MENU

Where the world comes to study the Bible

6. Pagar Sepanjang Jalan

Suatu kenyataan yang muncul saat kita ingin mengikuti teladan Tuhan sebagai orangtua –kita memiliki nature dosa yang tidak Tuhan miliki. Walau kita ingin mengasihi anak kita seperti kasih Tuhan, membuat teladan seperti yang Tuhan lakukan, dan dengan sabar menanamkan Firmannya kedalam hidup mereka seperti keinginanNya, mereka tetap melakukan hal yang mengganggu kita dan kita sering berespon secara kedagingan.

Saat mereka tidak hati-hati atau tidak teratur, kita bereaksi dalam kemarahan karena kerja tambahan yang mereka berikan pada kita. Apakah itu sepatu yang kotor, susu yang tumpah, atau ratusan gangguan lainnya, setiap orangtua pernah merasakan pengalaman marah besar terhadap anak mereka. Saat mereka tidak hormat dan tidak taat, kita sering membalas dengan kemarahan besar karena otoritas dan harga diri kita terancam. Saat mereka berlaku tidak pantas dihadapan teman kita, kita memarahi mereka dengan geram karena reputasi kita dipertaruhkan. Kita tahu tindakan kita tidak kasih dan egois, menghancurkan bagi anak kita, dan mematikan kehangatan dan situasi bahagia yang ingin kita pertahankan dalam rumah. Tapi kita tidak bisa menolong diri kita.

Kita mungkin secara tidak sadar mencoba membuktikan kasih kita dengan mengganti tindakan kita yang tidak kasih. Sebagian orangutan menjadi terlalu memanjakan. Mereka memberikan semua yang diinginkan anaknya. Dia menjadi malas, tidak bertanggung jawab, dan tidak berterima kasih, menunjukan sikap yang aneh sepertinya dunia berhutang segalanya sedang dia tidak bertanggung jawab pada siapapun. Itu jelas bukan kasih.

Orangtua yang lain menjadi terlalu protektif. Mereka menutupi anak mereka dari setiap masalah dan kesulitan hidup. Mereka bahkan mencoba melindungi dia dari akibat tindakannya yang tidak bertanggung jawab dengan menolak mempertimbangkan apa yang guru dan temannya katakan tentang dia, atau dengan membelanya saat dia melakukan kesalahan dan mencoba mengeluarkannya dengan mudah. Prilaku anak mereka merupakan cermin menyedihkan dari diri mereka, mereka sulit menghadapi kesalahan anak mereka. Terlalu protektif merupakan imitasi kejam dari kasih sehingga anak menjadi sangat kurang dipersiapkan untuk menghadapi realitas hidup.

Orangtua lainnya menjadi terlalu longgar, membiarkan anak mereka melakukan hampir semua yang dia inginkan bahkan jika itu melanggar hak orang lain. Jadi dia menjadi tidak disiplin, tidak ada pengertian, dan suka bermusuhan, membuat hidup orang lain yang pernah bersama dia jadi tidak menyenangkan. Terlalu longgar bukan kasih. Kenyataannya, hal itu berlawanan dengan kasih yang kita lihat dari Firman Tuhan.

Walau kasih Tuhan bagi kita tidak terbatas (Eph. 3:17-19), itu membatasi tindakan kita. Setelah mengajarkan kita bahwa kasih kita pada Tuhan tumbuh dari kasihNya pada kita, Rasul Yohanes menulis, “Sebab inilah kasih kepada Allah, yaitu, bahwa kita menuruti perintah-perintah-Nya. Perintah-perintah-Nya itu tidak berat” (1 John 5:3, KJV). Hubungan kasih antara Bapa dan kita membuatnya menetapkan batas tindakan kita. Dia tahu yang terbaik bagi kita, dan dalam kasih setianya dia menuntut kita untuk taat..

Jika ini cara Tuhan memperlakukan anakNya, maka kita harus mengikuti teladannya. Kasih kita pada anak tidak mengijinkan mereka bebas seluruhnya. Kasih menetapkan batasan. Batasan ini menjadi maksud utama dalam Proverbs 22:6, salah satu ayat terkenal dalam Alkitab tentang memelihara anak: “Didiklah orang muda menurut jalan yang patut baginya, maka pada masa tuanyapun ia tidak akan menyimpang dari pada jalan itu” (KJV).

