka. Hasilnya semakin merusak hubungan. Tidak baik membuat orang lain merasa buruk. Saat kita meminta seseorang melakukan sesuatu, dan jika mereka setuju tapi gagal, kita bisa mengingatkan mereka dengan kasih dan baik tanpa menyatakan kemarahan atau merendahkan. “Janganlah perkataan tidak sehat keluar dari mulut anda.”

Kata-kata yang Berlebihan. Ada jaring kesalahan yang sudah kita bahas dalam bab sebelumnya yang akan diingatkan kembali karena berhubungan dengan perkataan yang menghancurkan hubungan, dan itu adalah pernyataan yang dilebih-lebihkan. Perkataan yang biasanya menggunakan kata selalu dan tidak pernah. “Kamu tidak pernah mengajakku makan.” “Kamu selalu memberi saya anggur saat pulang kerja …” “Semua yang bisa kamu pikir hanyalah ________” (isi tempat kosong dengan, makan, seks, pakaian baru, dll.). Pernyataan yang Absolute biasanya tidak benar dan cenderung menimbulkan permusuhan. Itu menyakiti kita, sebenarnya kita mencoba menyatakan hal yang benar tapi akhirnya pernyataan itu jadi salah, untuk memperbaiki harga diri kita yang terluka.

Saat seorang istri berkata, “Kamu tidak pernah mengajak saya keluar makan,” suaminya mungkin menjawab, “Tentu saya pernah. Saya ingat pernah mengajak kamu 6 minggu lalu. Kamu tidak mengingat apapun. Dan selain itu kamu tidak menghargai apapun yang saya berikan.” Dan dimulailah perkelahian. Hal yang bodoh adalah mereka mempertengkarkan masalah yang salah. Masalahnya bukan kapan mereka keluar makan terakhir kali. Tapi mungkin istrinya merasa diabaikan atau bekerja terlalu keras. Dia perlu peka terhadap kebutuhan istri. Tapi jika istri mencoba menyatakan keinginan atau perasaannya, maka nyatakan secara langsung dengan kasih dan baik daripada membuat pernyataan absolute yang menuduh, dari situ ada kemungkinan hubungan bisa dikuatkan bukannya jadi tegang. “Janganlah perkataan yang tidak sehat keluar dari mulutmu.”

Kata-kata Dendam. Petrus mengidentifikasi beberapa perkataan yang tidak sehat yang bisa melukai hubungan. “Dan akhirnya, hendaklah kamu semua seia sekata, seperasaan, mengasihi saudara-saudara, penyayang dan rendah hati, dan janganlah membalas kejahatan dengan kejahatan, atau caci maki dengan caci maki, tetapi sebaliknya, hendaklah kamu memberkati, karena untuk itulah kamu dipanggil, yaitu untuk memperoleh berkat.” (1 Peter 3:8-9). Kita biasanya merespon dengan marah terhadap tuduhan. Kita menjawab kemarahan dengan kemarahan, sarkasme dengan sarkasme. Itulah nature manusia kita.

“Kamu tidak pernah mendengar saya,” tuduhnya.

“Itu karena kamu tidak pernah mengatakan apapun yang bisa didengar,” jawabnya.

Kita biasanya hidup seperti pepatah, “Saat terluka, balas dan lukai kembali.” Dan itu hanya meningkatkan konflik kita, sampai itu mencapai perceraian.

“Bisakah anda mengatakan pada pengadilan sekarang apa yang terjadi antara anda dan istri anda sampai masuk kepersidangan ini?”

“Baik,” kata sang suami. “Itu seperti pring dan panic melayang.”

Petrus mengusulkan agar kita tidak membalas kejahatan dengan kejahatan atau penghinaan dengan penghinaan. Kita telah memiliki nature baru, nature supernatural yang mampu berespon seperti Tuhan Yesus sendiri. “Ketika Ia dicaci maki, Ia tidak membalas dengan mencaci maki; ketika Ia menderita, Ia tidak mengancam, tetapi Ia menyerahkannya kepada Dia, yang menghakimi dengan adil.” (1 Peter 2:23). Secara sadar bersandar pada kuasaNya, kita tidak hanya bisa menahan kata-kata dendam, tapi kita bisa bicara hal yang bisa menenangkan orang yang menuduh, menyembuhkan luka yang dialami dan menguatkan hubungan.

Perkataan yang Membangun

Kita sudah melihat beberapa perkataan yang menghancurkan hubungan; sekarang kita melihat beberapa perkataan yang menyembuhkan dan menguatkan—perkataan yang membangun. “Janganlah ada perkataan kotor keluar dari mulutmu, tetapi pakailah perkataan yang baik untuk membangun, di mana perlu, supaya mereka yang mendengarnya, beroleh kasih karunia” (Ephesians 4:29). Disini adalah beberapa prinsip Alkitab yang bisa mengatasi banyak masalah komunikasi kita. Jika kita menggunakannya untuk mengatur kata-kata kita, kita akan melihat hubungan kita akan meningkat. Tanyakan pada diri anda, “Apakah kata-kata saya membangun—apakah kata-kata itu membangun orang dalam hidup saya atau sebaliknya?” “Apakah perkataan ini yang mereka perlukan disaat ini?” “Apakah perkataan ini mendatangkan kasih karunia pada mereka—apakah itu akan menguntungkan mereka?”

Jika seorang istri berkata pada suaminya, “kamu tidak pernah mendengar aku,” dia pasti tidak ingin mendengar jawaban, “Kamu tidak pernah mengatakan sesuatu yang pantas didengar.” Pernyataan pertama sudah salah, tapi 2 kesalahan tidak akan menghasilkan kebenaran. Kesalahan kedua lebih melukai dan menghancurkan daripada yang pertama. Apa yang istri butuhkan saat itu? Perkataan yang membangun! Ini ada beberapa.

Kata-kata yang Lemah Lembut. Kita sudah menyebut perkataan yang lembut saat kita membahas kesalahan orang lain (bab 3). Tapi hal ini penting untuk ditekankan lebih lanjut. Salomo menulis, “Jawaban yang lemah lembut meredakan kegeraman” (Proverbs 15:1). Kata lembut berarti penuh kasih, halus dan nyaman. Paulus mengatakan hal yang sama: “Tetapi hendaklah kamu ramah seorang terhadap yang lain, penuh kasih mesra dan saling mengampuni, sebagaimana Allah di dalam Kristus telah mengampuni kamu” (Ephesians 4:32). Lidah yang menggerakan perselisihan juga bisa mengkomunikasikan kebaikan, kasih dan pengampunan saat dikontrol oleh Roh Kudus. Perkataan yang lemah lembut bisa menenangkan suasana setelah perkataan bodoh dinyatakan. Saat nafsu membara, tuduhan dibuat atau kejahatan dilontarkan, cobalah perkataan yang lembut. Usahakan bicara dalam kelembutan, tenang, nada yang baik, dan pilihan kata yang tidak mengancam atau bermusuhan. Itu seperti menuangkan air dingin di batubara yang menyala. Membutuhkan dua orang untuk bertengkar. Jika salah satu memutuskan ada cara yang lebih baik dan menolak bermusuhan, tidak akan ada perkelahian.

Kata-kata yang Pengertian. Jika kita hanya mau bicara hal yang membangun orang lain sesuai kebutuhan mereka, maka kita harus mengerti kebutuhannya. Itu membutuhkan pemikiran sebelum kita membuka mulut kita. Sebagian besar dari kita langsung melakukan hal pertama yang ada dalam pikiran saat kita diundang berkelahi. Salomo memiliki pengamatan tentang itu:

“Kaulihat orang yang cepat dengan kata-katanya; harapan lebih banyak bagi orang bebal dari pada bagi orang itu.” (Proverbs 29:20). “Hati orang benar menimbang-nimbang jawabannya, tetapi mulut orang fasik mencurahkan hal-hal yang jahat.” (Proverbs 15:28).

Sebagian dari pemikiran itu merupakan usaha mengerti apa perasaan orang lain yang ingin dikomunikasikan pada kita. Mereka mungkin kurang baik mengatakannya, tapi mungkin ada kebutuhan dibalik itu. “Kamu tidak pernah mendengar aku” terjemahannya “Saya tidak merasa kamu mendengar saya dengan baik sehingga saya tidak merasa dikasihi dan dimengerti. Dan saya terluka karena itu.”

Sangat disayangkan kita tidak bisa secara langsung menyatakan hal secara sederhana dan baik tentang apa yang kita inginkan dan rasakan, tapi sebaliknya kita menuduh, mengkritik, memanipulasi, membesar-besarkan, bertengkar atau menghakimi motivasi. Tapi kita semua memiliki masalah, dan itu bisa menolong kita mencoba untuk lebih sabar terhadap orang lain saat mereka tidak mengkomunikasikannya dengan baik, dan menolong kita menangkap apa yang ada dibelakan perkataan mereka. Kemudian kita bisa berespon dengan perkataan yang pengertian daripada pembalasan. Respon yang pengertian bisa seperti, “Anda mungkin benar. Saya mungkin tidak mendengar dengan baik seperti seharusnya. Dan saya bisa mengerti kenapa itu mengganggu anda. Itu juga mengganggu saya. Saya ingin melakukan lebih baik. Bisakah anda mengusulkan beberapa ide sehingga saya bisa berkembang dalam hal ini.”

Apakah anda lihat apa yang anda lakukan? Anda meyakinkan dia bahwa anda mengerti kenapa dia terganggu. Anda memberikan dia kesempatan bicara lebih banyak tentang itu, yang mungkin itulah apa yang dia inginkan. Anda membiarkan dia tahu anda tertarik membuat perubahan dalam hidup anda dan itu membuat dia lebih bahagia. Dan anda telah berfokus pada solusi, membuat pembahasan jadi berbuah daripada saling menyalahkan. Jawaban seperti itu bisa membangun dia, memenuhi kebutuhannya dan menguntungkannya. Itu baik dan mengampuni. Dan apa harganya bagi anda selain menyerahkan pendapat yang pintar yang sudah dari awal tidak benar? Kata-kata pengertian membangun dan mendorong.

Kata-kata Penghargaan. Rasul Paulus sendiri memberikan kita teladan dari kata-kata yang membangun. Dalam banyak suratnya dia memasukan kata-kata penghargaan dan apresiasi. Sebagai contoh, kepada jemaat Filipi dia menulis, “Aku mengucap syukur kepada Allahku setiap kali aku mengingat kamu. Dan setiap kali aku berdoa untuk kamu semua, aku selalu berdoa dengan sukacita. Aku mengucap syukur kepada Allahku karena persekutuanmu dalam Berita Injil mulai dari hari pertama sampai sekarang ini” (Philippians 1:3-5). Kepada jemaat Tesalonika dia menulis, “Kami selalu mengucap syukur kepada Allah karena kamu semua dan menyebut kamu dalam doa kami. Sebab kami selalu mengingat pekerjaan imanmu, usaha kasihmu dan ketekunan pengharapanmu kepada Tuhan kita Yesus Kristus di hadapan Allah dan Bapa kita.” (1 Thessalonians 1:2-3). Baik Paulus maupun jemaat Tesalonika tidak sempurna, tapi Paulus memuji mereka sebelum berhadapan dengan masalah mereka. Tidak ada satupun dari kita yang tidak memerlukan kata pujian. Tanpa itu, kita menjadi ragu dan tidak mampu berfungsi sepenuhnya.

Sebagian dari kita sepertinya berpikir bahwa orang akan jadi sombong jika kita memuji mereka terlalu sering. Sebaliknya! Orang sering menjadi sombong saat mereka kelaparan akan penghargaan. Suatu penghargaan yang tulus akan mendorong mereka untuk melakukan lebih baik.

Alan McGinnis menghubungkan pelajaran ini dalam kelas 2 di Wisconsin. Anak-anak semakin tidak bisa diatur, berdiri dan berjalan kesana-kemari daripada melakukan pekerjaan mereka. Dua psikolog menghabiskan waktu beberapa hari diruangan itu untuk mengamati. Mereka menemukan bahwa 7 kali dalam setiap 20 menit gurunya berkata, “duduk!” Tapi hal itu tetap berlangsung. Mereka mengusulkan dia meningkatkan perintah, dan itu dilakukannya, 27.5 kali dalam setiap 20 menit. Jalan-jalan dikelas meningkat 50 persen. Kemudian mereka menyarankan dia menghilangkan perintah sama sekali dan memberi pujian pada anak-anak yang duduk dikursi mereka dan melakukan pekerjaan mereka. Jalan-jalan dikelas berkurang 33 persen dari situasi awal.7

Psychologists yang mengatakan hal itu, artinya kita perlu 4 pernyataan positif untuk mengimbangi 2 perkataan kritik. Anak yang nakal setidaknya satu – satu. Sebagian dari kita juga sama. Kita menikmati kerjasama dengan mereka yang menunjukan rasa penghargaan pada kita dan kita menolak mereka yang mengkritik kita. Itu akan membuat perubahan yang berarti dalam cara kita rukun bersama yang lain jika kita melihat hal positif dalam hidup mereka dan menyatakan penghargaan kita. Seorang suami bisa berkata, “Ini makanan yang enak. Terima kasih untuk waktu dan usahanya.” Pimpinan sekolah minggu bisa berkata pada seorang guru, “Terima kasih untuk kesetiaan bagi kelas. Saya yakin anda pasti ada kecuali diberitahu lebih dulu.” Pernyataan seperti itu menyatakan pesan penting. Mereka berkata, “Saya peduli terhadap kamu. Kamu penting bagi saya. Saya menghargai kamu.” Itu semua pernyataan yang membangun.

Ini bukan pujian yang salah dimana orang sering menggunakannya untuk keuntungan diri. Alkitab memperingatkan hal itu: “Lidah dusta membenci korbannya, dan mulut licin mendatangkan kehancuran” (Proverbs 26:28). Tapi itu mendorong orang saat kita dengan tulus memuji hal yang terpuji dalam diri mereka. Latih diri anda untuk melihat mereka yang disekitar anda—pelayan ditoko, tetangga yang sulit, usher digereja, pasangan anda, anak anda, orangtua anda, karyawan anda, bos anda—setiap orang!

Mari kita memandang Firman Tuhan dengan serius dan mulai memperhatikan kata-kata kita. Buang semua yang bisa merusak orang lain dan menyebabkan hubungan anda membusuk. Gantikan dengan kata-kata yang membangun, memenuhi kebutuhan, dan melayani hidup orang lain. Kita akan mendapat keuntungan saat kita mengalami hubungan yang harmonis.


7 Reprinted by permission from The Friendship Factor by Alan Loy McGinnis, copyright 1979, Augsburg Publishing House, pp. 93-94.

Related Topics: Man (Anthropology), Basics for Christians

8. Kamu Membuat Saya Sangat Marah

Saat ini Sabtu siang. Seharian anda membersihkan rumah untuk kedatangan tamu dihari minggu—menghisap debu karpet, menyikat lantai, menggosok piring, menggosok peralatan lainnya. Sekarang sudah siap untuk diperiksa—tapi yang terjadi tidak seperti itu. Sebaliknya, anak perempuan anda masuk kedalam dari pantai dan berkata “Hi, ma,” dan terus berjalan sepanjang rumah meninggalkan jalur pasir dibelakangnya.

Sebelum anda mendapat kesempatan buka mulut, suami anda masuk dari garasi dimana dia sedang membetulkan transmisi mobil, dan dengan tangan kotor dia mendekorasi ulang tempat cuci, lemari es dan 2 gagang pintu, dan susunannya. Seperti sudah direncanakan dengan sempurna oleh seseorang yang membenci anda, Johnny 10 tahun, disaat yang sama, tidak bisa mengendalikan kodok besarnya yang dari lumpur dipekarangan. Itu membuat tanda diatas sofa ruang tamu yang sudah putih bersih.

Ledakannya pasti luar biasa—yang terburuk dalam sebulan. Anda berteriak, memanggil nama mereka, menuduh mereka melakukan hal yang tidak bertanggung jawab, mengeluhkan status anda sebagai budak dan mengancam untuk keluar. Mereka membuat anda sangat marah!

Ledakannya sudah lewat sekarang. Suasana tenang dan diam, tapi tegang. Semua orang kelihatannya menghindari anda. Anda merasa sepi dan tertolak, dan sangat bersalah. Anda melakukannya lagi; anda membiarkan kemarahan anda tidak terkontrol, dan itu menjauhkan anda dari orang yang anda kasihi.

Kemarahan! Beberapa orang menyebutnya kututkan terbesar dalam hubungan antar pribadi. Ayah mungkin marah, yang paling dalam keluarga. Dia membesar-besarkan jika seseorang mengganggu acara nonton TV atau membaca Koran, atau meninggalkan peralatannya berkarat. Mungkin salah satu anaknya memutuskan sekringnya jika dia tidak mendapatkan keinginannya.

Rumah bukan satu-satunya tempat mempertunjukan kemarahan. Kita melihatnya ditempat kerja, tetangga, dilapangan pertandingan, bahkan dalam pertemuan dewan gereja dan pertemuan bisnis jemaat.

Apa pandangan Tuhan tentang kemarahan? Mari kita lihat FirmanNya, menemukan apa itu kemarahan, apa yang dilakukan dan bagaimana seharusnya kita menghadapinya.

Apa Itu Kemarahan

Dictionary mendefinisikan kemarahan sebagai “perasaan ketidaksenangan yang kuat dan biasanya bermusuhan.” Sebagian kata PL ini sama dengan kata yang digunakan untuk lubang hidung, atau nafas yang berat. Ada 2 kata utama dalam PB, satu menunjuk pada nafsu yang tersebur keluar, dan yang lain rangkaian pikiran yang tetap. Tuhan tidak senang dengan keduanya. Dia menyuruh kita untuk menyingkirkan keduanya. “Segala……, kegeraman, kemarahan, …….hendaklah dibuang dari antara kamu,…….” (Ephesians 4:31; see also Colossians 3:8).

Tapi yang aneh adalah Tuhan menyuruh kita dalam konteks yang sama untuk marah. “Apabila kamu menjadi marah, janganlah kamu berbuat dosa: janganlah matahari terbenam, sebelum padam amarahmu” (Ephesians 4:26). Kata ini dalam Yunaninya harus ditaati, bukannya “Dalam kemarahanmu jangan berdosa” atau “saat marah jangan berdosa” seperti kebanyakan diterjemahkan, tapi secara literal “Marahlah” Tuhan marah tentang beberapa hal, dan orang Kristen juga harus begitu.

Yesus memberikan teladan. Ada seorang yang membutuhkan disinagoge. Dia memiliki tangan yang lumpuh yang Yesus bisa sembuhkan. Orang Farisi mengawasi Yesus, berharap Dia akan menyembuhkan orang itu agar mereka bisa menuduh Dia melanggar hari Sabat. “Ia berdukacita karena kedegilan mereka dan dengan marah Ia memandang sekeliling-Nya kepada mereka lalu Ia berkata kepada orang itu: Ulurkanlah tanganmu! Dan ia mengulurkannya, maka sembuhlah tangannya itu” (Mark 3:5). Yesus marah terhadap kemunafikan yang membuat aturan agama lebih penting daripada menunjukan belas kasih kepada orang yang membutuhkan. Jadi Dia melakukan hal kasih, peduli dan menyembuhkan orang itu, walau itu bertentangan dengan aturan mereka. Ketidakpedulian, tidak peka seperti itu yang menyamar jadi rohani seharusnya membuat kita marah, seperti kejahatan dan ketidakadilan. Itu kemarahan Tuhan yang baik dan benar.

Apa perbedaannya, antara kemarahan yang benar dan berdosa? Kita mengusulkan beberapa perbedaan. Disatu sisi, kemarahan yang benar pasti tidak egois sementara kemarahan yang berdosa itu egois. Itu muncul saat keinginan, kebutuhan atau ambisi kita tidak berjalan, saat permintaan kita tidak dipenuhi, saat harapan kita tidak tercapai, saat keberadaan kita terancam, saat harga diri kita diserang, atau saat kita malu, diremehkan atau tidak nyaman. “Kenapa dia tidak melakukan apa yang saya perintahkan?” “Kenapa dia tidak membersihkan kekotoran yang dia lakukan saat selesai?” Itu semua tidak menyenangkan bagi kita.

Perbedaan kedua adalah kemaraha yang benar selalu terkontrol sedangkan kemarahan berdosa sering tidak terkontrol. Itu menyebabkan kita mengatakan dan melakukan hal yang akan kita sesali kemudian, hal yang seharusnya tidak dikatakan atau lakukan saat terkontrol.

Perbedaan ketiga adalah kemarahan yang benar terarah pada tindakan berdosa atau keadaan yang tidak adil sementara kemarahan berdosa sering terarah pada orang. Tuhan ingin kita membenci dosa tapi mengasihi orang berdosa, seperti yang dilakukanNya. Dan itu berarti memperlakukan orang berdosa dengan cara yang baik dan peduli. Kemarahan berdosa memukul orang.

Perbedaan terakhir adalah kemarahan yang benar tidak dendam atau bermusuhan, dan tidak membalas. Kenyataannya, perlu tindakan positif untuk memperbaiki kesalahan dan menyembuhkan perbedaan dan perselisihan. Kemarahan berdosa, sebaliknya menabur kepedihan dan mencari permusuhan. “Dia tidak akan lolos dari hal ini.” Jadi kita membuat dia membayar. Kemarahan itu mengharuskan dia menghukum orang, dan memberi bekas luka, atau dengan diam, atau dengan gossip jahat yang kita sebarkan, atau kita mencoba memisahkan dia dengan temannya. Kemarahan berdosa ingin menyakiti, bahkan menghancurkan.

Tuhan ingin kita marah, tapi atas masalah yang tepat, diwaktu dan cara yang benar. Dia ingin kita menyingkirkan semua kemarahan yang berdosa. Jika kita jujur, kita mau mengakui setidaknya kurang dari 2 persen dari kemarahan kita adalah kemarahan yang benar, sementara yang 98 persen adalah kemarahan yang berdosa. Itu adalah kemarahan berdosa yang akan kita bahas dalam bab ini … perasaan berdosa, egois, benci terhadap orang yang tidak menyenangkan bagi kita.

