MENU

Where the world comes to study the Bible

7. Berjalan di Jalur yang Sudah Ditempa

Apakah anda pernah merangkak melalui pagar tanaman yang tebal? Tidak enak bukan? Saya pernah melakukan penyusupan bersama teman saya yang nakal saat masih kecil, dan tergores pagar tanaman sehingga sakitnya terasa berhari-hari. Seseorang telah menanam pagar hidup itu untuk menghalangi saya, tapi saya tidak mengindahkannya.

Anak-anak seperti itu. Mereka mungkin sadar akan aturan, tapi itu tidak berarti mereka akan mentaatinya. Mereka harus dididik untuk hidup dalam batasan. Sebagai seorang remaja saya bekerja sebagai pembantu staff di konferensi Alkitab musim panas. Staff pria dan wanita bergantian berpasangan selama musim panas. Aturan sederhana yang menjauhkan kita dari masalah: “tetap pada jalur yang sudah ditentukan.” Itulah yang kita ingin bagi anak kita –perjalanan yang disiplin diantara batasan jalur yang sudah Tuhan berikan pada mereka.

Disiplin diri sangat penting bagi stabilitas emosi dan kebahagiaan pribadi anak kita saat mereka keluar untuk hidup sendiri, bagi pribadi yang tidak disiplin itu menjadi budak nafsunya sendiri dan korban situasi. Seorang pribadi dikatakan bebas saat dia didisiplin, seperti kereta dikatakan bebas saat dia ada dijalurnya. Tapi disiplin diri tidak datang secara alami. Itu harus dipelajari. Itu tergantung pada orangtua yang tidak hanya menetapkan batasan tapi juga mendidik mereka untuk berjalan dijalur itu. Dan kita punya keyakinan dari Tuhan bahwa jika kita melakukan tanggung jawab kita dengan tepat, anak kita akan terus berjalan dijalur itu saat mereka sudah besar (Prov. 22:6). Itu tidak berarti mereka selalu setuju dengan kita. Tapi itu menunjukan bahwa hidup mereka akan menghormati Tuhan dan membawa sukacita dihati kita.

Tapi bagaimana saya bisa menolong anak saya berjalan dijalur lurus dan sempit? Itu suatu pertanyaan penting yang harus ditanyakan setiap orangtua yang percaya. Jawabannya seharusnya sudah sedikit terbayang. Kita melakukannya seperti cara Tuhan melakukannya. Dan dia melakukannya melalui menyediakan motivasi yang cukup. Tuhan merencanakan hal ini untuk dijalankan sesuai dengan prinsip yang sudah dinyatakannya, tapi akan menjadi tidak menyenangkan kalau kita melakukan itu dengan cara kita.

Dalam PL, ada berkat kalau taat dan kutuk untuk ketidaktaatan (cf. Deut. 28). Tapi bahkan dalam masa anugrah, dengan kebebasan kita dalam Roh dan kedudukan kita sebagai anak, ada motivasi yang sudah tetap. Salah satunya prinsip menabur dan menuai (Gal. 6:7). Tuhan mengijinkan kita mengalami akibat tindakan kita, baik atau tidak baik. Dan tidak perlu orang pintar untuk tahu prilaku mana yang membawa sukacita dan damai terbesar.

Sebagai tambahan bagi hukum menabur dan menuai, Tuhan menawarkan janji berkat kalau taat. “Tetapi barangsiapa meneliti hukum yang sempurna, yaitu hukum yang memerdekakan orang, dan ia bertekun di dalamnya, jadi bukan hanya mendengar untuk melupakannya, tetapi sungguh-sungguh melakukannya, ia akan berbahagia oleh perbuatannya.” (James 1:25, NIV). Tuhan berjanji membuat kita bahagia jika kita taat pada FirmanNya.

Maka ada motivasi lebih jauh untuk hadiah saat penghakiman Tuhan untuk pekerjaan baik yang dilakukan melalui kuasa Roh dan untuk kemuliaan Tuhan (1 Cor. 3:12-15; 2 Cor. 5:10). Tuhan menginginkan hubungan yang dewasa dengan anaknya. Dia ingin kita taat karena kita mengasihinya, bukan karena ingin dapat hadiah. Tapi untuk menolong kita bertumbuh kearah hubungan kasih yang sempurna, dia mengetahui nilai dan pentingnya motivasi.

Mari kita mengaplikasikan hal ini kedalam peran kita sebagai orangtua. Anak kita sudah sejak dini belajar kalau beberapa hal membawa kebahagiaan dan hal lain menghasilkan kesakitan. Tuhan membuat mereka dengan kecenderungan untuk terus melakukan hal yang menyenangkan dan melepas hal yang tidak menyenangkan. Prinsip dasar ini bisa menyediakan formula ajaib yang kita perlukan untuk mengembangkan pola prilaku yang kita percaya Tuhan ingin mereka pelajari. Sebagai contoh, sejak awal anak-anak perlu dipuji dan dihargai. Mereka membutuhkan itu dengan teratur. Jika mereka menemukan tindakan itu menghasilkan pujian mereka cenderung melakukannya lagi. Saat Johnny mendapat perhatian keluarganya karena tempat tidurnya rapi, merapikan mainannya, membersihkan gigi tanpa disuruhm atau apapun yang kita percaya dia harus melakukannya, dia mungkin akan melakukan itu terus menerus. Dan kita akan terus memberikan dia pujian sampai itu menjadi pola prilaku yang menjadi bagian hidupnya.

Sama halnya dengan, jika Johnny mendapat pujian karena memamerkan diri dihadapan teman anda, anda bisa mengharapkan hal itu terjadi lagi. Dia melakukannya untuk memuaskan kebutuhannya akan penerimaan dan perhatian. Maka dari itu anda memotivasi prilakunya yang salah. Tapi jika, sebaliknya, dia menemukan kelakuannya yang salah membawa rasa sakit, atau dia tidak mendapat yang diinginkan, dia cenderung tidak melakukannya lagi.

Ada beberapa cara untuk mengaplikasikan prinsip Alkitab ini. Sebagai contoh, uang merupakan motivator yang baik untuk mengajar anak tetap dijalur yang benar. Saya tidak menemukan hal yang salah dalam Alkitab tentang menetapkan hadiah uang karena melakukan tanggung jawab tertentu. Sebagian orangtua membuat daftar kegiatan yang diinginkan dengan 7 kotak kosong disampingnya, setiap hari dalam seminggu. Setiap aktifitas yang berhasil dilaksanakan ditandai, dan hadiah uang diberikan diakhir minggu untuk setiap tanda. Satu tanda satu penny untuk anak kecil sudah cukup, dan itu tidak hanya mengembangkan prilaku yang tepat, tapi menyediakan landasan pengajaran tanggung jawab menggunakan uang. Hadiahnya tidak harus uang. Hanya memberi bintang didaftar sudah cukup bagi anak kecil. Atau anda mengijinkan anak yang lebih tua mendapat barang yang mereka mau, seperti tas baru atau sarung baseball.

Sebagian orangtua menghukum anak mereka karena prilaku yang tidak diterima. Istri saya dan saya memberikan anak kami pinjamna dan mereka membayarnya dengan bekerja. Uang mereka penting dan mereka biasanya membelanjakan dengan bijak. Kami memutuskan menggunakannya untuk menolong mereka belajar sesuatu yang kami pikir berguna. Saat kami mulai menemukan milik mereka tersebar dirumah dan mendapatkan lampu kamar menyala tapi tidak digunakan, kami membuat suatu sistem –2 sen untuk setiap barang yang ditemukan tersebar dirumah, dan 2 sen untuk lampu yang menyala tapi tidak digunakan. Uang yang ditaruh dibank digunakan untuk hal yang berharga. Itu menjadi permainan saat ayah mendapat hukuman pertama karena lampunya menyala tapi tidak digunakan ditempat belajar. Tapi sangat mengejutkan melihat betapa cepat masalah diselesaikan saat mengetahui uang mereka dipertaruhkan disini.

Orangtua yang gagal mengerti prinsip dasar ini sulit mengatasi mereka. Dengan kata lain, anak bisa menggunakan itu untuk mendidik orangtua mereka, dan mereka sering memulainya sejak dikandungan. Bayi dengan cepat belajar kalau menangis membawa hasil yang menyenangkan. Dia langsung digendong, disayang, diganti pakaiannya dan diberi makan. Walau tangisan bayi merupakan satu-satunya cara mengkomunikasikan kebutuhannya kepada kita, kita bisa menjaga agar dia tidak terlalu merengek dengan tidak selalu menyediakan suatu hal setiap kali dia menangis, dan dengan memberikan kasih yang besar saat dia tidak menangis.

Istri saya dan saya menemukan kalau anak laki-laki kami cukup pintar. Mereka tahu betul bagaimana melatih kami. Mereka bisa menyiksa telinga kami sampai ketahap tidak tahan lagi. Mereka mendapatkan kami saat mereka ingin. Kami akhirnya belajar untuk membedakan kebutuhan yang penting dari rengekan manja, dan menolak memberikan sesuatu kalau itu terjadi. Ada saat dimana sulit membedakan apakah itu kebutuhan atau rengekan. Tapi kami menjadi yakin bahwa Tuhan ingin kita mencoba membedakan itu. Dia tidak memberikan semua permintaan kita, dan akan menjadi kesalahan kita kalau kita selalu menyediakan rengekan mereka.

Sayangnya bagi sebagian orangtua, “terlalu tua sehingga telat pintar” kata orang belanda di Pennsylvania. Anak mereka mulai memanipulasi mereka dan terus melakukannya selama masa kecil dan remaja. Saya tidak bisa menghitung para ibu yang saya tahu menolak memberikan anak mereka dirawat digereja karena anak mereka menangis saat lepas dari mereka. Jadi mereka menjadi korban program pelatihan anak mereka. Mereka membiarkan anak mereka membuat mereka tetap dirumah (kerusakan rohani mereka), atau mereka membawanya kekebaktian orang dewasa (kadang merusak kerohanian orang lain). Saat seorang anak menyadari kalau ibunya selalu datang kepadanya dan tangisan tidak mempercepat itu, dia akan mulai tenang dan menikmati dirinya. Itu mungkin membutuhkan pengalaman yang tidak menyenangkan agar bisa belajar, tapi hasilnya berharga.

Kemarahan merupakan cara klasik anak mengatur orangtuanya. Kemarahan dibuat anak untuk mendapat sesuatu yang dia pikir dia perlu. Itu mungkin dilakukan untuk mendapat perhatian kita. Itu mungkin untuk mendapat sesuatu yang kita lewatkan..

Itu mungkin dilakukan hanya untuk mendapat kepuasan memanipulasi dan mengontrol kita, karena kita mencoba mengontrol dia terlalu banyak. Dan kita juga harus mengakui itu –saat kita kehilangan kesabaran dan dengan marah mengancam dia, kita tidak mengatur dia; dia yang mengatur kita. Dia mungkin merasa ingin melakukan sesuatu yang sama agar impas. Menghancurkan syaraf kita dan mengganggu kita bagi dia merupakan pembalasan indah untuk egonya yang hancur. Tapi jika dia menyadari bahwa dia tidak mendapat tujuannya, dia akan menyimpulkan bahwa tidak ada gunanya membenturkan kepala kedinding. Dan kemudian berjalan pergi dengan tenang. Pergilah keruangan lain dan tutup pintu kemudian baca buku. Tindakan itu akan berhenti saat respon tidak ada..

Anak-anak memiliki kemampuan membuat orangtuanya jadi bahaya. Mereka tahu sejauh mana mereka bisa pergi, dan menggunakan talenta itu dengan ahlinya untuk mendapat keinginan mereka. Seorang ibu membenarkan itu pada saya dimana disuatu hari saat dia sedang mengerjakan sesuatu yang tidak bisa ditinggalkan, Jody dan Janie, 2 anaknya yang belum sekolah, memotong boneka kertas didekatnya. Janie, yang lebih muda, memotong karpet dengan gunting. “Janie, jangan lakukan itu,” perintah mamanya. Tapi Janie, jauh dari jangkauan tetap melakukannya. “Janie hentikan sekarang juga,” mamanya membentaknya. Dan Janie tetap tidak peduli. Akhirnya ibunya berteriak dengan marah, “jika tidak berhenti sekarang, mama akan kesana dan memukulmu.” Dengan saran bijak dari si tua Jody, yang lebih berpengalaman dari adiknya, berkata, “kamu sebaiknya jangan melakukan itu. Mama serius kali ini.”

Anda lihat, Jody kecil telah melatih ibunya dengan baik. Mereka tidak harus taat sampai ibunya marah. Itu memberikan mereka waktu anugrah untuk melakukan apa yang mereka inginkan tanpa akibat tidak menyenangkan. Tapi itu memberikan ibunya sakit kepala dan membuat perasaannya tidak enak saat suaminya pulang kerja. Sering kali kejadian seperti ini berakhir dengan ibunya menghentakan kaki dengan marah dan menarik barang itu, dengan kasar. Dan anak mulai kehilangan rasa hormat pada ibunya. Pertama, karena dia mampu memanipulasi dan mengontrol ibunya; kita tidak hormat pada orang yang bisa kita manipulasi. Kedua karena dia tidak pasti kapan ibunya sungguh-sungguh dengan kata-katanya dan kapan tidak; Perkataannya tidak benar-benar bisa dipercaya. Dan ketiga, karena ibunya berlaku tidak kasih.

Joe seorang remaja merupakan ahli dalam mendidik orangtuanya. Bahkan saat anda yakin anda memutuskan dengan benar, dia mempunyai cara melelahkan anda dengan “50 perkataan terkenal untuk mendapatkan apa yang anda ingin dari orangtua.” “Anda tidak pernah mengijinkan saya melakukan apa yang ingin saya lakukan.” “anda melakukan itu saat seusia saya.” “dan anda bilang anda mengasihi saya.”

Ini mungkin diikuti dengan bantingan pintu dan rengutan wajah. Atau dia menjadi sangat baik dan menjadi anak teladan. Dia tahu apa yang bisa melemahkan anda. Tapi setiap kali dia berhasil, dia kehilangan rasa hormat pada anda dan jurang pemisah antara anda menjadi lebih lebar. Kita sudah belajar kalau kita harus memiliki alasan yang sesuai Alkitab bagi standar kita dan kita harus menghindari berkata “tidak” sebanyak mungkin. Tapi saat kita tahu kita benar dihadapan Tuhan, kita perlu mendidik anak kita bukan mereka yang mendidik kita.

Saya curiga kalau banyak orangtua tidak mengharapkan anak mereka taat seawal mungkin. Mereka merengek, ngomel, dan menggoda untuk mendapatkan bisa melakukan apa yang harus mereka lakukan. Orangtua yang mengharapkan ketidaktaatan sering kecewa. Seorang ibu berkata pada tetangganya didepan Suzie, “saya tidak bisa membuat Suzie meminjamkan mainannya.” Apakah anda pikir Suzie akan meminjamkannya? Tidak dalam hidup anda. Suzie memiliki ibu yang bisa diaturnya, tidak mampu melakukan apapun terhadap keegoisannya.

“Saya tidak bisa membuatnya kegereja?” kata orangtua dengan menyedihkan. Kenapa tidak? Apakah standartnya benar? Jika benar, maka kita perlu mendesak kalau dia perlu memperhatikan itu, dan berlaku dengan tepat saat disana. Kita tidak perlu takut pada anak. Tuhan memberikan kita otoritas atas mereka dan dia mengharapkan kita menggunakannya, dengan kasih tapi tegas. Kita menjawab kalau kita menolak. Perintah ibu dan bapak harus dijalankan. Tuhan merencanakan seperti itu untuk mengajar anak tunduk pada otoritas.

Dan dia memberikan kita formula untuk memotivasi mereka. Sekali lagi –kita membuat ketaatan dinikmati dan ketidaktaatan tidak enak. Kita akan membahas akibat ketidaktaatan dalam bab berikut. Sekarang, mengertilah setengah dari formula ini dan pelajari dengan benar. Anak berespon baik kalau itu menguntungkan mereka. Mereka lebih ingin taat saat ketaatan suatu yang dinikmati. Jadi jadikan itu suatu kegembiraan! Panggil mereka saat tujuan anda memberikan mereka pelajaran. Kejutkan mereka dengan pemberian kecil karena prilaku mereka yang baik atau nilai sekolah yang baik..

Itu tidak berarti kita berhutang hadiah pada anak kita, tidak juga kita mencoba menyuap mereka. Karunia dan pemberian Tuhan pada kita berasal dari anugrahnya. Dia tidak berhutang apapun pada kita, dan dia pasti tidak menyuap kita agar taat. Tapi janjinya tetap dalam Firman –hidup tuntuk padanya dan menikmati kepenuhan berkatnya. Dan berkatnya dalam hidup kita saat kita berjalan dipusat kehendakNya. Marilah kita ikuti teladannya, dan membuat anak kita menikmati ketaatan mereka pada kita. Tidak ada batasan kreatifitas untuk menunjukan penghargaan karena mereka sudah bekerjasama.

Satu peringatan –jangan memberi hadiah untuk tindakan yang tidak

Related Topics: Christian Home

8. Dewan Pendidikan

Tidak peduli seberapa menyenangkan kita membuat hal itu agar anak mentaati kita, akan ada waktu dimana mereka melanggar batas dan menjalani keinginan mereka. Kemudian apa yang harus kita lakukan? Sekali lagi kita melakukan hal yang sama seperti Tuhan lakukan. Kita membawa mereka kembali kejalan yang benar. “Dan sudah lupakah kamu akan nasihat yang berbicara kepada kamu seperti kepada anak-anak: Hai anakku, janganlah anggap enteng didikan Tuhan, dan janganlah putus asa apabila engkau diperingatkan-Nya; karena Tuhan menghajar orang yang dikasihi-Nya, dan Ia menyesah orang yang diakui-Nya sebagai anak” (Heb. 12:5-6, NASB).

Kita sudah mempelajari kata “disiplin” sebelumnya. Kata itu juga digunakan dalam Ephesians 6:4 yang berarti mendidik, atau membimbing anak kearah tujuan, dan koreksi, atau membawa mereka kembali saat tersesat. Koreksi dari Tuhan merupakan maksud penulis Ibrani dimana Tuhan memukul anak yang dikasihinya. Itu tidak terdengar menyenangkan bukan? Lebih jauh dikonteks yang sama kita membaca, “Memang tiap-tiap ganjaran pada waktu ia diberikan tidak mendatangkan sukacita, tetapi dukacita” (Heb. 12:11a, NIV).

Disini kembali prinsip motivasi Tuhan dalam mendidik anaknya. Dia membuat hal itu menyenangkan bagi mereka yang taat padany dan tidak menyenangkan bagi yang tidak taat, mengetahui kalau mereka memiliki kecenderungna untuk berubah karena tekanan. Kata “memukul” menyatakan pada kita betapa Tuhan bisa membuat hal itu tidak menyenangkan. Secara literal itu berarti mencambuk atau memcut. Tuhan memukul setiap anakNya tanpa kecuali. Sebagian mungkin protes, “tapi misalkan semua orang tidak memerlukannya?” Kenyataannya setiap anak Tuhan memerlukannya, atau Tuhan tidak melakukannya. Dan jika setiap anak Tuhan perlu dipukul, jelas setiap anak kita juga memerlukannya.

“Tapi memukul? Itu cara lama,” kata pengkritik. Psikolog modern dan pendidik berkeras kalau ada cara yang lebih baik mengkoreksi anak. Salah seorang”ahli” yang pernah saya baca berkata pada anaknya untuk lari kalau dia memukulnya. Ada banyak alasan yang dikemukakan untuk menghentikan metode koreksi yang sudah dibuktikan waktu ini. Sebagian mengatakan itu mengajarkan anak cara bodoh dan tidak bisa diterima dalam mengatasai masalah. Itu menunjukan pada dia kalau dia harus memukul saat dia marah.

Saya mengenal sebagian orangtua tidak pernah memukul anak mereka sampai hampir gila, tapi Alkitab tidak pernah berkata kita harus mengkoreksi dalam kemarahan. Kenyataannya, berlawanan: “Tuhan memukul orang yang dikasihinya.” Jika kita mengkoreksi dengan tenang seperti Tuhan, tidak ada bahayanya mengajarkan anak kita cara bodoh. “Kebodohan melekat pada hati orang muda, tetapi tongkat didikan akan mengusir itu dari padanya” (Prov. 22:15, KIV). Kata tongkat, bisa kita sebut cambuk. Seseorang pernah berkata bahwa hampir semua hal dalam keluarga modern diatur dengan cambuk kecuali anak-anak. Mungkin ditinggalkannya Alkitab merupakan sebab masalah yang kita hadapi.

Saat anak kita yang pertama masih kecil dia menerima mainan murah yang disebut Fli-Back. Itu terdiri dari kayuhan kayu dan bola karet kecil yang saling terkait melalui kaitan karet panjang. Caranya adalah dengan mengenai bola dengan kayuah saat karet membuatnya kembali. Anak kami tidak bisa menjalankan itu dengan baik, dan setelah karetnya putus, menjadikan mainannya tidak berarti –sebagai mainan itu jadi tidak berarti. Tapi satu hari, kami menemukan cara baru menggunakan mainan itu. Itu menjadi pembujuk yang baik dan aman. Kami menemukan dewan pendidikan kami, dan telah melayani dengan baik dikeempat anak kami saat mereka ditempat duduk untuk belajar. Anehnya, teman anak kami terus memberikan Fli-Backs sebagai koleksi mainan dihari ulangtahun, sampai kami bisa meletakan satu mainan disetiap ruangan. Saya mengakui, itu menjadi hadiah yang dibuka dengan perasaan bercampur.

Para “ahli” berkerut mendengar hal itu. Mereka berkata bahwa menggunakan mainan itu akan merintangi perkembangan kepribadiannya. “Jangan menekannya. Dia butuh mengekspresikan dirinya. Pembatasan kebebasan melakukan dan bicara apa yang disukainya bertindak sebagai katub pengaman yang membebaskan tekanan yang ada. Biarkan dia sendiri dan itu akan menjadi baik.” Alkitab memiliki cara pandang berbeda tentang membiarkan anak sendiri. “Tongkat dan teguran mendatangkan hikmat, tetapi anak yang dibiarkan mempermalukan ibunya” (Prov. 29:15, KIV). Saya mengenal para ibu yang baik yang malu terhadap apa yang dilakukan anaknya. Mereka mungkin mengikuti nasihat beberapa “ahli” modern daripada Firman Tuhan yang tidak bisa salah dan meninggalkan anaknya melakukannya sendiri, menjadi terlalu takut atau lelah menghadapi tantangan untuk membatasi anak dengan tongkat.

Mereka yang menolak memukul mengatakan bahwa itu bertentangan dengan perkembangan kesadaran anak. Daripada menolak tindakan yang salah itu, dia terus melakukannya, karena tahu dia bisa membayarnya dengan pukulan. Mereka berkeras bahwa sebagian anak menjadi nakal untuk dipukul karena mereka tahu mereka patut mendapatkannya. Jika demikian maka anak-anak kita tidak pernah dipukul sesuai dengan cara Alkitab. Anda sudah tahu bahwa saya berusaha menghindari kata hukuman dalam pembahasan ini. Kata itu berarti pembalasan, memberikan apa yang seharunya didapat saat kesalahan dibuat anak, akibat yang harus dibayar karena kesalahannya. Tuhan tidak menghukum anaknya. Dia menanggung hukuman dosa kita atas Yesus Kristus Christ (Isa. 53:4-6). Semua hutang dibayar dikalvaru dan kita telah ditebus dari semua dosa kita (Col. 2:13). Tidak ada lagi yang harus dibayar. Hukuman tidak pernah diperuntukan untuk orang percaya. Itu untuk mereka yang menolak pengorbanan Kristus bagi dosa (cf. 2 Thess. 1:7-9).

Tapi Tuhan memang mengkoreksi anaknya. Kita bisa mengatakan membuat jera anaknya, karena itu berarti pengaruh dari tindakan disiplin. Tangannya yang membuat jera tidak bermaksud membuat kita membayar, tapi membuat kita kembali, mengembalikan kita kejalan yang benar, menolong kita belajar apa yang benar dan salah, dan mendorong kita memilih yang benar. Dengan kata lain, itu produktif. Seperti kata penulis Ibrani, “Tetapi kemudian ia menghasilkan buah kebenaran yang memberikan damai kepada mereka yang dilatih olehnya” (Heb. 12:11b, NIV).

Banyak orangtua mengakui menggunakan disiplin dalam rangka pembalasan. Pemikirannya, “kamu tidak jujur, jadi harus membayar akibatnya.” Setelah mereka memukul anak mereka, mereka pikir sudah impas. Tapi itu bukan cara Tuhan. Dia tidak tertarik dengan itu tapi dalam hidup kudus. Tujuannya bukan meminta bayaran tapi menolong kita ingat jalan yang benar. Melakukan itu dengan tujuan yang benar, memukul tidaklah mengganggu perkembangan anak. Itu menajamkan.

Satu kesempatan setelah anak pertama kami sudah cukup umur untuk duduk diam digereja dan mendengarkan, istri saya dan saya membawa dia untuk mendengar pembicara yang sudah kami kenal lama. Steve tidak seperti biasanya sangat melawan dan tidak mau bekerja sama malam itu. Kami mencoba menenangkannya dengan pensil dan kertas, gambar dari dompet kami, dan semua taktik yang sudah kami pelajari digereja. Tapi dia berkeras dan melawan sehingga menyebabkan gangguan. Itu merupakan salah satu kejadian yang jarang terjadi dimana saya duduk bersama anak dan istri saya daripada bicara sendiri. Dan itu juga peristiwa yang jarang sebagai orangtua muda saya melakukan hal yang benar. Saya dengan tenang mengangkatnya dan membawanya keluar, kemobil. Setelah beberapa saat berdiskusi tentang prilaku yang pantas, saya mempraktekan disiplin yang Tuhan ajarkan. Kemudian saya mengangkatnya saat tangisannya mereda, meyakinkan dia kalau saya mengasihinya dan menjelaskan kalau saya ingin dia mengingat bagaimana bersikap dalam gereja. Setelah itu berakhir kami berjalan kembali kegereja bergandeng tangan, lebih dekat dari sebelumnya. Itu suatu pelajaran yang tidak bisa kami berdua lupakan, dan yang menajamkan kemampuannya menyerap apa yang dikatakan dimimbar.