Banyak hal telah ditulis tentang ayat ini dan tidak semua penafsir setuju akan artinya. Walau kata kerjanya diterjemahkan “melatih” itu sering diartikan “dedikasi” dalam PL, makna utama dan secara literalnya “memaksakan, membuat sempit.” Dengan kata lain, Tuhan menyuruh kita untuk menyempitkan anak kita, batasi mereka dijalan yang dia ingin mereka tempuh. Anak tidak selalu tahu arah yang benar, jadi kita membuat pagar pembatas –tebal, tinggi dikedua sisi jalur –yang membatasi mereka, membuat mereka tetap di jalan yang benar. Jika kita melakukan ini dengan benar diawal hidup mereka, mereka akan bertumbuh dengan menyesuaikan diri dengan itu, menjadi orang dewasa yang punya disiplin diri. Saat kami tinggal di Fort Worth, Texas, kami mengunjungi taman botani disana ada maze dengan pembatas yang tebal. Jika kami tetap diantara pembatas kami selalu keluar ditempat yang tepat. Demikian juga, Tuhan ingin kita membatasi anak kita sehingga mereka menjadi benar.

“menurut jalan yang patut baginya” secara literal berarti “upon the mouth of his way.” Itu menunjukan gambaran sekelompok ternak melewati pintu masuk yang sempit. Sebagian berkata itu berarti “sesuai dengan jalannya,” yaitu sesuai dengan kemampuan mental dan emosi anak disetiap tahap perkembangannya, atau konsisten dengan karakteristik uniknya. Walau kalimat itu bisa berarti “sesuai dengan jalannya,” dalam hal ini arti itu membuat setengah ayat berikut menjadi tidak ada artinya. Dari hal spesifik itu, bukankah dia akan pergi saat dewasa? Kita jelas tidak mau dia mendapatkan tingkat kedewasaan emosi dan mental yang rendah atau karakteristik yang tidak baik. Kita ingin dia bertumbuh. Tapi ayat ini berkata bahwa jalan yang kita buat untuknya sejak kecil merupakan jalan yang sama saat dia dewasa. “Jalan yang patut baginya” lebih menunjuk pada keinginan Tuhan akan cara hidupnya. Itu merupakan tanggung jawab kita untuk mengatur prilakunya saat dia masih kecil sehingga dia akan belajar pola kebiasaan disiplin diri dan tunduk pada otoritas. Saat dia tua dia mampu menjaga disiplin diri itu dan menundukan dirinya pada otoritas Tuhan.

Anak kecil tidan mampu mengatur prilaku mereka sendiri dengan tepat. Mereka tidak memiliki pengalaman yang cukup untuk mengetahui apa yang terbaik bagi mereka. Sebagai contoh, Tommy Toddler tidak tahu apa yang bisa membuat dia merasa sakit atau cedera badan, jadi kita harus memberikan batasan padanya. Kita tidak mengijinkannya meletakan tangan diatas panggangan. Dia mungkin belajar sesuatu tentang guna panggangan dengan cara itu, tapi dia juga bisa melukai tangannya. Jadi kita dengan tegas mendesak dia untuk taat pada kita. Kita mengajar dia, mendidik dia, membuat batasan kepadanya dijalan yang benar, tidak ingin dia keluar dari batasan itu. Kasih kita menjauhkan dia dari kerusakan.

Kasih kita juga menjauhkan dia dari pola belajar yang membawa dia pada ketidakbahagiaan hidup sesudah itu. Sebagai contoh, kita tahu bahwa merengek untuk mendapatkan keinginan sendiri akan membawa kepedihan dalam hubungannya dengan orang lain. Jadi kasih kita tidak memperbolehkan dia melakukan caranya yang egois dalam meminta suatu hal. Bahkan seorang anak kecil yang telah dibesarkan dengan baik mengerti prinsip ini. Seorang gadis kecil membuat ibunya marah disupermarket, berteriak dan menangis, menuntut satu hal ke hal yang lain. Brenda kecil, melihat hal itu dengan sedikit muak dan berkata pada ibunya, “ibu, perempuan itu tidak akan membiarkan anak kecil itu bertindak seperti itu jika dia mengasihinya.”