Apa yang Dilakukan Kemarahan

Jika seseorang memegang anda dan mulai berteriak pada anda dengan marah karena anda tidak sengaja menginjak jempol kakinya, beberapa perubahan psikologis akan terjadi dalam tubuh anda. Adrenaline akan terpompa kedalam aliran darah. Tekanan darah dan denyut jantung akan meningkat. Mata akan membesar dan otot menegang. Itulah cara tubuh mempersiapkan diri untuk keadaan krisis tiba-tiba. Respon itu langsung terjadi. Itu terjadi apakah anda mau atau tidak. Itu bisa berupa campuran keterkejutan, takut, khawatir dan marah, tapi kemarahan yang ini tidak berdosa. Tuhan membangun kemampuan berespon seperti itu kedalam diri anda. Pertanyaannya adalah, apa yang akan anda lakukan dengan gelombang kemarahan pertama anda? Pilihannya harus anda tentukan. Anda memiliki beberapa saat untuk menilai keadaan, proses dan data dan membuat respon anda. Apa yang akan terjadi?

Jika anda memutuskan bahwa keadaannya pantas mencurahkan kemarahan anda, bahwa anda pasti dibenarkan kalau menyatakan itu, mungkin anda akan berteriak juga, berkeras kalau itu tidak disengaja, atau itu salahnya sendiri. Beberapa psikolog berkata bahwa kemaraha itu baik bagi kita, keluarkanlah dan bebaskan tekanan itu. Masalahnya adalah dengan mengeluarkan kemarahan membuat tubuh harus menjaga keadaan darurat, jadi itu membuat kemarahan semakin mengalir. Lebih jauh, itu membentuk kebiasaan dalam otak anda untuk bereaksi dengan kemarahan, dan itu menyulitkan usaha menyingkirkan kemarahan yang berdosa, seperti yang dikatakan Alkitab.

Lebih jauh, jika kita mengijinkan keadaan darurat itu terus berlanjut, itu mengurangi kemampuan kita untuk berpikir sehat dengan jelas, dan akhirnya menghancurkan keseimbangan kimia dalam tubuh kita dan membuat kita sakit. Dokter mengusulkan agar hal seperti migraine, thyroid malfunction, ulcerative colitis, toxic goiters, tekanan darah tinggi, ulcers, serangan jantung, sakit punggung, rematik, arthritis, allergies, indigestion, asthma dan banyak penyakit lain bisa disebabkan secara emosi.

Tapi hal yang sama seriusnya adalah fakta bahwa kita akan menjauhkan orang dari kita, seringkali orang yang paling kita kasihi. Mereka yang paling kita tuntut, dimana harapan kita pada mereka paling tinggi. Akibatnya, mereka menjadi objek kemarahan kita. Sangat tidak masuk akal kita membanjiri mereka dengan kemarahan dan meminta mereka membanjiri kita dengan kasih. Mereka juga manusia. Dan prinsip dasar manusia yang dinyatakan Alkitab adalah kemarahan mengakibatkan kemarahan. “Jawaban yang lemah lembut meredakan kegeraman, tetapi perkataan yang pedas membangkitkan marah” (Proverbs 15:1). “Si pemarah membangkitkan pertengkaran, tetapi orang yang sabar memadamkan perbantahan” (Proverbs 15:18). “Si pemarah menimbulkan pertengkaran, dan orang yang lekas gusar, banyak pelanggarannya.” (Proverbs 29:22).

Ada banyak pertengkaran dan perselisihan dalam gereja dan keluarga Kristen sekarang ini karena umat Tuhan tidak mengatasi kemarahan mereka. Kita mendengar orang berkata, “Tapi dengan marah baru saya bisa mendapat jawaban.” Jadi mereka saling berteriak dan menjadikan itu alasan. Tapi Firman Tuhan berkata “…sebab amarah manusia tidak mengerjakan kebenaran di hadapan Allah” (James 1:20). Kita tidak mengerjakan apapun dari kemarahan kecuali teladan yang menyedihkan bagi generasi berikut.

Bagaimana Mengatasi Kemarahan

Ada beberapa cara berbahaya dalam mengatasi kemarahan. Kita sudah menyebut ekspresi yang tak terkendali dan kehancurannya. Tapi ada yang lain. Salah satu yang paling umum adalah dengan menyangkalinya. Kita mengatakan pada diri kita bahwa orang Kristen tidak seharusnya marah. Saya seorang Kristen, jadi sudah alami kalau saya tidak marah. Saya prihatin, kecewa, terluka, tapi tidak marah.

Bayangan saya bahwa sebagai orang Kristen tidak boleh marah, jadi saya menyangkalinya, atau menekannya didalam sehingga itu memakan bagian tubuh saya, membuat saya secara fisik sakit atau membuat saya tertekan. Saya menyimpannya sampai tekanan begitu besat sehingga meledak keluar dengna tidak pada tempatnya sehingga mengakitbatkan hal serius, atau saya menahannya sampai saya bisa mengarahkan itu pada objek yang tidak berbahaya. Bos bisa memecat saya, jadi saya tidak melawannya. Saya pulang rumah dan berteriak pada istri. Dan istri saya berteriak pada anak-anak. Dan mereka menendang kucing kami. Dan kucing mencakar bayi, yang sedang mengembangkan paru-parunya sehingga bisa membuat hidup lebih sengsara bagi semua orang.

Jika kita tidak membiarkan kemarahan kita meledak, kita bisa membiarkannya mengalir dengan cara yang tidak disadari, seperti sering terlambat, atau membakar makanan, atau menghindari orang, atau mencibir, atau menggoda, menjadi sarkastik, lupa mengingatkan atau kebiasaan lain yang membuat orang lain tahu kalau kita sedang marah pada mereka. Hal itu tidak bisa membangun. Ada cara yang lebih baik untuk mengatur kemarahan kita. Paulus menyuruh untuk membuangnya. Tapi bagaimana? Itulah pertanyaan yang perlu dijawab. Marilah saya berikan beberapa usulan.

Hal pertama yang bisa kita lakukan adalah mengakui kemarahan kita dengan jujur dan menerima tanggung jawabnya. Itu mungkin sulit dilakukan jika kita sudah menekannya atau menolaknya dalam hidup kita. Tapi ini penting. Belajar bertanya pada diri sendiri “Apa yang saya rasakan saat ini? Apakah saya marah pada orang itu atas perlakuannya? Kemudian akui itu. Bukannya “kamu membuat saya marah.” Itu merupakan percobaan menyalahkan orang lain, dan itu tidak adil bagi mereka. Tidak ada yang bisa membuat kita seperti itu! Mereka bertanggung jawab atas tindakan mereka sendiri, tapi kita bertanggung jawab atas perasaan kita. Kita memilih untuk marah. Kita memilih untuk mengampuni, bertindak baik, bicara halus atau berkelakar. Tapi jika kita memilih untuk marah, kita harus mau mengatakannya: “Saya merasa marah karena kamu bicara seperti itu pada saya.” Kita tidak memberi sarkasme, merendahkan, tuduhan, hanya pernyataan yang jujur. Kita merasa marah.

Sungguh menakjubkan tekanan bisa dilegakan oleh pengakuan seperti itu. Tapi banyak orang tidak pernah berpikir untuk sejujur itu. Mereka tidak pernah melihat teladan selain dari kemaraan yang tak terkendali, sehingga mereka tidak tahu bagaimana menjadi jujur terhadap hal itu. Paulus berkata kalau kita harus bicara kebenaran (Ephesians 4:25). Yakobus berkata kita harus mengakui kesalahan kita kepada sesama (James 5:16). Cobalah. Dan saat anda melakukannya, baik untuk menyatakan keinginan anda juga untuk mengatasi kemarahan. Katakan seperti ini, “Saya tidak ingin marah dengan anda. Saya tidak suka diri saya saat marah seperti ini. Saya ingin merasa dekat dengan anda dan mengasihi anda.” Ini bisa memperlancar proses penyembuhan.

Usulan kedua untuk menghilangkan kemarahan itu adalah dengan melihat sebabnya. Tuhan ingin kita berpikir dengan baik dan seksama sebelum kita bicara. Banyak bagian Alkitab meneguhkan hal ini (bandingkan James 1:19; Proverbs 12:16; 14:29; 16:32; 19:11; 29:11). Jawabannya tidak menghitung sampai sepuluh, tapi dipikir. Hal terbaik yang bisa terpikir mungkin alasan dari kemarahan kita. Sebagian besar kemarahan bisa dilihat dari kebutuhan dan keinginan kita. Dua orang psikiatris Kristen mengusulkan beberapa sebab umum: (1) Keegoisan: tuntutan egois kita tidak terpenuhi; (2) perfectionism: harapan kita yang perfecsionis tidak terpenuhi yang membuat kita marah pada diri sendiri dan orang lain; (3) Kecurigaan: kita salah mengartikan motivasi atau maksud orang lain. Kita pikir mereka mengabaikan kita, merendahkan atau melawan kita.8 Kita ingin orang memperlakukan kita dengan tepat dan kita marah saat mereka tidak melakukannya, jadi langkah penting untuk mengatasi kemarahan kita adalah mengidentifikasi apa yang kita inginkan darinya.

Apakah perhatian, rasa hormat, pengakuan, penghargaan, pertimbangan atau kasih yang ingin aku dapatkan? Apakah saya ingin didengar, pendapat saya dihargai, permintaan saya dianggap penting? Apakah saya ingin dilihat sebagai orang yang bertanggung jawab? Apakah saya ingin milik saya ditangani dengan baik? Apakah saya ingin orang lebih memperhatikan perasaan saya, atau kenyamanan saya? Kita semua menjadi marah karena kita mengharapkan seseorang memenuhi keinginan kita, dan mereka gagal. Jadi identifikasi keinginan itu.

Itu membawa kepada langkah ketiga dalam mengatasi kemarahan. Ampuni kesalahan mereka dalam memenuhi harapan kita. Kita harus mengampuni mereka saat kita menyadari betapa Tuhan telah mengampuni kita. Dan pengampunan bisa menghapuskan kemarahan keluar dari hidup kita. Kemarahan sering membalas kesalahan orang lain terhadap kita. Tapi jika kita mengampuni, kita membayarnya sendiri. Dan karena mereka dibayar, maka tidak ada alasan untuk marah lagi.

Sebagian dari orang Kristen bergumul dengan kemarahan karena kita memiliki pengertian yang lemah akan anugrah Tuhan. Kita hidup dalam dunia hukum, dan kita pikir kita harus melakukan sesuatu untuk bisa mendapat kelayakan oleh Tuhan. Jadi kita mengharapkan yang lain untuk melakukan tuntutan perfeksionis kita sebelum mereka mendapat penerimaan kita. Jika mereka gagal, kita pikir kita punya hak menghukum mereka dengan kemarahan. Tuhan telah menerima dan mengampuni kita, bukan atas dasar performance kita tapi atas dasar anugrahNya.

Saat kita mengerti betapa besar dosa kita, dan betapa hebat kasih karuniaNya, kita akan berhenti meminta bayaran dari orang lain saat mereka gagal memenuhi harapan kita. Kita akan mampu mengampuni, dan kemarahan kita akan terselesaikan. Kita akan membahas pengampunan dan tempatnya dalam hubungan kita dengan yang lain dalam bab berikut. Tapi dengan kata-kata singkat ini, kita sudah siap dengan obat pencegahan.

Langkah keempat dalam mengatasi kemarahan kita adalah menyatakan keinginan kita secara terbuka. Jika kita ingin sesuatu dari mereka yang dekat dengan kita, atau merasa kita membutuhkan sesuatu dari mereka, kita seharusnya mengatakannya. Jangan memainkan main petak umpet: “Jika kamu mengasihi aku, kamu pasti tahu keinginanku.” Katakan dengan jelas, apapun itu. “Sayang, saya ingin pergi makan malam ...” “Sangat penting bagi saya jika kamu meletakan baju kotor di keranjang.” “Saya suka jika kamu menyambut saya dengan gembira saat pulang rumah. Itu membuat hidup satu hari saya ...” “Saya ingin kamu mengatakan “Aku cinta kamu,” atau “Aku minta maaf, aku salah,” atau “terima kasih.”

Kadang orang gagal memenuhi keinginan kita karena mereka benar-benar tidak tahu apa itu. Beberapa protes karena saya memberikan usulan ini pada mereka: “Tapi saya sudah memberitahu padanya ribuan kali. Itu tidak berarti apa-apa.” Kita mungkin telah merengek, mengeluh, dan menuduh ratusan kali. Tapi itu hanya membangkitkan permusuhan dan penolakan. Kita perlu menjelaskan secara langsung, tenang, baik dan kasih apa yang kita inginkan. Dan itulah perbedaannya! Coba bicarakan itu, bagikan apa yang anda inginkan dan kenapa itu penting bagi anda.

Dan baik bagi kita jika menjalani keseluruhan proses ini sebelum tidur—akui kemarahanmu, lihat alasannya, ampuni kesalahan orang lain dan nyatakan keinginanmu. Lihatlah kembali. “Apabila kamu menjadi marah, janganlah kamu berbuat dosa: janganlah matahari terbenam, sebelum padam amarahmu” (Ephesians 4:26). Jangan membangun permusuhan. Bicarakan hal yang membuat anda marah, dan lakukan itu sebelum hari berakhir jika mungkin. Saat kita membiarkan itu terus ada, itu akan tertimbun tanggung jawab sehari-hari dan menjadi cacing yang membusukan hubungan.

Mungkin kita harus mengingatkan anda sekali lagi bahwa saat anda mengatakan keinginan anda, anda harus memberikan orang lain kebebasan untuk memenuhinya atau tidak. Anda ingin kebebasa dari mereka kan? Jadi berlakukan kebebasan yang sama kepada mereka. Tolak untuk mengurung mereka dalam harapan dan tuntutan anda, memanipulasi mereka untuk sesuai dengan kehendak anda, atau membuat mereka merasa bersalah jika mereka gagal. Serahkan semua harapan anda kepada Tuhan dan biarkan Dia memberikan itu melalui mereka hal yang Dia ingin anda dapatkan. Roh Tuhan akan menggunakan sikap itu untuk menghilangkan kemarahan dari kehidupan anda.

Usulan terakhir untuk mengatasi kemarahan adalah mencari pertolongan Tuhan dan orang lain. Ini mungkin langkah terpenting dari semuanya. Bicarakan pada Tuhan tentang kemarahan anda. Minta Dia memberikan anda kejelasan pengertian tentang alasannya, keinginan untuk mengatasinya, kemauan untuk mengampuni orang lain dan menyerahkan harapan anda kepadaNya. Kemudian undang orang lain untuk mengatasinya dengan meminta mereka memberitahu anda kalau mereka merasa anda marah. Saya minta istri saya melakukan itu, dan saya suka terkejut, dia cukup sering melakukannya. Itu menghentikan saya. Tapi biasanya saya harus mengakui, “Ya, saya merasa marah sekarang.” Kemudian saya minta Tuhan menolong saya mengatasi itu, sekarang juga. Itu sangat luar biasa, saat saya ingat melakukannya!

Kemarahan adalah karya daging, nature dosa (lihat Galatians 5:19-20). Itu datang secara alami. Tapi Tuhan ingin kita untuk berubah, dan Dia bisa menolong kita. “hiduplah oleh Roh, maka kamu tidak akan menuruti keinginan daging” (Galatians 5:16). Hidup dihadapan Tuhan, bergantung pada kuasaNya. Minta Dia membuat anda peka terhadap kemarahan dan menolong anda mengatasinya. Minta pasangan anda, anak anda dan teman anda saat mereka merasakan kemarahan ada dalam anda, kemudian berbalik pada Tuhan untuk kuasa kemenanganNya agar kemarahan dihilangkan dari anda, seperti perintah Tuhan.


8 Frank B. Minirth and Paul D. Meier, Happiness Is A Choice (Grand Rapids, Michigan: Baker Book House, 1978), p. 150.

Related Topics: Man (Anthropology), Basics for Christians, Forgiveness

9. Seperti Tuhan Telah Mengampuni

Bayangkan anda sedang terluka, lebih dari yang anda pikir. Seorang teman mengkhianati anda dengan menceritakan rahasia anda kepada orang lain. Sekarang setiap orang mengetahuinya, dan anda malu menunjukan muka anda. Bagaimana anda bisa mengampuni mulut seperti itu?

Atau mungkin teman kerja mencuri ide anda. Dia yang mendapat keuntungan darinya dan menerima semua pujian, termasuk promosi dan kenaikan gaji. Sekarang dia sulit melihat mata anda. Tapi anda tidak peduli. Kenyataannya, anda tidak peduli jika melihat dia lagi. Bagaimana anda bisa memaafkan dia?

Kemungkinan untuk terluka sangat banyak. Seseorang membohongi anda, atau menyebarkan berita buruk tentang anda, atau menghancurkan barang anda, atau menolak untuk percaya dan mendengar anda. Orangtua anda terus mencoba mengatur hidup anda. Anak anda yang tidak tahu berterima kasih mempermalukan anda dengan menyangkal semua yang anda pertahankan. Saudara laki-laki anda menipu anda dalam warisan keluarga. Pasangan anda memperlakukan anda dengan kasar sehingga tidak ada harga diri yang tersisa. Orang yang dipanggil “teman” merenggangkan hubungan anda dengan pasangan anda. Bekas pacar mencoba mensabotase kehidupan anda. Seorang pastor gagal berdiri bersama anda saat anda membutuhkannya. Bagaimana anda bisa memaafkan?

Sedikit sekali yang bisa mempengaruhi hubungan anda begitu besar selain roh tidak mau mengampuni. Menahan sesuatu terhadap orang lain punya kecenderungan akan mendominasi hidup kita. Kita bahkan mungkin tidak menyadarinya. Kita pikir sudah menyelesaikan dalam pikiran. Tapi setiap waktu itu memakan kita, mempengaruhi sifat kita, kesehatan kita, dan jelas mempengaruhi cara kita memperlakukan orang yang menyakiti kita. Itu mungkin dengan cara yang kecil—melihat kearah lain saat mereka lewat, menolak untuk tersenyum, menjaga ketenangan suara anda. Itu bisa juga dengan cara yang lebih ekstrem seperti kemarahan atau gossip yang jahat. Tapi itu pasti ada, menghilangkan kehangantan dan kedekatana yang kita ingin nikmati dengan orang disekitar kita.

Rasul Paulus membuat pernyataan yang menarik tentang pengampunan dalam pesan utamanya dalam hubungan manusia. “Segala kepahitan, kegeraman, kemarahan, pertikaian dan fitnah hendaklah dibuang dari antara kamu, demikian pula segala kejahatan. Tetapi hendaklah kamu ramah seorang terhadap yang lain, penuh kasih mesra dan saling mengampuni, sebagaimana Allah di dalam Kristus telah mengampuni kamu” (Ephesians 4:31-32). Apakah anda memperhatikan dia membedakan prilaku yang menghancurkan seperti kepahitan, kemarahan, kegeraman, pertikaian, dan fitnah disatu sisi dan kasih mesra, saling mengampuni disisi lainnya? Maukan anda menyingkirkan rantai penghancur yang mengikat kebebasan anda untuk damai bersama orang lain? Satu kunci untuk membuka rantai itu adalah pengampunan.

Tapi mengampuni tidak mudah bukan? “Bagaimana saya bisa melakukannya?” anda bertanya. Rahasianya terletak didalam ayat ini: “saling mengampuni, sebagaimana Allah di dalam Kristus telah mengampuni kamu.” Kita mengampuni sebagaimana Allah telah mengampuni. Bagaimana itu? Jika kita bisa belajar beberapa elemen dalam pengampunan Allah, kita bisa tahu bagaimana kita bisa mengampuni.

Dia Mengerti Kelemahan Kita

Pengampunan merupakan tema dominant dalam Maz 103 (terutama perhatiakn ayat 3 dan 10-13). Tapi lihat alasan Allah begitu murah hati dan belas kasih mengampuni kesalahan dan menyingkirkan pelanggaran kita sejauh timur dari barat: “Sebab Dia sendiri tahu apa kita, Dia ingat, bahwa kita ini debu” (Psalm 103:14). Dia tahu seperti apa kita, bagaimana kita itu lemah. Sebenarnya saat Dia menjadi manusia Dia berbagi kelemahan yang sama. “Sebab Imam Besar yang kita punya, bukanlah imam besar yang tidak dapat turut merasakan kelemahan-kelemahan kita, sebaliknya sama dengan kita, Ia telah dicobai, hanya tidak berbuat dosa” (Hebrews 4:15). Dia pernah disini. Dia mengerti.

Pengampunan mulai dengan belajar mengerti orang lain. Itu terdengar tidak sulit. Kita tahu apa yang kita sukai. Setidaknya jika kita jujur pada diri sendiri. Kita sebesar apa kita bisa sombong, egois, membenci, iri hati, tidak perhatian dan aneh. Kenapa kita tidak menunjukan sedikit toleransi dalam kesalahan yang sama dengan orang lain? Orang yang menolak mengampuni mungkin merasa diri sempurna.

Seperti kata McGinnis, “Jika kita ingin mengampuni dengan bebas, kita perlu memberi toleransi kepada orang lain sebesar toleransi yang kita tunjukan pada kesalahan kita sendiri. Sangat luar biasa bagaimana kita bisa mengerti kesalahan kita dalam hubungan antarpribadi—kita tidak sengaja salah, atau terjadi disaat stress, atau kita tidak merasa enak hari itu, atau kita akan lebih baik kali berikutnya. Kita cenderung melihat diri kita bukan dari apa kita tapi dari apa yang kita usahakan, tapi kita melihat orang dari apa mereka.”9

Mengerti orang lain tidak selalu berarti bahwa kita setuju dengan mereka. Mary dan saya sering berkata begini, “Kamu tidak mengerti saya,” katanya. “Tentu saya mengerti,” saya berkeras. “Tapi jika kamu mengerti saya kamu akan setuju dengan saya,” balas istri saya. Saya tidak berpikir bahwa itu benar dan saya akan mengatakan pada istri saya demikian. Tapi sejak itu saya mengetahui masalah kita. Saya mengerti dia, tapi saya tidak mengerti betul. Dan itu ada perbedaannya.