Sebagian orang mungkin bertanya, “tapi bukankah itu dimotivasi dari ketakutan? Bukankah dia tidak melakukan itu lagi karena takut dipukul?” Menurut saya tidak. Rasa takut digunakan dalam cara yang berbeda dalam Alkitab. Itu bisa menunjuk pada emosi yang melumpuhkan dan terror, atau menunjuk pada rasa hormat yang sehat. Orang tidak percaya memiliki banyak alasa untuk takut pada Tuhan, dengan ancaman. Walau orang percaya juga dinasihati untuk takut akan Tuhan (Psa. 34:9, KJV), itu merupakan rasa takut yang berbeda. Tidak ada kekhawatiran atau ketakutan yang berhubungan dengan itu karena dibungkus dalam kasih. Rasul Yohanes membahas hubungan orang percaya dengan Bapa disurga: “Di dalam kasih tidak ada ketakutan: kasih yang sempurna melenyapkan ketakutan” (1 John 4:18a, TLB).

Anda lihat, ketakutan seperti itu tidak menakutkan. Itu rasa hormat. Rasa hormat yang baik. Itu yang harus dirasakan orang percaya terhadap Tuhan, dan itu bumbu yang penting dalam hubungan orangtua-anak. Orangtua yang kasar dan menghukum akan memerintah dengan terror, dan memunculkan kekhawatiran neurotic. Tapi orangtua yang mengkoreksi dalam kasih mengembangkan rasa hormat anak, dan membangun dalam hidupnya keinginan untuk mau taat dalam rasa hormat dari kasih itu.

Sebagian orangtua tetap memprotes, “tapi saya terlalu mengasihi anak saya sehingga tidak bisa memukulnya. Itu terlihat kejam.” Itu salah satu kebohongan iblis. Tuhan mengatakan sebaliknya. “Siapa tidak menggunakan tongkat, benci kepada anaknya; tetapi siapa mengasihi anaknya, menghajar dia pada waktunya” (Prov. 13:24, NASB). Mereka menyebut itu kasih saat mereka menolak mendisiplin anak mereka. Tuhan menyebut itu kebencian. Jika mereka memang mengasihi dia, mereka akan memastikan kalau dia sudah belajar mendisiplin jiwanya, mengetahui kalau disiplin diri akan berdampak pada kemampuannya mendapat pendidikan, pekerjaan, pernikahan yang sukses, bergaul dengan orang lain, dan berfungsi dengan baik dalam seluruh sisi hidup. Koreksi yang dilakukan dalam kasih tidak menghancurkan jiwa anak, dan jiwa yang terkontrol merupakan elemen yang tidak bisa dipisahkan dari kehidupan yang berhasil. Koreksi memberik kepastian pada anak kalau anda cukup mengasihi dia sehingga peduli terhadap keberhasilan hidupnya. Menghindari hal ini memberikan anak alasan yang baik untuk meragukan perhatian kasih anda, mungkin meragukan kalau dia berasal dari anda. Penulis Ibrani meneguhkan prinsip itu: “Tetapi, jikalau kamu bebas dari ganjaran, yang harus diderita setiap orang, maka kamu bukanlah anak, tetapi anak-anak gampang” (Heb. 12:8, NASB). Orangtua yang menolak memukul anaknya adalah kejam.

Bukannya kejam, memukul sebenarnya bentuk koreksi yang paling baik. Itu jelas lebih berbelas kasih daripada merengek, dan mengancam sehingga menghancurkan rasa hormat. Itu lebih belas kasih daripada berminggu-minggu tidak diperhatikan bagi seorang anak. Tentu saat itu tidak enak. Tuhan mengatakan itu (Heb. 12:11). Tidak enak bagi mereka yang melakukannya dan tidak enak bagi yang meneriman. Jadi jujurlah. Itu bukanlah kasih kalau menjauhkan kita dari Firman Tuhan. Itu keinginan egois untuk menghindari ketidaknyamanan. Saat kita menyadari keegoisan kita membuat kita lebih tidak enak dalam jangka panjang, kita mulai mendidik anak dengan cara Tuhan.

Setelah dikatakan dan dilakukan, sebagian orangtua tetap takut kalau memukul hanya membuat anak lebih memberontak, mungkin itu akan membuatnya menjauh dari Tuhan. Tuhan berkata, “Jangan menolak didikan dari anakmu ia tidak akan mati kalau engkau memukulnya dengan rotan. Engkau memukulnya dengan rotan, tetapi engkau menyelamatkan nyawanya dari dunia orang mati” (Prov. 23:13, 14, NASB). Itu semua harus dilakukan apakah anda percaya atau tidak perkataan ini dari Tuhan. Mereka yang melakukannya tahu kalau ini benar.

Jadi, jika ini metode Tuhan, kenapa banyak orangtua merasa tidak nyaman terhadap hal itu, dan merasa bersalah setelah melakukannya? Salah satu alasan mungkin berkaitan dengan strategi setan. Dia membuat Firman Tuhan dipertanyakan sejak Genesis 3:1, “apa itu perkataan Tuhan?” Dia ingin anak kita tidak dididik, jadi dia menanamkan benih keraguan dalam pikiran kita tentang mendidik mereka dalam cara Tuhan.

Tapi itu bukan satu-satunya alasan dari rasa bersalah. Orangtua seharusnya merasa bersalah saat mereka memukul anak mereka dalam kemarahan, tanpa kasih. Kasih tidak hanya apa yang kita katakan atau tindakan, tapi itu prilaku yang anak rasakan. Dan mereka jelas tidak merasa dikasihi saat kita menunjukan wajah menakutkan, saat kita kehilangan control emosi, dan tindakan kita merusak daripada memperbaiki. Kasih dikomunikasikan melalui kebaikan, ketenangan dan kontrol.

Kita juga merasa bersalah saat kita memukul untuk alasan yang salah. Kadang kita memukul karena kita marah terhadap ketidaknyamana yang disebabkan anak kita. Kita harus membersihkan lantai atau mengambil gelas yang pecah, dan itu mengesalkan kita. Apakah anda senang Tuhan tidak mendisiplin anda karena kecelakaan, kesalahan, atau karena tidak ingat? Kita perlu mengajar anak kita untuk hati-hati, tapi kalau itu seperti menumpahkan sesuatu dengan tidak disengaja, itu tidak layak dipukul.

Kita mungkin tidak perlu memukul anak karena keingintahuannya yang alami, keinginannya untuk menyentuh sesuatu. Lebih baik meletakan sesuatu yang kita tidak ingin dia sentuh diluar jangkauannya. Saya takut beberapa orangtua menggoda anak mereka dengan meninggalkan barang yang mahal berserakan dimana-mana. Kita berarti mendorong ketidaktaatan dengan berkata pada anak kecil, “jika kamu menumpahkan pudding itu, kamu akan dipukul.” Anda telah membangkitkan nature lama untuk bertindak, dan bahkan mendorongnya melakukan itu. Lebih baik menyingkirkan pudding dari tempat itu. Ada banyak kejadian dimana kita membuat anak tidak taat melalui hal seperti diatas. Saya percaya Tuhan khawatir jika kita menggunakan semua maksud kreatif untuk membuat anak tidak taat.

Memukul anak karena menggigit kuku atau mengisap jempol merupakan tindakan mengalahkan diri sendiri. Itu hanya meningkatkan ketegangan yang ada. Kita seharusnya tidak memukul karena prilaku yang tidak biasa disebabkan oleh kelelahan atau sakit. Juga karena anak tidak mampu melakukannya, seperti duduk diam selama perjalanan yang sangat lama dimana dia masih sangat kecil.

Kadang prilaku pemberontakan anak muncul dari ketakutan atau ketidaknyamanan. Jika dia merasa terancam atau tidak dikasihi, lebih baik bagi kita untuk mendengar dengan sabar dan mencoba mengerti perasaannya daripada memukulnya. Pemukulan hanya membuat rasa terancam dan tidak dikasihi lebih parah. Pemukulan seharusnya dilakukan untuk pemberontakan langsung terhadap otoritas, ketidaktaatan yang sengaja dari perintah kita, atau prilaku keras kepala, tidak ada yang disebabkan oleh mengurangi kesalahan karena situasi. Itu membutuhkan orang Kristen yang dipenuhi Roh yang berjalan dengan Tuhan dan memiliki hikmat untuk mengetahui kapan harus memukul.

Kita juga merasa bersalah memukul karena kita terlalu kasar. Jika kita menjadi sangat marah maka kita memukul lebih kuat dari seharusnya. Rasa bersalah mungkin cara Tuhan memperingatkan kita akan kerusakan yang kita lakukan baik terhadap mereka dan anda. Buatlah koreksi pas dengan kejahatan jika anda ingin menikmati nurani yang tenang dihadapan Tuhan. Kadang kita melakukan hukuman yang tidak layak dalam kemarahan penuh. Jangan takut mengatakan, “maaf,” kemudian tegaskan hal itu.

Kita juga harus menambahkan kalau ada maksud efektif lain disamping memukul. Tuhan tidak memberi contoh dan tidak ada alasan melakukannya. Alkitab menekankan tongkat tidak menghilangkan metode koreksi lain. Pribadi yang berbeda dan tingkatan respon membuat pendekatan berbeda. Jika Johnny kehilangan tricycle beberapa hari lalu karena dia berkeras mengendarainya dijalan, dia akan belajar batasan yang ada. Jika dia mendapatkan dirinya kemudian diisolasi dalam kamarnya setiap kali menggoda adiknya, dia mungkin memutuskan kalau menggoda merupakan prilaku yang tidak mengguntungkan dan membuangnya.

Remaja lebih baik diberi disiplin yang berbeda. Ada saatnya memukul hanya memperkeras dan memedihkan orang muda, dan metode koreksi lain menjadi lebih efektif. Dengan kata lain, mungkin pendisiplinan sudah terlambat. “Hajarlah anakmu selama ada harapan, tetapi jangan engkau menginginkan kematiannya.” (Prov. 19:18, TLB).

Penegasan dengan kata-kata mungkin sudah cukup dikejadian tertentu, tapi itu harus dilakukan dengan kasih. Lupakan menguliahi dengan kemarahan dan semua ancamannya. Itu hanya menghasilkan pemberontakan. Anak-anak sadar ancaman itu kosong, dan mereka tahu semua maksud kata-kata itu. Lakukanlah dengan cara Tuhan. Itu tidak selalu cara yang mudah, tapi itu menolong anda mengkoreksi dengan baik, tenang, dan kasih –tapi langsung dan tegas. “Didiklah anakmu, maka ia akan memberikan ketenteraman kepadamu, dan mendatangkan sukacita kepadamu” (Prov. 29:17, TLB).

Related Topics: Christian Home

9. Masalah Siapa yang Anda Selesaikan?

Apakah anda memiliki jawaban, atau anda bagian dari masalah? Pertanyaan itu sangat menusuk sehingga bisa langsung menghentikan seseorang dan menghadapi tanggung jawab pribadinya didalam hubungan yang kusut. Mungkin sekarang waktunya kita sebagai orangtua menanyakan itu dengan jujur terhadap diri kita. Kita bergumul dengan masalah mendidik anak kita, tapi ada beberapa kelemahan dalam pendekatan yang lebih dulu perlu diluruskan. Kebalikannya juga bisa benar. Ada saat ketika kita pikir sudah mendidik anak kita tapi pada saat itu juga kita bergumul dengan konflik kita sendiri yang belum terselesaikan.

Untuk menolong kita menghadapi masalah dan menjawabnya dengan tepat, saya ingin memberikan 4 prinsip untuk mengatur pendidikan anak dalam keluarga Kristen.

1. Positif

Membaca seluruh PB untuk mengerti apa yang Tuhan harapkan pada orang percaya dimasa anugrah ini. Anda akan menemukan beberapa “jangan” tapi begitu banyak perintah Tuhan yang positif. Saat kita mulai melakukan apa yang diinginkan Tuhan, kata “jangan” biasanya sudah mengambil tempatnya sendiri.

Sayangnya, sebagian orangtua telah mengadopsi kesesatan orang Kolose sebagai prinsip mereka dalam mendidik anak mereka: “jangan jamah ini, jangan kecap itu, jangan sentuh ini” (Col. 2:21, NIV). Kata “jangan lakukan ini” dan “jangan lakukan itu” dari pagi sampai malam, sampai anak yang malang itu harus berpikir apakah aman untuk bernafas. Dan dia jadi terjerat dalam jaring ketakutan dan kekhawatiran dengan melihat hidup dari kaca mata negative dan menetapkan larangan yang membuat dia terikat disetiap waktu. Belajar meletakan segala hal secara positif tidak penah mustahil: “Billy, tolong gunakan garpunya” daripada “jangan berani-berani makan dengan jarimu!” “Linda, rapikan kamarmu sekarang,” daripada “jangan berani keluar sebelum barang dikamarmu dirapikan!”

Dengan positif, kita tidak bermaksud melakukan rengekan terus menerus yang membuat anak kita capek dan mengilukan saraf mereka. “sisir rambutmu. Rapikan dasimu. Kancingkan jasmu. Berdiri tegak. Tahan bahumu. Ikat tali sepatumu. Cepat, kamu bisa terlambat.” Itu bentuk kritik yang keluar dari kebutuhan kita daripada anak kita. Kita lebih baik memberikan perintah itu kalau keluar dari semangat yang positif.

Ini bisa menghilangkan kritik negative yang sering diberikan orangtua. Standar Tuhan tinggi –yaitu kekudusannya. Tapi dia tahu kelemahan kita dan dia tidak terus menerus mengganggu kita karena kesalahan kita. Dalam suatu bagian Alkitab tentang pengampunan Tuhan, pemazmur berkata, “Sebab Dia sendiri tahu apa kita, Dia ingat, bahwa kita ini debu” (Psa. 103:14, NASB). Rasul Yohanes berkata, “Anak-anakku, hal-hal ini kutuliskan kepada kamu, supaya kamu jangan berbuat dosa, namun jika seorang berbuat dosa, kita mempunyai seorang pengantara pada Bapa, yaitu Yesus Kristus, yang adil” (1 John 2:1, TLB). “Tapi jika kamu berdosa . . .” bukankah itu suatu tindakan yang pengertian? Kita perlu mendapatkan itu saat anak kita gagal menghidupi harapan kita.

Kritik merupakan elemen paling mengecilkan hati. Kita semua tahu apa artinya melakukan yang terbaik, yaitu hanya untuk melihat oranglain mendapatkan kesalahan didalamnya. Itu membuat kita merasa rendah diri, bersalah, dan tidak berarti; itu menghancurkan kepercayaan diri kita dan menghilangkan ambisi kita. Tapi banyak orangtua memberi anak mereka kritik yang negative. “apakah ini yang terbaik yang bisa kamu lakukan?” “baiklah, saya lihat kamu akhirnya bisa membersihkan kamarmu. Sekarang lakukan sekali lagi.” “Apakah nilai B adalah yang terbaik yang bisa kamu dapat di Matematika?” atau lebih buruk, saat kejadian tidak diharapkan muncul, kita berseru dengan marah, “tidak bisakah kamu melakukan sesuatu dengan benar?”

George adalah seorang muda dengan ego yang rusak. Dia berkata pada saya bahwa sudah menjadi tugasnya untuk membersihkan ruangan bawah ketika kecil. Dengan debu perapian, dan kotoran lain yang bertebaran dilantai. Seringkali saat dia sudah selesai, ayahnya mengambil sapu dari tangannya dan menemukan kotoran lainnya, memarahi dia atas pekerjaan buruk yang dilakukannya. Beberapa tahun kemudian dia menemukan kalau tidak mungkin membersihkan lantai seperti itu dengan satu sampai lima kali sapu. Tapi sudah terlambat menyelamatkan kepercayaan dirinya.

Betapa lebih efektif memacu anak dengan perintah yang hangat dan jujur, menyatakan kepercayaan pada kemampuan mereka dan optimis akan kemajuan mereka. “kerja bagus, bil. Kamu semakin baik.” “kamu meningkat dari C ke B. Itu bagus.” Anak-anak butuh dukungan. Kenyataannya itu menjadi factor utama perkembangan mereka kearah kedewasaan dan stabilitas. Kecenderungan kita untuk mengkritik dan kemalasan kita untuk memuji mencerminkan masalah yang belum terselesaikan dalam hidup kita. Itu mungkin sikap perfeksionis yang menuntut, kurangnya percaya diri, keinginan membuat diri kita terlihat lebih baik, atay mungkin suatu ketakukan kalau anak kita akan melebihi kita waktu kecil. Semua ini merupakan cerminan kesombongan. Semangat mengkritik kita merupakan keinginan daging kita untuk menutupi kelemahan kita. Saat kita membiarkan Tuhan mengurus kesombongan itu, kita bisa bebas menerima kelemahan anak kita, dan kemudian mampu menolong dia mengatasi hal itu melalui dorongan daripada kritik.

2. Tenang

Dalam buku ini beberapa kali saya menyebut tetap tenang dan menghindari kemarahan. Sebagian orang mungkin bertanya mengapa itu sangat penting. Bukankah Alkitab bicara tentang kemarahan Tuhan? Jika Tuhan marah kenapa kita tidak ? mungkin kita perlu memberi perbedaan. Seperti kita membedakan antara menghukum dan mendisiplin, dan antara takut dan hormat, jadi kita perlu membedakan kemarahan daging dan kemarahan yang benar.

Kemarahan Tuhan tidak mungkin emosi berdosa karena Tuhan tidak punya nature berdosa. Lain dari kobaran emosi, kemarahan Tuhan berlawanan dengan dosa. Tidak ada kekhawatiran, kebencian, atau kekasaran didalamnya, tapi hanya kegeraman atas dosa dan dampaknya. Itu tidak egois, tapi penting bagi nature kudusnya. Kemarahan Tuhan benar dan baik.

Seorang Kristen bisa memiliki kemarahan seperti Tuhan, saat kegeraman akan dosa atau ketidak adilan yang menggerakannya untuk melakukan tindakan membangun. Tapi itu dengan tidak egois termotivasi oleh kesalahan yang dilakukan pada orang lain daripada diri sendiri, dan itu bebas dari kekhawatiran, kebencian, dan kekerasan. Itu mungkin maksud perkataan Paulus, “Apabila kamu menjadi marah, janganlah kamu berbuat dosa” (Eph. 4:26a, NIV).

Terlalu banyak orangtua tidak serius saat mereka mencoba mengelompokan kemarahan mereka sebagai kegeraman yang benar. Itu hanya terdiri dari –kegilaan, kesakitan, dan kekerasan. Mereka mengeluarkan kemarahan mereka karena mereka terganggu, tidak nyaman, dipermalukan, atau ditantang, dan nature dosa meliputi semuanya itu. Saat mereka kehilangan kendali, mereka berurusan dengan masalah mereka sendiri, bukan anak, dan mereka tidak menangani masalah dengan baik.

Tuhan punya beberapa perkataan tentang emosi daging ini. “Berhentilah marah dan tinggalkanlah panas hati itu” (Psa. 37:8a, TLB). “Segala kepahitan, kegeraman, kemarahan, pertikaian dan fitnah hendaklah dibuang dari antara kamu, demikian pula segala kejahatan” (Eph. 4:31, KJV). Untuk membedakannya, yang satu didihan perangai yang kehilangan kendali sedangkan yang lainnya bara yang menyala. Keduanya tidak mendapat tempat dalam kehidupan orangtua Kristen. “sebab amarah manusia tidak mengerjakan kebenaran di hadapan Allah” (James 1:20, NIV). Tuhan sudah menyatakan ini pada saya, sangat sering sehingga saya akhirnya meminta anak saya mengatakan kalau kemurkaan saya muncul. Mereka biasanya lupa, tapi tawaran tetap ada. Saya membutuhkan semua pertolongan untuk mengatasi dosaku, termasuk dari anak saya.

Rasul Paulus memerintahkan kita jangan membangkitkan amarah anak kita (Eph. 6:4). Apa yang membangkitkan amarah anak? Biarlah Firman Tuhan yang menjawab. “Jawaban yang lemah lembut meredakan kegeraman, tetapi perkataan yang pedas membangkitkan marah” (Prov. 15:1, NASB). Anak-anak bereaksi seperti orangtua. Saat seseorang bicara kepada mereka dengan nada marah, itu membuat mereka kesal dan memberontak. Itu seperti menggosokan amplas diemosi mereka. Kemudian saat mereka marah, orangtua menjadi lebih marah, dan lingkaran setan berakhir dalam percekcokan yang tidak ada untungnya. Jika anak dipukul dalam kemarahan itu, akan meningkatkan ketakutan dan memperdalam permusuhan. Dan baik dia kena pukul atau tidak, umumnya dia menjadi lebih jengkel dan tidak peduli serta kehilangan rasa hormat pada orangtua karena kemarahan yang ditimbulkan.

Saat cobaan untuk marah mengancam kita, itu saatnya kita bersama Tuhan menyelesaikannya. Jika sebagian bentuk koreksi dibutuhkan, suruh anak keruangannya dan katakan anda akan disana beberapa saat lagi. Kemudian kekamar, berlutut berdoa, dan minta Tuhan menghilangkan emosi yang tidak benar dan menggantikannya dengan ketenangan. Itu akan mempersiapkan anda untuk mendisiplin anak dengan efektif, untuk kebaikannya bukan anda.

“He who is slow to anger is better than the mighty, and he who rules his spirit, than he who captures a city” (Prov. 16:32 NASB).

3. Konsisten

Pola disiplin yang salah sudah umum disebagian besar keluarga. Itu bisa terjadi seperti ini. Billy kecil tidak mengindahkan perintah ibunya karena dia telah belajar mematikan suara ibunya. Itu sangat mudah. Saat saya masih kecil, saya hidup dekat rel kereta utama antar Philadelphia dan New York. Pengunjung dirumah kami merasa suara kereta sangat mengganggu, tapi saya sudah biasa. Kami telah belajar mengecilkan suara itu karena terbiasa dan itulah yang dilakukan Billy. Perintah pertama ibunya tidak lebih dari suara yang mengganggu. Itu tidak berarti apapun, jadi dia tidak mengindahkannya.

Kemudian ibunya mulai merengek. “Saya harap kamu belajar mentaati mama, Billy. Kenapa kamu tidak pernah melakukan perintah mama pertama kali? Saya sudah tidak tahu berbuat apalagi terhadap kamu.” Billy mulai merasakan kepuasan karena wanita kuat ini tidak bisa mengontrol dia. Tapi tidak lama, ibunya mengulangi perintahnya, nadanya makin tinggi, dan kemarahan meningkat. Kadang Billy bisa mendengar dengan baik dan melakukannya tepat pada saatnya sebelum meledak terutama saat mamanya mengeluarkan perkataan rutin “satu……dua…….” Dikejadian lain waktunya meleset dan mamanya meledak dan melakukan pemukulan. Umumnya, mamanya merasa bersalah karena hukumannya berlebihan, jadi hari berikutnya dia berusaha membiarkan Billy melakukan apapun untuk mengganti rasa bersalah itu. Dan Billy secara sistematis belajar seni kenakalan, kehilangan rasa hormat tidak hanya pad orangtuanya, tapi semua otoritas. “Because sentence against an evil work is not executed speedily, therefore the heart of the sons of men is fully set in them to do evil” (Eccl. 8:11, KJV). Solusi bagi situasi tragis ini adalah konsistensi. Koreksi harus dimulai saat ketidaktaatan pertama muncul. Saat pertama kita bicara biasa, kita mengharapkan ketaatan. Jika tidak, maka kita mengkoreksinya. Tidak ada ancaman kosong, peningkatan kemarahan, peningkatan nada teriakan, tapi dengan tenang, baik, dan kasih tapi tegas kalau kita melakukan apa yang kita katakan. Tongkat itu kemudian tidak akan dihubungkan lagi dengan pembalasan tapi dengan kasih, perhatian kasih agar anak kita belajar sukacita dan berkat dari semangat disiplin.

Konsistensi membutuhkan lebih banyak disiplin diri dipihak kita daripada yang lainnya. Menaikan nada suara kita lebih mudah dari berdiri, menghampiri, dan melayani dengan koreksi tegas tapi kasih saat ketidaktaatan pertama muncul. Tapi Tuhan akan menolong kita jika kita mengijinkannya. Buah Roh adalah pengendalian diri (Gal. 5:22-23). Pengendalian diri meliputi kemampuan melakukan hal yang benar disaat yang tepat. Dan waktu yang tepat untuk koreksi adalah saat ketidaktaatan muncul. Kita perlu melakukan tangkat “saat tidur” (Prov. 13:24, KIV), saat dibutuhkan. Saat kita mengijinkan Roh Tuhan mengatasi masalah kemalasan kita, kita mampu mendisiplin anak kita tentang itu.

Konsistensi juga meliputi tidak berubahnya standar yang kita jaga. Inilah cara Tuhan memperlakukan kita. “Akulah Tuhan,” kataNya. “Aku tidak berubah” (Mal. 3:6, KJV). Aturan harus fleksibel, dan pengecualian bisa dilakukan melihat situasi. Tapi secara umum, jika kita ingin mempertahankan prilaku tertentu, maka kita harus menekankan itu terus menerus. Menekankan itu sekarang dan mengabaikannya besok akan membingungkan anak.

