MENU

Where the world comes to study the Bible

4. Tidak Pernah Puas!— Kisah Yakub dan Rahel

Terakhir kita melihat Yakub dari Bersheba untuk menyelamatkan diri, lari dari pembalasan saudaranya Esau. Dia belum jauh saat dia belajar kalau Tuhan bersamanya. Pesan itu datang dalam bentuk mimpi tentang tangga yang menjulang dari surgat kebumi. Tuhan berdiri dipuncak tangga dan berkata pada Yakub, “Sesungguhnya Aku menyertai engkau dan Aku akan melindungi engkau, ke manapun engkau pergi, dan Aku akan membawa engkau kembali ke negeri ini, sebab Aku tidak akan meninggalkan engkau, melainkan tetap melakukan apa yang Kujanjikan kepadamu.” (Gen. 28:15). Yakub menyebut tempat itu Bethel, berarti “rumah Tuhan.”

Dengan janji kehadiran Tuhan, Yakub menuju ke Haran, tanah keluarga ibunya. Itu merupakan perjalanan yang jauh dan sepi. Dia mendekat kekota dengan perasaan lelah, kaki sakit, dan tidak yakin kemana akan pergi. Dia menemukan sumur dan istirahat. Ada beberapa gembala disekitar sumur, jadi Yakub memulai pembicaraan dengan mereka: “Bertanyalah Yakub kepada mereka: Saudara-saudara, dari manakah kamu ini? Jawab mereka: Kami ini dari Haran. Lagi katanya kepada mereka: Kenalkah kamu Laban, cucu Nahor? Jawab mereka: Kami kenal. Selanjutnya katanya kepada mereka: Selamatkah ia? Jawab mereka: Selamat! Tetapi lihat, itu datang anaknya perempuan, Rahel, dengan kambing dombanya.” (Gen. 29:4-6).

Yakub berbalik dan melihatnya, dan itu jelas cinta pada pandangan pertama. Dia seorang gadis yang cantik, “elok sikapnya dan cantik parasnya” (Gen. 29:17). Dan matanya—betapa indahnya kedua mata itu! Karena itu dibandingkan dengan kakaknya Lea, yang tidak ada pancaran mata, maka keduanya pasti gelap dan berkilap, sangat indah.

Yakub terkesan—mungkin terlalu terkesan. Kita merasa kalau dia begitu terkesan oleh keindahan Rahel sehingga gagal melihat kekurangannya atau bahkan mempertimbangkan kehendak Tuhan dalam hubungannya dengan Rahel. Dan sebagai pekerja yang cerdas, dia langsung melakukannya. Dia mengingatkan para gembala bahwa waktu merumputnya sudah hilang dan mereka harus memberi minum kawanan mereka dan mengembalikannya selagi masih siang, mungkin itu rencana menyingkirkan mereka agar dia bisa bicara dengan Rahel berduaan. Tapi para gembala memiliki persetujuan bersama kalau mereka tidak akan menggulingkan batu itu kembali kemulut sumur sampai semua kawanan sudah terkumpul (Gen. 29:7, 8).

“Selagi ia berkata-kata dengan mereka, datanglah Rahel dengan kambing domba ayahnya, sebab dialah yang menggembalakannya. Ketika Yakub melihat Rahel, anak Laban saudara ibunya, serta kambing domba Laban, ia datang mendekat, lalu menggulingkan batu itu dari mulut sumur, dan memberi minum kambing domba itu” (Gen. 29:9, 10). Yakub mungkin orang rumah tapi dia tidak lemah. Dia memindahkan batu yang biasanya butuh beberapa orang untuk menggerakannya, dan memberi minum semua domba Rahel. Bukankah dia bisa pamer sedikit?

Selanjutnya kita membaca, “Kemudian Yakub mencium Rahel serta menangis dengan suara keras” (Gen. 29:11). Emosi saat itu membuat dia seperti itu. Bimbingan Tuhan, kesenangan bertemu dengan saudara perempuannya yang cantik, masa depan yang bisa didapat—semua memenuhi hatinya sehingga dia menangis. Budaya kita merengut melihat pria mengekspresikan emosinya seperti ini, tapi dengan jujur menyatakan perasaan bisa menghasilkan kesehatan emosi yang lebih besar dan kestabilan perkawinan.