Untuk pengertian lebih merupakan mengerti kata-kata. Itu mencoba melihat hal-hal dari cara pandang orang lain, baik kita setuju atau tidak. Itu mencoba merasakan apa yang mereka rasakan, dan menerima perasaan mereka baik kita merasa perasaan itu berdasar atau tidak. Mereka biasanya bisa merasakan hal ini dalam kita—atau kekurangan hal ini. Dan mengembangkan prilaku itu bisa menolong kita mengampuni saat kebutuhan mengharuskannya.

Seorang istri muda yang berpikiran rohani membagikan kita bagaimana dia mengampuni suaminya saat dia mengganggunya. Dia berkata, “Saya tahu itu bukan cara yang diinginkannya. Dia ingin menjadi pria yang menyenangkan Tuhan, dan biasanya begitu. Beberapa keadaan sulitlah yang membuat dia seperti sekarang.” Itulah artinya mengerti, dan prilaku itu menolongnya untuk mengampuni.

Tapi pengertian sendiri bukan pengampunan. Itu hanya langkah penting yang perlu diambil. Kita melihat hati yang mengampuni dalam hal berikut.

Dia Membayar Kesalahan Kita

Apakah anda pernah mendapatkan seseorang meminta maaf pada anda, dan anda membalas seperti ini, “Oh, jangan kuatir. Tidak apa-apa. Itu tidak mengganggu sama sekali”? Anda mungkin berpikir kalau prilaku anda mencerminkan penampunan yang murni. Tapi sebenarnya tidak. Kenyataannya, anda mungkin sudah mengeluh pada beberapa orang tentang orang itu, tapi menyatakan kalau itu tidak mengganggu sama sekali. Dan itu mungkin mempengaruhi cara anda bertindak terhadap orang itu. Pengampunan lebih dari berpura-pura kesalahan tidak terjadi, atau berpura-pura itu tidak menyakitkan. Pengampunan adalah mengahadapi kenyataan bahwa itu terjadi dan mengakui kalau itu sakit, tapi memutuskan untuk membayar kesalahan itu sendiri.

Itulah yang Tuhan lakukan. Dalam surat Paulus yang kedua pada jemaat Korintus dia meyakinkan mereka bahwa Tuhan tidak menghitung kesalahan mereka (2 Corinthians 5:19). Bagaimana bisa Allah yang Kudus tidak memperhitungkan pelanggaran kita? Paulus menjelaskannya. “Dia yang tidak mengenal dosa telah dibuat-Nya menjadi dosa karena kita, supaya dalam Dia kita dibenarkan oleh Allah.” (5:21). Dia bisa mengampuni kita karena Dia mau menanggung hukuman dosa kita dalam pribadi AnakNya. Atau seperti kata Petrus, Dia sendiri menanggung dosa kita dalam TubuhNya diatas salib (1 Peter 2:24). Saat kesalahan dibuat, seseorang harus membayar. Saat keadilan sukses, yang berbuat kesalahan membayar. Tapi saat pengampunan diberikan, yang terkena membayarnya sendiri.

Dosa kita menyalahkan kekudusan Allah, tapi Dia sendiri yang membayar hutang yang muncul. Saat Yesus Kristus merendah dalam kematian, Dia berteriak, “Sudah selesai.” Kata itu dalam teks Yunani digunakan dalam transaksi bisnis saat itu. Saat itu ditulis dalam tagihan artinya, “Lunas Terbayar.” Tidak ada yang bisa kita tambahkan atau lakukan untuk mendapat pengampunanNya dan tidak ada yang bisa kita bayar untuk mendapatkannya. Tuhan dalam anugrahNya telah membayar lunas dan membebaskan kita dari kesalahan selamanya. Anugrah itu adalah inti dari pengampunan.

Kegagalan kita menghargai kebenaran ini merupakan salah satu alasan utama kita sulit mengampuni orang lain. Inilah maksud perumpamaan Yesus tentang pelayan yang tidak mengampuni (Matthew 18:23-35), yang diceritakan untuk menjawab pertanyaan Petrus tentang berapa kali dia harus mengampuni saudaranya yang berdosa terhadap dia. Ini adalah cerita tentang seorang raja yang ingin membebaskan hutang budaknya. Salah satu dari mereka berhutang sebesar $10,000,000. Tidak mungkin dia bisa mengembalikannya, jadi sang raja memerintahkan agar dia dan seluruh keluarganya dijual untuk mengurangi sedikit kerugian.

“Maka sujudlah hamba itu menyembah dia, katanya: Sabarlah dahulu, segala hutangku akan kulunaskan’” (Matthew 18:26). Dia ingin perpanjangan waktu. Dia pikir dengan waktu itu dia bisa melunasinya. “Lalu tergeraklah hati raja itu oleh belas kasihan akan hamba itu, sehingga ia membebaskannya dan menghapuskan hutangnya” (v. 27). Dia mendapat lebih dari sekedar perpanjangan waktu. Dalam tindakan belas kasih dan kasih karunia yang tiada banding, sang raja menghapus semua hutangnya, dan mengampuni dia. Dia sendiri yang membayar hutang budaknya.

Raja itu menggambarkan Tuhan, dan apa yang dia lakukan menyatakan harga yang Tuhan bayar bagi pengampunan kekal kita. Tapi dalam cerita ini, budak itu tidak pernah menangkap penuh apa yang telah dilakukan raja. Dia tidak pernah menerima pengampunan raja. Dia tetap berpikir dia harus membayar, dan bagaimana dia bisa membayarnya. Inilah maksud dari kisah ini. Dia keluar dan menemukan temannya yang berhutang sekitar $20, mencekiknya dan menuntut uangnya. Tapi temannya tidak bisa. Dia membuang temannya kepenjara sampai dia bisa membayar hutangnya. Seorang yang munafik—diampuni begitu besar tapi menolak mengampuni hal yang begitu kecil!

Itulah yang dilakukan oleh beberapa orang Kristen. Kita sedikit sekali mengerti kenyataan dan kebesaran anugrah pengampunan Tuhan. Dan karena kita salah mengerti anugrah Tuhan dan berpikir kita harus membayarNya dengan performance atas pengampunanNya, kita pikir kita punya hak untuk meminta bayaran dari orang lain sebelum kita mengampuni mereka. Mereka telah berbuat salah terhadap kita, jadi mereka berhutang dan sekarang mereka harus membayar. Dan kita akan mengawasi apa yang mereka lakukan. Jadi kita mulai membuat tuntutan. Kita mungkin menuntut permintaan maaf, berkerah mereka harus merangkak kepada kita dan mengakui kesalahan mereka. “Itu semua salahmu,” kita berkeras, “Akui itu.” Kita mungkin menuntut mereka untuk memperbaiki kesalahannya, mengubah masa lalu yang tidak bisa diubah. Kita mungkin menuntut jaminan kalau mereka tidak akan melakukannya lagi.

Jika mereka tidak mau membayar hutang mereka, kita akan menghukum mereka. Kita bisa melakukan itu dengan kemarahan, atau kita bisa mengubah taktik dan mendiamkan mereka, berlaku seolah-olah mereka tidak ada. Sebagai tambahan, kita mungkin mengatakan pada orang lain hal buruk tentang mereka kepada kita agar mereka buruh dihadapan temannya. Itu akan membetulkan mereka. Kita bahkan mungkin membawa mereka kepengadilan. Tapi dengan cara apapun, kita berusaha membuat mereka membayar.

Itulah masalah di Korintus. Orang percaya saling menuntut dipengadilan atas masalah yang remeh. Mereka tidak menangkap maksud anugrah Tuhan dan realitas betapa Tuhan telah mengampuni mereka. Kata Paulus “Mengapa kamu tidak lebih suka menderita ketidakadilan? Mengapakah kamu tidak lebih suka dirugikan?” (1 Corinthians 6:7). Jauh lebih baik menderita penghinaan, sakit, kehilangan atau kerusakan daripada resiko kemungkinan menyebabkan penderitaan orang percaya lain. Itu inti pengampunan—kita yang membayarnya, membatalkan semua tuntutan, menyerahkan hak untuk membalas dengan cara apapun. Memberikan hak kita untuk menyakiti orang lain hanya karena mereka telah menyakiti kita. Itulah apa yang Tuhan lakukan pada kita, dan itulah yang Dia ingin kita lakukan bagi orang lain.

Apakah anda ingat apa yang terjadi pada budak yang menolak mengampuni dalam perumpamaan Yesus? Saat teman budaknya yang lain melihat perbuatannya, mereka sedih dan melaporkannya pada sang raja. Dia memanggil budak itu dan berkata, “Hai hamba yang jahat, seluruh hutangmu telah kuhapuskan karena engkau memohonkannya kepadaku. Bukankah engkaupun harus mengasihani kawanmu seperti aku telah mengasihani engkau? Maka marahlah tuannya itu dan menyerahkannya kepada algojo-algojo, sampai ia melunaskan seluruh hutangnya. Yesus menyimpulkan ceritanya, “Maka Bapa-Ku yang di sorga akan berbuat demikian juga terhadap kamu, apabila kamu masing-masing tidak mengampuni saudaramu dengan segenap hatimu” (Matthew 18:35). Itu pemikiran yang menakutkan. Kita tidak yakin siapa algojonya, tapi beberapa berpendapat itu adalah siksaan batin yang menimpa orang yang menolak untuk mengampuni—kemarahan, permusuhan, kepahitan, dendam, depresi dan putus asa memakan kita dan menghancurkan kita. Suatu keadaan yang mengerikan!

Dr. S. I. McMillen menceritakan pada kita tentang pelajar yang datang kekantornya menderita rasa terbakar diperut atas dan gangguan pencernaan. Medis tidak menolong, dan dokter bingung dengan kasus ini. Satu hari seorang pelajar lain melaporkan pada dia bahwa pernah mendengar pelajar itu mencaci maki dengan marah beberapa orang yang telah menipu kakeknya, dan dia ingin membalasnya dengan cara apapun. Dokter menasihati pelajar itu dan mendorong dia untuk mengampuni, tapi dia menolak. Kondisinya jadi semakin buruk sehingga harus keluar dari sekolah.10 Begitu besar harga dari hal ini, terutama dalam hal siksaan batin.

Dia Melupakan Kesalahan Kita

Tuhan mengasihi kita, dan kasih “tidak menyimpan kesalahan orang lain.” (1 Corinthians 13:5). Kata yang Paulus gunakan dalam gambaran kasih merupakan istilah akuntansi dalam memasukan item kebuku besar agar tidak lupa. Saat seseorang menghitung kesalahan yang dilakukan terhadap dia, dia menandainya dalam kalkulator mental sehingga dia bisa mengingatnya saat dibutuhkan. Tuhan tidak melakukan hal itu. Dia memilih tombol clear pada kalkulatorNya dan melupakan informasi itu. Beberapa kali Alkitab meneguhkan kita bahwa Dia tidak akan mengingat dosa kita lagi (Jeremiah 31:34; Hebrews 10:17; Isaiah 43:25). Bagaimana Tuhan mengampuni? Saat Dia mengampuni, Dia melupakan, dan kita perlu melakukan hal yang sama.

Tapi sekarang kita punya masalah karena kelihatannya kalkulator mental kita tidak memiliki tombol clear. Kita sebenarnya tidak bisa menghilangkan peristiwa dalam ingatan kita. Ilmu kedokteran mengatakan hal ini tidak bisa hilang, bisa dipanggil kembali, kecuali kita mengalami operasi otak, ini semua tidak bisa menolong kita mengampuni dengant tepat. Kemudian apa artinya kita melupakan?

Pertama, saat kita benar-benar mengapuni, keinginan yang salah tidak lagi mendominasi pikiran kita. Saat itu kembali kepikiran kita, kita mampu menghentikannya langsung. Kita tidak mau menghidupkannya lagi dan membicarakan hal itu dengan orang lain. Beberapa orang berkata kalau mereka telah mengampuni, tapi mereka bisa bicara hal itu lagi. Mereka ingin tetap mengulangi hal buruk yang telah dilakukan pada mereka. Ketidakmampuan mereka untuk berhenti berpikir tentang hal itu dan membicarakannya menunjukan kurangnya mereka mengampuni.

Kedua, kesalahan itu tidak lagi menyakitkan. Fakta tetap ada, tapi emosi mendalam tidak ada lagi. Kita bisa memikirkan itu tanpa kepahitan dan permusuhan, tanpa perasaan sakit seperti yang lalu.

Dan ketiga, kita mampu memperlakukan orang itu seperti kesalahannya tidak pernah ada. Tidak berpura-pura tak pernah terjadi. Itu pernah terjadi, dan kita perlu jujur tentang hal itu. Tapi memperlakukan dia seperti tidak terjadi. Jika kita mengampuni seperti Tuhan mengampuni dan tidak mengingat kesalahan, maka itu tidak bisa mempengaruhi tindakan kita. Kita bisa bebas menjangkau dengan ramah, baik, terbuka dan percaya untuk bisa memperbaharui hubungan. Dan itu membawa kita pada elemen terakhir dari pengampunan Tuhan yang perlu kita mengerti.

Dia Mencari Persekutuan dengan Kita

Tujuan dari pengampunan adalah rekonsiliasi. Tidak ada pengampunan yang berkata seperti ini, “Baik, saya mengampuni dia, tapi saya tidak ingin dekat dengan dia lagi. Biarlah kita menjalani hidup kita masing-masing saja.” Itu bukan cara Tuhan mengampuni. Dia mencari pendosa seperti kita (lihat Luke 19:10). Dia menjangkau musuhNya dan berusaha mendamaikan mereka dengan diriNya (Romans 5:10).

Tapi seperti perkiraan anda, rekonsiliasi punya jalan berjalur dua. Agar pendosa berdamai dengan Tuhan dia harus mengakui dosanya dan bertobat. Dan itu pelajaran bagi kita. Pengampunan satu sisi melegakan kepahitan dalam kita dan menghilangkan tekanan dalam hubungan kita. Tapi tidak akan ada rekonsiliasi yang sejati sampai kesalahan dibahas bersama dan keduanya mengakui kesalahan mereka dan saling percaya kembali. Kita tidak bisa menuntut orang lain untuk bertobat. Kita tidak bisa memaksa mereka mengakui kesalahan. Tapi kita bisa mengakui bagian kita, menjangkau mereka dan memberitahu mereka kita ingin berdamai. Itulah yang Tuhan minta pada kita.

Jika anda yang diperlakukan salah, tanggung jawab anda adalah mengambil langkah pertama. “Apabila saudaramu berbuat dosa, tegorlah dia di bawah empat mata. Jika ia mendengarkan nasihatmu engkau telah mendapatnya kembali” (Matthew 18:15). Anda harus melakukannya dalam kasih dan lembut.

Jika anda yang melakukan kesalahan, sekali lagi tanggung jawab anda untuk mengambil inisiatif. “Sebab itu, jika engkau mempersembahkan persembahanmu di atas mezbah dan engkau teringat akan sesuatu yang ada dalam hati saudaramu terhadap engkau, tinggalkanlah persembahanmu di depan mezbah itu dan pergilah berdamai dahulu dengan saudaramu, lalu kembali untuk mempersembahkan persembahanmu itu” (Matthew 5:23-24).

Jika saudaramu bersalah padamu, dan anda yang disalahkan, anda harus melangkah lebih dulu. Alkitab tidak mengenal hal seperti ini, “Baik, itu kesalahannya. Dia yang harus datang pada saya.” Tuhan ingin saudara saudari dalam Kristus untuk berdamai. Dan apapun peran anda, diperlakukan salah atau yang bersalah, jika anda ingin taat pada Firman Tuhan anda harus menjangkau. Secara Alkitabiah, selalu anda yang bergerak.

Apakah ada tembok antara anda dan beberapa saudara seiman? Anda telah dilukai, lebih dari yang anda pikir. Tuhan ingin anda mengampuni seperti Dia mengampuni anda dalam Kristus. Mengertilah mereka dalam kelemahan mereka. Mau membayar kesalahan mereka sepenuhnya. Melupakan kesalahan, dan menjangkau dengan kasih untuk berdamai. Anda akan berkontribusi untuk harmonisnya Tubuh Kristus. Anda akan merasa lebih baik secara emosi dan fisik. Anda akan menikmati hidup lebih baik. Anda akan menemukan realitas berjalan dengan Tuhan lebih besar lagi. Anda akan mengalami pelayanan rohani anda lebih efektif. Dan Tuhan dimuliakan!


9 Alan Loy McGinnis, The Friendship Factor (Minneapolis: Augsburg Publishing House, 1979), pp. 159160.

10 S. I. McMillen, None of These Diseases (Old Tappan, New Jersey: Fleming H. Revell, 1967), pp. 70-71.

Related Topics: Man (Anthropology), Soteriology (Salvation), Theology Proper (God), Basics for Christians, Christian Home, Finance

10. Manis Seperti Madu

Ingatan masa kecil, sebagian menyenangkan dan sebagian tidak, ada dalam pikiran kita tidak masalah setua apa kita. Saya ingat menjelajahi lingkungan kami. Disebelah kami ada pasangan tua yang paling baik yang pernah saya kenal. Walau teman saya dan saya sedikit rebut diwaktu tertentu, atau tanpa berpikir melewati pekarangan mereka yang indah, mereka selalu baik, memahami dan berteman. Lama setelah saya menikah dan pindah jauh dari rumah, saya tetap menganggap mereka sebagai teman. Saat saya kembali kampong untuk berkunjung, saya akan berhenti dan menyapa mereka

Disebelah mereka tinggal orang paling pemarah yang pernah saya kenal. Saya tidak ingat dia pernah berkata hal baik selama 10 tahun saya tinggal dilingkunganitu. Jika bola saya tidak sengaja masuk kehalamannya, dia akan memberikan saya gerakan yang tidak terlupakan. Saat saya melewati rumahnya dengan teman saya, dia akan mengerutkan dahi pada kita sepertinya kita musuh yang akan memasuki pekarangan dan membunuh rumputnya yang indah. Saya tidak ingat namanya, tapi saya ingat kalau saya berharap tidak akan seperti dia saat tua.

Hampir setiap anak mengetahui beberapa orang menyedihkan seperti itu. Mereka memiliki kecenderungan menjadi target lelucon anak kecil, dan itu membuat mereka lebih aneh. Tapi ketidaksenangan mereka tidak hanya terarah pada anak-anak dilingkungannya; mereka melakukan itu juga terhadap keluarga mereka, dengan saudara mereka, dengan sesama pekerja, orang digereja, dan setiap orang yang melewati mereka. Saat anda bicara dengan mereka anda menemukan kalau mereka telah mengalami hal buruk, dan diperlakukan tidak baik, betapa dunia ini kacau. Dekat dengan mereka seperti memeluk landak. Anda jarang mendengar kata-kata menyenangkan dari mereka. Dan yang menyedihkan, sebagian dari mereka mengaku mengenal Tuhan.

Apakah anda tahu kalau Tuhan menghargai perkataan yang menyenangkan? “Perkataan yang menyenangkan adalah seperti sarang madu, manis bagi hati dan obat bagi tulang-tulang” (Proverbs 16:24). Kita semua tahu kalau kebanyakan madu bisa sakit. Tapi Salomo tidak bicara tentang memuji, menjilat, bicara yang manisnya menyakitkan. Dia bicara tentang kata-kata yang lahir dari kasih—menyetujui, murah hati, ramah, baik yang mencerminkan perhatian kita pada orang lain. Kebalikannya adalah kata-kata yang negative, kritik, keluhan, pertengkaran. Ini sangat manis bagi jiwa. Itu melayani keberadaan kita paling dalam, mengangkat roh kita dan menyegarkan hidup kita. Dan kata-kata itu menyehatkan tulang. Itu berkontribusi bagi kesehatan fisik. Demikian juga dengan kata-kata yang tidak menyenangkan bisa membuat kita sakit, dan kata-kata menyenangkan bisa menolong kita tetap sehat.

Sebagian dari kita tidak pernah memikirkan sejauh ini efek kata-kata kita. Pikirkan itu! Kita melalui kata-kata bisa mempengaruhi kesehatan dan kebahagiaan, atau sakit dan kesedihan. Bijaksana sekali jika kita belajar menggunakan kekuatan itu sebelum orang lain terluka. Mari kita bahas nature kata-kata menyenangkan agar kita bisa menggunakannya untuk bisa menyehatkan hidup kita dan yang disekitar kita.

Mereka Itu Saling Setuju

Kata ini digunakan Daud dalam persahabatannya dengan Yonatan. “Merasa susah aku karena engkau, saudaraku Yonatan, engkau sangat ramah kepadaku; bagiku cintamu lebih ajaib dari pada cinta perempuan” (2 Samuel 1:26). Kedua pria itu menikmati harmonisnya hubungan mereka. Mereka memiliki pemikiran yang sama, apa yang disukai atau tidak, dan berbagi tujuan yang sama. Hasilnya mereka saling setuju, dan itu menyenangkan bagi mereka berdua.

Saling setuju tidak berarti berbeda pendapat. Itu artinya kita memiliki pandangan positif daripada negative. Kita menekankan wilayah dimana kita setuju daripada melihat hal yang bisa keluhkan. Kita menghindari mempermasalahkan hal kecil. Kita menjaga perasaan dan saling menerima walau kita tidak setuju dengan semua perkataan atau tindakan mereka. Dan kita bicara baik dengan mereka disegala situasi.