Sebaliknya, membiarkan mereka melakukan hal yang tidak boleh sepanjang waktu, kemudian tiba-tiab menghukum mereka karena itu dalam kemarahan, akan menghancurkan tujuan pengajaran kita tentang disiplin diri. Saat kita memutuskan untuk mendidik anak kita dalam jalan Tuhan, kita pertama kali harus memberikan mereka penjelasan kenapa kita menginginkan standart prilaku ini dan bagaimana kita ingin menolong mereka untuk mengingatnya. Kemudian saat kita perlu mengkoreksi mereka, kita mengingatkan kembali kenapa kita mengharapkan ketaatan mereka, bagaimana sekarang ini kita akan menolong mereka mengingat, dan apa yang bisa mereka lakukan dimasa depan untuk menghindari koreksi ini. Perintah bersama dengan koreksi seperti ini akan mulai masuk kedalam prilaku anak dari tidak menyenangkan kepada rasa hormat yang sehat pada kita dan orang lain.

Konsistensi, berarti perjanjian antara ayah dan ibu akan standar prilaku dan metode koreksi. Sebagian anak yang memberontak bertumbuh dalam rumah dimana ayah dan ibunya saling mensabotase otoritas masing-masing. Satu orang terlalu keras dan yang lain terlalu longgar, dan masing-masing saling menandingi. Hasilnya adalah kurangnya rasa hormat diantara mereka. Anak kemudian belajar bagaimana mendapatkan keinginan mereka dengan memainkan orantuanya. Situasi seperti itu bisa dihindari jika ayah dan ibunya membahas masalah disiplin lebih dulu dan menyetujui aturannya dan bagaimana melakukannya. Bahkan saat ada harmonipun, anak-anak kadang berhasil mendapat keputusan berbeda dari orangtuanya. Itu saat untuk membackup, mengadakan pertemuan tingkat tinggi dan menyetujuinya.

Konsistensi juga meliputi menjaga perkataan kita. Jika kita membuat janji dan tidak ada syaratnya, kita tidak boleh melanggarnya. Dengan melakukan itu kita mengajar anak kita untuk melanggar perkataan mereka sendiri. Sebagian janji tidak bisa ditepati karena keadaan diluar control kita, seperti hujan disaat mau piknik atau kebutuhan mendadak yang perlu perhatian langsung. Kejadian itu bisa digunakan untuk menjelaskan perbedaan antara pelanggaran janji dan terhalang keadaan. Hidup banyak kekecewaan, dan anak kita harus belajar bagaimana mengatasinya sedini mungkin. Kelemah lembutan kita disaat itu akan menolong. Tapi tidak ada yang bisa menggantikan kepercayaan anak daripada perkataan orangtua yang bisa ditepati.

Konsistensi juga berarti adil. Setiap anak kita memiliki kepribadian dan tingkat kedewasaan yang berbeda, jadi aturan dan metode yang persis sama tidak bisa diberikan kepada setiap anak. Tapi harus ada kesamaan. Saya masih mendengar keluhan anak muda yang berkonsultasi dengan saya tentang orangtua yang tidak peduli pada mereka. Alasannya? Standar yang diberikan pada mereka berbeda dari saudara mereka, dan disiplin yang mereka terima lebih keras. Tuhan adil dalam memperlakukan kita (Psalm 89:14), dan kita juga harus begitu.

4. Kasih

Kita membahas dalam satu bab penuh tentang kasih terhadap anak, tapi kata-kata singkat perlu diulangi dalam konteks disiplin. Bahkan saat tongkat diayunkan, anak kita perlu merasakan kasih sekuat rasa sakit. Sebelum kita mengkoreksi mereka, kita menjelaskan kenapa kasih kita mengharuskan melakukan ini. Setelah kita mengkoreksi mereka, kita memeluk mereka dan terus meyakinkan mereka akan kasih kita. Tuhan akan menggunakan kasih kita untuk mendorong kasih dalam mereka, sampai mereka tumbuh ketitik dimana ketaatan mereka bukan karena menghindari ketidaknyamanan, tapi karena kasih tulus pada Tuhan dan kita. Dan inilah tujuan kedewasaan yang akan kita bangun.

Salah satu kesalahan menyedihkan yang dibuat orangtua adalah mengancam anak mereka dengan menarik kasih kita. “mama tidak sayang lagi kalau kamu lakukan itu.” Komentar seperti itu keluar dari ketidakamanan sang ibu, dan luka batin yang ada lama yang belum sembuh. Tuhan tidak mengancam menarik kasihnya dari anak-anakNya. Dia tetap mengasihi mereka bahkan saat mereka berdosa. Kepada bangsa Israel dia berkata, “Aku mengasihi engkau dengan kasih yang kekal, sebab itu Aku melanjutkan kasih setia-Ku kepadamu” (Jer. 31:3, TLB). Saat kita mengasihi anak kita dengan kasihNya, itu tidak pernah berubah (1 Cor. 13:7-8). Maka disiplin kita akhirnya untuk keuntungan mereka daripada pengungkapan masalah kita, untuk memberkati semuanya.

10. Serangga dan Kupu-kupu

Disepanjang peran saya sebagai orangtua saya pernah jatuh. Saya tidak ingat secara pasti umur anak laki-laki tertua saya ketika itu pertama kali terjadi, tapi satu hari saya menyadari bahwa saya bukan lagi pahlawan yang tahu dan bisa melakukan semuanya seperti dia memandang saya dulu. Kenyataannya dia lebih tahu daripada saya dan dia kelihatannya senang menggoda kekurangan saya itu. Saya curiga kejatuhan saya lebih awal dari itu berkaitan dengan pengaruhnya disekitar rumah.

Apa yang terjadi? Apakah saya berubah? Tidak, saya pikir tidak –setidaknya bukan yang buruk. Jika memang, mungkin saya sedikit lebih dewasa. Jadi, apakah dia berubah? Mungkin tidak seperti itu. Dia baru mulai mengembangkan kemampuan melihat hal seperti adanya. Anda lihat, 2 mahluk ganas dari spesies yang disebut “remaja” memiliki daya tangkap dan kejujuran yang bengis, sering disesali orangtua.

Saya memperhatikan sesuatu tentang remaja saya. Mereka cenderung sangat ekstrim dalam tenaga dan tempramen untuk hal yang kurang beralasan. Mereka sering meledak dengan tenaga tiada batas, seperti saat mereka main football dengan teman mereka. Tapi disaat lain mereka kelihatan terlalu capek untuk berdiri dari sofa dan pergi ketempat tidur. Kadang mereka mengejutkan kita dengan kedewasaan dan pengertian mereka, sementara disaat lain kita keheranan akan kekanakan dan kebodohan mereka. Para ahli mengatakan fluktuasi ini disebabkan oleh perubahan yang ada ditubuh mereka dan itu normal. Itu bisa membuat kita tenang, kalau kita bisa mengingat itu saat mereka bertingkah yang tidak masuk akal, atau membuat kita terdiam karena tindakan mereka.

Tapi kenyataannya tetap, ada saat dimana kita menikmati seorang dewasa dan saat lain kita mentoleransi keegoisan anak kecil, itu satu paket. Seluruh fenomena aneh mengingatkan saya akan satu transformasi alam yang paling menakjubkan –metamorfosis ulat jadi kupu-kupu indah. Dan kadang anak kita kelihatan lebih seperti ulat daripada kupu-kupu. Sebenarnya, mereka bukan anak kecil juga bukan orang dewasa. Mereka ada ditengah-tengah, bergumul membuat identitas mereka. Kita bisa menolong mereka dengan melihat mereka sebagai orang yang mau menuju kedewasaan daripada anak kecil yang sedang bergumul.

Model Orangtua melewati saat seperti ini bersama kita. Siapa yang tidak pernah mengalami hal seperti ini dalam hidupnya? Orang Kristen yang paling dewasapun akan jujur mengakui kalau mereka punya masa keras kepala dan egois seperti ini. Tapi Tuhan dengan sabar dan kasih mendorong kita terus bertumbuh kearah Dia (2 Pet. 3:18). Dan dia melihat kita dalam terang seperti apa kita nantinya dengan kuasa dan anugrahnya (e.g. Phil. 3:20-21; 1 John 3:2). Kepastian itu merupakan motivasi besar dalam perkembangan kerohanian kita. Jika kita ingin membawa remaja kita kearah kedewasaan dalam Tuhan, kita harus membiarkan Tuhan memberikan kita kemampuan untuk mendorong dan mendukung menggantikan keterkejutan dan menghukum. Kita berharap remaja kita akan menjadi orang dewasa indah.

Bahkan dengan prilaku yang benar disesuaikan, kita perlu ingat beberapa prinsip yang bisa menolong kita membimbing remaja kita berhasil melalui tahun-tahun sulit ini. Saya katakan mengingat karena kita sudah tahu lebih dulu apa yang harus dilakukan. Jika kita berfungsi seperti garis besar Firman, maka sedikit yang berubah. Teladan yang kita buat akan selalu penting. Kasih yang kita tunjukan, walau berkurang dalam bentuk fisik tapi tetap besar. Kehangatan hubungan yang kita buat dan terus dipelihara akan menjaga jurang antar generasi tidak melebar. Disiplin yang kita jaga, walau memberikan kebebasan dan tanggung jawab yang lebih luas dari sebelumnya, akan terus menjadi bagian penting dalam memdidik mereka. Kita terus memasukan Firman Tuhan kedalam pikiran mereka untuk menyediakan arahan hidup dan sukacita dalam hidup. Dengan kata lain, kita mulai meletakan fondasi dari kelahiran mereka sampai sekarang mereka remaja.

Sebagian orangtua bertanya apa yang harus mereka lakukan kepada anak angkat remaja yang tidak bisa mendidiknya dari awal. Jawaban yang mungkin adalah mulailah diperiode itu dan ikuti prinsip Firman tentang periode itu. Jika anda ada disituasi itu, surat seorang wanita ini akan meyakinkan anda.

Saat kita diawal 20 an Tuhan memberikan kami Sharon berumur 16 tahun. Kami tidak punya pemahaman yang dalam atau pengalaman khusus. Kami harus menggunakan kasih dan Firman Tuhan. Beberapa bulan kemudian, Tuhan mengirim Robin berumur 16 tahun. Kita menggunakan alat yang sama. Lima tahun kemudian datang Gwen 16 tahun dan Ron 12 tahun. Ada saat dimana kita merasa hal-hal tidak berjalan baik, tapi saat kita menghadap Tuhan kita didorong untuk meneruskannya.

Kita tidak bisa mulai pada poin A seperti yang kita lakukan pada ketiga anak kami, jadi kita mulai mendidik anak angkat kami ditahap mereka sekarang. Keempatnya menerima Kristus. Dua orang sudah menikah. Satu anak dipersiapkan untuk pelayanan. Kita melihat kepribadian mereka ditransfomasi oleh kuasa Kristus dan sekarang mereka melayani Tuhan. Itu berhasil!

Dengan surat itu, kita siap untuk diingatkan tentang beberapa hal yang perlu ditekankan saat berurusan dengan remaja. Kita harus menjaga komunikasi tetap terbuka. Salah satu keluhan paling umum dari remaja tentang orangtuanya adalah, “orangtua tidak bisa mengerti aku.” Komunikasi lebih daripada bicara. Didalamnya ada pengertian akan pemikiran dan perasaan orang lain, dan menerima haknya untuk percaya dan merasakan apa yang dirasakannya. Penerimaan tidak langsung berarti setuju dengan semua pendapat atau menyetujui semua ekspresi emosinya. Tapi itu berarti menerima dia walau pendapatnya berbeda dari kita, dan menghargai haknya untuk itu.

Ini salah satu hal terberat untuk dilakukan orangtua. Saat anak kita memiliki pemikiran yang berbeda dari kita, kita berpikir kalau mereka benar, maka kita harus salah. Dan kalau kita menunjukan kita salah maka itu menyerang kepintaran dan harga diri. Jadi kita menyerang balik dan dengan marah mempertahankan pendapat kita. Dan jika kita tidak memiliki fakta yang mendukung cara pandang kita, kita mencoba berkata seperti, “lihat, saya lebih tua dari kamu, saya tahu apa yang saya katakan, dan itu benar. Semakin cepat kamu mengakuinya, semakin baik.” Dan dalam sekejab! Semua komunikasi tertutup.

Taktik kita menunjukan kalau remaja kita tidak dewasa dan bodoh, idenya membuat di sangat inferior dibanding kita, dan satu-satunya cara untuk komunikasi adalah mengakui cara pandang kita. Butuh waktu yang lama sebelum dia melibatkan diri dalam kekurangajaran itu lagi. Betapa lebih baik jika kita berkata dengan tenang dan baik seperti, “ya, saya bisa mengerti perasaanmu. Tapi biarkan saya membagikan beberapa pemikiran untuk dipertimbangkan selanjutnya.”

Kadang pengumuman remaja kita tentang apa yang dilakukan dan dikatakan teman disekolahnya disambut dengan keterkejutan, kemarahan, atau kotbah yang membosankan. Masuk akal kalau dia menghindari ketidakenakan seperti itu –dengan menutup mulutnya. Dikejadian lain kita menemukan kita menghafalkan prasangka tanpa mendengarkannya atau mencoba mengerti apa sebenarnya yang dikatakan. Dia tidak perlu jadi jenius untuk mengetahui kalau kita tidak tertarik dengan pemikirannya, hanya pada pemikiran kita. Maka dia akan berhenti mengatakan apa yang dipikirkannya.

Tuhan memiliki nasihat yang baik tentang komunikasi orangtua dan remaja. Dari PL dikatakan: “Jikalau seseorang memberi jawab sebelum mendengar, itulah kebodohan dan kecelaannya” (Prov. 18:13, NASB). Para orangtua, kita harus belajar mengontrol mulut kita saat kita menajamkan saraf pendengar kita.

Rasul Yakobus menambahkan. “Hai saudara-saudara yang kukasihi, ingatlah hal ini: setiap orang hendaklah cepat untuk mendengar, tetapi lambat untuk berkata-kata, dan juga lambat untuk marah” (James 1:19, NIV). Tidak ada yang lebih cepat menghancurkan rasa hormat remaja kita (dan membangun ketegangan dan pemberontakan) daripada reaksi cepat marah dari kita. Kita mengharapkan beberapa argument dan ketidaksetujua dari mereka. Mereka mencoba menemukan diri, mencoba menemukan siapa mereka, dan apa yang mereka bisa lakukan dan tidak. Tapi saat kita kehilangan kendali, mereka tahu kalau mereka lebih kuat dari kita. Mereka menemukan, yang tidak tidak disadari sebelumnya , bahwa mereka memiliki kekuatan untuk mengontrol emosi kita, maka pertengkaran dimulai! Kita harus belajar mendengar dengan kedua telinga terbuka, dengan sabar, tenang, penerimaan, perhatian, dan pengertian.

Pengertian tidak berarti sentimental. Kita tetap menyatakan pendapat dan alasan kita kepada mereka, tapi kita melakukannya dengan kasih. Kita tetap melarang perkataan yang tidak hormat, tapi tidak dengan pukulan dan kemarahan “jangan sekali-kali kamu bicara begitu kepada saya.” Sebaliknya kita menjelaskan kalau kita mengerti perasaan mereka, tapi kita harus menegaskan kalau mereka harus belajar mengungkapkan perasaan mereka dengan sopan. Ketidak inginan untuk menurut akan menghasilkan bentuk koreksi, lakukanlah dengan tegas tapi kasih. Kita tetap mengharapkan penyesuaian aturan dan rutinitas keluarga yang kita percaya tepat, tapi dengan keinginan untuk meningkatkan kebebasan dan tanggung jawab pribadi mereka.

Kebutuhan untuk mendapat kemandirian yang lebih besar mengantar kita keprinsip umum kedua. Kita harus memperlakukan remaja kita dengan hormat. Kita harus melakukan itu sejak awal kelahiran, tapi sekarang lebih kompleks. Salah satu keluhan umum para remaja terhadap orangtua, “orangtuaku memperlakukan saya seperti anak kecil.” Tuduhan itu sering karena kurang diberikannya rasa hormat, dan itu bisa menabur benih pemberontakan.

Kurangnya rasa hormat bisa mencuat dalam berbagai cara. Sebagai contoh, orangtua bisa menolak mengijinkan anaknya untuk bebas memutuskan bagi dirinya sendiri. Dari masalah kecil seperti membeli pakaian, sampai masalah besar seperti universitas mana yang dipilih, orangtua sering memaksakan keinginannya pada mereka. Tuhan memberikan mereka otak, dan kita harus menghormati haknya untuk menggunakannya untuk menemukan kehendak Tuhan bagi hidupnya, daripada memaksa dia kedalam pemikiran kita. Tentu kita menawarkan nasihat Alkitab saat dia mencoba keluar dari rencana Tuhan yang sudah jelas dinyatakan dalam Firmannya, tapi kita akan mencari hikmat Tuhan untuk mengetahui kapan saatnya bicara dan kapan saatnya diam.

Indikasi lain kekurangan rasa hormat adalah orangtua merasa aneh akan kekhasan perkembangan remaja. Itu bukan salahnya kalau suaranya pecah atau wajahnya dipenuhi jerawat. Itu merupakan tanda pertumbuhan yang belum selesai yang sudah cukup menghantui dan mengganggunya tanpa kita membesar-besarkannya. Kata-kata penghiburan atau nasihat membangun lebih pas untuk itu.

Kadang kita memiliki kecenderungan untuk tertawa terhadap masalah yang bagi dia penting, seperti naik turunnya kehidupan cintanya atau pertengkaran dengan temannya. Mungkin itu kelihatan tidak penting bagi kita, tapi suatu rasa hormat yang tulus pada mereka bisa menolong kita melihat masalah melalui kacamata mereka dan bersimpati bersama dia. Kita sering lupa betapa penting masalah itu pada kita saat kita seumur mereka. Kelihatannya semua yang kita ingat tentang masa remaja kita adalah hal yang bisa membantu menjelaskan maksud kita. “saat saya seumur kamu, saya tidak pernah……” dan hampir semua orangtua menyelesaikan kalimat itu dengan berbagai cara. Jangan lakukan itu! Tidak penting apa yang kita lakukan atau tidak saat kita seumur mereka. Waktu berubah, dan kita perlu menghormati siapa mereka sekarang ini dimasa sekarang.

Ada beberapa langkah yang bisa kita ambil untuk menunjukan rasa hormat kita. Kita bisa tetap merahasiakan apa yang mereka bagikan pada kita. Membocorkan itu pada teman kita sering menghantui kita. Kita akan menghormati privacy mereka, mengetuk sebelum masuk kamar mereka dan jangan mencoba mengorek-ngorek barang mereka. Kita bisa minta nasihat mereka tentang hal tertentu, terutama saat mereka lebih tahu dari anda tentang itu. Saya menanyakan pendapat remaja saya tentang bab ini sebelum saya menanyakannya pada orang lain. Kita ingin menunjukan kalau kita menghargai persahabatan mereka. Dan kita mempercayai mereka sampai batas yang diijinkan Tuhan pada kita.

Masalah kepercayaan menimbulkan masalah. Ada saat dimana penilaian kita menuntut kita untuk berkata “tidak” terhadap sesuatu yang ingin mereka lakukan. Munkin menginap dengan keluarga yang tidak kita kenal, atau pergi dengan pria yang karakternya dipertanyakan, atau ada dampak moralnya. Tapi kita memang tidak damai untuk mengijinkan hal itu. Kata pertama yang mungkin keluar dari mereka adalah “bukankah papa percaya pada saya?” Bagaimana jawaban anda?

Jawaban pertanyaan itu mungkin seperti, “Ya, kami percaya padamu sampai dibatas kemampuanmu menolak cobaan. Tapi jika kami memiliki alasan apapun untuk curiga kalau situasinya bisa menekan kamu lebih dari yang bisa kamu hadapi ditahap kerohaniamu yang sekarang, maka kami memiliki kewajiban pada Tuhan untuk menjauhkan kamu dari hal itu.” Anda bisa lihat, kepercayaan ada dua sisi. Kita harus lebih mempercayai mereka dan dalam keinginan mereka untuk menyenangkan Tuhan saat mereka tidak diawasi. Tapi mereka juga harus mempercayai kalau kita ingin melakukan yang terbaik bagi mereka dalam situasi yang dipertanyakan. Tanpa keduanya tidak adil.

Dan ini membawa kita ke prinsip yang terakhir. Kita harus menyediakan alasan Alkitab untuk standar kita. Ada banyak hal meragukan dalam dunia yang kotor ini. Bagaimana kita memutuskan apa yang kita ijinkan dan tidak dalam hal musik, pesta, pakaian, rambut, dan teman?

Sangat penting untuk mengetahui kalau kita hidup dalam dunia yang berubah. Walau Tuhan tidak berubah dan prinsip kekalnya tetap, aplikasi dari prinsip itu berbeda dari masa dan dari budaya kebudaya. Kita perlu menilai kembali system nilai kita. Sering kita menuntut anak muda kita untuk tunduk pada aturan kita yang tidak fleksibel hanya karena secara tradisional kita sudah mentaatinya. Mungkin itu tidak memiliki dukungan Alkitab yang kuat, tapi kita berkeras memberikannya pada remaja kita. Dan itu sudah nyata kalau menimbulkan pemberontakan mereka.

Sebagian orangtua menyuruh remaja mereka untuk tidak melakukan hal tertentu karena “orang Kristen tidak melakukan itu,” atau “gereja kita tidak percaya itu.” Tapi anak-anak kita lebih tahu. Mereka tahu kalau sebagian orang Kristen melakukan hal itu, mungkin mereka yang ada dalam gereja kita, dan mereka melihat kesalahan dari alasan kita. Tapi saat orang muda kita mendapat dasar Alkitab untuk standar yang ditentukan bagi mereka dan mereka melihat itu konsisten dengan teladan kita, mereka akan lebih ingin menjaga nilai itu saat mereka bebas dari otoritas kita, dan tidak menikmati semua yang ditawarkan dunia.

Disini ada 4 nasihat Alkitab untuk memutuskan hal yang meragukan. Pertama adalah prinsip kebebasan, yaitu kebebasan dari apapun yang bisa membuat kita dikendalikan. Rasul Paulus menulis, “Segala sesuatu halal bagiku, tetapi aku tidak membiarkan diriku diperhamba oleh suatu apapun” (l Cor. 6:12b, NASB). Setiap kebiasaan yang memperbudak, apapun yang kita tahu harus didapat atau tidak, dimana kita tidak dengan mudah melepaskannya saat kita ingin, bukan prilaku yang bisa diterima oleh orang Kristen. Kita tidak bisa dikontrol oleh Roh Kudus dan hal duniawi lainnya disaat bersamaan. Dan sebagai orangtua kita harus menentukan langkah. Orangtua yang menyuruh anaknya untuk tidak minum minuman keras atau merokok walau dia sendiri bergumul dengan itu ada dalam masalah.

Prinsip yang kedua adalah kasih. Kasih Kristus yang sejati ada untuk oranglain daripada dirinya. Orang percaya dinasihati untuk mengasihi yang lain (John 13:34), dan kita juga harus hidup saling menguntungkan.“Setiap orang di antara kita harus mencari kesenangan sesama kita demi kebaikannya untuk membangunnya.” (Rom. 15:2, TLB).

Rasul Paulus sendiri merasa bebas makan makanan yang dipersembahkan pada berhala. Buat dia, berhala tidak berarti apapun. Tapi dia menolaknya untuk orang Kristen yang imannya lebih lemah sehingga bisa jatuh dalam dosa melihat dia berbuat itu. Kita tidak ada masalah dengan makanan yang sudah dipersembahkan kepada berhala, tapi hal itu bisa menyebabkan orang Kristen lain yang lemah bisa jatuh dalam dosa. “Tetapi jagalah, supaya kebebasanmu ini jangan menjadi batu sandungan bagi mereka yang lemah.” (1 Cor. 8:9, NIV).

Prinsip ketiga adalah peneguhan iman. “Segala sesuatu diperbolehkan. Benar, tetapi bukan segala sesuatu berguna. Segala sesuatu diperbolehkan. Benar, tetapi bukan segala sesuatu membangun” (1 Cor. 10:23, NASB). Tidak semua hal yang kita rasa bisa kita lakukan membawa keuntungan bagi kehidupan fisik dan rohani kita. Itu mungkin membahayakan tubuh kita yang adalah tempat Roh Kudus. Tapi walau itu tidak membahayakan kita, itu mungkin memakan waktu, membuang uang, dan menghabiskan tenanga yang seharusnya bisa digunakan untuk yang lain. Tuhan tahu kita perlu aktifitas yang menyegarkan agar bisa melakukan yang terbaik baginya. Dan setiap orang percaya harus mengaplikasikan prinsip ini dalam hidupnya melalui arahan Roh Tuhan. Tapi orangtua memiliki tanggung jawab memberikan remaja mereka bimbingan dalam melakukan itu, baik melalui perintah dan teladan.

Prinsip keempat adalah memuliakan. Tuhan berkata kalau kita berasal dari dia, dan apapun yang kita lakukan harus menunjukan kebesaran, keagungan, dan kasih karunianya. “Jika engkau makan atau jika engkau minum, atau jika engkau melakukan sesuatu yang lain, lakukanlah semuanya itu untuk kemuliaan Allah” (1 Cor. 10:31, NIV). Prilaku kita dalam hidup harus mengatakan pada orang disekitar kita, “lihat betapa agung Tuhanku –betapa kudus, betapa kasihnya, betapa murah hati dan betapa baiknya!”

Inilah tujuan hidup tertinggi. Tapi kita melakukan itu dengan bertumbuh kearah itu bagi Tuhan yang mengampuni dosa kita, dengan cuma-cuma memberikan hidup kekal, dan berdiam dalam kita. “Atau tidak tahukah kamu, bahwa tubuhmu adalah bait Roh Kudus yang diam di dalam kamu, Roh Kudus yang kamu peroleh dari Allah, --dan bahwa kamu bukan milik kamu sendiri? Sebab kamu telah dibeli dan harganya telah lunas dibayar: Karena itu muliakanlah Allah dengan tubuhmu!” (1 Cor. 6:19-20, TLB).