Jika pendidikan sejak awal sudah tepat, kita bisa memberikan anak kita lebih banyak kebebasan dan mengijinkan mereka untuk membuat lebih banyak keputusan saat mereka lebih dewasa. Tapi kasih tetap membuat batas. Umumnya lebih mudah berkata “ya” keremaja daripada “tidak.” Tapi kasih menuntut beberapa “tidak” dan kasih mau menanggung akibat tidak menyenangkan dari “tidak” itu jika ada kepastian keuntungan jangka panjang dari kata itu..

Dunia secara menjijikan sudah salah mengartikan arti dari kasih dengan ekspresi psikologi anak yang tidak dibatasi. Kasih Tuhan menetapkan batas, dan keuntungan metode ini jelas. Itu cara Tuhan memberikan rasa aman pada anak. Meletakan seorang anak dalam taman berpagar yang familiar dengan beberapa mainan akan memerikan dia rasa aman walau ada mobil ngebut disekitarnya. Tapi meletakan dia sendirian disuatu kota besar dengan kebebasan berkeliling kemanapun dia suka akan mengubah rasa amannya menjadi terror. Anak ingin batasan, walau mereka tidak memahami sepenuhnya perasaan mereka. Natur berdosa mereka menuntut kebebasan melakukan apapun yang mereka mau. Tapi mereka dibingungkan dan terganggu saat mereka terbawa lebih dari yang seharusnya. Anak yang tidak terkontrol jarang bahagia. Mereka merasa tidak dikasihi dan tidak nyaman.

Remaja tidak jauh berbeda dalam hal ini. Kebanyakan dari mereka mengeluh tentang pembatasan yang dibuat, tapi sebagian remaja pemberontak yang sudah melakukannya mengakui, “saya harap orangtua saya cukup perhatian kepada saya dan membuat beberapa aturan dan tetap menjalankannya.” Anak lain yang melarikan diri dan menikah untuk menghindari pembatasan orangtua mereka berharap adanya wasa keamanan dalam rumah. Orang muda sering tidak taat untuk menguji kasih orangtua mereka, untuk melihat apakah orangtua mereka cukup memperhatikan mereka dengan pembatasan. Bahkan disaat pemberontakan, mereka tidak bisa mengerti kenapa orangtuanya membiarkan mereka bertindak seperti itu jika orangtua benar-benar mengasihi mereka.

Keuntungan lain dari cara Tuhan tentang otoritas. Tuhan ingin orang Kristen tunduk pada otoritas pemerintah (Rom. 13:1). Tapi ketaatan dipelajari dalam rumah melalui tunduk pada otoritas orangtua. Seorang anak yang berlaku sesukanya dirumah akan menghadapi suatu dunia yang tidak mengijinkan mereka bertindak sesuka mereka, ada hukum yang membatasi prilakunya untuk menjaga hak oranglain. Jika dia berkeras melakukan sesuka dia, dia akan membuat dirinya sengsara. Sebagian besar mereka yang secara terbuka memberontak terhadap otoritas pemerintah tidak pernah diajar untuk taat dirumah.

Lebih penting lagi, Tuhan ingin kita tunduk pada otoritasNya (James 4:7). Salah satu alasan banyak orangmuda menolak Firman Tuhan dan kehendak Tuhan dalam hidup mereka adalah mereka tidak pernah diajar taat pada perkataan dan kehendak orangtua mereka. Ketaatan pada orangtua merupakan ketaatan pada Tuhan. “Hai anak-anak, taatilah orang tuamu di dalam Tuhan, karena haruslah demikian” (Eph. 6:1, TLB).

Meletakan batasan memiliki dampak menguntungkan. Itu menghilangkan beban berat baik pada orangtua dan anak. Sebagian anak-anak bingung karena mereka tidak tahu apa yang diharapkan pada mereka. Prilaku tertentu diterima hari ini tapi kemudian dihari berikut membuat orangtua marah, dan anak tidak tahu bagaimana caranya. Itu akan menjadi kelegaan bagi mereka untuk mengetahui ada aturan tertentu yang harus ditaati. Saya bertanya sekitar 35 mahasiswa untuk mengetahui pemikiran mereka tentang pendidikan saat kecil. Seorang muda berkata, “Saya tahu dimana batasan diletakan dan orangtua saya menetapkan itu. Saat saya melanggarnya, saya tahu apa yang akan terjadi. Dan itu membuat saya tahu kalau mereka peduli.”