Kita semua mengenal orang yang negative. Tentu saja bukan anda dan saya. Tapi orang lain! Bukankah selalu orang lain? Bukankah kita tidak menikmati jika bersama dengan mereka? Jika kita memiliki ide baru, mereka biasanya menolaknya. Itu kelihatannya sudah menjadi respon otomatis dari emreka. Jika kita memiliki pendapat, itu pasti tidak benar dan mereka akan menolak dan mengkoreksinya. Jika kita menceritakan sesuatu, detilnya pasti sedikit tertukar, mereka pasti meluruskannya. Jika kita mencoba melakukan suatu pekerjaan, mereka akan mengatakan hal yang lebih baik untuk dilakukan. Jika kita mengusulkan suatu solusi, itu pasti tidak berjalan, atau akan memakan biaya terlalu besar, atau tidak mempertimbangkan semua akibat. Pasti ada yang salah—kita bisa pastikan itu. Orang ini menghabiskan hidupnya mencari masalah daripada solusi.

Orangtua yang negative merampas rasa hormat dan harga diri anak anda. Anak-anak merasa mereka tidak pernah bisa dipuaskan. Guru yang negative membuat muridnya putus asa untuk belajar. Para murid merasa mereka tidak bisa melakukan cukup baik. Anggota gereja yang negative menekan semangat yang lainnya dalam jemaat dan menindas kemajuan karya Tuhan. Kata-kata mereka yang tidak setuju seperti air es yang mengalir diatas bara api, dan mereka menghancurkan kesehatan jemaat. Tapi kata-kata yang menyenangkan seperti madu, manis bagi jiwa dan menyembuhkan tulang.”

Mereka Itu Menggembirakan

Kata-kata yang menyenangkan juga merupakan kata-kata yang menggembirakan. “Kekuatiran dalam hati membungkukkan orang, tetapi perkataan yang baik menggembirakan dia.” (Proverbs 12:25). “Baik” sinonim dengan “Menyenangkan” yang menekankan kegembiraan. Dan kata-kata yang gembira menggembirakan orang dan menyenangkan hati. Beberapa orang Kristen memiliki pengertian aneh, bahwa lebih rohani dengan menjadi murung dan muram, dan semakin dekat orang itu dengan Tuhan dia semakin seperti orang yang menghisap lemon asam. Kita melihatnya sebagai awan yang menghilangkan setiap senyum. Tapi itu bukan gambaran Alkitab.

“Hati yang gembira membuat muka berseri-seri” (Proverbs 15:13a). Tuhan senang dengan hati yang gembira dan muka yang gembira. “Hari orang berkesusahan buruk semuanya, tetapi orang yang gembira hatinya selalu berpesta” (Proverbs 15:15). Dengan kata lain, itu membumbui semua hidup, seperti pencicip rasa merasakan setiap masakan. “Hati yang gembira adalah obat yang manjur” (Proverbs 17:22a). Kegembiraan adalah obat.

Saat Norman Cousins, mantan editor The Saturday Review diberitahu di tahun 1964 kalau dia menderita penyakit aneh yang menyebabkan tulang belakangnya terpisah, kesempatannya untuk sembuh total satu dibanding seratus. Dia meminta beberapa film komedi dan menemukan bahwa 10 menit tertawa memberikan dia setidaknya 2 jam tidur tanpa sakit. Secara bertahap, dokter dengan kagum melihat, dia mulai membaik. Enambelas tahun setelah perkiraan itu, dia bebas dari sakit, menunggang kuda dan bermain tennis dan golf.

Tuhan sudah mengatakannya ribuan tahun lalu, “Hati yang gembira adalah obat.” Dan ada sesuatu yang bisa membuat hati kita lebih gembira dari film komedi. Daud mengatakannya: “Orang benar akan bersukacita karena TUHAN dan berlindung pada-Nya; semua orang yang jujur akan bermegah.” (Psalm 64:10). Saat kita mengetahui bahwa Tuhan memiliki sesuatu yang bisa membuat kita gembira. Ada bukti bahwa Tuhan sendiri memiliki rasa humor, dan tidak ada alasan kenapa umatNya tidak seperti itu. Kita menjadi lebih relax dan menikmati jika kita belajar tertawa, tertawa terhadap kesalahan kita dan tuntutan kita yang terlalu perfeksionis.

Beberapa saat yang paling diingat sebagai keluarga adalah saat rumah dipenuhi dengan tawa serak. Beberap pengalaman terhebat staff pastoral kami adalah disaat kami tertawa sampai air mata keluar dan perut kami sakit. Tidak ada yang mencemarkan disitu. Itu membuat kami semakin dekat dan membuat doa kami lebih bermakna. Saya tidak menyarankan tawa yang tidak pada tempatnya, menyerang atau menghina. Saya bicara tentang kemampuan melihat sisi yang lucu dari hidup dan menyatakannya dengan hati ringan dan humor. Beberapa orang Kristen bisa tertawa hebat.

Saya tahu ada beberapa orang yang tidak suka apa yang saya katakan. Mereka berkeras bahwa kehidupan Kristen bukan hal yang ada tawanya, bahwa mereka harus mati-matian serius tentang hal ini. Dan kita seharusnya harus begitu. Tapi itu bukan alasan bicara dengan muka berkerut, mencari orang yang sedang bercanda dan kita kuliahi. Itu bukan kerohanian. Itu salah yang menghalangi orang jadi bahagia. Kata-kata menyenangkan adalah kata-kata menggembirakan, “seperti madu, manis bagi jiwa dan menyembuhkan tulan.”

Mereka Itu Suatu Pujian

Pemazmur mengajarkan kita hal lain tentang kata-kata menyenangkan. “Haleluya! Sungguh, bermazmur bagi Allah kita itu baik, bahkan indah, dan layaklah memuji-muji itu” (Psalm 147:1). Pujian itu menyenangkan, dan lebih dari sekedar pengulangan “Puji Tuhan” bagi teman anda. Pujian bicara tentang persetujuan dan ucapan syukur kepada Tuhan, terhadap PribadiNya dan tindakanNya. Walau itu tidak sama dengan terima kasih, pujian meliputi roh terima kasih. Itu bisa dinyatakan langsung pada Tuhan, seperti, “Engkau Tuhan yang baik, dan saya bersyukur untuk semua yang telah Engkau lakukan.” Atau itu bisa dinyatakan pada orang lain, “Biarlah saya mengatakan tentang kasih karunia Tuhan dan hal kasih yang telah Dia lakukan pada saya.”

Paulus mengajarkan hal yang sama. “Hendaklah kata-katamu senantiasa penuh kasih, jangan hambar, sehingga kamu tahu, bagaimana kamu harus memberi jawab kepada setiap orang” (Colossians 4:6). Kapanpun kita membuka mulut untuk bicara, Tuhan ingin perkataan kita direndam dengan kasih karunia. Itu artinya murah hati, menarik, baik, dan dipenuhi dengan ucapan syukur. Ucapan syukur dan terima kasih merupakan elemen dasar dari kata kasih karunia. Percakapan kita harus berisi terima kasih dan ucapan syukur serta pujian.

Lebih banyak ucapan terima kasih dan pujian akan menolong mengubah sifat murung dan meningkatkan hubungan kita dengan orang lain. Tidak mungkin bicara tentang siapa Tuhan dan apa yang telah dilakukanNya, dan kemudian mengeluh tentang keadaan dan mengkritik orang. Tidak mungki memiliki ucapan syukur yang sejati dalam hati kita terhadap Tuhan, kemudian mengeluh dan ngomel. Kata-kata menyenangkan adalah kata-kata ucapan syukur, “seperti madu, manis bagi jiwa dan menyembuhkan tulang.”

Mereka Itu Berisi Harapan

Kata-kata menyenangkan juga memberi harapan, tidak dipenuhi dengan kemurungan hidup tapi mengharapkan yang terbaik dari Tuhan. Jika ada satu hal yang harus dimiliki anak Tuhan, itu adalah harapan. Kita tahu Tuhan mengatur semuanya dan berjanji mengerjakan semuanya untuk mendatangkan kebaikan. Seperti janjiNya pada orang Yahudi dipembuangan melalui Yeremia, “‘Sebab Aku ini mengetahui rancangan-rancangan apa yang ada pada-Ku mengenai kamu, demikianlah firman TUHAN, yaitu rancangan damai sejahtera dan bukan rancangan kecelakaan, untuk memberikan kepadamu hari depan yang penuh harapan’” (Jeremiah 29:11). Dia merencanakan kebaikan dan masa depan penuh harapan.

Orang percaya mengharapkan yang terbaik. Tapi anda tidak akan tahu sampai mendengar orang mengatakannya. Dengarkan keluhan mereka: “Semuanya buruk. Dan kita tidak melihat apapun juga. Ini akan jadi lebih buruk.” Dan mereka bisa memberikan anda fakta dan statistic untuk membuktikan bahwa mereka akan jadi lebih buruk. Mereka meneguhkan diri sebagai pembawa kabar buruk, dan mereka terus menulari Tubuh Kristus dengan pesimisme dan keputusasaan mereka. Dan itu tidak menyenangkan.

Tapi kita memiliki kabar baik yang menggembirakan. Tuhan bekerja ditengah kita dan dalam hidup kita “baik kemauan maupun pekerjaan menurut kerelaan-Nya” (Philippians 2:13). Saya tahu beberapa orang akan berkata: “Betul, tapi.” Pasukan Betul tapi akan mengatakan pada anda tentang jebakan, masalah, halangan, pertanyaan yang tak terjawab dan kemungkinan kalah. Mereka yakin bahwa setiap awan memiliki lapisan gelap lebih dari yang terlihat, dan dibalik awan itu ada … awan lainnya. Jika anda mengatakan pada mereka bahwa Tuhan memiliki kuasa untuk membuat pernikahan mereka bahagia dan berhasil, mereka mungkin akan menjawab, “Ya, tapi pasangan saya tidak ingin berubah.” Jika anda mengatakan bahwa Tuhan bisa memenuhi kebutuhan materi mereka, jawaban mereka, “ Ya, tapi anda tidak tahu betapa buruk keadaan ekonomi sekarang.” Jika anda mengatakan pada mereka bahwa Tuhan bisa menyelamatkan orang yang mereka kasihi, mereka akan menawarkan informasi bahagia ini: “Ya, tapi anda tidak mengerti betapa bermusuhannya dia itu.” Jika anda mengingatkan mereka bahwa Tuhan bisa menolong mereka mengatasi depresi mereka, mereka akan mengeluh, “Ya, tapi saya sudah 10 tahun begini.” Jika kita terus bicara tentang hal terburuk yang bisa terjadi, itu mungkin terjadi.

Pemazmur memiliki jawaban bagi yang pesimis. “Mengapa engkau tertekan, hai jiwaku, dan mengapa engkau gelisah di dalam diriku? Berharaplah kepada Allah! Sebab aku bersyukur lagi kepada-Nya, penolongku dan Allahku!” (Psalm 43:5). Percaya bahwa Tuhan bisa memenuhinya dengan cara terbaik. Letakan percaya anda padaNya. Bicara tentang hal baik yang bisa dilakukanNya. Kata-kata menyenangkan berisi harapan, dan mereka seperti “madu, manis bagi jiwa dan menyembuhkan tulang.”

Bisakah anda telah menabur benih perselisihan dengan prilaku negative, kritik, keluhan dan murung? Jika anda meminta keluarga dan teman anda menilai kata-kata anda, apakah penilaian mereka? Tapi anda bisa berubah. Anda pasti ingin kata-kata menyenangkan keluar dari mulut anda. Apa yang bisa membuat ini terjadi?

Tuhan Yesus menunjukan factor kuncinya saat Dia berkata, “Karena yang diucapkan mulut meluap dari hati” (Matthew 12:34). Untuk bisa mengeluarkan kata-kata menyenangkan kita perlu memenuhi pikiran kita dengan hal-hal yang menyenangkan dan merenungkannya sampai itu menjadi bagian dari hidup kita. Itu tidak mudah dilakukan. Beberapa dari kita telah memikirkan hal yang tidak menyenangkan selama ini. Kita mungkin mendapat teladan yang buruk dari orangtua kita. Kita melihat mereka bertengkar, saling kritik, mengeluh, khawatir, dan yakin bahwa tidak ada yang jadi lebih baik. Jadi secara alami kita berasumsi bahwa itu hal yang baik untuk dilakukan.

Sebagai tambahan, mereka mungkin mengarahkan kata-kata yang tidak menyenangkan itu kepada kita. Beberapa dari kita menyadari betapa kepribadian kita dibentuk oleh pergumulan tak sadar kita untuk mendapat penerimaan orangtua. Kita mungkin menjadi obsesif, perfeksionis yang comfulsif sehingga menurut kita mereka akan memuji kita jika kita melakukannya lebih baik. Itu membuat kita menuntut dan mengkritik diri kita dan orang lain. Kegagalan kita memenuhi standar mereka bisa menghancurkan harga diri dan memenuhi kita dengan rasa bersalah yang tidak pada tempatnya, dan kecenderungan menyalahkan orang lain. Itu bisa membuat kita marah dan bermusuhan, dengan kecenderungan untuk memakis seluruh dunia. Itu sangat sulit diatasi karena sudah terbentuk bertahun-tahun, tapi bisa diubah. Kuasa Tuhan tersedia untuk mengubah kita, memberikan kita sifat yang menyenangkan sehingga itu menjadi sumber kata-kata menyenangkan.

Itu tergantung pada keinginan kita untuk berubah. Jika kita puas dengan keadaan kita sekarang, kita tidak akan berubah. Jika bagi kita tidak masalah kata-kata tidak menyenangkan menyakiti pasangan kita, menghancurkan anak-anak kita, menjauhkan kita dari teman atau menghalangi karya Tuhan, kita terus saja dengan keadaan yang sekarang. Perubahan biasanya menyakitkan, dan kita tidak bisa mengalahkan sakit itu kecuali ada keinginan untuk menjadi umat Tuhan yang sesuai kehendak Tuhan.

Itu merupakan masalah penyerahan diri. Itu dimulai saat kita menyerahkan tubuh kita kepada Tuhan sebagai persembahan yang hidup. Itu terus berlanjut saat kita memprogram ulang pikiran kita menurut Firman Tuhan. Dan hasilnya adalah pengenalan dan melakukan kehendak Tuhan yang sempurna (Romans 12:1-2). Itu termasuk bicara kepada sesama dengan kata-kata yang menyenangkan. Jika ada keinginan itu, serahkan kehendak anda kepada Yesus Kristus. Kemudia anda akan siap membiarkan Dia memprogram ulang pikiran anda dan mengubah sifat anda melalui aplikasi prinsip perubahan hidupNya.

Related Topics: Man (Anthropology), Basics for Christians, Christian Home

11. Membersihkan Sumber

Tidak ada yang lebih menyenangkan setelah bersepeda dimusim panas daripada duduk ditempat berteduh sebelah sungai kecil dan menikmati air dingin bersih. Dan tidak ada yang lebih menekan daripada menemukan bahwa airnya kotot. Pastilah, air jadi kotor karena sumbernya sudah kotor.

Sama juga dengan kita, tidak ada yang lebih menyegarkan bagi orang Kristen yang sedang bergumul dengan masalah sehari-hari daripada duduk bersama dengan orang percaya lainnya dan mendengar kata-kata menyenangkan yang menguatkan dan menghibur. Itu seperti menikmati air dingin bersih. Dan merupakan hal yang menekan kita saat kita mendengar kata-kata yang negative, kritik, keluhan atau pertengkaran. Itu seperti meminum air kotor. Yesus mengetakan pada kita apa masalahnya. Sumbernya terkontaminasi. “Karena yang diucapkan mulut meluap dari hati” (Matthew 12:34).

Rasul Yakobus prihatin dengan orang Kristen yang mengira hidupnya telah diubah oleh Roh Tuhan, tapi dari mulutnya keluar kata-kata pahit. “tetapi tidak seorangpun yang berkuasa menjinakkan lidah; ia adalah sesuatu yang buas, yang tak terkuasai, dan penuh racun yang mematikan. Dengan lidah kita memuji Tuhan, Bapa kita; dan dengan lidah kita mengutuk manusia yang diciptakan menurut rupa Allah, dari mulut yang satu keluar berkat dan kutuk. Hal ini, saudara-saudaraku, tidak boleh demikian terjadi. Adakah sumber memancarkan air tawar dan air pahit dari mata air yang sama?” (James 3:8-11).

Menjadi berkat adalah bicara dengan baik. Sebagian besar orang Kristen bicara dengan baik tentang Tuhan, tapi kita tidak selalu bicara dengan baik, atau bicara dengan kata-kata yang tepat dengan orang percaya lain. Kenyataannya, kita mungkin sedang mengutuk mereka. Mengutuk secara literal berarti “memohon atau berharap negative.” Itu tidak memerlukan sihir kutuk atas seseorang, atau sumpah serapah dan penghinaan. Itu merupakan keinginan yang merusak atau keinginan jahat untuk melakukan hal yang tidak baik atas seseorang. Yakobus mungkin menggunakan istilah ini untuk memasukan kata-kata yang menyebabkan orang lain terluka, apakah itu yang kita inginkan atau tidak. Itu bisa melibatkan kata-kata apapun yang merusak, seperti kemarahan, kritik, menuduh, merendahkan atau gossip. Itu bisa menyebabkan kerusakan. Tidak masuk akal kata-kata merusak datang dari mulut yang sama yang memuji Tuhan seperti air kotor datang dari sumber yang bersih. Apa masalahnya?

Kita semua bergumul dengan keegoisan, keraguan, ketidaknyamana, ketakutan, rasa bersalah, kekhawatiran dan gambaran kompleks lainnya. Untuk melindungi diri kita, kita sering mengeluarkan kata-kata yang melukai orang lain. Apakah mungkin berubah menjadi pribadi yang menyenangkan yang kata-katanya terus membawa sukacita dan kekuatan bagi orang lain daripada melukai? Yakobus memastikan itu. Saat dia menggambarkan teka-teki berkat dan kutuk datang dari mulut yang sama, dia berkata, “Saudaraku, hal ini tidak bisa terjadi demikian.”

Jelas orang Kristen bisa berubah. Tapi bagaimana?

Kita sudah melihat dalam bab yang lalu bahwa perubahan dimulai saat anda menyerahkan kehendak anda kepada Yesus Kristus. Roh Kudus baru bisa dengan bebas mengambil alih control hati, sumber atau mata air kata-kata kita, dan mengeluarkan air yang manis daripada yang pahit. Dia menolong kita berhubungan dengan orang lain seperti Dia sendiri berhubungan dengan orang lain—dengna kasih, baik dan murah hati. Dengan kata lain, Dia meningkatkan tempramen kita.

Itu tidak berarti kita akan mendapatkan kesempurnaan pada saat itu. Kita tidak akan pernah memiliki kesempurnaan dalam hidup ini. Tidak ada manusia sempurna didunia. Tapi tujuan kita haruslah suatu pertumbuhan yang konsisten. Pertumbuhan secata bertahap, tapi pasti! Saat kita mengijinkan Roh Tuhan mengaplikasikan prinsip FirmanNya kedalam hidup kita, tempramen kita akan meningkat. Mata air akan dimurnikan, sebagai hasilnya, kita belajar bicara seorang kepada yang lain dengan lebih menyenangkan. Setidaknya ada 3 cara yang bisa menolong kita membersihkan sumber.

Mengerti Posisi Anda Sebagai Anak Allah

Para ahli mengatakan bahwa salah satu dasar prasyarat komunikasi yang baik adalah memiliki konsep diri yang sehat. Orang yang tidak menyukai dirinya, yang merasa mereka tidak baik, atau tidak layak dikasihi dan diterima, sulit untuk mengasihi dan menerima orang lain atau berhubungan dengan mereka secara sehat. Mereka mungkin dipenuhi dengan rasa permusuhan yang muncul dalam bentuk kemarahan. Mereka mungkin menguji kasih orang lain dengan mendorongnya sampai batasnya dengan pertanyaan, tuduhan atau prilaku tidak bertanggung jawab untuk melihat apakah mereka peduli. Dan mereka cenderung salah menilai motivasi orang lain.

Sebagai contoh, seorang suami mungkin belajar kalau istrinya butuh ekspresi nyata dari kasih sayang, jadi dia saat pulang rumah berhenti sebentar untuk membelikannya sekotak permen, kesukaan istrinya. Karena pengenalan diri kurang, dia sulit menerima tanda kasih sayang dengan ucapan syukur. Dia merasa tidak layak mendapat kasih, daripada mengakuinya, tapi istrinya mungkin menyindir secara tidak langsung bahwa tindakan kasih suaminya tidak murni dengan berkata seperti ini, “Apa maksud semua ini?” Harga diri suaminya juga tidak tinggi, jadi daripada menyambutnya dengan humor, dia mungkin akan menunjukan betapa dia terluka dan menghukum istrinya karena meragukan niatnya. “Kamu tidak pernah menghargai apapun yang saya perbuat. Lihat saja, saya tidak akan membelikan apapun bagimu.” Malam itu tidak enak dan seluruh hubungan mendekati kehancuran.

Psikolog Kristen Lawrence Crabb berpendapat bahwa rasa harga diri seseorang merupakan kebutuhan kita yang tertinggi, dan ada 2 faktor yang berperan terhadap nilai diri. Satu adalah keamanan—dikasihi tak bersyarat dan diterima serta memiliki rasa dimiliki. Kedua adalah rasa penting—memiliki rasa dihargai dan dilihat, merasakan bahwa kita sedang membuat kontribusi yang berarti, bahwa kita berarti bagi seseorang, dan bahwa kita mampu mengatasi situasi hidup kita. Wanita cendertung membutuhkan keamanan daripada rasa penting, sementara pria cenderung membutuhkan rasa penting daripada keamanan. Tuhan meyakinkan kita bahwa dalam FirmanNya kedua kebutuhan itu terpenuhi dalamNya.11

Banyak dari ketidakbahagiaan dan akibat dari kata-kata yang tidak menyenangkan dan tidak membangun yang kita ucapkan bisa dilihat berasal dari ketergantungan kita terhadap manusia dan keadaan daripada Tuhan dalam memenuhi kebutuhan ini. Jika keadaannya mengganggu, kita merasa kita bebas marah-marah. Jika orang gagal memperlakukan kita sebagaimana harapan kita, kita merasa dibenarkan untuk melukai mereka dengan kata-kata. Kunci untuk berubah adalah dengan mengerti kedudukan kita sebagai Anak Allah.