Saat Orang Muda Tersesat

Walau kita sudah berusaha keras, ada saat dimana orang muda berkeras menolak otoritas kita dan mengikuti jalannya sendiri. Janji dalam Proverbs 22:6 tidak bisa dilanggar, tapi ada saat sulit antara waktu kita mendidik anak “dijalan yang harus ditempunya” dan waktu “saat dia sudah tua” Setan menggantung godaan dunia dan kedaginan dihadapannya selama waktu-waktu itu dan membuat dosa semenarik mungkin.

Yesus mengatakan cerita terkenal tentang anak yang terhilang dan itu menyediakan orangtua pertolongan dalam menghadapi masalah dirumah mereka (Luke 15:11-32). Perlu diperhatikan kalau dalam cerita ini sang ayah tidak mencoba menghalangi anaknya meninggalkan rumah. Walau anak muda bisa dihalangi untuk melarikan diri, ada waktu dalam hidup remaja dimana tekanan fisik tidak mempan. Jika anak anda berkeras memberikan hidupnya pada tindakan yang tidak pantas dan kurang hormat, dia pasti akan mencari kesempatan untuk melakukannya. Jadi biarkan. Biarkan dia melakukan kehendaknya. Selama dia hidup dirumah anda, anda membiayai pemberontakannya, dan itu sama sekali tidak menolong. Anda harus duduk bersama, dengan tenang menunjukan kesalahan dari pilihannya, dan dengan kasih memperingatkan dia bahwa Tuhan akan memperlakukannya seperti seorang anak. Tapi jika dia berkeras akan tujuannya yang berdosa, tidak ada gunanya mencoba menghalangi dia.

Hal kedua yang perlu diperhatikan dalam permupamaan adalah ayah membiarkan sang anak menganggung tanggung jawab penuh atas tindakannya. Dia tidak menyalahkan dirinya dan menuntut dirinya. Tidak ada orangtua yang sempurna, tapi Tuhan tidak ingin kita menyiksa diri dengan rasa bersalah karena cara kita membesarkan anak kita. Dia ingin kita mengakui kesalahan kita dan menikmati anugrah pengampunanNya (1 John 1:9). Disamping kekurangan kita sebagai orangtua, anak kita harus bertanggung jawab pada Tuhan atas tindakannya. Dia tidak bisa menyalahkan orangtua atas keputusannya sendiri. Jika dia memutuskan jalan dosa, dia melakukan itu atas keinginannya dan dia harus hidup dalam akibat pilihannya. “Demikianlah setiap orang di antara kita akan memberi pertanggungan jawab tentang dirinya sendiri kepada Allah” (Rom. 14:12, TLB).

Hal ketiga yang harus diperhatikan adalah saat sang anak bertobat, ayahnya menerima dia dengan pengampunan sejati. Tidak ada keinginan untuk mempermalukan dia atau meremehkannya, hanya ekspresi kasih dan perhatian akan keberadaannya. Saat anak kita yang tersesat menunjukan pertobatan, kita perlu menyambut dia. Dan dengan pengampunan sejati, kita tidak ingin membuat dia menderita rasa malu dan sakit kepala dengan pertanyaan kita seperti “bagaimana kamu bisa melakukan ini pada orangtuamu setelah semua yang kami lakukan?” Kita tidak bisa memperbaiki dosanya, tapi kita harus menunjukan kalau dia lebih penting dari perasaan atau reputasi kita. Pengampunan kasih lebih dari yang ditawarkan dunia dan bisa digunakan Tuhan untuk membawa orang yang melihat hal ini menjadi percaya. Jika itu harus terjadi, maka hari-hari atau tahun-tahun penderitaan itu, akan memuncak dalam sukacita berlipat dua –sukacita karena anak anda sudah dipulihkan pada kita dan sukacita ada anak baru dalam keluarga Tuhan.

Related Topics: Christian Home

11. Topi Ayah yang Banyak

Saat itu 30 menit lebih lama dari biasanya ketika Harry Hasselmore kembali dari kerja. Kontrak yang bosnya inginkan disaat terakhir membuat dia terlambat pulang kerumah dan dalam perjalanan terperangkap dalam kemacetan. Panasnya tak tertahankan dan kepalanya mau pecah. Makan malam yang baik dan malam yang tenang untuk menenangkan diri –itulah yang dia inginkan.

“Apa yang dilakukan sepeda dan mobil itu dijalan?” dia marah-marah pada diri sendiri. “saya sudah mengatakan berkali-kali pada anak-anak untuk meletakannya ditempat yang seharusnya.” Harry melihat anak-anak dihalaman tetangga dan berteriak, “cepat kesini dan ambil barang-barang ini. Kalian semakin hari semakin tidak bertanggung jawab.” Itu tidak penting apakah temannya ada disana dan mendengar kata-kata memalukan ini. Saat mereka menyebrang, Harry melihat robekan dalam jeans Ralph, “lihat apa yang kamu perbuat!” teriaknya. “Kalian harus pikir bagaimana saya dapat uang.”

Isi makan malam tidak menolong hal ini, dan dia tetap menggerutu selama makan. Dia tidak pernah berpikir kalau Helen sudah menggunakan kreativitas dan waktu untuk membuat makan malam menjadi menarik dan juga menghemat uang. Dan anak-anak –tingkah mereka selalu begitu tapi malam ini khususnya sangat mengganggu. Harry dalam hal ini berkata: “Jangan makan terlalu cepat. Jangan bicara dengan mulut penuh. Hentikan bunyi mulut itu. Apakah kamu harus meletakan tubuhmu dimeja? Hentikan perselisihan saat makan! Tidak bisakah ada ketenangan buat saya?”

Dia baru duduk dikursi malasnya dengan surat kabar ketika Joenie berkata, “Ayah, maukah membetulkan rumah bonekaku?” “Tidak malam ini,” bentaknya. “selain itu, jika kamu lebih hati-hati mereka tidak akan rusak.” Dia tidak memperhatikan sakit hati diwajah anaknya saat dia berjalan pelan kekamarnya.

Kemudian Ralph datang. “Hei, Pa, ingin main lempar bola dengan bola baruku?” “kapan kamu mau belajar kalau saya punya hal yang lebih penting daripada main, main, main?” Ketus Harry. Saat itu sudah lama Ralph tidak minta ayahnya melakukan sesuatu bersamanya. Mungkin butuh waktu lebih lama lagi sebelum dia ingin meminta ayahnya lagi.

“Harry, saya ingin bicara tentang anak-anak.” Helen sudah selesai dengan cucian dan ingin sekali nasihatnya tentang kenakalan tetangga. “tolong Helen, bisakah kasih waktu sebentar? Apapun itu saya percaya kamu bisa menyelesaikannya. Sekarang tinggalkan saya sendiri.” Walau hari itu lebih buruk dari biasanya, prilaku Harry tidak berubah. Dia menjadi makin terganggu dan tidak sabar, dan walau tidak menyadari itu, dia secara sistematis menghancurkan keluarganya. Istrinya semakin kecil hati dan tertekan, dan anak-anaknya menjadi lebih bermasalah.

Alkitab menunjukan bahwa Harry yang memegang kunci untuk mengkoreksi situasi tragis ini. Anda lihat, Tuhan tidak hanya memberikan teladan sempurna tentang ayah untuk diikuti, dia juga menunjuk beberapa hal tentang tanggung jawab ayah dirumah. Tapi sampai Harry membuka pikirannya terhadap kebenaran ini dan menyatakan keinginannya untuk taat, hanya ada sedikit harapan untuk peningkatan. Peran ayah tidak mudah. Itu penting dan banyak sisi. Kita harus mengerti topi-topi ayah yang beragam dan belajar bagaimana memakainya.

Pertama, dia adalah pemimpin. Tidak ada pernyataan yang lebih jelas daripada dalam kualifikasi penatua dalam gereja. “seorang kepala keluarga yang baik, disegani dan dihormati oleh anak-anaknya. Jikalau seorang tidak tahu mengepalai keluarganya sendiri, bagaimanakah ia dapat mengurus Jemaat Allah?” (1 Tim. 3:4, 5, NIV). Perkataan itu secara literal “berdiri didepan” dan “bertanggung jawab.” Tuhan menempatkan ayah dalam keluarga untuk memimpin. Otoritas Tuhan dalam keluarga berpusat pada ayah.

Dalam banyak kasus, ayah berpikir dia merupakan pemimpin keluarga, dan ibu juga membiarkan dia percaya itu. Tapi kenyataannya Ibu yang mengatur hampir seluruhnya. Ayah kebanyak tidak tahu apa yang terjadi. Lebih menyedihkan lagi, dia mungkin tidak peduli. Dia menyukai pengaturan seperti itu karena itu meringankan tanggung jawabnya. Ibu yang memutuskan apa yang bisa dilakukan anak dan yang tidak. Ibu yang memeriksa pekerjaan sekolah mereka, bicara dengan guru mereka, dan menandatangai laporan nilai. Ibu yang menolong mereka mengatasi masalah, mengajar mereka apa yang perlu mereka ketahui, dan membawa mereka ketempat yang perlu mereka tahu. Ayah tidak lebih dari penonton luar yang berteriak kepada mereka sesekali agar kehadirannya bisa dirasakan. Dan hasilnya adalah bencana.

Penyelidikan menunjukan bahwa ada hubungan lansung antara figure ayah yang lemah dan masalah anak seperti karakter, prilaku, dan pencapaian. Mereka yang bekerja dengan remaja menemukan kurangnya image ayah dalam rumah. Mereka mengindikasikan bahwa kebanyakan pria yang gagal dalam pekerjaan datang dari keluarga yang figure ayahnya kurang memuaskan. Waktu ayah memberikan kedudukan otoritasnya dalam rumah, ibu umumnya melakukan peran yang tidak pernah ingin didapatnya. Kombinasi ayah yang tidak tertarik dan ibu yang tertindih bisa membuat anak lari dari rumah, masuk kedalam pernikahan yang tidak bijak lebih cepat, atau menderita kesulitan emosi dan kurangnya kepribadian.

Ayah harus memimpin. Tapi apa yang harus dilakukan dalam mengatur keluarga dengan tepat? Pertama harus memimpin dalam menyediakan kebutuhan fisik seperti makanan, pakaian, tempat tinggal, dan perawatan kesehatan. Paulus menggunakan kata ganti pria untuk menunjuk hal ini saat dia berkata, “Tetapi jika ada seorang yang tidak memeliharakan sanak saudaranya, apalagi seisi rumahnya, orang itu murtad dan lebih buruk dari orang yang tidak beriman” (1 Tim. 5:8, NIV). Ibu bisa bekerja, tapi tanggung jawab utama untuk memenuhi kebutuhan ada pada ayah. Ayah yang malas dan tidak menerima tanggung jawab ini perlu memperhatikan hukuman yang berat.

Ini barulah permulaan. Dia juga harus memimpin dalam mendidik anak –melihat peristiwa dimasanya dalam terang Firman dan mengajarkan mereka bagaimana hidup selaras dengan Firman Tuhan. Pemazmur menunjukan itu.” Telah ditetapkan-Nya peringatan di Yakub dan hukum Taurat diberi-Nya di Israel; nenek moyang kita diperintahkan-Nya untuk memperkenalkannya kepada anak-anak mereka. . . .” (Psalm 78:5, TLB). Rasul Paulus menyebutkan. “Kamu tahu, betapa kami, seperti bapa terhadap anak-anaknya, telah menasihati kamu dan menguatkan hatimu seorang demi seorang, dan meminta dengan sangat, supaya kamu hidup sesuai dengan kehendak Allah, yang memanggil kamu ke dalam Kerajaan dan kemuliaan-Nya” (1 Thess. 2:11-12, NIV).

Ayah harus memimpin penyelidikan Alkitab dan ibadah keluarga, mendorong keluarga terlibat dalam pelayanan gereja, dan dalam menegakan kesaksian keluarga dalam lingkungan. Terlalu sering ayah tidak hanya mengabaikan hal rohani dan ibu yang memimpin, meninggalkan anak-anak untuk berpikir bahwa gereja adalah dunia wanita dan memberitakan injil adalah dunia wanita. Saat ayah menjadi sumber kekuatan rohani dalam rumah, anak mulai serius tentang kehidupan Kristen.

Akhirnya, keluarga yang diatur dengan tepat berarti pengawasan terhadap semuanya. Itu tidak berarti ayah seorang diktaktor, menjalankan semuanya dengan tangan besi, membuat setiap keputusan dan melakukan hampir semuanya. Sebagai pengatur dalam Tuhan, dia dalam doa mempertimbangkan perasaan yang lain dan keputusannya untuk kebaikan mereka bukan dirinya. Dia mengenali kemampuan istrinya dan mendorongnya untuk mengembangkan dan menggunakan itu sampai penuh. Tapi istri harus yakin kalau suami sadar apa yang terjadi, dan suami menyetujuinya. Dan untuk meyakinkan kalau suami yang mengatur, bahwa dialah yang paling bertanggung jawab untuk kelangsungan kegiatan keluarga, dan dia dengan setia menjalankan tanggung jawab itu, sehingga membawa keamanan pada istri dan anak.

Tidak hanya ayah yang menjadi pemimpin. Dia juga harus menjadi pengasih. Dia harus mengasihi istrinya dengan kasih yang tidak egois, mengampuni, suatu kasih yang seperti Kristus. Seseorang mengusulkan kalau hal terbaik yang bisa ayah lakukan untuk anaknya adalah menyatakan kasih Kristus kepada ibu mereka. Pemikiran ini Alkitabiah. Paulus menasihati suami untuk mengasihi istri seperti Kristus mengasihi gereja (Eph. 5:25). Saat Tuhan membangun institusi perkawinan dia berkata, “Sebab itu seorang laki-laki akan meninggalkan ayahnya dan ibunya dan bersatu dengan isterinya, sehingga keduanya menjadi satu daging” (Gen. 2:24, KJV). Anak akan datang, tapi suami dan istri selalu menikmati kedekatan khusus diantara mereka.

Secara sederhana, ayah, setelah Tuhan sendiri, istri merupakan hal utama dalam hidupmu, sebelum bosmu, sebelum temanmu, sebelum pelayanan, bahkan sebelum anakmu. Dan anak bisa mendapat keuntungan dari prinsip ini. Kasih anda pada ibu mereka, dengan nyata, akan memberikan mereka kepuasan dan keamanan yang tidak bisa disediakan dunia. Mereka bisa mengeluh dan menutup mata mereka saat anda memeluk istri anda dan berkata, “Yah, begitu lagi.” Tapi didalam hati mereka ada kepuasan. Mama dan papa saling mengasihi.

Sebagian suami dan istri hidup hanya untuk anak mereka dan mereka tidak pernah benar-benar mengenal satu sama lain. Satu hari, anak-anak bertumbuh dan pergi dan meninggalkan ayah dan ibu saling memandang seperti orang asing tanpa ada yang bisa dikatakan, bergumul ditengah pernikahan anak mereka. Sementara itu, anak-anak menjadi terlalu tergantung pada orangtua mereka. Masalah penyesuaian diri dalam pernikahan sangat besar, dan tekanan dari keluarga semakin menyulitkan mereka. Psikolog menyatakan bahwa orangtua yang menikmati hubungan penuh kasih memiliki prospek terbaik sebagai sumber bagi anak mereka dalam membangun pernikahan mereka sendiri yang berhasil.

Jadi ayah, ajaklah istrimu pergi makan malam keluar secara teratur. Bawakan dia sesuatu yang berkata, “Aku cinta kamu.” Luangkan waktu bicara tentang hal yang memberatkan dia. Peka terhadap kebutuhannya dan hidup untuk memenuhi kebutuhan itu. Tolong dia dalam pekerjaan sehari-hari. Jika dia mendapat hari yang berat, dengan gembira ambil alih dan mendorongnya untuk keluar sebentar. Jangan menyudutkannya didepan anak-anaknya. Tunjukan kasih sayang padanya didepan anak-anak. Bagaimana lagi anak-anak bisa belajar bagaimana mengasihi?

Pertanyaan yang paling sering saya dapatkan, saat saya bertanya bagaimana mereka tahu orangtua gagal terhadap mereka karena orangtua kurang saling mengasihi. Seorang gadis menulis, “Tidak ada kasih sayang yang ditunjukan dalam keluarga kami, ayah saya terhadap ibu atau mereka terhadap saya. Saya tahu tidak bisa menyalahkan mereka sepenuhnya, tapi saya bukan orang yang hangat dan pengertian.” Sebagian tidak pernah melihat pernyataan kasih diantara orangtua mereka dan menderita karena itu.

Salah satu hal terbaik yang bisa anda lakukan pada istri anda adalah memarkir anak anda disuatu tempat dan pergi bersama beberapa hari –hanya berdua. Tanggung jawab yang terus menerus dilakukan cenderung mengeringkan kita secara fisik dan emosi. Tuhan bisa memberikan kita kasih karunia untuk mengatasi tekanan hidup, tapi dia ingin kita menggunakan akal dan keluar dari itu secara periodic. Yesus mengetahui kebutuhan itu. “Kemudian rasul-rasul itu kembali berkumpul dengan Yesus dan memberitahukan kepada-Nya semua yang mereka kerjakan dan ajarkan. Lalu Ia berkata kepada mereka: Marilah ke tempat yang sunyi, supaya kita sendirian, dan beristirahatlah seketika! Sebab memang begitu banyaknya orang yang datang dan yang pergi, sehingga makanpun mereka tidak sempat.” (Mark 6:30, 31, NIV). Kadang lebih mudah menilai situasi dan melihat cara mengembangkannya saat anda berdiri jauh dari situ untuk sementara. Dengan menjauh akan menolong anda memperbaharui rohani anda, menyingkirkan ketegangan keluarga, dan memberikan waktu untuk saling mengerti dan kesempatan menjelaskan tujuan untuk anak-anak. Itu akan mendekatkan anda berdua dan anak-anak. Dan tidak ada salahnya melihat kedepan saat anak anda sudah pergi dan tinggal anda berdua.

Peran utama ketiga seorang ayah adalah disiplin. Raja Salomo menyatakan ayah yang mengkoreksi anaknya (Prov. 3:12). Paulus mengingatkan para ayah yang ingin jadi penatua agar anak taat dengan hormat yang tepat (1 Tim. 3:4). Lebih jauh, dia menasihati ayah dalam lingkup lebih luas: “Dan kamu, bapa-bapa, janganlah bangkitkan amarah di dalam hati anak-anakmu, tetapi didiklah mereka di dalam ajaran dan nasihat Tuhan ” (Eph. 6:4, NASB).

Kenapa Paulus menasihati para ayah? Seperti yang sudah kita ketahui, nasihat itu diberikan karena mereka cepat marah dan kasar pada anak. Aturan dari ayah yang kasar dan berdasar rasa takut menghasilkan pribadi yang sama dan melakukan masalah yang tidak terbayang oleh ayah. Itu menghasilkan pemberontakan yang kemudian keluar pada masyarakat, atau rasa tidak berharga dan tertolak. Kita perlu memperhatikan nasihat Paulus pada jemaat Kolose: “Hai bapa-bapa, janganlah sakiti hati anakmu, supaya jangan tawar hatinya” (Col. 3:21, NASB). Disiplin yang baik dimulai dari disiplin diri sendiri, bukan dengan mulut atau otot.

Tapi hal positif dari perintah langsung pada para ayah: “tapi didiklah mereka di dalam ajaran dan nasihat Tuhan.” Kita dibawa kepada kesimpulan kalau ayah merupakan penanggung jawab utama diseluruh proses mendidik anak. Dia bertanggung jawab bahkan terhadap apa yang ibu katakan dan lakukan pada anak. Dia bertanggung jawab pada Tuhan untuk setiap hal yang terjadi dalam rumah. Sebagai figure Tuhan, dia harus tahu apa yang terjadi dan mengaturnya.

Ini secara praktek memiliki percabangan. Disatu hal, ayah harus mengatur disiplin saat dia dirumah. Dikebanyakan kasus, ibu memiliki pekerjaan mendidik anak sepanjang hari. Saat ayah pulang, istri tahu shiftnya selesai. Ayah akan melindungi istri dari tekanan dan masalah yang digumulinya sepanjang hari. Lebih jauh, karena istri mewakili otoritas suami selama dia diluar, maka suami harus mendukung istri didepan anak. Dan karena dia hampir sepanjang waktu diluar, dia harus memberi waktu bicara dengan istri tentang apa yang terjadi, menawarkan nasihat dan pertolongan. Itu belum berakhir.

Peran keempat adalah menemani. Itu tidak selalu berarti teman dekat. Sebagian ayah membodohi diri dengan mencoba melakukan semua yang dilakukan anak karena ingin berteman, sering itu memalukan bagi sang anak. Maksud saya adalah menemani dengan setia, dapat dipercaya dan bersahabat. Siapa yang menolak kalau ayah sering terpisah dari anak dalam lingkungan kita. Menarik diperhatikan kalau pernyataan terakhir Tuhan di masa PL tentang kedatangan Mesias, “Maka ia akan membuat hati bapa-bapa berbalik kepada anak-anaknya dan hati anak-anak kepada bapa-bapanya . . .” (Mal. 4:6, KJV).

Walau bagian ini masih menunggu pemenuhan akhir, itu menggambarkan kasih karunia Tuhan sampai sekarang memulihkan hubungan antara ayah dan anak. Tuhan ingin mereka satu hati, satu pikiran satu jiwa. Itu membutuhkan waktu bersama, dengan komunikasi dan persekutuan yang dekat. Baik anak perempuan dan laki-laki memerlukan waktu berdua dengan ayah. Itu mungkin dalam bentuk makan malam bersama, piknik, mendaki, memancing, main tennis, atau pengalaman lainnya yang bisa menyediakan kesempatan bicara dan saling mengenal. Ibu bisa menolong dengan tidak terlalu menuntut materi sehinga sang ayah terus bekerja untuk memenuhinya, dan akibatnya tidak bisa menemui anak. Tapi dengan adanya waktu dan ibu yang simpati, hanya masalah bagaimana kita mendisiplin diri untuk melakukannya. Suatu keadaan yang baik untuk komunikasi dan kebersamaan dengan anak disaat tidur. Bapak perlu meletakan suratkabar atau menutup TV dan menidurkan anak secara teratur. Dia tidak bisa kehilangan kesempatan, mendapat percakapan yang bernilai, permainan bersama dan masukan rohani yang ada dalam momen-momen sebelum mereka tidur.

Anak laki-laki secara khusus butuh kenal ayahnya. Ayah mewakili manusia apa dia nantinya –suami seperti apa nantinya terhadap istri, ayah yang seperti apa terhadap anaknya, penyedia kebutuhan seperti apa terhadap keluarganya, pemimpin seperti apa nantinya terhadap gereja, dan kesaksian seperti apa nantinya dia dalam dunia. Dia perlu teladan untuk diikuti, model identifikasi diri, ayah yang bisa dibanggakan. Anak cenderung mengikuti pola yang sudah dibuat ayah dalam perkawinan. Itu menakutkan bukan? Berikan anak anda teladan yang baik. Kadang saat image ayah lemah, anak laki-laki bergantung pada ibunya terlalu lama. Saat dia besar, dia akan mencari istri yang bisa menjadi ibu baginya, dan pernikahan generasi berikutnya adalah bencana. Para ayah, berikan waktu untuk anak laki-lakimu.

Kita semua tahu kalau kematian dan perceraian merampok banyak anak laki-laki dari ayahnya. Apa yang harus kita lakukan? Diseluruh Alkitab Tuhan mendorong suatu perhatian unik terhadap “kurangnya sikap kebapakan” Penekanan itu menekankan betapa penting image ayah. Penyelidikan menunjukan ayah pengganti dalam hubungan bisa membantu memenuhi kebutuhan emosi anak laki-laki. Pria Kristen bukalah hatimu bagi anak laki-laki yang kekurangan hal ini.

Anak perempuan juga butuh kenal ayahnya. Seorang anak perempuan belajar dari ayah tentang seperti apa pria itu. Ayah mewakili suami seperti apa yang akan bersamanya nanti, bapak dari anaknya yang seperti apa, figure otoritas seperti apa yang harus dia tunduk. Telah diselidiki kalau anak perempuan secara tidak sadar mencari suami seperti ayahnya. Jadi menjadi suami seperti apa yang kemudian akan anakmu kawini. Kemudian bangun hubungan yang hangat dengan dia. Itu akan menolongnya menyesuaikan diri dengan baik dengan suami yang Tuhan berikan padanya. Jika anda mengabaikan ini, kebenciannya akan ditransfer kepria lain, bahkan kesuaminya. Dan beratnya kegagalanmu adan membebanimu ditahun-tahun akan datang.

Tidakkah ini terlalu berat untuk seorang manusia? Ya, pasti. Itu menuntut waktunya tanpa belas kasihan. Kekeringan emosi tiada akhir. Tapi peran terakhir yang diberikan Tuhan akan menyediakan dia kekuatan mengatasi semua yang Tuhan ingin dia lakukan. Dia harus menjadi pria bertuhan.

Otoritas ayah untuk mengatur keluarganya datang dari Tuhan. Tapi dia tidak bisa menjalankan otoritas itu dengan tepat kecuali menyerahkan diri kepada otoritas Tuhan. Paulus menjelaskan kepada jemaat Korintus, seperti pria menjadi kepala atas wanita, demikian Kristus kepala atas pria (1 Cor. 11:3). Sebagian pria tidak tepat mengatur keluarganya karena mereka tidak tunduk pada Firman dan kehendak Yesus Kristus. Mereka tidak bisa menjalankan keinginan Tuhan melalui kuasaNya karena dibatasi dosa.