Kelihatannya percintaan ini berawal sangat cepat. Gadis setempat yang cantik dan anak laki-laki baru dikota saling bertemu. Tapi dari pertama kita meragukan pasangan itu. Kita tahu bahwa suatu hubungan yang semata didasarkan oleh ketertarikan fisik sangat rentan. Hollywood memberikan kita contoh nyata tentang hal ini. Dan kegagalan pernikahan dari pahlawan sepakbola dan seorang putri menunjukan hal ini. Mereka bisa membuat pernikahannya berhasil, tapi itu membutuhkan usaha keras, dan mereka perlu membuat hubungan mereka bertumbuh dari sekedar ketertarikan fisik.

Tapi saat seorang pria jatuh cinta pada seorang wanita, dia tidak ingin mendengar semua itu. Dia akan mengejarnya, dan tidak ada yang menghalanginya. Hanya satu bulan setelah Yakub tiba di Haran, Paman Laban mendekati dia untuk melihat apakah mereka bisa membuat persetujuan atau kesepakatan. Alkitab berkata bahwa Yakub begitu mencintai Rahel dan menawarkan diri bekerja pada Laban 7 tahun untuk menikahinya (Gen. 29:18). Dia tidak punya apa-apa yang bisa diberikan pada Laban untuk anaknya, jadi dengan bekerja menjanjikan hal itu. Sekarang kita menjadi lebih ragu. Satu bulan merupakan waktu yang tidak mencukupi untuk mengenal seseorang dan membuat komitmen seumur hidup, dan itu jelas tidak cukup untuk mengetahui apakah kita memang kasih. Kasih sejati membutuhkan pengenalan seutuhnya. Untuk menyatakan kasih pada seseorang yang kita tidak kenal hanyalah mencintai gambaran mental kita terhadap orang itu. Dan jika dia tidak sesuai dengan gambaran mental kita, maka yang kita sebut “kasih” menjadi angan-angan dan kekecewaan, dan kadang menjadi kebencian.

Tapi Yakub sudah jatuh cinta. Saat Rahel ada didekatnya, hatinya berdebar lebih cepat dan perasaan indah menyapunya. Dia merupakan mahluk paling indah yang pernah dilihatnya, dan dia merasa hidupnya tanpa Rahel tidak ada artinya. Itu cukup baginya. “Jadi bekerjalah Yakub tujuh tahun lamanya untuk mendapat Rahel itu, tetapi yang tujuh tahun itu dianggapnya seperti beberapa hari saja, karena cintanya kepada Rahel” (Gen. 29:20). Itu suatu pernyataan yang luar biasa. Kenyataannya itu adalah perkataan pria terindah yang pernah dinyatakan terhadap wanita. Tujuh tahun merupakan penantian yang lama, dan menurut saya, Yakub benar-benar bertumbuh cintanya pada Rahel ditahun-tahun itu. Ketertarikan fisik tetap ada, tapi dia tidak bisa hidup dalam hubungan yang begitu dekat dengannya selama 7 tahun tanpa belajar mengenal Rahel, kebaikan dan keburukannya. Pernikahan ini akan mengalami waktu sulit, tapi tidak terjadi dalam pertunangan yang lama ini dan kasih Yakub yang semakin dalam dan dewasa, itu mungkin tidak akan selamat.

Terlalu banyak pasangan menikah terburu-buru dan bertobat diwaktu luang. Pertunangan selama 7 tahun mungkin terlalu berlebihan, tapi waktu dibutuhkan untuk mengenal apa yang disukai dan tidak disukai seseorang, sehingga kita bisa memutuskan apakah kita akan memberikan diri kita dengan tidak egois pada orang ini disamping karakteristik ini. Salah satu ujian terhadap kasih sejati, adalah kemampuan untuk menunggu. Jatuh cinta umumnya terburu-buru karena berpusat pada diri. Hal itu berkata, “aku merasa enak ketika bersama kamu, jadi saya ingin secepatnya membawa kamu kealtar sebelum kehilangan kamu dan kehilangan perasaan enak ini.” Kasih berkata, “kebahagiaanmu adalah yang paling aku inginkan, dan aku bersedia menunggu, jika diperlukan untuk membuktikan inilah yang terbaik untukmu.” Dan jika benar, itu akan bertahan dalam ujian waktu. Yakub menunggu, dan kasih romantismenya dipandangan pertama bertumbuh menjadi ikatan jiwa yang dalam dan komitment sepenuh hati.