Tuhan membuat kita seperti keinginanNya (Psalm 139:13-16). Kita terus dipikirkanNya (Psalm 139:17-18). Dia sangat mengasihi kita (John 16:27), dan tidak ada yang bisa memisahkan kita dari kasihNya, sama sekali (Romans 8:38-39). Kita diterima dalam AnakNya yang terkasih (Ephesians 1:6), dan Dia tidak pernah meninggalkan kita (John 6:37). Dosa kita telah diampuni (Colossians 2:13), dilahirkan kedalam keluarga kekalNya (John 1:12), dibuat sebagai pewariNya (Romans 8:16-17), dan diberikan peran yang penting dalam menjalankan rencanaNya (1 Corinthians 12:7,22). Dia sangat menghargai kita, betapa kayanya kemuliaan bagian yang telah ditentukanNya (Ephesians 1:18). Dia berkata bahwa kita sempurna dalam Dia (Colossians 2:10), yang berarti bahwa dalam Dia kita mendapatkan semua yang kita butuhkan untuk menopang kita secara emosi dan rohani sekarang dan kekekalan. Itu artinya kita bisa bergantung padaNya dalam memenuhi kebutuhan dasar kita, keamanan dan rasa penting daripada berjuang untuk terpenuhi melalui orang lain.

Pikirkan bagaimana ini bisa terjadi dalam kehidupan setiap hari. Mungkin seorang suami meninggalkan piring kotor diruang tamu sehingga istrinya harus membersihkan. Dalam kurangnya rasa aman, dia bisa menafsirkan hal itu seperti ini, “Dia tidak peduli terhadap saya karena dia membuat pekerjaan yang tidak perlu.” Istrinya menjadi sakit hati, dan sakit hatinya muncul tidak hanya dalam bentuk omelan tentang piring kotor, tapi mengeluh tentang hal lainnya—waktu yang dihabiskan nonton TV, cara dia menggantung gambar, orang yang diundang makan malam, pekerjaan kecil dirumah yang diabaikan. Istrinya merasa bahwa nilainya sebagai seorang pribadi bergantung pada kasih suaminya, yang menurutnya seharunya dinyatakan. Memang sebaiknya jika sang suami lebih pertimbangan dengan membawa piring kedapur. Tapi reaksi istrinya yang tidak menyenangkan bisa dihilangkan jika dia belajar menemukan keamanannya dalam Tuhan daripada dalam suaminya, dan jika dia mengerti siapa dia dalam Kristus dan mulai menikmati nilai yang diberikan Tuhan atas dirinya, yaitu sebagai milik Tuhan.

Hal yang sama terjadi pada suaminya. Dia mungkin melihat istrinya tidak menghormatinya karena komentar biasa tentang tidak mendapat uang cukup untuk membeli pakaian baru yang diinginkannya. “Dia menganggap saya tidak mendapatkan cukup uang. Dia mungkin berharap menikah dengan pria yang akan jadi dokter.” Jadi dia melawan dengan mengkritik orangtuanya, atau mengeluh tentang pengelolaan rumahnya, dan hidup menjadi tidak menyenangkan bagi mereka berdua. Semua itu bisa dihindari jika dia belajar menemukan rasa pentingnya dalam Tuhan dan menikmati nilai yang dia miliki sebagai Anak Allah.

Sebagian besar komunikasi kita yang merusak muncul saat kita mencurigai harga diri kita sedang diserang atau nilai kita sedang dipertanyakan. Tuhan ingin kita saling menolong dan melayani kebutuhan sesama, tapi belajar bergantung padaNya untuk keamanan dan rasa penting akan menolong meningkatkan tempramen dan memperindah kata-kata kita. Itu satu cara untuk membersihkan mata air.

Aplikasikan Firman Tuhan kedalam Hidup Anda

Manual pengoperasian manusia yang diciptakanNya adalah Alkitab. Dia tahu bagaimana kita akan berfungsi paling efektif, dan kita bijak jika membaca perintah didalamnya. Suatu pengertian dan aplikasi Alkitab yang tepat bisa membuat kita menjadi orang yang menyenangkan yang kata-katanya menyenangkan dan membangun. Yeremiah berkata. “Apabila aku bertemu dengan perkataan-perkataan-Mu, maka aku menikmatinya; firman-Mu itu menjadi kegirangan bagiku, dan menjadi kesukaan hatiku” (Jeremiah 15:16). Membangun Alkitab kedalam keberadaan kita, belajar berpikir seperti Tuhan berpikir dan melihat sesuatu seperti Tuhan melihatnya akan memenuhi kita dengan sukacita. Dan kita akan menemukan, seperti orang-orang dimasa Yeremiah, bahwa sukacita dari Tuhan adalah kekuatan kita (Nehemiah 8:10). Kita cukup kuat baik secara rohani dan emosi untuk menghindari kesalahan yang menghancurkan komunikasi kita.

Mari saya usulkan suatu contoh. Banyak hal tidak berjalan dengan baik saat bekerja. Anda membuat beberapa kesalahan kecil dan pengawas anda berlebihan dan menyulitkan anda. Tapi kali ini tidak tertahankan. Dia memarahi anda didepan karyawan lain, mengatakan betapa bodohnya anda dan mengancam memecat anda. Bagian terburuk adalah yang lain juga sama salahnya dengan anda, dan dia tidak mengatakan apapun kepada mereka. Emosi berkecamuk didalam diri anda—kemarahan yang hampir mencapai kebencian, takut kalau anda mungkin kehilangan pekerjaan anda, dipermalukan dihadapan yang lain, sakit hati terhadap karyawan lain yang tidak berkata apapun untuk berbagi dalam hal ini, ketakutan terhadap apa yang akan dikatakan istri anda jika mendengar anda dipecat, kekhawatiran akan masa depan, rendah diri dan kurangnya harga diri.

Anda ingin mengatakan padanya apa yang anda pikir, dan mengingatkan dia betapa bodoh perlakuannya. Anda ingin mengatakan padanya kalau dia bisa mendapatkan pekerjaan lamanya. Tapi anda seorang Kristen! Anda ingat kalau rasa aman dan rasa penting ditemukan dalam Tuhan, bukan pada pekerjaan, bukan dalam pikiran orang ini, bahkan bukan dalam perkataan istri anda. Dan anda telah menghafal Firman Tuhan, merenungkannya, memikirkan aplikasinya dalam hidup anda dan cara spesifik itu bisa mempengaruhi prilaku anda.

Yakobus 3:10 teringat oleh anda: “dari mulut yang satu keluar berkat dan kutuk. Hal ini, saudara-saudaraku, tidak boleh demikian terjadi.” Matthew 5:44 juga datang: “Kasihilah musuhmu dan berdoalah bagi mereka yang menganiaya kamu” (KJV). Dan daripada menyemburkan kemarahan anda, anda malah berkata seperti ini, “Saya mengerti kenapa anda seperti ini. Saya ingin melakukan apapun untuk tidak terjadi lagi. Bisakah anda memberikan beberapa usulan untuk menolong saya?”

Beberapa orang akan protes, “Tapi saya tidak merasa berbuat baik. Bukankah munafik mengatakan hal baik saat anda merasa kotor?” Melakukan apa yang Tuhan suruh bukan kemunafikan; itu ketaatan. Itu menolong untuk mengerti dengan tepat apa yang kita rasakan dan akui dengan jujur pada diri sendiri, tapi lebih penting saat itu untuk berpikir dan bertindak dengan tepat. Sangat sulit mengontrol perasaan kita, tapi kita bisa mengontrol pikiran dan tindakan kita. Berpikir dengan tepat dan bertindak dengan tepat akan merubah perasaanmu, dan mungkin sifat kita.

Tuhan ingin kita bertindak kepada orang lain dengan peduli terhadap keadaan mereka. Respon positif mereka akan membawa kepuasan bagi kita sehingga kita menemukan kalau kita ingin baik kepada mereka. Maka kita mulai merasa baik terhadap mereka dan secara tulus tertarik tentang mereka. Dan itu menolong kita merasa lebih baik terhadap diri sendiri. Mengaplikasikan Firman Tuhan kedalam hidup kita bisa meningkatkan sifat kita. Dan itu akan menolong kita bicara lebih menyenangkan dan baik.

Berkomitmen Untuk Membangun Hubungan

Bagi saya pasangan yang paling bermasalah sangat ingin pernikahan mereka berhasil. Mereka saling mengasihi dan menginginkan hubungan yang intim dan bahagia, tapi sifat dasar dan kebutuhan emosi menyebabkan mereka terus saling menyalahkan dan akhirnya membuat mereka saling menjauh. Masalahnya adalah mereka berdua lebih mementingkan pemenuhan kebutuhan sendiri daripada membangun hubungan mereka. Ditengah pembahasan tentang hal meragukan, Paulus membuat komentar ini: “Sebab itu marilah kita mengejar apa yang mendatangkan damai sejahtera dan yang berguna untuk saling membangun.” (Romans 14:19). Kedua hal ini berjalan bersama—damai dan saling membangun. Kata-kata diberikan untuk mendorong yang lain dan membangun mereka untuk hubungan yang damai.

Kebalikannya juga benar. Mencari keuntungan diri sendiri menyebabkan perselisihan. “Sebab di mana ada iri hati dan mementingkan diri sendiri di situ ada kekacauan dan segala macam perbuatan jahat” (James 3:16). Selama saya hanya peduli terhadap kebahagiaan saya, keamanan, kepentingan, nama baik dan harga diri, saya akan terus memperjuangkannya dan marah dengan orang yang tidak menguntungkan saya. Hati saya tidak berubah dan kata-kata saya tidak menjadi lebih menyenangkan sampai saya membuat tujuan untuk membangun orang lain dalam hidup saya dan memperkuat hubungan kita.

Istri saya dan saya mencoba bermain tennis bersama beberapa tahun lalu. Kami pikir itu merupakan latihan yang baik, jadi kami melakukannya beberapa kali dipagi hari dihari minggu dilapangan dekat rumah. Sejujurnya, istri saya sama sekali tidak bisa. Satu-satunya cara kami bisa saling memukul bola adalah dengan memberikan bola dengan pelan kepada istri saya ditengah lapangan. Tapi hampir setiap kali saya mempraktekan ego pria dan semangat kompetisi saya, cepat-cepat kenet dan memukul bola kesatu sudut untuk mendapat nilai. Jika saya sedang dalam pertandingan, hal ini sangat baik. Tapi jika saya sedang berusaha agar dia juga bisa memukul bola, itu bukan sesuatu yang pintar. Dia pasti akan mencoba memukul kembali, tapi biasanya akan memukul angin atau kena pagar. Beberapa kali dia sedikit marah pada saya. Kami akhirnya memutuskan tennis sama sekali bukan ide yang baik.

Sayangnya, ada beberapa saat dalam pernikahan kami dimana saya menggunakan taktik yang mirip dalam hubungan kami. Saya berusaha mendapat angka dengan marah, menuduh, menyalahkan, diam, berlebihan, mengomel, dan berbagai teknik komunikasi yang tidak adil. Dan dia juga melakukan hal yang sama terhadap saya, karena saat kita terpojok, kita berusaha memojokan orang lain juga. Salah satu dari kita pasti merasa dia menang dan mendapat angka, tapi apa nilainya, jika sebagai hasilnya, kita harus berhenti bermain, jika kita harus mengakhiri pernikahan kita.

Itulah yang dilakukan pasangan sekarang. Mereka menyerah, atau sedang ingin menyerah. Itu tidak perlu! Melalui mengerti posisi kita sebagai anak Allah dan mengaplikasikan Firman Tuhan kedalam hidup kita, kita bisa menjauhkan diri dari kemarahan, kekhawatiran, rasa bersalah dan ketakutan. Kemudian dengan berkomitmen membangun hubungan daripada memenangkan pertandingan, kita menjaga pasangan kita tidak tersudut, dalam suatu posisi dimana emosi dan rohani kuat dan mereka merasa baik dan menerima dirinya. Kemudian baru mereka bisa berespon kepada kita secara positif. Hasilnya kita bisa menikmati permainan, sehingga kita berdua bisa belajar bermain lebih baik dan menemukan kebahagiaan yang lebih besar. Itu bisa merubah keseluruhan cara pandang hidup dan menjaga kata-kata menyenangkan tetap keluar dari mata air yang manis. Apakah anda pikir ini berharga untuk dicoba?


11 Material adapted from Effective Biblical Counseling, by Lawrence J. Crabb Jr. Copyright 1977 by The Zondervan Corporation, p. 59ff. Used by permission.

Related Topics: Man (Anthropology), Basics for Christians, Christian Home, Comfort

12. Cerdik Seperti Ular

Suatu hari Yesus memanggil para murid, memberikan mereka kuasa atas setan dan penyakit, kemudian mengutus mereka keseluruh Israel untuk melayani yang membutuhkan dan mengabarkan injil kerajaan. Dia berkata pada mereka, “Lihat, Aku mengutus kamu seperti domba ke tengah-tengah serigala, sebab itu hendaklah kamu cerdik seperti ular dan tulus seperti merpati.” (Matthew 10:16, KJV). Kecerdikan seperti ular mengatur apa yang mereka katakan juga aktivitas yang mereka jalankan. Yesus ingin mereka mengkomunikasikan pesannya dengan bijak, tapi tanpa menyakiti orang yang mendengarnya—setulus merpati.

Salomo menghubungkan hikmat dengan perkataan ratusan tahun lalu. Katanya, “Hati orang bijak menjadikan mulutnya berakal budi,” (Proverbs 16:23). Hikmat yang sejati mempengaruhi cara kita bicara. Sekali lagi, “Lidah orang bijak mengeluarkan pengetahuan” (Proverbs 15:2). Seseorang bisa memiliki banyak pengetahuan, tapi hikmat menolong dia menyatakannya dengan tepat dan dengan cara yang bisa diterima. “tetapi lidah orang bijak mendatangkan kesembuhan” (Proverbs 12:18). Hikmat Tuhan, dinyatakan melalui lidah, menghasilkan kesembuhan daripada kerusakan, seperti kata Tuhan Yesus.

Beberapa orang melihat diri mereka bijak, tapi perkataan mereka lebih menyakitkan daripada menyembuhkan. Itu membuat kita percaya bahwa ada hikmat lain disamping Tuhan, dan Yakobus meneguhkan itu. Dia, seperti Salomo menghubungkan hikmat dengan cara kita menggunakan lidah kita. Setelah 12 ayat tentang lidah, dia menulis, “Siapakah di antara kamu yang bijak dan berbudi? Baiklah ia dengan cara hidup yang baik menyatakan perbuatannya oleh hikmat yang lahir dari kelemahlembutan” (James 3:13). Dia bicara tentang keseluruhan cara hidup kita, bukan hanya perkataan. Tapi kita tidak bisa menghilangkan perkataan dalam hal ini. Dia melanjutkan dengan menyebutkan kepahitan iri hati dan ambisi diri (v. 14), hal-hal yang biasanya dinyatakan dengan hancurnya komunikasi. “di mana ada iri hati dan mementingkan diri sendiri di situ ada kekacauan dan segala macam perbuatan jahat” (James 3:16). Kata-kata yang tidak bijak menghancurkan daripada menyembuhkan.

Kita mungkin berpikir sudah menggunakan akal sehat dan adil saat kita berkata-kata, tapi jika itu menghasilkan kekusutan, perselisihan dan pergolakan daripadan kesembuhan, itu bukan hikmat Tuhan, tapi lawannya. “Itu bukanlah hikmat yang datang dari atas, tetapi dari dunia, dari nafsu manusia, dari setan-setan” (James 3:15). Itu bersumber dari 3 tempat: dari dunia, nafsu manusia, atau dari setan.

Anda tidak ingin hikmat seperti itu bukan? Saya berasumsi anda ingin hal yang sebenarnya, hikmat dari atas, hikmat yang menolong dan menyembuhkan, yang membawa kedamaian dan harmoni, yang meningkatkan kasih dan perasaan damai diatara umat Tuhan. Bagaimana kita bisa tahu apakah perkataan kita berasal dari hikmat Tuhan atau kebalikannya? Yakobus memberikan kita standar dalam mengukurnya. “Tetapi hikmat yang dari atas adalah pertama-tama murni, selanjutnya pendamai, peramah, penurut, penuh belas kasihan dan buah-buah yang baik, tidak memihak dan tidak munafik” (James 3:17). Mari kita menenun standar itu kedalam pemikiran kita, jadi kita juga bisa cerdik seperti ular, tapi tulus seperti merpati.

Perkataan Bijak Itu Murni

Bukannya suatu kebetulan kalau Yakobus menyebut, “pertama, murni.” Dia serius. Pertama dan paling penting adalah semua yang dari Tuhan harus murni. Kata murni aslinya digunakan penulis Yunani kuno untuk kemurnian ilah, tapi kemudian itu untuk menggambarkan kemurnian yang diperlukan untuk menghampiri ilah ini—bukan hanya upacara diluar, tapi kemurnian hati, kemurnian dalam setiap halnya, hati yang harus bersih dari kesalahan, ketidakmurnian moral, iri hati yang pahit, ambisi diri dan motive tersembunyi. Perkataan kita merupakan refleksi apa yang terjadi didalam kita, jadi jika hati kita tidak murni, pekerjaan kita akan menghianati kita. Kita mungkin mampu memalsukannya untuk sementara, tapi kebenaran pasti akan muncul. Komunikasi yang baik dimulai dengan hati yang telah dibersihkan.

Bagaimana kita bisa membersihkan hati kita? Alkitab menggambarkannya sangat jahat dan menipu (Jeremiah 17:9). Ini sangat jelas bukan proyek sendiri. Itu membutuhkan intervensi ilahi yang radikal. Itulah yang Tuhan lakukan saat Dia mengutus AnakNya kedunia untuk mati menggantikan kita. Pada dasarnya, dara Yesus Kristus yang membersihkan hati kita dari dosa (1 John 1:7). Saat kita mengakui kondisi berdosa kita dan percaya pada pengorbanan yang ditawarkan pada kita diKalvary, Tuhan memberikan kuasa pembersihan darahNya kedalam hidup kita. Dia memurnikan kita dan menyingkirkan kesalahan kita.

Kepastian bahwa kita bersih, bahwa dosa kita diampuni dan bahwa Tuhan menerima kita, menjadi dasar bagi perkataan yang bijak. Itu membebaskan kita dari kebutuhan merendahkan yang lain untuk mengganti rasa bersalah kita atas kelemahan kita. Beban kesalahan hilang! Itu membebaskan kita dari kebutuhan untuk terlihat baik, atau mengikuti jalan kita sendiri, atau mendapatkan ambisi untuk membuktikan kita seorang yang bernilai. Kita tahu kita bernilai dalam Kristus. Itu membebaskan kita dari percobaan untuk tampil canggih dengan menggunakan perkataan yang tidak baik. Semakin kita mengerti hutang yang Kristus bayar dan penghargaan yang kita kembangkan untuk kebesaran kasih karunia Tuhan, semakin bijak dan murni komunikasi kita.

Perkataan Bijak Itu Pendamai

Sekarang saat hubungan kita dengan Tuhan sudah baik, kita siap berhubungan dengan orang lain. “selanjutnya pendamai,” kata Yakobus. Memang berurutan. Kata “selanjutnya” jelas menunjukan suatu urutan. Jika anda mencoba menambal pernikahan anda, memperbaiki pengaruh anda terhadap anak atau membetulkan hubungan dengan bos atau tetangga, tapi belum menerima Kristus sebagai Juruselamat anda, hanya akan menyulitkan anda.

Sekali kita percaya Kristus, kita memiliki 2 keuntungan. Pertama, kita memiliki kepastian bahwa Tuhan memurnikan kita. Kita diampuni dan diterima. Dan kedua, kita memiliki kuasa Roh Kudus yang berdiam dalam kita untuk menolong kita berkomunikasi secara bijak. Dia masuk kedalam hidup kita dan memampukan kita menyatakan hikmat Tuhan dalam perkataan dan tindakan kita. Saat kita mengijinkan Dia melakukannya, perkataan kita akan membawa damai.

Orang yang dipenuhi dengan hikmat Tuhan tidak mudah terpancing kedalam perdebatan. Dia tidak suka berkelahi atau berselisih, tapi terus menerus mencari solusi damai atas masalah. Dia percaya bahwa hubungan yang kuat dan kasih lebih penting daripada memenangkan argument. Dia menanggapi seruan Paulus secara serius: “Sedapat-dapatnya, kalau hal itu bergantung padamu, hiduplah dalam perdamaian dengan semua orang!” (Romans 12:18). Dia menanggapi kata-katanya dengan seksama, dan berusaha mengungkapkannya tanpa membangkitkan permusuhan dalam diri orang lain. Jika orang lain menyerang dia dengan marah, membesarkan tuduhan, dia menjawabnya dengan ramah, tapi dengan tenang mencari kebutuhan mereka dan apa yang bisa dilakukannya untuk menolong mereka. Dia pembawa damai, yang Yesus katakan merupakan anak Allah sejati (Matthew 5:9). Dia tahu bagaimana menghindari perbantahan dan menyelesaikan konflik.

Jack adalah seseorang yang bertumbuh dalam hikmat Tuhan. Dia tetap memiliki kesalahan, seperti kita juga, dan salah satunya kegagalan menolong istrinya disaat dia dibanjiri tanggung jawab—beban pekerjaan rumah tangga, menjaga ketiga anak mereka dan bertindak seperti kepala sekolah taman kanak-kanak. Saat dia menegurnya atas ketidakpeduliannya, Jack jadi marah dan dingin terhadap istrinya. Tapi satu malam dia memikirkan betapa dia mengasihi istrinya dan menghargai dia, dan betapa ingin dia menunjukannya pada istrinya. Jadi saat istrinya sedang digereja, dia tidak hanya menidurkan anak, tapi membersihkan dapur dan membersihkan rumah.