Yesus mengajar kita rahasia hidup dalam hubungan denganNya seperti carang anggur. Kemudian dia berkata, “Jikalau kamu tinggal di dalam Aku dan firman-Ku tinggal di dalam kamu, mintalah apa saja yang kamu kehendaki, dan kamu akan menerimanya” (John 15:7, NIV). Formula kesuksesan sebagai ayah adalah memenuhi pikiran kita dengan Firman, memberi waktu dihadapanNya mencari kehendak dan kuasa untuk mentaatiNya. Saat kita bertumbuh dalam keserupaan denganNya kita harus memenuhi peran kita dengan hikmat. “Semuanya itu Kukatakan kepadamu, supaya sukacita-Ku ada di dalam kamu dan sukacitamu menjadi penuh” (John 15:11, NIV).

Related Topics: Christian Home

12. Keagungan Seorang Ibu

Keagungan? Ibu sulit merasakan keagungannya saat dia berada disamping cucian yang harus dibersihkan, kurang tidur karena pertikaian hari itu. Sebelum dia bisa mengistirahatkan kakinya yang lelah, dia masih menghadapi piring kotor, pakaian, 3 anak yang kotor yang harus dimandikan dan ditidurkan, dan rumah yang harus dibersihkan untuk perkumpulan ibu pagi nanti. Gelombang sakit hati, kasihan pada diri sendiri, kemudian rasa bersalah menyapu dirinya. Dia merasa sebagai tawanan daripada seorang ratu... dan sangat jauh dari model ibu dimasa Alkitab dimana suami dan anak berdiri dan memujinya sebagai terbesar diantara wanita (Prov. 31:28-29).

Keibuan jelas merupakan salah satu panggilan hidup yang paling kompleks dan sukar. Suatu pengumpulan pendapat diantara wanita menunjukan kesamaan pandangan bahwa membesarkan anak dengan tepat membutuhkan kepintaran dan dorongan seperti menjaga posisi puncak dalam bisnis atau pemerintahan. Dan tugas itu terutama jatuh dipundak ibu selama 6 tahun kehidupan anak. Bahkan setelah itu, hubungannya dengan anak tetap penting untuk berlanjut daripada ayah. Walau ayah pemimpin dalam rumah, ibu yang mengatur coraknya. Banyaknya waktu anak-anak bersamanya memberi dampak seumur hidup atas hidup mereka. Mereka menjadi seperti apa yang diinginkan ibunya. Dia menghadapi tantangan mulia untuk membentuk hidup anaknya dikekekalan. Keibuan merupakan salah satu kehormatan hidup tertinggi, dan salah satu tanggung jawab terberat.

Dimana seorang wanita mendapat pertolongan akan tugas besar itu? Pemazmur berkata: “Pertolonganku ialah dari TUHAN, yang menjadikan langit dan bumi” (Psa. 121:2, NASB). Tuhan memiliki kasih karunia khusus bagi para ibu. Anda lihat, walau Tuhan adalah seorang bapa, dia memiliki hati seorang ibu. Dia bicara pada bangsa Israel, “Seperti seseorang yang dihibur ibunya, demikianlah Aku ini akan menghibur kamu” (Isa. 66:13, TLB). Tuhan menghibur anaknya seperti seorang ibu.

Pribadi ketiga dalam Tritunggal, Roh Kuduslah yang melakukan fungsi sebagai seorang ibu ini. Yesus menyebutnya Penghibur (John 14:26), dan mengirimNya kepada kita agar kita tidak menjadi yatim piatu (John 14:18, NIV, TLB, NASB). Dan bukankah menarik bahwa kelahiran baru kita kedalam keluarga Tuhan digambarakan sebagai “dilahirkan oleh Roh” (John 3:5, 6, 8, KJV)? Roh Tuhan yang melahirkan kita, yang membagikan hidup ilahinya dengan kita, yang menopang kita, menghibur, dan mengajar kita, terus berjaga dan ingin membantu setiap ibu orang Kristen dalam menjalankan tugas sucinya.

Melalui penyelidikan pelayanan Roh Kudus, seorang ibu mampu mendeteksi tanggung jawab utamanya. Roh datang dari Bapa dan Anak, dan melayani tidak atas dirinya saja tapi juga mereka. Yesus berkata, “...sebab Ia tidak akan berkata-kata dari diri-Nya sendiri, tetapi segala sesuatu yang didengar-Nya itulah yang akan dikatakan-Nya dan Ia akan memberitakan kepadamu hal-hal yang akan datang. Ia akan memuliakan Aku, sebab Ia akan memberitakan kepadamu apa yang diterimanya dari pada-Ku. Segala sesuatu yang Bapa punya, adalah Aku punya; sebab itu Aku berkata: Ia akan memberitakan kepadamu apa yang diterimanya dari pada-Ku.” (John 16:13-15, TLB).

Anda bisa lihat, Roh tunduk pada Bapa dan Anak, dan mewakili mereka dalam pelayananNya pada kita. Demikian juga, seorang ibu harus tunduk pada suami dan mewakili otoritasnya kepada anak. Kegagalan melakukan ini menjadi sebab utama kekacauan keluarga dan perpecahan. Saat seorang wanita menolak kehendak suami, itu melemahkan harga diri suami, mematahkan semangat suami untuk mengambil peran pemimpin dalam keluarga, dan menghancurkan aturan otoritas Tuhan yang harus ditetapkan dalam keluarga.

Lebih jauh, seorang istri dan ibu yang dominant membingungkan anak-anak. Tuhan Yesus membuat prinsip penting, yang tidak hanya diaplikasikan terhadap uang tapi juga pada keluarga. “Tak seorangpun dapat mengabdi kepada dua tuan. Karena jika demikian, ia akan membenci yang seorang dan mengasihi yang lain, atau ia akan setia kepada yang seorang dan tidak mengindahkan yang lain” (Matt. 6:24, NIV). Jika ibu dan ayah memiliki otoritas yang sama, anak tidak tahu siapa yang harus mereka taati. Dia akan menggunakan salah satu untuk mendapatkan keinginannya, dan akhirnya kehilangan rasa hormat pada keduanya. Penyelidikan menunjukan bahwa anak bermasalah sering keluarganya didominasi oleh ibu. Tapi jika seorang anak tahu pasti kalau ayahnya yang jadi kepala keluarga, dan ibunya bicara mewakili ayah, dia akan lebih taat dan lebih punya rasa hormat pada orangtuanya.

Perintah Alkitab kepada istri untuk tunduk pada suaminya memiliki dampak lebih besar. Pengulangan penekanan itu dalam Firman menunjukan pentingnya Tuhan menekankan hal itu (Eph. 5:22, 24; Col. 3:18; Tit. 2:5; 1 Pet. 3:1, 5). Orangtua yang berhasil bergantung dari hubungan suami-istri. Dan hubungan suami-istri yang berhasil sangat tergantung pada rasa hormat istri pada suami dan dengan sukacita tunduk pada kehendaknya. Otoritasnya atas anak datang dari suami. Jika istri didalam dan diluar berontak pada otoritas suami, anaknya akan merasakan itu dan mengembangkan pemberontakan yang sama terhadap dia.

Ibu, bangunlah hargailah dan hormatilah suamimu. Disamping hubunganmu dengan Tuhan Yesus, suamimu adalah yang utama dalam hidup. Jika dia salah, jangan merengek, mendesak, atau memarahi. Itu hanya menjauhkan dia dari anda. Jika hal diantara anda ada yang salah, jangan menyibukan diri anda dengan anak sebagai kompensasi ketidakamanan dan kurangnya kasih yang anda rasa dari suamimu. Itu hanya menghancurkan pribadi anak dan lebih jauh menghancurkan hubungan anda dengan suami. Lihat hal yang baik dan ulangi itu dalam pikiranmu. Anda akan menemukan rasa hormat anda lebih meningkat. Dan saat dia merasakan hal itu, dia akan mengusahakan agar itu lebih berkembang lagi. Anda akan bisa menambahkan lebih banyak hal baik untuk dihormati. Pernikahan anda akan meningkat, dan kebebasan anda menjadi ibu yang baik akan berjalan bersama itu. Sebagian istri mengeluh pada saya kalau mereka tidak bisa melihat ada hal baik dalam diri suami mereka. Tapi pasti dulu ada hal yang menarik sampai anda mau bersama dia. Pikirkan kembali hari-hari yang lalu, dan perbesar hal itu..

Tanggung jawab kedua seorang ibu adalah seperti Roh Kudus yang diberikan padanya oleh Kristu –sebagai penghibur (John 14:16, 26; 15:26; 16:7). Kata itu secara litarel “seorang yang ada disamping.” Itu menunjukan kemampuan menolong, menguatkan, dan menghibur. Demikian juga, seorang ibu harus dekat dengan anak, menyediakan bantuan, penghiburan dan ketenangan.

Rasul Paulus berkata tentang fungsi ini. Menggambarkan pelayanannya kepada jemaat Tesalonika, “. . . Tetapi kami berlaku ramah di antara kamu, sama seperti seorang ibu mengasuh dan merawati anaknya. Demikianlah kami, dalam kasih sayang yang besar akan kamu, bukan saja rela membagi Injil Allah dengan kamu, tetapi juga hidup kami sendiri dengan kamu, karena kamu telah kami kasihi” (1 Thess. 2:7-8, NIV). “Merawat” secara literal “menjaga tetap hangat.” Itu meliputi membuat gembira dan nyaman. Seorang ibu akan mendekatkan diri pada anak dengan sendirinya, melindunginya dari bahaya, menenangkan rasa sakit dan mengurangi sakitnya.

Walau itu alami, sering ditumpulkan oleh tekanan hidup, melalui roh egois, melalui kurangnya rasa aman, melalui kekasaran, kekhawatiran, atau konflik yang belum terselesaikan dengan yang lain. Ibu mungkin membuat dirinya sangat mengganggu dan tajam terhadap anak, menciptakan suasana tidak enak dan perselisihan. Anda bisa lihat, dialah sebenarnya yang membangun suasana rumah. Bapak mungkin kepala, tapi seperti yang dikatakan banyak orang, ibulah hatinya. Suasana hati ibu sering menjadi situasi seluruh rumah, dan bahkan anak terkecil bisa mengerti dampaknya. Pikiran anak kecil seperti video rekaman, dengan seksama merekam setiap kata, sampai kenada suara dan ekspresi wajah. Dan semua itu berdampak pada dirinya kemudian. Sebagian psikolog berkata bahwa pola emosi ditentukan saat dia berumur 2 tahun. Itu seharusnya menjadi kesadaran bagi ibu, dan tantangan untuk menilai prilaku dan tempramen mereka. Kesempatan untuk lebih baik akan mendatangkan efek yang menguntungkan kapanpun itu.

Mrs. Pickit terobsesi ingin memiliki rumah yang bersih sempurna. Pembicaraannya tidak jauh dari “pungut itu, rapikan itu, lakukan lebih baik.” Kerewelan menjadi biasa, merupakan cara hidupnya. Dia mungkin akhirnya mendorong anaknya menjadi sangat berlawanan dengan dia, atau menjadikan mereka sama rewelnya dengan dia.

Mrs. Skelter seorang yang tidak rapi yang selalu terlambat. Dia membuat rumahnya selalu dalam keadaan bergolak, teriakan agar semuanya cepat. Seorang anak yang hidup dalam tekanan seperti itu akan menjadi tegang dan bermasalah. Dia melakukan tugas sekolahnya dengan buruk dan sulit bergaul dengan anak lain.

Mrs. Wartner seorang yang terlalu khawatir. Dia khawatir, cemas, merengek, dan membesarkan semua masalah kecil. Dan setiap kekhawatiran itu masuk kedalam kesadaran anak disampingnya, membangun roh kekhawatiran yang memperbudaknya seumur hidup, tapi bisa keluar hanya dengan mujisat anugrah Tuhan.

Mrs. Grumpman seorang yang tidak bahagia dan tidak puas. Dia mengeluh tentang hidupnya. Dia mengeluh tentang bagaimana orang memperlakukannya. Dia mengeluh tentang semua ketidaknyamanan yang dia alami. Dan kuping kecil disampingnya mengirim signal keotak anak membuat ketidakpuasan menjadi pola kebiasaan hidupnya juga.

Seorang anak membutuhkan seseorang didekatnya yang mengasihi dia lebih dari keadaan rumah, yang hatinya ada sukacita Yesus Kristus, yang menunjukan ketenangan dari dalam selama keadaan sehari-hari yang mencobai, seorang yang sabar dan baik, yang mendorong dan menghibur. Ibu, Roh Tuhan bisa membuat anda seperti pribadi diatas. Datanglah kehadapanNya pada hari itu dan minta hikmat dan kekuatan.

Kemudian berikan waktu dengan anak anda. Bacakan itu pada mereka. Ajarkan Firman itu pada mereka. Berjalan-jalannya dengan mereka, tunjukan hal yang menarik sepanjang jalan. Bermainlah dengan mereka. Ciptakan hal menantang bagi mereka. Perlihatkan ketertarikan akan proyek mereka. Bersedialah saat mereka membutuhkan anda. Dan seperti Roh Tuhan, simpatik dan berbelas kasihan. Anak anda suatu hari akan berdiri dan memuji anda untuk itu.

Ibu yang Bekerja

Pemikiran tentang ibu yang dekat dengan anak menimbulkan pertanyaan apakah dia bisa bekerja selain dirumah. Itu sangat sulit dibuktikan dari Alkitab apakah seorang ibu salah kalau bekerja. Teladan ibu dalam Proverbs 31 memperbolehkannya. “Ia mencari bulu domba dan rami, dan senang bekerja dengan tangannya. . . . Ia membeli sebuah ladang yang diingininya, dan dari hasil tangannya kebun anggur ditanaminya. Ia mengikat pinggangnya dengan kekuatan, ia menguatkan lengannya. Ia tahu bahwa pendapatannya menguntungkan, pada malam hari pelitanya tidak padam. . . . Ia membuat pakaian dari lenan, dan menjualnya, ia menyerahkan ikat pinggang kepada pedagang” (Prov. 31:13, 16-18, 24, TLB). Wanita memang berkontribusi terhadap pendapatan keluarga dimasa Alkitab.

Telah jelas dari Alkitab, kalau suami tanggung jawab utamanya menyediakan kebutuhan fisik keluarga. Sebelum seorang istri pergi kerja, saya mengusulkan agar dia dan suaminya duduk bersama dan menjawab beberapa pertanyaan penting. Pertama, kenapa mereka ingin dia bekerja? Jika itu karena dia bosan dengan perannya sebagai seorang ibu, bekerja mungkin bukan jawaban. Dia perlu memikirkan prilaku dan menghadapi tantangan sebagai seorang ibu. Unutk melakukan tugas dari Tuhan, terutama anak kecil, membutuhkan seluruh kepintaran, keahlian dan menghabiskan seluruh waktu yang bisa diberikannya. Jika motivasinya untuk membeli lebih banyak baju atau membeli barang yang mewah bagi keluarga, mungkin baik dia dan suami perlu menyesuaikan kembali prioritas mereka agar selaras dengan Firman Tuhan. Jika sebaliknya itu dilakukan untuk keperluan hidup, berdampak pada pendidikan anak, atau menyediakan sesuatu yang sangat diperlukan, Alkitab tidak menghalanginya.

Tapi ada pertanyaan kedua: apakah dia bisa memenuhi tugasnya sebagai pengurus rumah dengan bahagia? Rasul Paulus menasihat wanita untuk “membimbing rumah” (1 Tim. 5:14, KJV), satu kata dari teks asli berarti “mengatur rumah, menjaga rumah.” Dia juga menyuruh mereka untuk menjadi “penjaga rumah” (Titus 2:5, KJV), kata yang mirip secara literal “bekerja dirumah”. Dengan kata lain, Tuhan memaksudkan istri dan ibu untuk dirumah. Dia memiliki tanggung jawab menjaga keadaan rumah. Menjaga rumah bisa menjadi pekerjaan yang membuat frustrasi bagi istri yang bekerja, merugikan seluruh keluarga. Seorang suami yang mengasihinya dan peka terhadap kebutuhannya akan menolongnya dirumah, tapi menawarkan bantuan jauh berbeda dari menyerahkan tugasnya seperti yang terjadi saat wanita bekerja. Ini berlawanan dengan peran yang sudah ditetapkan Tuhan bagi suami dan istri. Kalau istri perlu bekerja, ayah harus memobilisasi seluruh keluarga untuk membantu. Anak bisa belajara tentang kerja tim dan tanggung jawab didalamnya.

Pertanyaan ketiga: apa keuntungannya? Jangan lupa menghitung semua hal: pajak Negara, pajak pendapatan, persembahan, penjaga bayi jika diperlukan, baju tambahan, transportasi, dll. Sebagian pasangan menemukan kalau mereka lebih banyak kehilangan uang kalau ibu bekerja.

Pertanyaan keempat yang paling penting. Apa dampaknya bagi anak? Bagi sebagian anak, pulang kerumah yang kosong mendorong kemandirian dan kedewasaan. Bagi yang lain, menghasilkan ketidakamanan dan cobaan untuk terlibat masalah. Penjaga bayi mungkin menolong, tapi tidak ada penjaga bayi yang memberi kasih seperti ibunya sendiri. Jika anak semua sekolah, kerja paruh waktu mungkin jawabannya.

Inilah hal yang harus disepakati suami dan istri. Jika istri bekerja tanpa persetujuan suami, masalahnya makin serius. Bersama cari petunjuk Tuhan dengan keinginan untuk melakukan kehendakNya, dan Dia pasti membimbing (Prov. 3:5-6).

Orangtua Tunggal

Perceraian merupakan salah satu tragedy dimasa kini, tapi itu terjadi dan mengabaikannya tidak menghilangkan itu. Disebagian besar kasus, anak terlibat, menghasilkan pasukan orangtua tunggal. Didalamnya janda, dan ibu tanpa kawin dan hal ini terus bertambah. Kebanyakan orangtua tunggal adalah wanita, dan kita akan sedikit membahasnya disini. Pembahasan ini juga bisa kepada ayah tunggal..

Baru-baru ini saya mendapat kesempatan bertanya pada kelompok orangtua tunggal Kristen tentang masalah mereka sebagai orangtua. Sebagian besar bercerai. Saat saya bertanya nasihat yang dibutuhkan seorang yang menjadi orangtua tunggal, seorang wanita menulis, “jika mungkin, jangan jadi seperti kami.” Itulah nasihat terbaik. Tuhan punya solusi bagi setiap masalah perkawinan. Jika ada harapan berdamai, usahakan itu apakah kemudian akhirnya cerai atau tidak. Melalui nasihat dalam Tuhan dan keinginan untuk mengusahakan perkawinan ada harapan berhasil.

Bagi janda, nasihat diatas percuma. Dan yang sudah bercerai, itu sudah terlambat. Kemudian apa masalah orangtua tunggal? Salah satunya adalah kesepian. “Jam 8 atau 9, ketika anak anda sudah tidur, anda sendirian. Tidak ada tempat berbagi beban dan kebahagiaan. Anda punya tanggung jawab membesarkan anak. Tapi anak tidak memenuhi kebutuhan tingkatan komunikasi anda. Sering kesepian menjadi mengasihani diri.”

Apa jawaban bagi kesepian ini? Seseorang menulis, “bergabung dengan kelompok orangtua tunggal yang tertarik akan pemeliharaan anak disamping kebutuhan social, terutama kelompok yang Kristen.” Keluar bersama keluarga dengan kelompok seperti itu akan menunjukan anak anda orangtua lawan jenis dan menolong memenuhi kekosongan itu. Bagi anda penting untuk mendapat persekutuan dengan orang dewasa lain. Hubungan dengan orang dewasa yang mengalami hal yang sama akan memenuhi kebutuhan hidup anda dan menolong anda berhubungan dengan anak anda lebih baik, Tapi obat kesepian paling baik adalah membangun hubungan dengan Tuhan. Dia berjanji tidak akan meninggalkan atau melupakan anda (Heb. 13:5).

Masalah kedua adalah waktu, tenaga, dan kesabaran dalam memenuhi kebutuhan anak. Seorang wanita menulis, “sering terasa tidak cukup waktu dalam sehari untuk jadi ibu. Sebagai contoh, setelah lelah dikantor, sekarang waktunya menjemput anak dari sekolah. Dia bermain sepanjang hari dan tidak tahu frustrasi saya. Dia sangat senang melihat ibunya. Dia ingin ibunya. Tapi ibunya terlalu lelah. Dan datang waktu makan malam, mencuci, dan bersih-bersih lainnya. Kemudian sudah waktu tidur. Kemana semua waktu itu? Orangtua tunggal harus melakukan 2 pekerjaan. Tapi anaknya butuh kasih sayang yang hanya bisa diberi orangtuanya. Apakah ada waktu?”

Orangtua tunggal menjawab pertanyaannya. Perhatikan! “anak anda butuh anda, orangtuanya, sekarang –bukan saat anda ada waktu, tapi sekarang. Maka itu, anda harus memberi waktu. Bagikan aktifitas anda dengan anak, ijinkan dia menolong. Tidak mudah, pasti, tapi penting.”

Masalah ketiga berkaitan dengan pasangan mereka yang lalu dan kepahitan yang ada diantara mereka. Selalu ada cobaan untuk menyalahkan pasangan anda dan membuatnya buruk dimata anak anda. Ayah tunggal menawarkan nasihat: “jangan kritik ex anda. Dorong anak untuk mengasihi dia. Dan lakukan sebisa anda agar anak jelas kalau dia tidak bertanggung jawab atas perceraian itu.” Seorang yang bercerai berkata kalau setiap malam dia berdoa dengan anaknya saat tidur, dia menyakinkan anaknya kalau Tuhan dan dia serta ayahnya mengasihinya. Walau ditengah bencana perceraian, sikecil menikmati hubungan yang sehat dengan ayahnya.

Hanya ada satu cara mengurangi sakit perceraian dan menyembuhkan sebagian luka. “Segala kepahitan, kegeraman, kemarahan, pertikaian dan fitnah hendaklah dibuang dari antara kamu, demikian pula segala kejahatan. Tetapi hendaklah kamu ramah seorang terhadap yang lain, penuh kasih mesra dan saling mengampuni, sebagaimana Allah di dalam Kristus telah mengampuni kamu.” (Eph. 4:31, 32, NIV).

Orangtua tunggal dan anaknya adalah orang yang membutuhkan. Merupakan kebaikan bagi setiap keluarga yang lengkap untuk menjangkau mereka. Sebagian anak korban perceraian tidak pernah merasakan hubungan perkawinan yang bahagia. Kita bisa mengundang mereka kerumah dan menunjukan kalau perkawinan bisa menjadi pengalaman luar biasa. Tuhan bisa menggunakan kita untuk menolong dia membangun keluarga yang berhasil ditahun-tahun mendatang.

Related Topics: Christian Home

13. Belajar Terbang

Hari besar bagi burung adalah saat dia mulai belajar terbang. Ibunya merasakan kesiapannya saat dia menggeliat, menegakan kepala, dan mengembangkan sayapnya. Dia mungkin membujuknya dari sarang dengan memegang umpan sedikit jauh, atau dia mendorong dia untuk mau naik keudara dengan sentuhan pelan. Lalu, dia mengibaskan sayap untuk hidupnya pada penerbangan pertama karena dorongan ibunya, yang kemudian menjelajah dunia sekelilingnya.

Menyedihkan untuk dikatakan, para burung lebih peka dari orangtua manusia. Teman bersayap kita tahu tujuan membesarkan anak mereka untuk mempersiapkan mereka meninggalkan sarang, sementara banyak orangtua tidak sadar kalau suatu hari anak mereka harus meninggalkan rumah dan membuat keluarga sendiri. Mereka menginvestasikan sedikit waktu dan tenaga dalam mempersiapkan mereka untuk mandiri. Anak-anak dengan cepat menemukan diri mereka sudah menjadi pria dan wanita, menghadapi saat meninggalkan rumah, kurang diperlengkapi menangani pekerjaa, menangani keuangan, atau bisa sukses dalam perkawinan mereka. Ini merupakan keahlian yang harus dipelajari, dan cara terbaik mempelajarinya adalah dalam rumah.

Tuhan menangani masalah ini dalam kerangka keluarga. Dia menyediakan kita, anakNya, dengan sumber dan kemampuan yang kita butuhkan untuk berfungsi dengan berhasil dalam kehidupan Kristen (2 Pet. 1:3). Roh Kudus didalam kita memampukan kita dengan kemampuan yang harus dimiliki untuk melakukan tanggung jawab kita (1 Cor. 12:11). Kemudian dia mendidik kita dalam Firmannya agar kita mampu mempraktekan kemampuan itu secara menguntungkan untuk semua pekerjaan baik (2 Tim. 3:16-17). Kita perlu mendapat petunjuk dari Pembangun Rumah dan menolong anak kita mengembangkan kemampuan untuk bisa mampu menjalan kan berbagai peran mereka dalam hidup.

Satu cara yang sudah jelas dalam menguatkan sayap mereka untuk terbang adalah dengan membiarkan mereka membuat keputusan sendiri. Keputusan itu akan sepenting munkin sesuai tingkat pertumbuhan mereka. Pertamanya mereka mungkin hanya memilih pakaian yang akan mereka pakai dipagi hari. Tapi saat mereka berkembang lebih dewasa, mereka akan memutuskan hal seperti teman mereka, pendapatan dan mengatur keuangan mreka, membeli baju mereka, dan memutuskan aktifitas mana yang mau mereka geluti. Jika kita telah mengajar mereka dengan baik, kita bisa percaya kalau mereka akan memilih dengan bijak dan bertumbuh kearah kedewasaan melalui praktek.

Kita semua belajar untuk jadi baik dengan melakukannya, didalamnya terdapat kesalahan. Anak kita akan membuat pilihan mereka, dan kita tidak boleh terlalu khawatir. Bukankah tuhan mengijinkan kita melakukan keinginan kita dan belajar dari kesalahan ? Dia selalu bersedia memberikan arahan dan menolong kita melakukan apa yang benar, tapi dia tidak mempermudah atau memaksa kita untuk taat.