Ada perkataan lama berkata, “Kasih sejati tidak pernah mudah.” Itulah yang terjadi pada Yakub dan Rahel. Marilah melihat kasih dibawah tekanan. Paman Laban adalah seorang yang ingin mendapat untung tanpa susah payah. Licik, penipu itulah dia, dia menggantikan Rahel dengan Lea saat malam pernikahan Yakub. Dengan selubung yang tebal dan pakaian disepanjang tubuh, Lea bisa berada diseluruh perkawinan tanpa diketahui. Melalui bisikan dia bicara, sehingga bisa melewati malam itu. Tapi bisakah anda membayangkan kebingungan Yakub saat pagi hari melihat penghianatan Laban? Dia mungkin sangat marah pada seluruh keluarga karena hal ini.

Itu bukan cara yang Lea inginkan dalam memulai kehidupan pernikahan bukan ? Saya mencurigai kalau dia sudah mencintai Yakub dari awalnya dan menginginkan kasih sayangnya. Dia dengan mudah ikut rencana ayahnya tapi hanya menemukan sedikit kepuasan dari suami yang didapat dari hasil penipuan. Menipu seseorang kedalam pernikahan merupakan perkara berbahaya, tapi itu tetap dilakukan sampai saat ini. Sebagian wanita mencoba membeli pria dengan seks, atau mengurungnya dengan bayi, atau membujuknya dengan kekayaan keluarga. Seorang pria juga menipu wanita dengan janji kekayaan, atau dengan menjadi orang lain, menutupi kesalahannya sampai acara pernikahan. Hal itu pasti dengan cepat diketahui, mungkin sebelum bulan madu, bahwa dia sudah menikahi seorang monster yang tidak dia kenal. Akibat penipuan biasanya menyakitkan dan menyedihkan.

Laban berbesar hati menawarkan Rahel pada Yakub jika dia mau bekerja 7 tahun lagi. “Genapilah dahulu tujuh hari perkawinanmu dengan anakku ini; kemudian anakku yang lainpun akan diberikan kepadamu sebagai upah, asal engkau bekerja pula padaku tujuh tahun lagi.” (Gen. 29:27). Tujuh hari menunjukan satu minggu acara pernikahan. Yakub tidak perlu menunggu 7 tahun untuk Rahel, hanya satu minggu. Tapi dia harus bekerja 7 tahun lagi tanpa dibayar setelah menikahinya. “Yakub menghampiri Rahel juga, malah ia lebih cinta kepada Rahel dari pada kepada Lea. Demikianlah ia bekerja pula pada Laban tujuh tahun lagi” (Gen. 29:30).

Jadi kita melihat garis keturunan yang takut akan Tuhan masuk kedalam bigamy. Itu bukan kehendak Tuhan. Tuhan menciptakan satu wanita untuk satu pria (Gen. 2:24, cf. also Lev. 18:18; 1 Tim. 3:2). Walau Yakub tertipu sampai masuk kedalamnya, tidak ada pilihan lain. Sebagian penafsir berkeras bahwa dia harus menolak Lea karena dia tidak mendapatkannya dengan kemauannya sendiri. Biarlah saya mengajukan pilihan lain; Yakub mungkin telah menerima pernikahannya dengan Lea sebagai kehendak Tuhan atas hidupnya dan belajar mengasihinya sebagaiamana adanya. Ayah Yakub menerima akibat penipuannya saat dia meniru Esau dan mencuri hak kesulungannya, dan Ishak dipuji karena hal itu dalam PB. Mungkin Yakub dipuji karena menerima akibat dari kedaulatan tangan Tuhan dan itu menunjukan imannya. Dan saya ingatkan bahwa Lea, bukan Rahel, yang merupakan ibu dari Yudah, dimana Juruselamat datang (Gen. 29:35). Tapi Yakub tidak ingin percaya kalau Tuhan mengatur semua keadaan. Dia ingin mendapatkannya walau diluar kehendakNya. Dan peristiwa berikutnya menunjukan bahwa bigamy tidak pernah menjadi rencana Tuhan bagi umat manusia.