Saat istrinya pulang rumah dia terkejut, dan berkata, “saya harap ini bukan untuk membayar semua yang lalu.” Ada waktunya perkataan itu memicu kemarahan sampai malam. Tapi Jack sudah belajar tentang hikmat dari atas, jadi dia berkata, “Tidak ini bukan untuk itu. Saya ingin kamu tahu saya mengasihi kamu dan tidak bermaksud tidak peka terhadap kebutuhanmu. Saya harap ini hanya permulaan kecil.” Tidak hanya mereka melewati hari dengan indah, tapi hubungan mereka dikuatkan. Perkataan bijak itu pendamai.

Perkataan Bijak Itu Peramah

Ramah merupakan kata yang sulit untuk diartikan dalam bahasa Inggris, Tidak ada kata-kata yang bisa menyimpulkannya dengan tepat. Seorang yang ramah mengenali bahwa ada hal yang lebih penting dari peraturan, yaitu orang dan hubungan. Dan walau dia memiliki hak dan kuasa untuk memaksakan hukum, dia melunakan peraturan yang keras dengan belas kasih.

Jadi dia mengalihkannya dengan mempertimbangkan perasaan orang lain. Dia mengijinkan kelemahan. Dia membiarkan mereka menjadi manusia. Dia tahu pentingnya “mengikuti buku” tapi dia juga tahu bahwa oprang dan keadaan yang terlibat menjamin pengecualian sekali-sekali. Karena dia tidak berkeras atas surat hukum, dia biasanya yang pertama meminta pengampunan seseorang yang bertikai dengannya, bahkan jika orang itu lebih salah darinya. Dan dia memiliki cara melupakan kesalahan yang dilakukan terhadapnya daripada menyimpannya untuk pertengkaran berikut.

Mari saya ceritakan tentang Sue, seorang wanita yang bertumbuh dalam hikmat Tuhan. Dia sangat disakiti saat beberapa teman gerejanya berbalik melawan dia dan mulai mengeluarkan dia dari sesi minum kopi pagi. Rumor yang tidak bai yang mereka katakan terhadap dia terdengar olehnya. Dia ingin sekali mengatakan hal ini pada pastornya, tapi dia menyadari kalau motivasinya adalah membuat mereka terlihat buruk. Sebaliknya, dia pergi kepada mereka satu per satu dengan lembut dan bertanya apa yang sudah dia lakukan. Keluhan mereka picik, tapi dia dengan tulus meminta maaf, dan dalam hatinya dia sudah mengampuni mereka karena hal ini.

Di hari-hari berikutnya, dia memperlakukan mereka semua dengan rasa hormat dan kasih yang murni. Keramahannya, terbalas saat satu per satu dari mereka datang padanya untuk meminta nasihat mengatasi masalah dengan anak, dan mereka semua mulai melihat dia. Hikmat manusia akan berkata, “Biar semua orang tahu siapa mereka itu.” Sue memiliki hak dan kemampuan untuk melakukan itu, tapi dia tidak melakukannya. Dia membiarkan keramahan menang, dan itu berdampak pada lebih baiknya hubungan diantara umat Tuhan.

Perkataan Bijak Itu Tunduk

Versi KJV berkata, “mudah diminta,” dan itu menjelaskan kata ini dengan baik. Tapi ini hanya salah satu kata dalam teks Yunani, jadi baik masuk akal, berdamai, berserah, atau tunduk bisa diterima dalam bahasa Inggris. Orang yang tunduk tidak keras kepala, tapi terbuka untuk saran, siap mendengar masukan, mau melakukan permintaan atau pendapat yang masuk akal. Ada orang Kristen yang sekali mengambil keputusan, tidak bisa berubah lagi. Mereka menolak berubah sebanyak apapun pandangan baru dinyatakan, atau berapapun orang yang tidak setuju. Itu bukan hikmat Tuhan. Itu hikmat manusia, hikmat setan. Hikmat dari atas selalu terbuka akan pertimbangan pandangan orang lain.

Ada beberapa hal yang lebih merugikan hubungan yang baik yaitu prilaku seseorang yang berpikir dia selalu benar. Jika anda melihat satu hal dengan satu cara, dia melihatnya dengan cara lain. Dan kemungkinan untuk dia mengubah pemikirannya sangat kecil. Anda harus mengikutinya, atau hidup terus menerus dalam perselisihan terbuka. Kompromi tidak ada dalam pemikirannya. Anda melakukan caranya atau jangan lakukan apapun. Orang seperti itu jarang mengerti kenapa orang lain menjauh dari mereka, dan mereka terus berkeras bahwa mereka benar sampai teman terakhirnya pergi.

Mungkinkah anda melaksanakan hikmat manusia dalam hal ini? Tanyakan istri anda, suami, anak anda, atau teman apakah mereka melihat anda itu masuk akal. Kemudian minta Tuhan memenuhi anda dengan hikmatNya, hikmat yang mau mendengar masukan.

Perkataan Bijak Itu Penuh Belas Kasih dan Buah-buah Baik

Ada dua hal disini, tapi mereka berjalan bersama. Hikmat sejati dipenuhi dengan belas kasih—rasa simpati dan iba terhadap orang yang menderita. Tapi belas kasih tidak berhenti diperasaan semata. Itu menyebabkan kita berkata-kata dengan ramah dan menghibur, dan melakukan sesuatu untuk menolong meringankan penderitaan mereka. Yakobus ingin kita mengerti hal ini. Itulah alasan dia langsung menambahkan “dan buah-buah yang baik.” Hikmat Tuhan bekerja melalui kita untuk menolong orang lain yang membutuhkan, bahkan orang yang bersalah pada kita.

Eleman belas kasihlah yang sulit kita nyatakan. Balas kasih sejati menahan keinginan untuk membalas, dan lebih jauh menjangkau dalam kebaikan untuk menolong. Sue, wanita yang kita temui itu ramah,bisa juga penuh belas kasih dan buah yang baik dengan memasak makanan bagi mereka yang menyakiti dia saat wanita dan keluarganya terkena flu. Hikmat seperti itu bisa mengatasi konflik dengan orang lain. Orang yang mengabaikan sedikit sakit hati dan menjangkau untuk menolong orang lain mudah menjaga hubungan tetap harmonis.

Perkataan Bijak Itu Tidak Memihak

Aspek hikmat Tuhan ini menolong kita teguh berdiri diatas prinsip Alkitab dan tetap patuh padaNya. Tapi juga menjauhkan kita dari kebimbangan dalam perjalanan hubungan kita. Orang dengan hikmat manusia berakal busuk. Dia mungkin bicara baik terhadap seseorang dihari ini, tapi menghancurkannya dihari berikut, apapun untuk keuntungannya. Dia mungkin berkeras bahwa tindakan ini yang paling baik, tapi mengusulkan hal yang sama sekali lain dikali berikut, apapun untuk keuntungannya. Dia mungkin meyakinkan anda bahwa apa yang dilakukannya itu legal, tapi jika saingannya melakukan itu, dia akan mengatakan itu tidak baik. Dia mungkin membiarkan anaknya terlibat dalam prilaku tertentu dihari ini, tapi tidak dihari berikut, karena hari berikut menggangunya. Dia bisa membenarkan kesalahannya dengan logika yang tidak bisa disangkal, tapi itu hikmat manusia, berasal dari kesombongan dan keegoisan. Dan itu membahayakan hubungan daripada menyembuhkan dan menguatkannya. Hikmat Tuhan tetap seterusnya adil, masuk akal dan memperhatikan orang lain.

Perkataan Bijak Itu Tidak Munafik

Kata munafik asalnya digunakan atas actor Yunani dipanggung, orang yang bisa memainkan perannya dengan ahli, sering memakai topeng. Tapi kata ini kemudian diaplikasikan kepada setiap orang yang menutupi dirinya yang sebenarnya dan berpura-pura seperti orang lain. Itulah yang dilakuakan hikmat manusia. Itu menipu, menghindar dan pintar menutupi karakter, tujuan dan motive sebenarnya. Orang yang menggunakannya menjawab anda dengan istilah yang membingungkan sehingga anda tidak bisa mengenal siapa dia sebenarnya, apa yang dia pikir atau apa yang dia kejar. Dia hidup berjaga-jaga dengan topeng, jarang membiarkan anda mengetahui perasaannya yang sebenarnya. Hampir tidak mungkin mengembangkan hubungan yang memuaskan dengan orang ini.

Hikmat dari atas berlawanan dengan itu. Tapi terbuka, jujur dan terus terang. Orang yang melakukannya tidak mencoba menyingkirkan perasaannya agar terlihat baik atau mendapatkan tujuannya. Jika dia terganggu terhadap sesuatu, dia mengatakannya, dengan baik tapi jujur. Dia tidak berkata, “Tidak, tidak ada yang salah diantara kita,” hanya untuk menghindari konfrontasi, atau menutupi sesuatu. Dia membagikan perasaannya secara terbuka, tanpa mengkritik atau menemukan kesalahan orang lain, dan dengan demikian membantu jalur komunikasi tetap terbuka. Dia berkontribusi atas situasi damai dan harmonis, dan itulah situasi dimana kebenaran bisa bertumbuh. Yakobus menyimpulkan bab ini dengan mengingatkan kita bahwa buah yang terdiri dari kebenaran ditaburkan dalam damai untuk mereka yang mengadakan damai (James 3:18).

Maukah anda meminta hikmatNya? Dia menyediakan itu dengan bebas dan berlimpah (lihat James 1:5). Saat anda memilikinya, perkataan anda akan bijak, dan hubungan anda akan damai, dan kebenaran akan berlimpah.

Related Topics: Man (Anthropology), Hamartiology (Sin), Basics for Christians

13. Tindakan Bicara Lebih Keras dari Perkataan

Sebagai seorang manusia, dan memiliki dosa asal dari Adam, saya cukup sering mengambil keputusan sendiri tanpa mengkomunikasikannya dengan istri saya. Itu suatu keputusan yang bodoh, tapi saya merasa punya alasan yang baik. Dia salah mengerti apa yang coba saya katakan (saya rasa), salah menafsirkan maksud saya, salah menilai motivasi atau menuduh saya dengan tidak adil, dan bagi saya hal teraman adalah tetap tenang. Ini sering dilakukan banyak orang. Dibawah sadar kita pikir dengan diam akan menghukum mereka yang memperlakukan kita dengan tidak adil, atau itu bisa menyebabkan mereka bereaksi dengan cara yang ekstrem, membenarkan diri kalau mereka yang salah.

Saya telah belajar, bahwa saya sebenarnya mengkomunikasikan diam saya. Tindakan saya berbicara sesuatu pada istri saya, sesuatu seperti, “Saya tidak peduli akan perasaanmu. Perasaanku lebih penting darimu. Dan lebih lagi, kamu tidak bisa memperlakukan saya seperti itu tanpa membayar akibatnya.” Saya tidak sadar mengkomunikasikan pesan itu. Kesadaran saya adalah melindungi diri dari sakit hati yang lebih lagi. Saya sangat mengasihinya dan ingin dekat dengannya. Tapi itulah yang ditangkapnya.

Anda lihat, apa yang kita lakukan atau yang gagal kita lakukan berbicara sesuatu. Kita pasti berkomunikasi saat kita berhadapan dengan seseorang. Komunikasi tidak muncul melalui perkataan saja. Komunikasi adalah prilaku apapun yang dilihat seseorang mengandung pesan. Kita bicara dengan gerak-gerik kita, muka, mata, atau alis kita. Kita bicara dengan desahan, sentuhan, nada, mengangkat bahu, dengan jarak yang kita buat dengan orang lain, dengan hampir semua tindakan yang kita lakukan. Kenyataannya, para ahli mengatakan bahwa 65 percent atau lebih dari seluruh komunikasi adalah nonverbal. Mereka juga mengatakan bahwa pesan nonverbal lebih kuat dari verbal.

Jika kita mengirim 2 pesan yang saling berlawanan, orang cenderung percaya yang nonverbal diatas verbal. Singkatnya, jika saya berkeras bahwa saya percaya apa yang anda katakan, tapi mulut saya tertutup, kepala saya miring, dan ada lekukan dalam dialis, anda mungkin menyimpulkan bahwa saya tidak percaya sama sekali pada saya. Tindaka bicara lebih kuat daripada perkataan! Dan itulah alasan kenapa orang Kristen harus hati-hati terhadap tindakan kita, dan memastikan apakah tindakan kita sesuai dengan apa yang kita katakan.

Alkitab membuat penekanan ini. Sebagai contoh, Yohanes menulis, “Barangsiapa mempunyai harta duniawi dan melihat saudaranya menderita kekurangan tetapi menutup pintu hatinya terhadap saudaranya itu, bagaimanakah kasih Allah dapat tetap di dalam dirinya? Anak-anakku, marilah kita mengasihi bukan dengan perkataan atau dengan lidah, tetapi dengan perbuatan dan dalam kebenaran” (1 John 3:17,18). Jika kita berkata kita mengasihi saudara seiman tapi membiarkan dia menderita saat kita mampu meringankan penderitaannya, kita sama sekali tidak mengasihinya. Tindakan kita berlawanan dengan perkataan kita, dan tindakan kita bicara lebih keras dari kata-kata.

Yakobus membuat pengamatan serupa. “Jika seorang saudara atau saudari tidak mempunyai pakaian dan kekurangan makanan sehari-hari, dan seorang dari antara kamu berkata: Selamat jalan, kenakanlah kain panas dan makanlah sampai kenyang!, tetapi ia tidak memberikan kepadanya apa yang perlu bagi tubuhnya, apakah gunanya itu? Demikian juga halnya dengan iman: Jika iman itu tidak disertai perbuatan, maka iman itu pada hakekatnya adalah mati” (James 2:15-17). Kita bisa berkata kita mengenal Tuhan, tapi jika kita tidak peduli terhadap kebutuhan saudara seiman, tindakan kita berlawanan dengan perkataan, dan tindakan kita bicara lebih keras dari kata-kata.

Seperti yang telah kita lihat, Yakobus pindah dari seruan hidup dalam iman kedalam pembahasan tentang kata-kata yang disimpulkannya dengan berkata, “Siapakah di antara kamu yang bijak dan berbudi? Baiklah ia dengan cara hidup yang baik menyatakan perbuatannya oleh hikmat yang lahir dari kelemahlembutan.” (James 3:13). Walau kita tidak bisa memisahkan kata itu dari seruan, itu menunjuk terutama pada komunikasi nonverbal. Orang Kristen yang bijak membiarkan hidup mereka mendukung perkataan mulut mereka. Dan mereka melakukan itu dalam lembut atau dengan bijak, tanpa pertengkaran, kesombongan, keegoisan, dan tanpa permusuhan dengan mereka yang bersalah pada kita. Mereka melakukan itu dengan keramahan dan tidak egois terhadap orang lain.

Saat Yakobus menggambarkan hikmat sejati yang datang dari Tuhan (James 3:17), dia berkata itu “tidak munafik.” Salah satu karakter orang yang tindakannya berlawanan dengan perkataannya adalah “munafik.” Mereka tidak konsisten, mengaku sesuatu dengan perkataan tapi tidak memilikinya dalam hati. Penting bagi orang Kristen yang bijak untuk bertindak sesuai dengan kata-katanya, setidaknya ada 3 alasan melakukan hal ini.

Untuk Hubungan yang Harmonis

Harmoni yang paling dipikir Yakobus. Dia bicara tentang pembuat damai yang menghasilkan kedamaian (James 3:18), dan kemudian membahas perselisihan dan konflik (4:1). Dalam pikirannya ada hubungan antara hubungan harmonis dengan konsistennya perkataan dan perbuatan. Beberapa konselor merasa bahwa kegagalan memperhatikan prinsip ini merupakan penyebab terbesar perselisihan antar pribadi dan masalah pernikahan. Mereka percaya bahwa banyak masalah yang berkembang dalam hubungan bisa diselesaikan hanya dengan memperbaiki ketidak konsistenan pesan verbal dan nonVerbal.

Sebagai contoh, seorang suami bisa meyakinkan istrinya bahwa dia mengasihinya, tapi dia sering datang rumah terlambat dan jarang memberitahu istrinya. Saat dia menanyakannya, dia berkeras bahwa sedang bekerja, atau pergi untuk suatu hal, atau melihat teman, atau hal lainnya. Dia menjelaskan padannya bahwa penting baginya untuk tahu kapan dia akan telat agar istrinya bisa menyiapkan makan dengan tepat. Tapi dia tidak memberitahu berulang kali, dan banyak makanan yang disia-siakan. Walau kata-katanya berkata, “Saya mencintaimu,” tindakannya berkata, “Saya tidak peduli terhadap keinginan atau perasaanmu.” Dan istrinya percaya tindakan lebih dari kata-kata. Kecenderungan manusianya menjadi marah, dan sakit hati, dan jadi tidak peduli akan keinginan dan perasaan suaminya. Setiap harapan adanya keintiman hancur pada pertengkaran dan adu mulut.

Atu sebaliknya. Seorang istri mengatakan pada suaminya kalau dia akan melakukan apa saja untuk kebahagiaan suami, tapi dia tidak pernah memasak makanan kesukaan suaminya. Suaminya minta agar dia meyiapkan hal itu dan dia meyakinkan sang suami pasti akan melakukannya suatu saat, tapi tidak pernah dilakukannya. Kapanpun suaminya mengingatkan hal itu, dia akan berkata, “Tolong jangan ganggu saya tentang hal ini. Aku akan menyiapkannya saat saya ingin.” Tapi berbulan-bulan berlalu dan dia tetap tidak melakukannya. Tindakannya berkata, “kebahagiaanmu bukan perhatianku,” dan suaminya mempercayai tindakan diatas kata-kata. Sekali lagi sakit hati mulai meracuni hubungan dan menuangkan minyak keatas perselisihan mereka.

Biasanya bukan hal yang besar yang membawa kehancuran pada pernikahan. Timbunan dari tindakan kecil yang meyakinkan masing-masing kalau pasangan mereka tidak peduli lagi. Tidak ada yang bisa meyakinkan mereka, karena tindakan lebih bicara lebih keras dari kata-kata,

Prinsip tidak hanya berdampak pada hubungan perkawinan. Itu berdampak pada setiap hubungan dalam hidup. Sebagai contoh, orang percaya didorong untuk “Bersukacitalah dengan orang yang bersukacita, dan menangislah dengan orang yang menangis!” (Romans 12:15). Itu suatu yang alami dari kasih kita terhadap sesama dan perhatian kita pada sesama Tubuh Kristus.

Demikian juga dengan seorang wanita baru datang kekelompok wanita dan dia dipenuhi dengan sukacita. “Saya sangat senang. Suamiku percaya Kristus sebagai Juruselamatnya tadi malam dan sekarang kita satu dalam Dia.” Dan para wanita dalam lingkaran itu berkata, “Oh, baik sekali,” kemudian duduk tak bergerak denan tangan terlipat, kaki disilangkan dan bermuka muram. Saya jamin wanita yang suaminya baru lahir bari tidak akan merasakan kedekatan dan keintiman dengan para wanita itu, apalagi membagikan hatinya dengan mereka. Tindakan mereka berlawanan dengan perkataan mereka.

Hal yang sama berlaku pada pria yang baru kehilangan pekerjaan. Saat dia mengatakan berita sedih ini pada teman digerejanya, temannya menjawab, “Itu sangat disayangkan,Tom. Saya sedih mendengarnya.” Tapi dia langsung berbalik dan bertanya pada temannya apakah mereka jadi pergi mincing besok pagi. Dia tidak pernah menanyakan pekerjaan Tom lagi, apalagi bertanya apa yang bisa dilakukannya. Seperti yang anda curigai, Tom mulai pergi kegereja lain dimana tindakan orangnya konsisten dengan perkataannya. Sangat sulit menikmati hubungan yang memuaskan dan harmonis dengan orang yang tidak bisa membuktikan perkataannya sesuai dengan tindakannya.

Untuk Perintah yang Berhasil

Ada alasan kedua tindakan kita harus sesuai dengan perkataan kita, yaitu menjadi teladan bagi mereka yang berusaha kita ajar, dan dengan demikian meningkatkan potensi mereka untuk mau belajar. Filosofi “Lakukan seperti yang aku katakan bukan seperti yang aku perbuat” merupakan bencana pendidikan. Belajar yang paling berhasil terjadi saat pelajar melihat teladan yang baik dari apa yang diajarkan. Itulah metode yang Yesus gunakan dengan para murid. Mereka mungkin lebih belajar melalui melihat Dia daripada mendengar Dia. Sebagai contoh, malam Dia mengajar mereka untuk saling melayani dalam kerendahan hati dan kasih, dia mencontohkan peran seorang pelayan dengan mencuci kaki mereka. Mereka belajar dari hal itu bahwa mereka belajar hanya dari kotbah saja.

Dibeberapa kesempatan Paulus menyerukan orang percaya untuk mengikuti teladannya (lihat 1 Corinthians 4:16; 11:1; Philippians 3:17; 4:9). Dia mengajar melalui tindakan. Dia menantang Timotius untuk menjadi teladan bagi orang percaya yang dilayani (1 Timothy 4:12), dan mendorong Titus untuk melakukan hal yang sama (Titus 2:7). Merupakan hal yang bodoh jika kita mencoba mengajar orang lain sesuatu yang kita sendiri tidak lakukan.

Sebagai orangtua kita mungkin yang paling bersalah dalam hal kemunafikan. Kita ingin anak kita bicara kepada kita dengan nada yang baik dan tidak dengan berteriak. Kita menjelaskan kepada mereka dengan jelas dan sederhana. Tapi lima menit kemudian mereka mendengar mamanya berteriak pada papa, “Berapa kali saya bilang, jangan taruh pakaian kotor meja makan?” atau yang lebih buruk, salah satu dari mereka berteriak pada anak-anak, “Sudah dibilang beribu kali jangan berteriak saat saya sedang bicara ditelepon.” Kata-kata itu tidak berarti. Kita mengajar mereka lebih banyak melalui tindakan daripada kata-kata kita.