Kehidupan anak kita akan dipenuhi dengan pilihan dan keputusan yang harus mereka pertanggung jawabkan dan dimana mereka akan membayar akibatnya. Kita harus membiarkan mereka memulainya dari pilihan kecil dan bertumbuh, daripada langsung masuk kearuh hidup diumur 21 dengan tidak memiliki pengalaman pengambilan keputusan, dan lambat tapi pasti tenggelam. Kita memperbesar ruang kebebasan setiap tahun, dan akhirnya melepaskannya. Kebebasan penuh sering merupakan bagian terberat. Ketidakmauan orangtua untuk melepas anaknya menghancurkan pernikahan mereka yang kita saksikan.

Salah satu anak kami datang dengan pengertian mendalam saat dia siap menghabiskan malam pertama jauh dari rumah, dirumah temannya. Baru berumur 7 tahun, dia mendapat pengertian atas pengalaman barunya. Kami hampir bisa melihat roda berputar diatas kepalanya saat dia berkata: “Saya mengerti” katanya, “saat saya bayi kalian merawat aku. Kemudian setelah besar saya dirawat secara dewasa, kemudian masuk kebagian lain. Kemudian satu hari saya bisa menghabiskan satu hari diluar, sekarang satu malam, kemudian satu bulan. Dan kemudian saya bisa tinggal terpisah dari mama dan papa.” Dia mengerti hampir sejelas kami. Para orangtua, mulailah memperbesar ruang itu dan menyiapkan anak kita untuk dibebakan.

Sekarang, selain pertumbuhan kebebasan membuat keputusan, ada beberapa pengertian dan tanggung jawab, yang penting bagi hidup berhasil, yang harus diajar dalam rumah. Orang tua yang mendidik anak mereka dalam keempat area ini sedang membuat dasar masa depan yang bahagia. Setiap area membutuhkan lebih banyak pertimbangan dari yang bisa kita bahas disini, tapi setidaknya prinsip dasarnya ada.

Mempelajari Nilai dari Bekerja

Jika kita ingin anak kita bertumbuh dewasa, orang dewasa yang mandiri, kita perlu memberikan tanggung jawab pribadi pada mereka. Orang yang bahagia adalah mereka yang memiliki sesuatu untuk ditawarkan. Mereka tahu diri mereka; mereka menyesuaikan diri; mereka anggota unit yang bernilai. Tuhan menetapkan kemajuan melalui meyakinkan anaknya tentang pentingnya mereka dalam keluarga. Setiap anggota tubuh Kristus memiliki suatu fungsi yang harus dilakukan. Petrus berkata, “Layanilah seorang akan yang lain, sesuai dengan karunia yang telah diperoleh tiap-tiap orang sebagai pengurus yang baik dari kasih karunia Allah. . . .” (1 Pet. 4:10, TLB). Kita akan berhasil jika mengikuti teladan ini.

Mereka yang duduk diam dan berpikir kalau dunia berhutang pada mereka umumnya sengsara, orang yang tidak bisa menyesuaikan diri yang membenci diri mereka dan tidak bisa bergaul dengan orang lain. Dan kebanyakan dari mereka tidak pernah belajar nilai dari bekerja saat mereka tumbuh. Salah seorang pelajar dengan jujur mengakui pada saya, “saya harap orangtua saya memberikan tanggung jawab lebih dan pekerjaan untuk dilakukan saat saya masih kecil. Sekarang saya berjuang untuk memperbaiki kebiasaan buruk, kemalasan dan kurangnya disiplin diri.” Jadi didiklah anak anda berkat keuntungan pekerjaan baik. Gunakan Alkitab. Tuhan punya banyak nasihat tentang hal ini (e.g. Gen. 2:15; 3:19; Prov. 6:6-11; 10:4-5; Eph. 4:28; 1 Thess. 4:11-12; 2 Thess. 3:10-12; 1 Tim. 5:8).

Kemudian letakan Firman kedalam tindakan dengan membiarkan anak anda berkontribusi dengan cara tidak langsung didalam rumah. Berikan mereka pekerjaan, kebebasan mereka untuk bertanggung jawab –tidak hanya untuk uang, tapi agar mereka bisa mempermudah pekerjaan dirumah. Bahkan anak kecil bisa membuat kamar mereka tetap rapi dan mengosongkan tempat sampah. Saat mereka lebih besar, mereka bisa merapikan tempat tidur, mengatur meja, membersihkan meja, menolong mencuci piring, menyapu ruangan dan garasi, mendorong pembersih lantai, membawa tempat sampah, menolong membersihkan halaman, membersihkan jendela, mencuci mobil, dan berbagai hal lain yang perlu diselesaikan. Anda bisa mendorong mereka untuk mencari pekerjaan lain diluar rumah, seperti mengantar surat kabar, memotong rumput, membeli sesuatu, atau menjaga bayi. Sebagian orang besar dalam sejarah Negara belajar disiplin kerja saat mereka muda.

Ada beberapa petunjuk yang perlu kita ikuti, saat mengajar anak kita bekerja.

1. Tunjukan mereka bagaimana melakukan pekerjaan yang anda minta. Kadang kita pikir anak kita sudah tahu hal yang tidak pernah kita ajarkan, dan saat kita memarahi mereka untuk melakukan itu. Beberapa menit petunjuk akan menghilangkan ketegangan itu. Dan walau anda memberi mereka petunjuk, buat mereka paham akan penghargaan terhadap pekerjaan yang dilakukan dengan baik. Salomo berkata: “apapun yang kamu lakukan, lakukan dengan baik . . .” (Eccl. 9:10, TLB). Waktu semua orang terbuang jika pekerjaan harus dilakukan kembali.

2. Ajar mereka untuk bekerja keras dengan sukacita. Inilah maksud Paulus ketika dia berkata, “Apapun juga yang kamu perbuat, perbuatlah dengan segenap hatimu seperti untuk Tuhan dan bukan untuk manusia” (Col. 3:23, NIV). Saat mereka pergi bekerja untuk orang lain maka waktu mereka bukan milik mereka sendiri. Itu milik employer. Jika mereka menggunakan setiap menit dengan baik dan menjalankannya dengan sukacita, mereka akan dicari dan dibayar dengan baik. Sejumlah bisnismen mengeluh pada saya, “saya tidak bisa menemukan orang yang ingin bekerja.” Orang muda yang belajar menyukai pekerjaan memiliki keuntungan dalam bursa kerja. Tapi yang lebih penting, Tuhan dimuliakan saat kita mengerjakannya dengan usaha terbaik dan kegembiaraan. Semua pekerjaan yang diperlukan bisa dilakukannya dan dilakuan walau bosnya tidak melihat.

3. Ajar mereka untuk berpikir saat mereka bekerja. Jika mereka cerdas melakukannya maka mereka akan jauh dari kesalahan yang mahal. Dengan pikiran, mereka bisa mencari cara yang lebih efisien dalam melakukan pekerjaan, atau melihat hal lain yang perlu dikerjakan sehingga mereka bisa memanfaatkan waktu kerja mereka dengan jujur dan produktif. Hal ini, dengan cermat dibangun dirumah, akan membawa perkembangan dalam dunia kerja.

4. Ajar mereka untuk menyelesaikan pekerjaannya. Sebagian kehidupan orang dipenuhi dengan pekerjaan yang belum selesai, dan mimpi yang berantakan. Mereka pindah dari satu pekerjaan kepekerjaan lain, tidak menemukan kebahagiaan dalam pekerjaan mereka. Mereka kekurangan keinginan untuk mempertahankan pernikahan mereka dan lari keibu saat ada masalah. Mereka tidak pernah belajar menemukan kepuasan tetap pada satu pekerjaan sampai akhir. Orangtua mereka membiarkan mereka berhenti apapun yang terjadi dan mereka tetap berhenti. Jika anak anda mulai suatu proyek, walau itu suatu hal yang dipilih sendiri olehnya, dorong dia untuk menyelesaikannya.

Mempraktekan prinsip sederhana ini akan menyiapkan anak anda untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka. Mungkin juga bisa ditambahkan satu kata peringatan. Jangan berharap kesempurnaan. Walau kita ingin pekerjaan dilakukan dengan baik, kita harus ingat anak kita tetap anak kecil. Kita bisa mengharapkan mereka melakukan sesuatu sesuai dengan kemampuan mereka, tapi menuntut lebih dari itu akan membuat mereka frustrasi dan mematahkan semangat. Hal yang sangat menekan anak adalah tidak bisa menyenangkan kita. Pujian terhadap pekerjaan yang baik penting walau tidak sempurna. Biar dia tahu anda menghargai usahanya.

Menghargai Nilai dari Uang

Lanjutan dari belajar nilai pekerjaan adalah bagaimana mengatur uang yang kita dapat. Mengusahakan uang tidaklah berdosa. Kenyataannya, kita tidak bisa hidup tanpa itu. Dan penggunaannya yang tepat akan penting bagi anak kita untuk memenuhi kebutuhan fisik mereka, menjaga harga diri mereka, dan membuat pernikahan mereka berhasil, kita berhutang memberikan mereka petunjuk dalam area ini.

Untuk belajar bagaimana mengatasinya, mereka harus memilikinya. Uang mereka bisa datang dari 2 sumber utama, pertama pinjaman. Jika orangtua bisa menyediakannya, mereka bisa memberikan anak sejumlah kecil uang setiap minggu atas dasar pengalaman belajar ini. Suatu pinjaman tidak dibayar dengan tugas. Tugas merupakan kontribusi mereka pada keluarga seperti ibu dan ayah. Kedua, mereka mendapat pinjaman melalui pekerjaan lain, baik dirumah maupun diluar. Jika seorang anak ingin mendapat uang tambahan dengan melakukan hal disekitar rumah diluar tugas mereka, biarkan. Jika anda ingin membayar orang lain, kenapa tidak diberikan dalam keluarga?

Sekarang setelah mereka mendapat uang, ajar mereka menggunakannya untuk kemuliaan Tuhan. Ada 3 prinsip umum yang bisa menolong.

1. Ajar mereka memberikan dengan murah hati untuk pekerjaan Tuhan. Mereka tidak boleh kehilangan berkat dari pelayan yang setia. Cobalah janji ini: “Berilah dan kamu akan diberi: suatu takaran yang baik, yang dipadatkan, yang digoncang dan yang tumpah ke luar akan dicurahkan ke dalam ribaanmu” (Luke 6:38a, NIV). Bukan apa yang kita beri untuk dapat balasan. Keegoisan itu menghancurkan sukacita. Kita memberi untuk memuliakan Tuhan. Tapi dia menghargai ketaatan kita sehingga dia memberikan kembali dengan berlimpah. “Camkanlah ini: Orang yang menabur sedikit, akan menuai sedikit juga, dan orang yang menabur banyak, akan menuai banyak juga” (2 Cor. 9:6, NIV). Jika kita percaya perkataan itu dari Tuhan, sepuluh persen yang sering kita dengar hanya bagian kecil dari pengalam bersamanya. Bahkan jika anak kecil kita hanya mendapat satu sen seminggu, ajar dia memberi bagian dengan murah hati, mengembalikannya pada Tuhan.

2. Ajar anak anda menyimpan sebanyak kebutuhan rencana mereka dimasa depan. Kata “pembayaran mudah” telah menghancurkan banyak perkawinan. Betapa lebih masuk akal mendapat pendapatan melalui uang yang kita simpan untuk kebutuhan. Dan sudah saatnya anak kita belajar hal ini. Dorong mereka untuk menabung. Itu akan memberikan kepuasan pribadi karena menabung untuk membeli sepeda, atau untuk pergi kamp sampai saat itu datang. Dan pendidikan lebih bernilai kalau mereka membayar sebagian dari biaya yang telah mereka tabung?

3. Ajar mereka untuk mengeluarkan sisanya dengan bijak dan menghargai. Untuk menghargai mungkin tidak terlalu sulit. Mereka biasanya berterima kasih pada Tuhan karena mendapat uang untuk bisa mereka belanjakan. Tapi hikmat lebih sulit. Itu meliputi mensortir keinginan dan kebutuhan. Itu uang mereka, dan mereka bisa mengeluarkan untuk kesenangan pribadi jika mereka mau. Tapi jika mereka mengeluarkan semuanya dihari pertama, mereka tidak bisa melakukan apa-apa terhadap kebutuhan mereka minggu itu. Itu tidak apa-apa. Biar mereka merasakan akibat tindakan mereka. Pengalaman merupakan guru yang baik. Lebih baik merasakannya dengan sen daripada perahu dan rumah yang menghabiskan ribuan dollar.

Hikmat juga berkaitan dengan membeli dengan harga terbaik. Ajar mereka bagaimana berbelanja dengan harga terbaik. Bawa mereka ketoko dan tunjukan bagaimana cara membandingkan. Hikmat juga berarti menghindari pemborosan. Saya ingin pergi makan malam dirumah bisnismen Kristen yang kaya. Sebelum kita duduk makan steak yang baru kita baker, dia mengambil penjepit dan menuangkan bara kedalam air sehingga dia bisa menggunakannya kembali. Saya mulai menyadari kenapa Tuhan mempercayakan dia begitu banyak uang. Saya juga mengetahui dia memberi bagian yang baik kembali kegereja, dan sekarang jelas kalau dia pasti tidak akan memboroskannya juga.

Melihat anak anda memiliki sejumlah uang dan mengajar mereka bagaimana menggunakannya akan mematahkan 2 kegagalan yang menghancurkan. Pertama penghinaan karena harus meminta setiap sen yang mereka butuhkan, dan itu menghancurkan harga diri mereka. Kedua, mungkin lebih buruk, memanjakan mereka dengan memberi semua yang mereka butuhkan. Seseorang menyindir, “uang bukan segalanya dalam hidup, tapi itu pasti membuat anda tetap berhubungan dengan anak anda.” Orangtua yang mencoba menjaga hubungan dengan anak mereka dengan memberikan materi umumnya menderita sakit hati melihat anak yang tidak berterima kasih, karena hal yang didapat dengan mudah tidak terlalu dihargai. Orangtua seperti itu sering menghasilkan suami yang membeli apapun untuk menyenangkan keluarga, atau istri yang menghancurkan keuangan suami mereka karena uang. Ijinkan anak anda menginginkan sesuatu, menunggu dan merencanakan untuk mendapatkanya, kemudian bekerja dan menabung untuk itu. Saat dia mendapatkannya, dia lebih cenderung berterima kasih pada Tuhan untuk itu, menghargainya tinggi, dan menggunakannya dengan bijak. Anda akan sangat menolong dia.

Merencanakan Pekerjaan Hidup Mereka

Judul itu mungkin bisa menyesatkan, karena bukan pada tempatnya kita memilihkan pekerjaan anak kita. Sebagian orangtua mencobanya. Mereka sudah memilih pekerjaan anak mereka, mengikuti jejak mereka atau masuk kebisnis keluarga. Orangtua lain berasumsi anak mereka masuk college untuk bersiap bagi pekerjaan yang prestige. Tapi yang lain terancam oleh pendidikan tinggi sehingga mendorong anak mereka untuk memilih dagang dan mulai kerja. Tapi kita tidak berhak mengatakan pekerjaan mana yang Tuhan ingin dia kerjakan untuk memenuhi kebutuhannya dan keluarganya. Keputusan itu antara mereka dan Tuhan. Tanggung jawab kita adalah membimbing mereka untuk berkomitmen total pada Yesus Kristus, kemudian mendorong mereka mencari kehendakNya dalam keputusan penting ini.

Sejak awal anak kita harus yakin bahwa Tuhan memiliki rencana bagi hidup mereka, dan hidup yang baik ditemukan dengan mengikuti rencana itu. Karena berbagai sebab banyak anak kecil memandang jalan Tuhan adalah yang paling menyedihkan, paling sulit, dan paling kurang dihargai. Jadi mereka memutuskan untuk menjalani jalan mereka dan melakukan kehendak mereka sendiri. Tapi kita bisa menunjukan Firman pad amereka, mendorong melalui penggambaran hidup sekitar kita, membiarkan mereka melakukan kehendak sendiri merupakan jalan yang ujungnya maut. “Ada jalan yang disangka orang lurus, tetapi ujungnya menuju maut” (Prov. 14:12, TLB). Melakukan kehendak Tuhan, sebaliknya membawa sukacita dan berkat (cf. Yakobus 1:25). Disatu titik dalam hidup muda mereka, mereka butuh menyerahkan diri pada Kristus dan berkata, “aku ingin mengikuti rencanaMu dalam hidupku.” Teladan penyerahan diri kita kepada kehendak Tuhan, dan nasihat yang kita tawarkan, sangat berpengaruh dalam membawa mereka menyerahkan diri padaNyaAt some point in their young lives they will need to yield themselves to Christ and say, “I want to follow.

Sekali keputusan dibuat, tugan merencanakan pekerjaan hidup mereka sangat diringankan. Sekarang tinggal membimbing mereka menemukan dan melakukan kehendak Tuhan. Apapun yang mereka pilih, itu karena Tuhan memanggil mereka dan karena itu tempat paling strategi bagi mereka untuk menggunakan kemampuan yang diberikan Tuhan untuk kemuliaanNya. Dengan pengertian itu, ada beberapa prinsip yang bisa membimbing anda.

1. Dengan berdoa lihat ketertarikan dan kekuatan mereka, kemudian usulkan cara menggunakannya dalam pekerjaan. Singkatnya, ada seorang anak laki-laki yang sangat tertarik dengan pesawat terbang dan kemampuan yang tidak biasa terhadap mekanik. Usulkan seperti ini, “kamu bisa menjadi pilot misi yang hebat suatu hari nanti.” Tuhan mungkin menggunakan benih pemikiran itu untuk menyediakan arah ditahun mendatang. Hidup tidak menarik saat kita tidak melakukan apa yang ingin kita lakukan atau apa yang cocok kita lakukan. Tuhan ingin talenta kita digunakan dan kebutuhan terdalam kita terpenuhi.

2. Kenalkan mereka pada orang Kristen yang luar biasa yang menyerahkan hidupnya seluruhnya pada Kristus. Baik mereka bisnismen, atau misionaris, atlit atau pengkhotbah besar, mereka akan memberi dampak mendasar bagi anak anda. Kehadiran mereka dalam rumah anda dan disekitar meja anda bisa menantang anak anda memberikan hidup mereka pada Kristus.

3. Selalu Memberi tempat pada Pelayanan penuh waktu sebagai pilihan hidup anak anda. Walau Tuhan membutuhkan orang Kristen yang berkomitmen dalam setiap saat hidupnya, tapi kebutuhan akan pastor, misionaris, dan pendidik Kristen sangat mengejutkan. Jelas Tuhan tidak menghendaki setiap orang Kristen masuk keprofesi ini. Dan mereka tidak lebih tinggi dari orang yang dikantor atau ditoko, jika itu jadi pilihannya. Tapi kekurangan pekerja Kristen menunjukan orang-orang tidak mendengar panggilan Tuhan bagi pekerjaan pelayanan Kristen. Mungkin orangtua tidak bicara tentang kebutuhan ini juga menekankan pentingnya hal ini.

4. Dorong anak anda mengunjungi sekolah Kristen yang baik setidaknya satu tahun. Apapun pekerjaan yang mereka percaya kehendak Tuhan, pendidikan Alkitab mereka, hubungan mereka dengan pemimpin Kristen, dan kesempatan pelayanan Kristen akan membuat mereka lebih efektif menjadi saksi Yesus Kristus selama hidup mereka.

Mempersiapkan Mereka untuk Perkawinan

Penulis lagu mengatakan bahwa kasih dan perkawinan seperti kuda dan gerbong. Tapi mengutip lagu lama, “Itu tidak selamanya begitu!” Sebagian pasangan berperang. Orangtua mereka tidak pernah mempersiapkan mereka untuk hal paling intim dan hubungan terpenting dalam hidup. Mereka mungkin memberikan formula kegagalan melalui teladan yang salah. Jika kita ingin mengajar burung kecil kita untuk terbang, kita butuh menangkap beberapa prinsip dasar untuk membimbing kita mendidik mereka bagi pernikahan.

1. Terbuka dan informal tentang seks sejak awal. Semua prilaku tentang seks tidak terpisahkan dari pernikahan yang bahagia, dan kita memasukan prilaku itu sejak popok mereka mulai dipasang. Tuhan mendisain seks sebagai bagian penting dari hidup, dan biaya mengabaikannya sangat tinggi –ketakutan, malu, kehamilan yang tidak diinginkan, penyakit dan perceraian.

Dimulai dengan menyebut bagian tubuh dan fungsinya dengan namanya yang sebenarnya. Menyembunyikannya dengan istilah dari generasi ke generasi menunjukan bahwa mereka malu atau kotor. Dan saat pertanyaan tentang seks mulai datang, jangan menyambutnya dengan kaget atau diam. Tidak ada gunanya kuliah berjam-jam tentang alat reproduksi saat sikecil umur 3 tahun bertanya darimana bayi datang. Tapi tidak ada alasan orangtua Kristen mengabaikan hal ini. Katakan kalau Tuhan membuat bayi bertumbuh ditempat yang khusus didalam ibunya. Jika dia cukup ingin tahu dan bertanya bagaimana bayi bisa ada disana, katakan ayah menaruh benih disana dengan kasih. Alkitab menjijikan hal ini. Kenapa kita harus begitu?

Tempat kita terbatas, tapi mengunjungi toko buku akan menemukan buku yang menolong anda mengajar anak anda tentang seks, itu akan membuka banyak materi yang baik disetiap tingkat perkembangan, sampai perkawinan.

2. Ajar mereka peran seks mereka dalam hidup. Pria tidak lebih tinggi dari wanita seperti sebagian orang ajarkan tapi fungsi mereka berbeda. Tuhan membuat anak jenis seks yang dia ingin mereka mengerjakan pekerjaan unik yang diberikanNya untuk dicapai dalam hidup. Tekankan kepuasan akan peran yang diberikan pada mereka. Kemudian jelaskan pada mereka perubahan tubuh saat puber dan bagaimana perubahan itu cocok dengan rencana Tuhan bagi mereka saat mereka kawin.

Ibu perlu mengajar anak perempuan mereka bagaimana menjadi istri yang baik dan penjaga rumah, bagaimana menunjukan kepada suami mereka hormat, dan bagaimana memenuhi rumah mereka terasa bahagia (Eph. 5:22-24, 33; Prov. 31:10-31). Ayah perlu mengajar anak laki-laki mereka menjadi suami yang baik, bagaimana memenuhi kebutuhan istri dan melakukannya dengan baik dan tidak egois (Eph. 5:25-32). Guru terbaik adalah teladan yang baik. Ibu dan bapak yang terus bertengkar atau saling meneriaki sulit memelihara pasangan pernikahan yang baik.

3. Tunjukan pada mereka bagaimana memilih pasangan yang sesuai dengan pilihan Tuhan. Walau Tuhan memanggil sebagian orang tidak menikah untuk pelayanan khusus, pola normal adalah menikah (Gen. 2:18). Penting bagi anak kita mengetahui bahwa jika Tuhan ingin mereka untuk menikah, dia telah memiliki pasangan yang baik. Menemukan pasangan itu akan menghasilkan sukacita besar. Tapi bagaimana mereka melakukannya? Mereka akan mulai melalui persiapan diri bagi pasanga mereka, terutama membangun karakter Kristus dan perhatian pada orang lain. Kemudian mereka akan pergi dengan orang Kristen yang mereka kenal. Jika mereka jadi tetap dan membatasi diri pada seseorang terlalu cepat, mereka tidak bisa menemukan pilihan pertama Tuhan. Dan jika mereka mengencani orang tidak percaya, mereka memberi diri pada bahaya keterlibatan emosi yang pada akhirnya tidak memuliakan Tuhan.

Saat mereka kencan, mereka harus menjaga standar Alkitab dan berlaku dengan kemurnian. Dorongan seks merupakan salah satu dorongan terkuat dalam hidup, dan itu meningkat pesat sebelum anak kita siap menanggung tanggung jawab pernikahan. Saat mereka terlibat secara fisik sehingga terbawa kedalam pernikahan yang premature atau dengan orang yang salah, betapa besar penderitaannya. Jadi mereka harus merencanakan kencan mereka untuk menghindari situasi demikian. Dan mereka harus berjanji dengan Tuhan kalau mereka tidak saling memegang tubuh, atau hal lain yang membawa mereka kedalam dosa. Para ibu harus menjelaskan pada anak perempuan mereka bagaimana prilaku berpakaian dan akibat yang ditimbulkan pada lawan jenis. Para ayah harus mengajar anak laki-laki mereka untuk menghormati harga diri mereka dan peka pada perasaan gadis yang mereka kencani.

Lebih jauh, saat mereka kencan, mereka menjelajahi kepribadian masing-masing. Merayu bukan alat mendapat pasangan dengan menutupi kesalahan kita. Sudah waktunya bicara tentang apa yang disetujui dan tidak, untuk bergumul bersama tentang kesulitan dan bekerja sama mempraktekan prinsip Firman Tuhan. Pasangan yang dipilih Tuhan tidak akan membenarkan masalah, tapi menghadapinya dan berusaha menyelesaikannya sesuai Alkitab. Waktu orang yang benar muncul akan ada rasa kesatuan jiwa dan rohani dan ikatan mendalam mendedikasikan pada Kristus. Dan saat saat penting tiba, burung kecil kita sudah siap terbang. Betapa bahagia hari itu saat mereka memberikan diri mereka pada pasangan pilihan Tuhan dan mulai membangun fondasi generasi Tuhan berikutnya. Kehilangan yang kita rasakan terpuaskan melalui ucapan syukur kita pada Tuhan untuk kebaikan dan anugrahNya dalam memberikan keberhasilan pada kita sampai ditahap ini.

4. Saat mereka meninggalkan sarang, setujui beberapa aturan dasar. Sebagian situasi tegang bisa muncul antara orangtua dan anak mereka yang sudah menikah karena hal seperti ini tidak pernah dibicarakan. Seperti, walau anda selalu ada bagi mereka ketika mereka butuh, mereka pada dasarnya sendiri. Anda dengan senang hati menawarkan bantuan tentang bagaimana menyeimbangkan budget mereka, bagaimana membuat kue, bagaimana Sam bisa mengatasi mood istrinya, dan masalah seperti itu. Tapi pilihan untuk menangis pada mama dan papa karena hal kecil tidak terbuka bagi mereka.