Dalam tekanan hubungan bigamy itu, karakter Rahel yang sebenarnya muncul. Saat dia menyadari bahwa Lea mengandung anak Yakub dan dia tidak, dia menjadi sangat cemburu terhadap kakaknya dan berkata pada Yakub, “Berikanlah kepadaku anak; kalau tidak, aku akan mati” (Gen. 30:1). Apa yang sebenarnya dia katakan, “jika saya tidak mendapatkan cara saya, saya lebih baik mati.” Ini adalah perkataan wanita yang sudah memiliki hampir semuanya dalam hidup—keindahan fisik yang luar biasa, semua hal materi yang diperlukan, dan kasih sayang suami yang besar. Bukankah kasih Yakub lebih daripada jumlah anak? Tidak, tidak untuk Rahel. Dia harus mendapatkan semua yang diinginkannya atau hidupnya tidak berarti. Dia iri hati, egois, suka merengut, lekas marah, tidak puas, dan penuntut. Dan Yakub kehilangan ketenangannya, “Maka bangkitlah amarah Yakub terhadap Rahel dan ia berkata: Akukah pengganti Allah, yang telah menghalangi engkau mengandung?’” (Gen. 30:2).

Kemarahannya tidak benar dihadapan Tuhan, tapi penilaian terhadap situasinya benar. Keajaiban mengandung ada ditangan Tuhan.

Dosa tidak merasa puas telah merusak begitu banyak hubungan sejak masa Yakub. Sebagian pasangan menjadi marah pada Tuhan karena tidak memberikan mereka anak, sementara yang punya anak menantikan saat mereka bertumbuh dewasa dan kemudian bisa hidup tenang dan damai. Pengurus rumah, ingin jadi istri yang juga bekerja, dan istri yang bekerja ingin menjadi pengurus rumah sepenuh waktu. Ada orang Kristen yang tidak puas dengan tempat tinggal mereka, pekerjaan yang mereka dapatkan, uang yang mereka hasilkan, dan rumah yang mereka tinggali. Hal lain terlihat lebih baik dari mereka. Sebagian istri tidak puas dengan suami mereka. Mereka mengeluh dan marah karena pria mereka tidak memberikan perhatian yang cukup, tidak memberi waktu yang cukup bagi anak-anak, tidak mengerjakan tugasnya dirumah, diluar rumah terlalu lama atau lebih memikirkan pekerjaan, mobil, hobi, televise, atau olahraga daripada mereka. Sebagian suami tidak puas dengan istri mereka. Mereka mengkritik cara berpakaian istrinya, cara mereka menyisir rambut, masakannya, cara mereka membersihkan rumah, atau cara mereka memperlakukan anak. Mereka jadi marah karena terlalu banyak tidur, makan terlalu banyak, membuang waktu, atau menghabiskan banyak uang. Tidak peduli seberapa keras istrinya mencoba, mereka tidak pernah bisa memuaskan suami mereka.

Sebagian dari hal ini penting dan perlu dibicarakan. Saya tidak menyarankan kalau kita harus sepenuhnya mengabaikan mereka dan menderita karena diam. Tapi ketidakpuasan yang menyebabkan kita mengeluh, ngomel, marah, bertengkar, dan mengadu merupakan halangan besar bagi hubungan pernikahan yang bahagia. Tuhan menginginkan kita merasa cukup terhadap apa yang kita miliki. “Memang ibadah itu kalau disertai rasa cukup, memberi keuntungan besar.” (1 Tim. 6:6). Paulus berkata, “Kukatakan ini bukanlah karena kekurangan, sebab aku telah belajar mencukupkan diri dalam segala keadaan” (Phil. 4:11). Saat kita menyadari kehadiran rasa tidak puas dalam hidup kita dan mengakuinya sebagai dosa, kita bisa meminta anugrah Tuhan untuk mengatasinya dan menemukan sukacita baru dalam hidup.

Ketidakpuasan Rahel membawa dia kerencana yang sama seperti dilakukan Sarah. Dia memberikan budaknya pada Yakub agar bisa memberikannya anak, dan budak itu memberikannya dua kali (30:3-8). Secara teknis, anak dari hubungan itu adalah anak Rahel dalam budaya mereka. Tapi kita bisa melihat nature egois Rahel saat anak kedua Bilha lahir. Dia berkata, “Aku telah sangat hebat bergulat dengan kakakku, dan akupun menang” (Gen. 30:8). Dia menamakan anak itu Naftali, berarti “bergulat” Dia melihat dirinya ada dalam perlombaan dengan kakaknya untuk mendapat tempat pertama dalam penilaian Yakub.