Satu contoh lagi. Baik ibu dan ayah telah mencoba mengajar anak-anak menjalankan tanggung jawab mereka dengan sukarela dan senang dan tidak mengeluh. Tapi disuatu sore mama berkata pada papa, “Sayang, saya ingin kamu membetulkan kebocoran didapur kita semalam. Kita membuang banyak air.”

Papa melewati hari yang sangat melelahkan hari ini, dan membetulkan kebocoran merupakan hal terakhir yang ingin dia lakukan. Dia seharunya berkata dengan baik dan terus terang, “Jangan malam ini, sayang. Besok dan saya akan melalukannya dipagi hari.” Tapi dia curiga akan mendapat percekcokan jika mengatakan hal itu, jadi sebaliknya dia menjawab dengan marah, “Baiklah. Baiklah—sebentar lagi.”

Satu jam kemudian dia pergi kegarasi, membanting pintu dengan sangat keras sehingga menggetarkan seluruh rumah. Dia terdengar marah-marah tentang kekacauan yang dibuat anak-anak ditempat itu. Kemudian dia marah-marah tentang disain keran air didapur yang membuat pekerjaannya 2 kali lebih sulit. Dan dia “tidak disengaja” memecahkan salah satu gelas kesukaan mama yang tertinggal ditempat cuci. Anak-anak tidak belajar banyak tentang kerelaan dan kebahagiaan.

Bagaimana kita melakukannya dan apa yang kita lakukan lebih penting dari perkataan. Itulah pelajaran penting untuk diajarkan pada anak-anak. Tapi mereka akan mempelajari itu dengan melihat kita. Kita bisa mengemasi kata-kata kita jika tidak mau mencontohkan itu dihadapn anak-anak kerena mereka akan meniru apa yang mereka lihat jauh lebih daripada mengikuti apa yang mereka dengar. Tindakan bicara lebih keras dari perkataan.

Ada bentuk lain dari komunikasi nonverbal yang perlu kita sebutkan, terutama saat bicara tentang mengajarkan anak, yaitu sentuhan. Kita ingin anak kita mengetahui kalau kita mengasihi mereka, tapi kata-kata saja tidak akan meyakinkan mereka. Mereka perlu dengan kasih disentuh. Bayi yang dijauhkan dari sentuhan bisa mati. Anak-anak yang tidak mendapat sentuhan kasih akan sangat terganggun. Setiap manusia memiliki keinginan untuk disentuh, diluar konotasi seksual, oleh orang yang dekat dengan mereka. Suami dan istri memerlukannya. Dan anak-anak tidak bisa berkembang dengan normal tanpa hal ini. Sentuhan yang lembut berkata, “Aku mengasihimu. Kamu berharga bagi saya.” Dan kita paling baik belajar dari mereka yang kita tahu peduli terhadap kita.

Untuk Kesaksian yang Efektif

Setidaknya ada satu alasan lagi kenapa orang Kristen harus membuktikan perkataan dan perbuatan mereka selaras, yaitu untuk mereka yang terhilang yang sedang memperhatikan. Jika mereka tahu kita orang Kristen, mereka mungkin memperhatiakan setiap perbuatan kita. Dan apapun yang kita katakan. Apa yang mereka baca dari kita? Paulus meminta orang Korintus untuk menjadi surat yang terbuka untuk bisa dibaca oleh semua orang (2 Corinthians 3:2). Kita smua adalah surat hidup yang dibaca setiap hari. Apa isi surat anda?

Kepada jemaat Kolose, Paulus berkata, “Hiduplah dengan penuh hikmat terhadap orang-orang luar, pergunakanlah waktu yang ada” (Colossians 4:5). Itu menunjuk pada cara hidup kita, prilaku kita, tindakan kita. Tapi ayat berikut bicara tentang kata-kata kita: “Hendaklah kata-katamu senantiasa penuh kasih, jangan hambar, sehingga kamu tahu, bagaimana kamu harus memberi jawab kepada setiap orang” (4:6). Kita tidak bisa memisahkan perkataan dan tindakan kita. Mereka harus konsisten. Jika kita mengatakan pada seorang yang belum percaya bahwa Tuhan mengasihinya, kita perlu menunjukan kepadanya kasih Tuhan dengan cara kita memperlakukan dia.

Satu keluarga memutuskan bahwa mereka akan memungut anak untuk menunjukan kasih Kristus pada keluarga tetangga yang belum selamat. Mereka berdoa bersama keluarga itu. Anak-anak mereka berbagi mainan dengan anak-anak mereka. Ayah sukarela membantu ayah mereka dalam memasang system pemancar air. Mama mengambil alih saat mereka kehilangan saudaranya. Tindakan kasih mereka yang konsisten membuka pintu untuk kesaksian verbal, dan keluarga itu menjadi kenal Kristus. Itu berasal dari sikap mereka terhadap orang luar. Dan tindakan mereka lebih dari perkataan yang membawa keluarga itu kepada Kristus.

Kita bisa mengatakan pada semua teman non-Kristen kita bahwa Kristus bisa membuat perbedaan dalam hidup kita, tapi mereka lebih memperhatikan tindakan kita. Apakah kita bicara dengan karyawan lebih baik dari orang yang tidak percaya? Apakah kita lebih mudah memberi senyum? Apakah kita lebih cenderung menolong orang yang sedang susah? Apakah kita mengatasi ketidaknyamanan dengan lebih tenang? Apakah kita menerima berita buruk lebih tenang dan terkontrol? Apakah kita memperlakukan keluarga kita lebih tidak egois?

Dunia sedang melihat. Orang Kristen akan menunjukan prilaku baik mereka dalam tindakan mereka (James 3:17). Satu-satunya cara yang bisa kita lakukan adalah melalui meniru pribadi Yesus Kristus, menyamakan pikiran kita dengan FirmanNya, membiarkan Dia menangkap kasih sayang kita, mengatur kita dan hidup didalam kita. Maka kemunafikan akan hilang dan orang lain akan tahu kalau kita nyata—keluarga, teman, sesama pekerja, juga orang yang belum percaya disekitar kita. Dan mereka mulai percaya pada perkataan kita.

Related Topics: Man (Anthropology), Basics for Christians, Christian Home

14. Siapa yang Mendengar?

Empatbelas: Siapa yang Mendengar?

Sangat luar biasa melihat pasangan muda jatuh cinta. Mereka tidak sulit saling berkomunikasi, bicara dengan semangat dan meluap-luap selama berjam-jam. Ada saatnya kita melihat keduanya bicara dan kita bertanya siapa yang mendengar. Kenyataannya, mereka berdua saling mendengar. Mereka seperti komunikator ulung yang memiliki kemampuan yang jarang dalam bicara dan mendengar pada saat yang sama.

Kemudian mereka menikah dan sesuatu berubah. Mereka mulai merasa sudah mendengar hampir semua hal menarik yang akan dikatakan pasangannya, atau mereka sudah tahu sebagian besar yang harus diketahui. Dan sejujurnya, mereka tidak yakin apakah mereka senang dengan apa yang dikatakan pasangannya. Jadi mendengar tidak lagi mudah, menarik atau sepenting sebelumnya. Itu tidak datang secara ototmatis seperti dulu. Sekarang itu seperti pekerjaan. Butuh waktu dan tenaga yang mereka tidak ingin berikan. Itu merupakan seni yang harus dibangun dan dikembangkan. Mereka mulai kehilangan motivasi dan cenderung mendengar diri sendiri. Dan sekali lagi kita bertanya siapa yang mendengar.

Saat ceritanya berlanjut, ada saat dimana yang pria bicara dan wanita mendengar. Dibulan madu, wanita bicara dan pria mendengar. Dan sekarang mereka tinggal dalam rumah sendiri, keduanya bicara dan tetangga yang dengar. Dan jika mereka tidak berteriak cukup keras sehingga tetangga bisa dengar, mungkin tidak ada yang mendengar.

Masalahnya tidak hanya terjadi diperkawinan. Kegagalan kita untuk mendengar dalam hidup merupakan penghalang paling serius dalam hubungan antar pribadi kita. Kita bisa melihat seseorang langsung dimatanya, mengangguk setuju dan mengeluarkan suara ““Uh huh” sementara pikiran kita ribuan mil jauhnya—membetulkan ayunan golf, jengkel dengan kontrak yang hilang, khawatir tentang laporan kemarin dari dokter, memburu harimau dipadang Afrika, merencanakan makan malam atau ratusan pilihan lainnya. Kita hanya memberi perhatian tiruan terhadap apa yang dikatakan, atau kita tidak memperhatikan sama sekali.

Mari kita hadapi ini, hampir semua dari kita lebih ingin bicara daripada mendengar. Kita menganggap mendengar itu selingan sementara dan tidak menyenangkan antara kesempatan mengatakan apa yang ingin kita bicarakan. Kita tidak mendengar apa yang orang lain katakan, tapi memikirkan apa yang akan kita katakan selanjutnya, baik mengherankan dan menghibur teman kita, atau membingungkan dan meyakinkan lawan kita. Hasilnya mungkin percakapan, tapi bukan komunikasi. Kita mungkin dalam suatu kelompok, tapi kita berfungsi sebagai tubuh. Tidak ada persekutuan sejati yang terjadi. Kita tidakbelajar mengenal satu sama lain lebih baik sehingga kita bisa melayani lebih efektif bagi kepentingan orang lain. Kita berdiri sendiri-sendiri dalam kelompok, setiap orang meminta ada yang mendengar dan peduli. Kita baru bisa berhubungan dengan orang saat kita mendengar. Kita akan membahas tentang percakapan dalam buku ini. Mari kita membahas tentang mendengar.

Halangan Untuk Mendengar

Mendengar adalah pekerjaan berat, itu harus diakui. Beberapa orang bicara sangat lambat sehingga kita ingin sekali menarik kata-katanya keluar dari mulutnya. Kita berpikir 5 kali lebih cepat daripada rata-rata orang bicara, dan itu menambah masalah dalam mendengar. Orang lain bicara begitu cepat sehingga melewati kata-kata mereka sendiri sehingga kita tidak bisa mengerti. Beberapa orang bicara sangat lembut sampai-sampai kita tidak bisa mendengar. Orang lain bicara begitu keras sehingga kita malu berada didekat mereka. Beberapa orang bicara tentang hal yang tidak relevan dan tidak logis. Orang lain bicara tentang hal yang tidak penting sehingga membuat kita bosan. Beberapa orang tidak serius dengan kata-kata mereka. Orang lain tidak tahu kapan berhenti. Diatas semuanya, mendengarkan bisa menjadi sesuatu yang sulit.

Sebagian besar dari kita bisa lebih peka terhadap orang lain saat kita bicara dan tidak menyalahgunakan bantuan mereka saat mereka memberi kita telinga untuk mendengar. Tapi orang ini juga yang paling sulit mendengar merupakan orang yang perlu menjadi pendengar, dan Tuhan mungkin meminta kita menjadi pendengar mereka. Ada beberapa hal yang tidak bisa kita lakukan, tapi setidaknya jika kita memiliki satu telinga, kita seharusnya bisa mendengar.

Salah satu halangan terbesar yang harus kita atasi untuk menjadi pendengar yang baik adalah pelatihan awal kita dan kebiasaan. Sebagai anak-anak, kita mungkin disuruh diam, berhenti memotong, disuruh pergi karena mama dan papa tidak punya waktu mendengar. Dan kita akhirnya memiliki pemikiran bahwa orang dewasa tidak mendengar. Penyelidikan terhadap sekolah anak-anak menunjukan bahwa mendengar semakin menurut setiap kenaikan kelas. Kelihatannya semakin tua kita semakin tidak bisa mendengar.

Sepertinya juga semakin tua kita, semakin membiarkan diri kita terbagi oleh factor eksternal—orang-orang yang berjalan, bunyian, tekanan waktu, penampilan orang yang bicara atau tindakan mengganggu lainnya. Saya tidak ingat lagi bicara dengan orang yang bertanya setiap beberapa kalimat, “Kamu mengerti maksud saya kan?” Saya lebih memikirkan pertanyaan itu daripada apa yang dikatakannya.

Kadang mendengar bisa mengancam kita. Kita takut kalau kita mendengar kritik diri kita yang tidak mau kita hadapi, beberapa perubahan yang tidak mau kita lakukan, atau tuntutan yang tidak mau kita kerjakan. Kita mungkin mendengar suatu pemikiran yang bertentangan dengan beberapa pendapat kita sehingga kita lebih baik menyerah. Pertahanan terbaik kita adalah berhenti memperhatikan. Kita mungkin merasa itu mengambil terlalu banyak usaha untk mengerti apa yang dikatakan pada kita, jadi kita melarikan diri dan mematikan peralatan mental untuk mendengar. Terlalu bermasalah jika mendengar. Jadi kenapa pusing?

Kenapa pusing? Itu pertanyaan yang baik. Mari kita jawab.

Motivasi Mendengar

Jika saya mengusulkan satu alasan yang baik untuk membangun seni mendengar, itu bisa ditemukan dalam 1 John 4:7: “Saudara-saudaraku yang kekasih, marilah kita saling mengasihi, sebab kasih itu berasal dari Allah; dan setiap orang yang mengasihi, lahir dari Allah dan mengenal Allah.” Mendengar itu sangat penting dan perlu dalam menyatakan kasih. Kasih adalah memberikan diri kita dengan berkorban dan tidak bersyarat dalam memenuhi kebutuhan mereka yang membutuhkan. Dan satu kebutuhan umum semua manusia adalah dimengerti. Kita ingin yakin kalau seseorang mengenal kita, peka untuk mengetahui apa yang terjadi dalam kita, merasakan apa yang kita rasakan dikedalaman keberadaan kita, dan tetap menerima kita dan peduli pada kita. Mungkin saja bagi setiap orang melakukan itu tapi hanya satu yang benar-benar mendengar. Dengan mendengar kita berkata, “Saya peduli terhadap kamu. Kamu cukup penting sehingga diberi waktu dan usaha untuk mengerti kamu.”

Jadi kita mendengar. Kita bisa mengatakan dengan mulut berulang kali, “Saya cinta kamu,” tapi itu tidak berarti kecuali kita mau mengesampingkan hal lain dan memberi diri kita untuk mengerti kebutuhan terdalam orang yang kita kasihi. Kasih sejati berfokus pada keuntungan yang lain daripada keuntungan kita, dan itu berarti mencoba mengerti mereka. Kita semua ingin dimengerti, tapi Tuhan meminta kita untuk memberi waktu untuk mengerti.

Beberapa suami dan istri merasa sangat tidak dimengerti. Mereka mencoba mengkomunikasikan pada pasangannya pikiran, perasaan, kebutuhan, keinginan dan harapan, tapi mereka sangat sedikit mendapat respin. Pasangan mereka disibukan dengan hal lain seperti surat kabar, televise, pekerjaan rumah, hobi, atau pekerjaan. Kemudian satu hari mereka bertemu seseorang yang benar-benar tertarik terhadap perkataan mereka, dan mereka mengijinkan diri terbawa kedalam hubungan yang intim. Pihak ketiga mungkin kurang menarik dari pasangan mereka, tapi itu tidak masalah. Mereka pikir mereka telah bertemu seseorang yang peduli dan itu yang paling penting bagi mereka. Itu dosa! Tidak ada pembenaran yang bisa membuat hal itu jadi benar. Itu membawa masalah baru dan sakit hati, biasanya lebih buruk dari sebelumnya. Tapi itu tidak masalah bagi mereka. Mereka sekarang merasa dikasihi, diterima, dan dimengerti, dan itu yang paling penting bagi mereka. Itulah kekuatan dari telinga yang mendengar.

Orang akan sering pergi kekonselor professional karena mereka tahu akan didengar. Mereka datang bukan untuk mendapat saran tapi untuk didengar dengan penuh perhatian dan tidak terbagi, seseorang yang bisa mengerti dan menolong mereka mengerti diri sendiri. Tidak masalah kalau konselor menghabiskan uang. Mereka perlu telinga yang mendengar dan mereka tidak mampun menemukannya dalam diri pasangan mereka atau orang Kristen lainnya.

Saya membaca tentang kedai kopi di San Francisco yang punya ruang kedap suara, dimana itu disediakan untuk seseorang yang mau mendengar. Bisnisnya bagus. Orang ingin bicara, menyatakan pendapat, memberi saran, solusi yang cepat. Tapi hanya sedikit yang memberi waktu untuk mendengar dan mengerti. Pengertian seseorang tidak hanya berarti setuju dengan seseorang. Itu artinya merasakan apa yang dirasakan, melihat situasi dari cara pandangnya, dan bersimpati dengan dia.

Inilah satu cara dimana tubuh Kristus bisa saling melayani. Tidak mungkin bagi seorang pastor memenuhi kebutuhan ini dalam hidup setiap jemaatnya. Tapi kita bisa melayani sesama dengan cara ini. Kita tidak memerlukan pelatihan yang besar untuk menjadi pendengar yang baik, menanyakan pertanyaan pengarah dan mendorong orang untuk bicara. Kita memerlukan hal ini. Melalui mendengar, kita bisa saling menanggung beban dan dengan demikian memenuhi hukum Kristus (Galatians 6:2). Melalui mendengar, kita bisa menunjukan kasih Kristus. Apakah anda ingin mencobanya? Jika mau, anda perlu tahu apa yang terlibat didalamnya.

Natur dari Mendengar

Rasul Yakobus memberikan pernyataan Alkitab tentang mendengar. “setiap orang hendaklah cepat untuk mendengar, tetapi lambat untuk berkata-kata, dan juga lambat untuk marah” (James 1:19). Dia baru memperkenalkan subjek dari Firman Tuhan, menekankan bahwa kita harus lahir baru melalui kebenaran Firman (v. 18), dan dia mendorong kita untuk menjadi pelaku Firman bukan hanya pendengar saja (v. 22). Jadi dalam konteksnya, ayat ini berkaitan dengan mendengar Firman Tuhan. Menutup mulut dan mendengar Firman Tuhan akan menjaga kita dari pembelaan diri atau mencela orang yang tidak setuju dengan kita.

Tapi dalam seruannya tentang Firman Tuhan, Yakobus menyentuh prinsip utama komunikasi antar pribadi yang baik. Lebih mendengar satu sama lain, dan lebih memikirkan sebelum kita menjawab akan menghasilkan lebih sedikit konflik dan kemarahan. Jadi cepat mendengar dan lambat bicara! Dengan kata lain, buatlah mendengar menjadi prioritas yang tinggi dalam hidup anda. Lakukan itu tanpa menunda, tanpa harus diminta; lakukanm itu dengan semangat dan antusias.

Melihat parallel antara mendengar Firman Tuhan dan mendengar sesama bisa sangat menolong. Penyelidikan Alkitab yang baik sangat baik untuk dimulai dengan mencari apa maksud Tuhan melalui perkataanNya, bukan arti yang ingin kita letakan. Mendengar yang baik juga sama. Tujuan kita adalah mengerti apa maksud orang lain melalui kata-kata yang mereka gunakan, bukan apa yang kita pikir itu maksud mereka atau ingin mereka memaksudkan itu. Kita punya kecenderungan alami memenuhi perkataan mereka dengan arti dan mewarnainya dengan latar belakan, pengalaman dan cara pikir serta pandangan kita, dan kita harus mengerti kecenderungan itu.

Sebagai contoh, Salomo mengatakan kalau rambut pengantinnya bagaikan kawanan kambing yang bergelombang turun dari pegunungan Gilead (Song of Solomon 4:1). Itu artinya dia cantik. Bayangkan semampu anda sekelompok besar kambing dibukit dalam gerakan yang indah. Dia mengerti itu. Jika anda mengatakan hal ini pada istri anda sekarang, dia mungkin tidak akan bicara dengan anda selama seminggu. Dia ingin mendengarnya dalam kerangka sekarang dan membacakan semua hal mengerikan itu, kecuali dia mengerti gambaran Alkitab dan mau mendengar kata-kata anda dalam terang itu.

Mendengar yang baik tidak hanya mendengar kata-kata, tapi berusaha mengerti arti pesan yang dimaksud pembicara melalui kata-katanya. Kita mungkin mampu mengulangi dengan tepat setiap kata tapi tetap tidak mengerti artinya. Seekor burung beo bisa mengulangi kata-kata. Tapi beo tidak bisa menjadi pendengar yang baik. Pendengar yang baik mendengar orang dan maksud mereka, dan membangun pengertian diantara mereka. Bukankah ini yang anda kehendaki? Bagaimana kita bisa cepat mendengar?

Berikan perhatian penuh. Yakobus mengatakan kalau kita harus mendengar Firman Tuhan. “Tetapi barangsiapa meneliti hukum yang sempurna, yaitu hukum yang memerdekakan orang, dan ia bertekun di dalamnya, jadi bukan hanya mendengar untuk melupakannya, tetapi sungguh-sungguh melakukannya, ia akan berbahagia oleh perbuatannya” (James 1:25). Kata itu sepertinya secara literal berarti “membungkuk disamping.” Ada intensitas tentang cara kita menyelidiki FirmanTuhan. Kita juga perlu saling mendengarkan satu sama lain. Itu mungkin berarti kita tidak mampu mendengar dengan baik sementara menonton pertandingan bola, membaca surat kabar, membersihkan lantai atau membereskan ruang tamu. Perhatian penuh membutuhkan kontak mata. Jika kita melihat kehal lain, melirik jam atau membunyikan jari, kita memberikan kesan tidak tertarik terhadapa perkataannya. Seperti yang sudah kita ketahui, bahasa tubuh bicara lebih keras dari kata-kata kita. Apa yang orang ingin sampaikan pada kita cukup penting sehingga kita harus menyingkirkan semua yang sedang kita lakukan. Apa yang ingin istri sampaikan kepada suami bahkan sangat penting sehingga mengharuskan suami mematikan pertandingan, hal ini aneh bagi kebanyakan suami. Jika kita tidak bisa memberikan perhatian penuh pada saat itu, maka kita harus menetapkan waktu dimana kita bisa, dan menepatinya.