Hal yang lainnya, sebagai kakek anda anak menikmati menjaga bayi, tapi anda terperangkap disitu. Anda punya kehidupan anda sendiri, dan hidup anda tidak berkisar disekitar sikecil, sepenting apapun dia dimata anda. Anda harus cukup jauh untuk membuat rencana yang diperlukan, dan anda memiliki hak berkata “tidak” tanpa penjelasan lebih lanjut jika anda ingin.

Akhirnya, ada saatnya anda menikmati melakukan hal untuk mereka dan memberikan hal pada mereka. Tapi anda mengajar mereka bagaimana bekerja dan bagaimana mengatur uang mereka. Anda tidak mengijinkan mereka menggunakan anda, atau membebaskan mereka dari perangkap keuangan. Anda begitu mengasihi mereka dan berdoa dengan setia, tapi mereka tidak lagi dibawah otoritas anda. Anda harus menghormati aturan ilahi dan tidak turut campur dalam hidup mereka (Gen. 2:24; Matt. 19:5). Mereka harus menghormati itu dan tidak mengijinkan diri mereka tetap bergantung pada anda lagi. Mereka harus belajar bertumbuh bersama dalam anugrah Tuhan. Dan sukacita Tuhan akan menjadi milik anda dan mereka.

Related Topics: Christian Home

1. Lifestyles of the Poor and Nameless (Matthew 5:1-5)

Related Media

Matthew 5:1-51
January 11, 2004

Introduction

Why does God let that happen to us?

You’d think that we’d get better treatment from someone who loves us.

And yet at some point in our lives we all experience terrible sorrows.

We all get into situations that we simply cannot stand, cannot handle, and cannot find a way out. We all have heard the little voice deep down inside us that says, “You’re a miserable failure.” Some of you here this morning are probably experiencing those feelings right now.

Why does God allow those unpleasant and even tragic experiences in our lives? That’s one of the questions that really bothers us.

That’s a complicated discussion and probably there is no one ultimately satisfying answer that anyone can give you to that question. I think that on some level, we’ll probably wrestle with that issue for the rest of our lives. But I can offer you a part of the answer this morning. One of the reasons God lets bad things happen in our lives is because it’s the very best thing that could happen to us.

Sounds like a contradiction, I know. But you know what? That’s the way the truth often is. That’s just the kind of paradox that characterizes our leader, Jesus, and his teaching.

The Jesus Curriculum

The Jesus Curriculum

This is the beginning of a new year and it’s a good time to start a new series. So I thought this morning we might begin a new project that will be the backbone of our Sunday morning teaching for probably the next 2-3 years. We’ll stop along the way to explore some other topics as well.

But our main course is going to be a study of the teachings of Jesus.

In a way, that’s what we do every week, because the whole Bible is God’s Word. But specifically, we’re going to examine what Jesus actually taught his followers while he was here on earth 2000 years ago.

I’d like to call it, “The Jesus Curriculum”.

During his ministry, Jesus performed many miracles, healed the sick and spoke in parables to huge crowds of people. But the majority of his time, Jesus spent with his followers, teaching them, training them.

Jesus taught many things on many occasions. But in the pages of the New Testament, we find three major lessons that he gave specifically to those who were following him and wanted to learn from him.

Basically, Jesus taught his followers about:

  • Life in the Kingdom, or, The Kingdom Handbook
  • about The Community of the Spirit
  • and about The Return of the King

Popularly, these three lessons are known as:

  • The Sermon on the Mount, found in Matthew 5-7
  • The Upper Room Discourse, found in John 14-17 and
  • The Olivet Discourse, found in Matthew 24-25

Today we’re going to begin our study of the Sermon on the Mount.

I’ve called it “The Kingdom Handbook” because essentially, it is a manual for citizens of God’s Kingdom. In other words, an instruction manual for those who want to follow Jesus, the King.

The “Kingdom of God” has a deep and significant meaning in the Bible.

It really begins with the kingdom that God established for Israel in the days of Moses. That kingdom developed into the kingdom of David, Israel’s greatest king. After hundreds of years of unfaithfulness to God, the kingdom finally fell apart. But God promised through the prophets that one day the kingdom would be restored by a future king, the Messiah. When Jesus began his ministry, his message was, “The Kingdom of Heaven is coming soon.” The ultimate arrival of God’s Kingdom is still in the future when Jesus will return and establish his kingdom on earth. As Jesus said at his trial, “My kingdom is not of this world.” But in the meantime, there are some aspects of his kingdom that have already begun. We who follow Jesus are all citizens of God’s invisible kingdom. Jesus is our King and he is sovereign over us.

While we await entrance into the future kingdom, we live on this earth, but we acknowledge that our citizenship really lies in God’s kingdom. Therefore we live our lives according to the principles of God’s kingdom, not according to the principles of this world.

“The Kingdom Manual” tells us how things in God’s Kingdom work and we discover that things work very differently in God’s Kingdom that they do in our world. In fact, sometimes it’s almost exactly the opposite of what we might expect.

G.K. Chesterton describes the Kingdom Handbook this way:

“On the first reading of the Sermon on the Mount you feel that it turns everything upside down, but the second time you read it, you discover that it turns everything right side up. The first time you read it, you feel that it is impossible, but the second time you feel that nothing else is possible.”

The message Jesus taught to his followers is radically different than the conventional wisdom of our world. But it comes from the one who created us and asks us to believe that he knows best how life is supposed to work.

Well, let’s take a look at exactly what Jesus taught his followers and you’ll see what I mean about the paradoxes of the Jesus Curriculum.

[5:1] Now when he saw the crowds, he went up on a mountainside and sat down. His disciples came to him, [2] and he began to teach them, saying:

Notice that there are large crowds of people following Jesus around, but here he specifically sits down to teach his disciples.

What is a disciple?

We often think of the 12 apostles when we hear the word disciple. The apostles were some of the disciples, but apostles and disciples are very different. The word for disciple means literally, a learner. It was used of someone who followed a rabbi (that is, a teacher) to learn from him.

Jesus, like other rabbis of his day, had a group of people who attached themselves to him for training. When Jesus told the fishermen, “Follow me,” he was inviting them to be his learners, his disciples.

So the teaching in Matthew 5-7, then, is not directed to the world. It is directed to us, to those who would follow Jesus and be trained by him.

When Jesus sat down, he assumed the typical position of a rabbi who was training his disciples.

Kingdom Character

His message about the kingdom begins with the characteristics of the kingdom’s citizens. What kind of people belong to God’s kingdom? The answer might surprise you.

Title: Lifestyles of the Poor and Nameless

One might expect the citizens of God’s kingdom to be the best and the brightest, the most noble, the most worthy, the most beautiful, the strongest and the bravest. But instead we find that God’s kingdom belongs to the poor and the nameless. It belongs to those who in this world are outcasts.

As Jesus describes the surprising characteristics of the citizens of God’s kingdom, he begins with the word “Blessed.” The first few verses of the Sermon on the Mount are known as “the beatitudes.” They speak of those who are blessed. The word “blessed” means “fortunate” but without the idea of chance; someone who is envied for his condition; someone who should be congratulated. It doesn’t mean “happy” in the sense of a feeling of happiness, but rather it describes a state that should make someone ultimately satisfied, fulfilled and joyful.

The surprising part is not that citizens of God’s kingdom are blessed. The surprising part is the characteristics for which they should be congratulated.

1. Spiritually Bankrupt

[3] "Blessed are the poor in spirit, for theirs is the kingdom of heaven.

The word poor is the word for a beggar, but it refers here not to those who lack material wealth, but to those who lack spiritual wealth. Blessed are those who are spiritually destitute, the spiritual paupers, the spiritually bankrupt. Blessed are those who don’t have any spiritual resources whatsoever—no great acts of kindness to commend them, no deep insight into truth, no moral backbone to keep them on the straight and narrow. Blessed are the spiritual washouts for the kingdom of heaven is theirs.

Ok, see what I mean? Not at all what you’d expect. Very upside down from our perspective. But that’s what Jesus says.

How fortunate it is to be a spiritual nobody. Why? Because the spiritual nobody is the one who is completely convinced that there is nothing he can do to have a relationship with God. There is nothing he has to offer. He is totally dependent on God’s grace and mercy. He recognizes that he needs God because he’s bankrupt on his own.

In Luke 18:10-14 Jesus tells a story about "Two men [who] went up to the temple to pray, one a Pharisee and the other a tax collector. [11] The Pharisee stood up and prayed about himself:

'God, I thank you that I am not like other men--robbers, evildoers, adulterers--or even like this tax collector. [12] I fast twice a week and give a tenth of all I get.'

The Pharisee was a spiritual somebody. He had his resources and he was counting on them to impress God.

[13] "But the tax collector stood at a distance. He would not even look up to heaven, but beat his breast and said,

'God, have mercy on me, a sinner.'

The tax collector was spiritually bankrupt. He had nothing to offer. All he could do was plead for God’s mercy. And Jesus says,

[14] "I tell you that this man, rather than the other, went home justified before God. For everyone who exalts himself will be humbled, and he who humbles himself will be exalted."

The point of the story is not that we should be humble about how good we are. It’s that we all need to recognize that we’ve got nothing in us that we can use to impress God. All of us fall short of the requirements. All of us need God’s grace. If you’re a pretty good person, then sometimes it’s hard to see that, to recognize how much you need God.

But if you’re a spiritual beggar, if you’re spiritually bankrupt, then Congratulations! You’re so fortunate that your need for God is so obvious that you can’t miss it. You’re so blessed that you know just how desperate your situation is, because some people will never understand.

You know, this is one of the disadvantages of growing up in a Christian home with godly parents. This is one of the disadvantages of being a basically good guy. I’m not advocating that we dive into sin headfirst so that we’ll all know how vile we are. Sin is a poison that destroys life.

But those who have known the destruction of sin are fortunate because it’s often easier for them to understand how much they need God than it is for a basically good person to understand how much they need God.

The good news is that we all need God and we all can discover that.

St. Paul grew up in a godly home and he had some pretty great spiritual resources, yet he discovered how little they meant compared to his great need:

Philippians 3:4-8 I myself have reasons for such confidence. … [5] circumcised on the eighth day, of the people of Israel, of the tribe of Benjamin, a Hebrew of Hebrews; in regard to the law, a Pharisee;

[6] as for zeal, persecuting the church; as for legalistic righteousness, faultless. [7] But whatever was to my profit I now consider loss for the sake of Christ.

[8] … I consider everything a loss compared to the surpassing greatness of knowing Christ Jesus my Lord, for whose sake I have lost all things. I consider them rubbish, that I may gain Christ.

The spiritual resources that we put in the plus column can become an obstacle that keeps us from understanding that we are God’s only because of grace and not because of what we have done. Before we can enter God’s kingdom, we need to recognize our spiritual resources for what they are—rubbish! List your spiritual assets. They are rubbish.

If, on the other hand, you are one of those who basically has no spiritual brownie points at all, then congratulations! You’re just the kind of person that belongs in the kingdom of heaven. No wonder Jesus attracted such a collection of prostitutes and sinners. Blessed are the poor in spirit, for theirs is the kingdom of heaven.

2. Deeply Dismayed

The second characteristic is in verse 4:

[4] Blessed are those who mourn, for they will be comforted.

Happy are those who are sad. What an oxymoron!

Are you troubled? Are you suffering? Are you terribly hurt and disappointed? Are you discouraged or crushed or despairing? Congratulations! The comfort of God’s kingdom belongs to you.

Mourning hardly seems like occasion for congratulations. When things don’t go well for us, we want to complain as if this verse said, “Blessed are those who moan.” But Jesus says, sorrow is an occasion for joy, for celebration. That doesn’t mean you shouldn’t be sad. It means you should also rejoice if you’re sad. Because if you’re mourning, then you get it, you understand just how broken and ugly this world is. You’ve experienced the trauma and tragedy that comes from a fallen world; the mess that comes from man run amok; the wages that come from sin. You’ve experienced the sting of death, the corruption of disease, the pain of broken relationships.

Because of that, you have a much better chance of recognizing that this world is not the way it is supposed to be and we are just not equipped to live like this. It really stinks! You have a much better chance of recognizing that we were really meant to live in a world without sin, and so you have a much better chance of seeking reality in God’s kingdom. How fortunate! Congratulations! You’re just the kind of person that belongs in the kingdom of heaven.

When things go well for us, it’s easy to get comfortable living on this planet. But ultimately we don’t belong here. This planet isn’t our home; it’s just a layover! And if things are comfortable for you here, you might be inclined to fool yourself into settling down for a long stay. But if your life is full of pain and sorrow, then congratulations! You are the kind of person who can’t wait to get out of this place and start our real lives in the kingdom of God.

Blessed are those who mourn, for they will be comforted.

3. Completely Inadequate

A third characteristic is found in verse 5:

[5] Blessed are the meek, for they will inherit the earth.

In the Bible, Moses is described as the meekest of all men. The word “meek” sounds to us like a weakling, but we see Moses act with great courage and authority. But his meekness is found in his sense of inadequacy. When God asked him to do a job, Moses said, “I can’t do it. I’m not your man. I don’t have what it takes. I’m completely inadequate.” And Moses was right. However, by God’s power, by God’s ability, and by God’s leading, Moses acted and led with great courage and ability.

I think at heart most everybody is either an “I can do it” kind of person or an “I don’t have what it takes” kind of person. You probably know already which kind of person you are.

The “I can do it” people are resourceful and self-confident. They’re optimistic. They take charge and seem to instinctively know what to do.

The “I don’t have what it takes” people are more hesitant and halting. They have little confidence in themselves or in others. They expect they will fail. They’re often paralyzed by inaction. They feel completely inadequate. If that’s the kind of person you are, then congratulations! You are just the kind of person that belongs in God’s kingdom.

If you’re the kind of person who has a lot of resourcefulness and self-confidence, then it’s easy to try to do it yourself, to count on your own strength or your own smarts. But if you feel completely inadequate, congratulations. You are much more likely to turn to God and rely on his resources. You are much more likely to understand just how much you need his guidance and his strength and his wisdom. “Can do” people have a much harder time learning to trust God in their everyday lives. But people who are completely inadequate are forced to look outside themselves for resources. How fortunate you are! If you could visit a first-century church, what kind of people would you mostly likely find?

Paul writes to the Corinthians,

1 Corinthians 1:26-30 Brothers, think of what you were when you were called. Not many of you were wise by human standards; not many were influential; not many were of noble birth.

[27] But God chose the foolish things of the world … God chose the weak things of the world …[28] He chose the lowly things of this world and the despised things--…

[29] so that no one may boast before him. [30] It is because of him that you are in Christ Jesus.

All of us need to depend on God, but that truth is easier for some of us to recognize than others. Those who are foolish and weak and lowly and despised are those who more easily recognize that they need to depend upon God everyday. And so those are the kind of people that populate the kingdom of God. That’s the same idea Jesus had in mind when he said,

Matthew 18:3 “Unless you change and become like little children, you will never enter the kingdom of heaven.

A child is completely dependent on his parents and he knows it. In fact, a normal child just assumes that his parents will take care of him. That’s the kind of attitude we need to have toward God. We can’t do it. We don’t have what it takes. We are completely inadequate. But God can do it and he wants us to depend upon him.

[5] Blessed are the meek, for they will inherit the earth.

I’m not a very meek person. I’m more of a “can do” kind of guy.

However, there was one meek moment in my life I can remember: when I was approached about becoming a pastor at this church. I remember saying, “I’m not the guy you’re looking for.” I was persuaded to come anyway. But there have since been many times when I feel completely inadequate for this job. And that’s good, because I am completely inadequate for this job. I hope I never forget that. And I’d like to say thank you to all of you who periodically remind me that I’m completely inadequate to be your pastor. That may sound like sarcasm, but I really believe that even if criticism is unfair or untrue, it can still remind us of the truth that we do not have what it takes. Nor are we meant to. We’re meant to be uncomfortably in over our heads, because that’s when we will be forced to rely on God’s resources and not on our own. Do you feel completely inadequate for what God has you doing? Congratulations!

Conclusion

Congratulations to

the Spiritually Bankrupt
the Deeply Dismayed
and the Completely Inadequate

Why does God allow unpleasant experiences in our lives?

Why does God let us experience terrible sorrows?

Why does he put us into situations that we simply cannot stand, cannot handle, and cannot escape?

Why must we hear that little voice inside us that says, “You’re a miserable failure”?

Because those are the kinds of experiences that expose the thread-bareness of our self-sufficiency. They help us find the end of our own resources and thus they force us to find strength and comfort beyond ourselves.

They drive us to God, which is the only place where we can find true and lasting strength, comfort, and fulfillment.

So the next time something happens to you that brings you great pain, the next time someone reminds you how completely inadequate you are, the next time failure exposes your own spiritual bankruptcy…

Congratulate yourself. The kingdom of heaven is yours.


1 Copyright 2004 by Lewis B. Bell III. This is the edited manuscript of Lesson 1 in the The Kingdom Character series delivered by Chip Bell at Fellowship Bible Church Arapaho in Dallas, TX on January 11, 2004. Anyone is at liberty to use this lesson for educational purposes only, with credit.

Related Topics: Spiritual Life

2. With Liberty and Justice For Me (Matthew 5:6-8)

Related Media

Matthew 5:6-81
January 18, 2004

Introduction

Last Sunday, I began with a question, “Why does God allow bad things to happen to me?” There’s another question that usually goes along with it, particularly when the bad things that happen to me are caused by someone else. Our second disturbing question is, “How can they get away with it? Why doesn’t God make them pay for what they did to me?” People have been asking God that question for thousands of years.

Deep within us, we all long for evildoers to be brought to justice.

Last week I was in court for jury duty. People come seeking justice.

But for some who come to court, the last thing they want is justice.

They know they’re guilty. They know what they deserve and they are in court, not seeking for justice, but hoping for mercy.

One month ago, December 18, in Seattle, Washington, Gary Ridgway, also known as “The Green River Killer” was sentenced for murdering 48 women. Because Ridgway helped police to locate the remains of some of his victims, he was spared the death penalty and instead was sentenced to 48 consecutive life terms. The Associated Press reported:

“The sentencing gave the victims' relatives a chance to confront Ridgway at last. With an eloquence honed by years of grief, they stepped forward and cursed the killer, or forgave him.

The brother (Tim Meehan) of one of the victims said, "It was not your right to decide who lived and who died. …I can only hope that someday, someone gets the opportunity to choke you unconscious 48 times, so you can live through the horror that you put our mothers and our daughters through. ... May God have no mercy on your soul.”

Others lashed out at prosecutors, investigators and the news media.

"I believe we've been sold by the prosecutor for not giving us the justice that we could expect," said the mother (Helen Dexter) of one victim.

But another mother (Kathy Mills), whose 16-year-old daughter was killed, offered Ridgway forgiveness. "You have held us in bondage all these years because we have hated you — we wanted to see you die — but it's all going to be over now. That is, provided we can forgive you. Gary Leon Ridgway, I forgive you. I forgive you. You can't hold me anymore. I'm through with you. I have a peace that is beyond human understanding."

One of the fathers (Robert Rule), said, "Mr. Ridgway, there are people here who hate you. I'm not one of them. I forgive you for what you've done. You've made it difficult to live up to what I believe, and that is what God says to do, and that is forgive, and he doesn't say to forgive just certain people, he says forgive all. So you are forgiven."

Looking inside myself, trying to imagine how I would feel if this horrible man had killed my little girl, I don’t know how these parents could forgive.

I would want to have this man pay for his crimes. I would want to see him dead. I would probably volunteer to pull the switch myself. In fact, I think death is not enough punishment for him. I would like to have him toasting in hell just as soon as we could arrange for it.

As one victim’s daughter (Sarah King) said to Ridgway, "I'm glad you didn't get death. Death is too good for you. Someday you will die and you'll go to that place and you'll get what you deserve."

I saw a Clint Eastwood movie in which the bad guy tries to kill Clint’s daughter. In one scene, as the daughter lay badly injured in a hospital bed, the killer comes in to finish her off. But Clint gets the jump on him and sticks a needle in his neck. The killer, feeling groggy from the poison entering his body, can only manage to get out one word to Clint, begging for his life: “Mercy?” Clint looks at him with that steely Eastwood glare, and, as he injects the remainder of the poison into the killer’s neck, he says, “Mercy? Fresh out.”

You want to know the truth? That’s pretty much how I feel about Gary Ridgway. I want justice. How about you? Are you that kind of person to wants to see someone pay for their crimes? If you are, then Congratulations! The Bible says that you’re just the kind of person that will appreciate the Kingdom of God. Because in the Kingdom of God, justice will be done.

Last week we began a new series, which is part of what I call
“The Jesus Curriculum”, the lessons that Jesus gave his followers while he was here on earth. Today we continue our study of the Sermon on the Mount found in Matthew 5-7. I’ve called this part of the curriculum “The Kingdom Handbook” because essentially, it is a manual for citizens of God’s Kingdom. In other words, an instruction manual for those who want to follow Jesus, the King and be trained by him.

Jesus’ message about the kingdom begins with the characteristics of the kingdom’s citizens. What kind of people belong to God’s kingdom? The answer is surprising.

One might expect the citizens of God’s kingdom to be the best and the brightest, the most noble, the most worthy, the most beautiful, the strongest and the bravest. But instead we find that God’s kingdom belongs to the poor and the nameless. It belongs to those who in this world are outcasts.

As Jesus describes the characteristics of the citizens of God’s kingdom, he uses the word “Blessed.” The first few verses of the Sermon on the Mount are known as “the beatitudes.” They speak of those who are blessed. The word “blessed” means “fortunate” but without the idea of chance; someone who is envied for his condition; someone who should be congratulated.

  • Last week we talked about three kinds of people who are blessed. Three kinds of people who deserve to be congratulated for being so fortunate.
    the Spiritually Bankrupt, those who have nothing worthy of qualifying them for a relationship with God.
  • the Deeply Dismayed, those who are grieved by the pain and suffering of this world which is caused by sin.
  • and the Completely Inadequate, those who recognize that they can’t do it, that they don’t have what it takes.

These are the kinds of people who recognize their insufficiency. They have found the end of their own resources and thus they have been forced to seek for strength and comfort beyond themselves. They have been driven to God, the only place where anyone can find true and lasting strength, comfort, and fulfillment. And because of that, they are to be congratulated.

Title: With Liberty and Justice for Me

Today we move on to the next three beatitudes, three types of people that Jesus says are blessed, three types of people that should be congratulated. Last week we looked at three great needs. This week, we look at three great desires. They all have to do with the issue of justice. If you are among those who have these three desires, then Congratulations! You’re just the kind of person who will appreciate the characteristics of God’s kingdom.

Crying for Justice

Let’s look at the fourth beatitude in verse 6:

[6] Blessed are those who hunger and thirst for righteousness, for they will be filled.

The word “righteousness” often refers to uprightness, doing the right thing, obeying God’s rules. But the same word is also used for what in English we call “justice” and I believe that here that is exactly what Jesus has in mind.

In many places throughout the Bible, God’s people cry out for him to give them justice, to punish those who murder their loved ones, invade their land, steal their possessions, tell them lies, and cheat them in business. God’s people cry out to him and ask him to act on their behalf and bring them justice.

Jeremiah 12:1 You are always righteous, O Lord, when I bring a case before you. Yet I would speak with you about your justice: Why does the way of the wicked prosper? Why do all the faithless live at ease?

Sometimes it seems like people who do evil things will get away with it. But throughout the Bible, God also promises that one-day, justice will be done. No crime will go unpunished. No wrong will go unanswered.

I believe that is the promise in view here.

Are you that kind of person who doesn’t like to see the wicked get away with their crimes? If you are, then Congratulations! The Bible says that you’re just the kind of person that will appreciate the Kingdom of God. Because in the Kingdom of God, the demands of justice will be satisfied.

Acts 17:31 [God] has set a day when he will judge the world with justice by the man he has appointed.

Psalm 9:7-8 The LORD reigns forever; he has established his throne for judgment. [8] He will judge the world in righteousness; he will govern the peoples with justice.

Isaiah 9:6-7 For to us a child is born, to us a son is given, and the government will be on his shoulders. And he will be called Wonderful Counselor, Mighty God, Everlasting Father, Prince of Peace.
[7] …He will reign on David's throne and over his kingdom, establishing and upholding it with justice and righteousness from that time on and forever.

Psalm 45:6 Your throne, O God, will last for ever and ever; a scepter of justice will be the scepter of your kingdom.

2 Peter 3:13 In keeping with his promise we are looking forward to a new heaven and a new earth, the home of righteousness.

There will be justice in God’s kingdom. If you like justice, then Congratulations! That’s just the way God feels. And you’re going to like what you see in God’s kingdom.

[6] Blessed are those who hunger and thirst for righteousness, for they will be filled.

Jesus says that in the kingdom of God, justice will finally be fulfilled. All those who hunger and thirst for justice will be ultimately satisfied by the justice of God’s Kingdom. That means that Gary Ridgway’s crimes will be punished. Adolf Hitler’s crimes will be punished. Sadaam Hussein’s crimes will be punished. Chip Bell’s crimes will be punished.

Oh, no. Wait a minute. Did I just say that I was hungry and thirsty for justice? Maybe I should think about this for minute. However much I want justice for everyone else who’s offended my sensibilities, what I really want for myself is to go free. I want justice when it comes to everyone else. But when it comes to my crimes, what I really want is mercy. It’s a strange combination: liberty AND justice for me.

Unexpectedly Forgiving

Fortunately for me (and fortunately for all of us), God is merciful. And he congratulates all those who reflect his quality of mercy in their own lives.

[7] Blessed are the merciful, for they will be shown mercy.