Kecemburuannya yang berlebihan terlihat lagi tidak lama setelah itu. Sikecil Ruben, anak pertama Lea, yang mungkin berumur 4 tahun saat itu, keluar mengikuti penuai dan memungut tanaman yang disebut dudaim, yang ingin dilakukan anak kecil masa itu. Saat dia membawanya pulang dan ingin memberikannya pada ibunya, Rahel melihatnya dan menginginkannya juga. Dia kelihatannya selalu menginginkan milik orang lain. Jadi dia menjajakan kasih saya Yakub kepada Lea untuk satu malam hanya dengan beberapa dudaim. (Gen. 30:14, 15).

Rasa tidak puas yang sama muncul kembali dalam hidupnya. Tuhan akhinya memberikannya anak, dan mungkin sekarang kita rasa dia sudah puas. Tapi dia menamakan anak itu Yusuf, yang berarti “ingin lagi”. Dan dia berkata, “Mudah-mudahan TUHAN menambah seorang anak laki-laki lagi bagiku” (Gen. 30:24). Lagi, lagi, lagi! Rahel tidak pernah puas dengan apa yang didapatnya.

Tapi akhirnya belum sampai. Tuhan berkata pada Yakub bahwa sudah waktunya meninggalkan pamannya Laban dan kembali keKanaan. Dia sudah begitu makmur sehingga Laban tidak seramah dulu. Jadi Yakub mengumpulkan anak dan istrinya serta semua harta miliknya dan menyelinap pergi saat Laban menjaga domba. Tapi Rahel mengambil sesuatu yang bukan milik mereka; dia mengambil berhala ayahnya, berhala yang disebut terafim (Gen. 31:19). Pemilik benda itu dianggap sebagai pewaris utama keluarga, bahwa walau dia hanya menantu laki-laki.

Sekali lagi, Rahel menunjukan ketamakannya. Dia lebih memilih suaminya daripada saudaranya dalam memiliki bagian terbesar warisan keluarga sehingga dia bisa mendapat keuntungan juga. Saat Laban akhirnya mendapatkan mereka dan mencari keseluruh milik mereka, Rahel membohonginya dan menipunya (Gen. 31:33-35). Rahel yang cantik ini terlihat seperti tikus kesturi!

Tapi bagaimana anda tahu? Kecuali satu saat Yakub menjadi begitu marah pada Rahel dengan menyalahkan sikap kekanakannya atas dia, tidak ada indikasi kalau dia mengurangi kasihnya karena kesalahannya. Kenyataannya, ada indikasi kalau Yakub tetap menjaga kasihnya sampai akhir hidup Rahel. Sebagai contoh, dia menempatkan Rahel diposisi terhormat dibagian belakang saat mereka bertemu Esau dan saat hidup mereka sedang terancam (Gen. 33:2). Yakub jauh dari sempurna, tapi dia menjadi contoh bagi kita bagaimana seorang suami seharusnya memperlakukan istri saat istrinya tidak seperti harapan.

Sebagian suami berkata, “saya bisa mencintainya jika dia lebih manis.” Kasih yang muncul hanya saat dia manis bukanlah kasih sejati. Tuhan ingin para istri merasakan kasih suaminya bagi mereka walau tingkah mereka menyedihkan (Eph. 5:25). Dan sebagian besar dari kita mengalami saat-saat seperti itu. Mungkin para pria harus bertanya secara teratur, ditengah perselisihan, “apakah istri saya menyadai kasih saya saat ini? Apakah dia merasa dikasihi, atau dia merasa marah, dimusuhi, atau ditolak?” Tuhan membuat seorang istri dengan kebutuhan itu agar dipenuhi kasih suami sepanjang waktu. Dan hal itu tergantung sepenuhnya pada prilaku yang ditunjukan suami, seperti raut muka dan nada suara, terutama saat istri sedang tidak enak perasaannya dan sedang tidak setuju.

Kita sudah melihat cinta pada pandangan pertama Yakub dan kasihnya dibawa tekanan. Akhirnya, kasih melalui kepedihan mendalam. Tuhan mengijinkan Rahel mendapatkan permintaannya yang terakhir. Dia melahirkan seorang anak lagi. Kelahirannya begitu sulit, dan akhirnya dia mati saat melahirkan. Saat bidan mengatakan itu anak laki-laki, dia membisikan namanya dengan nafasnya yang terakhir—namanya Ben-oni, yang artinya “anak penyesalanku.” Yakub kemudian mengubahnya menjadi Benyamin, “anak tangan kananku.” Tapi bukankah itu ironis? Sebelumnya dia berseru, “berikan aku anak, atau aku mati.” Dan dia mati karena melahirkan anaknya yang kedua. Anaknya hidup. Tapi mereka menguburkan Rahel dijalan dari Betlehem menuju Yerusalem. Anda masih bisa mengunjungi makamnya sampai sekarang, monument dari rasa tidak puas.