Perhatian penuh juga kita butuhkan untuk menjaga pikiran tidak melayang. Seperti yang kita lakukan terhadap Firman Tuhan, terus ada didalamnya (James 1:25), jadi kita harus mengamankan pikiran kita pada orang yang bicara pada kita dan memperhatikan apa yang dikatakan. Itu mungkin tidak mudah. Kita cenderung lebih tertarik pada hal yang menyenangkan. Tapi kita bisa mendisiplin diri untuk memperhatikan apa yang kita pilih. Membayangkan apa yang dikatakan orang, menempatkan diri dalam gambaran orang itu, atau mencoba merasakan apa yang dia rasakan bisa menolong kita merasakan pentingnya apa yang dia katakan, dan itu mempermudah kita berkonsentrasi mendengarkannya.

Jangan memotong. “lambat bicara” juga merupakan bagian penting dari mendengar dengan baik. Seringkali kita mengetahui apa yang akan dikatakan seseorang, jadi kita langsung kesana dan menyelesaikan kalimat itu untuknya. Sayangnya, kita bisa kehilangan maksud keseluruhan dan interupsi kita hanya semakin membingungkan masalah. Kita juga bisa cepat menyatakan ketidaksetujuan kita, atau menawarkan saran sebelum kita sepenuhnya mengerti masalah. Kita sebelumya sudah melihat kata Salomo. “Jikalau seseorang memberi jawab sebelum mendengar, itulah kebodohan dan kecelaannya” (Proverbs 18:13). Apakah anda pernah melihat poster yang berkata, “Jika ada satu hal yang saya tidak bisa tahan, yaitu seseorang bicara sementara saya memotong”? Itu mungkin menggelikan, tapi mencerminkan kenyataan menyedihkan dari cara pikir kita.

Kita juga bisa memotong dengan cara halus. Bahkan sesuatu yang kelihatannya tidak penting terlihat dari wajah kita, “Oh, berapa kali saya harus mendengar hal ini?” Komunikasi yang mencekam dan membangun kebencian suatu hari bisa muncul dalam konflik. Kadang kita memotong pembicaraan untuk melakukan sesuatu yang menurut kita penting, tapi sebenarnya bisa dilakukan lain waktu. Telepon mungkin memotong komunikasi dalam rumah lebih dari hal lain. Ada saatnya kita harus membiarkan itu tetap berbunyi, atau menjawabnya dengan mengatakan akan menelepon kembali, atau biarkan itu tidak tersambung. Jika Tuhan ingin kita saling mendengar, kita perlu menempatkannya dalam prioritas yang utama.

Mendengar tanpa membela diri. Beberapa dari kita lebih baik tidak mendengar karena kita sudah memutuskan hal yang akan dibahas, atau didalamnya ada kritik, atau tuntutan akan perubahan. Jadi kita memotong yang bicara, mengubah bahan pembicaraan, atau menunjukan pembelaan kita sebelum selesai bicara. Itu sulit menunjukan kasih Kristus. Seperti kita harus menjadi pelaku Firman bukan hanya pendengar saja, jadi kita harus menerima informasi baru dari orang lain yang berbeda dari pandangan kita, dan mau mempertimbangkan membuat perubahan yang Tuhan ingin kita lakukan. Dengan kata lain, kita harus mempertimbangkan melakukan itu seperti kita mendengarnya.

Kita semua memiliki cara pikir dan kebiasaan yang selalu kita lakukan. Kita yakin tidak ada cara lain selain cara kita, sampai kita ditantang oleh seseorang yang lebih yakin akan caranya. Dalam hubungan perkawinan uang merupakan wilayah pertengkaran yang umum. Istri percaya suami yang harus membayar tagihan, walau yang lain merasa istrinya bisa juga bertanggung jawab terhadap hal itu. Satu pasangan berpendapat setiap sennya harus disimpan, sementara yang lain merasa setelah membayar tagihan dan memberi pada pekerjaan Tuhan, bisa diterima kalau mereka memberikannya untuk hiburan keluarga. Mereka mungkin berdebat tentang hal yang sama selama bertahun-tahun, dimana pikiran terbuka dan sikap tidak membela diri bisa membawa penyelesaian.

Liburan merupakan salah satu wilayah perbedaan. Salah satu menyukai gunung sedangkan yang lain menyukai pantai. Salah satu menyukain camping sementara yang lain lebih suka tinggal dihotel dimana tempat tidur lebih nyaman dan airnya lebih hangat. Satu orang ingin tetap berjalan dan melihat apa yang akan terjadi, sementara yang lain ingin berhenti dan bersantai, tidak melakukan apapun. Semua cara untuk berbagi perasaan atau memberi alasan pilihan mereka disambut dengan kemarahan dan satu lembar alasan logis. Tapi ini bukanlah kasih Kristus. Kasih tidak mementingkan diri sendiri (1 Corinthians 13:5). Kasih tidak hanya mendengar orang lain tanpa terbagi, tapi juga peka terhadap perasaan mereka, mempertimbangkan pendapat mereka, terbuka terhadap apa yang mereka katakan, dan mau mempertimbangkan perubahan untuk kepentingan mereka. Itu menyatakan “saya peduli”

Jika kita tidak setuju dengan apa yang dikatakan, mungkin lebih baik minta kejelasan daripada langsung menyatakan perbedaan kita, dan jangan memberi jawab sampai kita mampu mengkomunikasikan pernyataan orang itu dengan memuaskan. Saat kita akhirnya bisa menyatakan kembali posisinya sehingga dia puas, kita bisa melihat perbedaan kita telah hilang. Mendengar dengan menanyakan dan meminta kejelasan juga bisa menolong kita menjaga kemarahan kita tidak meningkat, seperti kata Yakobus. Cepat mendengar dan lambat bicara juga lambat marah.

Katakan sesuatu. Sebagian suami terkenal kejahatannya karena tidak mau berespon sama sekali. Kita menjawab usaha istri untu berkomunikasi dengan diam. Walau istri yang diam merupakan spesies langka, ada beberapa yang seperti itu. Kita tahu kalau diam itu emas, dan ada saatnya 2 orang duduk bersama menikmati kebersamaan tanpa mengatakan apapun. Salomo berkata bahwa ada waktu bicara, dan ada waktu untuk diam (Ecclesiastes 3:7). Tapi diam padahal seharusnya bicara bisa membingungkan. Itu bisa ditafsirkan kemarahan, tidak setuju atau bantahan atau bisa juga, pengertian, penerimaan atau izin. Itu bisa berarti “Saya tidak merasa kamu pantas didengar,” atau hanya “Saya tidak tahu apa yang harus dikatakan.” Tapi itu juga bisa diterjemahkan “Saya tidak peduli apa katamu.” Dan itu menyakitkan. Katakan sesuatu agar orang lain tahu kita mendengar dan peduli.

Katakan sesuatu seperti, “Saya mengerti apa yang anda katakan.” atau “Saya menghargai itu.” atau “Bagi saya sepertinya anda …” dan simpulkan apa yang anda pikir maksud perkataan orang itu. Ini memberi petunjuk anda tertarik dan ingin mendengar lebih lagi. Dan itu juga kasih. Saat kita benar mengasihi satu sama lain, kita tidak harus diminta, “Siapa yang mendengar?” Akan jadi jelas kita saling mendengar, kita ingin saling mengerti dan damai dengan sesama, dan itu memuliakan Tuhan.

Related Topics: Man (Anthropology), Basics for Christians, Christian Home

1. Pendahuluan: Natur Umum dari Tugas

Proverbs 22:6, “Didiklah orang muda menurut jalan yang patut baginya, maka pada masa tuanyapun ia tidak akan menyimpang dari pada jalan itu,” merupakan ayat dasar dari penyelidikan ini dan merupakan salah satu perintah Alkitab secara langsung kepada orangtua. Tapi apakah ada hal yang lebih menantang atau terhormat daripada tanggung jawab dan hak istimewa ini? Mendidik anak menurut jalan yang patut baginya selalu merupakan tugas yang besar dan penting disetiap generasi karena semua yang terlibat dalam proses membesarkan anak, tapi apakah ada masa dimana tantangan lebih besar dari saat ini? Perkembangan anak dan cara pandang tentang hidup merupakan hasil dari proses mendidik. Disitulah anak akan mengembangkan pemikiran mereka tentang Tuhan, manusia, diri mereka (pentingnya diri, sumber keamanan, tujuan dalam hidup), dan tentang lingkungan dan cara pandang dunianya. Tapi semakin jauh lingkungan keluar dari kebenaran Alkitab dan nilai, prioritas dan kepercayaannya, lebih sulit tugas kita mendidik anak. Ini sebagian disebabkan oleh pengaruh negative dan tekanan atas anak, tapi juga karena orangtua terlalu sering berpikir dan bertindak seperti lingkungan mereka. Mereka mengambil struktur kepercayaan dan hidup menurut nilai dan prioritas lingkungan itu. Dampaknya terhadap cara berpikir dan prilaku anak sangat besar dan dengan hanya melihat sekilas apa yang terjadi disekitar kita sudah menjelaskan semuanya. Apa yang dipercaya lingkungan akan selalu menentukan bagaimana itu hidup. Ada alirah budaya, dan aliran ini selalu ditemukan dalam pikiran orang. Seperti mendiang Francis Schaeffer menjelaskan:

Orang punya praanggapan, dan mereka akan hidup lebih konsisten atas dasar praanggapan ini lebih dari yang mereka sadari. Melalui praanggapan kita memnjalankan cara dasar seseorang melihat hidup, cara pandang dunianya, garis-garis peta dimana dia melihat dunia. Itulah praanggapan dimana seseorang melihat itu kebenaran dari yang ada. Praanggapan orang meletakan dasar semua yang mereka tunjukan didunia luar. Praanggapan juga menyediakan dasar nilai dan kemudian dasar keputusan mereka.

“Apa yang manusia pikir, itulah dia,” merupakan suatu yang mendasar. Seseorang bukan hanya produk kekuatan disekelilingnya. Dia memiliki pikiran, dunia dalam diri. Kemudian, setelah berpikir, seseorang bisa melakukan tindakan didunia luar dan kemudian mempengaruhinya.1

Praaggapan kita, yang menentukan cara pandang dunia kita, umumnya diambil dari keluarga. Tapi ada banyak kekuatan jahat yang sedang bekerja untuk mempengaruhi cara pandang dunia keluarga (baik orangtua dan anak) untuk menjauh dari kebenaran Tuhan saat itu dikembangkan pada kita dalam halaman Firman Tuhan.

Selagi menyiapkan makan malam, kita sering mengamati berita atau suatu pertunjukan pembicaraan terkenal, yang, tentu saja, menyediakan ilustrasi sehari-hari dari sudut pandang masyarakat yang sangat tidak sesuai dengan Alkitab. Pokok pertunjukan hari ini adalah disiplin anak, maka saya terutama sekali tertarik akan apa yang akan dikatakannya. Tamu hari itu bergelar Ph.D. dibidang pengembangan anak ( ini memberikan seseorang otoritas) dan, tentu saja, kebanyakan dari pandangan nya membantah Alkitab. Penekanannya adalah bahwa disiplin phisik tentang segala hal adalah suatu tindakan kekerasan dan dengan begitu tidak efektif. Dan saya setuju, seperti halnya Alkitab, disiplin fisik bisa merupakan suatu tindakan kekerasan dan merusak seorang anak baik secara phisik dan secara emosional. Tetapi ini bukan disiplin phisik dalam Alkitab. Pada] program itu ada sekelompok ibu yang memukul anak-anak mereka, tetapi apa yang saya ingin sampaikan adalah tentang komentar salah satu dari para ibu itu dan reaksi pemandu. Dibawa tekanan untuk menjaga popularitas pertunjukan ini. Ibu itu dengan berani berkata bahwa dia berniat untuk menggunakan tamparan di pantat sebagai format disiplin sebab Alkitab mengajar nya untuk melakukannya. Ahli itu dengan cepat menjawab ketus bahwa Alkitab tidaklah selalu benar, karena mengajar perbudakan dan perbudakan yang jelas sudah salah!

Apa yang sedang berlangsung di sini? Ini adalah suatu ilustrasi tentang pengaruh yang bertentangan dengan otoritas Alkitab. Sudut pandang laki-laki yang tinggi dalam Alkitab, dalam hal ini dengan datar ditolak dan ditertawakan. Pertunjukan] populer ini dilihat diseluruh negeri ini, tetapi itu hanyalah satu peristiwa dan suatu pengecualian. Melainkan, itu merupakan kenyataan dihampir tiap-tiap segi kehidupan ( secara politis, melalui pendidikan, media, Hollywood, dll.). Amat sayang, bahkan sebagian besar gereja telah memilih untuk sudut pandang manusia] bukannya Alkitab. Rasul Paul memperingatkan kita terhadap permasalahan untuk tidak jadi sama dengan dunia (pandangan nya, struktur kepercayaan dan nilai-nilai), tapi diubah oleh pembaharuan pikiran kita melalui FirmanNya ( Rom. 12:2).

Di mana orang tua Kristen pergi ketika mereka ingin informasi tentang pelatihan anak? Menurut pengalaman saya, mereka sering ketoko buku Kristen untuk buku tentang pelatihan anak.

Sangat disayangkan, kesempatan mereka mendapatkan petunjuk injil sangat kecil dan lebih banyak sudut pandang pop-psychology manusianya daripada Alkitab. Tampaknya orang tua tidak lagi berbalik ke Alkitab dan mempelajarinya secara hati-hati dan dengan berdoa. Banyak orang tua tidak memiliki pengetahuan tentang berapa banyak Tuhan telah berbicara tentang hal ini, atau mereka memang mengabaikannya, atau hanya menolak itu karena dirasa sudah ketinggalan jaman.

Tetapi pikir sebentar tentang kondisi-kondisi moral masyarakat kita sekarang dimana kejahatan, obat/racun, kekerasan didalam keluarga-keluarga (penyalahgunaan isteri, anak-anak, dan ya, bahkan suami), pornografi, mentalitas anti otoritas, penipuan dan ketiadaan integritas dan perbuatan memalukan di antara para pemimpin bangsa kita, dan daftarnya masih panjang. Tapi tigapuluh tahun yang lalu, dimana kejahatan, obat/racun, penyalahgunaan, dll., kondisi-kondisi kemudian dan tahun yang lalu tidak sebanding dengan sekarang.

Apa yang telah menciptakan perbedaan itu dan kemunduran yang kita lihat hari ini? Sesungguhnya, ada banyak faktor, tetapi faktor yang utama adalah cara bangsa ini telah berbalik dari Alkitab. Awal enampuluhan doa telah dilarang disekolah. Kemudian ditetapkan bahwa menunjukan salinan Sepuluh Perintah di sekolah merupakan pelanggaran hukum. Dan pengguguran telah dibuat sah dengan undang-undang. Tetapi dengan sama pentingnya- keluarga tetap utuh. Orang tua masih berakal sehat dan hidup dari prinsip pelatihan anak berdasarkan Alkitab sebab itulah yang diperagakan ketika mereka tumbuh dewasa. Mereka percaya di dalamnya sekalipun mereka tidak pernah belajar hal ini secara pribadi.

Hari ini, masyarakat kita menyebut pendekatan itu sudah ketinggalan zaman; kita kata Alkitab salah dan kita lebih baik. Sudut pandang yang menolak Alkitab bersumber dari humanisme secular. Humanisme Secular adalah otonomi ( sumber nya ada didalam logika pemikiran manusia), pemujaan ( manusia memuja manusia ), dan secular ( manusia tidak lebih dari binatang, tidak memerlukan Tuhan). Bagaimanapun, Kitab injil mengajar kita bahwa ketika manusia melakukan ini, Tuhan memutar masyarakat ini kepada kesia-siaan (sudut pandang manusia). Ini selalu mengakibatkan gangguan kerohaniaan dan moral ( Rom. 1:18-32). Suatu pertanyaan penting apakah mendahulukan cara manusia dari cara Tuhan akan lebih baik? Bukti dengan sendirinya sudah jelas. orang-orang Roma 1:21 menguraikan jalan manusia adalah sia-sia. Kata Yunani yang diterjemahkan sia-sia ( mataiow) mengacu pada apa akhirnya sia-sia atau tidak punya hasil bermanfaat; tanpa kapasitas untuk menyampaikan apa dijanjikan.

Proverbs 14:12 berkata, “Ada jalan yang disangka orang lurus, tetapi ujungnya menuju maut” (NIV). Setiap hari kita melihat hasil akhir cara humanistic bangsa kita dalam masyarakat kita—kehancuran moral dalam masyarakat, terutama dalam keluarga. Proverbs 29:18 berkata, “Bila tidak ada wahyu, menjadi liarlah rakyat. Berbahagialah orang yang berpegang pada hukum” (NIV). Setelah menolak Alkitab, rahasia diilhami Tuhan, sebagai otoritas yang benar, kita menyingkirkan pengekangan Alkitab lainnya. Ini bukanlah pengekangan untuk merugikan dan merintangi, tetapi untuk memberkati dan mengijinkan manusia untuk melakukan tujuan penciptaannya. Suatu kereta menyediakan suatu ilustrasi baik bahwa dia hanya mampu memenuhi tujuannya sepanjang terus tinggal dalam relnya.

Pelatihan Anak selalu merupakan hal serius, tetapi mengingat bahwa pengaruh dan kuasa-kuasa yang ada didalam dunia kita sekarang, hal ini telah menjadi suatu tugas kolosal. Tapi itu bukanlah sesuatu yang mustahil, sebab kita mempunyai Tuhan yang tidak hanya mengungkapkan Dirinya kepada kita didalam Kitab injil dan dalam pribadi Kristus, Putra Tuhan, tetapi Ia telah memberi kita janji khusus untuk pelatihan dan pemeliharaan anak-anak kita. Pertanyaannya, Akan kita mengikutinya?

Mengingat iklim masyarakat kita, sebagian dari pembahasan pelajaran ini akan berlawanan dengan kecenderungan sekarang tentang pelatihan anak dan psikologi anak. Dengan kondisi masyarakat kita, itu sudah pasti. Tapi, percaya Alkitab dari Tuhan, material studi ini didasarkan pada eksposisi ayat kunci Alkitab yang detil untuk kita tentang apa kata Tuhan mengenai peningkatan dan pelatihan anak-anak. Mereka yang tidak punya percaya Alkitab akan menolak hal ini “Tetapi manusia duniawi tidak menerima apa yang berasal dari Roh Allah, karena hal itu baginya adalah suatu kebodohan; dan ia tidak dapat memahaminya, sebab hal itu hanya dapat dinilai secara rohani.” (1 Cor. 2:14). Walau hal ini sudah berdasar Alkitab, percaya itu diinspirasi Tuhan, saya merasa pasti beberapa orang Kristen akan tidak setuju dengan posisi yang diperkenalkan di sini sedikitnya dalam beberapa area. Apakah ini adalah suatu hasil pengaruh masyarakat atas pemikiran mereka atau karena saya belum menangani teks itu dengan baik, terserah individu untuk menilai berdasar pada bukti (see Acts 17:11). Bagaimanapun, tujuan saya adalah untuk membantu keluarga-keluarga dengan membagikan apa yang Alkitab ajarkan. Dalam kerangka ini, saya menyarankan tiga kualitas yang diperlukan di sini seperti dalam penyelidikan Alkitab manapun:

(1) Bisa Diajar. Kita semu jadi orantua dengan membawa praanggapan dan kita sering tidak mau melepaskannya. Tuhan ingin mengajarkan kebenaranNya, “Beginilah firman TUHAN, Penebusmu, Yang Mahakudus, Allah Israel: Akulah TUHAN, Allahmu, yang mengajar engkau tentang apa yang memberi faedah, yang menuntun engkau di jalan yang harus kautempuh’” (Isa. 48:17). Kebutuhan kita, seperti doa Pemazmur, “Perlakukanlah hamba-Mu sesuai dengan kasih setia-Mu, dan ajarkanlah ketetapan-ketetapan-Mu kepadaku” (Ps. 119:124).

(2) Bisa Dipelajari. Kebutuhan lain adalah mempelajari Alkitab dengan serius. Alkitab punya banyak hal tentang keluarga dan orangtua. Pertanyaannya adalah apakah kita mau membangun keluarga melalui penyelidikan FirmanNya? Mungkin seperti orang Bereans (Acts 17:11) menyelidiki Alkitab dan terbuka akan kebenarannya “Segala tulisan yang diilhamkan Allah memang bermanfaat untuk mengajar, untuk menyatakan kesalahan, untuk memperbaiki kelakuan dan untuk mendidik orang dalam kebenaran. Dengan demikian tiap-tiap manusia kepunyaan Allah diperlengkapi untuk setiap perbuatan baik” (2 Tim. 3:16-17).

(3) Diperhatikan. Jika keluarga adalah laboratorium Tuhan untuk membangun karakter didalam hidup anak-anak kita, tentu saja, tempat di mana dia hidup membentuk pikirannya, dan jika rumah adalah fondasi ke masyarakat, dan kedua hal ini benar, kita dapat pastikan bahwa Setan akan melakukan semua yang bisa ia lakukan untuk mengikis keluarga. Kita memerlukan, kesiagaan akan rencana dan metodanya. Beberapa ayat terlintas. Kita harus mengetahui kebenaran Tuhan dan untuk berhati-hati “. . . sehingga kita bukan lagi anak-anak, yang diombang-ambingkan oleh rupa-rupa angin pengajaran, oleh permainan palsu manusia dalam kelicikan mereka yang menyesatkan” (Eph. 4:14). Dan kepada jemaat Kolose Paulus menulis, “Hati-hatilah, supaya jangan ada yang menawan kamu dengan filsafatnya yang kosong dan palsu menurut ajaran turun-temurun dan roh-roh dunia, tetapi tidak menurut Kristus.”


1 Francis A. Schaeffer, How Should We Then Live? The Rise and Decline of Western Thought and Culture, Fleming H. Revell, Old Tappan, New Jersey, 1976, p. 19.

Related Topics: Christian Home

Pages