Saya menemukan kalau orangtua sering bertindak berlebihan pada prilaku anak mereka karena mereka sendiri tidak pasti apakah akan mengijinkan prilaku itu atau tidak. Seorang ibu yang kejam berkata, “saya tidak tahu apakah akan membiarkan Kenny melompat-lompat ditempat tidur atau tidak.” Ketidakpastiannya membuat dia makin tajam dan berubah-ubah, dan membuat rumahnya bergolak terus. Membuat keputusan yang pasti akan menghilangkan ketegangan itu. Cara Tuhan selalu terbaik. Jika batasan tidak jelas dalam rumah anda, sudah saatnya membuatnya.

Tapi saat anda membuatnya, ada beberapa hal yang perlu diingat. Pertama, usahakan aturan itu seminim mungkin dan masuk akal. Sebagian orangtua membuat aturan seperti membuat undang-undang. “Baik bagi mereka mengetahui tanda-tandanya,” kata mereka. “Mereka perlu tahu siapa bosnya disini.” Prilaku seperti itu tidak mengajar anak untuk tunduk; itu mengakibatkan pemberontakan. Itu sering ditemukan dalam orangtua yang tidak nyaman yang membutuhkan dorongan bagi ego mereka sendiri. Apakah anda memperhatikan betapa baiknya Tuhan memperlakukan kita? Rasul Yohanes sudah mengajarkan kita bahwa mengasihi Tuhan berarti taat pada perintahnya. Tapi kemudian dia menambahkan, “Perintah-perintah-Nya itu tidak berat” (1 John 5:3b, NIV). Tuhan Yesus sendiri berkata, “Marilah kepada-Ku, semua yang letih lesu dan berbeban berat, Aku akan memberi kelegaan kepadamu. Pikullah kuk yang Kupasang dan belajarlah pada-Ku, karena Aku lemah lembut dan rendah hati dan jiwamu akan mendapat ketenangan. Sebab kuk yang Kupasang itu enak dan beban-Kupun ringan.” (Matt. 11:28-30, TLB).

Kehidupan Kristen tidak menjemukan. Itu tidak dibuat untuk memberatkan kita dan mematahkan semangat kita dengan aturan yang tidak perlu. Itu suatu kuk yang pas, disesuaikan dengan kebutuhan kita. Dan apapun bebannya diterangi melalui kesadaran kasih Tuhan atas kita. Kita perlu mengikuti teladannya. Rasul Paulus mengetahui kalau para bapa memerlukan nasihat ini. “Dan kamu, bapa-bapa, janganlah bangkitkan amarah di dalam hati anak-anakmu . . . .” (Eph. 6:4, NIV). “Hai bapa-bapa, janganlah sakiti hati anakmu, supaya jangan tawar hatinya” (Col. 3:21, NIV). Firman Tuhan tidak memberikan tempat bagi dictator yang sering disalah artikan oleh para ayah dengan kepemimpinan. Mereka bingung kenapa anak mereka menjadi pahit dan memberontak saat tuntutan mereka tidak masuk akal dan tidak adil, dan prilaku mereka tidak kasih. Menetapkan batas bukan penyembuh ajaib. Itu harus dilakukan dengan cara yang tepat, seperti Tuhan lakukan.

Itu mungkin ide yang baik untuk mengusahakan hanya beberapa aturan saja, cukup untuk melindungi anak secara fisik dan kerohaniannya, melindungi hak orang lain, dan menjaga kegiatan rumah tetap baik. Itu masuk akal, untuk mengharapkan anak sudah dirumah saat waktu makan malam. Ketidakhadirannya akan membawa ketidaknyamanan setiap anggota keluarga. Masuk akal mengharapkan seorang remaja untuk mengendarai mobil dengan hati-hati. Hidup orang lain dalam bahaya, demikian juga dengan dirinya. Tapi karena banyak hal dimana kehendak anak kita harus sangat hormat pada kita, kita harus menghindari mempermasalahkan hal yang tidak penting. Kita akan berkata “tidak” cukup sering, jadi kenapa memikirkannya dan yakin kalau hal itu cukup penting sebelum membuat penilaian. Itu menghindari kita dari perselisihan yang menghancurkan keindahan rumah. Kita sebagai orangtua sering membuat hal kecil menjadi besar dan membesar-besarkan bahaya. Kita bisa memberikan keleluasaan dalam hal kerapian ruangan mereka, gaya pakaian mereka, dan tempat mereka pergi bersama teman. Terlalu menekan dan terlalu protektif, hanya menyebabkan bahaya lain yang meledak tidak pada tempatnya suatu saat nanti.