Yakub tidak pernah melupakan Rahel. Saat berumur 147 tahun dia memanggil anak-anaknya di Mesir untuk memberkati mereka, dan dia tetap memikirkannya. “Kalau aku, pada waktu perjalananku dari Padan, aku kematian Rahel di tanah Kanaan di jalan, ketika kami tidak berapa jauh lagi dari Efrata, dan aku menguburkannya di sana, di sisi jalan ke Efrata --yaitu Betlehem” (Gen. 48:7). Dia mengasihi Rahel sampai akhir hidupnya. Tapi apa untungnya buat Rahel? Dia tidak bisa sepenuhnya menikmati kasih Yakub, dan itu menghalangi yang lain menikmatinya. Itu mengisolasinya kedunia yang sepi. Saat dia mati, meninggalkan Yakub kepada kakaknya yang sangat dicemburuinya dalam hidup. Dan bahkan dalam kematian, dia sendiri. Seperti permintaan Yakub, mereka menguburkannya disebelah Lea digua Makpela disisi Abraham, Sarah, Isaac, dan Rebekah (Gen. 49:29-31; 50:13). Rachel sendirian.

Apakah kesepian dalam hidup kita atau konflik dalam hubungan kita merupakan hasil dari rasa tidak puas kita? Itu tidak akan berubah selama kita pikir kepuasan bisa ditemukan dalam hal materi atau keadaan yang meningkat. Rahel membuktikan hal ini. Kepuasan sejati hanya bisa ditemukan dalam Tuhan. Dia yang memuaskan jiwa yang haus dan memenuhi jiwa dengan hal-hal baik (Ps. 107:9). Dia menyuruh kita untuk mencukupi diri dengan apa yang kita miliki, walau hidup sehari-hari berubah, Dia tidak berubah dengan kita (Heb. 13:5). Saat pengenalan kita akan Dia meningkat melalui penyelidikan FirmanNya dan melalui doa dihadapanNya, kita akan menemukan kedamaian dan kepuasan bertumbuh dalam kita. Kemudian kita mampu menerima apa yang diberikanNya dengan sukacita, dan disaat yang sama berterima kasih terhadap hal ditolakNya, percaya bahwa jalannya sempurna. Dan kita mampu mengubah apa yang bisa diubah, dan dengan sukacita menerima apa yang tidak bisa diubah, yakin kalau itu bagian dari rencanaNya untuk membawa kita menjadi dewasa dalam Kristus.

Mari kita bicarakan

    1. Diskusikan beberapa nilai sebelum menikah. Bagaimana pasangan yang menikah tapi tidak mendapatkannya bisa merasa cukup?

    2. Apa yang bisa dilakukan Rahel untuk mengatasi ketidakpuasannya? Apa yang bisa dilakukan Yakub untuk menolongnya?

    3. Hal apa dalam hidup anda yang nilainya terbesar?

    4. Selesaikan pernyataan berikut seperti anda sudah melakukannya sebelum membaca bab ini: “Saya bisa bahagia hanya jika ...”

    5. Jika anda memasukan beberapa keadaan yang meningkat atau kepemilikan materi, bagaimana anda menyelesaikan pernyataan itu untuk konsisten dengan prinsip Firman Tuhan?

    6. Karakteristik apa yang ada dalam pasangan anda yang bisa memberikan anda kepuasan terbesar? Apa yang paling mengganggu anda? Jika anda merasa beberapa hal diatas bisa diubah, apa yang harus anda lakukan?

    7. Apakah anda merasa iri terhadap orang lain? Bagaimana Tuhan ingin anda menangani perasaan ini?

    8. Bagi suami: apakah istri anda terus menerus merasakah kasih anda padanya? Anda mungkin harus menanyakannya. Bagaimana anda menunjukan kasih anda bahkan disaat buruknya?

Related Topics: Christian Home, Marriage

Report Inappropriate Ad