Mercy is unexpected forgiveness. Justice is a punishment that someone deserves for what they have done wrong. Mercy is unearned. It’s a surprise. It’s forgiveness that someone does not deserve. There is nothing they’ve done to justify it. God forgives your sins, not because you said you’re sorry, not because you’re trying to make up for it. God forgives your sins just because he is merciful. And since God has been merciful to us, he expects us to be merciful toward others.

Congratulations to those who demonstrate mercy, to those who forgive others even though they’ve done nothing to deserve it. Congratulations to the merciful, because that’s just the kind of thing God would do. And if you appreciate mercy, guess what? That’s exactly what you’re going to get in God’s Kingdom.

Jesus tells a story about mercy in

Matthew 18:23-35 "The kingdom of heaven is like a king who wanted to settle accounts with his servants. [24] …A man who owed him ten thousand talents was brought to him.

[25] Since he was not able to pay, the master ordered that he and his wife and his children and all that he had be sold to repay the debt. [26] "The servant fell on his knees before him.

'Be patient with me,' he begged, 'and I will pay back everything.' [27] The servant's master took pity on him, canceled the debt and let him go.

[28] "But when that servant went out, he found one of his fellow servants who owed him a hundred denarii. He grabbed him and began to choke him. 'Pay back what you owe me!' he demanded.

[29] "His fellow servant fell to his knees and begged him, 'Be patient with me, and I will pay you back.' [30] "But he refused. Instead, he went off and had the man thrown into prison until he could pay the debt.

[31] When the other servants saw what had happened, they were greatly distressed and went and told their master everything that had happened. [32] "Then the master called the servant in.

'You wicked servant,' he said, 'I canceled all that debt of yours because you begged me to. [33] Shouldn't you have had mercy on your fellow servant just as I had on you?'

[34] In anger his master turned him over to the jailers to be tortured, until he should pay back all he owed.

[35] "This is how my heavenly Father will treat each of you unless you forgive your brother from your heart."

Why should we show mercy to a criminal that clearly doesn’t deserve it? Because God has been merciful and we didn’t deserve it either. Since God has been merciful to us, we should be merciful to others.

It’s odd that these two qualities should stand side by side in the beatitudes: justice and mercy. They call for opposite responses: one for punishment, the other for liberty. Yet both of these characteristics are qualities of God, and both are qualities that God would like to see replicated in us: the desire for justice and the exercise of mercy.

Shakespeare wrote in The Merchant of Venice:

Though justice be thy plea, consider this,
That in the course of justice, none of us
Should see salvation: we do pray for mercy;
And that same prayer doth teach us all to render
The deeds of mercy.

[7] Blessed are the merciful, for they will be shown mercy.

Absolutely Innocent

The sixth beatitude is found in verse 8:

[8] Blessed are the pure in heart, for they will see God.

The word “pure” means without any contaminant, stain or spot. Here Jesus is saying that those who are citizens of the kingdom are absolutely innocent of anything wrong. Not only is their outward behavior completely perfect, but so is their heart: their innermost thoughts, their motives, their desires, their dreams. They are absolutely innocent through and through.

If you were among the disciples who were listening to Jesus that day on the mountain, you would probably find yourself coming abruptly to a halt at this point. Congratulations to those of you who are spiritually bankrupt, to those deeply dismayed by this world, to those who feel completely inadequate to live life. Congratulations to those of you who long for justice. So far, so good. Most everyone is probably thinking, “Not a problem. That’s me. I’m in the kingdom for sure.”

When we get to congratulations to those who are unexpectedly forgiving, there are probably a few people squirming. “I really need to be more merciful. I’ll have to work on that.”

But when we arrive at the sixth beatitude, it all comes screeching to a halt. Congratulations to you who are absolutely innocent—inside and out—because you are the ones who will see God. Oops! Congratulations to someone, but it isn’t me.

Psalm 24:3-4 Who may ascend the hill of the LORD? Who may stand in his holy place? [4] He who has clean hands and a pure heart.

God’s standard is absolute innocence. Not one spot or blemish is allowed. Do you ever use the 5-second rule at home? You know, if it’s on the ground for 5 seconds or less, then it’s not really dirty, you can stick it in your mouth. Well I don’t know if you ever noticed, but in surgery, there is no 5-second rule. If it touches anything not sterile, then it’s dirty.

That’s the way it is with God’s holiness. He requires absolute perfection.

Hebrews 12:14 without holiness no one will see the Lord.

So much for the congratulations. But wait a minute. There is a way. Because the Bible says that if you are in Christ, then not only are all your sins forgiven, but you have the righteousness of Jesus Christ. If you are in Christ, then you do have a pure heart. In God’s eyes you are absolutely innocent. So congratulations! You will see God after all.

Hebrews 4:16 Let us then approach the throne of grace with confidence, so that we may receive mercy and find grace to help us in our time of need.

It’s through God’s mercy and grace that you have been declared clean. If you are in Jesus, then you are the pure in heart. But wait a minute. What about God’s justice? How can God be a God of justice if he lets me go free? How can God be a God of justice if he lets anybody go free?

Romans 3:25 God presented [Jesus] as a sacrifice of atonement. …He did this to demonstrate his justice.

God can be just and merciful at the same time because of the death of Jesus. The death of Jesus meets the demands of justice. And because of that, God can extend to us his great mercy and forgive our sins.

Jesus alone is pure in heart and because we are in him, we will see God.

[8] Blessed are the pure in heart, for they will see God.

Conclusion

Congratulations to

  • those who are Crying for Justice
  • those who are Unexpectedly Forgiving
  • those who are Absolutely Innocent

because you’re just the kind of people who will appreciate God’s kingdom. In the kingdom, God will bring justice to all, and through his mercy he will proclaim that all who trust Jesus are absolute innocent. Only in God’s kingdom can I experience liberty and justice for me.

Conclusion

The beatitudes are commonly thought of as characteristics that we must strive to attain so that we may qualify for the blessings of the kingdom. But that’s not what Jesus has in mind at all. Rather, the beatitudes are pronouncing God’s blessing on those who have certain inadequacies because that is the kind of people who most need God’s kingdom. And the beatitudes are pronouncing God’s blessings on those who long for certain perfections because that is exactly what the kingdom will bring. But all these people are going to receive the kingdom strictly out of God’s grace, not because they have mastered the Kingdom Character.

When Jesus spoke the beatitudes, he was not setting a new standard of holiness and asking the people to rise to meet it. Rather, this was the introduction to his lesson, designed to meet people right where they were and give them hope that God’s kingdom would satisfy their deepest needs and fulfill their deepest desires no matter how unworthy they might be.

If you will permit me just a little silliness, I’d like to try to express what I think is a modern-day equivalent of the spirit of the beatitudes:

Infomercial

Do you have the feeling that you’re spiritually bankrupt?

  • Are you deeply dismayed by all the unnecessary evil and suffering in this world?
  • Do you sometimes feel completely inadequate to live your life?

Maybe you’re one of the thousands of people who long for the day when all the criminals get what’s coming to them.

  • But for yourself, you’d somehow like to get God to give you another chance.
  • Wouldn’t you like to live in a perfect world?

Well, Congratulations! You’re just the kind of person we’re looking for.

You probably thought all this was impossible. But now there’s a solution to all these problems and more.

It’s God’s Kingdom. That’s right, God’s Kingdom.

Just listen to all these blessings you will receive through this special offer:

  • All your sorrows will be comforted. That’s right, He’ll wipe away every tear from your eye.
  • You’ll receive an inheritance.
  • You’ll also get to live in a society based on absolute justice.
  • At the same time, you’ll be forgiven of everything you’ve ever done.
  • And that’s not all.
  • You’ll actually get to live a perfect life in a perfect world. What could be more perfect than that?
  • Not enough you say? Well, how’s this?
  • You get to see God. That’s right, a personal audience with the creator himself.

You’ve probably heard offers like this elsewhere. You probably have friends who tried to purchase cheap imitations. But God’s Kingdom is the one-and-only original, the genuine article, the only way you can experience all these blessings.

And all this comes with an eternal lifetime guarantee. That’s right. These blessings will last forever! They never run down. They never expire. They never wear out. There’s nothing you can do to destroy them.

You’ve seen the price that others are asking for these blessings.

Well, how much would you be willing to pay to enjoy these blessings in your own heart?

  • Would you give up all the sin in your life?
  • Would you trade everything you own?
  • Would you commit yourself to a lifetime of doing good deeds?

Well, put away your wallets, because right now you can have all these blessings absolutely free! That’s right. You heard me. They are all absolutely, 100% free. God even pays for the shipping and handling.

That’s right with just one incredible payment of someone else’s sinless life, you can have every one of these amazing blessings. And they are all guaranteed forever.

Sounds too good to be true? Just wait.

There’s even more!

Along with this special offer, you also get:

  • eternal life!
  • And you will receive the Holy Spirit who will lead you, comfort you and teach you everyday.
  • You get ultimate fulfillment and a sense of purpose for your life.
  • You get the amazing prayer hotline in case you ever need help.
  • And along with these blessings, you will also receive a special membership in God’s family where you will be encouraged by thousands of others who have become part of God’s Kingdom.
  • That’s not it. As an added bonus offer, if you’re one of the first 100 billion to call, you get a lasting sense of peace and joy to carry with you everyday. Who else can offer you that?

Nowhere else can you get all these amazing blessings for our incredibly low price of absolutely nothing. This offer is not available in stores. In fact, it cannot be purchased anywhere. The only way you can be part of God’s Kingdom is through this special limited time offer. So don’t delay, act now. Don’t send any money.

Just call out this number today, 1-800-I-TRUST-JESUS, and you can begin to enjoy the blessings of God’s Kingdom in your own home this very day. Remember, that’s 1-800-I-TRUST-JESUS. Call him today.

This offer was paid for entirely by God’s Grace.


1 Copyright 2004 by Lewis B. Bell III. This is the edited manuscript of Lesson 2 in the The Kingdom Character series delivered by Chip Bell at Fellowship Bible Church Arapaho in Dallas, TX on January 18, 2004. Anyone is at liberty to use this lesson for educational purposes only, with credit.

Related Topics: Hamartiology (Sin), Spiritual Life

3. Peace without Honor (Matthew 5:9-12)

Related Media

Matthew 5:9-121
February 1, 2004

Introduction

You know, if Jesus were here, I think he’d do things a lot differently. You know the saying, “What would Jesus do?” It makes us stop and think about how Jesus would behave in our situation. Well, I’ve been thinking a lot about that this week, with the Super Bowl coming up and all. And I think that if Jesus was in charge of the Super Bowl, I think he’d do things a lot differently. So, I’ve come up with a list of the

Top Twelve Things Jesus Would Do at the Super Bowl

(one for each of the twelve apostles)

  • Number 12. Throw moneychangers out of the concession stands
  • Number 11. Miraculously provide front row parking for everyone
  • Number 10. New ticket policy: “whosoever will may come”

 

  • Number 9. Grace-oriented pep talk in the locker room
  • Number 8. Encourage each team not to give offense to the other
  • Number 7. Command the waves

 

  • Number 6. Cancel all penalties for players who believe in Him
  • Number 5. Feed the crowd with only 5 hotdogs and 2 bags of peanuts
  • Number 4. Discourage any “Hail Mary” passes

 

  • Number 3. Clothe the cheerleaders
  • Number 2. Promote third-down conversions
  • and the Number 1 thing Jesus would do at the Super Bowl….
    Root for the Cowboys

Ok, I admit it’s a little silly to think about what Jesus would do at the Super Bowl. But it is true that Jesus had a way of thinking about life that was very different than the way we people usually think about life.

The New Testament tells us about the things that Jesus taught his followers as he tried to change their way of thinking to get them to think from God’s perspective instead of from a limited human perspective.

We are exploring his teachings in “The Jesus Curriculum”, a study of the major talks that Jesus gave to his followers. Today we continue our study of the “Sermon on the Mount” found in Matthew 5-7. I’ve called this part of the curriculum “The Kingdom Handbook” because it tells us how things work in God’s Kingdom. It is an instruction manual for those who want to follow Jesus and pattern their lives after his thinking.

Jesus’ message about the kingdom begins with the characteristics of the kingdom’s citizens. There are nine phrases that describe the kind of people that will really appreciate God’s kingdom. They are nine phrases that describe us.

These nine phrases are sometimes called “The Beatitudes” because they each begin with the word “Blessed” and describe how happy you will be when you realize what God’s kingdom is like. The word means someone who should be congratulated. So if you’ve discovered God’s Kingdom, then congratulations! You’re really going to like it.

But the characteristics Jesus describes are a little surprising. You’d think that the citizens of God’s kingdom would be the best and the brightest, the most noble, the most worthy, the most beautiful, the strongest and the bravest. But instead we find that God’s kingdom belongs to the poor and the nameless:

the Spiritually Bankrupt, who have nothing worthy of qualifying them for a relationship with God. Theirs is the Kingdom of Heaven.

the Deeply Dismayed, who are grieved by the pain and suffering of this world which is caused by sin. They will be comforted.

the Completely Inadequate, who recognize that they just can’t do it, that they don’t have what it takes to live life. They are the ones who will inherit the Kingdom.

And we saw that God’s kingdom is going to be particularly satisfying for those who are Crying for Justice because there will be justice.

Those who are Unexpectedly Forgiving will love God’s Kingdom because they will undeservedly find forgiveness.

But the only way both these things can be true is because Jesus has died for our sins, satisfying justice, providing us with forgiveness, and giving us his own perfect righteousness so that we can be Absolutely Innocent and worthy to see God in the Kingdom. Because of Jesus, I really can have both liberty and justice for me.

The first three beatitudes tell us that God’s kingdom meets three great human needs: spiritual bankruptcy, grief, and inadequacy. The second set of three tell us God’s kingdom satisfies three great human desires: justice, forgiveness and innocence.

Title: Peace Without Honor

Today we come to the final set of three beatitudes. They each have to do with relationships between Kingdom citizens and all the other people in the world who do not belong to the Kingdom. Once again we have a paradox, because the citizens of the Kingdom are called to pursue peace with the citizens of the world, but Jesus says that their peaceful overtures will generally be answered with hatred and violence. The life of a Kingdom citizen in this world is a life of peace without honor.

If you are experiencing these three things in your relationships with the people around you, then congratulations! What you are experiencing is normal for a citizen of the Kingdom. That’s exactly the way God’s Kingdom works.

Promoting Harmony

The seventh beatitude is found in Matthew 5:9,

[Matthew 5:9] Blessed are the peacemakers, for they will be called sons of God.

This verse is not about those who are peaceful nor about pacifists, but rather about those who actively try to promote harmony in the world. Making peace is not a passive activity. Sometimes it requires confrontation when we would personally feel more peaceful if we simply ignored the problem and walked the other way. Sometimes making peace requires taking a tough stand and not giving up. Making peace is a pursuit. It is action, not apathy.

A citizen of the Kingdom is a peace peddler, representing Jesus, the Prince of Peace (Isaiah 9:6), representing the God of Peace (Romans 15:33; 16:20; Philippians 4:9; 1 Thessalonians 5:23; Hebrews 13:20). That is why those who promote peace are called “sons of God” because they act just like their Daddy, the one who is the inventor of peace.

There are three aspects of the ministry of peacemaking mentioned in the Bible. First of all, the peace that we promote on earth is peace with God.

Romans 5:1 Since we have been justified through faith, we have peace with God through our Lord Jesus Christ,

We have peace with God. But we are also meant to help others find peace with God.

2 Corinthians 5:18-20 God…has committed to us the message of reconciliation. [20] We are therefore Christ's ambassadors, as though God were making his appeal through us…. Be reconciled to God.

We bring a message to the world we live in. God is not their enemy. He loves everyone and wants to have a relationship with them. Part of making peace is promoting harmony between man and God.

But a second aspect of making peace is to try to get along with people while we’re here on this planet. To me there seems to be a good deal of antagonism these days between the American church and the people of the world. There’s a lot of “us vs. them”. But listen to what the Bible says about the desired relationship between the church and the people of the world.

Hebrews 12:14 Make every effort to live in peace with all men.

1 Thessalonians 4:11-12 Make it your ambition to lead a quiet life, to mind your own business and to work with your hands, just as we told you, [12] so that your daily life may win the respect of outsiders.

The third aspect of making peace is promoting harmony in the church. Even in the healthiest church, there will be conflicts and clashes. A peacemaker is one who works for reconciliation and harmony between brothers and sisters in the fellowship.

1 Peter 3:8-11 all of you, live in harmony with one another; … [9] Do not repay … insult with insult, but with blessing, … [11] seek peace and pursue it.

Romans 14:19 Let us therefore make every effort to do what leads to peace and to mutual edification.

Romans 12:16-18 Live in harmony with one another. …[18] If it is possible, as far as it depends on you, live at peace with everyone.

Colossians 3:15 Let the peace of Christ rule in your hearts, since as members of one body you were called to peace.

Are you a peace promoter? Do your words and actions bring people into harmony with God, with you and with each other? If so, then congratulations! You are just like your Daddy, the God of Peace. You are experiencing one of the qualities that characterizes life in God’s kingdom.

Mistreated for Doing Right

Unfortunately, however, your attempts to promote peace will not always be met in kind. The eighth beatitude is in Matthew 5:10,

[Matthew 5:10] Blessed are those who are persecuted because of righteousness, for theirs is the kingdom of heaven.

I seem to remember someone telling me that doing the right thing has its own reward. But sometimes, doing the right thing will bring you trouble. That’s the message behind this beatitude. If you have ever been mistreated because you did the right thing, then congratulations! You have just experienced another one of the qualities that characterizes life in God’s kingdom. However strongly you try to promote harmony in your relationships with those outside the kingdom, you are destined to experience their hatred, their abuse and perhaps even their violence.

When we read the word “persecution” in the Bible, we usually think of people who have been tortured or even executed because of their faith.

When I was growing up I remember reading the stories of people like Richard Wurmbrand, a pastor behind the Iron Curtain, who was imprisoned and tortured because of his faith. And I read about Jim Elliot, the missionary to South America who was killed by the Auca Indians.

When Julie became a Christian in college, she read Foxe’s book of Martyrs, which tells of people down through history who have been killed only because they would not renounce their faith in Jesus. Although we don’t experience that kind of persecution here in the United States, there are many countries in the world today where followers of Jesus are still murdered only because they are Christians. Many parts of the world are completely antagonistic toward Christianity.

The Bible says that is what we should expect. Why we don’t experience it in the United States, I don’t really understand. I think that we would do well to expect though that in our lifetime we may yet see that kind of persecution in our own country.

But in the meantime, I think it is important to understand that though the word used here for “persecute” certainly includes torture and murder, it is not limited to the most extreme forms of persecution.

diwkw, means “to pursue”, to chase after something or someone. In this context, it is pursuing someone to hunt them, mistreat them or hassle them. While persecution can be torture, it could also be teasing someone, discriminating against someone, or refusing to tolerate them. In Greek, it was used in the legal profession as a technical term which meant “to accuse” someone. The English word means to treat someone in a cruel or unfair way.

This beatitude says that if you are mistreated because you did the right thing, then you are to be congratulated. Your mistreatment is evidence of your citizenship in God’s kingdom.

2 Timothy 3:12 Everyone who wants to live a godly life in Christ Jesus will be persecuted.

Waiting tables. Serving alcohol. Once I refused to serve a customer because he was drunk. When I went back for a job, my manager wouldn’t hire me. He told me it was because as I Christian I had sometimes refused to serve people alcohol.

1 Peter 3:14, 17 If you should suffer for what is right, you are blessed. … [17] It is better, if it is God's will, to suffer for doing good than for doing evil.

Another time, I was specifically asked by my boss to keep my eyes open to see if anyone was taking food from the restaurant. When she asked me if any food had been taken, I told her what had happened. She fired one of my co-workers and that night he came back to the restaurant and threatened to kill me.

If you do the right thing, sometimes you will suffer for it. That’s OK. In fact, congratulations! That’s part of being a citizen in the Kingdom.

Acts 17 tells the story of Paul’s trip to the Greek city of Thessalonica. He was there only three weeks but during that time several people trusted Jesus and formed a church. However, at the end of the three weeks, citizens opposed to Christianity started a riot and arrested some of the new believers, accusing them of treason against Caesar. They were released after posting bond. A few months later, Paul wrote a letter to the newly formed church.

1 Thessalonians 3:2-4 We sent Timothy… to strengthen and encourage you in your faith, [3] so that no one would be unsettled by these trials. You know quite well that we were destined for them.

[4] In fact, when we were with you, we kept telling you that we would be persecuted. And it turned out that way, as you well know.

Experiencing persecution for doing the right thing is a normal part of being a follower of Jesus. If you’re lucky enough to be persecuted because of righteousness, congratulations!

Mistreated for Jesus

The ninth and final beatitude is a different, but very similar point.

[Matthew 5:11] "Blessed are you when people insult you, persecute you and falsely say all kinds of evil against you because of me.

Notice the differences between verses 10 and 11. For one thing, the mistreatment has broadened. Verse 10 mentions “persecution”. Verse 11 has a whole menu of mistreatment: insults, persecution, and slander (spreading lies about someone that damages their reputation). We have added to persecution two forms of verbal attack. Insult has the idea of saying something damaging directly to someone. Slander has the idea of saying untrue, smears about you to someone else.

The second difference is a cause of the mistreatment. In verse 10, it is mistreatment because of doing the right thing. But in verse 11, it is mistreatment because of Jesus.

In the same way that a follower of Jesus will imitate Jesus by promoting peace, a citizen of God’s Kingdom will also imitate Jesus in another way. Just as he was mistreated, so will we be mistreated.

John 15:18-21 If the world hates you, keep in mind that it hated me first. ... If they persecuted me, they will persecute you also. …They will treat you this way because of my name.

But suffering mistreatment because of Jesus is an honor.

1 Peter 4:14-16 If you are insulted because of the name of Christ, you are blessed.

(same word).

About a year ago, the Barna Research Group took a poll in which they asked non-Christians how they felt about certain types of people. The Dallas Morning News reported “Of the 11 people groups whose image was evaluated, evangelicals came in 10th, trailing lesbians and lawyers but beating out prostitutes.” (Bill, if it’s any consolation, lawyers came out more favorable than Republicans.) Barna’s research shows that 22% of non-Christians have a generally favorable impression of evangelicals. About the same amount have a generally unfavorable impression of evangelicals. And more than half are either somewhere in between or they don’t know. The younger and more educated the person, the less likely they were to have a favorable impression of evangelicals.

Barna attributes a lot of this to ignorance. “The survey data suggest that people form impressions of others on the basis of one-dimensional images created and communicated by the mass media. …‘People’s impressions of others are often driven by incomplete, inaccurate or out-of-context information conveyed under the guise of objectivity when, in fact, there is a point-of-view being advanced by the information source.’”

I think we’ve all heard reports on the news or seen characters in a movie that portrayed believers as backward, stupid, gullible, nave, prudish, judgmental, insensitive and cruel. When these insults are not true and they are delivered as a result of our association with Jesus, then we should congratulate ourselves. Because we have just experienced some-thing that characterizes life in God’s kingdom and confirms our citizenship. We live in a world that is becoming increasingly intolerant of anyone who believes in absolute truth and will dare to advocate a moral position. When that behavior is slandered, you are being persecuted for following Jesus. Congratulations!

But you know, one of the problems with this whole thing is that sometimes when Christians are criticized as backward, stupid, gullible, nave, prudish, judgmental, insensitive and cruel, it’s because they are!

Peter goes on in the same passage to say that not all suffering is noble.

[15] If you suffer, it should not be as a murderer or thief or any other kind of criminal, or even as a meddler. [16] However, if you suffer as a Christian, do not be ashamed, but praise God that you bear that name.

Sometimes we suffer because we bring it on ourselves. It makes me cringe when I hear a born again leader in government or a publicly known church leader open their mouths and say backward, stupid, gullible, nave, prudish, judgmental, insensitive and cruel things about other people. That kind of behavior justly brings the ridicule of the world and that is not being persecuted because of doing the right thing or because of having a relationship with Jesus. Again, Peter says,

1 Peter 3:15-16 Always be prepared to give an answer to everyone who asks you to give the reason for the hope that you have.

But do this with gentleness and respect, [16] keeping a clear conscience, so that those who speak maliciously against your good behavior in Christ may be ashamed of their slander.

Providing that the insults, the persecution and the slander are really because of Christ and not because we deserve it, this kind of mistreatment is actually cause for celebration: Jesus goes on in verse 12,

[12] Rejoice and be glad, because great is your reward in heaven, for in the same way they persecuted the prophets who were before you.

If you are being insulted, persecuted or slandered because of Jesus, congratulations! You’re in good company. Many have gone before you who endured the same experiences because they too were following God, trying to do the right thing and proclaiming the message of peace. What awaits both them and us is a great reward: the Kingdom of God.

Hebrews 11 tells the stories of some of these men and women who believed God and suffered for it, looking forward to the reward that awaits them.

Hebrews 11:13-16 All these people were still living by faith when they died. They did not receive the things promised; they only saw them and welcomed them from a distance.

And they admitted that they were aliens and strangers on earth. [14] People who say such things show that they are looking for a country of their own. …

[16] they were longing for a better country--a heavenly one. Therefore God is not ashamed to be called their God, for he has prepared a city for them.

Conclusion

Are you promoting harmony? Are you also being mistreated either because you’re doing right or just because you belong to Jesus?

If so, then congratulations! You are a citizen of the kingdom. Don’t worry. Be happy. Because the kingdom awaits. Your reward is great and it’s worth whatever you have to endure while we’re here on our layover on planet earth.


1 Copyright 2004 by Lewis B. Bell III. This is the edited manuscript of Lesson 3 in the The Kingdom Character series delivered by Chip Bell at Fellowship Bible Church Arapaho in Dallas, TX on February 1, 2004. Anyone is at liberty to use this lesson for educational purposes only, with credit.

Related Topics: Spiritual Life

Pages