Mengusahakan aturan tetap minimum dan tetap masuk akal akan menghilangkan masalah lainnya –tidak mungkin memaksakan aturan yang berlebihan. Aturan yang tidak perlu menghasilkan ketegangan dan pergolakan yang sama dengan kalau tidak ada aturan. Khususnya dengan anak kecil, lebih baik aturannya sedikit, dan saat mereka sudah melakukannya, lanjutkan dengan yang lain.

Kedua, yakinkan kalau anak mengerti aturannya dan kenapa harus ada aturan itu. Inilah cara Tuhan memperlakukan kita. Dalam Firmannya dia menjelaskan tanggung jawab kita padanya. Demikian juga, kita perlu memberitahu anak kita secara spesifik batasan yang ada. Kita tidak bisa berasumsi kalau mereka akan bertindak tepat jika mereka tidak tahu apa yang diharapkan. Saya takut sebagian anak dipukul karena melakukan hal yang mereka tidak tahu kalau mereka salah, dan itu hanya menimbulkan permusuhan.

Ada perbedaan pendapat apakah kita harus menjelaskan kepada anak alasan aturan itu ada. Sebagian berkata anak perlu belajar mempertanyakan mengapa harus taat perintah kita, tanpa atau dengan alasan. Itu benar. Tapi sejalan dengan waktu anak kita menjadi lebih pintar dan dewasa, dan semakin penting bagi mereka untuk tahu alasannya. Saat Tuhan menuntut respon tertentu dari kita terhadap Firmannya, dia biasanya menjelaskan kenapa. Sebagian orang muda Kristen tersesat karena orangtua mereka menuntut ketaatan yang buta dan tidak perlu dipertanyakan terhadap rutinitas dan standar dimana alasannya tidak pernah diberikan. Pertanyaan mereka dibalas dengan permusuhan, “karena saya mengatakan begitu.” Itu umumnya dikatakan untuk menutupi kemalasan dan menghina kepintara remaja. Dan rasa hormat merupakan factor penting untuk menjaga jurang pemisah antar generasi tidak jauh.

Mungkin juga menolong dengan membiarkan seorang anak tertua atau remaja membantu dalam pembuatan aturan keluarga. Itu membuatnya menjadi bagian dari tim daripada orang luar yang selalu disuruh. Dan itu menjadi waktu yang baik untuk membahas alasan aturan itu ada dan akibat kalau melanggarnya. Jika dia membantu menegakan aturan, mengetahui kenapa itu ada, dan apa yang akan terjadi kalau dilanggar, dia akan lebih mau bekerja sama.

Disiplin yang konsisten bukan jalan yang mudah. Semua itu perlu waktu, kesabaran, banyak pemikiran, berjalan dekat dengan Tuhan. Jika kita melihat menjadi orangtua suatu yang mengganggu daripada keistimewaan, kehidupan keluarga kita tidak pernah meningkat. Tapi jika kita mau memberikan waktu dan tenaga yang diperlukan, hasilnya akan sesuai dengan itu. Hai anakku, jika hatimu bijak, hatiku juga bersukacita. Jiwaku bersukaria, kalau bibirmu mengatakan yang jujur. .. Ayah seorang yang benar akan bersorak-sorak--yang memperanakkan orang-orang yang bijak akan bersukacita karena dia(Prov. 23:15, 16, 24, 25, TLB). Pertimbangkan alternatifnya, “Anak yang bebal menyakiti hati ayahnya, dan memedihkan hati ibunya” (Prov. 17:25, TLB). Apakah ada kebingungan tentang apa yang seharusnya anda lakukan? Kenapa tidak melakukan hal ini dengan serius dan mulai menetapkan batasan bagi anak anda?

Related Topics: Christian Home

Report Inappropriate Ad